Está en la página 1de 27

1

MODUL I PENGEMBANGAN MORAL-AGAMA UNTUK ANAK USIA DINI

Penulis :

Dr. H.M. Turhan Yani, MA

PRODI PG-PAUD FIP UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2011

Tuiuan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Tujuan Umum: Memberikan wawasan dan keterampilan kepada peserta diklat (guru PAUD) dalam mengembangkan moral-agama anak usia dini. Tuiuan Khusus: 1. Peserta diklat dapat menjelaskan perkembangan moral anak usia dini 2. Peserta diklat dapat menjelaskan esensi dan tujuan pengembangan moralagama pada program PAUD 3. Peserta diklat dapat memilih metode/strategi yang tepat dalam

pengembangkan moral-agama pada program PAUD 4. Peserta diklat dapat merancang kegiatan pembelajaran dan materi pengembangan moral-agama yang sesuai dengan karakteristik program PAUD 5. Peserta diklat dapat mengembangkan alat penilaian dalam pengembangan moral-agama pada program PAUD 6. Peserta diklat dapat mengidentifikasi kendala dalam pengembangan moralagama pada anak usia dini beserta solusinya.

DAFTAR ISI

Pendahuluan 1. Gambaran Perkembangan Moral Anak Usia Dini------------------------2. Esensi dan Tujuan Pengembangan Moral-Agama Program PAUD ---3. Strategi Pengembangkan Moral-Agama pada Program PAUD--------4. Desain Kegiatan Pembelajaran dan Materi Pengembangan Moral-Agama yang Sesuai dengan Karakteristik Program PAUD------ 18 5. Prinsip Pengembangan Moral-Agama pada Program PAUD------------ 22 6. Kendala Pengembangan Moral-Agama Program PAUD dan Solusinya----------------------------------------------- 23 Latihan-latihan Evaluasi Kunci Jawaban Daftar Pustaka SUPLEMEN (Hasil Penelitian) 5 9 13

Pendahuluan Pendidikan harus mempunyai landasan yang jelas dan terarah. Landasan tersebut sebagai acuan atau pedornan dalam proses penyelenggaraan pendidikan, baik dalam institusi pendidikan formal, non formal maupun informal. Yang dimaksud landasan yang jelas dan terarah adalah bahwa pendidikan harus berprinsip pada pengokohan moral-agama anak didik di samping aspek-aspek lainnya. Hal ini sangat diperlukan sebagai upaya untuk mengantarkan anak didik agar dapat berpikir, bersikap, dan berperilaku secara terpuji (akhlak al-karimah). Upaya tersebut bisa dilakukan oleh para pendidik (guru dan orang tua) pada program PAUD. Pengembangan moral-agama pada program PAUD sangat penting keberadaannya, jika hal itu telah tertanam dan terpatri dengan baik dalam setiap insan sejak dini, hal tersebut merupakan awal yang baik bagi pendidikan anak bangsa untuk menjalani pendidikan selanjutnya. Bangsa ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan keagamaan. Nilai-nilai luhur ini pun dikehendaki menjadi motivasi spiritual bagi bangsa ini dalam rangka melaksanakan sila-sila lainnya dalam pancasila (Hidayat 2007 : 7.9). Namun dalam realitasnya dewasa ini terdapat sesuatu yang memprihatinkan dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah masih banyak anak didik dan output pendidikan nasional di Indonesia yang belum mencerminkan kepribadian yang bermoral, seperti sering tawuran antar pelajar bahkan dengan guru, penyalagunaan obat-obat terlarang, pelecehan seksual, pergaulan bebas, dan lain-lain. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, sebenamya keadaan yang demikian itu tidak lepas dari basic pendidikannya pada masa lampau yang boleh jadi pada masa itu pengokohan mental-spritualnya masih belum tersentuh secara maksimal, selain faktor lingkungan yang mempengaruhi. Lalu bagaimana tanggung jawab dan solusi institusi pendidikan dan masyarakat atas persoalan tersebut ? Dalam implementasinya, pengembangan moral-agama pada anak dapat dilakukan oleh semua institusi pendidikan mulai dari sekolah, keluarga sampai

masyarakat dengan model atau pendekatan yang beraneka ragam, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu mewujudkan generasi penerus bangsa yang bermoral (berakhlak mulia), sebab tanpa adanya modal utama "moralitas" ke depan bangsa Indonesia akan terus terpuruk. Oleh karena itu pembentukan sikap dan perilaku terpuji memerlukan bentuk pembelajaran yang mampu memberikan peluang penghayatan atau internalisasi nilai. Berbeda dengan transformasi ilmu pengetahuan yang dapat dilakukan seketika dan sewaktu-waktu. Penghayatan atau internalisasi moral-agama merupakan proses yang memerlukan pengulangan dan kesinambungan. Untuk itu, dalam proses pembelajaran harus memadukan antara penyajian materi dan penerapan moral-agama dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal penilaian mengenai moralitas anak didik, guru dan orang tua dapat melakukan melalui alat penilaian non tes seperti wawancara, pengamatan, skala sikap, dan lain-lain yang memungkinkan guru dan orang tua mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari anak dan juga dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan kepedulian terhadap proses pendidikan anak.

1. Gambaran Perkembangan Moral Anak Usia Dini Dalam kehidupan sosial di masyarakat anak akan berhadapan dengan ukuran-ukuran yang menentukan baik-buruk dari suatu tingkah laku. Ukuranukuran itu dapat berupa tata cara, kebiasaan atau adat istiadat yang telah diterima oleh suatu masyarakat. Aturan-atrran inilah yang biasanya dikaitkan dengan dengan istilah moral-agama. Istilah moral-agama ini berkenaan dengan bagaimana seseorang seharusnya berperilaku dengan dunia sosialnya. Berkaitan dengan perilaku tersebut, anak dituntut untuk mengetahui, memahami, dan mengikutinya. Perubahan-perubahan dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan penerapan aturanaturan ini dipandang sebagai perkembangan moral seseorang. Di bidang psikologi sebenarnya telah banyak tokoh yang mempelajari dan menjelaskan perkembangan moral ini, diantaranya adalah pendekatan kognitif yang dipelopori oleh Piaget dan Kohlberg. Pandangan kedua tokoh ini banyak menjadi rujukan dalam pendidikan

moral anak. Menurut Piaget, ketika menganalisis gejala perkembangan moral anak, ia menfokuskan diri pada aspek cara berpikir anak tentang isu-isu moral. Cara yang dilakukannya adalah dengan mengamati dan mewawancarai kelompok anak usia 4 - 12 tahun yang terlibat dalam suatu permainan. Ia mempelajari bagaimana anak-anak itu menggunakan dan memandang aturan yang ada dalam permainan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka berkisar tentang isu-isu moral, seperti pencurian, berbohong, hukuman dan keadilan

(Hidayat,2007: 2.5). Dari studi tersebut, Piaget dalam Hidayat (2007) menyimpulkan bahwa anak berpikir tentang moralitas dalam dua tahap tergantung pada tingkat perkembangannya. Dua tahap tersebut adalah tahap heteronomous (heteronomous morality) dan otonomous (autonomous morality). Secara lebih rinci perbedaan dua tahap tersebut adalah sebagai berikut. Pada tahap heteronomous, anak menimbang perilaku baik dan benar dengan menimbang akibat dari perilaku itu, bukan dari maksud pelaku. Misalnya, anak yang berada pada tahap ini akan mengatakan bahwa memecahkan lima piring secara tidak sengaja akan lebih jelek daripada memecahkan satu piring dengan sengaja. Akan tetapi bagi anak pada tahap otonomous, yang lebih baik itu adalah yang memecahkan lima piring karena hal itu dilakukan secara tidak sengaja. Dengan demikian bagi anak pada tahap autonomous, maksud atau niat pelaku yang ada di balik tindakannya dipandang lebih penting daripada sekedar akibatnya. Sedangkan menurut Kohlberg dalam Hidayat (2007) mengemukakan bahwa perkembangan moral anak usia dini berada pada tingkatan yang paling dasar yang dinamakan dengan penalaran moral prakonvensional. Pada tingkatan ini anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral (secara kokoh). Namun demikian menurut penulis sebagian anak usia dini ada yang sudah memiliki kepekaan atau sensitivitas yang tinggi dalam merespons lingkungannya (positif dan negatif). Misalkan ketika guru/orang tua mentradisikan atau membiasakan anak-anaknya untuk berperilaku sopan seperti mencium tangan orang tua ketika berjabat tangan, mengucapkan salam ketika akan berangkat dan pulang sekolah

dan contoh-contoh positif lainnya maka dengan sendirinya perilaku seperti itu akan terinternalisasi dalam diri anak sehingga menjadi suatu kebiasan mereka sehari-hari. Demikian pula sebaliknya kalau kebiasaan negatif itu dibiasakan kepada anak maka perilaku negatif itu akan terinternalisasi pula dalam dirinya. Dalam mengkaji perkembangan moral anak usia dini, Kohlberg memposisikan mereka pada level yang paling dasar, yaitu level 1 (moral prakonvensional). Level 1 ini dibagi ke dalam dua tahap, yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment dan obedience orientation) serta tahap individualisme dan orientasi tujuan instrumental (individualism and instrumental purpose). Pada tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, menurut Kohlberg suatu tindakan dinilai benar atau salah tergantung dari akibat hukuman yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Misalkan seorang anak akan mengatakan bahwa bermain di kelas itu tidak baik karena ibu guru marah bila mengetahuinya, akan tetapi bila ibu guru tidak mengetahuinya boleh jadi anak akan melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa bermain di kelas itu dikatakan tidak baik oleh anak karena akan dimarahi oleh (hukuman). Demikian pula mereka akan patuh kalau ibu guru melihat sehingga mereka tidak jadi bermain di kelas (kepatuhan), akan tetapi ketika ibu guru tidak mengetahuinya boleh jadi anak akan berbeda perilakunya. Begitu juga seorang dokter bisa dianggap jahat oleh anak kalau dokter itu dipersepsi sebagai orang yang suka menyakiti (menyuntik), dan mereka mungkin akan mengatakan dokter nakal, dokter jahat, dan lain sebagainya. Sementara itu pada tahap orientasi individualisme dan orientasi tujuan instrumental oleh Kohlberg dikatakan bahwa suatu tindakan dinilai benar apabila peristiwa itu dapat memuaskan kebutuhankebutuhan individu seseorang, misalkan mencuri itu diaaggap salah karena berasosiasi pada hukuman saja, akan tetapi boleh jadi bagi anak hal tersebut dianggap benar bila dilakukan pada saat lapar, apalagi kalau tidak ada hukuman. Selanjutnya seperti apa tahap perkembangan anak? Dalam kaitan ini, terdapat beberapa periode perkembangan kemampuan pribadi anak beserta cirinya.

Pada periode 6 tahun pertama, alat-alat indra individu mulai berkembang dan mampu mengenal lingkungan (program PAUD). Pada periode 6 tahun kedua individu anak berkembang dan mempunyai kemampuan berimajinasi serta mempunyai daya ingatan tentang apa yang diamati (usia SD). Pada periode 6 tahun ketiga, individu anak mempunyai kemampuan mempertimbangkan ciri-ciri dan hubungan hal-hal atau kemampuan berpikir menjadi nyata. Setanjutnya, pada umur 18 sampai 24 tahun. Kemampuan individu anak semakin kuat dan berkembanglah kemampuan "self direction". Sejak umur 24 tahun dan seterusnya perkembangan intelek menonjol, dan kematangan tercapai setelah individu dapat mengasihi Allah (Soemanto dan Soetopo,1982: 35. Lihat iuga Daradjat 1995). Sementara itu menurut Papalia dan Old (1987) dalam Reni Akbar dan Hawadi membagi masa anak-anak dalam lima tahap : Pertama masa Prenatal, yaitu diawali masa konsepsi sampai masa lahir. Kedua, masa bayi dan tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama (masa kehidupan bayi), di atas 18 bulan sampai dengan tiga tahun merupakan masa tatih. Saat tatih inilah anak-anak menuju pada penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian. Ketiga, masa kanak-kanak pertama, yaitu rentang usia 3 - 6 tahun masa ini dikenal juga dengan masa prasekolah. Keempat, masa kanak-kanak kedua, yaitu usia 6 - 12 tahun dikenal pula sebagai masa sekolah. Anak-anak telah mampu menerjemahkan pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya. Kelima, masa remaja yaitu rentang usia l2 - 18 tahun. Saat itu anak mulai mencari identitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua. Dari beberapa periode atau masa anak-anak tersebut, tulisan ini secara spesifik mengulas masa pada program PAUD. Masa ini dalam konteks pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat penting sebab gejala yang semakin umum meluas pada pendaftaran murid baru kelas 1 sekolah dasar perlu menyertakan raport PAUD/ sejenisnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan anak usia dini termasuk kegiatan pendidikan yang dipentingkan oleh penyelengara pendidikan pada jenjang berikutnya. Dengan demikian, mengikuti pendidikan pada program

PAUD dalam berbagai bentuk yang variatif adalah sangat baik, yaitu meletakkan dasar perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta anak didik di dalam lingkungan. Di samping hal tersebut, pendidikan pada program PAUD juga membantu untuk pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki jalur pendidikan sekolah (Akbar dan Hawadi, 2006 : 1-2). Dengan demikian, mengacu pada tujuan pendidikan pada program PAUD yang di dalamnya terdapat tujuan peletakan dasar perkembangan sikap dan perkembangan rohani anak didik maka materi yang berkaitan dengan pengembangan moral-agama pada anak usia dini sangat penting dilakukan agar kelak mereka memiliki kepribadian yang kokoh dan terbiasa untuk menjalankan sesuatu yang positif dalam interaksi sosialnya. Dengan mengetahui perkembangan moral anak sebagaimana yang dikemukakan oleh para pakar di atas diharapkan upaya pengembangan moral-agama pada anak dapat dilakukan secara maksimal.

2. Esensi dan Tujuan Pengembangan MoraI-Agama pada Program PAUD Agama adalah aturan dan wahyu Tuhan yang sengaja diturunkan agar manusia dapat hidup teratur, damai, sejahtera, bermartabat, dan bahagia, baik di dunia maupun akhirat. Ajaran agama juga berisi seperangkat norma yang akan mengantarkan manusia pada suatu peradapan. Dengan demikian eksistensi agama merupakan kebutuhan primer bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu secara akal sehat kita sepakat bahwa agama sangat perlu ditanamkan dan dikembangkan sejak dini kepada anak-anak didik dalam berbagai institusi pendidikan, baik formal, informal maupun non formal. Program PAUD merupakan lembaga pendidikan yang pertama dalam lingkungan sekolah, keberadaannya sangat strategis untuk menumbuhkan jiwa keagamaan anak-anak agar mereka menjadi orang-orang yang taat, terbiasa berbuat baik, dan peduli terhadap segala aturan agama yang diajarkan kepadanya. Dalam kaitan ini guru dan orang tua harus

10

terampil menyampaikan hal ini kepada anak didiknya agar tertanam dalam jiwa mereka kebutuh akan nilai-nilai agama (Hidayat, 2007; 7; 3}. Menurut Abdullah Nasih Ulwan, esensi pengembangan moral-agama di antaranya meliputi (a) pendidikan iman dan ibadah, artinya sejak usia dini masalah keimanan sudah harus tertanam dengan kokoh pada diri anak, demikian pula praktik-praktik ibadah juga sudah mulai dibiasakan oleh pendidik dilatihkan pada anak, (b) pendidikan akhlak (moral), artinya sejak dini anak sudah harus dikenalkan dan dibiasakan untuk bertutur kata, bersikap, dan berperilaku secara sopan serta dikenalkan keutamaan-keutamaan sifat terpuji (Yani dkk, 2002 : 118). Program pembentukan perilaku merupakan kegiatan yang secara terusmenerus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari anak pada program PAUD. Melalui program ini diharapkan anak dapat melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang dimaksud adalah meliputi pembentukan moral-agama, pancasila, perasaan/ emosi, hidup bermasyarakat, dan disiplin. Adapun tujuannya adalah untuk mempersiapkan anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai-nilai moralagama dan pancasila. Sedangkan kompetensi yang ingin dicapai pada aspek pengembangan moral-agama adalah kemampuan melakukan ibadah, mengenal Tuhan, percaya akan ciptaan Tuhan dan mencintai sesama (Hidayat, 2007 :5.13). Dalam konteks agama, setiap anak yang lahir dalam keadaan suci (fitrah) status fitrah ini berlangsung sampai ia dinyatakan telah habis masa usia anakanaknya kira-kira umur 12 tahun / usia tuntas SD), pada masa itu mereka belum memiliki beban kewajiban menjalankan ajaran agama. Namun demikian, tidak berarti pada masa itu anak dibiarkan saja pendidikan moral dan agamanya, malah pada masa itu ajaran agama menganjurkan agar anak sudah mulai dilatih untuk menjalankan sesuatu yang baik dan meninggalkan kebiasaan baik termasuk latihan menjalankan ritual ibadahnya. Jika tujuan pengembangan moral dan nilainilai agama maka diharapkan akan tertanam benih-benih positif dalam diri anak, misalkan terbiasa bertutur secara sopan/berperilaku santun, menghargai dan

11

menghormati orang lain, terbiasa menjalankan ajaran agama yang diyakini, dan lain sebagainya. Menurut Badudu Zein dalam Hidayat (2007), anak adalah keturunan pertama setelah ibu dan bapak. Anak-anak adalah manusia yang masih kecil yang belum dewasa dan memiliki berbagai potensi laten untuk tumbuh dan berkembang. Potensi yang pertama adalah potensi jasmani yang berupa fisik (motorik), dan yang kedua adalah potensi rohani yang berupa kemampuan intelektual dan spiritual, di dalamnya termasuk moral-agama. Oleh karena itu menurut hemat penulis, para pendidik dan orang tua pada jenjang PAUD perlu mengenali baik potensi-potensi yang ada pada diri anak, khususnya potensi intelektual spiritual. Manakala guru atau orang tua mengetahui dari sisi moralitas, anak memiliki kecenderungan berbuat tidak baik maka seyogyanya segera mengingatkan anak dengan bahasa kasih-sayang. Potensi positif hendaknya segera dikembangkan dan potensi yang kurang baik diupayakan semaksimal mungkin segera hilang dari anak. Menurut Hidayat, nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang pada jiwa anak melalui proses pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak memperoleh pendidikan dan pengetahuan nilai-nilai keagamaan sebagai pengalaman berlajarnya akan dimungkinkan menimbulkan ketidakpedulian dalam mengahayati apa yang dipelajarinya, seperti merasa tidak butuh dan kurang tertarik. Lain halnya dengan anak yang mendapatkan pendidikan moral-agama yang cukup dalam keluarganya, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat agamis, misal kawan sebayanya rajin beribadah ditambah dengan pengalaman-pengalaman keagamaan di sekolah dan di tempat-tampat ibadah maka dengan sendirinya anak itu akan memiliki kecenderungan untuk hidup dengan warna dan kebiasaan nilai-nilai agama yang dianutnya. Anak juga akan terbiasa menialankan ritual ibadah keagamaan dan merasa kecewa jika suatu saat tanpa unsur kesengajaan mereka tidak dapat menjalankan ibadah.

12

Rasa keagamaan akan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkernbangan psikis dan fisik anak itu sendiri. oleh karena itu sebagai guru atau orang tua seyogyanya saat melakukan aktivitas apapun perlu diwarnai dengan nilai-nilai agama. Misalkan kegiatan apapun di sekolah harus dimulai dan diakhiri dengan berdoa. Dalam konteks keluarga, ketika anak baru lahir, orang tua dapat membisikkan kalimat-kalimat kebaikan di telinga mereka (dalam Islam lafadz Adzan) agar anak itu pertama kali lahir ke dunia mendengar suara atau kalimat-kalimat yang baik. Ketika menyusui, orang tua memberikan air susu yang sebelah kanan dulu dan diawali dengan mengucapkan doa mewakili anaknya, dan berdoa sebelum dan sesudah makan-minum. Demikian pula ketika mereka menginjak usia selanjutnya. Di saat anak sudah bisa berbicara berikan tuntunan untuk mengenal kata-kata dalam istilah agama sampai dengan aktivitasaktivitas lainnya. Perhatian anak terhadap nilai-nilai dan pemahaman agama akan muncul manakala mereka sering melihat dan terlibat langsung dalam upacaraupacara keagamaan, melihat dekorasi dan keindahan tempat ibadah, dan rutinitas ritual orang tua serta lingkungan sekitarnya ketika menjalankan peribadatan. Sikap tersebut muncul pada diri anak seiring dengan berfungsinya pendengaran, pengelihatan, dan organ tubuh yang bisa mereka gerakkan untuk meniru apa yang mereka lihat dan ingin lakukan. Kita sering melihat anak menirukan sebuah kegiatan ritual yang dicontohkan orang dewasa, bertanya tentang sesuatu dari ajaran agama, dan ingin ikut dalam sebuah kegiatan ritual keagamaan (Hidayat 2007 : 8.5). Siapapun pendidiknya (guru dan orang tua) pasti menginginkan anak didiknya dapat tumbuh dan kembang secara sehat, baik jasmani maupun rohaninya. Oleh karena itu tugas dan kewajiban guru adalah menfasilitasi dan mernbekali anak didik tersebut agar berkembang dengan positif. Dalam konteks kehidupan sosial-masyarakat agar anak kelak menjadi pribadi orang dewasa yang baik dalam menjalankan interaksi sosial yang baik pula maka perlu penanaman dan pengembangan moral-agama.Untuk dapat mencapai harapan seperti itu, sejak dini diperlukan kerja keras dari guru dan orang tua untuk memperhatikan

13

kepribadian anak didiknya jangan sampai 'kecolonganoleh lingkungan yang serba kompleks ini. Anak adalah investasi masa depan dan sekaligus amanah dari Allah yang harus dikawal perkembangannya agar kelak hidupnya menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa, hal ini tentu menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa.

3. Strategi Pengembangkan Moral -Agama pada Anak Program PAUD Mendidik anak pada masa usia dini tidak sama dengan orang dewasa, anak usia dini memiliki keunikan dan karakter yang berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi yang tepat dalam proses belajarmengaiar. Dalam kaitan dengan pengembangan moral-agama pada anak usia dini, strategi atau pendekatan individu (individual approach) penting dilakukan sebab setiap anak memiliki karakter dan keunikan yang berbeda-beda. Misalkan dari sisi karakter, ada anak yang pendiam atau tidak suka bergaul, disisi lain ada juga anak yang suka bergaul dan mudah adaptasi dengan teman-temannya. Realitas semacam ini menuntut para guru untuk melakukan pendekatan individu kepada anak agar dapat memahami apa yang harus dilakukan oleh guru dengan tetap nnemperhatikan keunikan anak . Sebenarnya strategi pengembangan moral-agama pada anak usia dini sangat sederhana. Hal ini karena pada usia dini, anak hanya membutuhkan sesuatu yang bersifat konkrit dan berkaitan dengan kehidupan riil mereka sehari-hari, misalkan hanya dengan bercakap-cakap saja mengenai sesuatu yang boleh diucapkan atau tidak boleh diucapkan anak sudah bisa menangkap (misalnya adalah mana bahasa yang sopan dan mana yang tidak). Atau bahkan dengan hanya memberikan contoh perbuatan, misal mencium tangan kedua orang tua atau guru, anak akan dengan mudah menirukannya. HaI ini menunjukkan bahwa belajar untuk melakukan atau mempraktikkan sesuatu (learning to do) secara langsung merupakan strategi yang tepat untuk diterapkan.

14

Di samping hal itu, secara umum pengembangan moral-agama pada anak usia dini juga terkait dengan pengenalan dan pemahaman tentang keberadaan Tuhan. Jadi sebagai guru pada program PAUD hendaknya mampu mentransfer hal ini ke dalam diri anak. Misalnya guru mengenalkan Tuhan melalui makhlukmakhluk ciptaan-Nya, seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya. Pertanyaan sederhana dapat diajukan kepada anak, misal: siapa yang menciptakan manusia ? Setelah anak menjawab, mungkin ada yang jawabannya benar dan mungkin juga ada yang salah, guru berusaha menggiring jawaban anak pada upaya memperkenalkan sang penciptanya (Allah) dengan menunjukkan keistimewaan makhluk ciptaannya. Misalkan manusia diberi akal pikiran yang tidak dimiliki makhluk-makhluk lainnya. Matahari bisa memberikan sinar ke bumi untuk kehidupan manusia, bulan dan bintang bisa memberikan cahaya penerang di malam hari, dan lain sebagainya. Menurut Hidayat (2007), di antara strategi pengembangan moral-agama pada anak usia dini secara sederhana adalah sebagai berikut: a. Anak diajak untuk melihat gambar dan bercerita tentang gambar yang dilihatnya dengan bimbingan guru, misalkan untuk melatih anak hidup tertib dengan bimbingan guru (misalkan untuk melatih anak hidup tertib dan teratur dalam makan dan minum, bangun tidur, bermain dan lain-lain, anak bisa diajak komunikasi melalui gambar yang ditunjukkan). b. Membacakan pertanyaan sederhana dan mendorong anak menjawab berdasarkan gambar yang dilihatnya, misalkan gambar seseorang yang sedang beribadah, berjabat tangan, dan lain-lain. c. Memperagakan sesuatu yang diajarkan di hadapan anak, kemudian anak diajak langsung menirukannya. Sementara itu terkait dengan sifat pemahaman anak usia dini terhadap nilai-nilai keagamaan (dan moral) pada saat proses belajar mengaiar menurut ]ohn Eckol (2005) dalam Hidayat di antaranya adalah sebagai berikut:

15

a. Unreflective, yaitu pemahaman dan kemampuan anak dalam mempelajari nilai-nilai agama sering menampilkan suatu hal yang tidak serius. Mereka melakukan kegiatan ibadah pun dengan sikap dan sifat dasar yang kekanak-kanakan, tidak mampu memahami dan menghayati apa yang sedang dilakukannya. Artinya salah satu sifat anak dalam memahami pengetahuan ajaran agama sering dengan bahasa guyonan, main-main, dan asal mengikuti apapun yang diperintahkan kepadanya. Contoh ketika anak diminta oleh guru untuk mengerjakan ibadah bersama dengan tertib maka sangat manusiawi jika ada di antara mereka yang mengerjakannya dengan bercanda, main-main, dan kurang serius. Ketika anak belajar mengucapkan hafalan doa, kita juga dapat mendengarkan kemampuan vokalnya yang kurang maksimal, demikian pula dalam menirukan gerakan (misal gerakan dalam shalat, berdoa, dan lain-lain). Hal itu semua seyogyanya jangan dijadikan sebagai sebuah masalah ketidakberhasilan belajar, namun dijadikan sebagai hal yang objektif bahwa itulah hakikat anak dengan prestasi dan keadaan yang sesungguhnya, yang harus kita hargai dengan baik. Namun terkadang banyak kita temui di lapangan, para guru dan orang tua kurang menyadari hal tersebut karena masih banyak di antara mereka yang memaksakan kehendaknya dengan menggunakan pendekatan yang kurang bijaksana seperti memaksa anaknya untuk mengikuti/ mencontoh dengan tepat, persis apa yang diajarkan oleh guru dan orang tua. Sering dijumpai betapapun ketika anak dipaksa namun memang anak belum mampu menirukan, kemudian anak dimarahi maka hal tersebut dapat berdampak tidak baik bagi anak, malah bisa membuat anak menangis bahkan pesimis. Pendekaatan semacam itu memang bertujuan untuk membuat, anak dapat belajar dengan maksimal, namun sering dilupakan bahwa anak bukan orang dewasa. Jadi sangatlah keliru jika guru atau orang tua menginginkan dan mengharuskan anak memiliki kemampuan atau kompetensi Belajar dengan kriteria dan parameter orang dewasa. Mereka adalah anak kecil

16

yang belum matang dalam beberapa hal. Itulah yang patut direnungkan agar para guru dan orang tua tidak mengulangi kekeliruan dan memaksakan kemauan dan kehendaknya kepada anak dengan tidak memperhatikan kemampuan dan kebutuhan anak itu sendiri. b. Egocentris, sering dijumpai bahwa anak lebih mementingkan kemauannya sendiri, tidak peduli dengan urusan orang lain. Demikian pula dalam mempelajari nilai-nilai agama anak usia dini terkadang belum mampu bersikap dan bertindak konsisten. Misalkan suatu ketika anak terlihat sangat rajin dan mau mengerjakan kegiatan ritual ibadah seperti kalau di sekolah belajar mengucapkan doa bersama, kalau di rumah seperti mengaji, pergi ke tempat ibadah, dan lain-lain, namun pada saat yang lain rnereka berperilaku sebaliknya. Betapapun guru atau orang tua berulang kali mengingatkan dan menyuruh anak untuk melakukan kegiatan keagamaan, Namun jika anak merasa malas dan lebih asyik bermain maka semua perintah dan anjuran tadi tidak dipedulikannya. Memperhatikan sifat egosentris yang demikian maka sebagai guru atau orang tua sangatlah tepat apabila menganggap bahwa sifat tersebut merupakan hal yang wajar karena memang kondisi psikologis mereka yang masih labil dan belum matang. Para guru dan orang tua harus memaklumi hal itu, namun tidak berarti membiarkan tanpa upaya pada arah yang positif. Walaupun demikian guru atau orang tua tetap tidak boleh memaksakan kehendak sesuai dengan keinginannya sebab mereka boleh jadi pada kesempatan yang lain akan berubah sikapnya. Itulah labilitas psikologis anak yang perlu dipahami oleh guru dan orang tua. c. Misunderstand, yaitu anak akan sering mengalami salah paham/. Sebagai contoh ketika anak mendengar bahwa Allah itu Maha Besar, maka yang terbesit dalam pikiran anak adalah Allah besarnya seperti raksasa, dan lain-lain.

17

d. Imitative, yaitu anak banyak belajar dari apa yang mereka lihat secara langsung. Mereka banyak meniru dari apa yang pernah dilihatrya sebagai sebuah pengalaman belajar. Memperhatikan realitas semacam itu maka guru dan orang tua harus siap ditiru anak. Oleh karena itu guru dan orang tua perlu menunjukkan contoh atau keteladanan yang baik dalam setiap ucapan dan perbuatan. Adapun faktor yang mempengaruhi nilai-nilai keagamaan tertanam dengan baik atau tidak pada diri anak adalah faktor hereditas/pembawaan (internal) dan faktor eksternal (lingkungan). Faktor bawaan merupakan potensi yang berasal dari orang tua. Dalam teori nativisme dikatakan bahwa apa yang ada pada diri orang tua untuk selanjutnya akan diwarisi oleh anak-anaknya, baik berupa kemampuan intelektual maupun karakter. Oleh karena dalam teori agama (Islam) kalau menginginkan anak menjadi baik maka orang tua atau bahkan seiak muda (ketika menjadi calon bapak-ibu) harus menjadi lebih baik dulu, sebab kepribadian yang baik seperti itu juga akan mempengaruhi karakter generasi berikutnya. Demikian pula sebaliknya kepribadian orang tua tidak baik maka sengat dimungkinkan juga terwariskan kepada anak-anaknya karakter tidak baik pula walaupun tidak bersifat mutlak pengaruhnya. Sementara itu faktor lingkungan dalam realitasnya juga dapat berpengaruh dalam mempengaruhi tumbuh-kembangnya nilai-nilai moral dan agama pada diri anak. Manakala lingkungan sosial anak itu kondusif, misalnya lingkungan agamis, orang-orang baik, maka anak juga akan mudah terpengaruh dengan lingkungan positif yang demikian, akan tetapi ketika lingkungan sosial anak itu sebaliknya maka yang terjadi adalah juga sebaliknya, yakni anak, kemungkinan memiliki kecenderungan negatif walaupun tidak bersifat mutlak pengaruhnya. Memang dalam teori empirisme faktor lingkungan dikatakan juga sebagai faktor yang sangat mempengaruhi anak itu seperti apa.

18

4. Desain Kegiatan Pembelajaran dan Materi Pengembangan Moral-Agama yang Sesuai dengan Program PAUD Sebelum mengulas desain kegiatan pembelajaran dan pengernbangan moral-agama pada anak di sini terlebih dahulu perlu dikemukakan sekilas tentang masa anak-anak. Menurut Reni Akbar dkk, masa prasekolah merupakan masamasa bahagia dan amat memuaskan dari seluruh kehidupan anak. Untuk itulah kita perlu menjaga hal tersebut sebagaimana adanya. Janganlah memaksakan sesuatu karena diri kita sendiri, baik mengaharapkan secara banyak dan segera maupun mencoba melakukan hal-hal yang memang mereka belum siapNegaranegara Eropa dan Amerika meyakini bahwa tidak perlu untuk bersikap terburuburu untuk mengajari anak membaca sampai anak berusia tujuh tahun. Penelitian Sue Moskowitz terhadap sejumlah anak yang diajar membaca pada waktu dini menunjukkan bahwa anak-anak tersebut tidak mampu mempertahankan kelebihan-kelebihan yang mereka miliki dari teman sekelasnya yang tidak dapat membaca sebelum cukup umur. Moskowitz juga mempertanyakan anak-anak yang didorong orang tuanya belajar membaca pada usia diniDengan mengajari anak membaca pada usia tujuh tahun, anak-anak Skandinavia, baik perempuan tidak memiliki masalah dalam pelajaran rnembaca (Akbar Hawadi,2006: 5). Dalam kaitan dengan perkembangan moral anak menurut Charles Wenar dalam Akbar dikatakan bahwa perkembangan moral anak berjalan lamban dan bergerak sesuai dengan meningkatnya kematangan pada diri anak untuk dapat memahami nilai-nilai keberhasilan, kejujuran, dan tanggungjawab. Menurut hemat penulis, pengenalan mengenai sesuatu yang baik dan yang tidak baik, seperti dalam bermain anak juga sudah harus mulai diajarkan, misalnya ketika dalam bermain anak berebut mainan yang bukan rniliknya maka seyogyanya guru atau orang tua segera merespons dengan bahasa anak. Ini merupakan bagian dari peletakan dasar-dasar sikap dan kepribadian yang terpuji pada diri anak. Mengacu pada deskripsi tersebut maka kegiatan pembelajaran dan pemberian materi moral-agarna perlu dirancang secara sederhana sesuai dengan

19

tingkat kemampuan anak, seperti kegiatan bermain sambil belajar. Menurut EIis (2005) dalam Hidayat, ruang lingkup materi moral-agama pada program PAUD meliputi (a) peletakan dasar-dasar keimanan, (b) peletakan dasar-dasar kepribadian/budi pekerti yang terpuji, dan (c) membiasakan beribadah sesuai dengan kemampuan anak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala rutinitas dalam kehidupan sehari-hari anak hendaknya selalu diwarrnai dengan nuansa keagamaan agar mereka kelak kemudian selalu ingat kepada -Tuhannya. Selanjutnya, dalam merancang kegiatan pengembangan moral-agama pada anak usia dini perlu dilakukan secara sirnultan (terus-menerus) dan terpadu, baik terpadu dalam hal kerjasama antara orang tua dan guru maupun terpadu dalam dalam hal materi pemberajarannya, seperti memadukan antara yang teoritis dan praktis. Mengapa demikian ? karena pada masa usia dini, anak belum mampu secara langsung memahami hubungan-hubungan antara yang teoritis dan praktis. Pada masa usia dini, anak masih banyak didominasi oleh pengetahuan yang masih bersifat abstrak. Oleh karena itu keterpaduan ini perlu dirancang oleh pendidik agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai secara maksimal dan efektif. Keterpaduan pembelajaran (integrated learning) lainnya juga bisa dilakukan dengan cara mengaitkan kehidupan alam sekitar, seperti lingkungan alam dan lingkungan sosial yang sering dialami anak-anak, kemudian nilai-nilai agama tersebut dimasukkan sebagai bagian dari lingkungan tersebut. Misalkan bagaimana seorang anak harus merawat lingkungan alam, seperti tumbuhan, hewan, kebersihan, dan lain sebagainya. Demikian pula dalam lingkungan sosial, misalkan bagaimana seorang anak harus berbuat baik kepada sesama teman ketika ada temannya yang membutuhkan seperti pinjam pensil, penghapus, dan lain sebagainya. Contoh-contoh empirik tersebut dimasuki dengan ajaran-ajaran moral-agama dengan menekankan bahwa hal-hal yang perlu dilakukan adalah berbuat baik kepada siapa saja sebab ajaran agama mengajarkan kepada kita demikian, dan bagi siapa saja yang menjalankan secara senang, Allah akan mengasih sayangi, dan pada suatu saat Allah juga akan memberikan sesuatu yang lebih baik daripada yang kita lakukan sekarang ini.

20

Dalam hal pengembangan moral-agama dalam Garis-garis Besar Program Kegiatan Belajar (GBPKB) di PAUD diistilahkan dengan materi program pembentukan perilaku anak melalui pembiasaan yang terwuiud dalam kegiatan sehari-hari. Adapun tujuan dari program pembentukan perilaku adalah untuk mempersiapkan anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai moral pancasila dan agama. Pokok-pokok dan ruang lingkup materi tersebut meliputi: a. Berdoa sebelum dan sesudah memulai kegiatan

b. Mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain c. Tolong menolong sesama teman d. e. Rapi dalam bertindak dan berpakaian Berlatih untuk selalu tertib dan patuh pada peraturan serta bersedia menerima tugas, menyelesaikan tugas, dan memusatkan perhatian dalam jangka waktu tertentu f. Memiliki sikap tengang rasa terhadap keadaan orang lain

g. Berani dan mernpunyai rasa ingin tahu yang besar h. Merasa puas atas prestasi yang dicapai

i. Bertanggun gjawab terhadap tugas yang diberikan j. Bergotong royong sesama teman k. Mencintai tanah air l. Mengurus diri sendiri, antara lain meliputi membersihkan diri sendiri, berpakaian sendiri, makan sendiri, dan memelihara milik sendiri m. Menjaga kebersihan lingkungan, termasuk membantu membersihkan dan membuang sampah pada tempatnya.

21

n. Menyimpan mainan setelah digunakan o. Mengendalikan emosi, misalnya saat berpisah dengan ibu tanpa menangis, sabar menunggu giliran, berhenti bermain pada waktunya tidak cengeng, dapat membedakan milik sendiri dan orang lain, menunjukkan reaksi yang wajar karena marah, senang, sedih, takut, dan cemas. p. Sopan santun meliputi terbiasa mengucapkan terima kasih dengan baik atau meminta tolong dengan baik q. Menjaga keamanan diri, termasuk menghindar dari obat-obat berbahaya dan menghindar dari benda-benda yang berbahaya pula (Hidayat mengutip GBPKB 1995). Sedangkan kompetensi dan hasil berajar yang ingin dicapai pada aspek pegembangan moral-agama mengacu pada menu pembelajaran pada Pendidikan Anak usia Dini adalah kemampuan melakukan ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan Allah dan mencintai sesame(Hidayat 2007). Berikut ruang lingkup dan rinciannya berdasarkan kelompok mulai 3-6 tahun: a. Menyayikan lagu keagamaan b. Berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan dengan sikap berdoa c. Dapat melakukan gerakan beribadah d. Membedakan ciptaan Tuhan dengan buatan manusia e. Menyayangi orang tua, orang di sekeliling, guru, teman, pembantu, binatang, dan tanaman f. Mengenal/memahami sifat-sifat Tuhan, misalnya Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan lain sebaginaya g. Merasakan/ditunjukkan rasa sayang dan cinta kasih melalui belaian atau rangkulan

22

h. Selalu mengucapkan terima kasih setelah menerima sesuatu i. Mengucapkan salam j. Mengucapkan kata-kata santun, misalnya maaf, tolong, dan lain-lain k.Menghargai teman dan tidak memaksakan kehendak l. Membantu pekerjaan ringan orang dewasa Sementara itu terkait dengan karakter atau sifat materi pengembangan moral dan nilai-nilai agama pada anak usia dini, menurut Hidayat guru harus dapat memilih materi yang sesuai dengan karakter anak usia dini, di antaranya bersifat terapan dan berkaitan dengan kegiatan rutin anak-anak dalam kehidupan sehari-hari, (b) enjoyable, yaitu materi pembelajaran diupayakan bisa membuat anak senang, menikmati, dan mengikuti kegiatan dengan antusias, dan (c) mudah ditiru, yaitu materi yang disampaikan dapat dipraktikkan oleh anak dengan mudah.

5. Prinsip Pengembangan Moral-Agama pada Program PAUD Dalam pengembangan moral-agama pada anak usia dini menurut Doe dan Walch (1998) ada 10 (sepuluh) prinsip yang harus diperhatiksn oleh guru dan orang tua yang disebut dengan istilah Spiritual Parenting. Sepuluh prinsip tersebut adalah (1) ketahuilah bahwa Tuhan memperhatikan kita, (2) percaya dan ajarkan bahwa semua kehidupan berhubungan dan bertujuan, (3) simak apa kata anak, (4) gunakan kata-kata dengan hati-hati, (5) izinkan dan berilah dorongan terhadap impian, keinginan, dan harapan anak, (6) berilah sentuhan keajaiban pada hal-hal biasa, (7) jadilah cermin positif bagi anak, (8) ciptakan peraturan dalam struktur yang luwes, (9) lepaskan pergulatan yang menekan, (10) jadikan setiap hari sebagai sebuah awal yang baru (Winda dkk, 2008).

23

6. Kendala Pengembangan Moral-Agama pada Anak Usia Dini dan Solusinya Kendala pengembangan moral-agama pada program PAUD di antaranya adalah belum siapnya sebagian guru dan orang tua untuk memberikan keteladanan sikap dan perilaku kepada anak didiknya, padahal guru dan orarg tua menjadi cermin kehidupan bagi anak. Contoh sederhana sering dijumpai ketika guru berbincang-bincang di sekolah dengan teman sejawatnya di depan anak didik, mereka kadang tertawanya sampai lepas, makan dan minum memakai tangan kiri, dan lain-lain. Hal demikian kalau dilihat anak didik secara langsung akan berdarnpak tidak baik bagi perkembangan moral-agama anak. Sedangkan kendala dalam lingkungan keluarga adalah masih banyak ayahibu atau orang yang dituakan dalam keluarga belum bisa memberikan keteladanan sikap dan perilaku bagi anak-anaknya. Sebagai contoh ketika orang tua menyuruh anaknya melaksanakan shalat (dalam Islam), menyuruh ke Gereja, Pura, Vihara, dan lain-lain akan tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya, atau bahkan di dalam lingkungan keluarga tidak kondusif tertanamnya nilai-nilai moral-agama seperti tidak adanya "unggah-ungguh" antara anak dan orang tua, sering berbicara kasar dan kotor, hidup berfoya-foya, dan lain sebagainya. Sementara itu kendala lain yang ditemui di lapangan dalam membangun kepribadian anak adalah kurang kondusifnya lingkungan dalam masyarakat itu sendiri, seperti (1) masyarakat yang menjadi lingkungan tempat tinggal anak didik kurang peduli terhadap ajaran moral-agama, (2) kurang adanya keteladanan dari anggota masyarakat (3) pergaulan teman yang terlalu bebas, dan perkembangan teknologi-informasi yang salah dalam penggunaannya seperti internet, TV dan lain sebagainya. Atas dasar realitas semacam itu maka tanggung jawab, institusi pendidikan, baik institusi sekolah, keluarga maupun masyarakat semuanya mempuyai peran dan tanggung jawab yang sama dalam menghasilkan anak didik yang bermoral sehingga di sinilai ketiga institusi tersebut, perlu membangun kerjasama yang baik. Model pengembangan moral-agama yang dilakukan oleh ketiga institusi

24

pendidikan tersebut akan bisa berhasil secara efektif apabila dilakukan rnelalui pendekatan keteladanan sikap dan perilaku (pemodelan) dari ketiga pioner institusi pendidikan, yaitu guru, orang tua, tokoh agama atau masyarakat sendiri. Oleh karena itu untuk bisa mengantarkan anak didik memiliki sikap dan perilaku yang terpuji (akhlaq al-kharimah) maka sangat diperlukan kerjasarna intensif antara sekolah, orang tua, dan masyarakat, karena pada dasarnya ketiga institusi pendidikan tersebut juga sama-sama sebagai stakeholders dari pendidikan dan sebagai pihak yang bertanggungjawab. Perlu ditegaskan ulang bahwa pengembangan moral-agama pada anak usia dini dapat dilakukan oleh semua institusi pendidikan mulai dari sekolah,

masyarakat sampai keluaga dengan model atau pendekatan yang beraneka ragam, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu mewujudkan generasi penerus bangsa yang bermoral (berakhlak mulia), sebab tanpa adanya modal utama "akhlak mulia ke depan bangsa Indonesia akan terus terpuruk disebabkan oleh degradasi moral generasi penerusnya. Sebagai catatan penutup dari tulisan ini ternyata menjadi seorang pendidik, baik di sekolah, keluarga maupun di masyarakat tidaklah ringan tanggungjawabnya karena mereka harus siap menjadi cermin kehidupan bagi anak didik. Keberhasilan anak didik dalam berbagai aspeknya banyak ditentukan oleh tiga pioner institusi pendidikan tersebut. Mereka diharapkan mampu memberi petunjuk arah dan memilihkan jalan yang tepat bagi anak-anak didik dalam kehidupan mereka sehari-hari melalui keteladanan, baik dalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak.

Selamat belajar dan berlatih !

25

Latihan-latihan 1. Soal Subjektif 1. Jelaskan secara singkat strategi dalam pembentukan karakter pribadi anak usia dini beserta kendala dan solusinya ! 2. Sebut dan jelaskan periode perkembangan anak beserta ciri-cirinya ! 3. Jelaskan perkembangan moral anak menurut Piaget dan Kohlberg! 4. ]elaskan dan berilah contoh bahwa sebagian anak usia dini memiliki sensitivitas yang tinggi dalam merespon linkungannya ! 5. Mengapa pengembangan moral-agama pada anak sejak usia dini itu dipandang penting ! 6. Sebut dan jelaskan sifat-sifat pemahaman anak usia dini dalam kaitannya dengan rnoral-agama ! 7. Menurut Elis, meliputi apa saja pengembangan moral-agama anak ? Jelaskan ! 8. Jelaskan prinsip pengembangan moral-agama pada program PAUD !

2. Penyelesaian Masalah (Problem Solving) a. Masa Pendidikan Anak usia Dini (PAUD) adalah masa yang sangat penting yang sering disebut dengan masa emas (golden age). Pada masa inilah kesempatan yang paling tepat untuk mengembangkan sisi moralagama anak agar terbentuk kepribadian yang baik. Pada masa ini pula anak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan, baik dalam hal ucapan, sikap maupun perilaku. Jelaskan bagaimana cara mengatasi anak usia dini yang biasa mengucapkan kata-kata kotor, serta sikap dan perilaku yang kurang terpuji !

26

b. Bagaimana jika anak usia dini tiba-tiba bertanya kepada guru/orang tua tentang Tuhan itu seperti apa dan tempatnya di mana. Jelaskan dalam perspektif moral-agama !

Evaluasi/Penilaian Kegiatan diklat ini menuntut partisipasi aktif dari peserta yang dikemas dalam bentuk tanya-jawab dan workshop (latihan-latihan/problem solving tentang ke-PAUD-an dalam perspektif moral-agama). OIeh karena itu evaluasi dalam kegiatan ini akan mempertimbangkan tiga komponen, yaitu partisipasi aktif dan kehadiran peserta di kelas (30%), pemenuhan tugas-tugas diklat (workshop) (40%), dan hasil ujian (30%).

Kunci Jawaban : 1. Jawaban dari soal-soal subjektif dapat dilihat kembali dalam paparan materi 2. Tuhan itu wujudnya berbeda dengan makhluk (mukhalafatu lil hawaditsi), berbeda dengan manusia, matahari, bumi, bulan, gunung, dan lain-lain. Dia Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha segalanya. Dia dapat dirasakan kehadirannya walaupun manusia tidak dapat melihatnya. Tuhan itu berada di atas Arsy (Singgasana Kekuasaan-Nya), tetapi manusia tidak ada yang bisa mengetahui keadaanya seperti apa. Dia wajib diimani tanpa adanya keraguan seikitpun

27

Daftar Pustaka

Akbar, Reni dan Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001). Darajat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Perkembangan (Jakarta : Bulan Bintang, 1995). Hidayat, Otib Satibi, Metode Pengembangan Moral dan Nilai-nilai Agama (Jakata : Universitas Terbuka 2007). Masitah dkk, Strategi PembelajaranTK. (Jakarta : Universitas Terbuka, 2007). Soemanto, Wasty dan Soetopo, Hendyat, Dasar dan Teori Pendidikan Dunia (Surabaya : Usaha Nasional, 1982). Winda dkk,. Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Anak Usia Dini. (Jakarta : Universitas Terbuka, 2008). Yani, Muhammad Turhan, Dialektika Seputar Pendidikan (Surabaya : UNESA Press, 2006) ---------Pendidikan Berbasis Moral dalam Lingkungan Sekolah, keluarga, dan Masyarakat (Jurnal Pelangi Ilmu No.1, VoI.2 UNESA 2007. Yani, Muhammad Turhan, dkk. Islam Rahmatan Lil 'Alamin (Surabaya : UNESA Press,2002).

También podría gustarte