Está en la página 1de 2

MANUSIA INDONESIA MAJU BUKAN KARENA PARA PROFESOR

(Tanggapan atas tulisan Sutawi, Guru Besar Universitas Muhamadiyah Malang:”Malu Aku
Jadi Profesor di Indonesia”)

PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan ini, saya berusaha untuk meringkas inti dari tulisan Sutawi.
Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang akan diangkat, antara lain: pertama, bagi seorang
dosen, menjadi professor adalah gabungan antara ambisi, prestasi, gengsi, sensasi, dan ekonomi.
Dalam hal ini, Sutawi menegaskan gengsi dan prestasi dari PT (Perguruan Tinggi) atau dari
profesor itu sendiri. Kedua, Sutawi melanjutkan bahwasannya ada enam jenis professor yakni
profesor akademis yang hanya mengumpulkan prestasi, profesor politis yang mengejar jabatan
struktural, profesor sosialis yang menjadikan profesi sebagai status sosial, profesor kapitalis yang
berusaha memperbanyak kekayaan, professor selebritis yang mengejar jam tayang di berbagai
media, debat publik dan talk show. Sedangkan yang terakhir Sutawi golongkan sebagai professor
agamais yang menjadikan profesi dosen demi pengabdian kepada Tuhan. Ketiga, kuantitas dan
kualitas professor yang minim di Indonesia cukup berkorelasi dengan rendahnya kualitas PT di
Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa PT lain di luar negeri. Ibarat pendaki gunung,
professor adalah dosen yang telah mencapai puncak karir; setelah itu santai dan tidur-tiduran.
Yang penting, selalu menulis agar mempertahankakn tunjangan professor setiap bulan.
Akibatnya, para professor jarang menghasilkan inovasi dan teknologi bermutu tinggi.1

ISI

Pada bagian isi, saya cendrung mengkritisi ringkasan di atas. Pertama, jika memang
benar bahwa bagi seorang dosen, menjadi professor adalah gabungan dari ambisi, prestasi, status
dan ekonomi, maka perlu dilihat kembali motivasi dasar menjadi seorang professor. Hemat saya,
seleksi menjadi seorang professor tidak melulu hanya pada tulisan akademis, melainkan lebih
dari itu misalnya syarat menjadi professor harus mempresentasikan inovasi dan teknologi baru
yang berdampak pada kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Indonesia. Dengan demikian,
motivasi menjadi professor tidak terbatas hanya pada pemenuhan kebutuhan fisiologis dan

1
Compass.com, MALU AKU JADI PROFESOR DI INDONESIA, diakses pada Sabtu, 6 Agustus 2022,
19:48 WITA.

pg. 1
prestise melainkan terdorong oleh tugas mulia yakni untuk menghantar Indonesia kepada
kemajuan.

Pada catatan kritis kedua, saya berpikir bahwa kemampuan untuk mengumpulkan prestasi
bisa dilakukan semua akademisi; seorang anak SD pun terdorong untuk mengumpulkan prestasi.
Apalah artinya kalau seorang professor terkuras pikirannya hanya untuk mengoleksi prestasi.
Begitu pula penilaian saya jika seorang profesor politik mengejar jabatan structural. Bukankah
itu yang dilakukan oleh anggota legislatif yang gila kursi jabatan? Lebih miris lagi jika seorang
profesor berkutat pada level agama alias profesor agamais. Sebabnya, urusan agama berada pada
level hati nurani, moral dan alkhlak, bukan kognisi. Kedengarannya sangat menggelikan kalau
guru besar mendiskusikan sopan santun di rumah ibadat daripada mendiskusikan teknologi
mutakhir yang mampu melawan senjata teroris atas nama agama. Apalagi berbicara soal
mengumpulkan kekayaan atau profesor kapitalis istilah yang dipakai Sutawi. Lebih baik menjadi
entrepreneur yang tiada hari tanpa memikirkan strategi mengumpulkan uang. Kritikan ini
mengarah kepada sebuah kesimpulan bahwa jika tak punya kualifikasi lebih baik jangan menjadi
profesor. Karena tugas seorang profesor melampaui manusia pada umumnya.

Ketiga, saya sependapat dengan ide Sutawi yang mengatakan bahwa kualitas PT
Indonesia minim jika dibandingkan dengan PT pada negara-negara berkembang lainnya.
Lulusan-lulusan kita, tidak mengantongi inovasi baru dari para pengajar di kampus-kampus.
Malah menciptakan pengangguran dimana-mana. Ada sedikit amarah yang muncul tatkala
Sutawi menegaskan sebagian besar profesor menulis dengan dalil tunjangan. Apa bedanya
dengan saya yang menulis lebih dari dua tulisan seminggu. Atau beberapa siswa saya yang
menulis di blog pribadi.

PENUTUP
Sekurang-kurangnya, ulasan di atas sudah cukup padat untuk mengatakan kalau-kalau
masyarakat Indonesia sebetulnya menaruh harapan pada keahlian para guru besar se-Indonesia.
Tetapi melihat realitas, lebih baik kami berkembang seturut revolusi kognisi 2 pribadi ketimbang
mengharapkan para profesor yang egois atau bisa jadi karena mereka bodoh.

2
Y. N. Harari, “Homo Sapiens; Awal Pembentukan Manusia Sampai pada Kemungkinan Kepunahan”.
Penerj. Y. Mustofa (Jakarta: Penerbit PT Pustaka Alvabet, 2017), p. 112.

pg. 2

También podría gustarte