Está en la página 1de 22

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNTAD April 2017

HIPERMETROPIA

Disusun Oleh :

SILVIA GREIS
N 111 14 051

Pembimbing :

dr. NENENG HELIJANTI SAHUNA. Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
APRIL
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi
ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang
kabur. Pada mata normal, kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang
tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang
sesuai dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan refraksi sinar tidak dibiaskan
tepat pada bintik kuning, akan tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning
dan bahkan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam
bentuk miopia, hipermetropia, astigmatisma, dan presbiopi.1
Hipermetropia merupakan suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar
yang datang dari benda-benda pada jarak tak terhingga, oleh mata tanpa akomodasi
akan dibiaskan di belakang retina dan sinar-sinar yang datang dari benda-benda pada
jarak dekat dibiaskan lebih jauh lagi di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika
kekuatan yang tidak sesuai antara panjang bola mata dan kekuatan pembiasan kornea
dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina. Hal ini dapat
disebabkan oleh penurunan panjang sumbu bola mata (hipermetropia aksial),
penurunan indeks bias refraktif (hipermetropia refraktif), seperti afakia.2
Penyebab gangguan penglihatan terbanyak di seluruh dunia adalah gangguan
refraksi yang tidak terkoreksi, diikuti oleh katarak dan glaukoma. Sebesar 18% tidak
dapat ditentukan dan 1% adalah gangguan penglihatan sejak masa anak-anak. Jumlah
penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar
55 juta jiwa. Kasus kelaianan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Kelaianan refraksi hipermetropia ini menyebar merata di berbagai
geografis, etnis, usia dan jenis kelamin. 3
Pada hipermetropia diperlukan lensa cembung atau konveks untuk
mematahkan sinar lebih kuat ke dalam lensa. Pengobatan hipermetropia adalah
diberikan koreksi hipermetropia manifes dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran
lensa positif maksimal yang memberiakn tajam penglihatan normal. Selain itu dapat
juga dengan lensa kontak ataupun pembedahan.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Penglihatan Normal

Gambar 2.1 Struktur bagian mata kanan secara vertikal, dilihat dari bagian
nasal 4

Mata secara optik dapat disamakan dengan kamera fotografi biasa mempunyai
kemampuan menghasilkan bayangan yang dibiaskan melalui media refraksi yaitu
kornea, akuos humor, sistem diafragma yang dapat berubah-ubah (pupil), lensa, dan
korpus vitreus sehingga menghasilkan bayangan terbalik yang diterima retina yang
dapat disamakan dengan film. Susunan lensa mata terdiri atas empat perbatasan
refraksi: (1) perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara, (2) perbatasan
antara permukaan posterior kornea dan udara, (3) perbatasan antara humor aqueous
dan permukaan anterior lensa kristalina, dan (4) perbatasan antara permukaan
posterior lensa dan humor vitreous. Masing-masing memiliki indeks bias yang
berbeda-beda, indek bias udara adalah 1, kornea 1.38, humor aqueous 1.33, lensa
kristalinaa (rata-rata) 1.40, dan humor vitreous 1.34.2,5

Gambar 2.2 indeks bias mata 1

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada
orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata
demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan
dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata
emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan
mata yang tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.2
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum
merupakan titik terdekat dengan akomodasi maksimum bayangan masih bisa
dibiaskan pada retina. Pungtum Remotum adalah titik terjauh tanpa akomodasi,
dimana bayangan masih dibiaskan pada retina.2
Akomodasi adalah kemampuan lensa mata untuk menambah daya bias lensa
dengan kontraksi otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan kecembungan
lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus di retina.
Dikenal beberapa teori akomodasi seperti :
 Teori akomodasi Helmholtz: zonula Zinn mengendur akibat kontraksi otot siliar
sirkular, mengakibatkan lensa yang elastis mencembung. 2
 Teori akomodasi Tscherning: dasarnya adalah bahwa nucleus lensa tidak dapat
berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa superficial
atau kortex lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn
sehingga nucleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial menjadi cembung. 2

2.2 Definisi Hipermetropia


Hipermetropia adalah keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata, di mana
sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang
retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di belakang macula lutea.2

A B

Gambar 2.3 A. Mata normal, cahaya fokus tepat pada retina


B. Hipermetropia, cahaya jatuh di belakang retina 1
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan penelitian Sandra dari Magdeburg, Jerman pada tahun 2008,
prevalensi kelainan refraksi adalah 6:
- Miopia rendah (< 2 D) 29 %
- Miopia sedang (2-6 D) 7 %
- Miopia tinggi (> 6 D) 2.5 %
- Emetropia dan hipermetropia 0 - 2 D 61%
- Hipermetropia tinggi 0.5%
Sekitar 20 % orang antara usia 20 hingga 30 tahun memiliki kelainan bias
melebih +1D. Hipermetropia lebih umum dijumpai pada anak-anak, sebagian
dikarenakan bola mata anak yang lebih pendek. Ketika lahir, rata-rata anak memiliki
hipermetropia +2D. Hal ini kemudian berkurang sejalan dengan waktu di mana bola
mata anak semakin panjang dan menjadi semakin emetropia. Populasi Afro-Karibia
memiliki prevalensi hipermetropia yang tinggi, sementara populasi di Asia Timur
memiliki prevalensi yang rendah.7

2.4 Etiologi Hipermetropia


Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara panjang bola
mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar
terletak di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan panjang sumbu
bola mata (hipermetropia aksial), seperti pada kelainan kongenital teretentu, atau
penurunan indeks bias refraktif (hipermetropia refraktif), seperti pada afakia. 1
Hipermetropia dapat disebabkan oleh :
a. Hipermetropia aksial, merupakan bentuk yang paling umum. Pada kondisi ini,
indeks refraksi mata normal, namun terdapat pemendekan bola mata.
Pemendekan 1 mm diameter anteroposterior mata mengakibatkan hipermetropia
+ 3 D. Kondisi ini dapat terjadi karena pemendekan panjang sklera, atau sklera
terdorong ke depan karena massa retrobulbar atau ablasio retina. Sebab lain
pendeknya bola mata adalah karena mikroftalmus dan nanoftalmus.7
b. Hipermetropia kurvatur, kondisi di mana kurvatura kornea, lensa atau keduanya
lebih datar dari normal sehingga mengakibatkan berkurangnya kekuatan
pembiasan mata. Sekitar 1 mm peningkatan radius kurvatura mengakibatkan
hipermetropia + 6 D. Berkurangnya kurvatura pada kornea lebih umum
dijumpai ketimbang pada lensa. Sebab pendataran kornea adalah: kornea plana,
mikro kornea, mikroftalmus, setelah operasi dan setelah trauma. Pendataran
lensa dijumpai pada buftalmus.8
c. Hipermetropia index, terjadi karena penurunan index refraksi lensa pada usia
tua. Kondisi ini juga didapatkan pada penderita diabetes dalam perawatan. 8
d. Hipermetropia posisional, diakibatkan oleh letak lensa kristalina yang lebih
posterior, dapat akibat trauma atau pun kongenital. 7,8
e. Tidak adanya lensa baik kongenital atau pun didapat menyebabkan afakia –
kondisi dengan hipermetropia tinggi. 9

Gambar 2.4 Etiologi Hipermetropia7


2.5 Klasifikasi
Ada 3 tipe klinis hipermetropia yaitu 9,10:
a. Hipermetropia sederhana atau perkembangan, merupakan bentuk yang paling
umum. Bentuk ini diakibatkan oleh variasi biologis normal dalam
perkembangan bola mata. Bentuk ini termasuk hipermetropia axial dan
kurvatur.
b. Hipermetropia patologik, dapat karena kongenital atau pun didapat, di mana
bola mata berada di luar variasi biologis perkembangannya. Bentuk ini
termasuk:
 Hipermetropia index : akibat sklerosis korteks yang didapat
 Hipermetropia posisional : akibat subluksasi posterior lensa
 Afakia kongenital atau pun didapat
 Hipermetropia konsekutif : akibat koreksi miopia yang berlebihan secara
bedah
c. Hipermetropia fungsional, diakibatkan oleh paralisis akomodasi. Hal ini dapat
ditemukan pada pasien dengan paralisis nervus III dan oftalmoflegia internal.
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan derajat kelainan refraksi 2,8:
a. Hipermetropia rendah (< + 2 D)
b. Hipermetropia sedang (+ 2.25 D hingga + 5 D)
c. Hipermtropia tinggi (> + 5 D)
Berdasarkan akomodasi, hipermetropia dibedakan secara menjadi 9:
a. Hipermetropia total, seluruh jumlah hipermetropia laten dan manifest yang
didapatkan sesudah diberikan sikloplegia
b. Hipermetropia laten, jumlah hipermetropia (sekitar 1 D) yang normalnya
dikoreksi oleh musculus siliaris. Derajat hipermetropia laten tinggi pada anak-
anak dan secara bertahap menurun dengan bertambahnya usia. Hipermetropia
laten hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia.
c. Hipermetropia manifest, sisa dari hipermetropia total yang tidak dikoreksi oleh
musculus siliaris. Hipermetropia ini terdiri dari hipermetropia absolut dan
fakultatif.
 Hipermetropia fakultatif, merupakan bagian yang dapat dikoreksi dengan
usaha akomodasi pasien
 Hipermetropia absolut, merupakan sisa hipermetropia manifes yang tidak
dapat dikoreksi dengan usaha akomodasi pasien

2.6 Manifestasi klinis


Gejala-gejala yang timbul pada pasien hipermetropia adalah 1,2,10:
a. Penglihatan dekat kabur, penglihatan jauh pada usia lanjut juga bisa kabur
juga bisa pada anak yang derajat hipermetrop tinggi.
b. Strabismus konvergen (esotropia) dimana posisi bola mata mengarah ke arah
nasal terjadi pada anak yang mengalami hipermetropia berat, gejala bisa
berhubungan dengan penggunaan mata untuk penglihatan dekat (membaca,
menulis, melukis ) dan biasanya menghilang jika kerjaan itu dihindari, mata
dan kelopak mata bisa menjadi merah dan bengkak secara kronis, mata terasa
berat bila ingin mulai membaca walaupun tidak lelah, bisa terjadi ambliopia.
c. Tanda dan gejala orang yang terkena penyakit rabun dekat secara obyektif
susah melihat jarak dekat atau penglihatan pasien akan rabun dan tidak jelas.
Sakit kepala frontal, fronto-temporal semakin memburuk pada waktu mulai
timbul gejala hipermetropi dan sepanjang penggunaan mata dekat.
d. Penglihatan tidak nyaman (asthenopia), lakrimasi, fotofobia, terjadi ketika
harus fokus pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang lama.
e. Akomodasi akan lebih cepat lelah terpaku pada suatu level tertentu dari
ketegangan.
f. Bila 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh penglihatan jauh
kabur.
g. Penglihatan dekat lebih cepat suram, akan lebih terasa lagi pada keadaan
kelelahan, atau penerangan yang kurang (faktor predisposisi).
h. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat
dekat jangka panjang. Jarang terjadi pada pagi hari, cenderung terjadi setelah
siang hari dan bisa membaik spontan jika kegiatan melihat dekat dihentikan.
i. Sensitif terhadap cahaya, kerana cahaya yang terfokus di retina divergen
karena titik fokus cahayanya di belakang retina.
j. Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp m. ciliaris diikuti penglihatan
suram intermiten.

2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Orang tua dapat mencurigai anak mengalami gangguan panglihatan apabila
mata anak sering merah, teriritasi atau berair, kesulitan dengan ketajaman
penglihatan, atau didapatkan mata anak juling. Anak yang lebih tua dapat mengeluh
pada orangtua atau guru mengenai gejala visual, atau ditemukan saat skrining di
sekolah atau dokter anak. Kebanyakan pasien presbiopia mengeluh tentang
bertambah sulitnya melihat dekat. Meskipun kaburnya penglihatan dekat dan
penglihatan yang tidak nyaman merupakan keluhan yang paling sering ditemukan
pada pasien hipermetropia, tidak ada keluhan yang secara spesifik patognomonis
untuk hipermetropia.7,9
b. Pemeriksaan
Beberapa tanda yang bisa didapatkan dari pemeriksaan pada pasien
hipermetropia :9
 Ukuran bola mata tampak kecil secara keseluruhan
 Kornea sedikit lebih kecil dari normal
 Bilik anterior relatif dangkal
 Pemeriksaan fundus menunjukkan sebuah optic disc kecil yang tampak lebih
vaskuler dengan pinggir tak jelas dan bahkan dapat tampak seperti papilitis
(meskipun tidak terdapat pembengkakan dari disc, sehingga disebut
pseudopapillitis). Retina secara keseluruhan dapat bersinar akibat refleksi
cahaya yang lebih cemerlang (shot silk appearance)
 Pembacaan USG dapat menunjukkan diameter antero posterior bola mata yang
kecil.
Pemeriksaan okuler yang dilakukan dalam mendiagnosis hipermetropia:
 Visual Acuity
Pasien muda dengan hipermetropia fakultatif rendah sampai sedang secara
umum memiliki visual acuity yang normal, namun ketika kebutuhan penglihatan
meningkat, mereka dapat mengalami penglihatan kabur dan astenopia. Tes visual
acuity pada pasien dengan hipermetropia tinggi, meskipun pada pasien muda, dapat
menunjukkan defisit penglihatan. Visual acuity pada pasien dengan hipermetropia
laten biasanya normal.
 Refraksi.
Retinoskopi merupakan prosedur yang digunakan secara luas untuk menilai
hipermetropia secara objektif. Prosedur yang dilakukan meliputi static retinoscopy,
subjective refraction dan autorefraction.
a) Static retinoscopy
Pasien dengan hipermetropia signifikan, hipermetropia laten atau esotropia
akomodatif dapat menyembunyikan hipermetropianya dalam pemeriksaan
retinoskopip non sikloplegik. Hipermetropia laten dapat ditemukan dengan
menggunakan sikloplegik atau metode fogging. Dengan menilai warna,
kecerahan dan pergerakan reflek retinoskopik, dapat dinilai akomodasi pasien,
fiksasi dan aspek dinamis lain dari sistem penglihatan. 7,8
Retinoskopi adalah teknik untuk menentukan obyektif kesalahan bias mata
(rabun dekat, rabun jauh, Silindris) dan kebutuhan untuk kacamata. Ketika cahaya
tersebut akan dipindahkan secara vertikal dan horizontal di mata, pemeriksa
mengamati gerakan refleks retinoskopik. Pemeriksa kemudian meletakkan lensa
di depan mata sampai gerakan dinetralkan. Kekuatan lensa yang diperlukan untuk
menetralkan gerakan adalah kesalahan bias mata dan menunjukkan kekuatan
lensa yang diperlukan untuk mengoptimalkan penglihatan dengan kacamata dan /
atau lensa kontak . 1
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan tepat, dilakukan di dalam
kamar gelap. Jarak pemeriksa dengan penderita 1 meter. Sumber cahaya terletak
di atas penderita agak kebelakang supaya muka penderita dalam keadaan gelap.
Cahayanya ditujukan pada pemeriksa yang memegang cermin, oleh cermin ini
cahaya dipantulkan kearah pupil penderita sehingga pemeriksa melalui lubang
yang terdapat di tengah-tengah cermin dapat melihat reflek fundus di pupil
penderita. Kemudian cermin digerak-gerakkan, perhatikan gerakan dari reflek
retinoskopik pada mata penderita. Bila reflek tersebut bergerak dalam arah yang
sama, ditempatkan lensa plus di depan mata pasien, dan bila bergerak dalam arah
yang berlawanan ditambahkan lensa minus sampai refleks pupil mengisi seluruh
lubang pupil dan tidak lagi dideteksi adanya gerakan dikenal sebagai titik
netralisasi.1
b) Subjective refraction
Prosedur ini lebih disukai untuk menentukan koreksi refraktif yang
diresepkan, terutama untuk pasien dewasa dan anak yang lebih tua, karena
langsung berdasarkan penerimaan pasien. Namun, pasien dengan hipermetropia
dan esotropia akomodatif sering membutuhkan koreksi refraktif yang berbeda dari
yang didapatkan pemeriksaan refraksi refraktif saja. Pemeriksaan refraksi
subjektif dapat diikuti oleh sikloplegik retinoskopi. Penggunaan siklopegik akan
meningkatkan ketepatan retinoscopy untuk memberikan ketajaman visual yang
maksimal. Dengan penggunaan obat sikloplegik, pasien dapat di nilai tanpa
pengaruh dari kontraksi yang berfluktuasi, tonic atau klonic, dari otot siliaris. Hal
ini sangat penting pada pasien usia dewasa muda dan anak yang lebih tua dimana
daya akomodasi yang masih sangat besar yang dapat menyamarkan kelainan
refraksi. Pemeriksaan refraksi subjektif terdiri dari cara trial and error serta cara
fogging.7,8
 Cara trial and error 1
1) Perkiraan anomali refraksi dari hasil pengukuran tajam penglihatan
menggunakan kartu uji snellen pada jarak 5 atau 6 m
2) Pasang gagang kacamata (trial frame) tutup satu mata.
3) Coba dengan lensa plus atau minus yang kira-kira sesuai dengan
kurangnya visus.contoh : visus 5/50 mulai dengan sferis minus 2 D atau
plus 2 D
4) Perhalus dengan menambah atau mengurangi lagi dengan lensa +/- 0,5 D
sampai visus terbaik.
5) Bila visus kurang dan tak ada kelainan mata lainnya mungkin pasien
ganggua astigmatisma.
 Cara pengaburan ( fogging ) 1
Dalam penentuan koreksi refrakti hiperopia secara total, baik dalam
penatalaksanaan esotropia anak atau penilaian kelelahan mata pada hiperopia
dewasa, keberadaan akomodasi perlu diatasi. Pada orang dewasa, hal ini
biasanya dicapai dengan teknik pengabutan (fogging) yang menggunakan
lensa-lensa plus untuk mengatasi usaha akomodasi.1Setelah pasien dikoreksi,
maka tajam penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam
penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan
menambah lensa sferis positif 3 D. Pasien diminta melihat kipas astigmatisma,
dan ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Jika pasien mengatakan
kabur, kurangi sedikit demi sedikit lensa (S+3D) sampai menjadi tegas. 1
Gambar 2.5 Pemeriksaan cara pengabutan (fogging) dengan kipas
astigmatisma1
c) Autorefraction
Pemeriksaan ini memiliki reliabilitas dan validitas yang lebih rendah dari
refraksi subjeketif. Masih sedikit instrumen yang ada yang dapat mengontrol
akomodasi secara adekuat pada anak-anak. Pemeriksaan autorefraksi non
sikloplegik kurang akurat dalam menilai hipemetropia. 9

Gambar 2.6 Autorefraktor9


 Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi
Pemeriksaan ini diperlukan karena gangguan pada fungsi visual diatas dapat
menyebabkan terganggunya visus dan performa visual yang menurun. 9
 Penilaian Kesehatan Okuler dan Skrining Kesehatan Sistemik
Kesehatan okuler harus dinilai untuk menyingkirkan atau mendiagnosis
penyakit lain yang dapat menyebabkan hipermetropia. Pemeriksaan ini dapat
berupa respon pupil, uji konfrontasi lapangan pandang, uji penglihatan warna,
pengukuran tekanan intraokuler dan pemeriksaan posterior bola mata dan adnexa. 9

2.8 Tatalaksana
Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifest,
dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan
tajam penglihatan normal. Bila terdapat esotropia diberikan kacamata koreksi
hipermetropia total. Bila terdapat tanda eksoforia, maka diberikan kaca mata koreksi
positif kurang.2
Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif
terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan
maksimal. Pada pasien di mana akomodasi masih sangat kuat , maka sebaiknya
pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegia. 2
Pasien usia muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan
karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihan benda
dengan jelas. Pada anak berusia dari yang baru lahir sampai 10 tahun dengan
hiperopia yang rendah sehingga sedang tanpa strabismus, amblopia atau gangguan
visus lain, biasanya tidak diperlukan tatalaksana, tetapi yang mempunyai penurunan
visual acuity, binocular anomaly atau gangguan visual, diperlukan terapi lanjut. Kalau
gangguan hiperopia tidak dikoreksi, anak itu mungkin mengalami masalah gangguan
belajar disekolah, gangguan persepsi visus jadi perlu penialaian yang teliti. Pada
kebanyakan anak yang hiperopia, proses emetropsi menyebabakan penurunan
bertahap derajat hiperopia dalam umur 5-10 tahun.10
Bagi yang dengan hiperopia sedang, dilakukan pemeriksaan periodik karena
dikatakan dalam risiko. Kontak lensa mungkin perlu untuk yang anisometropia, yang
hiperopia derajat tinggi dengan atau tanpa nistagmus dan pada yang hiperopia dengan
akomodatif esotropia. Screening awal untuk kelainan refraksi, biasanya dapat deteksi
hiperopia awal, tapi karena jarang pemeriksaan diawal yang menyebabkan tidak dapat
deteksi sampai sudah ke strabismus. Tatalaksana termasuk dengan menggunakan
kaca mata yang visual tunggal atau multifocal kacamata yang tergantung pada
binokular dan akomodatif status. Terapi alternative untuk ambilopia ialah patching
dan terapi visual yang aktif. Ada juga kasus yang jarang, koreksi otik dapat merubah
dari hiperopia dan akomodatif esotropia kepada eksotropia konsekutif.10
Pada kasus jarang, pasien usia muda dengan hiperopia bilateral dapat
berkembang menjadi isoametropik ambilopia karena keadaan konstan yang kabur
visual. Terapi untuk ambilopia bagi anak, memerlukan waktu beberapa tahun, tetapi
dapat sembuh sempurna dengan pemakaian full-time kaca mata dan atau patching.
Diantara anak yang gangguan secara mental dan yang cacat secara fisik, prevalensi
gangguan ocular termasuk hiperopia yang jelas daripada anak yang sehat kerana
gangguan secara verbal.9
Pada pasien yang beraktifitas dengan menggunakan mata, terutama pada usia
lanjut akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut
berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini diberikan
kacamata sferis positif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.2
Beberapa pasien dengan hipermetrop tinggi mungkin tidak terdeteksi dan
diterapi pada usia 10 - 20 tahun. Gangguan visus pada pasien ini harus dibantu
dengan koreksi optik. Terapi awal spectrum luas dipakai lensa plus minimal untuk
mereduksi gejala dan relaksasi akomodasinya. Lensa plus dengan kekuataan ½
hingga 2/3 dipakai bagi pasien yang hiperopia laten dengan hyperopia manifes.
Kedua koreksi kelainan optik atau visual terapi, penting dalam terapi akomodatif atau
disfungsi binocular yang berhubungan dengan derajat rendah sampai sedang. 10
Pada umur 30-35 tahun, pasien yang awalnya asimptomatik, yang belum
dikoreksi, mulai mengalami kabur jarak dekat dan gangguan visus. Hipemetrop
fakultatif tidak dapat lagi memberikan kenyamanan karena menurunya amplitudo
akomodasi. Hipermetrop laten sebaiknya dicurigai jika terjadi gejala yang berkaitan
dengan amplitudo akomodasi yang lebih rendah dari seharusnya umur pasien.
Retinoskopi sikloplegik dapat membantu mengidentifikasi komponen laten ini. Pada
pertengahan tigapuluhan, akomodasi nyata memanjang, sedangkan kemampuan
menurun, menyebabkan gangguan penglihatan pada pasien yang sebelumnya bebas
gejala.1,10
Koreksi kelainan refraksi :
a. Lensa Kaca mata
Kaca mata merupakan alat koreksi yang paling banyak dipergunakan karena
mudah merawatnya dan murah. Lensa gelas dan plastik pada kaca mata atau lensa
kontak akan mempengaruhi pengaliran sinar. Warna akan lebih kuat terlihat dengan
mata telanjang dibanding dengan kaca mata. Lensa cekung kuat akan memberikan
kesan pada benda yang dilihat menjadi lebih kecil, sedangkan lensa cembung akan
memberikan kesan lebih besar. Keluhan memakai kaca mata diantaranya, kaca mata
tidak selalu bersih, coating kaca mata mengurangkan kecerahan warna benda yang
dilihat, mudah turun dari pangkal hidung, sakit pada telinga dan kepala. 1,2
b. Lensa kontak
Lensa kontak juga merupakan alat koreksi yang cukup banyak dipergunakan.
Lensa kontak merupakan lensa tipis yang diletakkan di dataran depan kornea untuk
memperbaiki kelainan refraksi dan pengobatan. Lensa ini mempunyai diameter 8-
10 mm, nyaman dipakai karena terapung pada kornea seperti kertas yang terapung
pada air. Agar lensa kontak terapung baik pada permukaan kornea maka permukaan
belakang berbentuk sama dengan permukaan kornea. Permukaan belakang lensa
atau base curve dibuat steep (cembung kuat), flat (agak datar) ataupun normal
untuk dapat menempel secara longgar sesuai dengan kecembungan kornea.
Perlekatan longgar ini akan memberikan kesempatan air mata dengan mudah masuk
diantara lensa kontak dan kornea. Air mata ini diperlukan untuk membawa
makanan seperti oksigen.1
c. Bedah keratorefraktif
Salah satu terapi pembedahan yang cukup populer adalah dengan cara LASIK
atau bedah dengan sinar laser. Pada lasik yang diangkat adalah bagian tipis dari
permukaan kornea yang kemudian jaringan bawahnya dilaser. Pada lasik dapat
terjadi hal-hal berikut : kelebihan koreksi, koreksi kurang, silau, infeksi kornea,
ataupun kekeruhan pada kornea. Terapi bedah lain yang dapat dilakukan antara lain
penanaman lensa buatan di depan lensa mata, pengangkatan lensa, radikal
keratotomi dan Automated Lamelar Keratoplasty (ALK).1,7
d. Lensa intra okuler
Penanaman lensa intra okuler menjadi pilihan koreksi kelainan refraki pada
afakia. Terdapat sejumlah rancangan, termasuk lensa lipat yang terbuat dari plastik
hydro gell yang dapat disisipkan ke dalam mata melalui suatu insisi kecil; dan lensa
kaku yang paling sering terdiri atas suatu optik – terbuat dari polymetyle metacrilat
dan lengkungan optik.1,10

Gambar 2.7 Lasik dan Automated Lamellar Keratoplasty (ALK)10

2.9 Komplikasi
Komplikasi dari kelainan refraksi hipermetropia antara lain rekuren styes,
blepharitis atau kalazion muncul karena infeksi yang disebabkan kerana berulang kali
mengosok mata, untuk mereduksi dari kecapekan dan kelelahan. 9
Strabismus konvergen akomodasi, bisa muncul pada anak-anak ( biasanya
dalam umur 2-3 tahun) kerana penggunaan akomodasi berlebihan. Esotropia terjadi
akibat pasien selamanya melakukan akomodasi.9
Amblopia bisa terjadi juga. Biasanya kaena anisometropia (dalam
hipermetropia unilateral), strabismus (dalam anak yang ada juling akomodatif) atau
ametropik (terlihat pada yang hipermetrop derajat tinggi bilateral). 8
Glaukoma sudut tertutup; mata yang hipermetrop kecil dengan ruangan
kamera anterior okuli yang dangkal karena peningkatan ukuran lensa, mata lebih
rentan untuk mendapat glaucoma sudut tertutup akut. Glaukoma sekunder terjadi
akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik
mata.8

Gambar 2.8 Komplikasi Hipermeropia8


BAB III
KESIMPULAN

1. Hipermetropia adalah keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata, di mana sinar


sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang
retina.
2. Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara panjang bola mata
dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar
terletak di belakang retina.
3. Penyebab hipermetropia terdiri atas hipermetropia aksial, hipermetropia kurvatur,
hipermetropia index, letak lensa kristalina yang lebih posterior dan afakia.
4. Berdasarkan akomodasi, hipermetropia dibedakan menjadi hipermetropia total,
hipermetropia laten dan hipermetropia manifest. Hipermetropia manifest terdiri
dari hipermetropia absolut dan fakultatif.
5. Pemeriksaan refraksi terdiri atas teknik pemeriksaan secara subjektif dan objektif.
Pemeriksaan secara subjektif bergantung kepada respon pasien sedangkan
objektif dilakukan dengan menggunakan retinoskopi dan alat – alat lainnya.
6. Penatalaksanaan hipermetropia dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
penggunaan kacamata, lensa kontak, atau tindakan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan, Paul dan John P. Whitcher. 2007. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Jakarta: EGC

2. llyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Situasi Gangguan


Penglihatan dan Kebutaan. Pusat Data dan Informasi Kesehatan Republik
Indonesia

4. Anonim. Eye Anatomy. http://www.edoctoronline.com/medical-


atlas.asp?cid=1049 diakses pada tanggal 2 April 2017

5. Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta: EGC

6. Jobke, Sandra et al. 2008. The Prevalence Rates of Refractive Errors Among
Children, Adolescents, and Adults in Germany. Clinical Ophtalmology 2008:2 (3)
601-607

7. Moore, Bruce D, dkk. 2008. Care of the Patient with Hyperopia. St. Louis:
American Optometric Association

8. Khurana, AK. 2007. Comprehensive Ophtalmology. New Delhi: Elsevier

9. Mukherjee, PK. 2005. Pediatric Ophtalmology. New Delhi: New Age


International

10. Upadhay, Sanjay, 2015. Myopia, Hyperopia & Astigmatism: Acomplete Review
with of Differentiation. International Journal of Science and Research Volume 4
Issue 8

También podría gustarte