Está en la página 1de 8

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG PADA


PASIEN STROKE DENGAN PERAWATAN
PALIATIF
Case report
NURUL ISLAMIYAH (1102007203)
[Pick the date]

Abstrak : Kejang pada pasien stroke merupakan hal yang perlu diperhatikan dan diketahui apakah
terdapat hubungan antara penyakit stroke dengan angka kejadian epilepsi. Tn. N, 47 tahun
menderita stroke hipertensi dan mengalami kejang fokal berulang dalam proses
penyembuhannya. Menurut penelitian, kasus terjadinya kejang dengan penyakit stroke tidak
berkaitan namun, literatur lain menyatakan bahwa kejang merupakan salah satu komplikasi dari
stroke itu sendiri .Perawatan pasien dengan paliatif perlu dilakukan untuk memotivasi pasien dan
keluarga baik secara fisik, psikososial maupun spiritual.
ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG PADA PASIEN STROKE
DENGAN PERAWATAN PALIATIF
Abstrak. Kejang pada pasien stroke merupakan hal yang perlu diperhatikan dan
diketahui apakah terdapat hubungan antara penyakit stroke dengan angka kejadian
epilepsi. Tn. N, 47 tahun menderita stroke hipertensi dan mengalami kejang fokal
berulang dalam proses penyembuhannya. Menurut penelitian, kasus terjadinya
kejang dengan penyakit stroke tidak berkaitan, namun literatur lain menyatakan
bahwa kejang merupakan salah satu komplikasi dari stroke itu sendiri .Perawatan
pasien dengan paliatif perlu dilakukan untuk memotivasi pasien dan keluarga baik
secara fisik, psikososial maupun spiritual.

Kata kunci : Kejang, Palliative care, Stroke

Pendahuluan. Stroke didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinis gangguan


peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologis. Di seluruh dunia
stroke merupakan penyakit yang terutama mengenai populasi usia lanjut. Insidens
pada usia 75-78 tahun sekitar 10 kali dari populasi berusia 55-64 tahun. Di Inggris
stroke merupakan penyakit ke 2 setelah infark miokard akut sebagai penyebab
kematian utama, sedangkan di Amerika stroke masih merupakan penyebab
kematian ke 3. Dengan makin meningkatnya upaya pencegahan terhadap penyakit
hipertensi, diabetes mellitus dan gangguan lipid, insidens stroke di negara-negara
maju makin menurun.1

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien


dan keluarga mereka menghadapi masalah yang terkait dengan penyakit yang
mengancam jiwa, melalui pencegahan dan menghilangkan penderitaan melalui
identifikasi awal dan penilaian sempurna dan pengobatan rasa sakit dan masalah
lain, fisik , psikososial dan spiritual.10

Kejang adalah masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Diperkirakan


bahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka.
Dua puncak usia untuk insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan
setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang
berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu
akibat suatu keadaan patologik.2

Kejang merupakan suatu keadaan medis yang perlu diperhatikan dengan serius
jika terjadi terus-menerus dalam jeda waktu yang singkat. Tn. N, umur 47 tahun
dengan penyakit stroke hipertensi sejak Oktober 2009 hingga saat ini (november
2010), mengalami kejang berulang selama sepekan terakhir. Hal ini perlu
diperhatikan cara pencegahannya untuk menghentikan kejang yang kemungkinan
dapat muncul kembali kapan saja, sehingga tidak terjadi komplikasi yang
membahayakan pasien, seperti : kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi
mental akibat kejang berulang.

Presentasi kasus. Tn. N, umur 47 tahun menderita stroke hipertensi, dirawat di


salah satu rumah sakit Jakarta sejak Oktober 2009. Pasien dirujuk ke bagian
palliative care RS. Darmais pada bulan februari 2010 dikarenakan kondisinya
yang tidak menunjukan perbaikan secara signifikan. Tn. N saat ini (November
2010) dirawat dirumah oleh seorang caregiver, perawat yang diminta keluarga
pasien untuk menjaganya selama 24 jam dan keluarganya. Kondisi pasien saat ini
mengalami gangguan fungsi motorik (tetraplegi), aphasia (kesulitan atau
ketidakmampuan untuk berbicara), dan inkontinensia (tidak dapat menahan) dari
usus besar dan/kandung kemih. Pemasangan selang kateter untuk pengeluaran
urin, selang nasogatrik untuk memasukkan nutrisi yang diperlukan, dan
tracheostomy untuk membantu pernafasan, telah digunakan pasien ketika di rujuk
ke bagian palliative care. Tn. N mengalami kejang berulang selama sepekan
terakhir (awal November 2010). Dokter primer yang menanganinya memberikan
obat rutin piracetam 3 kali sehari dan stesolid supp (jika kejang berulang). Obat
diberikan hanya saat terjadi kejang dan obat dikenalkan kepada keluarga pasien,
agar dapat mengobati kejang tanpa bantuan tenaga medis.

Diskusi. pasien stroke bisa mengalami komplikasi akibat penyakitnya.


Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak otak (edema) yang terjadi pada 24
jam sampai 48 jam pertama setelah stroke. Salah satu komplikasi yang dapat
terjadi adalah kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke
perdarahan. Kejadian kejang umumnya memperberat defisit neurologik.3

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke. Hipertensi adalah
suatu kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis
(dalam jangka waktu lama). Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga
bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat diperkirakan
mempunyai keadaan darah tinggi.4

Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah


Diastolik
Normal < 120 mmHg (dan) <80 mmHg
Pre-hipertensi 120-139 mmHg (atau) 80-89 mmHg
Stadium 1 140-159 mmHg (atau) 90-99 mmHg
Stadium 2 >=160 mmHg (atau) >=100 mmHg
Table 1. Klasifikasi Tekanan Darah Pada Dewasa menurut JNC VII.4

Menurut penelitian Vania Puspitasari tentang hubungan antara stroke dengan


angka kejadian epilepsi yang dilakukan di RSUD Dr.Moewardi Surakarta, tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara stroke dengan angka kejadian epilepsi.5
Hal ini menyatakan bahwa kejang yang di alami Tn. N tidak berkaitan dengan
penyakit stroke hipertensi yang dideritanya.

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan epilepsi, yaitu :


1. Faktor fisiologis,
2. Faktor biokimiawi,
3. Faktor anatomis,
4. Gabungan faktor-faktor di atas, atau
5. Penyakit yang pernah diderita (trauma lahir, trauma kapitis, radang otak,
tumor otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomaly congenital otak,
degenarasi susunan saraf pusat, gangguan metabolism, gangguan
elektrolit, keracunan obat atau zat kimia, jaringan parut, faktor herediter).8

Kejang diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu kejang parsial dan generalisata.2
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya kejang fokal atau
umum adalah sebagai berikut :
1. Telusuri adanya paralisis setelah serangan kejang (paralisis “Todd”)
dengan memeriksa adanya refleks yang asimetri, hemiparesis. Refleks
patologis, atau posisi tungkai hemiparesis (eksorotasi).
2. Apakah bola mata mengalami deviasi tonik selama serangan kejang?
misalnya pada kejang hemisfer kiri biasanya akan terlihat deviasi bola
mata ke kanan.
3. Periksa adanya asimetrisitas kuku, jari kaki, dan ukuran anggota gerak
(diasumsikan mengalami kerusakan pada hemisfer kontralateral).
4. AVM dapat menimbulkan kejang fokal, periksa adanya bruit pada
penderita dengan kejang yang tidak ditemukan penyebabnya.
5. Kejang petit mal (kejang primer umum pada anak) dapat dicetuskan
dengan hiperventilasi. Penderita diharap menarik nafas dalam 120 kali dan
diperhatikan adanya penghentian aktivitas sesaat dan tampak seperti orang
dungu.
6. Periksa kulit dengan teliti. Penderita kelainan neurokutaneus seperti
neurofibromatosis, sklerosis tuberose, dan sindroma sturge-weber dapat
mengalami kejang.6

Pemeriksaan laboratorium penunjang juga dapat dilakukan, seperti :


1. Sebagai tambahan terhadap pemeriksaan laboratorium dasar seperti
glukosa darah, ureum, kalsium, kalium, lakukan pemeriksaan EEG
(electoensefalogram) dan MRI atau CT-Scan (MRI lebih spesifik dalam
melokalisasi kelainan sebagai penyebab kejang fokal dibanding CT) untuk
penderita dengan kejang pertama kali yang tidak diketahui penyebabnya
dan pungsi lumbal bila dicurigai adanya infeksi. Bila curiga kejang fokal
dan adanya massa yakinkan tidak ada papiledema atau pergeseran garis
tengah serebellum dilakukan pungsi lumbal.
2. Lakukan pemeriksaan EEG saat penderita waspada (terjaga) bila dicurigai
terjadi epilepsy lobus temporalis. Seringkali dengan pemeriksaan ini
didapatkan focus gelombang paku. Pada beberapa kasus, fokus gelombang
paku hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan EEG khusus (EEG
nasofaringeal, EEG sfenoidal).6
faktor predisposisi
a. Pascatrauma kelahiran,asfiksia neonatorum, pascacedera kepala
b. Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan
c. Riwayat ibu yang mempunyai risiko tinggi
d. Adanya riwayat infeksi pada masa kanak-kanak
e. Adanya riwayat keracunan
f. Riwayat gangguan sirkulasi serebral
g. Riwayat demam tinggi
h. Riwayat gangguan metabolism dan nutrisi/gizi
i. Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alcohol
j. Riwayat tumor otak, abses dan kelainan bentuk bawaan
k. Riwayat keturunan epilepsi

Gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak

Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara


berulang, dan tidak terkontrol (disritmia)

Periode pelepasan impuls yang tidak diinginkan

Aktivitas kejang umum lama akut, tanpa perbaikan


kesadaran penuh di antara serangan

Status epileptikus Kebutuhan metabolik dasar

Gangguan metabolik dasar Hipoksia otak

Kerusakan otak permanen edema

Kejang parsial Kejang umum Gangguan perilaku, alam


perasaan, sensasi, dan persepsi

Peka rangsang
Respons pasca kejang

Kejang berulang
Respons fisik : Respons psikologis :
a. Konfusi dan sulit a. Ketakutan
bangun b. Respons penolakan
5. risiko tinggi injuri
b. Keluhan sakit c. Penurunan nafsu makan
kepala atau sakit d. Depresi
otot
e. Menarik diri
Penurunan kesadaran

3. nyeri akut 1. Ketakutan


4. defisit perawatan diri 2. Koping individu tidak
efektif

Gambar 1. Patofisiologi epilepsi dan status epileptikus ke masalah keperawatan.7


Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal
terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju kearah epilepsi.
Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini, memberikan
manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai serangan konvulsif
memanjang dengan penurunan kesadaran (dapat dilihat gambar 1). Keadaan ini
dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan, hilangnya
tonus otot, serta gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan
persepsi. Sehingga epilepsy bukan suatu penyakit tetapi suatu gejala.7

Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel saraf
pada salah satu bagian otak yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan
listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. Karakteristrik kejang epileptik
adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebihan ini.
Pola awal kejang menunjukkan daerah otak di mana kejang tersebut berasal. Juga
penting untuk menunjukkan jika klien mengalami aura (suatu sensasi tanda
sebelum kejang epileptic yang dapat menunjukkan asal kejang berasal dari lobus
oksipital).7

Penatalaksanaan epilepsi meliputi upaya pencegahan dan pengobatan :


1. Pengobatan kuratif (kausal)
Selidiki adanya penyakit yang masih aktif (tumor otak, hematoma
subdural kronis) pada lesi aktif atau progresif yang belum ada obatnya
(penyakit degeneratf), lesi (idiopatik, kriptogenetik), atau lesi yang sudah
inaktif (sequel karena trauma lahir, meningoensefalitis).
2. Pengobatan preventif (rumat)
Klien dengan epilepsi cenderung mengalami serangan kejang secara
spontan, tanpa faktor provokasi yang kuat atau nyata. Pengobatan kejang
pada epilepsi perlu dilakukan untuk mencegah kejang.8

Obat yang diberikan kepada Tn. N adalah :


1. Piracetam (dijual dengan nama merek banyak) adalah obat nootropik.
Nama kimia piracetam adalah acetamida 2-oxo-1-pirolidin. Piracetam
merupakan turunan siklik dari GABA. Piracetam diresepkan oleh dokter
untuk beberapa kondisi, terutama myoklonus.11
2. Stesolid (diazepam). Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi
rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi
bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan
hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim.12

setiap muslim yang dikaruniai kesehatan oleh Allah SWT, wajib melakukan
ibadah sesuai ketentuan syari’at Islam, begitupun bagi yang sakit. Islam
memberikan keringanan kepada seorang muslim yang tidak mampu melakukan
ibadah karena penyakitnya. Allah SWT berfirman "Bertakwalah kepada Allah
SWT menurut kesanggupanmu" (Q.S At Thaghabun:16). Ketentuan-ketentuan
dalam beribadah tetap sama, tetapi caranya saja yang berbeda. Bersuci tetap
menjadi syarat sebelum melakukan ibadah. Apabila dalam keadaan sehat, setiap
orang diwajibkan menggunakan air ketika membersihkan najisnya, maka bagi
orang yang sakit, yang khawatir apabila menggunakan air maka penyakitnya akan
kambuh, maka diperbolehkan menggunakan debu atau bertayamum. Jika
bertayamum saja sulit, maka orang lain bisa membantu mentayamumkannya.
Dalam keadaan ini masih merasa kesulitan, maka sholatlah dalam keadaan yang
demikian saja. Pelaksanaan solat dilakukan dengan berdiri bagi yang mampu, jika
tidak, maka seseorang yang sakit bisa menggunakan alat bantu seperti tongkat,
menyandarkan diri ke tembok. Apabila cara itu masih dirasa berat, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan shalat dengan posisi duduk bersimpuh (iftirosy),
berbaring dengan menghadap ke kiblat dengan miring disisi kanan. Seseorang
yang menderita penyakit berat dan tidak sanggup menggerakkan badannya, maka
solatnya cukup dengan telentang menggunakan isyarat kepala atau mata.9

Simpulan. Menurut penelitian Vania Puspitasari, tidak ada hubungan antara


stroke dengan angka kejadian epilepsi5. Hal ini menyatakan bahwa sesugguhnya
kejang yang di alami Tn. N tidak berkaitan dengan penyakit stroke yang di
dideritanya. Literatur lain menyatakan bahwa salah satu komplikasi dari stroke
yaitu timbulnya kejang yang disebabkan oleh bengkak otak (edema)3. Hal ini
bertentangan dengan hasil penelitian tersebut. Kejang yang di alami Tn. N harus
ditinjau lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya. Tn. N tidak melakukan
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kausa kejangnya, dikarenakan kondisi
fisik yang lemah dan peralatan medik yang terbatas di rumahnya.
Penatalaksanaan kejang dapat dilakukan secara kausal ataupun preventif seperti
yang dijelaskan pada bagian diskusi.

Ucapan Terimakasih.
Terimakasih Saya ucapkan kepada DR. Drh. Hj. Titiek Djannatun (Koordinator
Penyusun Blok Elektif), dr. Hj. RW. Susilowati, Mkes (Koordinator Pelaksana
Blok Elektif), dr. Hj. Riyani Wikaningrum, DMM. MSc. (Koordinator Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan), dr. Sri Mukti Suhartini, Mkes. AIFM
(Koordinator KBK), dr. Aan (Tutor Pendamping Bidang Kepeminatan Perawatan
Paliatif Kelompok 2), dr. Maria A. Witjaksono (Koordinator Kunjungan
Lapangan), dr. Risma dan Suster Dwi serta teman-teman kelompok 2 bidang
kepeminatan perawatan paliatif.
Daftar Pustaka

1. Martono H, Kuswardani T. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta
Pusat : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;. Chapter 321, Stroke dan Penatalaksanaannya oleh Internis. 1411p.
2. Lombardo MC. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed.
Vol. 2. Jakarta : EGC;. Chapter 55, Gangguan Kejang. 1157-61p.
3. Bethesda Stroke Center: Komplikasi pada Penderita Stroke (internet). Cited 2010
Dec 7. Available from :
http://www.strokebethesda.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id
=33
4. Wikipedia Bahasa Indonesia: Tekanan Darah Tinggi (internet). 2010 nov 30
(cited 2010 Dec 7). Available from : http://id.wikipedia.org/wiki/Hipertensi
5. Puspitasari V. Hubungan antara Stroke dengan Angka Kejadian Epilepsi:
Hubungan antara Stroke dengan Angka Kejadian Epilepsi di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta (internet). 2010 jun 2 (updated 2010 Sep 30; cited 2010 dec
7). Available from : http://id.shvoong.com/medicine-and-
health/pathology/2008757-hubungan-antara-stroke-dengan-angka/
6. Weiner HL, Levitt LP. 2000. Buku Saku Neurologi. 5th ed. Jakarta : EGC. 95-6p.
7. Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Lenteng Agung : Salemba Medika. 442-3p.
8. Batticaca FB. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Lenteng Agung : Salemba Medika.120-1p.
9. RSI Sultan Agung : Shalat bagi Orang Sakit (internet). 2009 Nov 19 (cited 2010
Dec 7). Available from :
http://rsisultanagung.co.id/v1.1/index.php?option=com_content&view=article&id
=367:shalat-bagi-orang-sakit&catid=10:agama&Itemid=49
10. World Health Organization : WHO Definition of Palliative Care (internet). Cited
2010 Dec 7. Avaolable from : http://www.who.int/cancer/palliative/definition/en/
11. NetDoctor.co.uk : Piracetam (internet). 2004 Jul 8. Retrivied 2009 Sep 21.
Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/piracetam
12. Arozal W and Gan S. 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia;.
Chapter 10, Psikotropik. 188p.

También podría gustarte