Está en la página 1de 31

LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP SKIZOPRENIA
1. Pengertian
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein”yang berarti
“terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada
skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi,
kognitif dan perilaku. Secara umum, simptom skizofrenia dapat dibagi
menjadi tiga golongan: yaitu simptom positif, simptom negative, dan
gangguan dalam hubungan interpersonal.
Skizofrenia merupakan sindrom dengan variasi penyebab dan
perjalanan penyakit yang luas serta sejumlah akibat yang tergantung
pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Buku
Panduan Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa III, Maslim 2013).
Skizofrenia adalah gangguan spikotik yang kronis, mengalami
kambuh dan remisi dengan manifestasi yang banyak dan tidak khas,
penyesuaian pamoroit, gelaja dan perjalanannya bervariasi. Pada
skizofrenia ditemukan gejala yang berat, ketidak mampuan pasien
untuk merawat dirinya sendiri, pemburukan social yang bertahap,
halusinasi yang menimbulkan tegangan, perilaku yang kacau,
inkohorensi, agitasi, dan penelantaran (Keliat dkk, 2007).

2. Etiologi Skizoprenia
Etiologi pasti skizofrenia belum diketahui sampai saat ini, namun
beberapa ahli berpendapat bahwa penyebab skizofrenia adalah
kombinasi dari berbagai faktor (Jiwo, 2012). Beberapa faktor
penyebab skizofrenia menurut Sadock dan Sadock (2010) adalah
sebagai berikut :
a. Faktor genetic
Genetik berkontribusi pasti pada beberapa atau seluruh bentuk
skizofrenia. Individu dengan kedua orang tua menderita
skizofrenia, akan beresiko 50% menderita skizofrenia. Individu

1
dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia, akan beresiko
12% menderita skizofrenia. Individu dengan saudara kandung yang
menderita skizofrenia, maka akan beresiko 10% menderita
skizofrenia. Pada kasus kembar monozigotik yang memiliki gen
identik, terdapat kemungkinan 50% untuk menderita skizofrenia
jika saudaranya menderita skizofrenia. Beberapa penemuan juga
menunjukkan usia ayah memiliki hubungan dalam kemungkinan
terjadinya skizofrenia. Pada penelitian pasien skizofrenia tanpa
riwayat sakit baik dalam garis keturunan ayah ataupun ibu,
ditemukan fakta bahwa mereka yang lahir dari ayah dengan usia
lebih tua dari 60 tahun memiliki kemungkinan menderita
skizofrenia juga. Mungkin, spermatogenesis yang buruk ditemukan
pada pria yang lebih tua daripada pria yang lebih muda (Sadock
dan Sadock, 2010).
b. Factor biokimia
1) Hipotesis Dopamin
Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat
aktivitas dopaminergik yang berlebihan. Pertama,obat yang
meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang terkenal adalah
afetamin, LSD, dan levodopa bersifat psikotomimetik. Yaitu
meningkatkan kadar dopamin di otak dan bisa menambah
buruknya gejala psikotik. Kedua, kemanjuran serta potensi
sebagian besar obat antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor
dopamin), berkorelasi dengan kemampuannya bertindak
sebagai antagonis reseptor dopamin dan menyebabkan obat
tidak mengontrol semua gejala skizofrenia melainkan
neurotransmiter yang lain juga. Teori dasar ini tidak
menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan
pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang
terlalu banyak, hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap
dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut. Jalur dopamin
di otak yang terlibat juga tidak dirinci dalam teori ini, meski

2
jalur mesokortikal dan mesolimbik paling sering disebut. Peran
signifikan dopamin dalam patofisiologi skizofrenia sejalan
dengan studi yang mengukur konsentrasi plasma metabolit
utama dopamin, asam homovalinat. Studi melaporkan adanya
korelasi positif antara konsentrasi asam homovanilat dan
tingkat keparahan gejala yang timbul pada pasien. Penurunan
asam homovalinat berkorelasi dengan perbaikan gejala pada
setidaknya beberapa pasien (Sadock dan Sadock, 2010).
2) Norepinefrin.
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat
anitpsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas neuron
noradrenergik di lokus seruleus dan bahwa efek terapeutik
beberapa aobat antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya
pada reseptor adrenergik alfa-1 dan adrenergik alfa-2. Meski
hubungan antara aktivitas dopaminergik dan doradrenergik
masih belum jelas, terdapat peningkatan jumlah data yang
menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sitem
dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami
relaps yang sering (Sadock dan Sadock, 2010).
3) Glutamat.
Glutamat telah terlibat karena konsumsi phencyclidine,
antagonis glutamat, memproduksi sindrom akut yang serupa
dengan skizofrenia. Hipotesis tentang glutamat termasuk
hoperkatifitas, hipoaktifitas, dan glutamate induced
neurotoxicity (Sadock dan Sadock, 2010).
c. Faktor psikososial
Faktor psikososial berperan dalam terjadinya skizofrenia (Kaplan
dan Sadock, 2010). Berikut beberaapa teori yang mengemukakan
tentang faktor psikososial:
1) Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud ini mengatakan

3
bahwa skizofrenia merupakan akibat fiksasi pertumbuhan berat
yang terjadi pada masa awal kehidupan, terdapat suatu defek
ego pada saat ego belum atau mulai terbentuk. Defek ini
memperngaruhi interpretasi terhadap realitas dan pengendalian
hasrat dari dalam diri, misalnya agresi. Defek fungsi ego
memungkinkan terjadinya hostilitas dan agresi yang intens
merusak hubungan ibu-anak dan mengarah kepada
pembentukan kepribadian yang rentan stres (Kaplan dan
Sadock, 2010). Model adaptasi stres menurut Stuart (2009)
menunjukkan bahwa faktor psikologi termasuk tipe
kepribadian mampu menjadi faktor predisposisi terjadinya
gangguan jiwa.
2) Teori pembelajaran
Teori ini mengungkapkan bahwa hubungan interpersonal
yang buruk pada penderita skizofrenia sebagai akibat dari
model pembelajaran yang buruk selama masa kanak-kanak
(Kaplan dan Sadock, 2010).
3) Dinamika keluarga
Teori ini menjelaskan bahwa adanya hubungan antara
keluarga disfungsional dengan kejadian skizofrenia. Anak akan
mundur ke keadaan psikotik untuk melarikan diri dari
kebingungan dalam penerimaan pesan yang saling
bertentangan dari kedua orang tua mengenai sikap, perilaku
dan perasaannya. Hal lain dinamika keluarga yang berpengaruh
terhadap kejadian skizofrenia adalah adanya penyimpangan
pada keluarga (skisme) dan keluarga dengan permusuhan
semu. Kedua hal ini akan menimbulkan masalah sosial saat
anak dari keluarga tersebut meninggalkan rumah dan membina
hubungan dengan orang lain (Kaplan dan Sadock, 2010).
4) Teori sosial
Teori ini menjelaskan bahwa adanya urbanisasi dan
industrialisasi mengakibatkan adanya stres yang berakibat pada

4
munculnya awitan penyakit dan keparahan penyakit skizofrenia
(Kaplan dan Sadock, 2010). Beberapa faktor ligkungan mampu
memicu terjadinya ataupun kekambuhan pada gangguan jiwa
(Stuart, 2009). Fakor lingkungan tersebut diantaranya adalah
kejadian hidup yang menekan, masalah pekerjaan, kemiskinan,
adanya stigma, kurangnya dukungan sosial, pengangguran,
kesulitan berinteraksi dengan lingkungan, penolakan, dan
permusuhan.

3. Tanda dan Gejala Skizofrenia


Tanda dan gejala umum yang ditemukan pada penderita
skizofrenia adalah perilaku yang tidak tepat, kemunduran fungsi sosial,
defisit perawatan diri, tidak mampu bekerja, bicara sendiri, mendengar
suara-suara, curiga, perilaku agresif, pemikiran tidak biasa dan tidak
logis, dan kurang minat dengan aktivitas lingkungan sekitar (Baputty,
Hitam dan Sethi, 2008).
Sedangkan Videbeck (2011) membagi gejala skizofrenia menjadi 2
kelompok berdasarkan kriteria diagnostik Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder Text Revision (DSM IV – TR) yaitu gejala
positif dan negatif.
a. Gejala positif
Gejala positif diartikan secara umum sebagai tingkah laku
yang tidak ditemui di orang normal. Gejala positif muncul dan
mendominasi tingkah laku paseien pada fase “aktif” skizofrenia.
Fase aktif dari pasien biasanya berujung kepada rawat inap di
rumah sakit atau dirujuk ke ahli karena mengganggu orang- orang
di sekitar mereka. Berikut beberapa gejala positif skizofrenia
menurut Stuart (2013) :
1) Waham (delusi) merupakan keyakinan yang salah dan
dipertahankan yang tidak sesuai atau memiliki dasar dalam
realitas.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau

5
pengalaman persepsi yang tidak terjasi dalam realitas.
3) Agresif merupakan perilaku destruktif yang memperlihatkan
ancaman, kata- kata kasar dan terdapat kontak fisik terhadap
orang lain, tetapi masih bisa dikendalikan oleh pelaku.
4) Agitasi merupakan bentuk gangguan yang menunjukkan
aktivitas motorik berlebihan dan tidak bertujuan atau
kelelahan, biasanya dihubungkan dengan keadaan tegang dan
ansietas.
5) Perilaku stereotipi merupakan perilaku yang menunjukkan
gerakan anggota badan berulang-ulang dan tidak bertujuan.
6) Disorganisasi bicara merupakan berbagai macam bentuk
gangguan dalam proses bicara (word salad).
7) Negativisme merupakan suatu sikap yang berlawanan dengan
yang diperintahkan kepadanya, dan ada penolakan tanpa
alasan.
b. Gejala negatif
Gejala negatif muncul dan mendominasi pada fase
prodromal dan residual dari skizofrenia. Gejala negatif adalah
gejala-gejala yang berhubungan dengan tingkah laku pasif pasien
namun cenderung tidak terlihat dan diabaikan oleh orang-orang
sekitar. Berikut gejala negatif skizofrenia menurut Stuart (2013):
1) Apatis merupakan perasaan tidak peduli terhadap individu,
aktivitas, dan peristiwa.
2) Alogia merupakan kecenderungan sangat sedikit bicara atau
menyampaikan sedikit substansi makna.
3) Anhedonia merupakan perasaan tidak senang dalam menjalani
hidup, aktivitas dan hubungan.
4) Katatonia merupakan imobilisasi karena faktor psikologis,
klien tampak tidak bergerak seperti dalam keadaan setengah
sadar.
5) Kehilangan motivasi atau tidak adanya keinginan, ambisi, atau
dorongan untuk bertindak dan melakukan tugas-tugas

6
6) Afek datar merupakan tidak adanya ekspresi wajah yang
menunjukkan emosi.

4. Tipe Skizofrenia
Videbeck (2011) menggolongkan skizofrenia menjadi 5 kelompok
menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Text
Revision (DSM IV- TR), yaitu:
a. Skizofrenia paranoid
Skizofrenia paranoid adalah tipe skizofrenia dimana pasien
skizofrenia merasa dikejar-kejar orang dan akan dibunuh. Gejala-
gejala yang menonjol adalah waham primer, disertai dengan
waham-waham sekunder dan halusinasi. Gejala yang tidak
menonjol meliputi bicara kacau, perilaku kacau atau katatonik, dan
afek (Sadock dan Sadock, 2010). Jenis skizofrenia ini sering mulai
sesudah umur 30 tahun. Permulaannya mungkin subakut, tetapi
mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering
dapat digolongkan skizoid (Maramis, 2009). Skizofrenia paranoid
lebih sering menunjukkan perilaku kekerasan/ amuk daripada
skizofrenia jenis lain.
b. Skizofrenia hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering
timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang
mencolok adalah : gangguan proses berfikir, gangguan kemauan
dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan
psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-
kanakan sering terdapat pada skizofrenia hebefrenik.
c. Skizofrenia katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan
biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin
terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik. Gejala yang
penting dari skizofrenia tipe ini berupa gejala-gejala psikomotor
seperti mutisme, stupor (suatu kondisi dimana penderita tidak

7
bergerak sama sekali untuk waktu yang lama, beberapa hari,
bahkan kadang-kadang beberapa bulan), streotipi, dan negativisme
yang ekstrem.
d. Skizofrenia tak terdiferensiasi
Skizofrenia tipe ini memperlihatkan gejala seperti waham,
halusinasi, bicara kacau, perilaku kacau, dan memperlihatkan afek
datar. Gejala yang ditemukan pada skizofrenia tipe ini tidak
memenuhi kriteria pada tipe paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
e. Skizofrenia residual
Skizofrenia yang kronis dengan riwayat sedikitnya satu
episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah
gejala negatif yang lebih menonjol. Gejala negatif terdiri dari
kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpulan afek,
pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan dalam pembicaraan,
ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya rawat diri.
Skizofrenia residual tidak menunjukkan gejala waham, halusinasi,
bicara kacau, serta perilaku kacau atau katatonik.

B. KONSEP GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI


1. Pengertian
Stuart & Laraia (2009) mendefinisikan halusinasi sebagai suatu
tanggapan dari panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)
eksternal Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.Ada lima jenis
halusinasi yaitu pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan dan
perabaan. Halusinasi pendengaran merupakan jenis halusinasi yang
paling banyak ditemukan terjadi pada 70% pasien, kemudian
halusinasi penglihatan 20%, dan sisanya 10% adalah halusinasi
penghidu, pengecapan dan perabaan.
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering di temukan
pada klien gangguan jiwa. Halusinasi identik dengan skizofrenia.

8
Seluruh klien dengan skizofrenia diantaranya mengalami halusinasi
(Muhith, 2015).
Halusinasi adalah persepsi klien yang salah terhadap lingkungan
tanpa stimulus yang nyata, memberi persepsi yang salah atau pendapat
tentang sesuatu tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata dan
hilangnya kemampuan manusia untuk membedakan rangsangan
internal pikiran dan rangsangan eksternal (Trimelia, 2011).
Halusinasi adalah gejala gangguan jiwa berupa respon panca indra,
yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan
terhadap sumber yang tidak nyata (Keliat et al, 2020).
Pasien halusinasi merasakan adanya stimulus yang sebetulnya
tidak ada. Perilaku yang teramati pada pasien yang sedang mengalami
halusinasi pendengaran adalah pasien merasa mendengarkan suara
padahal tidak ada stimulus suara. Sedangkan pada halusinasi
penglihatan pasein mengatakan melihat bayangan orang atau sesuatu
yang menakutkan padahal tidak ada bayangan tersebut. Pada halusinasi
penghidu pasien mengatakan membaui bau-bauan tertentu padahal
orang lain tidak merasakan sensasi serupa. Sedangkan pada halusinasi
pengecapan, pasien mengatakan makan atau minum sesuatu yang
menjijikkan. Pada halusinasi perabaan pasien mengatakan serasa ada
binatang atau sesuatu yang merayap ditubuhnya atau di permukaan
kulit.

2. Jenis-jenis Halusinasi
Menurut Trimeilia (2011) jenis-jenis halusinasi adalah sebagai
berikut :
a. Halusinasi pendengaran (auditory)
Data objektif :
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Menyedengkan telinga ke arah tertentu
4) Menutup telinga

9
Data subjektif :
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang
berbahaya.
b. Halusinasi penglihatan (visual)
Data objektif :
1) Menunjuk-nunjuk ke arah Tertentu
2) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
Data subjektif :
1) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartoon,
melihat hantu atau monster.
c. Halusinasi penciuman (olfactory)
Data objektif :
1) Mengisap-isap seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
2) Menutup hidung
Data subjektif :
1) Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-
kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi pengecapan (gustatory)
Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan, seperti
rasa darah, urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah seperti
mengecap, mulut seperti gerakan mengunyah sesuatu, sering
meludah, muntah.
e. Halusinasi perabaan (taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat,
seperti merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang.
Merasakan ada yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang
kecil dan makhluk halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap,
menggaruk-garuk atau meraba-raba permukaan kulit, terlihat
menggerakkan badan seperti merasakan sesuatu rabaan.

10
f. Halusinasi sinestetik
Merasakan fungsi tubuh, seperti darah mengalir melalui vena dan
arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine, perasaan
tubuhnya melayang di atas permukaan bumi. Perilaku yang muncul
adalah klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat seperti
merasakan sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.

3. Proses Terjadinya Halusinasi


Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan
konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor
predisposisi dan presipitasi,
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari :
5) Faktor Biologis :
Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa (herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
riwayat penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain
(NAPZA).
6) Faktor Psikologis
Memiliki riwayat kegagalan yang berulang. Menjadi korban,
pelaku maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya
kasih sayang dari orang-orang disekitar atau overprotektif.
7) Sosiobudaya dan lingkungan
Sebahagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga
dengan sosial ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki
riwayat penolakan dari lingkungan pada usia perkembangan
anak, pasien halusinasi seringkali memiliki tingkat pendidikan
yang rendah serta pernahmmengalami kegagalan dalam
hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja.
b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi
ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau

11
kelainan struktur otak, adanya riwayat kekerasan dalam keluarga,
atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup, kemiskinan,
adanya aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang
sering tidak sesuai dengan pasien serta konflik antar masyarakat.

4. Rentang Respon Halusinasi


Menurut Stuart dan Laraia (2005) halusinasi merupakan salah satu
respon maladaptif individu yang berada dalan rentang respon
neurobiologis. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika
klien sehat, persepsinya akurat mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima
melalui pancaindra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan,
peraban), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus
pancaindra walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Rentang
respon tersebut dapat digambarkan seperti dibawah ini (Muhith,
2015) :

Respon adaptif Respon


maladaptif

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1. Gangguan


2. Persepsi akurat ilusi pikir/delusi
3. Emosi 2. Reaksi emosi 2. Halusinasi
konsisten berlebihan 3. Sulit merespon
dengan 3. Perilaku aneh atau emosi
pengalaman tidak biasa 4. Perilaku
4. Perilaku sesuai 4. Menarik diri disorganisasi
5. Berhubungan 5. Isolasi sosial
sosial

Gambar 1. Rentang respon halusinasi

12
Keterangan :
a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-
norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu akan dapat
memecahkan masalah tersebut.
Respon adaptif meliputi :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang
timbul dari pengalaman ahli.
4) Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih
dalam batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang
lain dan lingkungan.
b. Respon psikososial meliputi :
1) Proses pikir terganggu yang menimbulkan gangguan
2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena gangguan panca
indra
3) Emosi berlebihan atau kurang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang
melebihi batas untuk menghindari interaksi dengan orang lain
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interkasi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain
c. Respon maladaptif adalah respon indikasi dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya
dan lingkungan, adapun respon maladaptif ini meliputi :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan social

13
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul
dari hati
4) Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh
individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan
sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

5. Tanda dan Gejala Halusinasi


Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat
teramati sebagai berikut ( Dalami, dkk, 2014 ) :
a. Halusinasi penglihatan :
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar,
orang atau panorama yang luas dan kompleks, bisa yang
menyenangkan atau menakutkan. Perilaku yang muncul adalah
tatapan mata pada tempat tertentu, menunjuk ke arah tertentu,
ketakutan pada objek yang dilihat.
b. Halusinasi pendengaran
Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan,
mengancam, memerintahkan untuk melakukan sesuatu (kadang-
kadang hal yang berbahaya). Perilaku yang muncul adalah
mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa
sendiri, marah-marah tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-
kamit, dan ada gerakan tangan
c. Halusinasi penciuman
Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan, seperti bau
darah, urine atau feses atau bau harum seperti parfum. Perilaku
yang muncul adalah ekspresi wajah seperti mencium dengan
gerakan cuping hidung, mengarahkan
hidung pada tempat tertentu, menutup hidung.
d. Halusinasi pengecapan

14
Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan, seperti
rasa darah, urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah seperti
mengecap, mulut seperti gerakan mengunyah sesuatu, sering
meludah, muntah.
e. Halusinasi perabaan (taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat,
seperti merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang.
Merasakan ada yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang
kecil dan makhluk halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap,
menggaruk-garuk atau meraba-raba
permukaan kulit, terlihat menggerakkan badan seperti merasakan
sesuatu rabaan.
f. Halusinasi sinestetik
Merasakan fungsi tubuh, seperti darah mengalir melalui vena dan
arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine, perasaan
tubuhnya melayang di atas permukaan bumi. Perilaku yang muncul
adalah klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat seperti
merasakan sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.
Menurut Pusdiklatnakes (2016), tanda dan gejala halusinasi dinilai
dari hasil observasi terhadap klien serta ungkapan klien. Adapun tanda
dan
gejala klien halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Data Subjektif
Klien mengatakan :
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang
berbahaya
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun,
melihat hantu dan monster
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-
kadang bau itu menyenangkan

15
6) Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses
7) Merasa takutan atau senang dengan halusinasinya
b. Data Objektif
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga kearah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk kearah tertentu
6) Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
8) Menutup hidung
9) Sering meludah
10) Menggaruk garuk permukaan kulit

6. Mekanisme Koping Halusinasi


Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon
neurobiologi termasuk (Dalami, dkk, 2014 ) :
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perilaku perkembangan anak atau
berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas.
b. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan
emosi pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri
(sebagai upaya untuk menjelaskan keracunan persepsi).
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik
maupun psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari
menghindar sumber stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber
infeksi, gas beracun dan lain-lain, sedangkan reaksi psikologis
individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.

16
7. Tahapan Halusinasi
Halusinasi yang dialami pasien memiliki tahapan sebagai berikut
(Kemenkes, 2016) :
a. Tahap I : Halusinasi bersifat menenangkan, tingkat ansietas pasien
sedang. Pada tahap ini halusinasi secara umum menyenangkan.
Karakteristik : Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya
perasaan bersalah dalam diri pasien dan timbul perasaan takut.
Pada tahap ini pasien mencoba menenangkan pikiran untuk
mengurangi ansietas. Individu mengetahui bahwa pikiran dan
sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa diatasi (non
psikotik).
Perilaku yang Teramati :
1) Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai
2) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3) Respon verbal yang lambat
4) Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan.
b. Tahap II : Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami
ansietas tingkat berat dan halusinasi bersifat menjijikkan untuk
pasien.
Karakteristik : pengalaman sensori yang dialami pasien bersifat
menjijikkan dan menakutkan, pasien yang mengalami halusinasi
mulai merasa kehilangan kendali, pasien berusaha untuk
menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan, pasien merasa
malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang
lain (non psikotik).
Perilaku yang teramati :
1) Peningkatan kerja susunan saraf otonom yang menunjukkan
timbulnya ansietas seperti peningkatan nadi, tekanan darah dan
pernafasan.
2) Kemampuan kosentrasi menyempit.

17
3) Dipenuhi dengan pengalaman sensori, mungkin kehilangan
kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dan realita.
c. Tahap III : Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan
perilaku pasien, pasien berada pada tingkat ansietas berat.
Pengalaman sensori menjadi menguasai pasien.
Karakteristik : Pasien yang berhalusinasi pada tahap ini menyerah
untuk melawan pengalaman halusinasi dan membiarkan
halusinasi menguasai dirinya. Isi halusinasi dapat berupa
permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika
pengalaman tersebut berakhir ( Psikotik ).
Perilaku yang teramati :
1) Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh
halusinasinya dari pada menolak.
2) Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
3) Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik
dari ansietas berat seperti : berkeringat, tremor,
ketidakmampuan mengikuti petunjuk.
d. Tahap IV : Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan
dan tingkat ansietas berada pada tingkat panik. Secara umum
halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan delusi.

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HALUSINASI


1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses untuk tahap awal dan dasar utama dari
proes keperawatan terdiri drai pengumpulan data dan perumusan
kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan melalui data
biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokkan data
pengkajian kesehatan jiwa, dapat berupa faktor presipitasi, penilaian
terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan yang dimiliki
(Afnuhazi, 2015) :
a. Identitas klien

18
Meliputi nama, umur, jenis kelmain, tanggal pengkajian, tanggal
dirawat, nomor rekam medis.

b. Alasan masuk
Alasan klien datang ke RSJ, biasanya klien sering berbicara
sendiri, mendengar atau melihat sesuatu, suka berjalan tanpa
tujuan, membanting peralatan dirumah, menarik diri.
c. Faktor predisposisi
1) Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang
berhasil dalam pengobatan
2) Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan
dalam keluarga
3) Klien dengan gangguan orientasi besifat herediter
4) Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat menganggu
d. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan adanya
riwayat penyakit infeksi, penyakt kronis atau kelaina stuktur otak,
kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan kegagalan dalam
hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan dalam keluarga
atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan klien serta konflik
antar masyarakat.
e. Fisik
Tidak mengalami keluhan fisik.
f. Psikososial
1) Genogram
Pada genogram biasanya terlihat ada anggota keluarga yang
mengalami kelainan jiwa, pola komunikasi klien terganggu
begitupun dengan pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
Gambaran diri klien biasanya mengeluh dengan keadaan
tubuhnya, ada bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai,
identifikasi diri : klien biasanya mampu menilai identitasnya,

19
peran diri klien menyadari peran sebelum sakit, saat dirawat
peran klien terganggu, ideal diri tidak menilai diri, harga diri
klien memilki harga diri yang rendah sehubungan dengan
sakitnya.
3) Hubungan sosial : klien kurang dihargai di lingkungan dan
keluarga.
4) Spiritual
Nilai dan keyakinan biasanya klien dengan sakit jiwa
dipandang tidak sesuai dengan agama dan budaya, kegiatan
ibadah klien biasanya menjalankan ibadah di rumah
sebelumnya, saat sakit ibadah terganggu atau sangat
berlebihan.
g. Mental
1) Penampilan
Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak serasi atau
cocok dan berubah dari biasanya
2) Pembicaraan
Tidak terorganisir dan bentuk yang maladaptif seperti
kehilangan, tidak logis, berbelit-belit
3) Aktifitas motorik
Meningkat atau menurun, impulsif, kataton dan beberapa
gerakan yang abnormal.
4) Alam perasaan
Berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari faktor
presipitasi misalnya sedih dan putus asa disertai apatis.
5) Afek : afek sering tumpul, datar, tidak sesuai dan ambivalen.
6) Interaksi selama wawancara
Selama berinteraksi dapat dideteksi sikap klien yang tampak
komat-kamit, tertawa sendiri, tidak terkait dengan
pembicaraan.
7) Persepsi

20
Halusinasi apa yang terjadi dengan klien. Data yang terkait
tentang halusinasi lainnya yaitu berbicara sendiri dan tertawa
sendiri, menarik diri dan menghindar dari orang lain, tidak
dapat membedakan nyata atau tidak nyata, tidak dapat
memusatkan perhatian, curiga, bermusuhan, merusak, takut,
ekspresi muka tegang, dan mudah tersinggung.
8) Proses pikir
Biasanya klien tidak mampu mengorganisir dan menyusun
pembicaraan logis dan koheren, tidak berhubungan, berbelit.
Ketidakmampuan klien ini sering membuat lingkungan takut
dan merasa aneh terhadap klien.
9) Isi pikir
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan
latar belakang budaya klien. Ketidakmampuan memproses
stimulus internal dan eksternal melalui proses informasi dapat
menimbulkan waham.
10) Tingkat kesadaran
Biasanya klien akan mengalami disorientasi terhadap orang,
tempat dan waktu.
11) Memori
Terjadi gangguan daya ingat jangka panjang maupun jangka
pendek, mudah lupa, klien kurang mampu menjalankan
peraturan yang telah disepakati, tidak mudah tertarik. Klien
berulang kali menanyakan waktu, menanyakan apakah
tugasnya sudah dikerjakan dengan baik, permisi untuk satu hal.
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Kemampuan mengorganisir dan konsentrasi terhadap realitas
eksternal, sukar menyelesaikan tugas, sukar berkonsentrasi
pada kegiatan atau pekerjaan dan mudah mengalihkan
perhatian, mengalami masalah dalam memberikan perhatian.
13) Kemampuan penilaian

21
Klien mengalami ketidakmampuan dalam mengambil
keputusan, menilai, dan mengevaluasi diri sendiri dan juga
tidak mampu melaksanakan keputusan yang telah disepakati.
Sering tidak merasa yang dipikirkan dan diucapkan adalah
salah.
14) Daya tilik diri
Klien mengalami ketidakmampuan dalam mengambil
keputusan. Menilai dan mengevaluasi diri sendiri, penilaian
terhadap lingkungan dan stimulus, membuat rencana termasuk
memutuskan, melaksanakan keputusan yang telah disepakati.
Klien yang sama sekali tidak dapat mengambil keputusan
merasa kehidupan sangat sulit, situasi ini sering mempengaruhi
motivasi dan insiatif klien
h. Kebutuhan persiapan klien pulang
1) Makan
Keadaan berat, klien sibuk dengan halusinasi dan cenderung
tidak memperhatikan diri termasuk tidak peduli makanan
karena tidak memiliki minat dan kepedulian.
2) BAB atau BAK
Observasi kemampuan klien untuk BAK atau BAK serta
kemampuan klien untuk membersihkan diri.
3) Mandi : biasanya klien mandi berulang-ulang atau tidak mandi
sama sekali.
4) Berpakaian : biasanya tidak rapi, tidak sesuai dan tidak diganti.
5) Observasi tentang lama dan waktu tidur siang dan malam :
biasanya istirahat klien terganggu bila halusinasinya datang.
6) Pemeliharaan kesehatan
Pemeliharaan kesehatan klien selanjutnya, peran keluarga dan
sistem pendukung sangat menentukan.
7) Aktifitas dalam rumah
Klien tidak mampu melakukan aktivitas di dalam rumah seperti
menyapu.

22
8) Aspek medis
a) Diagnosa medis : Skizofrenia
b) Terapi yang diberikan
Obat yang diberikan pada klien dengan halusinasi biasanya
diberikan antip sikotik seperti haloperidol (HLP),
chlorpromazine (CPZ), Triflnu perazin (TFZ), dan anti
parkinson triheksi phenidil (THP), triplofrazine arkine.

2. Pohon Masalah
Pasien biasanya memiliki lebih dari satu masalah keperawatan.
Sejumlah masalah pasien akan saling berhubungan dan dapat
digambarkan sebagai pohon masalah (Yusuf dkk. 2015). Untuk
membuat pohon masalah, minimal harus ada tiga masalah yang
berkedudukan sebagai penyebab (causa), masalah utama (core
problem), dan akibat (effect). Menurut Damaiyanti (2014), pohon
masalah pada pasien halusinasi adalah sebagai berikut :

Risiko perilaku kekerasan (diri


sendiri, orang lain, lingkungan dan
verbal)
Effect

Gangguan persepsi sensori :


halusinasi
Core Problem

Isolasi Sosial
Causa

Gambar 2. Pohon masalah

23
3. Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon
aktual atau potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap
masalah kesehatan/proses kehidupan. Rumusan diagnosis yaitu
Permasalahan (P) berhubungan dengan Etiologi (E) dan keduanya ada
hubungan sebab akibat secara
ilmiah (Carpenito dalam Yusuf dkk. 2015).
Rumusan diagnosis keperawatan jiwa mengacu pada pohon
masalah yang
sudah dibuat. Menurut Dalami dkk (2014), diagnosa keperawatan klien
dengan
halusinasi pendengaran adalah sebagai berikut:
a. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi pendengaran
b. Isolasi sosial
c. Risiko perilaku kekerasan

4. Tindakan Keperawatan Dan Rasionalisasi


Dalam asuhan keperawatan jiwa, untuk mempermudah
pelaksanaan tindakan keperawatan maka perawat perlu membuat
strategi pelaksanaan tindakan keperawatan yang meliputi SP pasien
dan keluarga (Trimeilia, 2011). SP dibuat menggunakan komunikasi
terapeutik yang terdiri dari fase orientasi, fase kerja, dan terminasi
(Yusuf dkk. 2015).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan
secara sadar, mempunyai tujuan serta kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien (Farida dan Yudi, 2010). Terdapat 3 fase dalam
dalam komunikasi terapeutik, dimana fase pertama yaitu fase orientasi
yang menggambarkan situasi pelaksanaan tindakan yang akan
dilakukan, kontrak waktu dan tujuan pertemuan yang diharapkan. Fase

24
kerja berisi beberapa pertanyaan yang akan diajukan untuk pengkajian
lanjut, pengkajian tambahan, penemuan masalah bersama dan/atau
penyelesaian tindakan. Fase terminasi merupakan saat untuk
mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan, menilai keberhasilan atau
kegagalan dan merencanakan untuk kontrak waktu pertemuan
selanjutnya. (Yusuf dkk. 2015).

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
1. Halusinasi TUM Klien dapat
mengontrol
halusinasi yang
dialaminya.

TUK 1
Klien dapat membina Bina hubungan saling Hubungan saling percaya
hubungan saling percaya dengan prinsip merupakan dasar untuk
percaya dengan komunikasi terapetik kelancaran hubungan
kriteria hasil : a. Sapa klien dengan interaksi selanjutnya
a. Ekspresi wajah ramah baik secara a. Untuk menciptakan tras
bersahabat verbal maupun non kepada pasien.
b. menunjukkan verbal b. Supaya pasien kenal
rasa senang b. perkenalkan diri dengan perawat
c. ada kontak mata dengan sopan c. Untuk mengetahui
atau mau jabat c. tanyakan nama indentitas dan nama
tangan lengkap klien dan pangilan yang di sukai
d. mau nama panggilan yang pasien
menyebutkan disukai klien d. Supaya pasien tahu
nama d. jelaskan tujuan tujuan kita melakukan
e. mau menyebut pertemuan pertemuan
dan menjawab e. jujur dan menepati e. Supaya pasien selalu
salam janji mempercai setiap apa
f. mau duduk f. tunjukkan sikap yang perawat katakana
berdampingan empati dan terima f. Supaya pasien
dengan perawat klien apa adanya menganggap perawat
g. mau g. Beri perhatian kepada juga merasakan apa
mengutarakan klien dan perhatikan yang pasien rasakan
masalah yang kebutuhan dasar klien g. Supaya pasien merasa
dihadapan di perhatikan dan di
hargai.

TUK 2 : a. Adakah kontak sering a. Supaya hubungan tetap


Pasien dapat dan singkat secara terjalin dan pasien tidak
mengenal halusinasi bertahap. lupa pada perawat.
dengan kriteia hasil : b. Observasi tingkah b. Untuk mengetahui
a. Pasien dapat laku yang terkait halusinasi pada pasien
menyebutkan isi dengan halusinasi

25
halusinasi. (verbal maupun non
b. Pasien dapat verbal)
menyebutkan c. Bantu klien mengenali c. Supaya klien tahu isi
waktu halusinasi halusinasinya. dari halusinasi dan
c. Pasien dapat 1) Jika menemukan dampak yang akan
menyebutkan yang sedang terjadi jika pasien
frekuensi halusinasi, mengiti isi
halusinasi tanyakan apakah halusinasinya.
d. Pasien dapat ada suara yang
menyebutkan didengar atau
situasi dan melihat bayangan
kondisi yang tanpa wujud atau
menimbulkan mersakan sesuatu
halusinasi yang tidak ada.
2) Jika pasien
menjawab ada,
lanjutkan : apa
yang dikatakan/
yang di alaminya.
3) Katakana bahwa
perawat percaya
klien mendengar
suara itu, namun
perawat sendiri
tidak
mendengarnya
(dengan nada
bersahabat tanpa
menuduh atau
menghakimi).
4) Katakan bahwa
ada pasien lain
yang mengalami
seperti klien.
d. Jika pasien tidak d. Supaya perawat
sedang halusinasi, mengetahui pengalam
klarifikasi tentang psien tentang
adanya pengalaman halusinasi, isi, waktu
halusinasi, diskusikan dan frekuensi
dengan pasien: isi, halusinasi.
waktu dan frekuensi,
halusinasi (pagi,
siang, sore , malam
atau sering, jarang)
situasi dan kondisi
yang dapat memicu
mencul tidaknya
halusinasi.
e. Diskusikan dengan e. Supaya perawat tahu
pasien tentang apa apa yang di lakukan
yang dirasakan saat pasien saat halusinasi
terjadi halusinasi. terjadi.
f. Diskusikan tentang f. Supaya pasien tahu

26
dampak yang akan di tentang dampak dari
alami jika pasien halusinasi.
menikmati
halusinasinya.
TUK 3 : a. Identifikasi bersama a. Merupakan upaya untuk
Klien dapat klien cara tindakan memutus siklus
mengontrol yang dilakukan jika
halusinasinya dengan terjadi halusinasi.
kriteria hasil : b. Diskusikan manfaat b. Reinforcement positif
a. Klien dapat cara yang digunakan dapat meningkatkan
menyebutkan klien harga diri klien
tindakan yang 1) jika cara tersebut
biasa dilakukan adaptif beri
untuk pujian.
mengendalikan 2) Jika mal adaptif
halusinasinya diskusikan dengan
b. Klien mampu klien kerugian
menyebutkan cara tersebut.
cara baru c. Diskusikan cara baru c. Memberi alternatif
mengontrol untuk memutus atau bagi klien untuk
halusinasi mengontrol mengetahui cara
c. Klien dapat halusinasi: mengontrol halusinasi
memilih dan 1) Menghardik yaitu dengan
mendemonstrasi halusinasi katakan menghardik, bercakap-
kan cara pada diri sendiri cakap dengan orang
mengatasi bahwa ini tidak lain, melakukan
halusinasi nyata. “saya saya kegiatan, dan dengan
d. Klien dapat tidak mau dengar cara patuh minum obat
melaksanakan kamu” (pada saat
cara yang di pilih halusinasi terjadi).
untuk 2) Menemui orang
mengendalikan lain (perawat /
halusinasinya. teman/ anggota
e. Klien mengikuti keluarga) untuk
terapi aktivitas bercakap-cakap
kelompok atau mengatakan
halusinasinya
terdengar.
3) Membuat jadwal
kegiatan
seharihari yang
sudah di susun
agar halusinasi
tidak muncul.
4) Memberikan
pendidikan
kesehatan tentang
menggunaan obat
untuk
mengendalikan
halusinasinya.
d. Bantu klien memilih d. Supaya pasien bisa

27
cara yang sudah di melakukan ketika
anjurkan dan perawat tidak ada di
melatihuntuk sampingnya saat
mencobanya. halusinasi datang.
e. Pantau pelaksanaan e. Motivasi dapat
tindakan yang telah meningkatkan
di pilih dan dilatih, keinginan klien untuk
jika berhasil beri mencoba memilih
pujian salah satu cara untuk
f. Libatkan pasien mengontrol halusinasi.
dalam terapi aktivitas f. Stimulasi persepsi
kelompok stimulasi dapat mengurangi
persepsi yaitu: perubahan interpretasi
1) Sesi I pasien realita klien
mengenal
halusinasi
2) Sesi II pasien
mengontrol
halusinasi
dengan
menghardik
3) Sesi III pasien
mengontrol
halusinasi
dengan becakap-
cakap.
4) Sesi IV pasien
mengontrol
halusinasi
dengan cara
melakukan
aktivitas.
5) Sesi V pasien
mengontrol
halusinasi
dengan cara
patuh minum
obat.
TUK 4 : a. Anjurkan klien untuk a. Untuk mendapatkan
Pasien dapat member tahu bantuan keluarga
dukungan dari keluarga jka dalam mengontrol
keluarga dalam mengalami halusinasi.
mengontrol halusinasi.
halusinasi dengan b. Diskusikan denga b. Untuk meningkatkan
kriteria hasil : keluarga (pada saat pengetahuan tentang
a. Klien dapat berkunjung/pada saat halusinasi.
membina berkunjungan rumah)
hubungan saling :
percaya dengan 1) Gejala halusinasi
perawat yang dialami
b. Keluarga dapat klien
menyebutkan 2) Cara yang dapat

28
pengertian, tanda dilakukan klien
dan kegiatan dan keluarga
untuk untuk memutus
mengendalikan halusinasi
halusinasi. 3) Cara merawat
anggota keluarga
untuk memutus
halusinasi
dirumah, beri
kegiatan, jangan
biarkan sendiri,
makan bersama,
berpergian
bersama.
4) Beri informasi
waktu follow up
atau kapan perlu
mendapat
bantuan:
halusinasi
terkontrol dan
risiko mencedrai
orang lain.
TUK 5 : a. Diskusikan dengan a. Dengan mengetahui
Klien dapat klien dan keluarga manfaat dan dosis
memanfaatkan obat tentang dosis, kliendapat patuh untuk
dengan baik dengan frekuensi manfaat minum obat
kriteria hasil : obat b. Untuk memastikan
a. Klien dan b. Pantau saat pasien pasien minum obat
keluarga dapat minum obat. atau tidak
menyebutkan c. Anjurkan klien minta c. Untuk membiasakan
manfaat, dosis sendiri obat pada pasien mandiri minum
dan efek samping perawat. obat
obat. d. Beri reinforcemen d. Reinforcemen positif
b. Klien dapat jika pasien dapat meningkatkan
mendemonstrasi menggunakan obat kemauan pasien untuk
kan penggunaa dengan benar. minum obat.
obat secara benar e. Diskusikan akibat e. Pengobatan dapat
c. Klien dapat berhenti minum obat berjalan sesuai rencana
memahami akibat tanpa konsultasi f. Dengan mengetahui
berhenti minum dengan dokter. efek samping obat
obat tanpa f. Anjurkan pasien klien tahu apa yang
konsultasi dengan berkonsultasi dengan harus dilakukan
dokter tim kesahatan jika setelah minum obat
terjadi hal-hal yang
tidak di inginkan
tentang efek samping
obat yang dirasakan

29
5. Strategi Pelaksanaan Klien
Standar Pelaksanaan Komunikasi (SP) diagnosis keperawatan :
Halusinasi
Komunikasi yang dilakukan saat kunjungan rumah dibagi dalam
beberapa tahap, yaitu :
a. Perawat dengan keluarga atau care giver
b. Perawat dengan klien halusinasi
c. Perawat dengan keluarga atau care giver
Komunikasi akan dilanjutkan di Puskesmas yaitu :
a. Perawat dengan dokter menggunakan ISBAR dan TBak
b. Perawat dengan klien dan keluarga

30
DAFTAR PUSTAKA

Jiwo, T. (2012). Mengenal gangguan bipolar, 1–16. Retrieved from https :


//tirtojiwo.org/wp-content/uploads/2012/05/Seri-bipolar.pdf
Kaplan, H. I., Sadock, benjamin J., & Grebb, J. A. (2010). Kaplan- Sadock
Sinopsis Psikiatri. (I. M. Wiguna, Ed.) (Jilid 1). Tangerang: Binarupa
Aksara Publisher.
Kaplan H.I, Sadock B.J, dan G. J. (2010). Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa
Aksa.
Keliat, B. A., & Akemat. (2009). Model Praktek Keperawatan Prefesional Jiwa.
Jakarta: EGC.
Keliat et al (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Kemenkes RI (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa( Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta.
Stuart, G.W. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Stuart, G. W. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Singapora: Elsevier
Inc.
Videbeck, S, L. (2011). Psychiatric mental health nursing. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins Inc.
Yusuf, Fitriyasari, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

31

También podría gustarte