Está en la página 1de 221

1 BAB I PENDAHULUAN

Pembelajaran untuk anak dengan kebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu pola tersendiri sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing anak bersangkutan yang saling berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam penyusunan

program pembelajaran untuk setiap bidang studi hendaknya guru kelas sudah memiliki data-pribadi setiap peserta didiknya berkaitan dengan karakteristik spesifik, kemampuan dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki dan tingkat perkembangannya. Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan fungsional, meliputi tingkat perkembangan: sensorimotor, kognitif, kemampuan berbahasa, keterampilan diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi sosial, serta kreativitasnya. Untuk mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari setiap siswa, seorang guru terlebih dahulu melakukan skrining atau asesmen agar mengetahui secara jelas mengenai kompetensi diri peserta didik bersangkutan agar saat memprogramkan pembelajaran sudah dipikirkan matang-matang bentuk intervensi pembelajaran yang dianggap cocok. Asesmen disini adalah proses kegiatan untuk

mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial, melalui pengamatan yang sensitif dan biasanya memerlukan penggunaan instrumen khusus secara baku atau dibuat sendiri oleh gurukelas.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Guru yang mumpuni adalah guru yang mampu mengorganisir kegiatan belajar-mengajar di kelas melalui program pembelajaran individual dengan

memperhatikan kemampuan/ kelemahan

setiap individu siswa.

Pola kegiatan

pembelajaran ini kita kenal dengan nama lain sebagai individualized educational program (IEP). Selama proses kegiatan pembelajaran, guru kelas ditantang untuk dapat memberikan intervensi khusus guna mengatasi bentuk kelainan-kelainan perilaku yang muncul., agar pembelajaran dapat berjalan lancar. Oleh sebab itu guru hendaknya dapat menyusun program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didiknya, berisikan cara atau bentuk intervensi yang akan dilakukan guna mengatasi permasalahan yang ada saat pembelajaran berlangsung. Intervensi-khusus yang dipersiapkan guru bisa berbentuk suatu pola latihan-khusus atau dapat juga disusun dalam bentuk motivasi yang menggunakan cara reinforcement, disertai dengan pemberian petunjuk-petunjuk khusus (signal cues) yang dilakukan dengan keterarahanwajah bagi anak dengan hendaya pendengaran dan berbicara (hearing and language impairment). Cara pemberian reinforcement oleh guru atau penguatan perilaku terhadap peserta didik dapat dicapai secara optimal manakala guru-kelas benar-benar memahami dan mengetahui secara tepat perilaku sasaran (target behavior) dari masing-masing siswa. Umumnya guru bersangkutan secara terus-menerus harus mampu mempelajari dan memahami pengetahuan tentang teori belajar yang menerapkan operant conditioning (antecedent, behavior, dan consequences atau ABC Model (Wallace & Kauffman, 1978 dalam Patton, 1986:97; Schloss, 1984:83).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Operant conditioning merupakan cara pemberian motivasi belajar melalui modifikasi perilaku sasaran yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lingkungan, serta disusun secara sistematik. Terdapat tiga motivasi belajar, yaitu: (1) social reinforccment misalnya pemberian hadiah, menyentuh tangan anak, atau memeluk dengan sepenuh perasaan; (2) tangible misalnya pemberian makanan kesukaannya, uang atau ganjaran berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan yang merupakan bentuk penghargaan seperti diberikannya suatu kegiatan bermain, pemberian waktu bebas, mendengarkan musik kesukaannya, dan (3) negative consequences, diberikan jika muncul perilaku-perilaku yang tidak diharapkan, misalnya pemberian time out atau istirahat dari kegiatan yang sedang berlangsung terhadap anak yang menunjukkan perilaku suka mengamuk, atau mengganggu. Perbedaan karakteristik setiap peserta didik dengan kebutuhan khusus, memerlukan kemampuan guru berkaitan dengan cara mengkombinasikan kemampuan dan bakat setiap anak dalam beberapa aspek yang meliputi: kemampuan berfikir, melihat, mendengar, berbicara, dan cara bersosialisasi yang kesemuanya itu di arahkan ke pada keberhasilan dari tujuan akhir pembelajaran, yaitu perubahan perilaku ke arah kedewasaan. Kemampuan guru semacam itu, merupakan kemahiran seorang guru dalam menyelaraskan keberadaan siswanya dengan kurikulum yang ada kemudian diramu sedemikian rupa menjadi sebuah program pembelajaran individual. Program

pembelajaran individual tersebut diarahkan kepada hasil akhir berupa kemandirian setiap siswa. Kemandirian setiap peserta didik sangat berguna bagi diri peserta didik

bersangkutan untuk dapat hidup dan menghidupi diri pribadinya tanpa bantuan-khusus
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

4 dari orang lain. Bantuan khusus dimaksudkan adalah pertolongan-pertolongan khusus dari orang-orang sekitarnya dalam kehidupan nyata setelah peserta didik bersangkutan menyelesaikan program pembelajaran di sekolah. Hasil akhir dari program pembelajaran semacam ini secara konseptual adalah mengarahkan para siswa dengan kebutuhan khusus untuk mampu berperilaku sesuai dengan lingkungannya atau berperilaku adaptif. Perilaku adaptif diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik untuk dapat mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang tengah terjadi dalam masyarakat lingkungannya. Perilaku adaptif secara khusus merupakan kemampuan berperilaku

merespon tuntutan lingkungan, melalui komposisi beberapa aspek perilaku dan fungsinya dengan melibatkan salah satu kemampuan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan. Beberapa kombinasi yang terlibat dalam keseluruhan proses penyesuaian meliputi aspekaspek: intektual, fisik, gerak, motivasi diri, sosial dan sensori (Smith, et al., 2002:95; Patton, et al., 1986:131; Kelly & Vergason, 1978:5). Model pembelajaran terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus, yang dipersiapkan oleh para guru di sekolah, ditujukan agar peserta didik mampu untuk berinteraksi terhadap lingkungan sosial yang disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik yang paling dominan dan didasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi sesuai dengan Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan yang telah dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2002. Kompetensi ini terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi: kompetensi fisik, kompetensi afektif, kompetensi sehari-hari, dan kompetensi akademik (Greenspan, 1997:131, dalam Smith et al., 2002:95).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

5 Selanjutnya model bimbingan terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus seyogyanya difokuskan dahulu terhadap perilaku yang non-adaptif atau perilaku salah suai sebelum mereka melakukan kegiatan program pembelajaran individual. Bimbingan semacam ini akan dapat diterapkan melalui upaya-upaya pengkondisian lingkungan yang dapat mencapai perkembangan optimal dalam upaya mengembangkan perilaku-perilaku efektif sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya dengan mengacu kepada teori-teori tentang perkembangan kepribadian dari Freud, Erickson, dan Maslow yang

dikembangkan sesuai dengan keberadaan peserta didik di sekolah (Gumaer, J., 1984:7; Kartadinata, S., 2002:1).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

6 BAB II PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL Sebutan populer untuk program pembelajaran individual seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan adalah individualized educational program (IEP). Program tersebut diprakarsai oleh Samuel Gridley Howe tahun 1871 (Abdurrahman, M. 1995:1). Bentuk pembelajaran semacam ini merupakan layanan yang lebih terfokuskan kepada kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik. IEP sangat erat kaitannya dengan tiga komponen utama, yaitu: (1) Tingkat kemampuan atau prestasi (performance level), yang diketahui setelah dilakukan asesmen melalui pengamatan dan tes-tes tertentu. Melalui informasi berkaitan dengan tingkat kemampuan atau prestasi, maka diharapkan para guru kelas dapat mengetahui secara pasti kebutuhan pembelajaran yang sesuai untuk siswa yang bersangkutan. Informasi umumnya berkaitan dengan kemampuan-

kemampuan akademik, pola perilaku khusus, keterampilan untuk menolong diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari, bakat vokasional, dan tingkat kemampuan berkomunikasi. Tingkat prestasi mengacu kepada pernyataan yang bersifat dataspesifik tentang bidang studi yang dapat dipakai sebagai sasaran pembelajaran, dan lebih menekankan kepada informasi pada aspek-aspek positif dari setiap peserta didik, artinya memandang anak didik dengan kebutuhan khusus dengan apa yang bisa ia lakukan, bukan dengan memandang kelainan apa yang ia sandang dan menjadi hambatan pembelajarannya. (2). Sasaran program tahunan (annual goals). Komponen ini merupakan kunci

komponen pembelajaran karena dapat memperkirakan program jangka-panjang


Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

7 selama kegiatan sekolah, dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran antara (terminal goals) yang dituangkan ke dalam program semester. (3). Sasaran jangka-pendek atau Short-Term Objective. bersifat sasaran antara yang diterapkan setiap Sasaran jangka-pendek ini semester dalam tahun yang

berjalan. Sasaran ini semestinya sudah dikonsepkan oleh guru kelas sebelum penerapan program IEP, sehingga dipakai sebagai acuan dalam proses

pembelajaran dan dikembangkan guna mencapai kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik (dapat diamati dan dapat diukur). Kemampuan spesifik itu

berorientasi kepada kebutuhan siswa bersangkutan (student-oriented), dan mengarah kepada hal-hal yang positif . Kemampuan spesifik itu hendaknya dapat memenuhi kriteria-kriteria keberhasilan tertentu untuk suatu tugas yang

disampaikan kepada peserta didik bersangkutan dalam upaya mencapai sasaran tahunan saat disampaikan dalam proses pembelajaran (Polloway, E. A. and Patton J,R,; 1993:41-45). Perlu diperhatikan bahwa tugas-tugas yang disampaikan dalam IEP hendaknya mengarah kepada perkembangan kedewasaan anak sesuai dengan sasaran akhir jangka pendek yang konsisten dengan sasaran jangka-tahunan. Sasaran-sasaran tersebut dipilahpilah menjadi bagian demi bagian sehingga tugas-tugas dapat mudah dilakukan oleh peserta didik bersangkutan (bersifat task-analysis). Dengan demikian maka IEP

merupakan bentuk pembelajaran yang mengacu kepada perkembangan keterampilan khusus dan perilaku adaptif dan sesuai dengan penggunaan model ABC pada Operant Conditioning.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

8 Karena mengacu kepada satu sasaran utama, yaitu annual goals, maka dalam program semacam ini diperlukan perumusan tujuan pembelajaran khusus dengan menggunakan kata kerja operasional (umumnya mengutamakan ranah psikomotor, dari pada penggunaan ranah pengetahuan atau afektif) untuk setiap tujuan yang akan dicapai dalam program pembelajaran, melalui suatu kegiatan belajar-mengajar (Abdurrahman. M., 1995:4). Kemampuan, kelemahan, minat peserta didik, dan tujuan kurikuler yang ditetapkan merupakan titik awal guna mengembangkan tujuan-tujuan khusus

pembelajaran.

Informasi untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan peserta didik,

diperoleh melalui: (1) hasil tes-awal atau pre tes, sebelum peserta didik melaksanakan suatu program pembelajaran, dilakukan dengan pengamatan oleh tim-terpadu dari beberapa disiplin ilmu termasuk guru-kelas dan orang tua peserta didik dan tes-tes tertentu yang sesuai dengan kondisi dan keberadaan peserta didik, (2) hasil-hasil tes formal selama proses identifikasi dan seleksi, (3) hasil evaluasi dan pengamatan informal oleh guru kelas dan guru bidang studi, (4) hasil survey tentang minat dan kebutuhan sebenarnya dari peserta didik bersangkutan, (5) hasil evaluasi terhadap pendapat orang tua peserta didik melalui daftar cek atau kuesioner. (6) hasil informasi dari berbagai sumber yang relevan misalnya data dari guru bidang studi, kepala sekolah, ahli terapi, kalangan medis dan para-medis. Semua hasil

analisis terhadap informasi tersebut dapat menentukan profil peserta didik

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

9 bersangkutan. Hasil analisis sangat membantu guru kelas dalam membuat dan

menentukan bentuk-bentuk intervensi program pembelajaran yang bersifat individu. Saat dilakukan kegiatan skrining pada calon siswa untuk ditentukan secara pasti sebagai siswa dengan kebutuhan khusus, seorang guru perlu mempertimbangkan beberapa aspek hasil pantauan dan pengamatan yang tercantum di atas, terutama yang berkaitan dengan konteks lingkungan. Secara administrasi siklus pengumpulan data dan penetapan seorang anak sebagai peserta didik dengan kebutuhan khusus yang akan menerima individualized educational program (IEP), dapat dilihat pada Gambar 2.1 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi dan Penempatan Peserta Didik ke dalam Pendidikan Luar Biasa pada halaman berikut. Menurut Salvia dan Ysseldyke (1981:3-4 dalam Delphie, 2005:36) bahwa skrining atau asesmen yang dipergunakan dalam lingkungan pendidikan luar biasa merupakan suatu proses yang beraneka segi (multifaceted process) yang melibatkan lebih dari hanya sekedar administrasi tes. Proses yang beraneka segi melibatkan tiga aspek pokok, selain perilaku sasaran (target behavior), yakni: (1) kondisi sebelumnya yang melatarbelakangi perilaku non-adaptif, atau maladjustment disebut dengan nama lain: antecedent conditions; (2) karakteristik-karakteristik khusus dari orang/ siswa bersangkutan yang bersifat pribadi, disebut dengan related personal characteristics; dan (3) konsekuensikonsekuensi yang akan diterima setelah dilakukannya program pembelajaran individual, disebut dengan consequences. Semua hasil identifikasi dari nomor (1) sampai (3)

tersebut sangat berpengaruh terhadap kekuatan suatu perilaku sasaran yang akan dikembangkan ke arah perilaku positif dalam suatu program pembelajaran khusus.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

10
1. RUJUKAN GURU

(Catatan-catatan dari penngawas SD, menghubungi orang tua siswa, observasi guru, dan kemudian memberikan rujukan ke pada Kepala Sekolah)

10 Hari 2. SKRINING OLEH TIM PANITIA


(Dilakukan oleh guru, Kepala Sekolah, psikolog, perawat, dokter, ahli terapi - guna mendapatkan rekomendasi - dilanjutkan ke prosedur berikutnya atau dikembalikan ke kelas reguler).

STOP

20 Hari

3. REKOMENDASI OLEH 5 KOMPONEN


-Orang tua yang memberikan evaluasi tentang anaknya mengenai: cara berbicara, berbahasa, dan daya pendengaran. -Asesmen pendidikan -Laporan hasil Skrining oleh Tim Panitia Khusus -Rujukan dari guru pengamat -Kepala sekolah.

(Waktu Evaluasi: 45 Hari)

4. REKOMENDASI DARI 3 KOMPONEN


(Psychological, Sociological, Physical (Medical)

5. PANITIA PENGESAHAN
Terdiri atas: Guru, Orang tua, para ahli pendidikan, Psikolog, Pengawas PLB, Konselor, dan Speech Terapist.

STOP

20 Hari 6. PROGRAM PENDIDIKAN INDIVIDUAL (IEP)

7. PENEMPATAN SISWA PADA PROGRAM KEGIATAN SEKOLAH YANG COCOK DENGAN KEBERADAANNYA

Gambar 2.1 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi Dan Penempatan Peserta Didik ke dalam Pendidikan Luar Biasa
(Patton, et al., 1986:319 dalam Delphie, 2005:51)
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

11 BAB III OPERANT CONDITIONING

A. Pengertian Operant conditioning merupakan pengkondisian karakteristik perilaku tertentu terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus. Secara alamiah proses dari

pengkondisian karakteristik perilaku tertentu sangat diperlukan terhadap kejadiankejadian yang berkaitan dengan perilaku yang mempunyai spesifikasi sulit.

Kemungkinan diterapkannya operant conditioning terhadap perilaku-perilaku khusus berkaitan dengan seringnya kemunculan perilaku salah suai berhubungan dengan waktu dan intensitasnya. Cohen, Liebson dan Fallace (1971) dalam penelitiannya telah

memanfaatkan situasi kebiasaan minum minuman beralkohol terhadap para pemabuk berusia 39 tahun yang menjadi responden penelitiannya, untuk mengevaluasi pengaruhpengaruhnya terhadap perilaku tertentu. Sebagai alat intervensi adalah 24 ons ethanol setiap hari, sedangkan keseluruhan minuman beralkohol yang dikonsumsi selama

kegiatan tergantung pada ukuran masing-masing responden. Ketika operant conditioning mempunyai pengaruh, subjek ditempatkan dalam lingkungan yang mengkonsumsi susu kadar tinggi. Tindakan ini dilakukan jika subjek mengkonsumsi kurang dari 5 ons

ethanol dalam minuman beralkohol setiap harinya. Pola penguatan atau reinforcement terhadap responden berupa negative consequences, yaitu jika mengkonsumsi lebih dari ukuran 5 ons ethanol setiap hari maka yang bersangkutan akan berakibat kehilangan hakhak istimewa untuk hari-hari berikutnya.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

12 Situasi minum sehari-hari memerlukan pengamatan terhadp perubahanperubahan dalam cara minum sebagai fungsi dari kemungkinan-kemungkinan diterapkannya operant conditioning. Ketika operant conditioning mempunyai pengaruh, maka subjek atau pelaku diarahkan untuk meminum ethanol pada tingkat di bawah 5 ons perharinya. Operant conditioning ini dipergunakan juga untuk hal yang sama terhadap efek-efek penguatan melalui pemberian uang dan diberikannya kesempatan berkunjung ke teman kencannya dalam upaya menurunkan kebiasaan meminum jenis minuman keras atau beralkohol tinggi. Seperti apa yang dipahami oleh Skinner (1938), operant conditioning merupakan intervensi-pembelajaran yang esensial terhadap perilaku yang dapat mempengaruhi consequences (s) sebagai bentuk paradigma yang sederhana untuk dipakai sebagai penguatan yang bersifat positif atau positive reinforcement: R SR .

Kemungkinan yang muncul akibat reinforcement ( S R ) akan terjadi respon khusus ( R ) Kesatuan hubungan yang terjadi diantara respons dan reinforcement merupakan salah satu faktor operant yang sangat berbeda dari kondisi yang dilakukan oleh Pavlov. Di sisi lain, secara esensial paradigma Thorndike (1911) berkaitan dengan low of effect menyatakan bahwa respon-respon yang diikuti dengan adanya akibat (consequences) yang memuaskan menjadikan hubungan situasi lebih kuat. Sebagai

contoh dari operant conditioning, seekor tikus dalam operant Chamber sebagai penguat --- diberi penguatan melalui makanan, kemudian penguat lebih mendapatkan tekanan jika respon diberi penguatan hanya sebagai bentuk rangsangan khusus berupa stimulus yang diskriminatif ( S R ), maka paradigma menjadi S
D

S R . Sebagai

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

13 contoh, tikus diberi penguatan ( S


R

) sebagai bentuk penekanan terhadap respon ( R )

terhadap cahaya yang diberikan bersamaan dengan pemberian makanan ( S D ). Lebih jauh, Skinner telah mengemukakan pendapatnya bahwa tugas utama ilmu psikologi hendaknya dapat menganalisis fungsional perilaku. Seorang ahli psikologi mampu menentukan apa fungsi dari perilaku penyebab (antecedents ) dan akibat perilaku (consequences). Pendekatan ini berdasarkan atas suatu model perilaku yang telah

dipergunakan secara luas sebagai bentuk pendekatan operant terhadap perilaku manusia, sehingga pendekatan dalam mengkarakteristikkan respon atau perilaku ini menjadi model perilaku yang menerapkan pendekatan pengkarakteristikkan perilaku manusia seperti berikut.

A (Antecedents)

B (Behavior)

C (Consequences)

Operant conditioning merupakan faktor penting dalam pengembangan berbagai bentuk perilaku bermain dan perilaku sosial anak disamping dapat meningkatkan hargadiri dan kemampuan kontrol-diri (Bijaou & Baer, 1967). Selanjutnya Skinner

mengaplikasikan konsep-konsep operant untuk memahami kehidupan sehari-hari (1953), dan pengembangan masyarakat yang tidak praktis (1948). Aspek-aspek utama operant conditioning dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Acquisition atau kemahiran: merupakan tanggapan-tanggapan diikuti dengan penguatan dan peningkatan kekuatan respon hingga mencapai maksimal.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

14 2. Extinction occurs atau terjadinya penghentian: jika respon yang terjadi tidak sesuai maka dengan waktu tidak lama secara bersamaan dengan dilakukannya penguatan, kegiatan yang sedang berlangsung dihentikan juga. Hal ini dimungkinkan terjadi penerimaan perilaku yang terjadi hanya sekali. 3. Spontaneous Recovery atau rekoveri secara spontan: dilakukan dalam situasi beberapa saat setelah extinction dimana terjadi lagi respon-respon organ tubuh tetapi pada tingkat rendah. 4. Generalization and Discrimination atau penggeneralisasian dan diskriminasi: bila tanggapan-tanggapan mengarah kepada terjadinya satu stimulus

diskriminatif, anak akan melakukan respon terhadap rangsangan atau stimuli yang sama tetapi secara eksplisit tidak terjadi penguatan dalam merespon terhadap stimulus ke dua. Alat organ tubuh secara umum akan mempelajari respon hanya pada stimulus atau rangsangan yang pertama. 5. Punishment atau hukuman: tanggapan-tanggapan menjadi lebih rendah jika dilakukan hukuman positif atau penarikan rangsangan-keinginan (yang bersifat hukuman negatif). Karena hukuman khusus berupa penguatan hukuman yang positif mempunyai variasi dari consequences yang tidak diinginkan. Dalam hal ini para ahli operant menyarankan cara lain berupa kontrol-perilaku (behavioral control).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

15 B. Isue-isue Penting dalam Operant Conditioning berupa: a. Nature of the Operant Konsep-konsepnya berdasarkan suatu pandangan yang menyatakan bahwa walaupun kita sering membicarakan tentang tanggapan-tanggapan konsep Skinner (1928) tentang operant atau penguatan yang menitikberatkan hasil keluaran secara khusus dari pada hanya respon-respon atau tanggapan-tanggapan yang dilakukan oleh gerakangerakan otot tertentu secara khusus. Bila anak menerima penguatan untuk melakukan dorongan terhadap panel (sebagai instrumen tertentu), maka dorongan terhadap panel merupakan pengkondisian tertentu. Tidak perduli apakah anak menekan dengan

menggunakan tangan yang kiri atau kanan, dengan kaki kiri atau kanan bahkan mungkin dengan hidungnya. Dalam keadaan seperti ini, pengaruh perilaku lebih dipentingkan dari pada bentuk tanggapan atau respon.

b. Timing of Reinforcement and Punishment atau waktu untuk melakukan penguatan dan hukuman. Secara umum, rangsangan penguatan dan hukuman dapat mempengaruhi kinerja yang tinggi jika secara segera diikuti dengan respon yang terjadi antara target responses dan reinforcement. Respon tersebut akan menjadi lebih dikuatkan Hukuman seringkali lebih efektif jika disampaikan terhadap anak manakala anak menunjukkan tanda-tanda yang menunjukkan respon yang tidak menyenangkan atau tidak diharapkan. Pada anak yang berusia lebih dewasa, waktu antara respon dan reinforcement atau punishment dapat dijembatani melalui ucapan-ucapan dari guru kelas selaku konselor.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

16 Sewaktu reinforcement dan punishment dilakukan, kata-kata yang digunakan hendaknya dapat mengarah kepada situasi asli sewaktu perilaku anak bersangutan muncul. Aronfreed (1968) telah mendemonstrasikan bagaimana seorang konselor meningkatkan keefektifan suatu hukuman yang ditunda dalam upaya menghambat perilaku salah suai yang tidak diinginkan.

c.. Schedule of reinforcement Tanggapan atau respon hanya dapat diperkuat bersifat sebentar, tidak bersifat secara terus-menerus. Misalnya, reinforcement dapat dilakukan setelah respon yang ke empat dan tidak diberikan untuk setiap kali adanya respon. Salah satu penemuan Skinner yang menyatakan bahwa pemberian penguatan secara temporer atau bersifat sebentar, dan dilakukan secara sistematik dapat meningkatkan perilaku yang baik secara terus-menerus. Pemberian penguatan terhadap respon secara bagian per bagian jauh lebih bersifat melawan terhadap pemunahan perilaku salah suai dari pada jika dilakukan secara 100% terhadap penguatan respon-respon.

d. Primary Vs Conditioned (Secondary) Reinforces Stimuli atau rangsangan yang berbeda merupakan penguatan yang diberikan terhadap anak-anak dan orang dewasa dengan membuat penguatan-penguatan yang bersifat universal dan bersifat menyulitkan untuk diidentifikasi, mempunyai jenjang yng berbeda setiap reinforcer tertentu meskipun hanya beberapa bagian, seperti permen karet mempunyai kegunaan yang tinggi untuk diterapkan terhadap beberapa anak muda.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

17 Keistimewaan yang dikandung dalam nilai-nilai reinforcers adalah dapat dipergunakannya untuk menyusun prinsip-prinsip yang berhubungan dengan prinsipprinsip metode pembelajaran yang bersifat mengaktifkan para peserta didiknya untuk melakukan penemuan sendiri (inquary). e. Positive and Negative Reinforcement Penguatan yang diberikan terhadap peserta didik hendaknya dapat meningkatkan perilaku non-adaptif menjadi perilaku adaptif. Penguatan bersifat positif dapat terjadi ketika respon atau tanggapan diikuti dengan pemunculan kejadian-kejadian yang lebih baik. Penguatan negatif terjadi ketika tanggapan diikuti dengan penghentian dari

kejadian yang tidak diharapkan.

f. Shaping atau pengkondisian Terkadang tanggapan yang diinginkan tidak terjadi pada pengulangan perilaku pada suatu kasus yang tidak terjadi atau tidak diikuti dengan tanggapan atau respon, sehingga memerlukan penguatan. Seperti yang terjadi pada kasus operant psikologis dengan menggunakan shaping atau pengkondisian. Kasus tersebut telah diteliti oleh Harris, Wolf dan Baer di tahun 1964 dengan cara mengamati anak remaja yang sedang asyik bermain sendirian tanpa teman. Berdasarkan perkembangan sosial anak, maka pengkondisian terhadap anak remaja dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sasaran perilaku atau behavior target melalui permainan interaktif bersama dengan anak-anak lain. Kegiatan

permainan ini diarahkan oleh guru pada tingkat sekolah dasar agar guru dapat melakukan penguatan dengan cara memperhatikan dan menyetujui saat individu anak melakukan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

18 permainan interaktif. Guru hendaknya tidak bersikap acuh saat peserta didiknya

bermain sendirian tanpa teman, tetapi berilah penguatan terhadap peserta didiknya terutama saat bersangkutan melihat anak-anak lain sedang bermain bersama-sama. Selanjutnya arahkan individu anak untuk turut serta dalam permainan bersama temantemannya. Permainan secara interaktif dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran tertentu sangat sukses khususnya saat dilakukan pengendalian perilaku tertentu atau shaping.

g.. Implication for Educators atau implikasi untuk para guru Para guru dan mereka yang menangani anak-anak yang mempunyai perilaku tertentu, hendaknya lebih sensitif saat mereka berinteraksi. Perilaku peserta didik yang kurang hati-hati seringkali perlu mendapat penguatan atau hukuman. penentuan persepsi Lebih jauh,

peserta didik bersangkutan apakah diperlukan bentuk-bentuk

pemberian hadiah atau hukuman. Misalnya, Guru kelas selaku konselor memberikan teriakan-teriakan terhadap peserta didik yang berkelakuan salah suai yang dianggap tidak baik. Teriakan guru tersebut dapat menjadi suatu hukuman bagi peserta didik

bersangkutan. Sangat mungkin terjadi pemberian penguatan hanya bersifat sementara terhadap perilaku salah suai, yang kemunculannya tidak diinginkan. Tetapi dapat

diterapkan sepanjang dapat meningkatkan secara terus-menerus bentuk pemadaman atau penghentian perilaku yang tidak diinginkan, bersifat extinction. Dalam mengatasi peserta didik berkebutuhan khusus, khususnya mereka yang menyandang kelainan hambatan perkembangan mental, diharapkan guru kelas akan lebih

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

19 banyak memberikan penguatan yang bersifat tangible dalam upaya pembentukan kinerja peserta didik.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

20 BAB IV KARAKTERISTIK ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS (Children with Special needs)

Anak dengan Kebutuhan khusus yamg paling banyak mendapat perhatian guru menurut Kauffman & Hallahan ( 2005:28-45), antara lain adalah sebagai berikut. a. Tunagrahita (Mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hendaya perkembangan (Child with development impairment), b .Kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah (Specific Learning Disability) c. Hyperactive (Attention Deficit Hyperactive with Disorder) d. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder) e. Tunarungu wicara (Communication disorder and deafness) f. Tunanetra (Partially seing and Legally blind) atau disebut dengan anak yang mengalami hambatan dalam penglihatan g. Anak Autistik (Autistic children) h. Tunadaksa (Physical disability) i. Tuna ganda (Multiple Handicapped) l. Anak berbakat (Giftedness and special talents).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

21 A. ANAK TUNAGRAHITA (ANAK DENGAN HENDAYA PERKEMBANGAN) 1. Karakteristik Anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rerata, dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap perilaku adaptif selama masa perkembangan hidupnya dari 0 tahun hingga 18 tahun, sesuai dengan batasan dari AAMD (Grossman,1983:11) sebagai berikut. Mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior and manifested during the developmental period (Smith, Ittenbach, and Patton, 2002:54; Hallahan & Kauffman, 1991:80).

Definisi AAMD (1983) mengisyaratkan adanya: kemampuan intelektual jika diukur dengan WISC-III (1991) mempunyai skor IQ 70. dan mempunyai hambatan pada komponen yang tidak bersifat intelektual, yakni perilaku adptif (adaptive behavior). Dewasa ini berdasarkan hasil penelitian dari Greenspans (1997) berkaitan dengan keterampilan praktis, keterampilan konseptual dan keterampilan sosial, maka pengertian perilaku adaptif mengalami perubahan pandangan semula perilaku adaptif hanya bersifat komponen pelengkap yang dianggap kalah pentingnya dengan kemampuan intelektual sekarang perilaku adaptif justru sama pentingnya dengan kemampuan intelektual dalam menentukan apakah seorang-individu termasuk sebagai tunagrahita atau bukan. Bidang perilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk di observasi meliputi: 1). Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan, minum, menyuap, berpakaian, pergi ke WC, berpatut diri, dan memelihara kesehatan diri. 2). Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak (gross dan fine motor).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

22 3). Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif. 4).Ketrampilan sosial, meliputi keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi, berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan, perilaku seksual, tanggungjawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu luang, dan ekspresi emosi. 5). Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti pengetahuan tentang warna), membaca, menulis, fungsi fungsi: pengenalan terhadap angka, waktu, uang dan pengukuran. 6). Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka, berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan diri, memelihara diri secara praktis. 7). Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, kegiatan di bank, dan cara mengatur pembelanjaan. 8).Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan memperbaiki barang-barang yang ada di rumah, cara membersihkan atau mencuci, keterampilan dapur, dan menjaga keselamatan rumahtangga. 9). orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan, memanfaatkan sumber-sumber lingkungan. 10). Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta perilakunya, keterampilan mencari pekerjaan, penampilan diri sebagai karyawan/pekerja, perilaku sosial dalam pekerjaan, dan menjaga keselamatan kerja. (Smith dkk, 2002:99). lingkungan, penggunaan telepon, menjag`a keselamatan

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

23 Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka karakteristik anak dengan hendaya perkembangan (tunagrahita), meliputi hal-hal sebagai berikut. a) Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita. b) Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan kesalahan (expectancy for filure). c) Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi kesalahankesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness). d) Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri-sendiri. e).Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (sociobehavioral).. f). Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar. g).Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan. h). Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik. i). Kurang mampu untuk berkomunikasi. j). Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak. k).Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif menurut hasil penelitian dari Meins tahun 1995 (Smith, et al., 2002:278-289).

2. Perspektif Berdasarkan Definisi Dewasa ini definisi dari American Association on Mental Disorder (AAMD) dari Grossman (1983), bergeser dan digantikan dengan definisi American Association of Mental Retardation dari Luckasson (1992). Definisi AAMR (1992) menyatakan bahwa:

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

24 Mental Retardation refers to substantial limitations in present functioning. It is characterized by significantly subaverage intellectual functioning, existing concurrently with related limitations in two or more of the following applicable adaptive skills areas: communication, self-care, home living, social skills, community use, self direction, health and safet, functional academic, leisure and work. Mental retardation menifests before age 18 (Luckasson, 1992:1 dalam Snith, et al. 2002:56).

Secara implisit definisi tersebut mengemukakan adanya empat fungsi yang esensial dan perlu mendapatkan perhatian saat penerapan di lapangan. Keempat fungsi tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut. 1). Saat proses asesmen diterapkan, asesmen dapat dikatakan valid bila penggunaan instrumen dan proses kegiatannya memperhatikan aspek-aspek: budaya dan

perbedaan linguistik, dan cara melakukan komunikasi serta faktor-faktor berkaitan dengan perilaku. 2). Terjadinya keterbatasan kemampuan untuk menyesuaikan diri (adaptive behavior) berkaitan erat dengan lingkungan kehidupan yang bersifat khusus dari pasangan seumurnya. Keterbatasan penyesuaian diri dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa anak dengan hambatan perkembangan yang bersangkutan memerlukan bantuan layanan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. 3). Keterbatasan dalam menyesuaikan diri selalu diikuti dengan kemunculan kemampuan pribadi lainnya 4). Melalui bantuan layanan dalam periode waktu yang cukup lama secara terus-menerus, keberfungsian kehidupan pribadi anak dengan hambatan perkembangan pada umumnya dapat meningkat.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

25 Terdapat beberapa perubahan yang signifikan yang muncul pada definisi AAMR (Luckasson, 1992) yang belum nampak pada definisi AAMD (Grossman, 1983), antra lain meliputi: 1). Spesifikasi perilaku non-adaptif ditentukan dengan melihat adanya dua atau lebih kelainan yang dilakukannya terhadap 10 bidang keterampilan adaptif, yakni: komunikasi, bina-diri, melakukan kegiatan sehari-hari di rumah, keterampilan sosial, kemampuan menggunakan peralatan yang ada di rumah, mengatur diri-sendiri, menjaga kesehatan dan keselamatan diri, kemampuan akademik, pekerjaan, dan cara menggunakan waktu luang. 2).Terdapat tiga langkah prosedur pemberian layanan anak dengan hendaya perkembangan berkaitan dengan pola mendiagnosis, pola mengklasifikasikan, dan pola mengidentifikasi. Langkah-langkah dari ketiga prosedur tersebut adalah:

Langkah pertama: Melakukan diagnosa berkaitan dengan ketidakmampuan diri terhadap sepuluh daerah keterampilan (dua atau lebih); Langkah kedua: Melakukan klasifikasi dan pendeskripsian kemampuan/ kelemahan dan kebutuhan terhadap layanan khususnya; Langkah ketiga: Menentukan profil dan intensitas kebutuhan khusus, meliptui tiga dimensi yakni: dimensi 1 berupa keberfungsian intelektual dan keterampilan dalam penyesuaian diri, dimensi 2: mempertimbangkan faktor psikologis dan emosional, dimensi 3: mempertimbangkan kesehatan pribadi/ etiologi, dan dimensi 4: pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup. 3). Terdapat sistem baru dalam pengklasifikasian setiap pribadi anak yang mempunyai hendaya perkembangan berkaitan dengan rekomendasi terhadap sampai sejauhmana tingkat keberadaannya (intermittent atau sewaktu-waktu/ tingkat ringan, limited
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

26 atau secara terbatas/ tingkat sedang, extensive atau secara meluas/ tingkat berat, pervasive atau menembus sesuai dengan keperluannya/ tingkat sangat berat). Ini berarti klasifikasi tidak berdasarkan atas skor intelligence quotients. 4).Perkembangan profil kebutuhan layanan akan berdasarkan pada empat dimensi yaitu: a). Keberfungsian intelektual dan kemampuan beradaptasi b).Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan psikologikal/ emosional c) Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan kesehatan/ etiologi d). Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup. Instrumen asesmen yang menghasilkan: skor IQ yaitu Wechsler Intelligence Scale for Children-Revised (WISC-R), dan The AAMD Adaptive Behavior Scale-School Edition atau The Adaptive Behavior Inventory for Children (ABIC) yang menghasilkan informasi berkaitan dengan perilaku adaptif yang bersifat non-akademik, sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan di Indonesia dalam penentuan klasifikasi terhadap anak dengan hendaya perkembangan serta patokan dalam pemberian layanan khusus terhadapnya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa pendapat para ahli yang

menyatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan jika bentuk tes tersebut di terapkan pada wilayah di luar Amerika Serikat. Hallahan dan Kauffman (1991:93), menyatakan bahwa ada empat hal yang perlu diperhatikan bila kedua tes, yaitu: WISC-R dan AAMD Adaptive Behavior ScaleSchool Edition atau Adaptive Behavior Inventory for Children akan diterapkan di lapangan, antara lain sebagai berikut di bawah ini. 1). Kemampuan individu akan berubah secara dramatis dari waktu ke waktu sehingga memungkinkan skor IQ berubah pula.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

27 2). Seluruh item tes IQ akan menemui kesulitan bila diterapkan pada anak-anak yang berlatar belakang di luar budaya bangsa Amerika dimana instrumen tersebut dibuat. 3). Tes IQ terhadap anak usia dini hampir tidak mungkin dapat dilaksanakan, padahal validitasnya cukup tinggi. Terhadap anak usia muda dan dewasa tes IQ mempunyai validitas dan reliabilitas berkecenderungan sangat rendah. 4). Tes IQ bukan merupakan titik awal dan titik akhir atau Beall and end-all untuk dipergunakan sebagai alat untuk mendeteksi kemampuan individu secara menyeluruh dalam fungsi kehidupan sosial.

3. Perspektif Sosiologikal Anak dengan Hendaya Perkembangan Jane Mercer (1973 dalam Patton, 1986:48) kurang menyetujui penggunaan suatu pendekatan yang berhubungan dengan pembatasan atau definisi mengenai ketunagrahitaan seperti yang telah dikemukakan oleh Heber (definisi tahun 1959 dan 1961) maupun Grossman (definisi tahun 1973 dan 1983) dalam menentukan apa yang disebut dengan ketidaknormalan perilaku Pendekatan atau definisi Heber dan Grossman merupakan pandangan yang bersifat tradisional atas dasar perspektif klinis dan patologis/ medis, dan model statistik. Model patologis memandang suatu ketunagrahitaan sebagai bentuk kelainan akibat penyakit atau a disease, ditandai dengan kemunculan gejala-gejala (symptoms). Model statistik selalu mengidentifikasikan satu bagian tertentu dari suatu populasi yang dianggap abnormal. Model statistik membuat perbedaan antara seorang individu dengan cara membandingkan prestasi individu dengan prestasi yang dianggap kelompok normal Pendekatan patologis dan statistik semestinya hanya cocok

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

28 dipergunakan dalam kegiatan mengidentifikasi terhadap kasus-kasus atau pokok-pokok persoalan yang ada pada anak dengan hendaya perkembangan. Dapat dikatakan bahwa apa yang ada dalam definisi AAMD (Grossman, 1983) kurang memuaskan karena mengandung aspek-aspek pendekatan tradisional ke arah patologis dan statistik. Sebagai alternatif pemecahan, Jane Mercer mengemukakan perspektif sistem-sosial ( a social system perspective). Sistem ini dapat dipakai sebagai pencapaian status-sosial seseorang dalam suatu sistem sosial tertentu dimana individu bersangkutan tinggal. Ia menyatakan sebagai berikut.

The status of mental retardate is associated with a role which person occupaying that status are expected to play. A persons career in acquaring the status playing the role of mental retardate can be described in the same fashion as the career of a person who acquaries any other status such as lawyer, bank president or teacher (Mercer, 1974 dalam Patton, 1986:46).

Berdasarkan pernyataan Mercer tersebut di atas maka pendekatan dengan sistem sosial memungkinkan diterapkan sebagai pola keseimbangan dalam masyarakat terhadap sejumlah anak-anak usia sekolah dari kelompok sosial-ekonomi yang rendah dan budaya minoritas saat menentukan atau memberi batasan terhadap individu yang dinyatakan sebagai anak dengan hendaya perkembangan.

4. Perspektif Psikometrik Anak dengan Hendaya Perkembangan Psikometrik merupakan ukuran variabel patologis berkaitan dengan inteligensi, kemampuan berperilaku adaptif, dan kelainan atau gangguan emosional. Memperhatikan definisi anak dengan hendaya perkembangan dari Grosman (1983) maka akan nampak secara jelas kelemahan-kelemahan dari definisi ini. Hal ini terjadi disebabkan dalam
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

29 definisi tersebut hanya bersifat perbandingan secara garis besar dari individu tertentu yang diidentifikasikan sebagai anak dengan hendaya perkembangan. Dapat dikatakan bahwa definisi tersebut kurang dapat mewakili sebagai bentuk diagnosa secara objektif. Alasan untuk hal ini antara lain: 1) tidak praktis atau susah dalam penerapannya, karena dalam definisi tidak dilengkapi dengan keobjektifan diagnosis, 2) IQ tes tidak mampu untuk menguji: rasa takut (anxiety), kesehatan yang rendah (poor healthy), dan kelangkaan motivasi (lack of motivation). Keadaan yang berkaitan dengan rasa takut dan kelangkaan motivasi sesungguhnya berkaitan dengan prestasi seseorang. 3) IQ tes dilakukan sepenuhnya dengan secara lisan (verbal). Ini berarti bahwa terhadap anak dengan kebutuhan khusus, IQ tes tidak dapat diterapkan karena sebagian besar mereka tidak mampu untuk melakukan tanya-jawab secara tatap muka seperti anak normal, kecuali dilakukan dengan cara observasi kangsung. Faktor lainnya, tidak dapat diterapkannya IQ tes disebabkan oleh faktor bahasa (linguistik yang tidak terstandar seperti Inggris-Amerika) jika dipaksakan diterapkan maka secara otomatis individu yang bersangkutan langsung menjadi mentally retarded 4) IQ memberikan pandangan yang berat sebelah dalam asesmen berkaitan dengan inteligensi bagi anak-anak yang berasal dari golongan yang berbudaya minoritas dan kelompok ekonomi-sosial yang rendah (Patton, et al., 1986:50). Banyak ahli psikologi kurang menyetujui terhadap berbagai aspek yang ada dalam definisi Grossman (1983), mereka menyatakan sebagai berikut:

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

30 1) Landasan dasar pemilihan terhadap kesepuluh wilayah keterampilan berperilaku adaptif sebagai patokan penentuan perilaku non-adaptif merupakan tindakan yang sewenang-wenang. 2) Ada beberapa kemampuan perilaku adaptif yang bukan merupakan hal penting untuk dilakukan suatu diagnosa, seperti: keterampilan menggunakan waktu luang (leisure time). 3) Keseluruhan pengukuran yang berkaitan dengan perilaku adaptif anak dengan hendaya perkembangan hanya bersifat teknis (Smith, et al., 2002:101).

5. Perspektif Analisa Perilaku Sosial Anak dengan Hendaya Perkembangan Sidney Bijou (1966:2) memandang keterbelakangan perkembangan perilaku merupakan fungsi interaksi seseorang yang diukur sejalan dengan keadaan sosial, pisik, dan lingkungan biologis dari diri bersangkutan (dalam Patton, 1986:50), seperti pernyataan di bawah ini: Developmental retardation be treated as observable, objectively defined stimulus-response relationships without recourse to hypothetical mental concepts such as defective intelligence and hypothetical biological abnormalities such as clinically inferred brain injury. From this point of view a retarded individual is one who has limited repertory of behavior shaped by events that constitute the history: Sejalan dengan pendapat Bijou, Repp (1983) berpendapat mengenai perspektif analisa perilaku sosial sebagai berikut: Definisi dari Bijou berdasarkan atas dua asumsi penting, yaitu: (1) semua perilaku adaptif dan maladaptif diperoleh dan diputuskan berdasarkan prinsip-prinsip belajar yang sama dengan anak dengan hendaya perkembangan yang mampu belajar walaupun mereka akan belajar lebih lambat
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

31 dibandingkan dengan anak normal. Jadi sebaiknya mereka tidak belajar dengan petunjuk-petunjuk atau peraturan-peraturan tertentu yang berbeda dengan keberadaannya; (2) Sudah merupakan suatu asumsi dasar bahwa perilaku seseorang tergantung kepada kondisi-kondisi lingkungan (dalam Patton, 1986:50). Pendekatan analisa perilaku untuk anak dengan hendaya perkembangan dari Bijou sangat bijaksana bila diterapkan di Indonesia. Dengan demikian maka yang paling logis berkaitan dengan pemberian definisi anak dengan hendaya perkembangan adalah: Sampai sejauhmana kemampuan seseorang mampu mengubah perilakunya sehingga sesuai dengan kondisi di sekitarnya. Kemampuan mengubah perilaku sesuai kondisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan dengan intervensi-intervensi yang mengarah kepada penyembuhan. Intervensi yang bersifat penyembuhan dapat

dilakukan dengan menerapkan permainan terapeutik dan pola gerak, karena intervensi ini bersifat naturalistik, dan mudah diterapkan terhadap anak dengan kebutuhan khusus (Bijou, 1966; Ullman & krasner, 1969; Repp, 1983; Mercer, 1975: a.b.; dalam Patton, et al., 1986:52). Orientasi perilaku sosial meluas melampaui prinsip-prinsip perilaku yang mendasar termasuk dimensi kepribadian yang dibentuk oleh tiga bentuk dasar perilaku yaitu: motivasi-emosional, kognitif bahasa, dan sensorimotor. Ketiga dasar perilaku itu sangat berguna untuk diterapkan pada situasi belajar mengajar. Belajar merupakan suatu bentuk penjabaran tentang suatu sistem perkembangan perilaku yang kompleks diperoleh melalui interaksi-individu dengan faktor-faktor lingkungan. Berdasarkan hal ini maka ketiga bentuk dasar perilaku tersebut di atas dapat dipergunakan saat berlangsungnya proses pembentukan perilaku seeorang (Staats, 1975; dalam Patton, et al.,1986:52).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

32 Konsekuensi dari pandangan tersebut, maka fokus utama orientasi perilaku sosial bagi anak dengan hendaya perkembangan mengacu kepada: perkembangan keterampilan atau kecakapan, kondisi-kondisi pembelajaran (berupa faktor-faktor lingkungan, dan pemberian penguatan terhadap elemen yang menyertai pengoperasiannya), dan bentukbentuk perilaku dasar yang sangat dibutuhkan jika pembelajaran sedang berlangsung (Staat & Burn, 1981:290 dalam Patton, 1986:52).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

33

B. ANAK DENGAN KESULITAN BELAJAR (LEARNING DISABILITY) DAN ANAK BERPRESTASI RENDAH

1. Anak dengan Kesulitan Belajar atau Berprestasi Rendah (Learning Disability) Anak yang berprestasi rendah (underachievers) umumnya kita temui di sekolah, karena mereka pada umumnya tidak mampu menguasai bidang studi tertentu yang

diprogramkan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Ada sebagian besar dari mereka mempunyai nilai pelajaran sangat rendah ditandai pula dengan tes IQ berada di bawah rerata normal. Untuk golongan ini disebut dengan slow learners. Pencapaian prestasi rendah umumnya disebabkan oleh faktor minimal brain dysfunction, dyslexia, atau perceptual disability. Di Amerika Serikat anak yang berprestasi rendah disebut dengan istilah Specific Learning Disability, dengan batasan sebagai berikut Specific learning disability means a disorder in one or more of the basic physiological processes involved in understanding or in using language, spoken or written, which may manifest it self in an imperfect ability to listen, think, speak, read, write, spell, or to do mathematical calculations. The term includes such condition as perceptual handicapes, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, and developmental aphasia. The term dos not include children who have learning problems, of mental retardation, of emotional disturbance, or of environmental, cultural, or economic disadvantage (US Office of Education, 1977: p.65 083; Ashman and Elkins, 1994:242; Hallahan & Kauffman, 1991:126).

Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka peserta didik yang tergolong dalam specific learning disability mempunyai karakteristik sebagai berikut. a. Kelainan yang terjadi berkaitan dengan faktor psikologis sehingga mengganggu kelancaran berbahasa, saat berbicara, dan menulis.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

34 b. Pada umumnya mereka tidak mampu: untuk menjadi pendengar yang baik, untuk berfikir, untuk berbicara, membaca dan menulis, meng-eja huruf, bahkan perhitungan yang bersifat matematika. c. Kemampuan mereka yang rendah dapat dicirikan melalui hasil tes IQ atau tes prestasi belajar khususnya kemampuan-kemampuan berkaitan dengan kegiatankegiatan di sekolah. d. Kondisi kelainan dapat disebabkan oleh: perceptual handicapes, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, dan developmental aphasia. e. Mereka tidak tergolong ke dalam: penyandang tunagrahita, tunalaras, atau mereka yang mendapatkan hambatan dari faktor lingkungan, budaya atau faktor ekonomi. f. Mempunyai karakteristik khusus berupa: kesulitan di bidang akademik (academic difficulties), masalah-masalah kognitif (cognitive problems), dan masalah-masalah emosi-sosial (social-emotional problems). Di bidang akademik kesulitan yang mereka dapatkan pada bidang studi: membaca (Berry & Kirk, 1980); menulis dalam menyampaikan ide atau menulis dengan tangan misalnya dalam menyusun kalimat, mengeja suatu tulisan yang bersifat ceritera dan melakukan komunikasi melalui tulisan/surat-menyurat; matematika, terutama pemahaman terhadap konsep-konsep dan cara melakukan perhitungan angka-angka (Bourke & Reevers, 1977; Mercer & Miller, 1992). Di bidang kognitif, berkaitan erat dengan kemampuan berfikir. Umumnya peserta didik yang berprestasi rendah menunjukkan kekurang-mampuan dirinya dalam mengadaptasi proses informasi yang datang pada dirinya baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun persepsi tubuhnya (visual, auditory and spatial perception).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

35 Mereka memerlukan latihan untuk dapat mengefektifkan daya ingatannya, perhatian dan kesadaran dirinya terhadap tugas-tugas sesuai dengan karakteristik kelainannya (yang bersifat memory, attention, and metacognition). Pada Perkembangan emosi-sosial, ada empat lingkup yang memerlukan perhatian guru di sekolah, berupa: 1) konsep diri terhadap pisiknya, daya berfikirnya dan sosialnya (self concept) 2) kepercayaan attributions) 3) berhubungan dengan keyakinan dirinya yang kurang menaruh perhatian penuh terhadap sesuatu (learned helpessness) 4) kemampuan untuk bergaul atau berteman (social interaction). terhadap kesuksesan dalam melakukan tugas (causal

Frustasi selalu dirasakan oleh anak-anak dengan kesulitan belajar, disebabkan mereka mempunyai masalah belajar di sekolah walaupun kemampuan inteligensinya tidak lebih rendah daripada teman-teman sekelasnya yang normal. Umumnya anak

dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai kesulitan belajar satu atau lebih pada bidang akademik. Mereka juga dimungkinkan mempunyai hendaya-penyerta hiperaktif dan kurang atensi. Indikasi untuk anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah kekurangan atau terhambatnya perkembangan dalam satu atau beberapa bagian dari proses belajar. Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih pada proses-proses dasar pemahaman atau penggunaan bahasa tulis maupun lisan. Contohnya, anak dengan

hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan dalam membaca, menulis, matematika,


Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

36 meng-eja huruf, mendengarkan, berfikir dan mengingat-ingat, penyimpangan dalam keterampilan persepsi, keterampilan gerak, atau pada aspek-aspek belajar lainnya. Oleh karena itu sebagian besar para ahli banyak menggunakan istilah kesulitan belajar- khusus (specific learning disability) (Geddes, D., 1981:111; Reynolds, C.R. & Mann, L., 1987:1483; Lerner, J.W., 1985:7; Ashman, A. & Elkins, J., 1994:241; PL-USA. 94-142). Istilah kesulitan belajar-khusus (specific learning disablity) banyak diterapkan oleh para pendidik yang menunjukkan pada indikasi bahwa anak yang bersangkutan secara jelas mempunyai masalah khusus dalam proses belajar. Sebagai contoh, anak yang tergolong ke dalam tipe disleksia-visual, yaitu ketidakmampuan membedakan secara visual menjadi penyebab tidak mampu mengidentifikasi huruf yang bentuknya hampir serupa, seperti huruf b dengan huruf d. Walaupun beberapa anak dengan kesulitan belajar-khusus menunjukkan buktibukti yang kuat adanya cedera pada sistem syaraf pusat, dibandingkan dengan temanteman yang normal, namun sesungguhnya mereka hanya mempunyai sistem syaraf pusat yang tidak berfungsi (dysfunction) dicirikan dengan adanya ketidakberfungsian otaknya bukan disebabkan adanya cedera pada lapisan otak. Para ahli menyatakan dengan istilah dysfunction disebabkan tidak ditemukan bukti adanya cedera pada sistem syaraf pusat secara nyata saat dilakukan diagnosis terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar (Hallahan & Kauffman, 1991:123). Beberapa anak dengan hendaya kesulitan belajar juga mempunyai permasalahan dalam bidang sosial-emosional. Oleh karena itu pembuatan program pembelajarannya hendaknya lebih menitik-beratkan ke pada penyesuaian sosial. Melalui latihan-latihan persepsi dimungkinkan dapat meningkatkan keterampilan perseptualnya.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Umumnya

37 latihan-latihan persepsi berkaitan erat dengan gerak atau perceptual-motor (Hallahan & Kauffman, 1991:123). Kekurangan dalam pengalaman satu atau lebih dari komponen-

komponen dasar dalam proses belajar berkaitan erat dengan perilaku psikomotor (sensory motor & perceptual motor) (Geddes, D., 1981:112; Lerner, J., 1985:265). Kekurangan itu dapat dijembatani dengan memanfaatkan pola gerak (motor pattern) dan keterampilan gerak (motor skills) sebagai salah satu upaya intervensi guru dalam pembelajaran individual terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar, sehingga dikemudian hari siswa yang bersangkutan diharapkan dapat mencapai kemampuan secara umum dan memperoleh peningkatan dalam kehidupannya. Pola gerak (motor-pattern) dan

keterampilan gerak (motor-skills) merupakan landasan utama dalam gerak irama (body movement) setiap individu.

2. Konsep Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar (Learning Disability) a). Pengertian Anak dengan Kesulitan Belajar Permasalahan berkaitan dengan arti kata muncul saat memberikan definisi terhadap istilah kesulitan belajar (learning disability) yang terjadi saat proses belajar, ditinjau berdasarkan orientasi yang bersifat pendidikan dan klinis. Para ahli klinis

menyebutnya dengan istilah ketidakberfungsian cerebral secara minimal atau adanya cedera pada otak (minimal cerebral dysfunction or brain injured) (Geddes, D., 1981:111; Lerner, J., 1985:51), ketidakberfungsian otak secara minimal (minimal brain dysfunction) (Kelly & Vergason, 1978:91; Lerner, J., 19885:35), disleksia (dyslexia) dan ketidakmampuan perseptual (perceptual disability)(Ashman, A &Elkins, J., 1994:238). Di sisi lain, para pendidik menyebutnya dengan istilah: hambatan dalam pendidikan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

38 (educationally handicapped), atau hambatan berkaitan dengan persepsi (perceptually handicapped). Anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar, secara umum mempunyai inteligensi yang berada di rerata normal atau di bawah rerata normal. Bagi mereka yang dikategorikan sebagai anak dengan inteligensi di bawah normal, tidak diklasifikasikan sebagai tunagrahita. Ada dua definisi tentang kesulitan belajar (learning disability) yang sangat berperan dalam penyusunan definisi yang ada pada Public Law (PL) 94-142, the Education for All Handicapped Children Act (Departemen Pendidikan Amerika Serikat, 1977). Ke dua definisi tersebut adalah: (1) definisi dari hasil kongres panitia penasihat nasional untuk anak-anak luar biasa di Amerika Serikat, dikenal dengan nama Congres of the National Advisory Committee on Handicapped Children (1968), dan (2) definisi dari panitia kerja sama nasional untuk kesulitan belajar, dikenal dengan nama: the National Joint Committee on Learning Disabilities (NJCLD) tahun 1981. Konsep-konsep dasar utama dalam definisi pertama (PL 94-142), memuat empat hal sebagai berikut: 1) Seseorang dinyatakan mempunyai hendaya kesulitan belajar dalam satu atau lebih dari proses dasar psikologis (proses mengacu ke pada kemampuan hakiki sebagai pra-syarat penguasaan suatu keterampilan, seperti: memori, persepsi pendengaran, persepsi penglihatan, dan berbahasa secara lisan). 2) Seseorang mempunyai hambatan dalam belajar, khususnya berkaitan dengan: berbicara, mendengarkan, menulis, membaca (seperti, keterampilan mengenali huruf dan pemahamannya), dan matematika (berupa penghitungan dan mengemukakan alasan-alasan).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

39 3) Masalah kesulitan belajar yang ada bukan disebabkan oleh kasus-kasus utama seperti: hendaya visual dan pendengaran, kelainan-gerak, tunagrahita, gangguan emosional, gangguan ekonomi, lingkungan atau keadaan yang merugikan yang diperoleh dari suatu budaya. 4) Terlihat adanya perbedaan yang sangat mencolok diantara potensi-nyata belajar anak dan pencapaian kecakapan taraf rendah dari anak yang bersangkutan. Sedangkan konsep-konsep utama dari definisi kedua (NJCLD), meliputi hal sebagai berikut: 1) Hendaya kesulitan belajar merupakan kelompok kelainan yang beraneka-ragam. Seseorang dengan hendaya kesulitan belajar banyak memunculkan permasalahan yang berbeda-beda. 2) Permasalahan yang terjadi merupakan masalah yang benar-benar hanya ada pada perorangan. Diartikan bahwa hendaya kesulitan belajar terjadi akibat adanya faktor yang ada pada diri sendiri bukan dari faktor-faktor eksternal seperti: sistem lingkungan atau sistem pendidikan. 3). Perhatian terhadap hendaya kesulitan belajar hendaknya tertuju pada ketidakberfungsian sistem syaraf pusat. Karena telah dikenali sebagai masalah yang mendasar dari faktor bilogis. 4). Hendaya kesulitan belajar, umumnya diikuti dengan kondisi kelainan lain. Telah diketahui secara nyata bahwa umumnya seseorang dengan hendaya kesulitan belajar diikuti dengan hendaya-penyerta seperti kelainan emosional pada saat yang bersamaan.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

40 Menurut Nathan (1963), istilah kesulitan belajar (learning disability) diberikan kepada anak yang mengalami kegagalan dalam situasi pembelajaran tertentu. Dalam hal ini belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang terjadi secara terus-menerus yang tidak diakibatkan oleh kelelahan atau penyakit (dalam Cruickshank & Hallahan, 1975:4). Maka setiap karakteristik yang bersifat individu merupakan hasil dari

perpaduan pengaruh-pengaruh lingkungan dan kondisi-kondisi genetika, sehingga variabel-variabel organismik, dan genetika sangat berpengaruh terhadap perilaku selama lingkungan juga turut berpengaruh. Pengaruh organismik, dan genetika memerlukan adanya respon lingkungan yang efektif (Throne, 1970, 1972 dalam Cruickshank & Hallahan, 1975:4). Perubahan-perubahan dalam perilaku dan belajar setiap individu dapat terjadi melalui manipulasi variabel lingkungan dan genetika pada situasi khusus dari suatu perkembangan yang bersifat individu. Sehingga terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability), tunagrahita (mentally retarded), cerebral palsy mempunyai dampak terhadap kemampuan mengatasi kondisi-kondisi lingkungan secara luar biasa yang berbeda dengan anak-anak normal. Jika inteligensi didefinisikan secara operasional sebagai proses melalui pembelajaran terhadap anak yang menggunakan sarana budaya dalam upaya untuk mengetahui dan melakukan manipulasi lingkungan, maka dapatlah diterima bahwa setiap perkembangan inteligensi secara langsung berkaitan dengan dukungan yang berhubungan dengan azas keturunan (genetika) dari perseorangan dan beberapa lingkungan dimana anak hidup. Perbedaan lingkungan mempunyai

pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan inteligensi dan secara relatif proporsi genetika dan lingkungan akan berbeda-beda pula hasilnya dalam tes inteligensinya.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

41 Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang penting bagi perkembangan dan pertumbuhan bayi dan anak-anak. Perhatian terhadap perbedaan-perbedaan dalam strategi belajar yang memasukkan pengaruh-pengaruh lingkungan dan perkembangan mental merupakan aspek-aspek kualitatif dari perilaku anak-anak. Konsep dasar dalam kesehatan anak menyatakan bahwa pemberian makanan secara tepat dalam kuantitas dan kualitas merupakan pra-syarat bagi pertumbuhan dan perkembangan optimal bagi bayi dan anak, sehingga malnutrisi saat kehidupan dini mempunyai kontribusi terhadap keberfungsian di bawah normal dan ketidakmampuan belajar di kemudian hari (Cruickshank & Hallahan, 1975:27). Interpretasi dari peran nutrisi terhadap perkembangan mental dan belajar merupakan hal yang rumit, karena malnutrisi merupakan hasil akhir (out-come) ekologis. Sebagai ilustrasi (pada halaman berikut), digambarkan beberapa hubungan antara faktor-faktor: biologis, sosial, budaya, dan ekonomi yang menghasilkan malnutrisi pada masa bayi. Proses belajar pada seorang anak dilakukan melalui penerimaan secara selektif dan diterima sebagai masukan sensori yang memberikan informasi berkaitan dengan lingkungan hidup. Untuk mendapatkan makna, stimuli sensori yang bekerja harus

mampu melakukan proses, dapat menghubungkan, dan berintegrasi dalam kulit lapisan otak (cortex) untuk menyalurkan informasi dan mendapatkan pengertian yang sama. Informasi diperoleh melalui kemampuan persepsi dan keterampilan kesadaran-tubuh, disimpan di otak untuk nantinya digunakan sebagai bentuk respon. Tipe respon antara lain: berbicara, menulis, meng-eja huruf, bahasa tubuh, ekspresi wajah, gerak, keterampilan khusus psikomotor (seperti memukul bola).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

42

Keterbelakangan Teknologi

Daya beli yang rendah

Sebagian besar waktu kerja digunakan sebagai upaya pemenuhan untuk hidup yang layak.

Meningkatnya kemungkinan Perkawinan yang tidak berPendidikan.

Meninggalkan sekolah pada saat awal.

Tidak ada persediaan atau Kelebihan.

Kemungkinan meningkatnya keluarga besar dalam kepa datan ruang.

Buta huruf

Sumber-sumber yang kurang memadai atau kelebihan untuk ditabung dalam sanitasi ling kungan.

Pemeliharaan anak yang kurang tepat. Meningkatnya persentase dari belanja untuk layanan kesehatan. Anoxia INFEKSI

Hilangnya kesempatan untuk menerima informasi informasi yang memadai.

Ketekunan terhadap konsepkonsep kesehatan primitif.

Ketekunan terhadap tradisi dalam distribusi persediaan makanan yang tak cukup.

Berkurangnya penghasilan oleh adanya anak kecil.

Kegagalan untuk mengenal kebutuhan-kebutuhan higienis bayi.

Kesehatan perorangan yang rendah. Berat tubuh yang rendah

Sanitasi keluarga yang tidak memadai.

Diagram 7.1 Interrelasi Faktor-faktor Biososial dan Berat Tubuh yang Rendah. (Cruickshank & Hallahan, 1975:30).

Selanjutnya, tingkat kemampuan persepsi perlu adanya pertimbangan terhadap tingkat yang paling rendah pada jenjang pengalaman-pengalaman belajar dalam kognisi. Privalensi terjadinya hendaya kelainan belajar pada seorang anak bervariasi dan sangat sulit disebabkan adanya permasalahan berkaitan dengan semantik (ilmu berkaitan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

43 dengan arti kata) yang terlibat saat memberikan definisi. Kirk (1972, dalam Geddes. D., 1981:112) menyatakan bahwa privalensi berkisar 3 hingga 15 persen bahkan lebih dari seluruh populasi anak-anak usia sekolah, Lerner, J. (1985:16) menyatakan bahwa sekitar satu hingga 30 persen dari populasi anak-anak usia sekolah, Departemen Pendidikan Amerika Serikat (1989, dalam Hallahan & Kauffman, 1991:127) menyatakan sekitar 4,41 persen dari populasi anak-anak usia sekolah yang berumur diatara 6 hingga 17 tahun. Penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar (Geddes, 1981:113) adalah: faktor organ-tubuh (organically based etiologies), dan lingkungan (environmentally based etiologies). Ahli lainnya menyebutkan bahwa penyebab terjadi anak dengan

hendaya kesulitan belajar adalah disebabkan oleh tiga kategori, yaitu: (1) Faktor organik dan biologis (organic and biological factors), (2) Faktor genetika (genetic factors), dan (3) faktor lingkungan (environmental factors) (Hallahan & Kauffman, 1991:128). Penyebab dari faktor organ tubuh (Geddes, D., 1981:113), disebabkan adanya: (1) Konsep tentang minimal disfungsi otak: Kegiatan otak yang berada di bawah optimal tidak terjadi dikarenakan adanya cedera pada struktur lapisan luar otak (cortex). (2) Faktor patologis terjadinya disfungsi otak, disebabkan adanya kondisi-kondisi seperti cerebral hemorrhage, penyakit, luka akibat kecelakaan pada kepala, kelahiran prematur, anoxia (kelangkaan oksigen), ketidaksesuaian faktor Rh, kecacatan bawaan, dan faktor-faktor genetika. (3) Hubungan diantara tipe-tipe disfungsi otak: keterampilan neural di bawah optimal menyebabkan terjadinya hendaya pada daerah cerebral berkaitan dengan manifestasi tanda-tanda yang bersifat neurologis halus.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

44 (4) Hubungan antara disfungsi otak dan kelainan belajar-khusus: anak dimungkinkan menunjukkan (a) gejala-gejala disfungsi otak tetapi tidak terdeteksi mempunyai ketidakmampuan belajar, (b) Kedua-duanya, baik disfungsi otak dan

ketidakmampuan belajar, atau (c) adanya ketidakmampuan belajar tetapi tandatanda adanya malfungsi otak tidak teramati (Myers & Hammill, 1976 dalam Geddes, D, 1981:113). (5) Adanya kelainan-kelainan yang bersifat medis dewasa ini (Kauffman & Hallahan, 1976), lebih menititkberatkan pada kegiatan melakukan hipotesis tentang kasuskasus yang meliputi: kelainan kelenjar, hypoglycemia, narcolepsy complex, penyimpangan penggunaan vitamin, dan alergi. Sedangkan etiologi berdasarkan atas faktor lingkungan (Geddes,D., 1981:113), meliputi hal-hal sebagai berikut. (1) Pengaruh dari gangguan emosional. Indikasinya adalah anak dengan masalah-masalah emosional berkecenderungan mempunyai kelemahan dalam persepsi, bicara, dan mata pelajaran-akademik (Myers & Hammill, 1976) (2) Pengalaman-pengalaman yang tidak memadai yang diperoleh sebelumnya. Diperlukan adanya peningkatan dalam proses sensorimotor untuk meningkatkan keterampilan-keterampilan perseptual (oleh karena itu

dalam setiap program yang berkaitan dengan persepsi-gerak selalu diimplementasikan sensorimotor guna meningkatkan keterampilan

perseptual) (Myers & Hammill, 1976).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

45 (3) Kehilangan lingkungan (Kauffman & Hallahan, 1976). Kecenderungan kehilangan lingkungan bagi seorang anak akan menimbulkan masalah belajar yang mungkin menjadi penyebab adanya pengalaman-pengalaman belajar yang kurang memadai, kegiatan belajar yang sangat rendah, rendahnya perawatan yang bersifat medis menjadikan seorang anak mempunyai cedera pada otak. Faktor organik dan biologis sebagai penyebab anak dengan hendaya kesulitan belajar (Hallahan & Kauffman, 1991:128), adalah: (1). Adanya pengembangan terhadap suatu teori yang menyatakan bahwa mixed dominance sebagai indikasi dari patologi otak sebagai penyebab adanya kesulitan membaca. Mixed dominance merupakan istilah yang diterapkan terhadap seseorang yang mempunyai kondisi dimana mengutamakan penggunaan secara tetap campuran sisi anatomisnya, sehingga memberikan gambaran adanya perkembangan tidak normal pada otak, contohnya: kegiatan yang dilakukan lebih mengutamakan menggunakan gerak campuran dari beberapa anggota tubuh secara bersamaan, seperti tangan kanan dengan mata sebelah kiri dan kaki kiri (Orton, 1937 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:128; Kelly & Vergasson, 1978:91). (2). Kebanyakan anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai getaran otak yang tidak normal, jika diukur dengan komputer digital dan dilakukan analisis dengan electroencephalogram (EEG). Pencatatan kegiatan elektris pada otak dengan

menempatkan elektrode pada lokasi yang berbeda di kepala anak bersangkutan (3). Melalui penggunaan metode baru, seperti penggunaan computerized tomographic scans (CT scans), guna meninjau sampai sejauhmana fisiologi otak. CT scans
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

46 merupakan suatu teknik dimana komputer dipergunakan bersamaan dengan X-ray untuk dapat melihat sampai sejauhmana gambaran tentang otak seseorang (anak) yang menyebabkan adanya ketidaknormalan secara neurologis pada anak dengan hendaya kesulitan belajar (Hynd & Semrud-Clikeman, 1989 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:128). Dari ketiga pendapat hasil penelitian tersebut di atas, para ahli mempercayai bahwa ketidakberfungsian otak (the brain dysfunction) merupakan penyebab utama (the root of) dari hendaya kesulitan belajar. Di sisi lainnya menyatakan juga bahwa hendaya kesulitan belajar terjadi diakibatkan adanya gangguan terhadap perkembangan sel syaraf pada saat perkembangan seorang bayi di usia dini (Hynd & Semrud-Clikeman, 1989 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:128). Menurut Hallahan & Kauffman (1991:128), faktor genetika menunjukkan bahwa keturunan sebagai penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar, khususnya pada hambatan membaca. Misalnya, seringkali terjadi ketika salah satu anak kembaran

mempunyai ketidakmampuan membaca, kembaran lainnya juga sama mempunyai ketidakmampuan membaca. Mereka yang bersangkutan dikatakan mempunyai

monozygotic dari telur yang sama. Monozygotic terjadi dari adanya pemisahan dari satu telur saat pembuahan sehingga diidentifikasi sebagai komposisi genetik (Kelly & Vergasson, 1978:92). Sedangkan faktor lingkungan (Hallahan & Kauffman, 1991:129), menyatakan bahwa kasus lingkungan sebagai kasus yang dianggap sulit untuk didokumentasikan. Namun yang paling memungkinkan pada kasus lingkungan sebagai penyebab hendaya kesulitan belajar adalah kekurangan penanganan belajar (poor teaching). Apabila anak
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

47 dengan hendaya kesulitan belajar dapat ditangani semenjak usia sekolah secara dini, dimungkinkan hendaya kesulitan belajar tersebut dapat dihindari. Karakteristik anak dengan hendaya kesulitan belajar-khusus, sangat berbeda dengan anak-anak lain. Oleh karena itu beberapa tipe umum dari karakteristik mereka sering dipakai oleh para pendidik, karakteristik tersebut sebagai berikut: (1) kemampuan persepsi yang rendah, (2) kesulitan menyadari tubuh sendiri, (3) kelainan-gerak, (4) tingkat atensi yang tidak tepat, (5) kesulitan bersosialisasi atau emosional (social or emosional difficulties), (6) kelainan memori, (7) kesulitan-kesulitan dalam melakukan simbolisasi dan (8) masalah-masalah pengkonsepsian (Geddes, D., 198:115-118).

a). Kemampuan Persepsi yang Rendah (poor perceptual abilities) Kemampuan persepsi yang rendah, berkaitan dengan (a) persepsi pendengaran, (b) persepsi visual, (c) persepsi taktil. Kekurangan dapat terjadi pada kemampuan persepsi pendengaran (auditory perception) menyangkut: a) membedakan pendengaran, yaitu kemampuan untuk dapat membedakan suara, bunyi hidup (vowel), dan bunyi mati (konsonan) yang sama, b) pengakhiran pendengaran, kemampuan untuk melakukan sintesis bunyi-bunyi dari bagian keseluruhan (contohnya, mendengar bagian suatu kata, dan kemudian mengetahui apa yang ada dalam seluruh kalimat), c) bentuk dasar pendengaran, kemampuan untuk menghiraukan latar belakang suara yang tidak selaras, d) atensi dan penglokasian pendengaran, kemampuan untuk mengetahui lokasi sumber suara dan arah suara.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

48 Diantara tipe-tipe umum dari kekurangan persepsi pendengaran adalah auditory agnosia, yaitu ketidakmampuan untuk mengenal suara atau kombinasi bunyi dengan memperhatikan maknanya. Sedangkan lainnya, adalah auditory dissociation (disosiasi pendengaran) yaitu bunyi dapat didengar dan dikenali tetapi tidak mampu untuk diartikan secara keseluruhan. Pada persepsi visual (visual perception): Kekurangan kemungkinan terjadi dalam kemampuan-kemampuan persepsi visual seperti berikut. (1) Klosur visual (visual closure): Pola melengkapi, mekanisme tanggung jawab untuk melengkapi secara otomatis terhadap simbol-simbol visual yang sudah dikenal (contohnya, melihat bagian yang tak lengkap suatu gambar dan tahu bagaimana bentuk keseluruhan dari gambar tersebut). Diartikan sebagai kemampuan untuk menggambarkan keseluruhan hanya dengan melihat sebagian dari bentuk keseluruhan. Latihan klosur visual sangat berguna bagi anak-anak yang mempunyai kesulitan dalam menghubungkan bagian-bagian tertentu yang merupakan suatu bagian utuh secara menyeluruh (Kelly & Vergasan, 1978:142) (2) Membedakan secara visual (visual discrimination): kemampuan untuk

mengetahui perbedaan antara benda-benda yang bentuknya sama, surat-surat, atau kata-kata (seperti huruf b dan d dapat ditangkap berbeda oleh anak). (3) Membedakan bentuk secara visual (visual form discrimination): Kemampuan untuk dapat membedakan adanya perbedaan antara bentuk auditori masa kini (contohnya, dapat membedakan antara segi tiga dan bentuk gambar intan pada sebuah kartu-gambar).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

49 (4) Mengubungkan figur dasar secara visual (visual figure-ground relationship): Mampu mengidentifikasi satu bentuk figur seseorang (misalnya: gadis) dari gambar yang memunculkan tiga figure yang sama. (5) Persepsi terhadap ukuran (size perception): kemampuan untuk merasakan secara tepat tentang ukuran suatu benda dengan kemampuan visual. (6) Perspesi mengenai jarak dan kedalamannya (depth and distance perception): Kemampuan terhadap persepsi ukuran: panjang, kedalaman, dan jarak dari berbagai benda dan mampu melihat benda-benda yang bergerak. (7) Mengenali suatu benda (object recognition): kemampuan untuk mengintegrasikan rangsang visual ke dalam bentuk secara keseluruhan. Pada persepsi taktil (tactile perception): kemampuan persepsi taktil yang utama adalah membedakan hanya dengan meraba, kemampuan untuk mengenal benda-benda yang dikenal, atau tekstur dan lokasi dari anggota badan yang dapat disentuh oleh seseorang. Termasuk ke dalam taktil adalah: (1) taktil agnosia (astereognosis), yaitu ketidakmampuan untuk mengenal bendabenda yang telah dikenal sebelumnya melalui sentuhan, (2) agnosia jari-jari (finger agnosia), yaitu ketidakmampuan untuk mengenali suatu objek melalui jari-jemarinya tanpa melihat terlebih dahulu, (3) tactile defensiveness, yaitu ketidaktepatan, tanggapan yang bersifat berlebihan terhadap masukan taktual, dimungkinkan tanggapannya terlalu negatif untuk dapat diraba atau menghindari kontak dengan permukaan yang dapat dipakai sebagai masukan taktual yang kuat, seperti bahan-bahan untuk permadani dan sikat.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

50 b. Kesulitan terhadap Kesadaran Tubuh (body awareness difficulties) Kesadaran terhadap tubuh didefinisikan sebagai konsep dan pemahaman bahwa adanya saling keterhubungan yang erat antara tubuh seseorang dengan lingkungannya selama proses perubahan perilaku . Faktor-faktor yang terlibat dalam perkembangan kesadaran terhadap tubuh termasuk kinesthesia (mengenali orientasi terhadap bagian-bagian tubuh yang berbeda dengan saling menaruh respek antara satu dengan lainnya, seperti halnya yang terjadi pada tingkat gerak dari bagian-bagian tubuh yang berbeda tersebut), dan asimilasi masukan sensori-ruang depan (vestibular) dan perlengkapan visual. Kesulitan-kesulitan terhadap kesadaran tubuh dimungkinkan terjadi dalam wilayah keterampilan-gerak, sebagai berikut. (1) Orientasi ruang (spatial orientation), yaitu pemahaman terhadap ruang sekitar diri seseorang berkaitan dengan jarak, arah, dan posisi. (2) Secara kesamping (laterality), mengetahui yang mana sisi kiri atau kanan dari tubuh. (3) Secara tegak lurus (vertically), konsep tentang arah ke atas dan ke bawah. (4) Terhadap kesan tubuh (body image). Konsep pemahaman bagian-bagian tubuh. (5) Berkaitan dengan garis tengah tubuh (midline body), konsep tentang garis tengah tubuh secara tegak lurus dari tubuh manusia yang memisahkan tubuh ke dalam dua sisi yang sama. Permasalahan yang sering dijumpai dalam pemahaman tubuh termasuk (a) kelainan tubuh untuk melakukan orientasi dan ketidakmampuan untuk mengenal bagianbagian tubuh (autotopegnosis), dan (b) ketidakmampuan untuk mengenali jari-jemari selama dilakukan tes lokalisasi jari-jemari (finger agnosia).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

51

c. Kelainan Kegiatan-Gerak (disorder of motor activity) Kelainan gerak seringkali dapat diamati pada anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar. Hal itu dimungkinkan karena masalah gerak dan kesulitan belajar mempunyai etiologi yang sama (Myeres & Hammill, 1976 dalam Geddes, D., 1981:116). Kelainan gerak dapat diamati melalui: (1) kegiatan saat mempertahankan keseimbangan dan bentuk tubuh (balance and postural mainbtenance), yaitu dalam kesulitan untuk duduk, berdiri, mempertahankan postur dan keseimbangan khusus; (2) gerak dasar dan gerak lokomotor (locomotion and basic movement), kekurangan terjadi pada keterampilan untuk berjalan, berlari, memanjat, mekanisasi tubuh, melompat, meloncat-loncat, dan pola-pola gerak tubuh secara gross-motor. Termasuk tipe-tipe umum kelainan gerak adalah: (1) hyperactivity

(hyperkinethesis): mobilitas yang resah, tidak menentu, secara serampangan, dan mobilitas yang berlebihan; (2) hypoactivity (hypokinethesis): pendiam, tidak aktif, dan kegiatan geraknya kurang cukup; (3) clumsiness: kesulitan dalam mengontrol gerak dengan adanya ketidakserasian dan ketidakefisien perilaku gerak dalam bentuk kekakuan secara pisik dan tidak ada koordinasi gerak; (4) apraxia (dyspraxia): ketidakmampuan untuk berinisiatif atau melakukan gerak dalam pola-pola gerak yang rumit, seperti serangkaian tugas gerak untuk melakukan loncatan; (5) ketekunan (perseveration): secara otomatis dan sering kali secara suka rela untuk menindaklanjuti perilaku yang dapat diamati sewaktu melakukan kegiatan berbicara, menulis, membaca secara oral, menggambar dan melukis; (6) adiadochokinesia: ketidakmampuan untuk melakukan gerak alternatif dan gerak-cepat.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

52 d. Kesulitan dalam keterampilan psikomotor sangat erat hubungannya dengan ketidakberfungsian persepsi khusus, sebagai berikut. (1) Respon psikomotor yang lemah terhadap petunjuk yang diperoleh melalui pendengaran berupa perbedaan suara dengan kegiatan yang berbeda, seperti katakata talk dan walk dalam bahasa Inggris, jalan dengan jualan dalam bahasa Indonesia. (2) Respon psikomotor terhadap persepsi visual yang lemah. Kemampuan persepsi visual yang spesifik penyebab adanya respon psikomotor terhadap persepsi visual yang lemah, dapat menyebabkan seseorang tidak mampu membedakan bola putih yang dilambungkan di udara dengan latar belakang awan sehingga yang bersangkutan tidak dapat menangkap bola putih dengan baik. (3) Rendahnya respon psikomotor terhadap persepsi taktil. Ketidaktepatan respon psikomotor terhadap ciri-ciri khusus taktil menjadi penyebab kesalahan membedakan benda-benda dengan cara taktil. Contohnya, seorang anak tidak mampu membedakan dua nikel dalam kumpulannya dengan dua perempat nikel yang ada di atas meja.

e. Kesulitan berikutnya adalah dalam memanipulasi, berkaitan dengan: (1) Ketidaktepatan dalam keterampilan fine-motor tangan saat digunakan untuk memanipulasi-gerak. Misalnya, koordinasi tubuh dengan mata saat memegang sesuatu benda (pinsil, crayon) secara tepat. (2) Kekurangan tingkat atensi menyebabkan daya atensi yang kurang atau atensi yang berlebihan. Atensi yang tepat merupakan pra-syarat motivasi yang sangat
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

53 diperlukan dan pencapaian prestasi yang berhasil. Ada dua tingkat atensi yang kurang tepat, yaitu (a) atensi yang kurang cukup, yaitu ketidakmampuan untuk menggambarkan ekstra rangsangan, sering disebut dengan istilah kekacauan pikiran (distractibility), pemahaman yang berlebihan (hyperawareness), lekas marah secara berlebihan (hyperirritability) atau waktu atensi yang pendek; dan (b) atensi yang berlebihan, ketidaknormalan perasaan yang mendalam saat atensi terhadap perincian-perincian yang dianggap tidak penting saat munculnya kejadian-kejadian yang tidak perlu; (3) Kestabilan emosi, sering diiringi dengan kesulitan belajar sebagai akibat adanya hendaya gerak, dan frustasi disebabkan karena kegagalan dalam melakukan kontak hubungan dengan orang lain. Dampak dari itu seorang anak akan

mempunyai persepsi-sosial yang tidak pada tempatnya; (4) Kesulitan dalam memori berupa jangka pendek dan jangka panjang. Kesulitan memori ini bisa terjadi saat asimilasi, penyimpanan dan/atau pencarian informasi. Kesulitan itu berkaitan dengan kemampuan taktual, visual, Misalnya, seorang anak tidak mampu

pendengaran dan sistem belajar.

menghubungkan secara tepat antara ingatan pendengaran terhadap kata yang pernah ia dengar dengan kata yang sama saat ia mendengarkan dalam waktu berikutnya, sehingga yang bersangkutan mempunyai hendaya ingatan visual; (5) Kesulitan dalam melakukan simbolisasi, baik secara verbal maupun dalam proses simbolis verbal. Kesulitan simbolisasi terdiri atas: (a) simbolisasi penerimaan pendengaran (receptive-auditory simbolization). Anak tidak memahami katakata dalam pembicaraan atau kebingungan terhadap perintah-perintah verbal.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

54 Contohnya, echolalia; (b) Simbolisasi daya tangkap visual (receptive-visual symbolization). Contohnya, daya ingat visual terhadap pola-pola kata dan tulisan (strephosymbolia), dan ketidaktepatan antara masukan visual berupa kata-kata tertulis dengan kesan pendengaran terhadap huruf-huruf (dislexia visual). Misalnya pada huruf: o, e, c, b, p, d, h, dan n atau pada kata pot dibacanya top; (c) Simbolisasi ucapan yang bersifat pernyataan perasaan (expressive-oral symbolization). Anak tidak mampu mengartikan ucapan mengenai suatu benda atau fungsi-fungsinya, karena tidak memahami tentang kalimat (syntax) dan ekspresi ide-ide secara ucapan; (d) Simbolisasi-gerak yang menyatakan perasaan (expressive-motor symbolization). Anak tidak mampu mengekspresikan dirinya melalui berbicara, menulis, atau melalui ekspresi gerak-tubuh/ gerak-mimik muka (dysgraphia, yaitu ketidakmampuan mengekspresikan pikirannya melalui tulisan, surat dengan tendensi sering menghilangkan kata/tulisan yang tidak benar). (6) Kesulitan dalam kemampuan untuk mengkategorikan dan melakukan perbedaanperbedaan klasifikasi. Misalnya, perbedaan tingkat perkembangan terhadap

konsep ke arah konkret (seperti, apel dan jeruk kedua-duanya berbentuk bulat), ketidakmampuan membedakan keberfungsian (bahwa apel dan jeruk keduaduanya dapat dimakan), dan melakukan abstraksi (seperti, apel dan jeruk adalah buah-buahan).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

55 b. Perspektif Teori Bagi Anak dengan Kesulitan Belajar Beberapa teori sebagai kerangka dasar untuk mengevaluasi dan mengajar anak dengan hendaya kesulitan belajar dan implikasinya, adalah teori-teori yang mencakup pendangan terhadap perspektif perkembangan kedewasaan, proses secara psikologis, penguasaan kemampuan akademik, dan pendekatan-pendekatan kognitif. Memahami

sebuah teori sebagai landasan pengetahuan terhadap hendaya kesulitan belajar merupakan dasar yang sangat diperlukan dalam upaya memahami dan menginterpretasikan berbagai cabang ilmu. Selain itu, dapat juga membantu para pendidik untuk menyeleksi dan mengevaluasi terhadap hal-hal yang sangat membingungkan dalam penggunaan dan pengaplikasian suatu media baru, teknik-teknik, instrumen elektronik, dan metode. Tujuan suatu teori adalah untuk menyajikan bentuk, hubungan, dan arti tentang apa yang diamati dalam kenyataan yang sebenarnya. Teori juga merupakan tuntunan praktis dalam kegiatan, menciptakan katalisator untuk penelitian lanjutan, membangun teori baru dan mengklarifikasi, serta membentuk proses berfikir. Maka peran suatu teori adalah menyajikan kerangka dasar kreatif guna melakukan penyesuaian dari hendaya kesulitan perilaku. Secara umum, teori-teori merupakan lanjutan dari lapangan (dalam hal ini adalah sekolah) untuk memahami dan membantu guru khusus untuk mempelajari aplikasi secara signifikan, khususnya di sekolah-sekolah luar biasa dan sekolah reguler yang menerapkan sistem pembelajaran inklusif. Pandangan lebih jauh terhadap suatu hendaya kesulitan belajar (learning disablity) dibentuk oleh adanya konsep-konsep perkembangan psikologi, berdasarkan analisis cara berfikir anak melalui penelitian dan perkembangan secara bertahap berkaitan dengan kemampuan kognitifnya. Dalam pandangan perkembangan anak dinyatakan

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

56 bahwa kemampuan gerak-maju secara normal terjadi dalam suatu kondisi-kondisi yang cocok. Oleh karena itu memahami suatu perkembangan kemajuan dan perkembangan kognitif anak secara normal dapat dijadikan landasan perbandingan guna memahami permasalahan anak yang mempunyai hambatan-hambatan belajar yang dikenal dengan istilah anak dengan hendaya kesulitan belajar. Berdasarkan konsep keterlambatan kematangan diri ditinjau dari aspek perkembangan neurologis, seorang anak mempunyai tingkat perkembangan sesuai dengan faktor-faktor perkembangan kemanusiaan yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya adalah fungsi kognitif (Bender, 1957 dalam Lerner, J. 1985:168). Seorang anak yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian diantara berbagai kemampuan tidak semata-mata disebabkan oleh adanya ketidakberfungsian sistem syaraf pusat atau adanya cedera pada otak, agaknya ketidaksesuaian itu dapat juga menunjukkan adanya berbagai kemampuan yang mengacu ke pada kematangan pada tingkat yang berbeda, sehingga hipotesis terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak berbeda dengan hipotosis terhadap anak-anak lain tanpa adanya ketidakberfungsian dari sistem syaraf pusat. Konsep tentang kelambatan kematangan diri, menunjukkan bahwa beberapa hendaya kesulitan belajar yang muncul pada diri seorang anak dapat saja terjadi disebabkan oleh adanya perilaku-perilaku masyarakat yang ada di sekitarnya. Perilaku masyarakat tersebut dapat menjadi suatu tekanan pada diri seorang anak sebelum anak tersebut siap menghadapi kegiatan pencapaian prestasi akademiknya. Hal ini dibuktikan oleh suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 177 siswa-siswa dengan hendaya kesultan belajar (learning disability) dalam kelas-kelas khusus. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka secara signifikan menunjukkan adanya perkembangan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

57 yang lambat dalam pencapaian prestasi akademiknya (Koppitz, 1972-1973 dalam Lerner, J., 1985:168). Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya

ketidakberkembangan dan sangat rendahnya pengintegrasian diri mereka, sehingga mereka membutuhkan waktu-belajar yang lebih banyak dalam upaya untuk melakukan kompensasi diri terhadap kelambatan dalam perkembangan neurologisnya. Pada

umumnya mereka membutuhkan waktu sekitar dua tahun atau lebih untuk menyelesaikan pendidikan yang diterima di sekolah dibandingkan dengan siswa lain. Menurut Koppitz, apabila anak dengan hendaya kesulitan belajar diberikan waktu tambahan yang cukup dan dilakukan bantuan-bantuan dalam pembelajaran pada umumnya anak bersangkutan dapat menyelesaikan prestasi akademiknya dengan baik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sovern Hagin (1966) terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar yang ada di klinik Bellevue Hospital Hygiene menunjukkan bahwa anak remaja dengan hendaya kesulitan belajar usia 17 hingga 24 tahun tidak menunjukkan adanya hambatan dalam orientasi terhadap simbol-simbol, membedakan berdasarkan pendengaran, atau membedakan antara sisi kiri/ kanan. Beberapa anak dengan hendaya kesulitan belajar tersebut, tidak mempunyai hambatan belajar lagi setelah melalui suatu proses perkembangan-dirinya. Pada anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar di usia taman kanak-kanak diprediksi mempunyai kelemahan dalam membaca, dan meng-eja huruf. Selanjutnya, penelitian dari deHirsch, Jansky dan Langford (1966) telah membuktikan bahwa teori tentang keterlambatan kematangan diri anak merupakan faktor yang sangat penting saat memperkirakan tingkat pencapaian kemampuan membaca (dalam Lerner, J., 1985:168).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

58 Tingkat perkembangan kedewasaan anak dari Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam serangkaian tingkatan yang tetap dan dalam keadaan saling ketergantungan. Setiap tingkatan, anak hanya mampu belajar pada tugastugas kognitif tertentu (Piaget, 1970 dalam Lerner, J., 1985:169). Kemampuan berfikir dan belajar anak akan berubah sesuai umurnya. Dengan kata lain, bahwa kemampuan berfikir dan belajar anak dicapai melalui serangkaian perkembangan pada tingkat perkembangan kedewasaannya. Selama belajar akan terjadi tingkatan-tingkatan

perkembangan fungsi kemampuan dalam kuantitas, kualitas, kedalaman, dan keluasan belajar. Tingkat perkembangan anak berdasarkan teori Piaget (1970, dalam Lerner, J., 1981:169-171) secara sistematis menunjukkan tingkatan-tingkatan sebagai berikut. 1. Periode pertama disebut dengan periode sensorimotor (sensorimotor period) terjadi dalam usia satu hingga dua tahun. Selama masa ini anak belajar melalui indera dan gerak serta melakukan interaksi dengan lingkungan secara fisik. Pada masa ini

melalui cara memindahkan, menyentuh, memukul, menggigit dan memanipulasi benda-benda secara fisik, anak mulai mempelajari tentang ruang, waktu, lokasi, ketetapan dan sebab-akibat. Pada anak dengan hendaya kesulitan belajar,

perkembangan gerak difokuskan pada gerak-sensori (sensory-motor) dan gerak persepsi (perceptual motor). Misalnya, dalam gerak keseimbangan, seorang anak

dengan hendaya kesulitan belajar akan terlihat ketidakmampuan melakukan koreksi terhadap posisi tubuh dan hubungan tubuhnya dengan gaya berat. Umumnya, anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak mampu melakukan koordinasi gerak dalam kegiatan-kegiatan yang menggunakan gross-motor (gerak dengan meenggunakan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

59 otot-otot besar). Dalam koordinasi gerak yang menggunakan fine motor (gerak

dengan menggunakan otot-otot halus), anak dengan hendaya kesulitan belajar kurang memahami kemampuan tubuh sendiri, tidak tahu arah, merasa bingung untuk melakukan gerak secara menyamping (lerner, J., 1985:266). 2. Periode kedua disebut dengan periode pre-operasional (preoperational period), terjadi pada usia dua hingga tujuh tahun. Pada masa ini anak mulai melakukan

pertimbangan-pertimbangan intuisi tentang hubungan-hubungan antar objek dan berfikir tentang simbol-simbol. Bahasa menjadi hal yang amat penting, karena anak mulai belajar menggunakan simbol-simbol untuk menggambarkan dunia nyata (concrete world). Anak mulai mempelajari lambang dan sifat objek yang ada di sekitar dirinya. Daya berfikir anak didominasi oleh pemikiran yang berkaitan dengan persepsi, khususnya dimensi ruang dan waktu. Dalam menghadapi benda-benda secara simbolik, anak memerlukan pengamatan-pengamatan terhadap waktu dan ruang serta hubungan antara keduanya terhadap objek dan kejadian-kejadian yang ada. Untuk kepentingan ini, program-program berkaitan dengan pengembangan

kemampuan konsep dan kognitif banyak dilakukan sebagai upaya pendekatan pendidikan terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar. Pendekatan pendidikan tersebut dilakukan melalui upaya pengaplikasian teori-teori tentang gerak-persepsi. Persepsi merupakan keterampilan yang perlu dipelajari oleh anak dengan hendaya kesulitan belajar. Dalam proses belajar seharusnya kegiatannya dapat

diarahkan ke pada dampak langsung dari adanya fasilitas-fasilitas berkaitan dengan persepsi. Beberapa bentuk persepsi yang mempunyai implikasi dalam pembelajaran
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

60 terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar antara lain konsep-konsep persepsi berkaitan dengan pengandaian, persepsi bagian-bagian dan keseluruhan, persepsi pendengaran, persepsi yang berkaitan dengan indera-raba, persepsi pengandaiansilang, persepsi bentuk dan arah, dan persepsi sosial. 3. Periode ketiga disebut dengan periode operasi konkret (concrete operation). Periode ini terjadi pada usia tujuh hingga sembilan tahun. Pada masa ini anak mulai mampu berfikir melalui hubungan (relationship), merasakan konsekuensi dari tindakantindakan, dan melakukan pengelompokkan yang sungguh-sungguh ada berdasarkan cara-cara logis. Anak mulai mampu melakukan sistimatisasi dan pengorganisasian cara berfikirnya. Pemikiran-pemikiran mereka dibentuk melalui pengalaman-

pengalaman sebelumnya dan tergantung pada objek-objek konkret dengan cara memanipulasi atau memahami sesuatu melalui panca inderanya. 4. Periode keempat adalah periode operasi-nyata (formal operations). Periode ini terjadi dimulai pada usia 11 tahun dan menggambarkan adanya perubahan besar dalam proses berfikir. Dalam periode operasi nyata ini berfikir mengarahkan pengamatanpengamatan langsung, tidak seperti periode-periode sebelumnya yakni pengamatanpengamatan mengarahkan cara berfikir. Anak mulai mempunyai kapasitas kerja

dengan abstraksi, teori-teori, dan hubungan antar objek secara logis tanpa mengacu terlebih dahulu ke pada hal yang konkret. Lebih lanjut, periode operasi-nyata

menyediakan orientasi secara menyamaratakan ke arah kegiatan yang bersifat pemecahan masalah.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

61 Menurut Piaget, transisi dari satu tingkat ke tingkat berikutnya melibatkan kedewasaan. Tingkatan-tingkatannya bersifat berurutan dan berjenjang, dan hal yang

esensial adalah anak diberikan kesempatan untuk memantapkan perilakunya dan memikirkan tentang apa yang ada dalam setiap tingkatan. Di sisi lain, kurikulum sekolah seringkali memerlukan pengkonseptualisasian terhadap perkembangan anak dan perkembangan logikanya dengan memberikan kesempatan yang cukup untuk mencapai pemahaman pada tingkat-tingkat sebelumnya (Lerner, J., 1985:171). Implikasi dari teori perkembangan kedewasaan terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar sangat signifikan, khususnya dalam memahami dan saat belajar tentang keberadaan-kelainannya. Teori ini menyatakan bahwa kemampuan kognitif anak

selalu berbeda secara kualitatif dan perkembangannya akan selalu berurutan yang tidak dapat berubah, sehingga perubahan cara berfikir akan terjadi secara terus-menerus. Maka sekolah hendaknya dapat menyusun suatu pola pembelajaran berdasarkan pengalamanpengalaman belajar anak guna mencapai pembentukan perkembangan pertumbuhan secara alamiah yang lebih menitikberatkan pada landasan berfikir dan adanya kesiapan untuk belajar (readiness) dari anak bersangkutan. Misalnya kesiapan untuk berjalan akan memerlukan tingkatan perkembangan gabungan dari sistem neurologis, kekuatan otot yang memadai, dan perkembangan fungsi motorik. Jadi, bagi anak dengan hendaya kesulitan belajar memerlukan perhatian yang lebih khusus dari guru-kelasnya. Perhatian secara khusus oleh guru terutama dalam membantu perkembangan anak bersangkutan melalui pemberian latihan-latihan berkaitan dengan kemampuan kesiapan belajar sebagai pra-syarat untuk melakukan langkah-langkah belajar berikutnya. Bagi anak dengan

hendaya kesulitan belajar (learning disability) yang belum siap dalam mempelajari suatu
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

62 mata pelajaran tertentu, terlebih dahulu dilakukan suatu evaluasi yang sensitif dan pola pembelajaran yang bersifat klinis. Pembelajaran klinis (clinical teaching), merupakan proses asesmen-

pembelajaran dalam bentuk khusus guna membantu siswa-siswa yang mempunyai hambatan-hambatan belajar. Tujuan dari pembelajaran yang bersifat klinis adalah untuk menyesuaikan pengalaman-pengalaman belajar siswa yang bersangkutan terhadap kebutuhan unik dari siswa dengan hendaya kesulitan belajar. Melalui asesmen dan analisis terhadap masalah belajar anak yang bersifat khusus, maka hasil-hasilnya dapat dijadikan informasi penting dalam penyusunan program pembelajaran klinis oleh gurukhusus. Asesmen tidak berhenti ketika prosedur treatmen-khusus dimulai, karena dalam kenyataannya esensi pembelajaran klinis merupakan kegiatan asesmen dan pembelajaran secara terus-menerus serta saling berkaitan. Guru khusus memodifikasi pembelajaran sebagai bentuk nyata untuk memenuhi kebutuhan baru, sehingga beberapa intervensi yang berbeda dapat dipergunakan dalam pembelajaran klinis. Guru khusus bagi

pembelajaran klinis merupakan seorang yang selalu memperhatikan, mengawasi, dan mengamati anak terhadap apa yang telah dilakukan oleh seorang anak dalam kegiatan belajar di sekolah. Mengamati bentuk-bentuk kesalahan siswa adalah suatu kegiatan yang amat penting untuk pencapaian keberhasilan belajar siswa yang bersangkutan. Dari kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh siswa bersangkutan dapat dijadikan petunjuk mengenai sampai sejauhmana tingkat perkembangan siswa, cara berfikir, pokok-pokok yang mendasari sistem bahasa siswa, dan cara belajar siswa. Sebagai contoh, seorang guru-khusus yang memperhatikan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat siswanya saat
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

63 membaca buku bacaan, merupakan petunjuk yang sangat berharga bagi pembinaan proses mental siswa. Petunjuk tersebut merupakan landasan pokok dalam membina kemampuan membaca siswa bersangkutan. Kesalahan-kesalahan siswa yang muncul saat membaca, merupakan suatu perilaku terbuka (overt behavior) dari siswa bersangkutan dan dapat menjadi aspek ungkapan dalam proses intelektual yang akan dianalisis oleh guru-khusus (Goodman & Gollasch, 1980-1981 dalam Lerner, 1985:100). Pembelajaran klinis dapat juga dipakai sebagai tinjauan terhadap suatu proses alternatif dalam bentuk: mengajar tes mengajar tes, kedudukan guru dalam kegiatan ini adalah sebagai pengajar dan penguji. Sebagai contoh dapat dilihat kasus di bawah ini. Andi seorang siswa kelas tiga sekolah dasar, membaca kalimat: Saya telah melihat orang batuk yang sebetulnya bacaan tersebut berbunyi: Saya telah melihat orang botak. Guru-khusus dapat menyimpulkan bahwa Andi mempunyai kesalahan baca yang perlu diperbaiki, dan memperkirakan apa yang menjadi sebab siswa bersangkutan salah baca. Pembelajaran-klinis yang akan diterapkan terhadap siswa bersangkutan akan tergantung pada hasil analisis-kesalahan. Hasil analisis guru terhadap kesalahan baca siswa tersebut berkaitan dengan apakah kesalahan tersebut disebabkan oleh adanya kesalahan-kesalahan persepsi-visual, kosa kata yang terlihat tidak tepat, rendahnya daya ingat siswa bersangkutan, kelangkaan keterampilan untuk melihat kata-kata, atau karena tidak memahami suatu teks bacaan.

Proses lengkap dari pembelajaran-klinis merupakan siklus yang terdiri atas: (1) diagnosis (dalam hal ini melakukan asesmen), (2) perencanaan pembelajaran, (3) implementasi, (4) evaluasi sebagai arahan untuk melakukan, (5) modifikasi diagnosis. Selanjutnya kembali ke pada siklus semula, dan seterusnya. Dalam pembelajaran-klinis, sistem ekologis (ecological system) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap belajarsiswa. Sistem ekologis disini adalah suatu interaksi diantara individu siswa dengan berbagai bentuk lingkungan dimana siswa yang bersangkutan hidup dan tumbuh. Misalnya, lingkungan yang ada di sekitar rumah, kelompok sosial tertentu, dan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

64 lingkungan budaya lokal yang kesemuanya dapat mempengaruhi tingkat kemampuan belajar siswa. Sistem ekologis yang baik sangat membantu secara positif terhadap kemajuan siswa disamping itu dapat membantu siswa untuk memahami suatu mata-pelajaran tertentu. Oleh karena itu guru-kelas harus lebih sensitif terhadap pengaruh-pengaruh sistem ekologis terhadap cara belajar, sikap, dan tingkat kemajuan siswanya. Menurut Barsch (1965 dalam Lerner, 1985:107), faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran dapat disesuaikan-kembali dalam proses kegiatan pembelajaran klinis oleh guru-khusus (dalam hal ini biasanya dilakukan oleh guru-kelas). Faktor-faktor tersebut adalah: ruang, waktu, keserba-ragaman tugas-tugas, tingkat kesulitan yang dihadapi siswa, bahasa, dan hubungan yang baik antara pribadi siswa dengan guru.

c. Strategi Pembelajaran bagi Anak dengan Kesulitan Belajar Strategi pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar berfokus pada cara menyajikan kegiatan-kegiatan yang dapat mewakili keterampilan gerak dan fungsi persepsi (terutama visual, pendengaran, dan kesadaran terhadap tubuh). Dalam kegiatan pembelajaran tersebut, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kerja otot-otot besar (gross-motor) diusahakan dapat melibatkan seluruh otot-tubuh dan kemampuan untuk bergerak dari berbagai anggota tubuh, seperti pengaruh daya bobot, gerak menyamping, dan gerak yang menyadari akan adanya garis-tengah tubuh. Tujuan dari kegiatan gerak semacam itu adalah untuk pengembangan secara bertahap terhadap efektivitas gerak-tubuh sehingga dapat meningkatkan panca-indera siswa berkaitan dengan orientasi-ruang, dan kesadaran tubuh. Kegiatan-kegiatan itu menyangkut

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

65 kegiatan keseimbangan seperti berjalan di atas balok keseimbangan (balance beam), dan kegiatan-kegiatan gerak gross-motor lainnya seperti berjalan, menangkap dan melempar, serta koordinasi gerak-mata. Kegiatan latihan-latihan berkaitan dengan kemampuan persepsi hendaknya bertujuan untuk mencapai prestasi akademik terutama sekali dalam membaca. Terdapat lima fungsi persepsi-visual sebagai bagian dari bentuk yang esensial dalam meningkatkan kemampuan persepsi-visual, yaitu: (1) koordinasi gerak-visual, (2) persepsi terhadap bentuk dasar tubuh, (3) persepsi-kekonstanan, (4) persepsi-posisi dalam suatu ruangan, (5) persepsi terhadap hubungan antar ruang (Frostig, 1968 dalam Lerner, 1985:299). Dalam latihan-latihan persepsi-membedakan terdapat tiga gugus tugas yang sumbangannya sangat tinggi dalam: (1) kemampuan untuk membaca huruf dan angka, (2) kemampuan untuk menirukan pola-pola yang berbentuk geometri, dan (3) kemampuan untuk menjodohkan kata-kata. Keterampilan persepsi-membedakan yang diterapkan

melalui pemberian tugas-tugas dalam latihan keterampilan persepsi-visual dapat meningkatkan kemampuan membaca (Barret, 1965 dalam Lerner, 1985:299). Beberapa contoh kegiatan yang dapat meningkatkan persepsi-visual antara lain latihan keterampilan menggunakan media: teka-teki (puzzle), menyusun bagian-

perbagian, menyusun balok-balok, menemukan sub-bagian dari suatu bentuk yang hilang dalam gambar, mengklasifikasikan bentuk-bentuk/ ukuran/ warna terhadap bentuk bangun geometri, permainan domino, bermain kartu, menemukan bagian-bagian yang dihilangkan, persepsi-visual terhadap kata-kata (seperti permainan menjodohkan hurufhuruf, mengelompokkan kata-kata, menggambarkan bentuk bangun geometri yang sesuai dengan huruf).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

66 Berkaitan dengan persepsi-pendengaran, kegiatan latihan sebaiknya ditujukan ke pada kegiatan-kegiatan yang lebih menititikberatkan ke pada keterampilan membangun kesiapan belajar (readiness), meliputi sensitivitas pendengaran, kesiapanmenerima pembelajaran, membedakan pendengaran, memahami suara dalam sebuah kalimat, dan daya ingat melalui pendengaran. Strategi pembelajaran yang disusun guru hendaknya diupayakan agar dapat meningkatkan kemampuan persepsi-pendengaran siswa. Kegiatan-kegiatan yang sangat dianjurkan berkaitan dengan penggunaan strategi pembelajaran adalah kegiatan yang menggunakan latihan mendengarkan suara, mencatat bunyi-bunyian dari sumber-bunyi, mendengarkan bunyi-bunyi yang dibuat oleh guru, membedakan bunyi makanan yang dikunyah oleh mulut, membedakan bunyi-bunyi melalui guncangan-guncangan, dan membedakan suara dari sumber yang berbeda-beda.

d. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak dengan Learning Disability Aplikasi gerak irama dalam pembelajaran terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar lebih difokuskan ke pada peningkatan kemampuan gerak (keterampilan gerak dan pola-gerak) dan kemampuan persepsi siswa agar dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perkembangan konseptual. Dalam kenyataannya, siswa dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan satu atau lebih dalam proses dasar pemahaman atau penggunaan bahasa lisan maupun bahasa tulis. Sebagai contoh dalam hal ini adalah adanya hambatan dalam membaca, menulis, matematika, meng-eja huruf, mendengarkan, berfikir dan daya ingat, disamping adanya penyimpangan pada keterampilan perseptual, keterampilan gerak, atau juga pada aspek-aspek belajar lainnya.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

67 Kekurangan dalam satu atau lebih dari komponen-komponen proses belajar berkaitan dengan perilaku psikomotor. Seorang anak akan mempelajari secara selektif terhadap apa-apa yang telah diterima oleh sensori yang ada di otak yang memberikan informasi-masukan berkaitan dengan lingkungan kehidupannya. Untuk memperoleh arti, stimulasi sensori tersebut harus dapat berproses sebagaimana mestinya, dapat berhubungan, dan menyatu dalam lapisan luar otak (cortex) untuk memperoleh gambaran informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Informasi yang diperoleh (merupakan

kemampuan perseptual dan keterampilan berkaitan dengan pemahaman-tubuh) disimpan dalam otak untuk dapat digunakan pada masa yang akan datang setelah terjadinya respon. Respon psikomotor akan dimunculkan setelah adanya analisis. Tipe dari respon itu dapat berupa bicara, menulis, meng-eja, isyarat-tubuh, ekspresi wajah, melakukan pola-pola gerakan, atau keterampilan psikomotor khusus seperti memukul bola.

e. Pendekatan yang Diperlukan dalam Aplikasi Gerak Irama pada Learning Disabilty Berdasarkan pengamatan para ahli, anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai keterampilan gerak yang kaku, keseimbangan yang kurang baik, ketangkasan tangan yang sangat kurang, atau keterlambatan dalam mempelajari keterampilan gerak (seperti dalam keterampilan: mengendarai sepeda, menangkap bola, menggunakan peralatan makan). Anak dengan hendaya kesulitan belajar juga sering menunjukkan ketidakmampuan dalam koordinasi gerak dan mendapatkan gangguan persepsi berkaitan dengan masalah-masalah belajar. Misalnya, (1) tulisan tangan yang jelek dapat saja diakibatkan oleh adanya masalah pada fine-motor berupa kesulitan dalam koordinasi
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

68 gerak antara mata dan tangan, (2) kelainan berbicara dimungkinkan adanya hambatan gerak pada mekanisme alat-bicara (seperti kurangnya kemampuan kontrol terhadap gerak lidah atau bibir), (3) masalah kegiatan menjumlahkan angka seringkali berkaitan dengan adanya hambatan terhadap persepsi-ruang (Lerner, J., 1985:264). Berdasarkan hambatan-hambatan tersebut di atas, maka fokus pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar sebaiknya ditujukan ke pada pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan gerak-sensori dan gerak-persepsi. Menurut Piaget (1936/ 1952) penekanan terhadap pembelajaran gerak-sensori sejak usia dini merupakan landasan untuk membangun perkembangan kognitif dan persepsi yang kompleks pada diri anak (dalam Lerner, J., 1985:265). Dengan kata lain, pendekatan pembelajaran melalui peningkatan gerak-sensori dan gerak-persepsi akan mencakup konsep-konsep tentang kesegaran jasmani (physical fitness), olahraga (exercise) dan kegiatan-kegiatan gerak (gerak disini, diartikan sebagai keterampilan dan pola gerak dalam cakupan body movement atau gerak irama) yang merupakan elemen esensial untuk mencapai kesehatan diri dan meningkatkan kehidupan dan kerja bagi setiap individu, tidak terkecuali bagi anak dengan hendaya kesulitan belajar. Lebih lanjut, pendekatan pembelajaran dengan menggunakan strategi

pembelajaran kognitif terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar hendaknya berfokus ke pada bagaimana (How) caranya belajar, bukan pada apa (What) yang dipelajari. Umumnya, anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak menggunakan strategi belajar dengan baik dan tidak tahu bagaimana cara belajar. Peran guru-khusus sangat penting dalam upaya membantu saat menyusun kerangka kerja belajar setiap siswa yang mempunyai permasalahan dalam belajar. Peran guru dalam hal ini adalah mengusahakan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

69 agar setiap siswa dapat memahami proses berfikir dan mengembangkan strategi-belajar yang telah diperolehnya. Pemahaman terhadap proses berfikir diharapkan dapat

meningkatkan kemampuan belajar siswa bersangkutan atau keterampilan akademiknya. Penguasaan keterampilan akademik bagi siswa dengan hendaya kesulitan belajar merupakan bentuk pendekatan pembelajaran kognitif yang lebih menekankan pada hasil analisis terhadap tugas-tugas akademik berkaitan dengan keterampilan mata pelajaran tertentu yang mengarah ke pada pencapaian tugas-tugasnya (Lerner, J., 1985:192). Tentu saja, teori-teori berkaitan dengan belajar merupakan kerangka-kerja yang esensial untuk dipahami oleh guru-kelas yang menangani siswa dengan hendaya kesulitan belajar dalam upaya membentuk perkembangan kemampuan belajar terhadap suatu mata pelajaran (khususnya membaca) pada diri siswa bersangkutan. Bagi siswa dengan hambatan membaca yang telah menerima intervensi pendidikan secara khusus seringkali menunjukkan adanya perkembangan yang sangat baik. Intervensi ini diterima oleh siswa bersangkutan melalui pendekatan khusus.

Pendekatan-pendekatan khusus yang digunakan dalam meningkatkan kemampuan membaca pada umumnya melalui pembelajaran yang erat kaitannya dengan kegiatan untuk mengenali kata secara sepintas, keterampilan-keterampilan phonic, dan mengenali kata-akhir (Hewison, 1982 dalam Batsahaw & Perret, 1986:29). Pendekatan semacam ini dikenal dengan metode Orton-Gillingham yaitu penggunaan teknik: Visual Kinesthetic Tactile (VAKT) yang telah dimodifikasi dengan menggunakan multisensori, sintetik dan metode alfabetik. Pendekatan kedua, adalah pendekatan dengan menggunakan metode Fernald. Siswa mulai belajar membaca dengan cara menyeleksi kata yang ingin dipelajarinya,
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

70 kemudian melakukan peng-ejaan, pengucapan bunyi, dan pembagian atas suku kata. Baru kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kata, menuliskan dan menelusuri kata dengan jari-jarinya. Setelah itu, siswa menuliskan kata yang ada dalam ingatannya, dilanjutkan dengan memasukkan kata tersebut ke dalam kotak yang telah berisikan katakata baru. Pada akhirnya barulah siswa menuliskan kalimat dan menceriterakan sebuah ceritera. Pendekatan pembelajaran untuk mata pelajaran membaca dan seni berbahasa model Gillingham dan Fernald berdasarkan atas orientasi secara psikoneurologis. Sejumlah materi dan kegiatan disusun berdasarkan atas hasil asesmen terhadap persepsi dan pemrosesan informasi dengan menggunakan tes baku semacam Illinois Tes of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yaitu suatu tes yang disusun untuk mengukur pemahaman bahasa secara verbal dan non-verbal, atau dengan Direct Instructional System for Teaching and Remediation (DISTAR), yaitu suatu sistem pembelajaran yang disusun untuk mengajar keterampilan dasar dan konsep-konsep dalam membaca, menghitung angka, dan bahasa pada anak-anak dengan kebutuhan khusus tingkat sekolah dasar. Model ini disusun berdasarkan atas analisa tugas (task analysis) dari keterampilanketerampilan dasar dan penyajian bahan-bahan dalam suatu model pembelajaran secara langsung. Kedua tes tersebut berisikan materi membaca dan bidang lainnya berkaitan dengan prinsip-prinsip analisis perilaku (Wallace & McLuoghlin, 1979 dalam Reynolds & Mann, 1987: 922). Pendekatan secara visual kinesthetic tactile serta model Fernald sangat sesuai bila diterapkan secara bersamaan dengan mengaplikasikan model pembelajaran dengan pola-gerak (motor patern) dan keterampilan gerak (motor skill). Salah satu alasan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

71 adalah bahwa anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai masalah dalam geraksensori dan gerak-persepsi (khususnya pada persepsi visual, pendengaran, dan keseimbangan) yang memerlukan latihan-latihan khusus berkaitan dengan peningkatan koordinasi gerak pada gross dan fine motor. Lerner (1985:269) menyatakan bahwa

tahap awal seseorang belajar mengenali lingkungan, yakni dengan mempelajari motor patern dan motor skill melalui respon gerakan otot dan perilaku gerak untuk melakukan interaksi dan mempelajari tentang kehidupan di lingkungan dirinya, atau dikenal lebih luas sebagai body movement atau gerak-irama. Melalui pendekatan ketiga yaitu dengan pengalaman bahasa, seorang guru memberikan kesempatan ke pada siswa untuk berceritera dan guru menuliskan kata-kata secara persis dengan apa yang diucapkan siswa. Guru kemudian membacanya dan

selanjutnya siswa membaca tulisan itu sampai dapat menguasai seluruh bacaan. Pendekatan keempat, adalah dengan menggunakan metode pemberian warna. Sekelompok kata atau kalimat diberikan warna yang khas, dan kombinasi huruf dipelajari dengan paduan warna. Dan pendekatan kelima, adalah pendekatan secara neuropskilogis. Pendekatan secara neuropsikologis lebih menekankan pada penggunaan fungsi neurologis untuk membantu strategi pengembangan remedial (Hynd & Cohen, 1983 dalam Batshaw & Perret, 1986:292). Penekanan khusus diidentifikasikan dalam testing secara neuropsikologis.

f. Rancangan Pembelajaran untuk Learning Disability Seperti yang telah diuraikan dalam konsep dasar anak dengan kesulitan belajar yang menyatakan bahwa anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

72 pada faktor gerak, persepsi, dan keseimbangan. Dampak dari hambatan-hamabatan itu, faktor perkembangan konseptual dan kognitif menjadi kurang berfungsi secara optimal. Guru-kelas atau guru-khusus sebaiknya perlu mewaspadai adanya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa dengan hendaya kesulitan belajar sewaktu menyelesaikan tugas-tugas akademik di sekolah. Artinya bahwa guru tidak boleh secara langsung

membuat rancangan pembelajaran dan pelaksanaan kegiatan belajar sebelum dilakukan observasi dan analisis secara sensitif terhadap kesalahan yang telah dibuat siswa bersangkutan. Jika terjadi kesalahan-kesalahan pada hasil kerja siswa dengan hendaya kesulitan belajar, sebaiknya guru-kelas melakukan pembelajaran klinis terlebih dahulu. Pembelajaran klinis sangat diperlukan sebelum program kegiatan akademik suatu mata pelajaran tertentu diterapkan. Pembelajaran klinis mempunyai bentuk siklus tersendiri, yakni di awali dengan fase asesmen, guru melakukan diagnosis terhadap kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh siswa pada hasil-kerja suatu tugas akademik di sekolah. Fase kedua, adalah fase perencanaan, setelah guru menganalisa kesalahan yang terjadi, guru menentukan hambatan dan bentuk kesulitan apa yang menyebabkan siswa melakukan kesalahan. Berdasarkan jenis kesalahan tersebut guru membuat rancangan pembelajaran klinis berupa perencanaan pemberian tugas-tugas khusus dalam kegiatan belajar secara tersendiri, dalam hal ini analisa tugas (task analysis) perlu diterapkan. Pada fase ketiga, yaitu fase implementasi yaitu menerapkan rancangan pembelajaran klinis dalam bentuk analisa tugas terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar, dilanjutkan dengan fase ke-empat yaitu fase evaluasi, dalam fase ini guru-kelas melakukan evaluasi terhadap prestasi belajar siswa bersangkutan. Bila ternyata hasilnya belum optimal, maka fase
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

73 kelima yakni fase modifikasi dari bentuk asesmen diterapkan guna membantu dan mengarahkan kemampuan kognitif melalui perkembangan konseptual yang telah dikuasai oleh siswa yang bersangkutan. Fase-fase dalam putaran ini dapat berlangsung secara terus-menerus selama siswa dengan hendaya kesulitan belajar belum mencapai prestasi yang diinginkan berkaitan dengan kemampuan persepsi dan geraknya. Jika dianggap bahwa terjadi perkembangan yang nyata dari pembelajaran klinis tersebut di atas, maka guru-kelas dapat melanjutkan program pembelajaran yang mengaplikasikan gerak irama sebagai upaya untuk pencapaian perkembangan kedewasaan secara optimal. Tahapan-tahapan yang dilakukan sebelum menyusun rancangan pembelajaran sebagai program aplikasi gerak irama dalam pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar, sebagai berikut. a). Melakukan skrining atau asesmen-awal dengan menggunakan instrumen Geddes Psychomotor Inventory profil I & II (GPI P.I & II) serta daftar cek kemampuan persepsi untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan perilaku psikomotor berupa gerak-sensori, gerak-persepsi, dan keseimbangan tubuhnya. b). Melakukan analisis hasil skrining atau asesmen awal yang telah dilakukan pada langkah 1 tersebut di atas. c). Membuat skematis dan bagan pola gerak yang akan diterapkan pada rancangan pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama. d). Membuat rancangan pembelajaran untuk mata pelajaran tertentu dengan memasukkan unsur-unsur pola-gerak dalam kegiatan belajar-mengajar terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar yang spesifik.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

74 e). Melakukan evaluasi terhadap hasil kegiatan pembelajaran yang mengaplikasikan gerak irama terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar spesifik. Evaluasi

menggunakan instrumen GPI. I & II serta daftar cek kemampuan persepsi. Hasil evaluasi ini kemudian diperbandingkan dengan hasil skrining (yang telah dilakukan pada langkah 1). Jika ternyata hasilnya ada peningkatan, maka kegiatan belajar berikutnya dapat langsung menggunakan rancangan pembelajaran yang bersifat umum. Bila masih belum ada perkembangan maka dilakukan kembali pembelajaran klinis. Jika hasil perolehan re-rata dari seluruh daftar cek mencapai nilai 3 (tiga) sampai 4 (empat) dinyatakan berhasil, kurang dari 3 (tiga) dinyatakan belum berhasil.

Di bawah ini merupakan contoh dari seluruh kegiatan belajar-mengajar yang mengaplikasikan program gerak irama dalam rancangan pembelajaran terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar (learning disablity). Siswa contoh adalah siswa

bernama BB berusia 7 tahun, duduk di kelas satu sekolah dasar, mendapatkan kesulitan belajar Matematika dalam pokok bahasan: Geometri (Semester II), dengan sub-pokok bahasan: Penjumlahan Bilangan sampai 100 dengan Deret Angka ke Bawah.

Kegiatan Langkah 1 Melakukan Skrining dengan Instrumen GPI Disebabkan usia siswa-contoh adalah 7 tahun maka instrumen Geddes Psychomotor Inventory yang dipergunakan adalah Daftar Cek: (1). GPI Primary Level untuk umur 6 hingga 9 tahun (sebagai GPI Profile I). Sedangkan GPI Profile II meliputi:

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

75 Daftar Cek untuk (2) Kemampuan Persepsi Gross Motor dan (3) Fine Motor. Dilanjutkan dengan Daftar Cek untuk (4) Kemampuan Persepsi Gerak. Mengenai skematis dan bagan pola-gerak yang disusun berdasarkan atas hasil analisis dari ke-empat daftar cek tersebut di atas, dan disesuaikan dengan hambatan pada mata pelajaran Matematika (semester II) dalam Penjumlahan Bilangan sampai 100 dengan Deret Angka ke Bawah. Begitu pula Contoh Rancangan Pembelajaran untuk siswa-contoh dibuat berdasarkan acuan kegiatan-kegiatan yang tercantum pada langkah 1 hingga langkah 5. Langkah-langkah kegiatan skrining, seperti yang ada pada halaman berikut.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

76

GPI PROFIL I (PRIMARY LEVEL UMUR 6 HINGGA 9 TAHUN) Cara Pengisian jawaban
Berilah tanda checklist (V) pada:
Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan sama sekali. =

77

2,75

No. TINGKAT PENGUASAAN A. Gerak Dasar dan Daya Gerak : A.1 Berjalan A.2 Berlari A.3 Memanjat A.4 Mekanisme gerak tubuh A.5 Melompat A.6 Meloncat-loncat A.7 Lari mencongklak A.8 Melangkah dilanjutkan dengan meloncat. B. Penguasaan Diri: B.9 Mampu melakukan orientasi ruang B.10 Bergerak ke arah yang sejajar dengan objek lain B.11 Bergerak lurus ke depan B.12 Mengetahui fungsi dan gerak tubuh B.13 Mengetahui garis tengah tubuh B.14 Mengenali bagian tubuh sendiri C. Kemampuan Persepsi: C.15 Merespon terhadap persepsi dengar C.16 Merespon terhadap persepsi pandang C.17 Merespon terhadap persepsi rabaan D. Koordinasi Gerak Mata: D.18 Dengan tangan D.19 Saat memandang D.20 Dengan kaki E. Memanipulasi Gerak: E.21 Menulis dan menggambar E.22 Melakukan gerakan dengan berbagai cara terhadap benda F. Menguasai Alat: F.23 Bersepeda F.24 Bergerak sepanjang garis sejajar G. Penguasaan terhadap bola / benda sejenis: G.25 Melempar G.26 Menangkap G.27 Menendang G.28 Memukul Jumlah masing-masing skor:
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V 5 V 13 8 2

77

GPI Profile II KEMAMPUAN PERSEPSI MOTORIK HALUS (FINE MOTOR)


Petunjuk Pengisian pada Kolom Berangka Berilah Tanda Checklist (V) pada Kolom Berangka Sebagai Berikut:
Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak melakukannya dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan secara penuh Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan.

No. 59 60 61 62 63 64 65 66

JENIS KEMAMPUAN
Menyalin bentuk empat persegi panjang Menyalin bentuk segitiga Menuliskan beberapa huruf Menggambarkan : tubuh, tangan, kaki orang secara lengkap Melipat kertas ke arah miring setelah diberi contoh Meniru membuat untaian manik-manik Menggunting sepanjang garis bentuk gambar tertentu Memberi warna pada suatu bidang seluas satu inchi

3
V V V V

V V V V 6 2

Jumlah Masing-Masing Skor:

22

2,75

GPI Profile II KEMAMPUAN PERSEPSI MOTORIK KASAR (GROSS MOTOR)


Cara Pengisian pada Kolom Berangka Berikan Tanda Checklist (V) pada Kolom Angka Sebagai Berikut:
Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sedikit Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan

No. JENIS KEMAMPUAN FD. 7 Tahun FD. 7 : 106 Dalam sikap tiduran: Kedua kaki diangkat, lutut menekuk FD. 7 : 107
bersudut 45 derajat, kedua lengan di samping tubuh, bahu terangkat ke atas, mata terpejam, selama 10 detik. Duduk di pinggir meja, tangan dikepal, kemudian mengetukketuk meja dengan salah satu jari tangan (kiri/ kanan) diiringi dengan ketukan kaki (kiri/ kanan) pada lantai, secara bergantian. Dilakukan secara teratur selama 20 detik

Jumlah = 5 = 2,5

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

78

KEMAMPUAN PERSEPSI GERAK (PERCEPTUAL MOTOR SKILLS)


Petunjuk Pengisian
Berilah Tanda Checklis (V) pada Kolom Berangka Sebagai Berikut: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan bantuan secara verbal/ lisan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan bantuan secara fisik Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan bantuan verbal dan fisik Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan.

No.

JENIS KEMAMPUAN

A. Penglihatan Dekat dengan Jarak 1 Meter A. 1 A. 2 A. 3 A. 4


Mata mengikuti garis tegak-lurus Mata mengikuti garis-sejajar Mata mengikuti garis-diagonal Mata mengikuti pola berbentuk bundar V V V V

B. PenglihatanJarak-jauh: Sejauh 3 Meter B. 5 B. 6 B. 7 B. 8 B. 9


Mata mengikuti garis tegak-lurus Mata mengikuti garis-sejajar Mata mengikuti garis-diagonal Mata mengikuti pola berbentuk bundar Mata ditujukan ke titik pusat-pandang V V V V V

C. Membedakan Bentuk Malalui Daya Pandang C. 10 C. 11 C. 12 C. 13 C. 14 C. 15 C. 16 C. 17


Mencocokkan beberapa bentuk geometris Mencocokkan beberapa bentuk suatu benda Membuat bentuk angka 1 Membuat bentuk tanda: Membuat bentuk : Membuat bentuk tanda: + Membuat bentuk gambar Membuat bentuk gambar V V V V V V V V

D. Membedakan Bentuk Melalui Daya Pandang D. 18 D. 19


Mampu Menyusun bentuk yang berbeda ukuran secara tepat Memahami konsep-konsep: besar dan kecil V V

E. Mengetahui Perbedaan Warna E. 20 E. 21 E. 22


Dapat mencocokkan warna-warna Memilih warna Menyebutkan nama: jenis-warna Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie V V V

79

Lanjutan Kemampuan Persepsi Gerak No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0

F. Koordinasi Mata Tangan F. 23 F. 24 F. 25 G. G. 26 G. 27


Garis tegak lurus dengan titik-titik tegak Garis sejajar dengan titik-titik mendatar ( .. ) Garis menyilang dengan titik-titik diagonal (

V V
)

Kemampuan Memadukan
Dapat memadukan bentuk 6 potongan-potongan kecil ke dalam bentuk gambar (misalnya: Potongan-potongan gambar: Bebek) Dapat memadukan 14 bagian menjadi kesatuan utuh (misalnya: Gambar seorang penjual susu)

V V

H. Menggali Benda-benda Padat Melalui Sentuhan (Stereognosis) H. 28 H. 29 H. 30 I. I. 31 I. 32 I. 33 I. 34 J. J. 35 J. 36 J. 37 J. 38 J.39 J. 40 J. 41 J. 42


Dengan mata terpejam dapat merasakan dan menyebutkan sebuah sisi Dengan mata terpejam dapat merasakan dan menyebutkan sebuah sendok Dengan mata terpejam dapat merasakan dan menyebutkan sikat-gigi

V V V

Pendengaran
Dapat membedakan suara-suara: Lemah - kuat Dapat menggolongkan suara: lemah dan kuat Melalui pendengaran dapat membedakan objek yang berada di depan dan di belakangnya walau dengan mata terpejam Mampu menirukan bunyi (setelah mendengarkan), misalnya: Do-ReMi

V V V V

Konsep-konsep Tentang Tubuh


Memahami secara benar tentang nama masing-masing anggota tubuh (sambil menunjukkan anggota tubuh tersebut) Memahami fungsi anggota tubuh antara bagian yang satu dengan lainnya (Misalnya, mampu membuat gambar tentang dirinya) Dapat menyusun teka-teki gambar tubuh anak laki-laki/ Wanita sesuai dengan bagian-bagian tubuh. Mampu memanipulasi tubuhnya melewati sebuah rintangan Memahami hubungan antara bagian-bagian tubuh dengan bendabenda di sekitarnya (Misalnya, meletakkan kemeja pada tubuh secara benar) Dapat merasakan: sedih/ gembira, dengan cara menangis/ tertawa. Kesadaran tubuh secara gerak kinestetik (dapat mengulangi gerakan tangan ke arah sisi dan menurunkannya dengan mata terpejam) Kesadaran tubuh-kinestetik secara gerak halus

V V V V V V V V

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

80

Lanjutan Kemampuan Persepsi Gerak No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0

K. Memahami Posisi Tempat Dapat mengangkat kedua tangan ke atas K. 43 Dapat menempatkan kedua lengan pada posisi bawah tubuh K. 44 Dapat meletakkan kedua lengan di depan tubuh K. 45 Dapat meletakkan kedua lengan di belakang tubuh K. 46 Dapat meletakkan kedua lengan di atas kepala K. 47 Dapat menaruh kedua lengan di bawah kursi K. 48 Dapat menaruh kedua lengan di samping tubuh K. 49 Dapat mengenali tangan kanan K. 50 Dapat mengenali tangan kiri K. 51 L. Hubungan dengan Pola Ruang L. 52
Dapat menirukan suatu pola-bentuk dengan tiga balok

V V V V V V V V

M. Daerah Penglihatan : Gerak Fine-motor M. 53 M.54 M. 55 M. 56 M. 57 M. 58 M. 59


Dapat membuat sebuah bentuk kotak secara aktif Dapat menggambarkan sebuah dengan pinsil Dapat menggambar dengan pinsil Dapat menggambar tanda : X Dapat menggambar berbagai bentuk persegi (seperti berlian) Dapat melempar bola melewati kedua lutut Dapat menggelindingkan bola

V V V V V V V

N. Jumlah dan Angka-angka (pada Peg-board) N. 60 N. 61 N. 62 N. 63 N. 64


Dapat membedakan satu dengan banyak Dapat membedakan antara angka 1 dengan angka 2 Dapat menghitung angka sampai dengan 10 Dapat memahami angka hingga 30 (dengan menghitung setinggimungkin) Memahami konsep angka 6 (dengan cara menempelkan 6 biji peg pada board)

V V V V V

O. Konsep Tentang Waktu O. 65 O. 66


Memahami konsep waktu: Siang dan Malam (dapat membandingkan antara gambar yang menandakan siang/ malam) Mengenali gambar tentang musim: Penghujan/ Kemarau

V V

P. Memahami Sesuatu Tentang Benda P. 67 P, 68 P. 69


Tahu nama sebuah benda melalui gambar Mengenali benda, serta tahu cara menggunakannya Dapat menceriterakan sebuah dongeng yang baru ia dengar Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

V V V

81

Lanjutan Kemampuan Persepsi Gerak No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0

Q. Konsep Tentang Gerak Tubuh Q. 70 Q. 71 Q. 72 Q. 73 Q. 74


Menirukan suatu gerak sentuhan tangan - kiri ke telinga-kanan Menirukan gerak sentuhan tangan-kanan ke telinga-kiri Menirukan gerak sentuhan tangan-kiri ke mata-kanan Menirukan gerak sentuhan tangan-kanan ke mata-kiri Menggambar garis sejajar dari arah kiri ke kanan di papan tulis, dengan menggunakan tangan yang tidak biasa digunakan

V V V V V 27 31 14 -

Jumlah Keseluruhan Masing-masing Skor:

Re-rata Skor Keseluruhan:

REKAPITULASI HASIL OBSERVASI KEMAMPUAN PERSEPSI GERAK

No. & Kode


1. A 2. B 3. C 4. D 5. E 6. F 7. G 8. H 9. I 10. J 11. K 12. L 13. M 14. N 15. O 16. P 17. Q

JENIS KEMAMPUAN
Penglihatan dekat dengan jarak 1 meter Penglihatan jarak-jauh: 3 meter Membedakan bentuk geometris Membedakan bentuk melalui daya pandang Mengetahui perbedaan warna Koordinasi: mata tangan Kemampuan memadukan Mengenali benda-benda padat melalui sentuhan (stereognosis) Pendengaran Konsep-konsep tubuh Memahami posisi tempat Hubungan dengan pola ruang Daerah penglihatan: gerak fine motor Jumlah dan angka-angka (pada peg-board) Konsep waktu Memahami sesuatu benda Konsep gerak tubuh

Jumlah () 12 11 24 7 12 23 6 11 15 25 26 3 19 17 8 11 18 253

Re-rata (X) 3 2,2 3 3,5 4 3,8 3 3,6 3,75 3,1 3,25 3 2,7 3,4 4 3,6 3,6 43,6:17= 2,56

Jumlah keseluruhan:

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

82 Kegiatan Langkah 2 Menganalisis Hasil Skrining Analisis Hasil Skrining dari GPI I, GPI II (Gross motor, Fine motor dan Persepsi gerak) Diperoleh data sebagai berikut: 1. Rerata GPI I 2. Rerata Fine Motor 3. Rerata Gross Motor = 2,75 = 2,75 = 2,50

4. Rerata Persepsi Gerak = 2,56. 5. Jumlah Rerata Keseluruhan = 10,56. Rerata Hasil skrining = 2,64

Dari hasil rerata hasil skrining diperoleh angka sebesar 2,64, ini berarti bahwa siswa-contoh diperlukan pembelajaran klinis terlebih dahulu sebelum pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama.

Langkah 3 Membuat Skematis dan Bagan Pola Gerak

Dari hasil skrining tersebut, ternyata siswa-contoh mempunyai hambatan belajar. Hambatan-hambatan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan keterampilan-gerak gross dan fine motor (dengan rerata hasilnya 2,75 dan 2,50), dan pada faktor persepsi-gerak (reratanya 2,56). Ini berarti bahwa siswa contoh tersebut masih memerlukan bantuan secara verbal dan fisik dalam melakukan kegiatan berkaitan dengan keterampilan-gerak, dan persepsigeraknya. Faktor-faktor yang sangat memerlukan layanan khusus berkaitan dengan keterampilan persepsi dan pola-gerak dalam pembelajaran individual berbasis gerak irama, berkaitan dengan:
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

83 a. persepsi-pandang, persepsi-raba, persepsi penglihatan jarak jauh. b. orientasi ruang, memanipulasi tubuh. c. fungsi gerak, gerak lurus/ menyamping/ sejajar. d. memahami posisi tempat. Informasi hasil skrining tersebut di atas sangat membantu guru-kelas dalam penyusunan suatu program pembelajaran yang mengaplikasikan pola gerak irama. Berdasarkan informasi hasil skrining dan silabi atau kurikulum maka disusunlah skema pola gerak dan bagan pola gerak yang akan diterapkan dalam program pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama, sebagai berikut. Tabel 7.1 Skematis Pola Gerak untuk Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar
POLA GERAK (Skills Themes)

Lokomotor Konsep Gerak


A. Dimana Tubuh Digerakkan: 1. Lokasi 2. Arahnya 3. Tingkat gerak 4. Perluasan B. Bagaimana Tubuh Digerakkan: 1. Waktu 2. Tenaga 3. Arah/ Jalur Jalan dan Lari

Manipulatif
Lempar dan Tangkap

Non-Manipulatif
Meloncat dan berjingkat

Di bangsal Olahraga. Ke depan/ ke belakang/ ke samping. Sedang dan cepat. Zigzag/ Memutar/ Lurus. Tempo cepat, teratur. Sedang dan sepenuhnya. Di arahkan.

Di Bangsal Olahraga Ke depan/ ke belakang/ ke samping. Sedang. Melambung tinggi.

Di Bangsal Olahraga Ke depan/ ke samping Sedang/ cepat. Sejauh-jauhnya.

Tempo sedang. Sedang dan sepenuhnya. Ke depan.

Sedang dan cepat Sepenuhnya. Ke depan dan Ke samping/ Ke kiri dan ke kanan. Sejauh-jauhnya ke muka. Menggunakan batas tujuan arah. Secara bersamaan dengan kelompoknya.

C. Relationship: 1. Dengan tubuh 2. 3. Dengan Objek/orang Bentuk Sosialnya

Gerakannya melebar dan menyempit. Berteman/ Sejajar. Berpasangan.

Saling berhadapan. Berteman, dengan satu bola. Saling ganti pasangan.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

84

PA. A.

C. B D. E.

Bagan 7.1 Pola Gerak untuk Siswa dengan Hendaya Kesulitan Belajar Usia 7 Tahun

Keterangan Bagan 7.1

PA = Posisi awal siswa melakukan kegiatan A/B/C/D/E = Lokasi untuk melakukan kegiatan akademik (dalam hal ini menghitung penjumlahan dengan deret hitung ke bawah). Dalam kegiatan di masingmasing lokasi diiringi dengan kegiatan intervensi-guru untuk melakukan treatmen terhadap hambatan-hambatan dari faktor gerak, persepsi dan keseimbangan. Di Lokasi A siswa melakukan penjumlahan deret hitung lurus sambil menyanyikan lagu Satu-satu aku sayang Ibu dst.nya Di Lokasi B siswa melakukan penjumlahan angka dengan deret hitung ke bawah dalam ukuran satuan, siswa yang mampu menyelesaikan tugasnya diperkenankan untuk melempar bola ke arah sasaran yang ditentukan. Di lokasi C siswa melakukan kegiatan penjumlahan dengan deret hitung ke bawah dalam bentuk angka puluhan, setelah selesai siswa menyanyikan lagu: Pelangi. Di Lokasi D siwa melakukan kegiatan mencari angka-angka yang ada di kotak, kemudian menjumlahkan seluruh angka hasil perolehan dari kotak. Di Lokasi E siswa diberikan waktu 10 menit untuk menjumlahkan bilangan dengan deret hitung ke bawah, yang benar diberikan hadiah yang telah disediakan guru. Kegiatan dari PA ke Lokasi A adalah berjalan secepat-cepatnya secara berpasangan dengan teman, beberapa langkah sebelum sampai di lokasi A siswa melompat dengan sepenuh tenaga.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

85 Kegiatan dari A ke B siswa melakukan gerakan lari sambil memutari tonggak/ batas yang ada sepanjang jalur lokasi A ke B. Kegiatan ini dilakukan sambil bergandengan tangan dengan temannya. Kegiatan dari B ke C, Siswa melakukan gerakan melompat sampai batas yang telah ditentukan kemudian sambil berjalan saling lempar-tangkap bola dengan pasangannya hingga sampai di lokasi C. Kegiatan dari C ke D, siswa berlomba jalan cepat menuju lokasi D. Kegiatan dari D ke E, siswa berjalan sambil mengambil potongan-potongan kertas yang tersebar di kiri dan kanan jalur D E (potongan-potongan kertas tersebut terdapat angka-angka). Sesampainya di lokasi E siswa menjumlahkan angka-angka tersebut dalam waktu 10 menit. Siswa yang penjumlahannya benar diberikan reinforcement positif dan yang belum diberikan reinforcement negatif. Kegiatan dari lokasi E ke PA semua siswa berjalan santai saambil menyanyikan lagu Gelang sipaku gelang dst.nya

Langkah ke-4 Membuat Rancangan Pembelajaran untuk Siswa dengan Hendaya Kesulitan Belajar, dalam mata pelajaran Matematika.

CONTOH RANCANGAN PEMBELAJARAN UNTUK SISWA DENGAN HENDAYA KESULITAN BELAJAR Mata Pelajaran : Matematika Pokok Bahasan : Bilangan 1 sampai 100 Sub -Pokok Bahasan : Penjumlahan Bilangan puluhan dengan Deret Hitung ke Bawah. Kelas/Semester : I / II (Dua) Waktu : 2 X 35 menit per satu pertemuan. _____________________________________________________________

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

86 I. Standar Kompetensi Menggunakan bilangan dalam memecahkan masalah Kompetensi Dasar Mengenal dan menggunakan bilangan dalam pemecahan masalah

II.

III.

Hasil Belajar -Menjumlahkan dan mengurang bilangan. -Menggunakan nilai tempat dalam penjumlahan dan pengurangan -Menjumlahkan angka puluhan dengan teknik menyimpan melalui deret angka hitung ke bawah. Indikator Menuliskan bilangan dua angka dalam bentuk penjumlahan puluhan dan satuan. Materi Pokok Operasi hitung bilangan Alokasi Waktu 2 X 35 menit per satu pertemuan. Pengalaman Belajar 1. Apersepsi/ Motivasi: a. Mengarahkan siswa dengan hendaya kesulitan belajar untuk menjumlahkan bilangan puluhan melalui deret hitung ke bawah. b. Menjumlah dua bilangan puluhan, dengan teknik menyimpan angka penjumlahan melalui deret hitung ke bawah.

IV.

V.

VI.

VII.

2. Kegiatan Inti: (1). Siswa berada di ruangan bangsal-sekolah. Kegiatan di awali dan di akhiri pada lokasi PA, dengan posisi berteman. Kegiatan-kegiatan akademik dilakukan pada Lokasi A sampai E. Kegiatan akademik adalah: menjumlahkan angka puluhan melalui deret hitung ke bawah. (2). Kegiatan-kegiatan inti dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

87

LANGKAH-LANGKAH
Kegiatan 1: Siswa berbaris dalam posisi berteman di Lokasi PA. Kegiatan dilakukan dari lokasi PA ke Lokasi A sampai ke Lokasi E. - Siswa berjalan cepat berpasangan. Di akhiri dengan gerakan melompat beberapa langkah ke Lokasi A. -di Lokasi A, siswa melakukan kegiatan menjumlahkan angka satuan melalui deret hitung lurus. Setelah selesai, siswa menyanyikan lagu. - dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya, yakni menuju ke Lokasi B. Kegiatan 2: Siswa melakukan beberapa kegiatan, saat menuju lokasi B dan pada saat berada di Lokasi B. - Siswa berlari memutari tonggak-tonggak batas yang ada di sepanjang jalan menuju ke Lokasi B. Dilakukan sambil bergandengan tangan dengan temannya. - Di Lokasi B siswa melakukan penjumlahan angka melalui deret hitung ke bawah, teknik yang dilakukan adalah teknik menyimpan angka. - Guru membantu dalam teknik menyimpan angka. - Setelah selesai melakukan tugasnya, siswa melemparkan bola pada sasaran tertentu.

POLA GERAK

KETERANGAN

PA
Lagunya pada Kegiatan 1 adalah: Satu satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang bapak, satu-dua tiga aku sayang semuanya

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

88

Kegiatan 3: Siswa melakukan kegiatan dari lokasi B menuju ke Lokasi C dan dilanjutkan ke Lokasi D. Di lokasi C siswa melakukan kegiatan menjumlahkan angka puluhan, di lokasi D siswa melakukan kegiatan mencari angka-angka yang ada dalam sebuah kotak yang tersedia, kemudian menjumlahkannya. -Dari Lokasi B siswa melakukan lompatan sampai batas yang ditentukan, dilanjutkan dengan gerakan berjalan sambil melakukan kegiatan lempar tangkap bola dengan temannya, hingga ke lokasi C. - Di Lokasi C, siswa melakukan penjumlahan dengan deret hitung ke bawah. -Setelah selesai menyanyikan lagu. - Dilanjutkan dengan berlomba lari menuju ke Lokasi D. - Di Lokasi D siswa melakukan kegiatan menjumlahkan seluruh angka hasil dari pencarian angka yang ada dalam kotak yang tersedia. Kegiatan ke-4: Dilakukan dari lokasi D menuju lokasi E, dilanjutkan ke Lokasi PA sebagai akhir kegiatan. Kegiatan yang dilakukan sebagai berikut: (1). Dari lokasi D ke E, siswa berjalan sambil mengumpulkan potongan-potongan kertas berangka sebanyak mungkin. (2) Di Lokasi E dalam tempo paling lama 10 menit, siswa menjumlahkan seluruh angka yang ada pada kertas perolehan masing-masing. Siswa yang benar melakukannya diberikan hadiah. (3). Menuju ke Lokasi PA, siswa bernyanyi lagu: Gelang dst nya

D PA.

Pada Kegiatan ke-4, lagu yang dinyaikan adalah Gelang sipaku gelang, gealng si ramarama, mari pulang marilah pulang, marilah pulang bersama-sama

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

89 VIII. Sumber/ Bahan /Alat Sumber: GBPP dan Silabi, KBK, dan Buku Matematika untuk Kelas I Bahan: Meliputi angka satuan dan puluhan sampai angka seratus. Alat: Kertas bertuliskan angka satuan dan puluhan, bola karet, tongkat pembatas, tali plastik sebagai jalur kegiatan, dan papan sasaran bola tembak, beberapa hadiah ringan.

IX. A. B. C.

Evaluasi Prosedur Pre Test dan Post Test Jenis Test: Pernbuatan Alat Test: GPI.

X.

Kriteria Penilaian Nilai sangat baik: Jika siswa mampu menjumlahkan dan melakukan kegiatannya sendiri tanpa bantuan guru. Nilai baik: Jika siswa mampu melaksanakan tugas menjumlahkan dengan ada petunjuk lisan dan fisik dari guru. Petunjuk lisan berupa suruhan dan arahan, sedangkan bentuk fisik misalnya dengan memegang siswa untuk melakukan kegiatan. Nilai kurang: Jika siswa tidak mampu menyelesaikan tugas dan tidak mau bergerak dari satu lokasi ke lokasi berikutnya.

Bandung, 200.. Mengetahui, Kepala Sekolah . Guru Kelas,

_________________________ NIP. .

________________________ NIP.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

90 Langkah Ke-5 Melakukan Ealuasi Akhir

Untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan perilaku psikomotor dan peningkatan prestasi akademiknya, diperlukan adanya post test. Instrumen GPI Profile I dan II diterapkan kembali, hasilnya diperbandingkan dengan hasil skrining atau pre test. Bila terjadi peningkatan angka reratanya hingga mencapai angka 4, maka program pembelajarannya berhasil. Jika di bawah angka 3 maka dianggap tidak berhasil, maka diperlukan pembelajaran klinis. Bila guru-kelas yang ingin mengetahui sampai sejauhmana tingkat

perkembangan stabilitas siswanya, dapat dibuat suatu program tersendiri berupa penerapan metode subjek tunggal. Dalam sistem ini jumlah pertemuan minimal 12 kali pertemuan. Tiga pertemuan awal sebagai Baseline 1, enam kali pertemuan berikutnya disebut dengan Treatment, dan tiga pertemuan akhir dianggap Baseline 2. Pada

pertemuan Treatment diberikan intervensi guru untuk mengaplikasikan Gerak Irama, pada Baseline 1 dan 2 tidak diberikan intervensi guru. Mengenai cara penghitungan statistika secara rinci dapat dilihat pada model single subject research .

RANGKUMAN

1. Anak dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability), adalah anak yang mempunyai kekurangan atau terhambatnya satu atau beberapa bagian dari proses belajar. Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih dari prosesproses dasar dalam pemahaman atau penggunaan bahasa lisan dan tulis, misalnya
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

91 membaca, menulis, menghitung bilangan dan angka, mengeja huruf,

mendengarkan, berfikir dan mengingat-ingat.

Kekurangan dalam pengalaman

proses belajar berkaitan erat dengan perilaku psikomotor. Beberapa dari anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai masalah sosial-emosial. 2. Para ahli klinis menyebut anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah anak yang mempunyai ketidakberfungsian cerebral secara minimal atau adanya cedera otak (minimal cerebral dysfunction or brain injured), ketidakberfungsian otak secara minimal (minimal brain dysfunction), disleksia (dyslexia), dan

ketidakmampuan perseptual (perceptual disability). 3. Para ahli pendidikan menyebut anak dengan hendaya kesulitan belajar dengan istilah: anak dengan hambatan pendidikan (educationally handicapped), atau anak dengan hambatan persepsi (perceptually handicapped), dan anak dengan hambatan belajar khusus (specific learning disability). 4. Konsep-konsep dasar berkaitan dengan definisi dari anak dengan hendaya kesulitan belajar, antara lain: (a) mempunyai hambatan proses psikologis, yaitu proses yang mengacu ke pada kemampuan hakiki sebagai pra-syarat penguasaan keterampilan-gerak dan persepsi, (b) hambatan khususnya berkaitan dengan membaca, menulis dan matematika, (c) masalahnya bukan berasal dari kasuskasus utama, (d) permasalahan yang ada saling berbeda-beda, (e) Hendaya kesulitan belajar tertuju ke pada ketidakberfungsian sistem syaraf pusat, (f) hendaya kesulitan belajar selalu diikuti dengan hendaya-penyerta, seperti kelainan emosional.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

92 5. Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang penting bagi perkembangan dan pertumbuhan terhadap bayi dan anak-anak. 6. Prevalensi anak dengan hendaya kesulitan belajar berkisar 3 hingga 15 persen dari seluruh populasi anak-anak usia sekolah. Penyebabnya adalah: (a) faktor organik dan biologis, (b) faktor genetika, (c) faktor lingkungan. Faktor genetika adalah faktor dominan sebagai penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar membaca. 7. Faktor ketrampilan gerak, pola-gerak, keseimbangan, dan persepsi (persepsi dengar dan visual) berkaitan erat dengan perilaku psikomotor. Oleh karena itu fokus pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar ditujukan ke pada peningkatan gerak-sensori dan gerak-persepsi. Menurut Piaget (1970)

pembelajaran gerak-sensori sejak usia dini menjadi landasan utama untuk membangun perkembangan kognitif dan persepsi yang kompleks. 8. Sebelum dilakukan pembelajaran individual yang bersifat umum, maka guru-kelas membuat program pembelajaran klinis apabila anak mempunyai kesalahan dalam tugas akademik.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

93 C. KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK HIPERAKTIF (HYPERACTIVE STUDENT)

Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. (Batshaw & Perret, 1986: 261). Dimungkinkan terjadi bahwa seorang anak mempunyai kelainan in-atensi disorder dengan hiperaktf (Attention Deficit Disorder- with Hyperactivity) atau in-atensi disorder tanpa hiperaktif (Attention Deficit Disorder). Symptoms terjadi disebabkan oleh faktor-faktor: brain damage, an emotional disturbance, a hearing deficit, or mental retardation. Dewasa ini banyak kalangan medis masih menyebut anak hiperaktif dengan istilah attention deficit disorder (ADHD) (Solek, P. 2004:4). Banyak sebutan-nama atau istilah hiperaktif atau ADD-H, antara lain: minimal cerebral dysfunction, minimal brain damage (sekarang istilah ini tidak mempunyai nilai atau tidak digunakan lagi bagi pendidik dan psikologis), minimal cerebral palsy, hyperactive child syndrome, dan attention deficit disorder with hyperactivity (Batshaw & Perret, 1986:262). Gejala-gejala kelainan dari anak hiperaktif antara lain in-atensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Anak-anak hiperaktif memerlukan suatu layanan dengan cara pemberian intervensi dengan terapi farmakologi dikombinasikan dengan terapai perilaku (behavior modification). Jika anak hiperaktif tidak mendapatkan layanan terapi yang adekuat, maka yang bersangkutan di kemudian hari akan berkembang ke arah kriminal, suka mengutil barang, mencuri, mencoba-coba narkoba, merusak properti dan cenderung berkembang ke arah problem yang lain, yaitu conduct disorder (CD)(Solek, P. 2004:5).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

94 Ciri yang paling mudah dikenal bagi anak hiperaktif adalah anak akan selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dan yang bersangkutan sangat jarang untuk mampu diam selama kurang lebih 5 hingga 10 menit guna melakukan suatu tugas kegiatan yang diberikan gurunya. Oleh karenanya, di sekolah anak hiperaktif

mendapatkan kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas kerjanya, ia selalu mudah bingung atau kacau fikirannya, tidak suka memperhatikan perintah atau penjelasan dari gurunya, dan selalu tidak berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan sekolah, sangat sedikit sekali kemampuan mengeja huruf, tidak mampu untuk meniru huruf-huruf (Rapport & Ismond, 1984 dalam Betshaw & Perret, 1986:263). Definisi mengenai hiperaktif, menurut Stewart (1970: 94) sebagai berikut.

..... Hyperactive child syndrome, typically a child with this syndrome is continually in motion, cannot concentrate for more than a moment, acts and speaks on impulse, is impatient and easily upset. At home he is constanly in trouble of his restlessness, noisiness, and disobedience. In school he is readly distracted, rarely finishes his work, tends to clown and talk out of turn in class and becomes labeled a discipline problems (dalam Kauffman, J. M., 1985:174).

Ciri-ciri yang sangat nyata berdasarkan definisi tersebut di atas bagi peserta didik hiperaktif adalah: a. Selalu berjalan-jalan memutari ruang kelas dan tidak mau diam, b. Sering mengganggu teman-teman di kelasnya, c. Suka berpindah-pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dan sangat jarang untuk tinggal diam menyelesaikan tugas-sekolah, paling lama bisa tinggal-diam di tempat duduknya sekitar 5 sampai 10 menit, d. Mempunyai kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas di sekolah,
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

95 e. Sangat mudah berperilaku untuk mengacau atau mengganggu, f. Kurang memberi perhatian untuk mendengarkan orang lain berbicara, g. Selalu mengalami keggalan dalam melaksanakan tugas-tugas di sekolah, h. Sulit mengikuti perintah atau suruhan lebih dari satu pada saat yang bersamaan. i. Mempunyai masalah belajar hampir di seluruh bidang studi. j. Tidak mampu menulis surat, meng-eja huruf dan berkesulitan dalam surat-menyurat. k. Sering gagal di sekolah disebabkan oleh adanya in-atensi dan masalah belajar karena persepsi visual dan auditory yang lemah. l. Karena sering menurutkan kata hati (impulsiveness), mereka sering mendapat kecelakaan dan luka. (Rapport & Ismond, 1984 dalam Batshaw & Perret, 1986:263). Kesulitan belajar anak hiperaktif disebabkan pula adanya kontrol diri yang kurang dan sering impulsif dalam setiap kegiatan yang ia lakukan, sangat mudah untuk marah dan seringkali suka berkelahi. Dari adanya impulsivity ini, umumnya anak

hiperaktif sering mendapatkan kecelakaan dan mendapatkan luka. Ada di antara mereka tidak suka berolahraga karena adanya kecanggungan atau kekakuan gerak. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua anak dengan hiperaktif atau kesulitan belajar mempunyai attention deficit disorder (ADD). Hubungan antara attention deficit disorder, learning disability dan hyperactive dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

96
Learning Disability
Attention Deficit Disorder

Hyperactivity

Gambar 3.1 Hubungan antara Kesulitan Belajar, In-atensi dan hiperaktif (Batshaw & Perret, 1986:263).

Anak dengan ADD atau ADD-H selalu mendapat kesulitan di sekolah. Mereka selalu gagal untuk melakukan hubungan sosial dalam pelajaran berolahraga, sedangkan di rumah mereka juga sedikit mendapatkan dorongan untuk menghilangkan kesulitannya. Anak hiperaktif tersebut dapat dipastikan mempunyai kesulitan untuk memahami konsep, dan selalu gagal untuk segala kegiatan yang ia coba lakukan. Kasus lainnya berkaitan dengan hiperaktif, antara lain: (1) anak tunagrahita dapat juga mempunyai kelainan atau hendaya-penyerta hiperaktif, seperti adanya inatensi, perilaku impulsif, frustasi, dan rendahnya kemampuan dalam bidang kognitif. Pendekatan secara medis dalam kasus semacam ini, pengobatannya kurang efektif; (2) sifat in-atensi dan hiperaktif terdapat juga pada anak yang mempunyai seizure disorder, terhadapnya terdapat problem perilaku disebabkan oleh adanya reaksi terhadap toxic levels of phenobarbital atau anticonvulsant lainnya; (3) anak dengan hendaya

pendengaran dapat juga mempunyai sifat hiperaktif atau problem perilaku lainnya. Problem ini disebabkan oleh kerusakan pada sebagian sel-sel syaraf pada otak, atau adanya kesalahan mendiagnosa; (4) pada anak dengan kesulitan psikiatrik dapat
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

97 dimungkinkan mempunyai hiperaktif disebabkan oleh adanya perasaan tidak aman pada dirinya atau salah mengenai tanggapan dirinya dan kurang responsivitas terhadap orang lain. Pengobatan terhadap anak ADD umumnya dilakukan dengan berbagai pendekatan termasuk ke dalamnya program pendidikan khusus, modifikasi perilaku, pengobatan melalui obat-obatan, dan konseling. Di samping pendekatan yang

kontroversial yaitu antara lain dengan melakukan diet-khusus, dan penggunaan obatobatan serta vitamin-vitamin tertentu. Pendekatan secara pendidikan, umumnya diberikan suatu penempatan sekolah yang tepat dalam suatu program khusus. Penempatan itu dianggap sangat penting Pada anak ADD umumnya

diterapkan guna penyembuhan anak dengan ADD.

mempunyai kesulitan belajar disebabkan adanya hiperaktif, sifat impulsif, dan menurunnya daya-atensi saat mengikuti pelajaran (Straus & Lehtinen, 1955 dalam Batshaw & Perret, 1986:266). Untuk perkembangan dan pertumbuhan diri anak

bersangkutan, diperlukan suatu bentuk program pembelajaran spesifik dalam sebuah kelas-khusus dengan didampingi seorang asisten yang dapat membantu kegiatan selama layanan pembelajaran diberikan kepadanya. Pada anak dengan ADD-H pendekatan yang efektif adalah dengan menerapkan modifikasi perilaku saat pelaksanaan pembelajaran. Metode yang digunakan akan

melibatkan tata cara pengaturan program. Lingkungan yang terstruktur, dan bentuk reinforcement terhadap perilaku yang dianggap penting. Alasan utama digunakannya

modifikasi perilaku disebabkan bahwa perilaku (behavior) dapat dikontrol melalui konsekuensi-konsekuensi (consequences) yang diperlakukan akibat adanya perilaku
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

98 sasaran pembelajaran ( target behavior) tersebut. Jadi manakala hasil perilaku sasaran tertentu mendapatkan reward, maka akan memperoleh manfaat dengan berulangkalinya perilaku tertentu di masa yang akan datang. Jika perilaku tidak mendapat reward maka tidak akan muncul lagi. Anggapan ini berdasarkan atas tiga landasan utama dari suatu

metode pengontrolan terhadap perilaku, yaitu: reinforcement, punishment, dan extinction. Dengan menggunakan modifikasi perilaku, maka saat mencatat semua hasil perilaku sasaran yang kemunculannya diharapkan, model evaluasi terhadap subjek tunggal sangat memegang peranan penting (single-case design: A-B; A-B-A; atau A-B-A-B). Suatu program untuk layanan pembelajaran atau bimbingan konseling terhadap anak ADD-H diperlukan suatu model tersendiri bersifat spesifik dengan berlandaskan pada pola Input Process Output. Dalam input, diperlukan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan (a) skrining atau asesmen guna mengetahui informasi berkaitan dengan

karakteristik-khusus dari anak bersangkutan, (b) masukan informasi berkaitan dengan program yang lalu, keadaan dan keberadaan oara guru, therapist, dan konselor setempat, sarana dan prasarana, serta tahapan kegiatan yang pernah dilakukan atau diterapkan ke pada anak bersangkutan. Masukan lingkungan, berkaitan dengan norma, tuntutan, tujuan suatu kegiatan, serta keadaan lingkungan anak merupakan informasi yang sangat berguna dan sangat memegang peranan penting bagi kegiatan input. Selanjutnya, proses kegiatan layanan spesifik diperlukan suatu program pembelajaran/ konseling/ terapi yang bersifat individu dan dibuat secara khusus, dengan melihat kurikulum yang berlaku, perilaku non-adaptif atau mal-adjustment tertentu, cara melaksanakan kegiatan intervensi, dan bagaimana melakukan refleksi kegiatan pembelajaran. Selama proses kegiatan untuk penyembuhan terahadap anak ADD-H
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

99 diperlukan program tertentu yang lebih menitik beratkan pada model modifikasi perilaku. Siklus kegiatannya diperlukan adanya tindakan (act), perencanaan (plan), Pengamatan (observation), refleksi hasil kegiatan pembelajaran (reflextion), dan Perencanaan kembali (re-plan) dan seterusnya berputar kembali ke pada kegiatan semula, sampai ditemukan kesempurnaan perilaku sasaran tertentu pada sasaran akhir (annual goals). Dalam out-put atau keluaran, program hendaknya berfokus ke pada perilaku sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, dan yang merupakan konsekuensi berikutnya. Semua hasil berkaitan dengan tingkat kestabilan perkembangan perilaku tertentu perlu dicatat dalam sebuah formulir pencatatan khusus (disebut dengan recording sheet for rate data). Semua hasil catatan itu kemudian di rekapitulasi dan dipetakan dalam sebuah grafik single-case design. Penghitungan stabilitas perkembangan (trend stability)

merupakan analisis untuk menghitung kadar perkembangannya, apakah masih labil (disebut: Variable) atau sudah tetap (disebut dengan: Constant). Disebut dengan constant manakala nilai trend stability berada pada 85% ke atas.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

100 D. KARAKTERISTIK ANAK TUNALARAS (ANAK DENGAN HENDAYA PERILAKU SALAH SUAI)

Definisi berkaitan dengan tunalaras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder saat sekarang lebih terarahkan berdasarkan definisi dari Eli M. Bower (1981). Definisi Bower (1981) menyatakan bahwa anak dengan hambatan

emosional atau kelainan perilaku, apabila ia menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen yang tertera di bawah ini. a. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensory atau kesehatan. i. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru ii. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya iii. Secara umum, mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau depresi iv. Bertendensi ke arah symptoms fisik seperti: merasa sakit, atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.

Berdasarkan definisi Bower tersebut di atas, masalah hambatan dalam belajar merupakan karakteristik pertama dan merupakan aspek yang signifikan di sekolah. Sehingga definisi hambatan emosional tercatat dalam Peraturan Pemerintah Amerika Serikat (Public law 94-142 Secdtion 121 a. 5), sebagai berikut. 1) Mempunyai kondisi satu atau lebih dari komponen Bower tersebut di atas akan berpengaruh terhadap kinerja-pendidikan untuk periode waktu yang panjang.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

101 2) Secara pasti bahwa ketidakmapuan belajar bukan disebabkan karena faktor-faktor berkaitan dengan kemampuan intelektual, sensory dan kesehatannya. 3) Tidak mampu untuk melakukan kerja sama yang memuaskan dengan temanteman dan guru-gurunya 4) Mempunyai tipe perilaku yang tidak pada tempatnya atau perasan yang tidak umum dengan lingkungannya 5) Mempunyai perasaan tidak gembira atau suka depresi. 6) Bertendensi ke arah symptom fisik. Misalnya, perasaan takut terhadap

perorangan atau permasalahan yang ada di sekolah. 7) Istilah tersebut di atas termasuk kepada mereka anak-anak yang menyandang schizophrenic atau autistic. Tetapi tidak menyangkut kepada mereka yang tidak mampu beradaptasi secara sosial.

Banyak anak-anak dan remaja menunjukkan kelainan perilaku

yang

menyimpang (tunalaras). Biasanya kelainan perilaku berkaitan dengan hendaya penyerta lainnya, seperti hambatan perkembangan fungsional (mental retardation) dan kesulitan belajar yang spesifik (specific learning disability). Guru kelas hendaknya mampu

mengatasi siswa-siswa dengan hendaya perilaku salah suai melalui program pembelajaran yang sesuai dengan kondisi mereka. Umumnya, di sekolah-sekolah reguler anak-anak dengan kelainan perilaku salah suai banyak dijumpai dengan tingkat ringan. Sedangkan anak-anak dengan kelainan perilaku tingkat sedang banyak di tempatkan di sekolahsekolah khusus. Untuk tingkat-berat umumnya mereka ditempatkan dalam tempat

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

102 dengan situasi dan kondisi yang spesifik (mereka ini antara lain: schizophrenic, psychopatic, dan psychopatic behavior). Para ahli psikoanalisis mempercayai bahwa interaksi negatif yang terjadi sejak usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan anak merupakan penyebab utama dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan kelainan perilaku yang serius. Para orang tua yang menerapkan disiplin rendah terhadap anak-anaknya tetapi selalu memberikan reaksi terhadap perilaku yang kurang baik, tidak sopan, suka menolak sepertinya dapat menjadi sebab seorang anak menjadi agresif, nakal atau jahat (delinquent) (Hallahan & Kaufmann, 1978 dalam Geddes, D. , 1981:124). Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku salah suai dapat dipakai sebagai patokan untuk menggunakan program pembelajaran yang mengarah kepada intervensi khusus untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan perilaku salah suai. Jika anak mempunyai masalah psikologis maka diperlukan model psikoanalitis yang lebih menekankan pada psikodinamis. Jika anak menunjukkan penyimpangan dalam

berperilaku bermasyarakat (agresif, menghindar dari keramaian, dan sikap bertahan diri) maka diperlukan penanganan dengan model perilaku, pendekatan penyembuhannya dengan cara memodifikasi perilaku untuk berperilaku yang benar daripada membetulkan kasus-kasusnya. Anak yang mempunyai kelainan perilaku umumnya tidak mampu untuk berteman karena yang bersangkutan selalu menemui kegagalan saat melakukan hubungan dengan orang lain. Kegagalan mengadakan hubungan dengan orang lain disebabkan oleh adanya ketidakpuasaan dirinya terhadap elemen-elemen lingkungan sosialnya (Hallahan & Kauffman, 1986:144-148). Oleh karenanya perilaku guru dan teman-sekelasnya harus
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

103 dapat dikondisikan sedemikian rupa agar situasi interaksi di dalam kelas dapat memberikan kesempatan bagi anak-anak dengan hendaya perilaku salah suai untuk melakukan interaksi dengan kompetensi sosial dan perangai yang memadai (Thomas et al., 1968 dalam Hallahan & Kauffman, 1986:159). Maka program pembelajaran

individual yang disusun guru hendaknya lebih menekankan ke pada bentuk-bentuk interaksi antara guru murid - teman sekelasnya. Aplikasi gerak irama terhadap

program pembelajaran individual semacam ini sangat membantu guru kelas dalam mewujudkan interaksi antara ketiga unsur: murid guru dan teman sekelas melalui pola-pola gerak tubuh. Dengan kata lain bahwa gerak irama bertujuan untuk

membentuk jalinan-hubungan interaksi dalam proses kegiatan pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kelainan perilaku. 1. Konsep Anak dengan Hendaya Perilaku Salah Suai (Tunalaras) a. Pengertian Hendaya Perilaku Salah Suai Behavioral impairment atau hendaya perilaku salah suai (tunalaras) merupakan istilah berkaitan dengan kelainan perilaku yang banyak dibicarakan oleh para pendidik. Definisi dan pemberian nama-nama lain, antara lain berkaitan dengan istilahistilah, seperti: gangguan emosional (emotionally disturb), perilaku sosial-emosional yang maladaptif (maladaptive social-emotional behavior), kelainan perilaku

(behaviorally disorder), hambatan dalam pendidikan (educationally handicapped), dan kelainan psikologis (psychological disordered) (Geddes, D., 1981:123). Sedangkan Hallahan & Kauffman (1986:146), memberikan istilah kelainan perilaku dengan nama: gangguan perilaku/ kelainan perilaku (Behavioral disturbance/ behavioral disorder).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

104 Definisi tentang anak dengan hendaya perilaku saat ini masih dipakai pendapat dari Eli M. Bower (1981), yang menyatakan bahwa anak-anak yang mempunyai hendaya perilaku secara emosional adalah mereka yang menunjukkan satu atau lebih dari kelima karakteristik di bawah ini yang terjadi secara terus-menerus serta menjadi lebih berkembang. Karakteristik anak-anak yang mempunyai kelainan perilaku salah suai, menurut Geddes, D. (1981:124) dan Kauffman, J.M. (1985:22), adalah mereka yang menunjukkan lima karakteristik sebagai berikut. 1). Mempunyai masalah belajar yang tidak dapat dikemukakan oleh faktor-faktor: intelektual, sensori, atau faktor kesehatan. 2). Ketidakmampuan untuk membangun hubungan antar-pribadi secara memuaskan, sehingga hubungan antar pribadi (dengan teman-teman dan guru) yang sangat rendah. 3). Berperilaku dan berperasaan yang tidak semestinya. 4). Pada umumnya, mereka merasa tidak bahagia atau depresi. 5). Bertendensi terjadi peningkatan gejala-gejala pisik yang kurang sehat, rasa sakit, atau rasa takut yang bersifat psikologis berkaitan dengan masalah-masalah saat melakukan hubungan dengan orang dan sekolah (Bower, 1969 dalam Geddes, D., 1981:124; dalam Kauffman, J.M., 1986:22).

Kelima karakteristik tersebut di atas mengacu ke pada pernyataan-pernyataan berkaitan dengan pemberian suatu definisi berdasarkan atas penyelidikan yang banyak dipakai dalam berbagai kegiatan para ahli pendidikan (Cullinan & Epstein, 1979; Epstein

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

105 et al, 1977, dalam Kauffman, 1985:18), yang menunjukkan adanya beberapa komponen yang dapat diidentifikasi, sebagai berikut. 1). Adanya kelainan emosi atau perilaku 2). Permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan dengan ketidakmampuan melakukan hubungan antar-pribadi (interpersonal relationship). 3). Ketidakmampuan belajar dan pencapaian keterampilan-keterampilan di sekolah. 4). Perilaku yang berbeda dengan perilaku pada umumnya atau tidak sesuai dengan harapan-harapan yang diinginkan sesuai dengan kecocokan-umur. 4). Permasalahan yang disandangnya dalam kurun waktu yang panjang. 5). Permasalahan berkaitan dengan hendaya perilakunya dikategorikan dalam tingkat berat (severe). 6). Membutuhkan bantuan pendidikan khusus (special education).

Kelainan perilaku merupakan perilaku yang menyimpang dari perilaku normal, diakibatkan adanya pertentangan dengan orang dan masyarakat sekitarnya. Kebanyakan dari mereka mempunyai skor rendah dalam belajar dan tes inteligensi. Prevalensi

terjadinya anak-anak dengan hendaya perilaku salah suai bervariasi, namun diperkirakan berkisar antara dua hingga 22 persen dari anak-anak usia sekolah, dan diidentifikasikan banyak terjadi pada anak-anak laki-laki daripada anak perempuan. Pendapat lain, bahwa privalensi dari anak dengan hendaya perilaku berkisar lima hingga 20 persen atau bahkan lebih dari populasi anak usia sekolah (Kauffman, J.M., 1985:25). Sulitnya memperkirakan privalensi secara tepat disebabkan oleh adanya beberapa hal sebagai berikut.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

106 (1). Sebelum jumlah anak dengan hendaya perilaku di definisikan, perkembangannya masih belum dapat dipastikan secara akurat dan reliabel, (2). Adanya perbedaan-perbedaan dalam metodologi dapat menyebabkan hasil-penelitian berkaitan dengan hendaya anak dengan kelainan perilaku menjadi berbeda, (3). Adanya pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada pada kebijakan sosial serta faktor-faktor ekonomi yang turut berperan dalam memberikan definisi dan metodologi. Kebijakan dari hasil latihan-latihan para ahli pendidikan dan

pertimbangan-pertimbangan klinis masih terabaikan (Maglioca & Stevens, 1980 dalam Kauffman, J.M., 1985:25).

Kasus yang banyak ditemukan berkaitan dengan hendaya perilaku salah suai sangat erat hubungannya dengan adanya defisit pada faktor-faktor: (1) biologis atau organik, (2) kelainan psikologis atau psikodinamis, (3) konflik-konflik di lingkungan masyarakat, dan (4) perilaku sosio-adaptif yang tidak berkemampuan menyesuaikan diri (maladjustment). Menurut Kauffman, J. M. (1985:91-164) faktor-faktor yang paling dominan penyebab adanya hendaya perilaku (behavior disorders) yaitu: (1) faktor keluarga, (2) faktor biologis, dan (3) faktor sekolah. Defisit dalam aspek organik secara tersendiri atau kombinasi dengan faktor-faktor lingkungan dapat menyebabkan adanya perilaku yang menyimpang. Anak dengan

hendaya ketidakberfungsian sistem syaraf pusat atau kelainan secara biokemikal (seperti: nutrisi yang rendah, kurang tidur) dapat mengakibatkan kerusakan secara pisik, seperti adanya ketidakseimbangan dalam hormon, cedera otak, kerusakan enzim dan schizophrenia genotype. Kerusakan secara organik atau biologis sangat sulit untuk

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

107 diidentifikasi walaupun kondisinya secara nyata sangat berat, seperti pada anak dengan sindrom kelangkaan komunikasi (autism) dan anak dengan sindrom kelainan-psikis (schizophrenia). Masalah-masalah pribadi atau psikologis pada anak-anak dan remaja banyak dibicarakan dan telah dilakukan penelitian-penelitian oleh para ahli. Secara teori banyak dibicarakan melalui model psikoanalisis dari Freud dan pendekatan psikologis kemanusiaan melalui teori-teori dari Adler, Maslow, Allport, Combs, dan Rogers (Reinert, 1976 dalam Geddes, D., 1981:124). Para ahli psikoanalisis mempercayai bahwa interaksi negatif yang terjadi sejak usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan anak merupakan penyebab utama dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan kelainan emosional yang serius. Orang tua yang menerapkan disiplin rendah tetapi selalu memberikan reaksi terhadap perilaku yang kurang baik, tidak sopan, dan suka menolak dapat menyebabkan seorang anak menjadi agresif atau nakal (delinquent) (Hallahan & Kauffman 1978, dalam Geddes, D., 1981:125). Adanya tekanan-tekanan yang sering terjadi di masyarakat terhadap anak, ditambah dengan ketidakberhasilan anak bersangkutan dalam pergaulan lingkungannya seringkali menjadi penyebab perilaku-perilaku yang menyimpang. Dapat juga terjadi, bila seorang anak kurang memahami akan aturan-aturan yang ada dalam kehidupan masyarakat atau juga dapat terjadi oleh karena adanya suatu pendangan yang keliru terhadap sekelompok minoritas tertentu, dapat menjadi sebab anak yang suka melawan hukum atau aturan-aturan tertentu dan selalu memberontak untuk melawan orang yang berkuasa.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

108 Perilaku sosio-adaptif perlu dipertimbangkan dalam memberikan reaksi dan melakukan penyesuaian oleh seseorang saat merespon terhadap pengalaman-pengalaman hidup yang diperoleh dalam lingkungannya. Faktor-faktor sosio-adaptif antara lain

perkembangan kedewasaan, penyesuaian sosial, dan kemampuan belajar. Jika seseorang mempunyai penyimpangan tingkat penyesuaian normal secara kronologis, dapat dipastikan menjadi anak yang kurang dapat menyesuaikan diri (maladjustment) atau perilaku yang menyimpang. Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku salah suai dapat juga dipakai sebagai patokan untuk menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika seorang anak mempunyai masalah psikologis maka diperlukan model psikoanalitis yang lebih menekankan pada psikodinamis. Di sisi lain, jika seorang anak menunjukkan

penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat maka diperlukan penanganan dengan model perilaku, yaitu dengan cara memodifikasi untuk belajar berperilaku yang benar daripada membetulkan kasus-kasusnya. Tipe perilaku yang tampak, merupakan refleksirefleksi dari perasaan diri seperti: marah, merasa sering menemui kegagalan, takut, frustasi, ketakutan tanpa sebab, konsep diri yang kurang, tidak merasa aman, penerimaan terhadap dirinya yang kurang, masalah-masalah identitas, merasa diacuhkan oleh orang lain. Perilaku semacam ini sering diikuti dengan masalah-masalah lain berkaitan dengan kegagalan dalam belajar dan berbicara dengan gagap. Ada tiga perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan perilaku salah suai, yaitu: agresif, suka menghindar diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri. Agresif merupakan perilaku dalam wujud bermusuhan (hostility), suka berkelahi (belligevency), suka berteriak (yelling), ledakan kemarahan (temper outbursts), suka
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

109 menyindir (teasing), suka mengacaukan (vandalism), suka melawan terhadap kewenangan orang dewasa (resiteance to adult authority), suka melakukan kenakalan/ kejahatan (delinquency), suka memukul secara pisik pada orang lain (physically striking others), dan suka menolak untuk bekerja sama (refusing to cooperate).

a). Withdrawal atau sifat suka menghindarkan diri dari orang lain, merupakan perilaku yang mudah dilihat oleh guru. Umumnya anak yang mempunyai perilaku semacam ini, pada dasarnya adalah seorang anak yang berperilaku baik. Namun kelainan perilaku semacam ini berkaitan dengan perilaku yang bersikap pasif (passivity), suka melamun (day dreaming), ketidakdewasaan (immaturity), suka menghisap ibu-jarinya (thumb sucking), mempunyai rasa takut yang berlebihan (extreme fear), sering gagal untuk berbicara (failure to talk), tidak suka bergaul (reluctance to sosialize), bermain sendirian (playing alone), sering mengeluh merasakan sakit (complaining of feeling ill), tidak menaruh perhatian terhadap lawan berbicara saat berbicara dengan orang lain, berperilaku suka merangsang diri (melakukan onani), dan sangat mudah untuk depresi (muram atau sedih). b). Sikap bertahan diri (defensive behavior), merupakan perilaku yang dilakukan untuk melindungi diri dari situasi berbahaya secara psikologis. Mekanisme ini selalu digunakan oleh semua orang dalam populasi secara umum tetapi bila digunakan secara berlebihan oleh seseorang maka ia mempunyai hendaya kelainan perilaku salah suai, karena caracara perlindungan diri sendiri yang dilakukannya dilakukan secara tidak wajar. Contohnya, suka menyalahkan orang lain bila dirinya melakukan kesalahan atau kekurangan, berperilaku kekanak-kanakan, suka melamun atau berfantasi untuk lari dari
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

110 kenyataan yang sebenarnya, tindakan-tindakannya selalu menggunakan alasan-alasan yang tidak masuk akal, adanya hambatan atau kelangkaan ingatan disebabkan sering mendapatkan kejadian-kejadian yang penuh ketegangan, suka mengembangkan keterampilan khusus atau bakat tertentu untuk penyesuaian terhadap kekurangan dirinya, menganggap dirinya seperti seseorang yang ia kagumi. Tipe-tipe perilaku lainnya antara lain: ketidakhadiran diri (absenteism), suka melarikan diri dari kenyataan, bersikap selalu lamban, suka berbohong, suka menipu, suka mencuri, tidak bertanggungjawab, sering kehilangan barang-barangnya dan menghindar diri jika disuruh kerja.

b. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Anak dengan Hendaya Kelainan Perilaku

Hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai pada usia sekolah dasar dan taman kanak-kanak, pada umumnya berkaitan dengan sering terjadi konflik dengan orang tuanya, dengan pasangan saudara kembarnya sehingga mempunyai perwatakan yang keras, menyangkut perilaku lekas marah, mempunyai pola tidur dan makan yang tidak umum. Pada umumnya, bila anak sering mendapatkan tanggapan-tanggapan negatif dari teman main dan orang lain dalam lingkungan kehidupannya menyebabkan anak menjadi lebih agresif dan lebih sering menghindarkan diri dari kerumunan orang-orang di sekitarnya. Oleh karenanya, program intervensi menjadi lebih efektif terhadap anak dengan hendaya kelainan perilaku pada tingkat sekolah dasar. Pada anak-anak usia sekolah di tingkat sekolah menengah pertama, umumnya mereka mempunyai hambatan pada penyesuaian diri terhadap lingkungan (socially
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

111 maladjusted), sehingga menjadikan diri mereka berperilaku salah suai berkaitan dengan suka mengindarkan diri seperti anak autistik hingga menjadi anak yang agresif suka nakal dan melakukan kejahatan. Program intervensi yang dianggap tepat adalah pemberian kegiatan keterampilan hidup sehari-hari dalam suatu lingkungan khusus sebagai lingkungan tempat melakukan latihan-latihan kehidupan yang baik, disamping dipersiapkan suatu kurikulum yang tidak umum atau spesifik dengan latihan-latihan vokasional yang khusus. Kurikulum yang spesifik seyogyanya disusun dengan memperhatikan suatu bentuk kurikulum yang bermuatan kegiatan berdasarkan atas pengalaman-pengalaman esensial yang harus dimplementasikan ke dalam suatu rancangan pembelajaran yang di arahkan pada fokus keterampilan khusus dan secara rinci. Dengan kata lain bahwa kurikulum yang disusun: (a) bukan berisikan suatu mata pelajaran untuk diajarkan suatu keterampilan pengalaman secara langsung berdasarkan atas pokok bahasan yang dituangkan dalam garis-garis besar program pembelajaran, (b) Hendaknya dimasukkan suatu bentuk keterampilan-keterampilan spesifik yang bersifat permainan yang mengandung unsur kesenangan dan rasa saling menyayangi, serta dapat dipergunakan dalam kehidupan anak bersangkutan (Kauffman, J. M., 1985:342). Pada anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku yang sudah dewasa, hambatan yang nampak adalah kesulitan dirinya untuk hidup mandiri secara bebas, dan hidup yang berproduktif. Mereka mempunyai kelainan perilaku yang diklasifikasikan dalam psikotik (autistic dan schizophrenic) dan kelainan perilaku khusus, seperti agresif yang berlebihan (Hallahan & Kauffman, 1986:179-181).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

112 c. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak Tunalaras a). Pendekatan yang Diperlukan Disebabkan anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai mengacu ke pada adanya: (1) perilaku yang sangat ekstrim, (b) masalahnya sangat kronis (salah satunya adalah sulit untuk dihilangkan secepatnya), (c) perilaku yang tidak diterima oleh adanya harapan-harapan tertentu dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu maka pendekatan dalam dunia pendidikan yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut. (a). Pendekatan secara psikoanalitis dalam pendidikan, merupakan tuntunantuntunan berdasarkan prinsip-prinsip psikoanalisis. Masalah yang dihadapi oleh anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai dipandang sebagai ketidakseimbangan secara patologis antara bagian-bagian dinamis dari pikiran: id, ego dan super-ego. Para praktisi pendidikan mengupayakan untuk membantu dalam meningkatkan keberfungsiaan patologis, seperti perilaku dan prestasi ke arah yang sebaik mungkin. Penekanannya terletak pada

pembentukan hubungan yang baik antara guru dan siswa, agar diri siswa mempunyai perasaan diterima dan bebas untuk mengemukakan keadaan

dirinya. Dengan demikian maka perhatian guru lebih tertuju ke pada upayaupaya untuk membantu anak dalam mengatasi konflik-konflik mentalnya, bukan dengan merubah perilaku kelainan yang tampak atau memberikan keterampilan akademik (Bettelheim, 1950, 1967; Berkowitz & Rothman, 1960 dalam Hallahan & Kauffman, 1986:173). (b). Pendekatan secara psiko-edukasional. Terhadap anak dengan hendaya

kelainan perilaku yang diasumsikan bahwa kelainannya melibatkan kelainan


Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

113 psikiatrik dan adanya kesalahan-kesalahan perilaku yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang anak, maka diperlukan pendekatan secara seimbang antara sasaran yang bersifat terapeutik (penyembuhan) dengan sasaran untuk pencapaian prestasinya. Motivasi terhadap ketidaksadaran diri dan faktorfaktor yang bersifat patologi perlu mendapatkan pertimbangan dalam pembelajarannya, melalui penekanan terhadap pemenuhan kebutuhan setiap individu dan pembelajaran melalui bentuk-bentuk aplikasi yang

memanfaatkan kegiatan kreatif-seni, seperti: musik, tari, dan kegiatan yang bersifat seni. (c). Pendekatan secara humanistik. Pendekatan ini berdasarkan atas pandangan psikologi humanistik sehingga memungkinkan adanya perubahan dalam pendidikan, dan sebagai revolusi perubahan terhadap konsep-konsep pendidikan tradisional semenjak tahun 1960-an. Masalah utama, seperti apa yang dapat dilihat oleh para pendidik, adalah bahwa anak-anak dengan hendaya kelainan-perilaku belum tersentuh perasaan dirinya dan kurang mempunyai perhatian dan masih belum dianggap penting dalam lingkungan pendidikan tradisional. Hal yang perlu disarankan ke pada para praktisi

kependidikan adalah program yang akan diterapkan sebaiknya disusun guna mempertinggi kemampuan siswa untuk mengatur diri sendiri, mampu mengevaluasi diri, dan keterlibatan emosional dalam pembelajaran yang diterapkan dalam lingkungan pendidikan yang non-tradisional. Fungsi guru dalam hal ini sebaiknya hanya sebagai sumber dan katalisator dalam pembelajarannya, bukan sebagai pengatur kegiatan-kegiatan. Guru bersamaPembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

114 sama siswa bekerja bersama saling memberikan informasi dalam keadaan yang saling menguntungkan dan berkesan. Biasanya kata-kata yang

dipergunakan adalah tidak bersifat otoriter, bersifat memberikan arahan, bersifat ke arah evaluasi- diri, afektif, terbuka dan bersifat pribadi (Hallahan & Kauffman, 1986:175). (d). Pendekatan secara ekologis. Elemen-elemen lingkungan seperti sekolah,

lingkungan keluarga, dan perwakilan lembaga sosial merupakan ajang interaksi bagi anak. Oleh karenanya praktisi pendidikan sebaiknya menjadi bagian dari strategi keseluruhan suatu sistem dimana anak merupakan bagian yang terlibat di dalamnya. Sasaran dari pendekatan ini adalah merubah

lingkungan secukupnya sehingga dapat membantu intervensi terhadap perilaku yang diinginkan. Pendekatan ini tidak hanya diberlakukan dalam ruangan kelas saja, tetapi meliputi juga kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh keluarga dari anak yang bersangkutan, tetangganya, dan orangorang yang ada di lingkungannya. Pendekatan secara ekologis membutuhkan seorang guru yang cakap dalam memberikan keterampilan spesifik yang berguna, termasuk di dalamnya keterampilan akademik, rekreasi, dan keterampilan untuk hidup sehari-hari. (e) Pendekatan perilaku. Pendekatan ini menggunakan dasar-dasar

pengkondisian yang bersifat operant dan respondent.

Asumsinya adalah

bahwa permasalahan yang bersifat perilaku yang menjadi penyebab tidak tepatnya pembelajaran pada anak dengan hendaya kelainan perilaku dapat dibantu dengan cara memodifikasi perilaku. Modifikasi perilaku dapat

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

115 dikerjakan bersamaan dengan memanipulasi lingkungan anak secara segera, tergantung pada penempatan ruangan kelas dan konsekuensi dari perilaku anak yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa tanggapan-tanggapan anak hendaknya dapat segera disadari oleh guru atau praktisi serta dapat diukur secara cermat, sehingga fokus dalam pendekatan perilaku adalah memberikan batasan secara tepat dan mengukur perilaku yang dapat diamati yang menjadi masalah, dan memanipulasi konsekuensi-konsekuensi perilaku anak yang bersangkutan dalam upaya melakukan perubahan.

b). Rancangan Pembelajaran Program pembelajaran bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai sebaiknya diberikan dengan berfokus pada peningkatan sosial-emosionalnya. Untuk itu maka diperlukan perhatian khusus terhadap perkembangan sosial-emosional dan psikomotornya. Yang dimaksud dengan perkembangan sosial emosional, meliputi halhal sebagai berikut. a. Kepuasan diri: merasa sehat, meningkatkan konsep-diri, meningkatkan kepercayaan diri, aktualisasi-diri dan peningkatan kesadaran terhadap tubuh. b. Perkembangan fungsional: sikap bermasyarakat, pandangan terhadap nilainilai, kepribadian, menyenangi hubungan antar-pribadi dalam suatu lingkungan kehidupan.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

116 c. Perkembangan emosional: kestabilan emosi, merasa senang, suka menyampaikan perasaan-perasaan emosi dirinya, bergaul erat sesama teman.

Oleh karena itu program pembelajaran sebaiknya diupayakan untuk dapat meningkatkan hubungan orang-perorang, selanjutnya suatu program pembelajaran bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku diperlukan adanya hal-hal berikut: (1) Kegiatan-kegiatan dapat dipersiapkan agar dapat meningkatkan

kesportifitasan, dan hubungan yang terjalin dengan baik antara anak yang bersangkutan dengan guru dan teman-teman sekelasnya. (2) Semua kegiatan sebaiknya di arahkan untuk dapat memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna, dapat dirasakan kepuasaannya, dan dapat dilakukan dengan ekspresi yang penuh. (3) Kegiatan-kegiatan yang disajikan berdasarkan pada pola permainan, seperti permainan teka-teki, tarian, olahraga, dan sejenisnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kegiatan-kegiatan layanan pembelajaran hendaknya bertujuan sebagai terapeutik dengan memperhatikan: (a) adanya kesempatan pada anak untuk dapat mengekspresikan dirinya sendiri, (b) dapat meningkatkan persahabatan, (c) adanya kesempatan pada anak untuk dapat memecahkan masalahmasalahnya secara sendiri.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

117 (d) menggunakan gerakan-gerakan ritmis, (e) dilakukan dengan memodifikasi perilaku yang bersifat operant condition, dengan penguatan yang positif (positive reinforcement), hukuman (punishment), dan penarikan/ penghentian kegiatan (time-out).

c. Langkah-langkah Kegiatan Pembuatan Rancangan Pembelajaran

1. Melakukan skrining atau tes untuk mengetahui tingkat perkembangan fungsional psikomotor dengan menggunakan instrumen Geddes Psychomotor Inventory (GPI) Profile I dan II (sebagai pre test) 2. Menganalisis seluruh hasil skrining atau pre test dengan instrumen GPI Profile I dan II, guna mengetahui secara rinci tingkat keberfungsian psikomotor anak yang bersangkutan disesuaikan dengan perkembangan sosial-emosionalnya. 3. Membuat suatu pola-gerak yang merupakan bahan intervensi-guru dalam kegiatan pembelajarannya 4. Membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak, berdasarkan atas hasil analisis skrining dan diselaraskan dengan kurikulum yang berlaku. 5. Melakukan evaluasi akhir pembelajaran untuk mengetahui: (a) Apakah terjadi peningkatan keberfungsian psikomotor, sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan sosial-emosionalnya atau tidak. Dilakukan dengan instrumen GPI Profile I dan II (sebagai post test)

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

118 (b) Apakah terjadi kestabilan peningkatan perilaku sasaran (dalam hal ini adalah perilaku suka menyendiri/withdrawal) sebagai target yang akan dicapai dalam pembelajaran. Dalam hal ini dipergunakan analisis

terhadap grafik A-B-A dalam suatu metode subjek-tunggal.

Langkah Kegiatan Satu: Melakukan skrining atau tes dengan GPI profile I dan II, terhadap siswa contoh yaitu anak dengan hendaya kelainan perilaku suka menyendiri (withdrawal- sebagai perilaku sasaran), duduk di kelas I sekolah dasar. Hasil-hasil skrining atau tes dengan GPI I dan II, pada halaman berikut.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

119

INSTRUMEN ASESMEN GPI (Profil I ) Cara Pengisian Jawaban


Berilah tanda checklist (V) pada: Angka 4 (Empat) bila anak melakukan sendiri Angka 3 (Tiga) bila anak melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 (Dua) bila anak melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 (Satu) bila anak melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 (Nol) bila anak tidak dapat melakukan. No. TINGKAT PENGUASAAN 4 3 2 1 0

A. Penguasaan Keseimbangan dan Bentuk Tubuh A. 1 A. 2 A. 3 A. 4


Menegakkan kepala Berguling Duduk Berdiri

V V V V

B. Gerak Dasar dan Lokomotor B. 5 B. 6 B. 7 B. 8 B. 9 B. 10 B. 11


Merangkak Bergerak perlahan-lahan Berjalan Lari Memanjat Menggerakkan anggota tubuh Melompat

V V V V V V V

C. Memanipulasi Gerakan C. 12 C. 13 C. 14 C. 15 C. 16
Menggenggam dan melepaskan Membangun bentuk Menggambar dan menulis Memasukkan benda ke kotak Berpindah tempat

V V V V V

D. Penguasaan Bola atau benda Sejenis D. 17


Melempar

V
Jumlah Masing-masing Skor:

13 4

64

3,76

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

120 INSTRUMEN ASESMEN GPI (Profil II) Cara Pengisian jawaban


Berilah tanda checklist (V) pada:
Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan sama sekali.

No. TINGKAT PENGUASAAN A. Gerak Dasar dan Daya Gerak : A.1 Berjalan A.2 Berlari A.3 Memanjat A.4 Mekanisme gerak tubuh A.5 Melompat A.6 Meloncat-loncat A.7 Lari mencongklak A.8 Melangkah dilanjutkan dengan meloncat. B. Penguasaan Diri: B.9 Mampu melakukan orientasi ruang B.10 Bergerak ke arah yang sejajar dengan objek lain B.11 Bergerak lurus ke depan B.12 Mengetahui fungsi dan gerak tubuh B.13 Mengetahui garis tengah tubuh B.14 Mengenali bagian tubuh sendiri C. Kemampuan Persepsi: C.15 Merespon terhadap persepsi dengar C.16 Merespon terhadap persepsi pandang C.17 Merespon terhadap persepsi rabaan D. Koordinasi Gerak Mata: D.18 Dengan tangan D.19 Saat memandang D.20 Dengan kaki E. Memanipulasi Gerak: E.21 Menulis dan menggambar E.22 Melakukan gerakan dengan berbagai cara terhadap benda F. Menguasai Alat: F.23 Bersepeda F.24 Bergerak sepanjang garis sejajar G. Penguasaan terhadap bola / benda sejenis: G.25 Melempar G.26 Menangkap G.27 Menendang G.28 Memukul

V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V 3,6

101

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

121

Langkah kedua: Menganalisis hasil pre test dengan GPI Profile I dan II. Diperoleh data sebagai berikut: (1) Hambatan atau kelemahan dari GPI profile I adalah Memanipulasi Gerak, (2) Hasil dari GPI Profil II adalah: terjadi hambatan pada tiga bagian, yaitu: Kemampuan Persepsi (khususnya respon terhadap persepsi pandang), Koordinasi Gerak Mata, dan Memanipulasi Gerak. Maka dapat disimpulkan bahwa intervensi yang akan dimasukkan dalam rancangan pembelajarannya adalah gerakan-gerakan berkaitan dengan memanipulasi gerak (seperti: melempar, menangkap, menendang, memantulkan, memukul dengan alat), kemampuan persepsi (dalam hal ini adalah kemampuan merespon terhadap daya pandang), dan koordinasi gerak mata (berkaitan dengan kemampuan melakukan gerakangerakan berkaitan dengan daya koordinasi mata dengan anggota tubuh). Langkah Ketiga: Membuat Skematis dan Bagan Pola-Gerak Sebelum disusun pola-gerak (berupa bagan atau gambar), terlebih dahulu dibuat suatu sketsa pola gerak bagi siswa dengan hendaya kelainan perilaku seperti yang ada pada halaman berikut.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

122 Tabel 4.1 Skematis Pola gerak untuk Siswa Tunalaras Pola Gerak (Skills Themes) Manipulatif Non-Manipulatif
Lempar dan tangkap Melompat, mendarat dan mengulurkan otototot tubuh.

Konsep Gerak

Lokomotor
Jalan dan Lari

A.Dimana tubuh digerakkan: 1.Lokasi 2.Arahnya 3.Tingkat gerak 4.Perluasan B. Bagaimana tubuh digerakkan: Lapangan sepakbola Kedepan, kebelakang dan kesamping. Sedang dan cepat Lurus/ zigzag. Lapangan sepakbola Kedepan, kebelakanag dan kesamping. Sedang. Lurus dan melambung. Lapangan sepakbola. Kedepan, kebelakang, dan kesamping. Sedang Jauh kemuka dan kesamping.

1. Waktu 2. Tenaga
3. Arah/ Jalur C. Relationship: 1. Dengan Tubuh: 2.Dengan Objek/ orang: 3. Bentuk Sosialnya:

Secara teratur. Sepenuh tenaga Diarahkan

Cepat dan tiba-tiba. Depan/ belakang. Berteman.

Meluas/ melebar. Dekat/ jauh Berteman berpasangan.

Sejajar. Atas/Bawah Dekat/jauh. Berkelompok regu.

dan dalam

Meluas/Melebar. Depan / Belakang Bergerak berpasangan dengan teman.

Bagan 4.1. Pola Gerak untuk Anak Tunalaras.


Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

123 Keterangan Bagan 4.1 A, sampai dengan G adalah lokasi kegiatan kognisi berkaitan dengan Pokok dan pokok Bahasan. Jalur A ke B, dilakukan kegiatan berlari berpasangan sambil memantulkan bola dengan tangan kanan sebanyak lima kali, kemudian dioperkan pada temannya. Temannya melakukan kegiatan yang serupa. Pada Lokasi B anak secara berpasangan melakukan tepukan tangan berpasangan dengan posisi tangan kiri dengan kanan dan sebaliknya. Kegiatan tepukan ini dilakukan Sub-

sebanyak 10 kali, dilanjutkan dengan menuliskan kegunaan tangan bagi kehidupan manusia pada kertas kerja yang telah disediakan guru. Jalur B ke C, melakukan kegiatan berjalan perlahan sambil berpegangan tangan dengan pasangannya dan menghitung sampai bilangan 10, kemudian melakukan lompatan melewati rintangan tertentu. Diteruskan sampai ke Lokasi C. Di Lokasi C, anak-anak melakukan kegiatan menendang bola di arahkan ke satu sasaran tertentu. Dalam kesempatan ini siswa menuliskan kegunaan kaki bagi kehidupan manusia. Jalur C ke D, merupakan kegiatan lempar dan tangkap bola berpasangan dengan temanpasangannya dilakukan dengan jalan atau lari secepat mungkin hingga ke Lokasi D. Di Lokasi D anak-anak melakukan kegiatan menyalin tulisan berisikan kegunaan mata bagi manusia ke dalam kertas yang telah disediakan.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

124 Jalur D ke E, anak-anak dengan pasangannya masing-masing berlomba merangkak secepatnya hingga ke lokasi E. Di Lokasi E, setiap anak melakukan kegiatan menggambar bentuk manusia lengkap dengan anggota tubuhnya. Jalur E ke F, merupakan kegiatan berjalan cepat berpasangan/ bergandeng tangan dengan pasangannya. Di Lokasi F anak dengan pasangannya melakukan kegiatan penguluran otot-otot punggung dengan saling mengangkat belakang tubuh secara bergantian. Jalur F ke G, merupakan kegiatan berlari zigzag melewati rintangan sambil bergandengan tangan dengan pasangannya masing-masing. Setelah berada di Lokasi G setiap anak harus mengumpulkan biji kacang hijau yang tersebar di Lokasi G, kegiatannya sekitar 10 menit. Jalur G ke A, merupakan kegiatan akhir, seluruh anak berjalan sambil menyanyikan lagu kesayangannya seperti Gelang Sepatu Gelang atau lainnya. Hingga ke lokasi A yang sebelumnya sebagai lokasi awal kegiatan.

Langkah keempat: Membuat Rancangan Pembelajaran Berbasis Gerak Irama

Berdasarkan atas pola gerak yang ada pada Tabel 4.1 serta Bagan 4.1 tersebut di atas, maka guru menyelaraskan pokok dan Sub-pokok Bahasan yang akan diajarkan kepada siswanya sesuai dengan jadwal pelajaran yang telah disusun sebelumnya. Sebagai contoh dapat dilihat pada rancangan pembelajaran berikut.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

125

CONTOH RANCANGAN PEMBELAJARAN UNTUK SISWA DENGAN HENDAYA KELAINAN PERILAKU (TUNALARAS) Mata Pelajaran: Ilmu Pengetahuan Alam tentang: Pemahaman Konsep Makhluk Hidup dan Proses Kehidupannya. Kelas/Program : I / SDLB bagian E Semester Waktu : I (Ganjil) : 2 X 30 menit.

I. Standar Kompetensi Siswa mampu memahami bagian anggota tubuh serta kegunaannya, kebutuhan dan cara perawatannya, serta mampu memelihara lingkungan yang sehat. II. Kompetensi Dasar Mengamati bagian-bagian anggota tubuh, kegunaan dan cara perawatannya. III. Hasil Belajar 1.1. Mengidentifikasi bagian-bagian tubuh dan kegunaannya. IV. Indikator Menerangkan bagian-bagian tubuh misalnya mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan gigi V. Materi Pokok Bagian-bagian anggota tubuh, kegunaan dan cara perawatannya. VI. Alokasi Waktu 2 X 30 menit setiap pertemuan. VII. Pengalaman Belajar A. Apersepsi/ Motivasi: 1. Mengarahkan siswa dengan hendaya kelainan perilaku pada situasi belajar
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Menceriterakan kegunaan bagian-bagian tubuh yang diamati.

126

2. Menyiapkan kegiatan di lapangan.

B. Kegiatan Inti: 1. Siswa diajak menuju lokasi atau lapangan yang ada di sekitar sekolah untuk melakukan kegiatan berdasarkan urutan-urutan kegiatan yang telah dipersiapkan oleh guru.

2. Langkah-langkah kegiatan inti sebagai berikut. Langkah-langkah


Langkah Kesatu: Siswa berada di lapangan sepakbola dengan posisi berpasangan. Gerakan yang dilakukan adalah: Berlari berpasangan sambil memantulkan bola dari jalur Lokasi A ke Lokasi B. Di Lokasi B: secara berpasangan melakukan tepukan tangan dengan posisi tangan kiri dengan kanan, dan sebaliknya. Sebanyak 10 kali. Menuliskan kegunaan tangan, pada kertas kerja yang tersedia. Selanjutnya dilakukan kegiatan pada Jalur B ke C: Kegiatan yang dilakukan adalah: berjalan perlahanlahan sambil bergandengan tangan dengan teman pasangannya sambil menghitung sampai angka 10, kemudian melompati rintangan yang ada di depannya. Setelah di Lokasi C: anak melakukan kegiatan menendang bola yang di arahkan ke sasaran tertentu. Dilanjutkan dengan menuliskan kegunaan kaki manusia bagi kehidupannya.

Pola Gerak

Keterangan

A D

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

127 Lanjutan Kegiatan Inti


Langkah Kedua: Dimulai dari Lokasi C menuju ke Lokasi D dilanjutkan ke lokasi E. Kegiatannya meliputi: 1. Dari Lokasi C ke D melakukan kegiatan lempar tangkap bola sambil berjalan/ berlari, secara berpasangan. Di Lokasi D kegiatan yang dilakukan adalah menyalin tulisan tentang kegunaan mata bagi manusia. 2. Kegiatan gerak dari Lokasi D ke E adalah berlomba merangkak. Sesampainya di Lokasi E, siswa melakukan kegiatan menggambar tubuh manusia lengkap dengan anggota tubuhnya.

Langkah Ketiga: Kegiatan yang dilakukan mulai jalur E ke F, diteruskan ke jalur G. Dilanjutkan ke Lokasi A. Kegiatan yang dilakukan di jalur E ke F adalah berjalan cepat berpasangan. Di Lokasi F, melakukan kegiatan penguluran otot-otot dengan cara beradu punggung. Dilanjutkan ke Jalur F ke G dengan kegiatan berlari zigzag melewati tonggak rintangan yang telah disediakan guru. Kegiatan ini dilakukan dengan temannya sambil bergandengan tangan. Di Lokasi G, siswa berlomba mengumpulkan biji kacang hijau yang tersebar di lokasi G, dengan waktu sekitar 10 menit. Kegiatan ke Lokasi A dilakukan dengan berjalan sambil menyanyikan lagu kesukaan siswa yang bersangkutan.

Dari Jalur G menyanyikan Gelang gelang

ke A lagu: sepatu

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

128 VIII. Sumber: Bahan dan Alat Bahan: Buku Pelajaran IPA untuk Kelas I SDLB-Bagian E berkaitan dengan

makhluk hidup dan proses kehidupan. Alat: Bola sepak, biji kacang hijau, kertas kerja, tulisan tentang tentang mata dan kegunaannya, tongkat rintangan.

IX. Evaluasi A. Prosedur Post Test B. Jenis Tes: Perbuatan yang dapat diamati langsung. C. Alat Tes: Instrumen GPI dan Grafik A-B-A. X. Kriteria Penilaian Nilai Sangat Baik: Jika perkembangan psikomotor meningkat disamping adanya keajegan pada tingkat kestabilan perkembangan perilaku sasarannya, secara statistik dibuktikan dengan skor trend stability yang constant (diatas 85%). Nilai Baik: Jika perkembangan psikomotor sampai pada tingkat dapat menguasai. Nilai Kurang: Jika perkembangan psikomotor belum ada peningkatan, dan tingkat stabilitas perkembangan perilaku sasaran sangat rendah (dibawah 25%).

Bandung, 2006

Guru Kelas,

. NIP. Mengetahui, Kepala Sekolah

. NIP. .
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

129 Langkah Kelima: Melakukan evaluasi setelah proses pembelajaran selesai. Dalam kegiatan mengevaluasi yang perlu dilakukan adalah: 1. Melakukan post test dengan GPI Profile I dan II, hasilnya diperbandingkan dengan hasil pre test yang dilakukan sebelumnya. Jika ternyata bahwa

psikomotor siswa meningkat maka program pembelajaran yang disusun melalui rancangan pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama dianggap berhasil. Peningkatan hendaknya mencapai nilai reratanya adalah empat untuk semua item. Tetapi jika sampai pada batas telah dikuasai yaitu dengan dicapainya rerata skor seluruh item adalah tiga, maka rancangan pembelajaran dengan aplikasi gerak irama dinyatakan gagal, untuk hal ini diperlukan peninjauan ulang terhadap program kegiatannya. 2. Jika ingin mengetahui tingkat kestabilan perkembangan pada perilaku sasaran (dalam hal ini adalah perilaku suka menyendiri atau withdrawal), maka rancangan pembelajaran ini diberlakukan selama minimal tiga kali tanpa intervensi gerak irama (sebagai sessi Baseline I), minimal enam kali dengan intervensi gerak irama (sebagai sessi Treatment), dan minimal tiga kali tanpa intervensi gerak irama (sebagai sessi Baseline II) (single-subject method). Dari data kemunculan

perilaku sasaran yaitu withdrawal selama proses pembelajaran yang dicatat dalam recording sheet for rate data (lihat lampiran instrumen), maka dibuatlah grafik AB-A. Dari grafik A-B-A kemudian dilakukan analisis grafik berupa penghitungan berkaitan dengan trend stability yang sering digunakan dalam metode subjek-

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

130 tunggal. Bila ternyata hasil perhitungan trend stability berada pada skor 85% ke atas maka dinyatakan bahwa perkembangan stabilitas berada pada skor konstan.

d. Rangkuman Anak Tunalaras atau Anak dengan Hendaya Perilaku a. Anak dengan hendaya kelainan perilaku (Tunalaras), merupakan anak yang mempunyai kondisi perilaku yang menyimpang dari perilaku normal, ditunjukkan dengan kelainan emosional dan perilaku salah suai. Biasanya kelainan perilaku berkaitan dengan kondisi kelainan lain, seperti tunagrahita (mental retardation) dan kesulitan belajar (specific learning disability). b. Privalensi terjadinya anak dengan hendaya kelainan perilaku bervariasi, namun diperkirakan berkisar antara dua hingga 22 persen dari populasi anak-anak usia sekolah, dan diidentifikasikan banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. c. Faktor-faktor penyebab terjadi hendaya kelainan perilaku adalah: (a) Faktor biologis, perilaku yang menyimpang dipengaruhi oleh faktor genetika, neurologis atau faktor biokemikal atau dapat juga dari kombinasi antara

genetik/neurologis/biokemikal, (b) Faktor keluarga, disebabkan oleh kurang harmonisnya hubungan antara anak dengan orang tuanya, (c) Faktor budaya, kondisi-kondisi budaya dan sosial yang berubah menyebabkan adanya hendaya kelainan perilaku terhadap anak-anak, (d) Faktor sekolah, misalnya adanya pengalaman-pengalaman yang buruk sewaktu berada di ruang-kelas. d. Kasus yang telah diketemukan berkaitan dengan hendaya kelainan perilaku berkaitan erat dengan adanya defisit pada faktor biologis atau organik, kelainan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

131 psikologis atau psikodinamis, konflik-konflik di lingkungan masyarakat, dan perilaku sosio-adaptif karena tidak mampu menyesuaikan diri. Identifikasi

terhadap kasus kelainan perilaku dapat dipakai sebagai patokan untuk menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika anak mempunyai masalah psikologis maka diperlukan penangannya melalui model psikoanalitis yang lebih menekankan pada faktor psikodinamis. Jika anak menunjukkan

penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat, maka diperlukan penanganan melalui model perilaku yaitu dengan memodifikasi perilaku untuk belajar berperilaku benar daripada membetulkan kasus-kasusnya. e. Perilaku yang paling utama sebagai perilaku yang diklasifikasikan sebagai hendaya kelainan perilaku yaitu: agresif, suka menghindarkan diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri. f. Pendekatan yang digunakan terhadap layanan bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku, antara lain dengan pendekatan: psikoanalitis, psiko-edukasional, humanistik, ekologis, dan memodifikasi perilaku atau behavioral (Hallahan & Kauffman, 1986:174-176). Yang paling utama adalah dengan pendekatan

behavioral yang berisikan program terapeutik (penyembuhan) dan menggunakan gerakan-gerakan ritmis-berirama (Geddes, D., 1981:128).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

132 E. KARAKTERISTIK ANAK TUNARUNGU WICARA (ANAK DENGAN HENDAYA PENDENGARAN DAN BICARA)

Bentuk mimik peserta didik dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu wicara) berbeda dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus yang lain, karena mereka tidak pernah mendengar atau mempergunakan panca indera telinga dan mulut. Oleh sebab itu mereka tidak terlalu paham dengan apa yang dimaksudkan dan dikatakan oleh orang lain. Pengertian hendaya pendengaran adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian atau seluruhnya, diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indera pendengaran. Alat audiometer merupakan alat untuk mengukur derajat kehilangan pendengaran dengan ukuran decibel (dB). Derajat kemampuan berdasarkan ukuran

instrumen audiometer menyebabkan klasifikasi anak dengan hendaya pendengaran sebagai berikut. a. 0 26 dB masih mempunyai pendengaran normal b. 27 40 dB mempunyai kesulitan mendengar tingkat-ringan, masih mampu mendengar bunyi-bunyian yang jauh. Yang bersangkutan membutuhkan terapi bicara. c. 41 55 dB termasuk tingkat menengah, dapat mengerti bahasa percakapan. Yang bersangkutan membutuhkan alat bantu dengar. d. 56 70 dB termasuk tingkat menengah berat. Mampu mendengar dari jarak dekat, memerlukan alat bantu dengar dan membutuhkan latihan berbicara secara khusus.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

133 e. 71 90 dB termasuk tingkat berat. Yang bersangkutan termasuk orang yang mengalami ketulian, hanya mampu mendengarkan suara keras yang berjarak kurang lebih satu meter. Kesulitan membedakan suara yang berhubungan dengan bunyi secara tetap. f. 91 dan seterusnya, termasuk individu yang mengalami ketulian sangat berat. Tidak dapat mendengar suara. Sangat membutuhkan bantuan khusus secara

intensif terutama dalam keterampilan percakapan/ berkomunikasi. g. Perilaku yang muncul terhadap peserta didik dengan hendaya pendengaran di sekolah secara dominan berkaitan dengan hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi (Gregory, S. et al., 1998:47-57). Ciri-ciri umum hambatan perkembangan bahasa dan komunikasi antara lain sebagai berikut. 1) Kurang memperhatikan saat guru memberikan pelajaran di kelas. 2) Selalu memiringkan kepalanya, sebagai upaya untuk berganti posisi telinga terhadap sumber bunyi, seringkali ia meminta pengulangan penjelasan guru saat di kelas. 3) Mempunyai kesulitan untuk mengikuti petunjuk secara lisan. 4) Keengganan untuk berpartisipasi secara oral, mereka mendapatkan kesulitan untuk berpartisipasi secara oral dan dimungkinkan karena hambatan

pendengarannya. 5) Adanya ketergantungan terhadap petunjuk atau instruksi saat di kelas 6) Mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara 7) Perkembangan intelektual peserta didik tunarungu wicara terganggu
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

134 8) Mempunyai kemampuan akademik yang rendah, khususnya dalam membaca. (Hallahan & Kauffman, 1991: 232-274; Gearheart & Weishan, 1976:33-45; Kirk & Gallagher, 1989:300-305).

Di negara-negara maju telah terjadi perubahan yang sangat mencolok dalam pendidikan untuk anak-anak dengan hendaya pendengaran dan bicara. Layanan

pendidikan mereka lebih dipengaruhi oleh hasil-hasil penelitian para ahli berkaitan dengan: pemberian layanan khusus, perkembangan teknologi, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat menentukan peranan penting dalam pencapaian suatu pola layanan pendidikan (Watson, L. dalam Gregory, et al., 1999:1-dan 9). Pola layanan pendidikan baru lebih menekankan kepada keberhailan suatu proses pembelajaran yang berfokus kepada usaha pemberian keterampilan membaca, berhitung dan pemahaman bahasa. Pemberian layanan keterampilan hendaknya

didahului dengan melakukan deteksi-dini guna mengetahui sampai sejauhmana informasi berkaitan dengan kemampuan/ kelemahan dan kebutuhan yang sebenarnya sesuai dengan keberadaannya (dikenal dengan nama: needs assessment). Keterampilan membaca,

menulis dan latihan-latihan teknis berkaitan dengan pemahaman bahasa merupakan usaha-usaha pemerintah di beberapa negara maju untuk menjadikan warganya melek huruf (literacy). Melek huruf merupakan hal pokok dan memegang peranan penting, khususnya bagi anak dengan hendaya pendengaran dan bicara, pada setiap program pembelajaran. Hendaya mendengar merupakan hambatan yang dianggap cukup besar bagi perkembangan berbahasa seseorang secara normal, sehingga akan berpengaruh pula
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

135 terhadap perkembangan sosial dan intelektual seseorang (Hallahan & Kauffman, 1991:264). Berdasarkan atas pandangan fisiologikal dan edukasional terhadap hendaya mendengar, maka anak dengan hendaya pendengaran dapat dikategorikan dengan deaf dan hearing impairment. Jadi anak yang tidak mampu mendengar suara keras pada tingkat di atas intensitas maka yang bersangkutan disebut dengan deaf children, sedangkan mereka yang hanya mengalami kesulitan mendengar pada tingkat intensitas tertentu disebut sebagai hard of hearing. Kepekaan atau sensitivitas mendengar diukur dengan decible (dB) yaitu suatu unit ukuran berkaitan dengan tingkat kekerasan suara. Terhadap anak yang mempunyai kepekaan suara sekitar 90 dB atau lebih maka berdasarkan atas pandangan fisiologikal disebut dengan deaf children. mereka yang kepekaan suara di bawah 90 dB disebut dengan hard of hearing. Pandangan secara edukasional mengukur klasifikasi terhadap anak dengan hendaya pendengaran dengan pertanyaan: sampai sejauhmana pengaruh kemampuan mendengar seorang anak berdampak kepada kemampuannya untuk berbicara dan pengembangan bahasanya, Ini dilakukan karena adanya pendapat para ahli yang Sedangkan

menyatakan bahwa terdapat hubungan erat antara ketiadaan kemampuan mendengar dengan kemunduran perkembangan berbahasa seseorang. Olehkarenanya definisi

mengenai hendaya pendengaran (hearing impairment) dapat mengacu kepada the Conference of Executive of American School for the Deaf sebagai berikut.
Hearing impairment. A generic indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound; it includes the subsets of deaf and hard of hearing. A deaf person is one whose hearing disability precludes succesful processing of linguistic information through audition, with oe without a hearing aid. A hard of hearing person is one who, generally with the use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesful processing of linguistic information through audition (Hallahan & Kauffman, 1986:240; dan 1991:266).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

136 Mereka yang termasuk kedalam hendaya mendengar terdiri atas dua kategori yaitu mereka yang tuli sejak dilahirkan disebut dengan congenitally deaf, dan mereka yang tuli setelah dilahirkan disebut dengan adventitiously deaf. Sedangkan klasifikasi berdasarkan atas ambang batas kemampuan mendengar terdiri atas: ringan (26-54 dB), sedang (55-69 dB), berat (70-89, dan sangat berat (90 dB ke atas). Beberapa hasil penelitian (Ittyerah & Sharman, 1997; Wiegersma & Van Der Velde, 1983) telah menemukan suatu kenyataan bahwa anak-anak dengan hendaya mendengar (deaf children) mempunyai kesulitan pada keseimbangan dan kordinasi geraktubuh (balance and general coordination). Contohnya, hasil penelitian pada anak usia 620 tahun dengan hendaya mendengar mengalami kemunduran (less competent) dalam hal sebagai berikut di bawah ini. a. Koordinasi dinamika gerak (dynamic coordination) antara lain pada gerak: berjalan mundur dan maju sepanjang titian yang sempit, melompat, berjingkat ke atas (jumping & skipping), dan melompati rintangan tali yang direntangkan. b. Kemampuan koordinasi gerak-visual, seperti memasukkan tali sepatu kedalam lobang yang ada pada papan berlobang khusus. c. Dalam melakukan gerakan berpindah (movement) lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak yang mampu mendengar disebabkan perkembangan persepsinya kurang (dalam Lewis, V., 2003:98). Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa anak-anak dengan hendaya mendengar sangat memerlukan suatu tanda-tanda khusus yang bersifat dapat dilihat (auditory cues) (Wiegersma & Van Der Velde, 1983). Sedangkan penelitian dari Salversberg, et al. (1991) lebih jauh menemukan bahwa kesalahan-kesalahan gerak
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

137 sering dilakukan pada anak usia 10-13 tahun yang mempunyai hendaya mendengar, antara lain: 1) selalu salah saat menangkap bola yang dilemparkan pada posisi 90 derajat atau lebih meskipun dilakukan dengan bantuan tanda-tanda khusus berupa visual (visual signal) dengan intensitas suara 20 dB; 2) anak-anak dengan hendaya mendengar selalu terlambat untuk menekan tombol dengan kedua belah tangannya walaupun ada tandatanda suara dengan intensitas 15 dB (selalu lambat dalam melakukan respon to visual stimulus). Dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa ketiadaan informasi berhubungan dengan pendengaran dapat menambah lambatnya melakukan respon bagi sebagian besar anak-anak dengan hendaya mendengar (deaf children). Perkembangan persepsi gerak dari anak-anak dengan hendaya mendengar sangat disarankan untuk dilakukan tes terhadap hipotesis kompensasi sensori (sensorycompensation hypothesis). Hal ini perlu dilakukan disebabkan adanya pendapat yang menyatakan bahwa hilangnya satu indera tubuh seseorang dapat saja digantikan oleh indera sisa lainnya dalam usaha untuk meningkatkan sensitivitas dari sisa indera yang ada. Hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut telah membuktikan adanya fakta-fakta sebagai berikut ini. a. Apabila tanda-tanda visual dan auditory cukup jelas, maka anak-anak tanpa hendaya mendengar dapat lebih cepat dan tepat dalam merespon dibandingkan dengan anakanak yang mempunyai hendaya mendengar (Slaversberg, et al., 1991 dalam Lewis,V., 2003:99). b. Anak-anak dengan hendaya mendengar yang telah memperoleh cangkokan alat pendengaran (cochlear implants) penampilannya sama dengan mereka yang dapat
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

138 mendengar dalam hal melakukan tugas berkaitan dengan atensi visual attention task). (visual

Sebaliknya anak-anak dengan hendaya mendengar yang tidak

mendapat cangkokan alat pendengaran sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam tugas yang berkaitan dengan atensi-visual (Quittner, 1994 dalam Lewis, V., 2003:99). c. Setelah setahun menggunakan cangkokan alat pendengaran, ternyata anak-anak dengan hendaya mendengar mampu meningkatkan atensi-visualnya (Quittner, 1994 dalam Lewis,V., 2003:99). d. Anak-anak dengan hendaya mendengar sebaiknya dikondisikan dengan pemberian tanda-tanda khusus secara tatap muka langsung atau dengan keterarahan wajah. Dengan cara ini kemampuan visual mereka akan sama dengan orang-orang dewasa normal. Berdasarkan hal ini maka sebaiknya diberikan: 1) perhatian khusus dalam pengkondisian dengan pemberian tanda-tanda yang bersifat keterarahan wajah semenjak usia dini; 2) latihan-latihan bahasa isyarat (sign language) perlu dilakukan semenjak usia dini, karena bahasa isyarat akan lebih meningkatkan kemampuan ruang visual (visual spatial). Dengan kata lain, dikatakan bahwa pada anak-anak dengan hendaya mendengar memerlukan latihan-latihan bahasa isyarat untuk dapat meningkatkan perkembangan persepsi geraknya.

Mengenai perkembangan kognitif anak-anak dengan hendaya mendengar secara umum cukup baik, khususnya dalam segi berfikir dan pemahaman. Artinya bahwa

mereka mempunyai perkembangan kognisi dikarenakan ada hubungan yang erat antara perkembangan berbahasa dengan berfikir. Menurut Watson (1913) bahwa proses berfikir anak-anak dengan hendaya mendengar sebenarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan gerak
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

139 yang ada pada pangkal tenggorokan (larynx). Terdapat kesamaan dalam proses berfikir secara verbal dengan proses pencapaian kemampuan berbahasa. Sebaliknya, Chomsky menyatakan bahwa perkembangan berbahasa anak-anak dengan hendaya mendengar terpisah dengan kemampuan kognisi mereka. Ia menyatakan secara lebih jauh bahwa struktur bahasa muncul dalam benaknya sejak yang bersangkutan dilahirkan, sehingga setiap anak memerlukan pengalaman-pengalaman berbahasa agar lebih mengembangkan kemampuan berbahasanya. Bagaimanapun perbedaan yang telah ada pada Watson dan Chomsky, namun beberapa ahli lainnya telah menyatakan pendapat mereka tentang perkembangan kognisi seorang anak sebagai berikut di bawah ini. a. Kemampuan berfikir dan berbahasa saling berkaitan walaupun ada perbedaan diantara keduanya khususnya mengenai apakah kemampuan berfikir dapat menentukan kemampuan berbahasa, atau sebaliknya (Piaget, 1967). b. Kemampuan berbahasa menentukan kemampuan berfikir (Sapir, 1912). c. Kemampuan berbahasa dan berfikir dapat saling mempengaruhi antara satu sama lainnya (Vigotsky, 1962). Menurut Piaget (1967), bahwa inteligensi merupakan kemampuan kognisi seorang anak yang sangat tergantung pada tindakan yang bersangkutan dalam mengadaptasi lingkungannya dan sikapnya untuk mampu mengambil konsekuensikonsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Melalui sikap ini, seorang anak akan

memahami dan melihat bentuk yang ada di lingkungannya berdasarkan atas refleksi yang telah ada dalam inteligensinya. Dengan kata lain bahwa begitu terjadi perkembangan pada kognisi seorang anak maka kemampuan berbahasa-pun berkembang. Ini terjadi
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

140 sebagai bentuk antisipasi terhadap perubahan-perubahan dalam pemahaman terhadap lingkungannya. Jadi kemampuan berbahasa seorang anak dapat mempengaruhi

kemampuan berfikirnya walaupun Piaget menyadari bahwa kemahiran berbahasa terpisah dari kegiatan berfikir. Berbeda dengan pendapat Piaget tersebut di atas, Pendapat dari Sapir yang kemudian dikembangkan oleh Whorf (1940, reprinted in Mandelbaum, 1958) menyatakan bahwa persepsi dan pengalaman terhadap lingkungan tergantung pada suatu bahasa yang digunakan. Bila kemampuan berbahasa anak sudah mahir untuk

menghubungkan gejala-gejala atau pengetahuannya terhadap suatu konsep, maka anak yang bersangkutan akan mempunyai pengalaman dan dapat memahami suatu konsep atau suatu atribut tertentu. Bila konsep atau atribut tidak diekspresikan dalam kemampuan berbahasanya maka anak yang bersangkutan belum mempunyai pengalaman atau pemahaman terhadap suatu konsep atau atribut. Sedangkan Vigotsky (1962) menyatakan bahwa berfikir dan kemampuan berbahasa pada awalnya merupakan hal yang terpisah dan berkembang secara sejajar pada seorang anak hingga mencapai umur dua tahun. Antara berfikir dan kemampuan berbahasa keduanya saling isi mengisi sehingga bahasa dapat digunakan untuk membantu berfikir, dan fikiran yang ada dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa seorang anak. Dengan kata lain, bahwa hubungan antara berfikir dan kemampuan berbahasa saling berkaitan sangat erat. Penelitian terhadap anak dengan hendaya mendengar (deaf children) berkaitan dengan hubungan antara kemampuan berbahasa dan kognisi, diperoleh hasil bahwa Jika anak dengan hendaya mendengar tidak mempunyai kemampuan berbahasa (yang
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

141 sesungguhnya bahwa bahasa merupakan pra-syarat dari kemampuan kognisi) maka anak dengan hendaya mendengar akan mendapatkan kesulitan dalam kemampuan berfikirnya bahkan dimungkinkan kemampuan berfikir yang sudah adapun akan menghilang. Jadi kemampuan berbahasa sangat menentukan kemampuan kognisi sehingga pengetahuan dan pemahaman seorang anak dengan hendaya mendengar hendaknya sepadan dengan kemampuan dan pemahaman anak yang mampu dengar. Dari beberapa teori yang dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa: Kemampuan berbahasa sesungguhnya merupakan kemampuan mengucapkan suatu bahasa atau the language is spoken language. Sehingga bahasa isyarat seperti American sign language (ASL) dan British sign language (BSL) merupakan ucapan bahasa yang dapat diterima sebagai ungkapan berbahasa diantara mereka yang mempunyai hendaya mendengar. Hal ini dapat dilihat bahwa ASL mempunyai tandatanda yang terdiri atas gerakan-gerakan tangan yang dilakukan secara simbolik, secara umum menyatakan ungkapan keseluruhan suatu konsep. Arti setiap gerakan-gerakan tangan tergantung pada bentuk, lokasi, perpindahan dan orientasi dari satu atau kedua tangan. Komponen-komponen ini akan muncul secara simultan yang disebut dengan cheremes dan dapat menyampaikan suatu ungkapan pengganti bunyi sebagai hasil produksi kata dalam bahasa ucapan. Beberapa hasil penelitian berkaitan dengan teknologi dan teori-teori belajar sangat memegang peranan penting guna menemukan pengembangan metode-metode baru serta intervensi yang lebih efektif dalam proses pembelajaran terhadap anak-anak dengan hendaya mendengar dan berbicara. Hal tersebut dilakukan di berbagai negara maju guna mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pemahaman bahasa.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Penemuan-

142 penemuan yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut pada umumnya berkaitan dengan cara-cara baru yang merupakan bentuk intervensi layanan yang lebih efektif dan banyak dimuat dalam jurnal-jurnal ilmiah, namun sayangnya para guru dan ahli terapi wicara masih banyak yang belum mau menerima cara-cara baru hasil penemuan penelitian disebabkan mereka disibukkan dengan pekerjaan rutinnya di sekolah-seklah atau di klinik-klinik. Hal tersebut dinyatakan oleh Bishop (1999) dalam bukunya yang berjudul Uncommon Understanding Development and Disorders of Language Comprehension in Children. Ia menyatakan sebagai berikut. Many researchers justify their theoritical studies with the statement : if we will be able to devise more effective intervention, but all often this is a hollow premire because the research is burried in scientific jurnals that are not accessible to the typical speech-therapist or teacher working in a busy school or clinik (p.vii)

Secara umum, kemahiran berbahasa (yang berarti kemampuan berbicara) merupakan proses yang sifatnya susah dikembangkan. Sebenarnya belum ada cara untuk menghambat ketidakberdayaan seorang anak dalam mengatasi keterbatasan kemampuan berbahasanya (Pinker, 1984:29 dalam Bishop, 1999:19). Walaupun secara nyata

penyebab hambatan perkembangan bahasa belum jelas namun para ahli mencoba untuk memecahkannya berdasarkan aspek-aspek neurologi, etiologi/ genetika dan proses kognitif. Faktor genetika diyakini sepenuhnya sebagai faktor dominan (dibandingkan dengan faktor neurologi atau proses kognitif) penyebab terjadinya hambatan perkembangan bahasa yang implikasi sangat berpengaruh sekali terhadap hambatan perkembangan berbahasa seseorang, ini dikenal dengan nama: developmental aphasia, developmental dysphasia, specific development language disorder, sekarang lebih populer dinamakan dengan specific developmental language impairment (Bishop,
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

143 1999:19). Kata impair berarti hendaya (Maslim, R., 2000:119) atau penurunan

kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas dan kuantitas (American Heritage Dictionary, 1982:644). Kata specific menunjukkan

bahwa hendaya perkembangan bahasa merupakan kebalikan dari perkembangan normal. Sejak pertengahan abad ke 19, para ahli yang mempelajari anatomi tubuh manusia (Histologists) telah mengetengahkan penemuannya bahwa terdapat indera penerima khusus pada setiap otot, tendon atau jaringan otot. Indera penerima khusus ini mampu menggantikan suatu kelangkaan atau hilangnya salah satu indera tertentu. Indera penerima khusus ini dapat dipakai sebagai media penghubung kesadaran gerak tubuh. Berdasarkan sistem syaraf, Sherrington menyatakan bahwa indera penerima

khusus ini dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: pertama meliputi panca indera atau the five sense disebut dengan exteroceptive, dan kedua merupakan kesadaran

terhadap kesan gambaran tubuh atau the image of the body disebut dengan nama proprioceptive. Sherrington adalah seorang ahli berkaitan dengan teori tentang fungsi otak dan sistem kerja syaraf otak, di abad ke 19 telah menulis buku yang sangat dikenal berjudul Two ways of the Mind. Isi buku tersebut antara lain mengemukakan

pernyataannya bahwa ada dua bentuk kegiatan kerja otak untuk berkomunikasi, yang satu berkaitan dengan gerak tubuh (movement) dan lainnya berkaitan dengan adanya hubungan antara dunia luar atau lingkungan dengan panca indera (sebagai sensory input). Hasil penemuan oleh Frenchman dan Pierre Paul Broca di tahun 1861 berkaitan dengan panca indera atau exteroceptive adalah: terdapat hubungan secara utuh

(integritas) pada tonjolan ke-tiga di bagian kiri depan lapisan luar otak (the left frontal
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

144 lobe of the brain cortex) yang merupakan prasyarat seseorang untuk mampu berbicara secara normal. Kerusakan pada bagian tersebut berakibat seseorang tidak mampu

mengucapkan kata atau kalimat. Penelitian lebih lanjut oleh Broca tahun 1863 telah diketemukan bahwa kerusakan pada bagian depan cuping kanan belahan otak tidak merupakan penyebab gangguan berbicara (Jokl, E., dalam Basic Book of Sports Medicine, 1978:314). Pierre Paul Broca adalah seorang ahli bedah klinis dari Perancis yang banyak menekuni masalah otak dan tengkorak sehingga ia merupakan orang panutan dan merupakan orang-kunci dalam pengetahuan berkaitan dengan ilmu anthropologi fisik di negara Perancis hingga saat ini. Ia telah menemukan adanya kerusakan pada jaringan atau simpul ke-tiga bagian kiri depan lapisan luar otak yang menjadi penyebab hilangnya kemampuan seseorang untuk berbicara. Ini menunjukkan adanya hubungan antara

kegiatan tubuh secara spesifik dengan daerah khusus yang ada dalam otak (Reynolds, C., A., 1987:251). Terhadap mereka yang tergolong aphasia, yaitu istilah generik yang menunjukan adanya kesulitan untuk berkomunikasi melalui organ bicara, Broca menekankan bahwa otot-otot organ bicara secara normal masih tetap bekerja untuk berbicara walaupun mereka mempunyai hambatan pada bagian kiri depan lapisan luar otaknya. Kelainan berbicara berkaitan dengan kesulitan dalam menggerakkan otot-otot tersebut disebut dengan motor aphasia sedangkan terhadap seseorang yang berbicara secara pelan dan mendapatkan kesulitan pada artikulasi atau berbicara secara cepat tetapi susunan kata tidak teratur dan tidak berbentuk disebut dengan sensory aphasia. Termasuk kelainan sensory aphasia adalah mereka yang berbicara hanya dengan satu
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

145 kata, dengan kalimat pendek, atau dengan pengucapan anak-kalimat yang tidak lengkap, Kaufman (1981 dalam Reynolds & Mann, 1987:107) menyebutnya sebagai nonfluent aphasics. Terjadinya sensory aphasia disebabkan oleh adanya kerusakan pada bagian kiri depan otak (the left temporal lobe of the brain). Bagi golongan motor aphasia

umumnya mereka masih mampu menyusun suatu pembicaraan walaupun yang bersangkutan tidak mampu mengucapkan kata atau kalimat, sehingga dapat dikatakan bahwa anak-anak dengan motor aphasia masih mampu menulis kata atau kalimat tanpa menemui banyak kesulitan. Program layanan pendidikan terhadap mereka yang mempunyai kelainan aphasia (motor aphasia dan sensory aphasia) hendaknya dilakukan secara komprehensif yang diawali dengan melakukan evaluasi secara multifaktor terhadap kemampuan neuropsychologikal (Reynolds & Mann, 1987:107-108). Secara garis besar hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya pendengaran meliputi hal-hal sebagai berikut di bawah ini. a. Hasil penelitian para ahli di Amerika Serikat menyatakan bahwa satu dintara tujuh anak yang mempunyai hendaya mendengar mempunyai permasalahan berkaitan dengan kesehatan mental. Kesehatan mental ini mengarah kepada schizophrenia atau kelainan psikis, paranoid atau kelainan psikis karena selalu dihantui rasa takut, affective psychosis atau kelainan emosi secara psikis, dan depression atau kemuraman (the Departement of Health of USA, 1995 dalam Gregory, et al., 1999:17). b. Anak-anak dengan hendaya mendengar mempunyai kesulitan psikologis yang diperoleh dari sejumlah faktor eksternal seperti: kurangnya bimbingan bantuan orang
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

146 tua dan keluarga, kesadaran orang-orang di sekitarnya terhadap permasalahan anak dengan hendaya mendengar, lingkungan hidup, budaya dan model peran dari anak-anak dengan hendaya mendengar (Gregory, et al., 1999:19). c. Dalam keterampilan kognitif berkaitan dengan prestasi akademik pada umumnya kemampuan mengingat dari anak-anak dengan hendaya mendengar sangat singkat sekali, hanya hitungan beberapa detik tidak sampai menit. Untuk hal ini diperlukan kegitan-kegatan khusus dalam layanan pendidikan agar mereka mampu membaca, memahami isi bacaan dan mengingat angka-angka. Banyak terjadi anak dengan

hendaya mendengar berkesulitan membaca (Lewis, V., 20003:136). Olehkarenanya mereka memerlukan suatu metode pembelajaran yang lebih menekanan kepada pengucapan bahasa. d. Pada kelompok tertentu dari anak-anak dengan hendaya mendengar mendapatkan ketidakmampuan dalam belajar misalnya: disebabkan oleh adanya hendaya visual, ketidakmampuan belajar yang spesifik atau dyslexia, cerebral palsy, dan masalahmasalah berkaitan dengan perilaku atau emosi (Gregory, et al., 1999:31). e. Perkembangan bahasa dan komunikasi anak-anak dengan hendaya mendengar secara umum kurang sempurna, khususnya saat menggunakan bahasa seperti pada kemampuan pemahaman bahasa, berbahasa dan berbicara (Hallahan & Kauffman, 1986:251 dan 1991:274). f. Prestasi akademik anak-anak dengan hendaya mendengar khususnya dalam kemampuan membaca sangat kurang (Hallahan & Kauffman, 1991:276). g. Dikarenakan anak-anak dengan hendaya mendengar tumbuh besar dan hidup dalam lingkungan yang terisolir maka mereka membutuhkan interaksi sosial dan perasaan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

147 diterima oleh orang-orang seklilingnya. Ini berarti bahwa anak-anak dengan hendaya mendengar mempunyai hambatan dalam berkomunikasi. Dalam hal ini diperlukan pendekatan khusus dalam kegiatan belajar mengajar yang berkaitan dengan aspek komunikasi, seperti: 1) pemberian latihan auditori (auditory training); 2) dikondisikan pada berbicara bibir (lips-reading); 3) penggunaan bahasa isyarat dan ejaan huruf dengan jari-jemari (sign language and finger-spelling). Latihan auditori melibatkan tiga sasaran pokok, yaitu: a) perkembangan kesadaran bunyi, b) perkembangan kemampuan membuat perbedaan secara nyata tentang bunyibunyi yang ada di lingkunannya, c) perkembangan kemampuan membedakan bunyibunyi dalam kegiatan berbicara. Ada tiga bentuk yang berbeda dari rangsang bunyi yang dibutuhkan dalam suatu program latihan terhadap anak dengan hendaya mendengar, yaitu: a) rangsang yang diperoleh dari lingkungan dimana komunikasi itu terjadi, b) rangsang secara langsung diikuti dengan pesan tetapi bukan bagian dari hasil kemampuan berbicara, c) rangsangan langsung berkaitan dengan produksi bunyi pembicaraan (Hallahan & Kauffman, 1987:258-263; dan 1991:279-282). h. Data penelitian para ahli menyatakan bahwa amak-anak dengan hendaya mendengar umumnya mempunyai kesulitan dalam melakukan gerak keseimbangan dan koordinasigerak tubuh, termasuk didalamnya kordinasi dinamika gerak, koordinasi gerak visual dan geak berpindah (Lewis, V., 20003:98). Terdapatnya kesulitan gerak keseimbangan dan koordinasi gerak tubuh pada anak dengan hendaya mendengar merupakan salah satu alasan utama diperlukannya pendekatan pembelajaran dengan menggunakan permainan terapeutik dan pola gerak irama.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

148 Hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya berbicara, secara garis besar disimpulkan sebagai berikut ini. a. Anak-anak dengan hendaya berbicara mempunyai komunikasi yang kurang baik (defective in communication) seperti berbicara menggagap, bicara pelat atau terbatabata, ucapan yang membingungkan, dan bicaranya tidak jelas atau sulit dipahami. Saat berkomunikasi dengan anak-anak dengan hendaya berbicara, sistem verbal sering digunakan sebagai alat berinteraksi dengan mengenal tanda-tanda non-verbal meliputi kontak mata, ekspresi wajah, orientasi tubuh dan komunikasi yang dilakukan dengan jarak dekat dengan bertatap wajah langsung atau keterarahan wajah (Ashman & Elkins, 1994:172). b. Anak-anak dengan hendaya berbicara pada umumnya mempunyai hambatan dalam perkembangan bahasa, khususnya dalam struktur kalimat yang kompleks. Di sekolah, penerapan latihan-latihan berbahasa dengan menggunakan keterampilan

metalinguistik sangat penting. Metalinguistik diartikan sebagai penggunaan bahasa untuk mengomentari ucapan-ucapan dalam komunikasi yang salah ucap misalnya: kapang dara bang ri dikomentari secara langsung saat kejadian, dengan; kapal udara terbang sendiri (Ashman & Elkins, 1994:191). c. Terdapatnya kelemahan pada otot-otot alat bicara atau motor speech dsorder, yaitu adanya kelumpuhan pada alat bicara (misal adanya paralysis) yang diakibatkan dysarthia atau artikulasi bicara yang kurang baik yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada sistem syaraf pusat. d. Adanya ketidakteraturan dalam koordinasi neurologikal sehingga saat berbicara terlihat kacau walaupun otot-otot pada organ bicara masih dapat bekerja dengan baik. Saat
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

149 berbicara banyak dilakukan lompatan-lompatan, banyak berhenti dan sering mengulang-ulang kata disebabkan oleh adanya dyspraxia atau apaxia atau ketidakmampuan untuk berbicara karena faktor hendaya gerak pada otot-otot organ bicara berkaitan dengan proses interneurosensory (Ashman & Elkins, 1994:195). e. Adanya penurunan kemampuan persepsi bicara sehingga dalam berbicara kata-kata yang diucapkan sangat sedikit. Salah satu sebabnya dikarenakan ada faktor kesulitan phonological (Bishop, 1999:51) atau articulation disorder (Hallahan & Kauffman, 1986:199). Kemampuan persepsi bicara melibatkan dua keterampilan yang saling melengkapi yaitu kemampuan untuk mengucapkan bunyi yang berbeda

(discrimination), dan kemampuan untuk mengucapkan bunyi akustik yang berbeda (phoneme constancy). Untuk mengembangkan persepsi berkaitan dengan

pendengaran atau persepsi dengar perlu dilihat adanya tiga perbedaan kemampuan yang saling terkait yaitu keterkaitan antara: 1) deteksi bunyi atau detection of sound, yaitu kemampuan mengeluarkan suara, 2) kemampuan membedakan bunyi (discrimination between sound) yaitu

kemampuan untuk dapat mengatakan bunyi-bunyi yang berbeda secara terpisah, 3) klasifikasi bunyi (classification bunyi melalui of sounds) hubungan yaitu diantara kemampuan klasifikasi untuk bunyi

menginterpretasikan

berdasarkan atas pengalaman sebelumnya (Bishop, 1999:52).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

150 E. KARAKTERISTIK ANAK TUNANETRA (ANAK DENGAN HENDAYA PENGLIHATAN) Anak yang mengalami hambatan penglihatan atau tunanetra atau anak dengan hendaya penglihatan, dalam hal lain perkembangannya berbeda dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya, tidak hanya dari sisi penglihatan tetapi juga dari hal lain. Bagi peserta didik yang memiliki sedikit atau tidak melihat sama sekali, jelas sekali bahwa ia harus mempelajari lingkungan sekitarnya dengan menyentuh dan

merasakannya. Perilaku untuk mengetahui objek dengan cara mendengarkan suara dari objek yang akan diraih adalah perilakunya dalam perkembangan motorik. Sedangkan perilaku menekan dan suka menepuk mata dengan jari, kemudian menarik ke depan dan ke belakang, menggosok dan memutarkan serta menatap cahaya sinar merupakan perilaku anak dengan hendaya penglihatan yang sering dilakukannya guna mengurangi tingkat stimulasi sensor dalam melihat dunia luar. Untuk dapat merasakan perbedaan dari setiap objek yang dipegangnya, anak dengan hendaya penglihatan selalu menggunakan indera raba dengan jari-jemarinya saat mengenali ukuran, bentuk, apakah objek-benda tersebut mempunyai suara. Kegiatan ini merupakan perilakunya untuk menguasai dunia persepsi dengan menggunakan indera sensorik. Untuk menguasai dunia persepsi bagi anak dengan hendaya penglihatan sangat sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Mengenai perkembangan kognitif anak dengan hendaya penglihatan menurut Lowenfeld (1948), terdapat tiga hal yang memiliki pengaruh buruk terhadap perkembangan kognitifnya, yaitu:

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

151 a. Yang pertama adalah jarak dan beragamnya pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik dengan hendaya penglihatan. Kemampuan ini terbatas karena mereka

mempunyai perasaan yang tidak sama dengan anak yang mampu melihat. b. Kedua, kemampuan yang telah diperoleh akan berkurang dan akan berpengaruh terhadap pengalamannya terhadap lingkungan. c. Ketiga, peserta didik dengan hendaya penglihatan tidak memiliki kendali yang sama terhadap lingkungan dan diri sendiri seperti apa yang dlakukan oleh anak awas.

Perkembangan komunikasi peserta didik dengan hendaya penglihatan pada umumnya sangat berbeda dengan anak awas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru berkaitan dengan perkembangan komunikasi anak dengan hendaya penglihatan, sebagai berikut. a..Bahasa akan sangat berguna bagi anak dengan hendaya penglihatan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dilingkungannya, dengan menanyakan apa yang terjadi dilingkungannya, dan akhirnya orang lain mampu berbicara dengannya. b.Peserta didik dengan hendaya penglihatan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan anak awas untuk mengucapkan kata pertama, walaupun susunan kata yang diucapkan sama dengan anak awas. c. Peserta didik dengan hendaya penglihatan mulai mengkombinasikan kata-kata ketika perbendaharaan katanya mencakup sekitar 50 kata., dan menggunakan kata yang ia miliki untuk berbicara tentang kegiatan dirinya dari pada kegiatan orang lain.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

152 d.Kebanyakan peserta didik dengan hendaya penglihatan memiliki kesulitan dalam menggunakan dan memahami kata ganti orang, sering tertukar antara saya dengan kamu.

Dalam perkembangan sosialnya, peserta didik dengan hendaya penglihatan melakukan interaksi dengan sekelilingnya (orang dan benda) dilakukannya dengan cara menyentuh dan mendengar objeknya. Hal tersebut ia lakukan karena tidak ada kontak mata, penampilan ekspresi wajah yang kurang, dan kurangnya pemahaman tentang lingkungannya sehingga interaksi tersebut kurang menarik bagi lawannya (Lewis,V., 2003:32-59) Istilah umum yang dipakai dalam dunia pendidikan pada saat ini terhadap anak yang mengalami hendaya penglihatan adalah child who is totally blind, visually impairment, dan child who is low vision atau partially sight. Ini menandakan bahwa anak dengan hendaya penglihatan adalah mereka yang mempunyai kemampuan lain. Dimaksudkan dengan kemampuan lain berarti mengacu kepada kemampuan inteligensi yang cukup baik, daya ingat yang kuat, disamping kemampuan taktil (synthetic touch dan analytic touch) melalui ujung jari-jemarinya yang luar biasa sebagai ganti indera penglihatannya yang kurang atau tidak berfungsi guna mengembangkan persepsi dirinya terhadap pengintegrasian konsep-konsep (develop integrated concepts). Inteligensi anak dengan hendaya penglihatan secara umum tidak mengalami hambatan yang berarti. Samuel P. Hayes (1950 dalam Hallahan, 1987:294) menyatakan bahwa kemampuan inteligensi anak dengan hendaya penglihatan tidak secara otomatis menjadikan diri mereka mempunyai inteligensi yang rendah.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

153 Daya ingat yang kuat pada anak-anak dengan hendaya penglihatan disebabkan mereka mempunyai kemampuan konseptual (conceptual abilities) setelah mereka mendapatkan latihan secara ekstensif untuk melakukan tugas-tugas tertentu dalam memahami teori-teori matematika, serta latihan-latihan mengklasifikasikan benda-benda untuk mampu mengetahui hubungan secara pisik dalam kegiatan pembelajaran yang bersifat vokasional (Hatwell, 1966; Stephens & Grube, 1982; dalam Hallahan, 1987:295). Kemampuan taktil yang tinggi pada anak-anak dengan hendaya penglihaan disebabkan adanya dua kemampuan persepsi taktual: synthetic touch dan analytic touch. Dimaksudkan dengan kemampuan synthetic touch adalah kemampuan diri mereka untuk melakukan eksplorasi melalui indera peraba terhadap benda-benda yang bentuknya cukup kecil tetapi masih dapat diraba oleh satu atau dua belah tangannya. Sedangkan analytic touch meliputi kemampuan sentuhan dengan indera peraba terhadap beberapa bagian tertentu dari suatu objek, sehingga anak yang bersangkutan secara mental dapat menghubung-hubungkan bagian-bagian yang terpisah dari suatu objek/ benda menjadi suatu konsep utuh tentang objek/ benda tersebut. Hal ini dimungkinkan terjadi

disebabkan anak dengan hendaya penglihatan mempunyai kemampuan dalam mengembangkan persepsi dirinya terhadap pengintegrasian suatu konsep tentang objek/ benda (develop integrated concepts). Misalnya, seorang anak dengan hendaya

penglihatan dapat dengan mudah menemukan suatu benda yang diinginkan yang tersimpan dalam suatu tas, padahal benda tersebut telah bercampur-baur dengan bendabenda lainnya. Ia dapat menemukan benda yang diinginkan yang berada di dalam sebuah tas hanya dengan cara menyentuh dan memegang dalam kurun waktu tertentu pada benda tersebut (Hallahan, 1987:296; Hallahan, 1991:3090.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

154 Semenjak tahun 1940-an pendidikan untuk anak dengan hendaya penglihatan banyak mengalami perubahan secara drastis. Semula mereka ditempatkan dalam

residential school hingga ke sekolah yang lebih terintegrai dengan anak-anak awas. Dewasa ini penempatan pendidikan di sekolah berubah dari bentuk yang mainstreaming ke arah inclusion (Spungin, S., J., dalam Holbrook, M.C. & Koening, A.J., 2003:IX). Para guru yang menangani anak-anak dengan hendaya penglihatan diperlukan kemampuan mengambil keputusan berkaitan dengan strategi pembelajaran yang dianggap paling cocok bagi mereka. Oleh karena itu sangat diperlukan sekali pemahaman yang jelas berkatan dengan isu-isu yang kompleks dalam penyusunan suatu program pembelajarannya. Pendekatan baru untuk mengajar anak dengan hendaya penglihatan adalah pemberian latihan-latiham yamg lebih banyak terhadap kemampuan menggunakan tongkat putih (white cane) dikenal dengan sebutan hoover cane agar dapat melakukan bepergian secara aman, mandiri dan efektif. Kegiatan latihan ini dikenal dengan orientasi mobilitas atau mobility training. Tahun 1950 pendekatan orientasi mobilitas banyak diterapkan kepada orang dewasa dengan hendaya penglihatan. Di tahun 1974 hampir semua ahli tentang orientasi mobilitas memberikan layanan latihan khusus terhadap semua anak-dengan hendaya penglihatan pada tingkat usia sekolah. Orientasi (orientation) diartikan dengan kemampuan mengetahui posisi diri berkaitan dengan objek-objek lain yang berada dalam suatu ruang tertentu sedangkan mobilitas (mobility) diartikan sebagai kemampuan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, objek atau lingkungan tertentu secara aman, mandiri dan efektif (Ashman & Elkins, 1994:371).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

155 Tujuan diberikannya program pembelajaran yang menitik beratkan kepada orientasi mobilitas kepada anak dengan hendaya penglihatan antara lain sebagai berikut di bawah ini. a. Agar dapat meningkatkan kemampuan refleks bersyarat (condition reflex), sehingga proses kemampuan gerak dapat terintegratif melalui proses

pembelajaran.

Refleks bersyarat muncul sejak seseorang dilahirkan dan

berkembang setelah mengalami latihan-latihan berulangkali dan koreksi secara terus-menerus dalam kurun waktu yang lama. b. Agar perkembangan gerak dan pertumbuhan anak dengan hendaya penglihatan sejalan dengan kemampuan dominan yang telah dimiliki seperti: kemampuan taktil, daya ingat yang tinggi, inteligensi yang cukup tinggi dibandingkan dengan anak dengan kebutuhan khusus lainnya. c. Agar lebih mendorong kemampuan persepsi sensomotorik (sensomotoric perceptual function). d. Dapat membantu kelancaran proses pembelajaran dan mampu mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. e. Dapat membantu anak dengan hendaya penglihatan untuk mampu melampaui masa transisi dari kehidupan lingkungan sekolah ke arah lingkungan masyarakat secara sukses.

Layanan terhadap anak dengan hendaya penglihatan di sekolah-sekolah secara umum terdiri atas dua kategori yakni: anak dengan hendaya penglihatan secara total atau totally blind dan anak dengan hendaya penglihatan yang masih dapat menggunakan sisaPembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

156 sisa penglihatannya atau disebut dengan kata lainnya: low vision atau partially sight. Anak-anak low vision masih mampu menggunakan indera penglihatan saat mereka membaca suatu bacaan dengan huruf berukuran normal. Anak totally blind sama sekali tidak dapat menggunakan indera penglihatannya kecuali dengan cara meraba atau taktil untuk mengenali lingkungan. Keadaan pisik, mental, emosi dan interaksi sosial para peserta didik dengan hendaya penglihatan secara umum dapat dikatakan normal. Namun dalam pendidikannya mereka memerlukan layanan dan bantuan agar perkembangan kemampuan dirinya dapat berkembang lebih baik, khususnya pada kemampuan bergerak untuk mengenal lingkungan yang amat tergantung pada kemampuan mengenali ruang (spatial) melalui pemetaan kognitif (cognitive mapping). Pemetaan kognitif merupakan suatu cara yang sangat fleksibel guna mengetahui, mengenali dan mengendalikan suatu objek atau lingkungan tertentu (Hallahan, 1978:298). Misalnya, untuk mampu bergerak mencapai suatu tempat diperlukan suatu tahapan-tahapan gerak. Tahapannya adalah dari tempat A ke tempat B, baru ke tempat C dan seterusnya. Untuk ke tempat C terlebih dahulu harus melewati tempat B. Bagi anak dengan hendaya penglihatan yang telah mempunyai keterampilan memetakan secara kognitif, ia dapat melakukan orientasi mobilitas dari tempat A langsung ke tempat C tanpa melalui tempat B. Faktor utama untuk mampu melakukan gerak orientasi ke suatu tempat, ruang atau lingkungan tertentu diperlukan motivasi diri yang tinggi (self motivation). Motivasi diri dibantu dengan kemampuan mengenali tanda-tanda khusus (cues) yang ada di sekitarnya, seorang anak dengan hendaya penglihatan akan dengan mudah melakukan gerak menuju tempat yang dituju (to detect physical obstructions in the environment).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

157 Kemampuan memahami tanda-tanda khusus yang ada di seputar lingkungan hidup dikenal oleh beberapa ahli sebagai obstacle sense. Obstacle sense dapat tumbuh berkat adanya latihan-latihan tertentu pada indera ekstra (extra sense). Indera ekstra tersebut dapat dimilki oleh setiap anak dengan hendaya penglihatan dengan cara melakukan latihan-latihan khusus untuk mendeteksi perubahan-perubahan frekuensi tinggi dari suatu pantulan bunyi yang datang dari benda-benda sekitarnya saat yang bersangkutan bergerak ke arah objek yang dituju (Hallahan, 1991:311). Dari penjelasan tersebut di atas, sangatlah bijaksana bila program pembelajaran yang disusun guru mengarah kepada: (1) kemampuan orientasi mobilitas mengarah kepada kemampuan mengkoordinir keseluruhan gerak jasmani; (2) kemampuan gerak dengan menggunakan gerak halus atau fine motor; (3) kemampuan mengkoordinir ketepatan reaksi-gerak; (4) kemampuan mengkoordinir daya kekuatan otot-otot gerak sesuai dengan kebutuhannya. Proses penyesuaian diri anak dengan hendaya penglihatan lebih ditujukan kepada kepercayaan diri sendiri agar mampu melakukan kegiatan-kegiatan di lingkungannya. Sehingga dari percaya diri ini akan muncul harga diri dan perasaan diterima oleh orangorang di sekitarnya. Harga diri menyangkut perasaan bahwa dirinya cukup dihargai, mempunyai kemampuan dan diperlukan oleh masyarakat sekitarnya. Harga diri dapat muncul disebabkan adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut persepsi diri, kemampuan membela diri, merasa dirinya bernilai, dan kemampuan beraspirasi dalam pergaulan hidup. Faktor eksternal secara khusus diarahkan oleh adanya reaksi positif orang lain yang ada di sekitarnya terhadap perilaku diri mereka (Ponchillia, P.E. dan Ponchillia, S.,V., 1996:81).
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

158 Peningkatan harga diri anak dengan hendaya penglihatan dapat diupayakan oleh guru melalui perencanaan pembelajaran yang lebih menititik beratkan kepada (1) komunikasi yang bersifat efektif, (2) monitoring dalam kecepatan penyampaian, dan (3) penggunaan penguatan (reinforcement) terhadap kesuksesan belajar. Komunikasi yang bersifat efektif dilakukan secara verbal maupun non-verbal yang mampu menjembatani antara pencapaian tujuan pembelajaran dengan hendayahendaya yang ada pada anak bersangkutan. Kriteria komunikasi semacam ini adalah: a. Menggunakan bahasa yang tepat dan sesuai dengan situasi sebenarnya. Hindarilah penggunaan kata-kata : di sini atau di sana, sebaiknya digunakan kata-kata: di sebelah kirimu! atau dua langkah di depanmu!. b. Menggunakan analogi atau perbandingan saat menyampaikan sesuatu agar dapat memberikan kejelasan suatu deskripsi bahan ajar. Misalnya cobalah berjalan

sepuluh langkah ke arah depan tanpa suara berisik seperti semilirnya angin pagi hari c. Menggunakan tanda-tanda khusus yang dapat ditangkap oleh alat-dengar. Misalnya, penggunaan bola plastik yang dimodifikasi dengan media bunyi gemerincing untuk memberikan arah yang dituju, khususnya pada anak buta total (totally blind). d. Menggunakan taktil atau rabaan dalam mengenali suatu model. Misalnya, saat

memberikan pengetahuan tentang gelombang dalam suatu proses pembelajaran hendaknya menggunakan media berkaitan dengan adanya bentuk cekungan longitudinal pada sisi atas dan bawah serta dapat bergetar menirukan suara deru gelombang lautan saat disentuh dan digerakkan. e. Taktil lebih diutamakan dalam mengenali ukuran suatu objek sebagai model. Misalnya, dalam mengenali model pesawat terbang sebaiknya digunakan prototipe
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

159 pesawat terbang sehingga dapat dikenali bagian-bagian dari pesawat terbang tersebut. f. Menggunakan manipulasi-gerak dalam upaya memahami suatu gerak melalui penjelasan guru secara benar. Misalnya, saat memberikan pola-gerak pivot atau bergerak memutar dengan salah satu kaki menjadi tumpuannya yang sering dilakukan dalam permainan bola basket. Guru harus memberikan arahan gerak pada anak

dengan hendaya penglihatan melalui kegiatan meraba gerak kaki guru yang sedang melakukan gerakan pivot, dan kemudian anak menirukan serta dikoreksi kesalahankesalahan yang terjadi secara berulangkali.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

160 G. KARAKTERISTIK ANAK AUTISTIK (AUTISTIC CHILDREN)

Autism syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-gejala penyandang autism menurut Delay & Deinaker (1952), dan Marholin & Philips (1976) antara lain berupa : a. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah. b. Selalu diam sepanjang waktu c. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan sekali dengan nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh ia akan mengucapkan atau menceriterakan dirinya dengan beberapa kata, kemudian diam menyendiri lagi. d. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya keinginan yang bermacam-macam, serta tidak menyenangi sekelilingnya. e. Tidak tampak ceria. f. Tidak perduli terhadap lingkungannya, kecuali pada benda yang disukainya, misalnya boneka.. Secara umum anak autistik mengalami kelainan dalam berbicara, disamping mengalami gangguan pada kemampuan intelektual serta fungsi syaraf. Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Rician tentang kelainan anak autistik sebagai berikut. a. Kelainan berbicara. Keterlambatan serta penyimpangan dalam berbicara

menyebabkan anak autistik sukar berkomunikasi serta tidak mampu memahami percakan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

161 orang lain. Sebagian anak autistik nampaknya seperti bisu (mute) dan bahkan tidak mampu menggunakan isyarat gerak saat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga penggunaan bahasa isyarat tidak dapat dilakukan. Suara yang keluar biasanya bernada tinggi dan terdengar aneh, Berkecenderungan meniru, terkesan menghafal kata-kata tetapi sesungguhnya mereka tidak mampu berkomunikasi. Walaupun pengucapan kata cukup baik, namun banyak mempunyai hambatan saat mengungkapkan perasaan diri melalui bahasa lisan. Dengan demikian sepertinya anak autistik mengalami afasia

(aphasia), kehilangan kemampuan untuk memahami kata-kata disebabkan adanya kelainan pada syaraf otak. b. Fungsi syaraf dan intelektual, umumnya anak autistik mengalami keterbelakangan mental, kebanyakan mempunyai skor IQ 50. Mereka tergolong tidak mempunyai

kecakapan untuk memahami benda-benda abstrak atau simbolik, namun di sisi lain yaitu mereka mampu memecahkan teka-teki yang rumit dan mampu mengalikan suatu bilangan. Walaupun ia mampu membaca koran dengan penuh perasaan namun ia tidak mengerti terhadap bacaan yang ada pada koran tersebut. c. Perilaku yang ganjil, anak autistik akan mudah sekali marah bila ada perubahan yang dilakukan pada situasi atau lingkungan dimana ia berada, walau sekecil apapun. Mereka sangat tergantung pada sesuatu yang khas bagi dirinya yang cenderung kearah sifat ketergantungan dirinya terhadap benda yang ia sukai. Misalnya, selalu membawa-bawa barang yang paling ia senangi sewaktu ia bepergian kemanapun semacam selimut, karet gelang. Seringkali anak autistik menunjukkan sikap yang berulang-ulang. Misalnya, suka menggerak-gerakkan badannya dan bergoyang-goyang saat ia sedang duduk di kursi, terkadang secara tiba-tiba berteriak atau tertawa tanpa sebab yang jelas.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

162 Bahkan sering melakukan bertingkah untuk menyakiti dirinya sendiri, misalnya

membenturkan kepala atau mengorek matanya. Saat makan tiba ia sering menolak makanan yang disodorkannya, ia hanya memakan satu jenis makanan dan dimakan hanya sdikit saja. d. Interaksi sosial, anak autistik kurang suka bergaul dan sangat terisolasi dari lingkungan hidupnya, terlihat kurang ceria, tidak pernah menaruh perhatian atau keinginan untuk menghargai perasaan orang lain, suka menghindar dengan orang-orang disekitarnya sekalipun itu saudaranya sendiri. Dengan kata lain kehidupan sosial anak autistik selalu aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

163 H. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA ATAU ANAK DENGAN HENDAYA FISIK-MOTORIK (Physical Disability)

1. Pendahuluan Pada dasarnya kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu: (1) Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan, (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (musculoskeletal system). Peserta didik tunadaksa mayoritas memiliki kecacatan fisik sehingga mengalami gangguan pada: koordinasi gerak, persepsi dan kognisi disamping adanya kerusakan syaraf tertentu. Sehingga dalam memberikan layanan di sekolah memerlukan modifikasi dan adaptasi yang diklasifikasikan dalam tiga kategori umum, yaitu kerusakan syaraf, kerusakan tulang, dan anak dengan gangguan kesehatan lainnya. Kerusakan syaraf disebabkan karena pertumbuhan sel syaraf yang kurang atau adanya luka pada sistem syaraf pusat. Kelainan syaraf utama menyebabkan adanya cerebral palsy, epilepsi, spina bifida, dan kerusakan otak lainnya. Cerebral palsy, merupakan kelainan diakibatkan adanya kesulitan gerak berasal dari disfungsi otak. Ada juga kelainan gerak atau palsy yang diakibatkan bukan karena disfungsi otak, tetapi disebabkan poliomyelitis disebut dengan spinal palsy, atau organ palsy diakibatkan oleh kerusakan otot (distrophy muscular). Karena adanya disfungsi otak, maka peserta didik penyandang cerebral palsy mempunyai kelainan dalam: bahasa, bicara, menulis, emosi, belajar, dan gangguan-gangguan psikologis. Cerebral palsy

didefinisikan sebagai Laterasi perpindahan yang abnormal atau fungsi otak yang muncul karena kerusakan, luka, atau penyakit pada jaringan syaraf yang terkandung
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

164 dalam rongga tengkorak (The American Academy of Cerebral Palsy, 1953). Definisi lainnya menyatakan bahwa Cerebral Palsy merupakan kondisi yang bersifat klinis yang disebabkan oleh cedera pada otak. Salah satu komponennya merupakan gangguan otak. Dengan demikian, cerebral palsy dapat digambarkan sebagai kondisi ketidakberfungsian gerak, bermula saat kanak-kanak, dicirikan dengan paralysis, kelemahan, kurang kordinasi atau penyimpangan fungsi gerak lainnya yang disebabkan kelainan-fungsi gerak pada pusat pengendali gerak pada otak. Disamping disfungsi gerak tersebut cerebral palsy bisa menyebabkan terjadinya kesulitan belajar, gangguan psikologis, kerusakan sensori, penyakit kejang dan behavioral pada origin organik (United Cerebral Palsy Research and Educational Foundation, 1985).

Cerebral Palsy diklasifikasikan sebagai kelainan yang berbeda dengan kelainan neuromuscular, maka Cerebral palsy meliputi kelainan: spastic, athetoid, ataksia, tremor dan rigid. Pada kasus-kasus yang ringan anak spastik bisa mengembangkan keseimbangan tangannya untuk sedikit mengendalikan gaya berjalan yang kikuk. Pada kasus-kasus tingkat sedang, peserta didik spastik dapat memegang lengan untuk diarahkan ke tubuhnya, membengkokkan sikunya dengan membengkokkan tangannya, dengan kaki yang diputar secara hati-hati pada lutut, dan menghasilkan jalan gaya gunting. Sedangkan pada kasus-kasus tingkat berat mereka memiliki pengendalian yang lemah pada tubuhnya dan tidak mampu duduk, berdiri, atau berjalan tanpa bantuan alat penguat, tongkat penopang, alat bantu jalan, dan sebagainya. Ciri utama peserta didik ataksia, gerakannya kurang kuat, berjalan dengan langkah yang panjang dan mudah jatuh, terkadang mata tidak terkoordinasi serta gerakan mata tertegun-tegun (nystagmus). Pada tremor dan rigid umumnya mempunyai

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

165 gangguan pada keseimbangan tubuh, disebabkan karena adanya kelainan pada postural dan akibat hambatan otot yang berlawanan.

Hendaya kondisi fisik merupakan ketidakmampuan secara fisik untuk melakukan gerak. Ketidakmampuan seorang anak dengan adanya keterbatasan secara fisik-non-sensori (fisik-motorik) menyebabkan ia mempunyai permasalahan untuk hadir kesekolah dan belajar di kelas. Ketidakmampuan secara fisik motorik pada anak untuk melakukan gerakan tubuh menyebabkan ia membutuhkan layanan-layanan khusus, latihan dengan pola tertentu, peralatan-peralatan yang sesuai, dan fasilitas pendukung lainnya. Seringkali terjadi pada anak yang mempunyai hendaya kondisi fisik, juga

mempunyai hendaya penyerta lain seperti: hendaya perkembangan fungsional, kesulitan belajar, gangguan emosional, kelainan berbicara dan berbahasa, atau mempunyai keberbakatan tertentu (Hallahan & Kauffman: 1991:344). Anak dengan hendaya kondisi fisik memerlukan penanganan secara medis guna memperbaiki dan mengobati kelainan-tubuhnya, tetapi bila hendaya fisik tersebut ternyata mempunyai masalah pendidikan maka pembelajaran khusus perlu penanganan oleh guru-khusus di sekolah. Penanganan khusus oleh guru-khusus memerlukan suatu metode pembelajaran tertentu bersifat khusus sesuai dengan kelainan anak bersangkutan. Untuk hal ini gerak irama dapat diaplikasikan dalam program pembelajaran dengan tujuan untuk dapat mengembangkan keterampilan gerak siswa dengan hendaya kondisi fisik-motorik tergantung dengan sifat dasar dan tingkat kepelikan hambatan yang disandang oleh anak.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

166 Umumnya, masalah utama pada gerak yang dihadapi oleh anak spina bifida adalah kelumpuhan dan kurangnya kontrol gerak, pada anak hydrocephalus adalah mobilitas gerak, anak dengan cerebral palsy mempunyai masalah dengan persepsi visual meliputi: gerakan-gerakan untuk menggapai, menjangkau dan menggenggam benda, serta hambatan dalam memperkirakan jarak dan arah (Lewis, V., 2003: 157). Cerebral Plasy merupakan kelainan koordinasi dan kontrol otot disebabkan oleh luka (mendapatkan cedera) di otak sebelum dan sesudah dilahirkan atau pada awal masa kanak-kanak (Hallahan & Kauffman, 1991:345).

2. Konsep Anak dengan Hendaya Fisik-Motorik

a. Pengertian Hendaya Fisik-Motorik Salah satu kasus utama hendaya fisik-motorik pada anak-anak adalah kerusakan atau kemunduran sistem syaraf pusat, yaitu pada otak atau syaraf tulang belakang. Seorang anak dengan kerusakan otak seringkali menunjukkan adanya berbagai gejalagejala yang bersifat perilaku, termasuk ke dalam gejala bersifat perilaku adalah: hendaya perkembangan fungsional, masalah-masalah belajar, masalah yang bersifat persepsi, kelangkaan koordinasi, suka membuat keonaran, gangguan emosional, kelainan berbicara dan berbahasa. Gejala-gejala lain yang menunjukkan adanya cedera otak atau malfungsi ialah adanya hendaya fungsi gerak, kelumpuhan, dan beberapa tipe dari serangan secara tiba-tiba pada jantung sehingga menyebabkan kejang-kejang atau gangguan kontraksi sekelompok otot (seizure) (Hallahan & Kauffman, 1991:346). Walaupun otak seseorang dalam keadaan utuh dan berfungsi sebagaimana mestinya, seseorang bisa saja mempunyai hendaya yang bersifat neurologis yang
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

167 disebabkan oleh adanya cedera pada syaraf tulang belakang. Cedera pada syaraf tulang belakang dapat menyebabkan seorang anak kehilangan perasaan atau sensasi, tidak mampu mengontrol gerakan, tidak mampu merasakan atau melakukan gerakan pada beberapa bagian tubuh. Hendaya secara neurologis disebabkan beberapa kasus, termasuk: penyakit menular, kehabisan oksigen, keracunan, ketidakberfungsian bawaan, dan trauma psikis karena kecelakaan. Polio atau kelumpuhan semenjak masa kanak-kanak merupakan

suatu contoh dari penyakit menular yang menyerang syaraf otak dan syaraf tulang belakang penyebab kelumpuhan. Spina bifida merupakan contoh dari ketidakberfungsian bawaan pada tulang belakang penyebab kelumpuhan. Dalam beberapa kasus pada cedera otak sangatlah sulit untuk mengidentifikasi secara tepat penyebab dari suatu hendaya. Yang terpenting dalam hal ini adalah: ketika sistem syaraf seorang anak mengalami cedera, tidak perduli penyebabnya, kelemahan pada otot atau kelumpuhan hampir selalu merupakan petunjuk terhadap gejala-gejala adanya cedera pada sistem syaraf. Disebabkan kelumpuhan pada anggota tubuh

menyebabkan seorang anak tidak dapat bergerak sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan anak lainnya, maka tipe pendidikannya dilakukan secara khusus serta memerlukan peralatan yang spesifik, prosedur khusus, atau akomodasi. Hendaya keadaan fisik-motorik yang paling menonjol dan banyak dilakukan layanan pendidikan adalah: cerebral palsy (CP), spina bifida (SB), developmental coordination disorder (DCD). Bahasan berfokus pada implikasi khusus untuk dapat memahami proses-proses perkembangannya.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

168 Cerebral Palsy (CP) bukan suatu penyakit dalam pengertian bahasa, tidak menular, dan tidak progresif atau makin lama makin memburuk, kecuali tidak mendapatkan penyembuhan yang benar sehingga terjadi komplikasi (Hallahan & Kauffman, 1991:347). Cerebral Palsy merupakan kelainan gerak dan kelainan postur tubuh disebabkan oleh adanya cedera yang permanen pada otak saat masih dalam perkembangan (Bax, 1964 dalam Haskel & Barret, 1993:2). Kelainan pada aspek gerak seringkali diikuti dengan kerusakan pada penglihatan, pendengaran, berbicara, dan inteligensi. Ditandai pula dengan kelangkaan kontrol terhadap lidah dan bibir, kelainan persepsi visual, hilangnya rasa pada daya taktil, kelainan berkaitan dengan pengenalan ruang atau tempat, dan seizure. Kondisi kelainan CP bisa terjadi saat dalam kandungan, saat dilahirkan, dan saat setelah dilahirkan atau kombinasi dari ketiga faktor tersebut. Kasus dalam kandungan (pre-natal) meliputi: faktor keturunan walupun sangat jarang, penyakit infeksi yang dikandung sang ibu saat mengandung, kekurangan oksigen pada otak janin, prematur atau kelahiran sebelum waktunya, kelainan metabolis pada sang ibu seperti diabetes atau toxaemia, dan seorang ibu hamil yang sering mendapatkan sinar X-rays sehingga terjadi cedera otak pada janin. Beberapa kasus CP pada pre-natal lainnya tidak diketahui. Kasus dalam proses melahirkan (peri-natal) meliputi: cedera saat dilahirkan, dan penurunan suplai oksigen pada otak bayi. Pada saat sesudah dilahirkan (post-natal) adalah infeksi pada otak, seperti meningitis dan encaphalitis. Ada tiga macam CP yaitu: spastik (spasticity), atetosis (athetosis), dan ataksia (ataxia), terkadang ketiganya saling bercampur. Terjadinya CP adalah 0,6 % hingga 5,9 % setiap 1000 kelahiran bayi (Hasket & Barrel, 1993:17). Lihat Gambar 5.1 di bawah ini.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

169

Gambar 5.1 Bentuk-bentuk Cerebral Palsy (Hasket & Barrel, 1993:16)

(1). Bentuk pertama CP adalah Spasticity (Spastik) 60 % penyandang Cerebral Palsy dimungkinkan mempunyai kelainan spastik yang disebabkan oleh kerusakan di bagian otak yang berbentuk piramid (pyramidal tracts) di dalamnya terdapat syaraf yang saling bertautan dalam otak bagian luar (cerebral cortex) yang berperan sebagai pengatur inisiatif gerakan cepat. Sel-sel syaraf yang ada dalam lapisan luar otak yang mengatur gerak (motor-cortex) turun menuju ke
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

170 lapisan luar yang berhubungan dengan otak (cerebral cortex) melalui syaraf tulang belakang (spinal cord) ke otot-otot anggota badan (bagian otot-otot otak yang mengontrol gerakan pada muka, anggota badan, batang tubuh, kaki dan tangan). Kekejangan di diagnosis sebagai peningkatan pada gerak otot atau situasi yang menyebabkan otot-otot menjadi tegang. Anak-anak spastik menunjukkan adanya bentuk tubuh atau postur yang abnormal dan kegiatan refleksnya melebihi anak-anak normal. Secara nyata anggota tubuhnya mempunyai kelainan. berikut: a. Hemiplegia: bagian kiri atau kanan anggota tubuh terjadi kelumpuhan, lengan lebih berkelainan dari pada kaki. Anggota tubuh yang berkelainan tumbuh lebih lambat. Privalensinya sekitar 35 sampai 40 persen dari anak-anak CP. Spastic hemiplegics merupakan kelompok yang terbanyak pada populasi CP. Gambaran yang lebih rinci dari spastic hemiplegics dapat dilihat pada pola perkembangan sebagai berikut: 1) keterlambatan dalam kemampuan duduk, 2) berjalan dan berbicara berada pada tingkatan seorang bayi, 3) mempunyai kelainan persepsi dan belajar. Klasifikasi yang paling umum dari spasticity adalah sebagai

Ketidaknormalan perkembangan fisik diikuti dengan salah satu kaki menjadi pendek, rotasi pinggul secara induksi dan internal, ketegangan pada siku dan pergelangan tangan, gerak kontraksi dan atropi otot-ototnya tidak pada semestinya.

Perkembangan tulang pada satu sisi menjadi berkurang. Anak spastic hemiplegics mempunyai inteligensi rendah, kesulitan bergerak, daya taktil yang kurang, mempunyai penyakit sawan yang datang secara tiba-tiba, berkesulitan dalam berbicara, bermasalah dalam melihat dan mendengar, sulit berperilaku, sulit bernafas,
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

171 dan sulit berkontraksi. Anak spastic hemiplegics juga memerlukan banyak bantuan saat di sekolah dan di rumah, khususnya dalam mengatasi tekanan-tekanan saat melakukan interaksi sosial. b. Triplegia: terjadi pada tiga anggota tubuh yang mendapatkan kelainan atau kesulitan gerak. c. Quadriplegia (Tetraplegia): berarti melibatkan empat anggota tubuh yang terkena kelainan. Privalensinya sekitar 15 sampai 20 persen dari populasi spasticity. d. Paraplegia: muncul jika kedua kaki mempunyai kelainan tetapi muka dan tangannya normal, dalam hal ini berbicara lancar, inteligensinya normal, dan jarang terjadi kelainan sawan. spasticity. Prevalensi paraplegia sekitar 10 hingga 20 % dari populasi

Banyak ditemui anak-anak yang mempunyai hambatan ringan dalam

perkembangan bagian tubuh bagian atas, sehingga secara tegas didefinisikan sebagai displegics. Sebagian besar anak displegic mempunyai kelainan inteligensi dan

penyakit sawan. e. Double hemiplegia berpengaruh terhadap empat anggota tubuh, dimana lengan menjadi lebih mudah terkena kelumpuhan dari pada kaki. Klasifikasi berdasarkan tipe cedera pada otak dan konsekuensi tipe dari ketidakbermampuan gerak meliputi: pyramidal, extrapyiramidal, dan mixed types. Dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pyramidal (spastic): seseorang pada tipe ini mempunyai cedera pada bagian pengatur gerak pada kulit luar otak (motor-cortex) atau pada bentuk piramid pada otak. Dampak dari cedera tersebut menyebabkan masalah pada gerak voluntari dan terjadi spasticity yaitu kekejangan pada otot-otot dan terjadi gerakan voluntari diluar
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

172 kontrol sehingga gerakannya tidak tepat. Privalensinya sekitar 50 persen pada kasuskasus yang menunjukkan spasticity. b. Extrapyramidal (choreoathetoid, rigid, dan atonic): Cedera terjadi di luar bentuk piramid otak (pyramidal tracts) dan mempunyai akibat secara mendadak pada kelainan: gerakan diluar kemauan (involuntary movements), dan mempunyai kesulitan dalam mempertahankan tubuh (choreoathetoid), terjadi kekakuan (rigid), atau kelayuan pada otot (atonic). Diperkirakan sekitar 25 persen dari kasus-kasus yang merupakan gejala-gejala berkaitan dengan cedera pada extrapyramidal. c. Tipe Campuran (Mixed): Cedera terjadi pada daerah otak pyramidal dan extra pyramidal dan anak menunjukkan kedua gejala kelainan, seperti spasticity di kaki dan rigidity pada kedua lengan. Sekitar 25 persen dari kasus dikategorikan sebagai tipe campuran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2. Daerah Otak Penyebab Bentuk-bentuk Cerebral Plasy


(Hallahan & Kauffman, 1991:349).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

173 (2). Bentuk kedua dari CP adalah Athetosis Athetosis merupakan jenis CP kedua. Dikarakteristikkan dengan adanya peningkatan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tanpa sengaja atau di luar kemauan, gerakan bisa secara pelan dan menggeliat atau secara tiba-tiba dan gerakannya tersentak-sentak. Gerakan-gerakan ini tidak akan terjadi sewaktu tidur atau saat anak tersebut dalam keadaan rileks. Gerakan-gerakan yang tidak terkontrol menyebabkan pengejangan otot-otot pada anak athetosis. Gerakan yang terus-menerus pada refleks-refleks utama menyebabkan gerakan yang tidak simetris dari refleks tonic dan refleks moro dan selalu diikuti dengan adanya kelainan. Gerakan-gerakan muka seringkali tidak normal, meliputi gerakan-gerakan pada gigi, bibir, dan pengontrolan pernafasan. Otot-otot yang melakukan kerja berbicara juga sering mendapatkan kelainan sehingga yang bersangkutan berkondisi sebagai dysarthia. Inteligensi anak athetoid umumnya normal, namun mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi untuk mendapatkan kebutaan. Seperti halnya anak-anak spastik, anak athetoid umumnya kurus disebabkan oleh adanya gerakan-gerakan mereka yang berkelebihan. Kerusakan otak pada kasus athetosis terjadi pada sistem extrapyramidal dan berpengaruh terhadap sel-sel pada bagian pusat (basal ganglia) yang mengkoordinasi gerakan-gerakan tubuh dan mengarahkan kontrol gerakan. 3. Bagian Ketiga dari CP adalah Ataxia Ataxia hanya terjadi pada sebagian kecil anak-anak, penyebabnya adalah adanya kerusakan atau cedera pada cerebellum yang bertugas untuk memperhalus gerakangerakan otot yang terkontrol oleh gerakan lapisan luar otak (cortex). Anak-anak ataxia
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

174 mengalami kegagalan untuk melakukan integrasi informasi yang relevan ke dalam rongga posisi dan rongga keseimbangan yang ada pada otak. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap lengan, gerakan-gerakan yang dilakukan secara tepat, dan penyebab dari kelumpuhan atau kelayuan tubuh. Seringkali seluruh dari empat anggota tubuh tidak berfungsi. Kelainan kaki lebih berat dari lengan, seringkali nystagmus dan tremor. Istilah-istilah lain berkaitan dengan Cerebral Palsy meliputi: 1. Hypotonia atau floppiness yang sering digunakan dalam buku-buku rujukan yang menyatakan athetoid dan mempunyai indikasi penurunan kekejangan otot. 2. Hypertonia, berkaitan dengan bentuk spastik dari CP dan mengacu kepada peningkatan kekejangan otot. 3. Rigidity, istilah ini merupakan aplikasi dari hipertonia yang tidak piramidal menyebabkan kekakuan terhadap otot-otot. 4. Tremor, gemetaran secara ritmis dari anggopta tubuh, dikarakteristikkan dengan goyangan atau gerakan-gerakan yang sulit.

Epilepsy Epilepsy merupakan gangguan serangan yang hebat terhadap fungsi otak yang terjadi secara tiba-tiba, secara spontan dan mempunyai tendensi untuk terjadi kembali. Epilepsy terjadi bersamaan dengan ketidakmampuan lain seperti cerebral palsy dan hydrochepalus. Kelainan epilepsy merupakan perwujudan hilangnya konsentrasi atau bahkan ketidaksadaran diri, biasanya diikuti pula dengan gerakan-gerakan yang tidak diinginkan oleh tubuh. Rangsangan muncul dimulai pada bagian khusus dari otak

sehingga menimbulkan kejang-kejang pada bagian tertentu tanpa kehilangan kesadaran.


Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

175 Dengan kata lain, rangsangan menyebar dan melibatkan keseluruh bagian otak yang dapat menimbulkan kejang-kejang secara menyeluruh dengan kehilangan kesadaran diri. Prevalensi kelainan epilepsy diantara 0,3 hingga 18,6 persen setiap 1000 kelahiran (Caveness, 1976; ODonohae, 1979 dalam Hasket & Barret, 1993:21). Pengobatan epilepsy yang paling sering digunakan adalah dengan obat anticonvulsants, sekitar 70 persen dapat menurunkan kejang-kejang pada anak-anak epilepsi. Pengobatan dengan anticonvulsants secara potensial menghasilkan pengaruh sampingan. Obat-obatan yang sedikit mempunyai pengaruh sampingan, antara lain:

carbamazepine, sodium valproate, dan clobazam. Sedangkan obat-obatan yang sangat banyak mempunyai pengaruh sampingan antara lain: phenytoin, the barburates, dan clonazepam. Pengaruh sampingan dari obat-obatan tersebut di atas antara lain: perasaan kantuk, kelelahan, lemah konsentrasi, berkurangnya fungsi kognitif, dan kemunduran daya ingat.

Hydrocephalus Hydrocephalus sering terjadi bersamaan dengan spina bifida atau berdiri secara tersendiri. Hydrocephalus terjadi ketika terlalu banyak cairan cerebrospinal dalam rongga otak. Sehingga otak yang lembut, dan rongga yang ada pada otak mendapatkan tekanan dari cairan yang mengisi rongga otak. Dampak dari tekanan menjadikan lapisan luar otak menjadi tipis dan mengkerut dan seringkali terjadi cedera yang permanen. Pada bayi yang masih kecil, tulang-tulang di bagian atas kepala masih belum bersatu sehingga cairan dapat keluar menekan bagian ini sehingga kepala menjadi lebih besar. Gejala-gejala ini menunjukkan adanya kelainan, dikenal dengan nama
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

176 hydrocephalus. Terhadap hydrocephalus yang sudah berat memerlukan operasi langsung untuk menghilangkan cairan agar keluar dari rongga otak. Operasi dapat dilakukan dengan cara memasang slang (shunt) dari rongga otak disalurkan ke bilik kiri/kanan hati dengan cara operasi. Operasi semacam ini disebut dengan ventriculo-atrial shunt

sehingga cairan yang ada pada rongga otak dapat diserap melalui peredaran darah. Atau dengan cara ventriculo-peritoneal shunt yang langsung mengarahkan cairan pada rongga otak ke rongga perut, langsung ke usus. Operasi spino-peritoneal shunt merupakan upaya lain guna mengarahkan cairan secara langsung dari bilik rongga otak ke rongga sekitar sumsum tulang belakang dan kemudian diarahkan ke rongga perut.

Spina Bifida Istilah spina-bifida diartikan sebagai tulang belakang yang terbagi atau robek. Pada seorang bayi, kondisi semacam ini terjadi disebabkan salah satu bagian atau lebih dari tulang belakang belum terbentuk secara penuh. Pada tulang belakang yang normal, terdapat sebuah kanal/ saluran melalui pusat yang berisi syaraf tulang belakang, sebagai rumah syaraf yang menghubungkan otak ke berbagai bagian tubuh. Apabila terjadi robek pada tulang belakang, maka kanal pusat tidak sepenuhnya memenuhi daerah tulang belakang jadi hanya sampai pada tempat yang robek saja. Oleh karenanya dimungkinkan syaraf tulang belakang menutupi sebagian tulang belakang yang terbuka tersebut, dan menunjukkan adanya gumpalan atau benjolan pada bagian belakang seorang bayi. Adanya kerusakan dan gangguan pada syaraf di bagian tulang belakang, berarti pesan-pesan antara otak dan batang tubuh dan anggota badan terjadi hambatan yang
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

177 menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Pesan-pesan dari tubuh ke otak menunjukkan adanya rintangan pada: perasaan sentuhan, rasa sakit, dan posisi. Robek pada tulang belakang dapat terjadi di beberapa tempat, seringkali terjadi pada bagian bawah tubuh. Hal semacam ini merupakan resiko yang tinggi pada situasi kandungan, dimungkinkan anak yang dilahirkan mempunyai kelainan spina bifida. Terdapat tiga bentuk spina bifida, yaitu: 1) Bentuk pertama, kelainannya ringan disebut: spina bifida occulta. Bentuk

kecacatan tulang belakang terjadi pada posisi bagian bawah dari tulang punggung. Tidak terjadi tonjolan yang keluar pada sumsum tulang belakang, dan cedera atau kerusakan ditutupi oleh kulit. terhadap medis dan pendidikan. 2) Bentuk kedua merupakan hal yang serius disebut dengan meningocele (cele berarti kantung). Pada bentuk ini sumsum tulang belakang menutupi bagian yang terbuka. Tonjolan meningocele dapat berupa tonjolan terbuka dan tonjolan Posisi ini tidak menjadi masalah yang besar

tertutup oleh lapisan kulit. Tonjolan sering terjadi diantara tulang belakang di bagian punggung atau bagian atas punggung. Umumnya kondisi ini

menyebabkan adanya ketidakberfungsian pada fungsi buang air besar, fungsi buang air kecil, dan anggota tubuh. 3) Bentuk ketiga yang sangat serius, adalah myolocele (myelomeningocele atau meningomyelocele) yang terjadi pada daerah lumbar atau daerah pinggang, yaitu bagian tubuh antara rongga dada dan panggul (lihat Gambar 5.3). Pada bentuk ini syaraf dalam tulang belakang menonjol keluar, penyebab terjadinya kelumpuhan ke dua belah kaki dan kehilangan rasa. Syaraf yang tidak bekerja menyebabkan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

178 hambatan untuk buang air besar dan buang air kecil. Makin tinggi posisi robek yang terjadi pada tulang punggung, semakin tinggi pula ketidakberfungsian fungsi tubuh.

Gambar 5.3. Spina Bifida dengan Meningomyelocele


(Hallahan & Kauffman, 1991:353)

(3). Penyimpangan Tulang Belakang (Spinal Deformities) Penyimpangan tulang belakang umumnya disebabkan adanya bawaan (congenital) atau kelainan neuromuscular seperti: spina bifida, cerebral palsy dan muscular dystrophy. Kasus lainnya termasuk: tumor, infeksi dan penyakit metabolik. Ada tiga tipe spinal deformities: Scoliosis, Lordosis, dan Kyphosis. Scoliosis, terjadi pembungkukan tulang belakang ke samping. Salah satu bahu lebih menonjol atau pinggul lebih tinggi dari lainnya, karena adanya perubahan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

179 penjajaran batang tubuh sehingga terjadi penyimpangan pada: pinggul, dada, dan kepala dengan letaknya yang tidak sejajar seperti posisi semula. Jika scoliosis tidak diobati maka akan terjadi penyimpangan tubuh yang sangat berat. Penyimpangan yang berat ini dapat merubah kurungan-rongga tulang rusuk. Dengan kelainan ini maka terjadi

penyimpangan pada ikatan tulang belakang yang ada pada daerah pinggang, sehingga menyebabkan rasa sakit pada pinggang dan meningkat bila ada gerakan sekecil apapun. Lordosis, adanya pembungkukan ke arah depan tulang belakang saat dilihat dari sisi samping. Hal ini menyebabkan lengkungan tulang belakang di daerah pinggang yang berlebihan, misalnya pada kelainan neuromuscular khususnya pada cerebral palsy, muscular dysthrophy, dan myelomeningocele. Penyimpangan yang sangat berlebihan sangat mempersulit bahkan mungkin tidak dapat duduk, berbaring dan berjalan. Kyphosis, merupakan kelainan disebabkan adanya lengkungan pada tulang belakang di daerah pantat. Kelainan ini menyebabkan lengkungan tulang belakang

menjadi berlebihan dari pada posisi normal di daerah bagian leher dan rongga dada. Pada kasus berat dapat menurunkan kemampuan paru-paru dan terjadi penyimpangan berupa statura yang memendek. Pengobatan terhadap penyimpangan tulang belakang tergantung pada seberapa luas pembungkukan, pada lokasi, dan usia anak, termasuk pengamatan, orthotic, dan pembedahan. Deteksi awal terhadap penyimpangan tulang belakang sangat penting. Pola dan penggunaan alat penguat berupa braces, serta waktu dan banyaknya pembedahan, secara khusus dilakukan untuk anak yang mempunyai kelainan ganda, dan ini sangat penting sekali adanya ketergantungan pada hasil pengamatan yang dilakukan secara hati-hati.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

180 3. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Anak Tunadaksa Hambatan-hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kondisi fisik (tunadaksa) terletak pada kesulitan gerak dan kelainan postur, khususnya bagi anak dengan kelainan cerebral palsy. Secara umum, hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kondisi fisik terletak pada: 1. Ketidakmampuan untuk melakukan orientasi ruang 2. Gangguan koordinasi gerak karena kondisi fisik-motorik yang lemah 3. Umumnya kurang sanggup menyesuaikan diri karena terlalu banyak mendapatkan tekanan-tekanan dari lingkungan saat melakukan interaksi sosial (aspek psikologis). 4. Ketidakmampuan untuk memecahkan suatu masalah.

Pada anak dengan kelainan spasticity sering dijumpai adanya kekejangan sebagai tanda adanya kelainan spastik. Disamping itu, anak dengan spasticity

mempunyai hendaya pada penglihatan, pendengaran, dan berbicara, ketidakmampuan melakukan kontrol terhadap lidah dan bibir, kelainan persepsi visual, hilangnya daya rasa. Kelumpuhan pada kaki merupakan hambatan utama anak-anak spina bifida, yang bersangkutan akan mendapatkan kesulitan gerak disekitar daerah kaki. .Perkembangan tulang yang berkurang menyebabkan anak spastic hemiplegics mempunyai inteligensi rendah, berkesulitan gerak, daya taktil yang kurang, sulit berbicara. Pada anak-anak athetoid hambatan utama adalah pada gerakan yang terjadi di luar kemauan, pelan, dan sering menggeliat, diikuti dengan pengejangan otot-otot

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

181 sehingga gerakannya tidak simetris dan di luar kontrol. Anak athetoid juga memerlukan latihan orientasi ruang. Ketidaknormalan perkembangan fisik pada anak dengan hendaya fisik-motorik dengan salah satu kaki menjadi pendek, mobilitas menjadi hambatan utama (motor abilities). Adanya ketegangan pada siku dan pergelangan tangan dan gerak kontraksi otot yang tidak semestinya menyebabkan terjadi juga hambatan dalam belajar. Seorang anak dengan hendaya yang berat karena mendapatkan cedera serius pada daerah pengatur gerak di otak, menyebabkan ia mempunyai kesulitan gerak pada kedua kaki dan kedua tangannya. Sebagai contoh adalah quadriplegia, yang bersangkutan juga mempunyai hambatan kemampuan berfikir (kognitif).

4. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak Tunadaksa Dalam lingkungan sekolah, guru khusus hendaknya dapat bekerja sama dengan para ahli terapi (seperti: physical therapists, occupational therapists, orthopaedist). Dalam program layanan khusus seyogyanya lebih menekankan aspek pendidikan dibandingkan dengan aspek medis, sehingga anak dengan hendaya fisik-motorik dapat belajar di ruangan kelas bersama-sama dengan yang normal. Karena penekanan terhadap aspek pendidikan, maka guru-khusus hendaknya berfikir untuk mencari upaya-upaya pelayanan dengan memberikan metode yang tepat, berpartisipasi dalam suatu tim-kerja dan selalu mencatat kegiatan-kegiatan. Upaya-upaya tersebut berkaitan juga dengan

upaya untuk memperoleh metode pembelajaran dengan menggunakan prinsip-prinsip terapeutik yang dapat diterapkan dalam kegiatan sekolah. Dengan kata lain terjadi dua penggabungan antara: teknis medis dan pendekatan berbahasa secara terapeutik terhadap
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

182 anak dengan hendaya fisik-motorik, sehingga pengimplementasian program pembelajaran lebih cocok dengan kebutuhan layanan setiap siswa. Pendekatan layanan tersebut dikenal dengan pendekatan sistem konsultatif (consultative approach). Dalam pendekatan

semacam ini diperlukan adanya kerja sama antara guru khusus dengan physical therapists dan orthopaedists saat perencanaan program khusus yang akan diterapkan kepada siswa dengan hendaya fisik motorik (Fraser & Hensinger, 1983:20-23).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

183 I. KARAKTERISTIK ANAK TUNA GANDA (MULTIPLE HANDICAPPED)

Di Asia Timur belum banyak perhatian terhadap peserta didik yang memiliki kombimasi keluarbiasaan seperti tunanetra dan tunagrahita, cerebral palsy dengan tunarungu, tunarungu dan tunanetra, tunalaras dan tunagrahita, atau lainnya yang memiliki kelainan dua kali lipat atau lebih. Dengan tingkat kelainan yang berat dan sangat berat, kelainan yang berkembang atau kelainan yang bermacam-macam. (Johnston & Magrab, 1976:3). Penelitian menunjukkan bahwa keluarbiasaan yang berat dan sangat berat, seperti halnya anak-anak yang mempunyai kesulitan-kesulitan yang minor, jumlahnya meningkat (Anderson, 1969; Dibedenetto, 1976; Wolf & Anderson, 1969). Kondisi semacam ini memperburuk sikap masyarakat terhadap keberadaan anak-anak yang mempunyai kombinasi hambatan perkembangan. Definisi secara ringkas tentang anak tunaganda sebagai berikut: Developmental disorders encompass a group of deficits in neurological development that result in impairment in one a combination of skill areas such as: Intelelligence, motor, language, or personal social. (Johnston & Magrab, 1976:7).

Diartikan secara bebas bahwa Tunaganda adalah mereka yang mempunyai Kelainan Perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan perkembangan neorologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti inteligensi, gerak, bahasa, atau hubungan-pribadi di masyarakat

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

184 Definisi Kelainan Perkembangan secara ganda, menurut hukum di Amerika berdasarkan PL. 94-103 (Title II. Ps. 124, tahun 1975), kelainan tersebut diperjelas bahwa: A. (i) Mereka yang dikelompok kedalam kelainan-ganda antara tunagrahita, cerebral palsy, epilepsy atau autism; (ii) Mereka yang termasuk mempunyai kondisi lain yang bertendensi kearah kelainan tunagrahita dengan kondisi-kondisi kelainan fungsi secara menyeluruh, atau kelainan perilaku adaptif yang memerlukan penyembuhan dan layanan-layanan seperti halnya dengan mereka yang berkelainan cerebral palsy, epilepsy, autism. (iii) Mereka yang mempunyai dyslexia disebabkan oleh kelainan-hambatan seperti yang dinyatakan pada bagian (i) dan (ii) tersebut di atas. B. Dimulai sebelum mereka berumur 18 tahun. C. Kelainannya terjadi secara terus-menerus atau kelainannya bertendensi kearah yang berkelanjutan. D. Kelainan-ganda ini merupakan kelainan-substansi kemampuan sesorang untuk berfungsi secara normal dalam masyarakat.

Definisi yang ada pada PL.94-203 tersebut di atas,

juga mengakui bahwa

kelainan-ganda mencakup kelainan perkembangan dalam fungsi adaptif. Di Amerika Serikat, PL. 94-142 yang merupakan hukum yang berlaku bagi pendidikan seluruh anak yang mempunyai hambatan, diberlakukan juga kepada mereka yang dikategorikan kepada tuna-ganda dan anak-anak buta-tuli. Dalam PL. 94-142 dinyatakan juga bahwa: Tuna-ganda diartikan sebagai kelainan yang saling bertautan (seperti tunagrahita
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

185 dengan buta total, tunagrahita dengan kelainan yang bersifat orthopedis, dan sejenisnya), kombinasi-tingkat kelainan berat juga merupakan kasus permasalahan pemberian pendidikan, dimana layanan pendidikannya tidak semata-mata hanya ditujukan pada salah satu dari kelainannya saja. Namun istilah tuna-ganda tersebut belum termasuk untuk mereka yang dikategorikan dengan anak Buta-tuli. (lihat pada: Sec.300.5 (b) (5) ). Definisi untuk peserta didik Buta-tuli itu sendiri dinyatakan bahwa Buta-tuli diartikan sebagai kelainan yang saling bertautan antara: kesulitan pendengaran dan penglihatan, kombinasi kasus kesulitan berkomunikasi yang berat dan kelainan perkembangan. Dalam program pendidikan luar biasa belum terakomodasi, karena

semata-mata layanan tersebut ditujukan hanya untuk anak dengan kelainan pendengaran saja atau anak dengan kelainan penglihatan. (lihat pada: Sec. 300.5 (b)(2) ) Selanjutnya, Walker (1975) berpendapat mengenai tuna-ganda atau multihandicapped sebagai berikut: a. Seseorang dengan dua hambatan yang masing-masing memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus. b. Seseorang dengan hambatan-hambatan ganda yang memerlukan layanan teknologi . c. Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi-metode secara khusus. (dalam Mulliken, R.T. & Buckley, J.J., 1983:6).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

186 j. KARAKTERISTIK ANAK BERBAKAT DAN KEBERBAKATAN (GIFTEDNESS AND SPECIAL TALENTED)

Pengertian anak berbakat dan keberbakatan dalam perkembangannya telah mengalami berbagai perubahan. Dimulai dengan pengertian yang berdasarkan pada

pendekatan uni-dimensial atau faktor tunggal (yang berpatokan pada IQ) ke pendekatan yang bersifat multi-dimensial atau faktor jamak. Pengertian yang berdasarkan pada

faktor tunggal (uni-dimensial) ialah pengertian yang menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal dalam menentukan kebakatan. Sedangkan pengertian yang berdasarkan pada pendekatan multi-dimensial tidak hanya menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal dalam menentukan keberbakatan, tetapi kriteria jamak berupa kriteria-kriteria lain selain inteligensi. Dalam pendekatan multi-dimensial diakui adanya keragaman

dalam konsep dan kriteria keberbakatan, sehingga diperlukan berbagai cara dan alat yang seragam dalam menentukan siapa anak berbakat dan keberbakatannya (Amin, M., 1996:1). Perubahan konsep inteligensi dari faktor tunggal seperti yang dikemukakan Terman ke faktor jamak seperti yang dikemukakan Guilford (dalam Myears, 1986) memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pendekatan konsep keberbakatan. Dalam pendekatan faktor tunggal, makna keberbakatan sama artinya dengan pemilikan inteligensi tinggi yang sifatnya genetis (keturunan). Sedangkan dalam pendekatan faktor jamak, keberbakatan tidak semata-mata ditentukan oleh faktor genetis, tetapi juga hasil perpaduan interaksi dengan lingkungan. Menurut pendekatan jamak, keberbakatan ialah keunggulan dalam kemampuan tertentu yang berbeda-beda. Keberbakatan juga

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

187 mengandung makna adanya keunggulan dalam satu atau beberapa bidang. Di samping itu keberbakatan dapat diartikan sebagai ciri-ciri universal khusus dan luar biasa yang dibawa sejak lahir, maupun hasil interaksi dari pengaruh lingkungan (Semiawan, C., 1995). Menurut Milgram, R.M.(1991:10) Anak Berbakat adalah mereka yang mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument Stanford-Binet (Terman, 1925), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan memimpin dan kemampuan dalam seni drama, seni musik, seni tari dan seni rupa (Marland, 1972). Peserta didik berbakat mempunyai empat kategori, yaitu: a. mempunyai kemampuan intelektual atau mempunyai inteligensi yang menyeluruh, mengacu kepada kemampuan berfikir secara abstrak dan mampu memecahkan masalah secara sistematis dan masuk akal. Kemampuan ini dapat diukur pada anak maupun orang dewasa dengan tes psikometrik berkaitan dengan prestasi umumnya dinyatakan dengan skor IQ; b. Kemampuan intelektual khusus, mengacu kepada kemampuan yang berbeda dalam Matematika, bahasa asing, musik, atau Ilmu Pengetahuan Alam. c. Berfikir kreatif atau berfikir murni-menyeluruh. Umumnya mampu berfikir untuk memecahkan permasalahan yang tidak umum dan memerlukan pemikiran tinggi. Pikiran kreatif menghasilkan ide-ide yang produktif melalui imajinasi, kepintarannya, keluwesannya, dan bersifat menakjubkan. d. Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil. Dan berbeda dengan orang lain.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

188 Dari keempat kategori tersebut di atas maka peserta didik berbakat adalah mereka yang mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi: intelektual, teknik, estetika, sosial, fisik. (Freemen, J.,1975:120), akademik, psikomotor, dan

psikososial (kepemimpinan) (Sisk, 1987 dalam Amin, M. 1996:3). Di tahun 1972 di Amerika Serikat berkembang konsep-konsep tentang keberbakatan berkaitan dengan kemampuan atau potensi luar biasa dalam kemampuan intelektual, tingkah laku akademis khusus, berfikir kreatif dan produktif, kemampuan memimpin, kecakapan seni, dan kemampuan psikomotor (Reynolds & Mann, 1987:719). Kurikulum yang dianggap tepat bagi anak berbakat (gifted), antara lain: (1) mengacu ke pada konsep-konsep dan proses kognitif pada tingkat yang tinggi; (2) melibatkan strategi-strategi pembelajaran yang mampu mengakomodasi bentuk-bentuk belajar yang saling berbeda; (3) dapat mengakomodasikan berbagai bentuk perencanaan pengelompokkan khusus. Kurikulum tersebut mengacu ke pada faktor-faktor utama

landasan pemahaman terhadap anak berbakat, yaitu: (1) inteligensi secara umum; (2) keberbakatan khusus, kemampuan atau ketangkasan; (3) faktor-faktor yang bersifat nonintelek; (4) kondisi-kondisi lingkungan yang dapat memberikan rangsangan (stimulasi) dan dukungan; (5) faktor kesempatan (Tannenbaum, 1983 dalam Reynold & Mann, 1987:719); (6) anak berbakat memerlukan konsep-diri yang mampu untuk mengenali dan menerima potensi yang tidak umum dalam wujud prestasi yang tinggi; (7) anak berbakat berkecenderungan secara fisik dan psikis untuk menjadi superior dalam belajar dan berprestasi (Feldhusen, 1986 dalam Reynolds & Mann, 1987:720).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

189 BAB V PERSPEKTIF PSIKOPEDAGOGIS TENTANG DISFUNGSI PERKEMBANGAN ANAK DENGAN UPAYA INTERVENSI DALAM PENDIDIKAN

Disfungsi perkembangan anak, meliputi aspek-aspek sensorimotor, kreativitas, interaksi sosial dan berbahasa dapat berakibat peserta didik memperoleh kesulitan belajar di sekolah. Kesulitan belajar yang terjadi di sekolah umumnya berkaitan dengan adanya kelainan-kelainan belajar khusus seperti yang terjadi pada anak dengan kelainan autism, hyperactive, dan Down syndrome. Keterampilan diri dan inteligensi yang kurang

menyebabkan mereka kurang berinteraksi dengan lingkungan. Upaya-upaya pemberian layanan pendidikan terhadap peserta didik di sekolah hendaknya berfokus pada kebutuhan diri anak yang bersangkutan sesuai dengan hak-hak azasi dan martabat anak. Tujuan layanan tersebut bertujuan: 1. Mengembangkan pribadi, bakat, dan kemampuan mental serta fisik peserta didik seoptimal mungkin. 2. Menyiapkan peserta didik untuk kehidupan orang dewasa yang aktif dalam masyarakat bebas dan mengangkat penghargaan bagi orang tua anak, identitas budaya sendiri, bahasa serta nilai-nilainya. Upaya intervensi dini terhadap peserta didik yang mempunyai disfungsi perkembangan hendaknya ditujukan terhadap dua aspek, yaitu aspek perkembangan sosial dan aspek perkembangan kognitif. Tingkat perkembangan sosial dan kognitif
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

190 setiap peserta didik diperoleh melalui pengamatan guru kelas secara berkesinambungan dan sistematik dalam proses need assessment. Untuk keperluan ini diperlukan

kompetensi guru kelas berkaitan dengan pengetahuan dan teori-teori belajar sehingga perspektif perkembangan psikopedagogis setiap peserta didik dapat memenuhi kebutuhan dasar psikologis, sosial dan emosional dalam lingkup perkembangan normal. Perspektif Psikopedagogis Anak Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagaimana manusia seutuhnya. Dalam masa

pertumbuhan, secara fisik dan mental anak membutuhkan perawatan, perlindungan khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan (Konvensi PBB tentang Hak Anak, 1990). Dengan demikian maka perspektif psikopedagogis anak yang paling logis, sesuai dengan Konvensi Hak Anak tahun 1990 tersebut, adalah: Sampai sejauhmana seorang anak mampu mengubah dirinya sesuai dengan kondisi disekitarnya. Kemampuan mengubah kondisi sangat berpengaruh terhadap

perkembangan pendidikan dan intervensi-intervensi yang sesuai dengan keberadaannya. Proses perkembangan anak untuk mengubah dirinya memerlukan bentuk-bentuk kegiatan tertentu serta latihan-latihan yang diarahkan sesuai dengan keberadaan dirinya sehingga terpenuhinya kebutuhan psikologis, seperti perasaan dicintai dan dapat diterima oleh orang-orang disekitarnya. (Maslow, 1984; dalam Patton,J.R., 1986:4). Dalam

perkembangan psikopedagogis anak, interaksi anak terhadap lingkungannya dihadapkan pada tiga dimensi utama, yaitu: kemampuan (capabilities), lingkungan tempat anak melakukan fungsi kegiatannya (environment), dan kebutuhan dengan berbagai tingkat keperluan (functioning & support) seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

191 Konsekuensi dari hal tersebut di atas, fokus utama orientasi psikopedagogis dengan target perilaku sosial setiap peserta didik mengacu kepada: 1. Perkembangan kemampuan berupa keterampilan dan kecakapan sesuai dengan tingkat inteligensi 2. Kondisi-kondisi pembelajaran berupa faktor-faktor lingkungan dan pemberian penguatan terhadap elemen yang menyertai pengoperasiannya Bentuk-bentuk perilaku dasar yang sangat dibutuhkan jika pembelajaran berlangsung berkaitan dengan psikologis, sosial, dan emosional setiap peserta didik (Staat & Burn halaman 98-120 dalam Patton, 1986:52).

CAPABILITIES
- Intelligence - Adaptive Skills

ENVIRONMENT
- Home - Work School - Community

FUNCTIONING

SUPPORT Gambar 4.1 Dimensi Utama Interkasi


(Smith, et al, 2002:56)

Ketidakberhasilan peserta didik dalam mencapai tugas-tugas di sekolah disebabkan oleh tingkat kemampuannya yang tidak sesuai untuk dapat melaksanakan atau menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru kepadanya. Semestinya program pembelajaran individual di sekolah disusun dan ditetapkan berdasarkan atas model
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

192 perkembangan siswa sesuai dengan tingkat umur-mental. Konsekuensi dari hal tersebut maka perkembangan yang dapat dicapai peserta didik melalui pembelajaran yang diprogramkan secara bertahap hendaknya sesuai dengan kemampuan umur-mental atau kesiapan setiap peserta didik untuk mempelajari tugas-tugas baru yang diterapkan guru kelas di sekolah. Apabila terjadi kegagalan dalam melaksanakan tugas-tugas baru di sekolah, hal tersebut disebabkan banyak variabel yang mempengaruhi perkembangan kognitif antara lain: etiologi peserta didik bersangkutan, perbedaan motivasi yang diberikan dan adanya masalah berkaitan dengan kesesuaian individu diukur dengan umur-mental (Ellis & Dunley, 1991; dalam Smith 2002:250).

1. Teori Belajar dan Perkembangan Kognitif bagi Peserta Didik yang Mempunyai Disfungsi Perkembangan

Mempelajari perilaku sosial peserta didik yang mempunyai disfungsi perkembangan psikopedagogis akan berkaitan dengan cara mereka berorientasi dengan lingkungan (dalam hal ini lingkungan sekolah). Prinsip-prinsip belajar yang terlibat antara lain Teori Belajar Sosial dan Teori Perkembangan Kognitif. Teri Belajar Sosial memandang konteks sosial peserta didik meliputi interaksi pribadinya dengan lingkungan yang mempunyai kapasitas apakah itu bergerak ke arah objek atau menjauhi objek (perilaku menjauh). Kedua variabel ini berpengaruh terhadap perilaku perorangan yang menunjukkan adanya penguatan (reinforcement) yang dapat dipergunakan sebagai intervensi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Implikasi dari
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

193 kedua variabel ini menyebabkan adanya tiga bentuk hubungan pada diri peserta didik yang mengalami hambatan perkembangan belajar, yakni: Locus of control, Expectancy for failure, dan outerdirectedness. Locus of control mengacu kepada sejauhmana seseorang merasakan akibat dari perilakunya sendiri. Seseorang yang merasakan kejadian-kejadian, baik yang positif maupun negtif, sebagai akibat dari tindakannya sendiri disebut dengan internal locus of control, sebaliknya apabila dilakukan akibat terkanan dari luar dirinya, seperti nasib, kesempatan, atau akibat dari perbuatan orang lain disebut dengan external locus of control. Pribadi peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan lebih

berorientasi ke arah external locus of control dari pada mereka yang tidak mempunyai hambatan perkembangan (Mercer & Snell, 1977:190; Patton, et al., 1986:85). Expectancy for failure, mengacu kepada penguatan yang merupakan antisipasi sebagai akibat dari perilaku yang diajarkan. Misalnya pemberian hadiah dan pemberian harapanharapan sebagai bentuk umum akibat dari pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tipe khusus dari suatu kegiatan pemecahan masalah. Outerdirectedness merupakan upaya untuk mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Individu outerdirectedness dalam upaya untuk tidak melakukan kesalahan-kesalahan, pada umumnya mereka meniru perilaku orang lain yang benar atau memperhatikan orang lain sebagai bentuk arahan atau petunjuk-petunjuk khusus bagi dirinya. Implikasi dari Teori Belajar Sosial tersebut di atas, menyebabkan guru kelas hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut. a. Memberikan tugas terhadap siswa yang mempunyai hambatan belajar dengan cara memperhatikan kemampuan fungsional dari setiap peserta didik bersangkutan.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

194 Berikanlah tugas-tugas yang dipastikan dapat mereka lakukan karena hal ini merupakan jaminan keberhasilan suatu program pembelajaran atau program-program lain untuk bersosialisasi. b.Menyimak pengalaman-pengalaman masa lalu yang pernah dilakukan oleh peserta didiknya di kelas saat mereka berhasil menyelesaikan tugas-tugas di sekolah. c. Melakukan umpan-balik sesegera mungkin terhadap perilaku khusus yang telah dilakukan peserta didik dengan baik sesuai dengan tugas yang diberikan guru. Teori lain yang menjadi prinsip belajar peserta didik dengan hambatan perkembangan adalah Teori Perkembangan Kognitif. kognitif dirumuskan oleh Jean Piaget tahun 1969. Prinsip dari perkembangan Ia menyatakan bahwa

perkembangan mental anak merupakan hasil dari interaksi yang dilakukan secara terus-menerus terhadap lingkungan melalui fase-fase perkembangan anak, melalui tahapan: sensorimotor, pra opersional, operasi konkret, dan operasi formal atau abstrak. (patton, et al.,2986:96; Wadsworth, 1991; Suparno, 2001:25; Smith et al.,2002:250). Tingkat sensorimotor mempunyai karakteristik perkembangan melalui

pengalaman-pengalaman sensori dan kegiatan-kegiatan gerak. Anak mulai menyadari adanya lingkungan di luar dirinya sendiri, ia mulai membedakan antara dirinya dengan orang lain dan benda-benda yang ada di sekelilingnya. Tingkat pra operasional melibatkan kegiatan-kegiatan yang melebihi dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan terhadap fisiknya. Anak mulai menggunakan simbolsimbol untuk orang dan benda yang ada di sekelilingnya untuk membiasakan dirinya melakukan asimilasi dan menemukan pengalaman-pengalaman baru dengan menirukan
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

195 kegiatan-kegiatan orang lain. Asimilasi diartikan sebagai proses mengubah informasi sehingga informasi tersebut menjadi bagian dari pengetahuannya. Saat mencapai tingkat operasi konkret, anak mulai meningkat kemampuankemampuannya untuk menamai dan mengklasifikasikan benda-benda. Kegiatan mental mulai meningkat dan berkembang, anak mulai mencoba memecahkan masalah berdasarkan hasil pengalaman-pengalaman masa lalunya. Kemampuan berfikir abstrak dan kemampuan menyampaikan alasan mulai meningkat pada usia sekitar 11 hingga 12 tahun yang dapat ditandai dengan adanya perkembangan pada tingkat operasi formal. Implikasi dari teori perkembangan kognitif anak, maka sebaiknya modifikasi perilaku dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lingkungan yang disusun secara sistematik, disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning mengkondisikan suatu

karakteristik perilaku tertentu dalam suatu bentuk penguatan positif yang esensial dalam program pembelajaran berorientasi terhadap perilaku yang dapat mempengaruhi consequences (Wallace & Kauffman 1978, dalam Patton et al., 1986:97). Penyampaian motivasi belajar dan pemantauan perilaku peserta didik dengan hambatan perkembangan menggunakan teknik semacam ini sangat dianjurkan. Terdapat tiga tipe motivasi belajar yang dipakai sebagai penguatan, yaitu: Social reinforcement misalnya pemberian hadiah, menyentuh tangan, memeluk dengan sepenuh perasaan, Tangible misalnya pemberian makanan kesukaannya, uang, atau ganjaran berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan yang merupakan bentuk penghargaan khusus yang diharapkan anak, Negative consequences untuk perilaku-perilaku yang tidak diharapkan muncul. Misalnya, pemberian time out terhadap peserta didik yang menunjukkan perilaku yang tidak
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

196 sesuai dan tidak diinginkan. Pemberian time out biasanya bersamaan dengan

pemberian hukuman antara lain, tidak diperkenankannya melakukan kegiatan tertentu walaupun ia sangat menyukainya. Oleh karena itu program pembelajaran yang disusun guru kelas hendaknya dipolakan secara khusus melalui pendekatan metode yang terintegrasikan pada kejadian atau peristiwa saat itu (event). Pola pembelajaran yang memasukkan pendekatan

perkembangan sosial peserta didik semacam ini dipakai sebagai bentuk reinforcement dan sangat efektif dipakai sebagai bentuk intervensi-guru selama proses pembelajaran (Gardner, 1977, dalam Schloss, 1984:40).

2. Intervensi Dini dalam Pendidikan Layanan pendidikan di sekolah berupa layanan pembelajaran individual untuk setiap peserta didik secara tegas diarahkan kepada sasaran yang jelas berupa pencapaian suatu sasaran perilaku (behavior target). Sasaran perilaku bagi peserta didik yang

mempunyai hambatan perkembangan adalah perilaku adaptif (adaptive behavior), yaitu suatu kemampuan untuk dapat mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang tengah terjadi dalam masyarakat lingkungannya. Secara khusus merupakan kemampuan berperilaku untuk mampu merespon tuntutan lingkungan (AAMR, 1992, Patton, et al., 1986:13); Widaman & McGrew, 1996 dalam Smith, et al., 2002:95). Problem yang terjadi pada perilaku adaptif akan berakibat atau berkaitan erat dengan terjadinya defisit inteligensi atau lemahnya aspek kognitif. Perilaku adaptif dapat dikembangkan sebagai sasaran bimbingan yang

diintegrasikan kedalam pembelajaran dan dilakukan sebagai intervensi sedini mungkin


Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

197 karena berfungsi untuk membantu peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan dengan tujuan agar peserta didik bersangkutan: a. Mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain b. Mampu memanfaatkan persepsi pendengaran, penglihatan, gerak taktil atau kinestetik, gerak motorik halus (fine motor) dan motorik kasar (gross motor) c. Kemampuan beradaptasi disamping kematangan diri dan sosial. Misalnya, dapat berbahasa secara konseptual, dapat memahami dan mampu menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. d. Mampu bertanggung jawab secara pribadi ataupun sosial dicirikan dengan kemampuan berhubungan dengan orang lain, dan dapat berperan serta untuk melakukan suatu peran di lingkungan tempat tinggalnya e. Kematangan diri dan sosial meliputi kemampuan berinisiatif, memanfaatkan waktu luang, cukup atensi dan bersikap tekun.

Hasil-hasil penelitian di luar negeri yang telah dilakukan oleh Friedberg (1992), Kandret (1993), Carmichael (1994) dan Schwiebert (1995) menunjukkan bahwa pola bermain peran atau role playing dan pola bermain dengan media pasir serta papan permainan angat cocok diterapkan sebagai intervensi-guru dalam pembelajaran di sekolah dasar dan sekolah tingkat lanjutan atas. Pola bermain sebagai bentuk intervensi-guru dalam pembelajaran dapat diterapkan guna menurunkan tingkat perilaku salah suai atau perilaku non-adaptif, seperti: kurang atensi, impulsif, sering melakukan kegiatan berlebihan, agresif, selalu merasa takut, depresi pada peserta didik hiperaktif dan gangguan emosional. Penelitian-penelitian tersebut, merupakan pembuktian terhadap

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

198 pendapat dari Anna Freud dan Melanie Klien (1920) berkaitan dengan pemanfaatan permainan terapeutik dapat dipakai sebagai wahana dan diagnostik perilaku salah suai dalam bentuk bimbingan konseling terhadap peserta didik yang mengalami hambatan belajar. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Program Pasca Sarjana Prodi Bimbingan dan Konseling di Universitas Pendidikan Indonesia, antara lain oleh: Astati (tesis tahun 2001 mengenai role playing terhadap peserta didik hiperaktif), Nursyamsiah (skripsi tahun 2002 mengenai penggunaan permainan papan jahit pada peserta didik dengan hambatan gerak), Vera, R.D. (skripsi tahun 2003 tentang penggunaan role playing dalam pembelajaran), Handayani (skripsi tahun 2003 tentang Permainan Imajinatif untuk pembelajaran Tunagrahita usia mental delapan tahun), Suprapto (skripsi tahun 2003 mengenai penggunaan media permainan menara gelang dalam pembelajaran tunagrahita dengan umur mental enam tahun), Kartina Ina (skiripsi tahun 2004 mengenai permainan puzzle-balok dlam pembelajaran), Sukmawati, T.M., skripsi tahun 2004 tentang permainan tempurung kelapa dalam pembelajaran siswa tunanetra), Yani Mulyani (skripsi tahun 2005 tentang penggunaan role playing untuk tunagrahita usia mental enam tahun), dan Mery Krismas (skripsi tahun 2005 tentang permainan Flashcards dalam pembelajaran pada siswa kelas satu) juga telah menunjukkan bahwa permainan yang bersifat terapeutik dapat dijadikan media intervensi-guru dalam pembelajaran maupun konseling terhadap peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan. Alasan digunakannya permainan terapeutik sebagai bentuk intervens-guru dalam pembelajaran individual disebabkan bermain dapat:
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

199 1) digunakan sebagai diagnostik untuk memahami peserta didik 2) digunakan untuk mengembangkan kegiatan hubungan antara individu dengan orang lain agar dapat berjalan baik 3) dipakai sebagai pengubah pola kegiatan hidup sehari-hari dan dapat mengatasi rasa gelisah 4) bermain dapat membantu peserta didik saat melakukan verbalisasi perasaan-perasaan melalui alat-main tertentu sesuai dengan keberadaan peserta didik bersangkutan 5) membantu peserta didik dalam memerankan perasaan bawah sadar dan dapat menurunkan ketegangan yang menyertai perasaan bawah sadarnya 6) dipergunakan untuk mengembangkan minat bermain peserta didik usia rendah bagi penyaluran kehidupan sehari-hari yang kemudian memperkuat kehidupan mereka di masa depan (Schaefer & OConnor, 1983:203).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

200 BAB VI MODEL PEMBELAJARAN BAGI ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS

Model pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus seyogyanya didasarkan atas kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang berdasarkan kebutuhan nyata oleh guru kelas agar dapat mengembangkan ranah pendidikan sebagai sasaran akhir pembelajaran berupa pencapaian pengetahuan, keterampilan, sikap dan psikomotor tertentu dari setiap peserta didik dalam seluruh jenjang dan jalur pendidikan. Model ini menunjang Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan yang telah dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2002. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak seperti yang dikemukakan oleh Mc Ashan (1981: 45) sebagai berikut.

... is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, afective and psychomotor behavior

Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud akhir hasil belajar peserta didik yang mengacu kepada pengalaman langsung dirinya. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkattingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit dan memiliki kontribusi terhadap kompetensi-kompetensi yang sedang dipelajari.
Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

201 Beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi menurut Gibson (1988:109), sebagai berikut. a. Pengetahuan, yaitu kesadaran dalam bidang kognitif. Misalnya, seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya. b. Pemahaman, yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimilki oleh individu. Misalnya, seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi peserta didiknya agar dalam proses pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien. c. Kemampuan, adalah suatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya, kemampuan guru dalam memilih dan membuat alat peraga sederhana untuk memberi kemudahan belajar pesrta didiknya. d. Nilai, adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya, standar perilaku guru dalam pembelajaran apakah itu kejujuran, rasa demokratis, dan sebagainya. e. Sikap, yaitu perasaan(senang-tidak senang, atau suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya, reaksi terhadap krisis ekonomi, perasaan terhadap kenaikan upah dan sebagainya. f. Minat, adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, minat untuk mempelajari atau melakukan sesuatu (dalam Mulyasa, E., 2004:39).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

202 Keterampilan yang sangat penting dari seorang guru tersebut di atas, dapat dimanfaatkan saat berlangsungnya pembelajaran, merupakan perilaku guru yang efektif. Perilaku efektif berarti bahwa guru secara sistematik menyajikan kompetensi-kompetensi yang efektif dalam berbagai situasi belajar. Pembelajaran yang efektif adalah

pembelajaran yang mampu mencapai sasaran kompetensi dengan memanfaatkan kemampuan, minat dan kesiapan menerima pembelajaran dari setiap peerta didik. Kompetensi-kompetensi sistem pembelajaran yang melandasi dalam proses pembelajaran efektif berdasarkan pada konseptual model pembelajaran individual (individual instruction). Pembelajatan individual meliputi enam elemen, yaitu: elicitors, behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute. Keenam

elemen konseptual model pembelajaran tersebut sangat berperan dalam proses pembelajaran, diartikan sebagai berikut. a. Elicitors (E): merupakan peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau menyebabkan perilaku. Dapat melalui: (a) peralatan pembelajaran, seperti alat

permainan, bentuk permainan edukatif, buku instrumen tes, gambar-gambar, alat tulis crayon; (b) dapat juga berupa bentuk-bentuk: arahan, suruhan, permintaan, demonstrasi atau seperangkat arahan-arahan/ petunjuk-petunjuk tertentu; (c) dapat melalui orang dengan perilaku seperti: senyuman sebagai tanda persetujuan, atau kerutan di dahi sebagai tanda tidak setuju. Penyebab perilaku dapat terjadi oleh salah satu atau gabungan dari Elicitors tersebut di atas. b. Behaviors atau perilaku ( B ), merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu yang dapat ia lakukan, antara lain: berlari, berjalan, berbicara, menulis, menyusun/

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

203 memasang papan permainan, membaca, menjawab pertanyaan, atau duduk di kursinya. c. A Reinforcers atau penguatan ( R ) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang muncul sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap baik. Penguatan dapat berupa peningkatan kepuasan dari perilaku untuk masa depan. Stimulus yang mengikuti perilaku yang tidak memuaskan atau yang tidak sesuai tidak diberikan penguatan. d. Entering Behavior atau kesiapan menerima pelajaran. Sebelum guru memulai untuk melakukan kegiatan pembelajaran terhadap peserta didiknya. Sangat esensial bila guru-kelas mengetahui kesiapan setiap peserta didiknya untuk memulai mengikuti kegiatan pembelajaran. Kesiapan tersebut berupa kesiapan peserta didik untuk

melakukan tugas-tugas kegiatan akademik tertentu dan kegiatan belajar berkaitan dengan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi pembelajaran khusus, artinya bahwa bentuk elicitors manakah dari setiap peserta didik dapat melakukan tanggapan, perilaku manakah yang dimunculkan oleh setiap peserta didik, dan penguatan atau reinforcers yang dapat memperkuat respon-respon yang diinginkan dan dapat berguna. e. Terminal Objective. Beberapa program pembelajaran seharusnya dapat menghasilkan perubahan sebagai hasil akhir atau keluaran. Maka terminal objective dapat

menghubungkan antara tujuan yang satu dengan tujuan lainnya. Dapat dikatakan secara singkat bahwa sebagai sasaran antara dari pencapaian suatu tujuan pembelajaran yang bersifat tahunan.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

204 f. Enroute Objective. Merupakan langkah dari entering behavior menuju ke terminal objective yang terbagi dalam beberapa langkah kegiatan pembelajaran, disebut dengan enroute objectives. Setiap enroute objective dapat menggambarkan

pencapaian sasaran antara yang harus dicapai oleh setiap peserta didik sebelum mereka pindah ke enroute objective berikutnya. Model konseptual secara nyata akan memunculkan suatu proses kegiatan pembelajaran yang menyediakan guru-kelas untuk dapat melakukan pengidentifikasian terhadap: (a) tingkat kemampuan akademik atau tingkat kemampuan sosial setiap peserta didiknya, (b) arah tujuan dari pembelajaran, (c) langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran. Model dari proses pembelajarannya memungkinkan guru-kelas mampu: (a) melakukan pengidentifikasian secara tepat pada setiap titik sasaran, (b) kapan peserta didik mulai sesuai dengan entering behavior atau kesiapan menerima pelajaran, (c) enroute objectives yaitu suatu keadaan sesuai dengan urutan pembelajaran, (d) dan the terminal objective (sasaran antara).

Rincian Elemen Konseptual Model dapat dilihat pada Gambar.1 dan Gambar 2. di bawah ini.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

205

B E
Before Enroute Objective

R
After

E
Before Enroute

B
Objective

R
After

E
Before Enroute

B
Objective

R
After

Gambar 1. Elements of the Conceptual Model


( Peter, L.J., 1975:14)

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

206

E
Before Terminal

B
After Objective

Classroom Instruction

Present Function

Befire

Entering

Behavior

After

Gambar 2. Future Behavior ( Intended achievement at termination of program )


(Peter L.J., 1975:17)

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

207 A. Model Pembelajaran Menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi Inti model pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah mengembangkan lingkungan belajar terpadu dari peserta didik bersangkutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum dan khusus. Prinsip-prinsip umum pembelajaran meliputi: motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Sedangkan prinsip-prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik spesifik dari setiap penyandang kelainan peserta didik bersangkutan. Misalnya, untuk anak tunanetra prinsip kekonkritan, prinsip pengalaman yang menyatu, prinsip belajar sambil melakukan. Peserta didik tunarungu adalah prinsip: keterarahanwajahan. Untuk peserta didik tunalaras: prinsip-prinsip yang diperlukan meliputi: kebutuhan dan keaktifan, kebebasan yang mengarah, pemanfaatan waktu luang dan kompensasi, kekeluargaan dan kepatuhan kepada orang tua, setia kawan dan idola serta perlindungan, minat dan kemampuan, disiplin, kasih sayang. Untuk tungrahita diperlukan prinsip-prinsip

pembelajaran berkaitan dengan: (1) bentuk-bentuk atensi meliputi waktu-atensi, fokus, dan selektifitas; (2) mediatoral, diantaranya menggunakann teknik yang efektif, teknik yang bersifat khusus, dan intervensi guru yang khusus; (3) memperkuat daya ingatan atau memori; (4), transfer atau penggeneralisasion terhadap: pengetahuan, keterampilan

terhadap tugas-tugas yang baru baginya, pemecahan masalah, belajar, pemberian pengalaman-pengalaman (Smith et al., 2002:252).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

208 Model pembelaaan anak dengan kebutuhan khusus dengan memperhatikan kurikulum berbasis kompetensi diperlukan komponen-komponen tertentu meliputi antara lain: (1) rasional, (2) Visi dan Misi pembelajaran, (3) tujuan pembelajaran, (4) isi pembelajaran, (5) pendukung sistem pembelajaran, dan (6) komponen dasar pembelajaran.

1. Rasional Layanan pendidikan dan pembelajaran untuk sekolah yang melayani anak berkebutuhan khusus seyogyanya sejalan dan tidak terlepas dengan prinsip, kebijakan, dan praktek dalam pendidikan berkebutuhan khusus, terutama setelah konferensi dunia di Salamanca Spanyol pada tanggal 7-10 Juni 1994. Konferensi tersebut menghasilkan perluasan gerakan pendidikan untuk semua (education for all). Selanjutnya hasil

konferensi dunia tersebut ditindaklanjuti dengan Deklarasi Dakar tahun 2000 yang menjadi kerangka kerja dalam merespon kebutuhan dasar belajar warga masyarakat yang menggariskan bahwa pendidikan harus menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa mengenal batas kelompok, ras, agama dan kemampuan potensial yang dimiliki oleh peserta didik. Perubahan tersebut sangat besar artinya serta mendasar, sehingga layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus tidak menutup kemungkinan untuk memberikan hak anak untuk mendapatkan kesempatan (opportunity right), hak sebagai makhluk Tuhan yang perlu mendapatkan kesejahteraan sosial (human right, social and welfare right).

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

209 2. Visi dan Misi Bertitik tolak dari hasil pengamatan dan harapan kebutuhan di lapangan, maka model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus mengarah kepada visi dan misi sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang harus ditetapkan. Visi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, adalah membantu peserta didik berkebutuhan khusus untuk dapat memiliki sikap dan wawasan serta akhlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi manusia, saling pengertian dan berwawasan global (Muyasa, E. , 2004:19). Sasaran utama sebagai hasil keluaran (out come) dari pembelajaran adalah kemampuan setiap peserta didik dalam mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (Kurikulum Pendidikan Luar Biasa, 1994:6). Misi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, adalah pemberian layanan terhadap anak dengan kebutuhan khusus agar setiap peserta didik yang mempunyai kelainan atau hambatan perkembangan menjadi individu yang mandiri, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, terampil, dan mampu berperan sosial (Mulyasa,E., 2004:20). Dalam rangka mengantisipasi kehidupan masa depan dari anak berkebutuhan khusus tersebut, maka intervensi-khusus yang dipersiapkan oleh guru-kelas untuk pembelajaran harus mampu menyentuh semua aspek perkembangan perilaku dan kebutuhan setiap peserta didik berkaitan dengan kompetensi

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

210 yang merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.

3. Tujuan Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi Berdasarkan visi dan misi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, dapat ditentukan tujuan dari pembelajaran, sebagai berikut: a. Agar dapat menghasilkan individu yang mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain melalui kemampuan dirinya dalam menggunakan persepsi pendengaran, penglihatan, taktil, gerak halus (fine motor) dan Gerak kasar (gross motor). b. Agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan diri dan sosial. Misalnya, dapat berinisiatif, dapat memanfaatkan waktu luang, cukup atensi, serta bersikap tekun. c. Menghasilkan individu yang mampu bertanggung jawab secara pribadi dan sosial. Misalnya, dapat berhubungan dengan orang lain, dapat turut berperan-serta, dan dapat melakukan suatu peran tertentu di lingkungannya. d. Agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan untuk melakukan penyesuaian diri dan sosial. Misalnya, mampu berkomunikasi dengan orang lain melalui kematangan berbahasa.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

211 3. Komponen Dasar Model Pembelajaran Berdasarkan kepada visi dan misi, kebutuhan peserta didik secara khusus, dan tujuan pembelajaran dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi, isi layanan pembelajaran dikelompokkan ke dalam bagian-bagian sebagai berikut: a. Masukan terdiri atas: (1) Masukan Mentah, berupa Elicitors, behaviors, dan reinforcers; (2) Masukan Instrumen, terdiri atas: program, guru-kelas, tahapan dan sarana; (3) Masukan lingkungan, berupa: norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan. b. Proses terdiri atas: Program Pembelajaran Individual, Pelaksanaan intervensi, dan Refleksi hasil pembelajaran , dan Kurikulum berbasis kompetensi. c. Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang mempunyai kesulitan atau hambatan perkembangan diri.

Pendukung Sistem Model Pembelajaran Menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi Komponen pendukung sistem (the component system) adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara dan meningkatkan program pembelajaran. Kegiatan-kegiatannya diarahkan kepada: i. pengembangan dan manajemen program, dengan upaya meliputi: perencanaan, pelaksanaan, penilaian, analisis, dan tindak lanjut program; ii. pengembangan staf pengajar guna penguasaan terhadap aspek-aspek kompetensi yang terdiri atas: pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat; iii. pemanfaatan sumber daya masyarakat dan pengembangan atau penataan terhadap kebijakan dan petunjuk teknis.

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

212 Untuk memperjelas model pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus dengan menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat dilihat pada Diagram 6.1 halaman berikut. di

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

214

Diagram 6.1. Model Pembelajaran Anak dengan Kebutuhan Khusus

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus Bandi Delphie

También podría gustarte