Está en la página 1de 31

1

DANA TALANGAN HAJI, PROBLEM DAN HUKUMNYA


Oleh : Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Putra, Yogyakarta
I. PENDAHULUAN
Ibadah Haji adalah perjalanan rohani menuju rahmat dan karunia Allah swt, ia
merupakan salah satu dari kelima pilar penyangga tegaknya agama islam di muka bumi yang
disyariatkan oleh Allah swt kepada hamba-hambanya. Kita sebagai umat islam tentu harus
tetap menjaga supaya ibadah haji ini menjadi pilar yang semakin memperkokoh pondasi
islam, bukan sebaliknya. Yaitu dengan cara mengamalkan sesuai dengan rukun, syarat, dan
ketentuan-ketentuan yang ada. Ibadah haji juga sebagai penyempurna dari Rukun Islam.
Bahkan as-Sayyid as-Sabiq mengatakan sekiranya ada orang yang mengingkari
kewajibannya maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari agama Islam (as-Sabiq: 2001:
460)
Allah swt telah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 196 :

.
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang
oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan
kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah
atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah
(merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam
bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam
masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari)
yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
2

keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk
kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras
siksaan-Nya. (Q.S. Al Baqarah (2): 196
Atas dasar inilah orang-orang Muslim berusaha untuk menunaikan ibadah haji guna
menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji termasuk ibadah yang membutuhkan
biaya relatif tinggi, setidaknya untuk muslim Indonesia. Kurang lebih untuk saat ini harta
senilai tiga puluh juta harus dipersiapkan untuk pembiayaan ibadah haji. Dana yang sebesar
itu tentu bukanlah jumlah yang sedikit, sehingga tidak semua orang bisa melaksanakannya,
hanya orang-orang tertentu yang sudah dikatakan berkemampuan, ironisnya pula bagi
sebagian masyarakat di Indonesia masih ada anggapan bahwa berhaji akan menaikan status
sosial seseorang. Faktor-faktor ini mendorong tingginya animo masyarakat untuk berusaha
melaksanakan ibadah haji dalam keadaan dan kondisi apapun tanpa melihat lagi beberapa
pertimbangan yang menjadi syarat wajib dan sahnya haji.
Dalam pada itu, perkembangan zaman yang menjalar ke seluruh lini kehidupan, tak
terkecuali dalam dunia perbankan syariah, membawa kemajuan yang sangat signifikan.
Sehingga menuntut para ekonom syariah untuk terus berpikir kreatif dan inovatif dalam
merespon kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Salah satu inovasi dunia
perbankan syariah baru-baru ini adalah mengeluarkan produk pembiayaan talangan haji yang
bagi sebagian besar orang merupakan terobosan positif yang menawarkan kemudahan untuk
membantu masyarakat muslim mewujudkan cita-cita mulianya dalam menegakkan salah
satu pilar islam, yaitu ibadah haji. Dalam perkembangannya, masyarakat selama ini antusias
dengan datangnya produk ini, bahkan secara nasional produk ini mengalami peningkatan
yang sangat signifikan.
Pembiayaan talangan haji sebagai hasil dari pemikiran dan peradaban manusia
tentu perlu kita kaji dengan seksama untuk kemudian kita sebagai umat Islam bisa
menentukan sikap terhadap keberadaan dana talangan haji.
Untuk dapat menyikapi dan menentukan pilihan mengenai permasalahan tersebut,
kami akan memaparkan secara singkat mengenai dana talangan haji, baik secara teoritis
maupun secara praktis.


3


II. PENGERTIAN DAN KEWAJIBAN HAJI
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Kata haji
mempunyai arti qashd yaitu tujuan, maksud dan menyengaja. Sedangkan menurut istilah
syara, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan
amalan-amalan ibadah tertentu pada waktu tertentu ( az-Zuhaily: 2006: 2064). Secara rinci
as-Sayyid as-Sabiq mendefinisikan haji adalah menuju ke Makkah untuk melaksanakan
ibadah thawaf, sai, wukuf di arafah dan semua manasik haji guna mengharapkan ridha
Allah swt. (as-Sabiq: 2001:II: 460).

Wajibnya ibadah haji merupakan perkara yang benar-benar telah diketahui dalam
agama Islam ( ) (lu Bassm, 2002: II: 409) dan merupakan salah satu
dari rukun Islam yang lima (ash-Shanniy, 2006: 189). Jika ada diantara umat Islam yang
mengingkari wajibnya haji, maka ia dihukumi murtad dari agama Islam (as-Sayyid as-Sbiq,
2001: 460).
Ibadah haji telah absah berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma umat Islam (lu
Bassm, 2002: 409). Masing-masing dalil tersebut adalah sebagai berikut.
1) al-Quran
Ep) 4E e^14 E7N +EE4Ug Og~--
O-4:) ~L4O4lN` O4-4 4-gUEUg
^_g gO1g le4C-47 e4L)O4 NE`
=1g-4O) W }4`4 N-E=E1 4p~E
44g`-47 *.4 O>4N +EEL- OggO
ge^O4l^- ^}4` 4vC4-c- gO^O)
1EO):Ec _ }4`4 4OEE Ep) -.- /j_EN
^}4N 4-gUE^- ^__
Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah)
yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Di sana
terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrhim. Barang siapa memasukinya
(Baitullah) amanlah dia. Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah melaksanakan
4

ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke
sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah banwa Allah Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. (li Imrn (3): 96-97)
Menurut Jumhur Ulama, inilah ayat yang menunjukkan wajibnya haji (Ibnu Katsr, 2008:
348).
2) as-Sunnah
( 9 / 8:2 )
127 - : "
)

Islam dibangun atas lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan
berhaji ke baitullah. (H.R. Muttafaq Alaih).



Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw berkhutbah kepada kami, lalu ia
bersabda: Wahai umat manusia, sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian,
maka berhajilah. Lalu ada seorang laki-laki yang bertanya: Apakah setiap tahun, wahai
Rasulullah ? Rasul diam (belum menjawab) hingga laki-laki tersebut mengulangi
pertanyaannya sebanyak tiga kali. Setelah itu Rasulullah menjawab: sekiranya aku berkata
ya maka ia akan diwajibkan (setiap tahun) dan kalian pasti tidak mampu
(melaksanakannya). Kemudian Rasulullah saw bersabda: Ambillah apa yang aku
tinggalkan kepada kalian. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan an-Nasi dan
dishahihkan oleh al-Albniy).
5

Dalam riwayat lain dikatakan
( 7 / ;; )
( )



.
:
( 7:3 - 7;1 ( ) 7;7: )
Dalil-dalil di atas secara jelas menggambarkan wajibnya ibadah haji dan secara pasti telah
menjadi kesepakatan umat Islam (lu Bassm, 2008: 631)
Ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Hal ini telah disepakati, sebagaimana
yang dikatakan oleh imam an-Nawawiy, al-Hfidz, dan ulama lainnya (asy-Syaukniy, 1973:
3). Ini merupakan pendapat Jumhur Ulama. Mereka beralasan bahwa di dalam ayat tersebut
(li Imrn (3): 97) tidak terdapat qarnah yang menunjukkan perintah untuk melakukan haji
berkali-kali (tikrr) (ash-Shbuniy, 2007: 296). Selain itu, secara eksplisit, kedua hadits di
atas menunjukkan haji hanya diwajibkan sekali. Kaidah ushul fikih mengatakan :
,
Karena hukum pokok dari perintah adalah wajib. Jika yang dimaksud dari perintah
tersebut adalah anjuran (an-nadb) atau kebolehan (al-ibhah), maka harus ada qarnah
yang menunjukkan pada hal tersebut (Ibnu Najr, 1997: 19).
6

III. SEPUTAR DANA TALANGAN HAJI
A. PENGERTIAN
Sebelum kita melangkah pada analisis dan pengambilan hukum, maka sebaiknya
kita mengetahui dana talangan haji itu sendiri. Sebagaimana yang ditulis dalam website
bank Syariah Mandiri, bahwa Pembiayaan talangan haji adalah pinjaman (Qardh) dari
bank Syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi
(seat) haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Dana talangan ini
dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah kemudian wajib mengembalikan
sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Atas jasa peminjaman
dana talangan ini, bank Syariah memperoleh imbalan (fee/ujrah) yang besarnya tak
didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.



B. DASAR HUKUM.
Pihak perbankan mendasarkan produk ini kepada fatwa DSN (Dewan Syariah
Nasional) MUI Nomor No. 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang
pembiayaan pengurusan haji oleh LKS (Lembaga Keuangan Syariah). Di dalam fatwa
tersebut DSN MUI mengemukakan dalil-dalil umum mengenai kebolehan akad al-qardh
dan al-ijrah sebagai akad yang menjadi komponen produk ini.
Serta menyertakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah)
dengan menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-
MUI/IV/2000.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah
dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-
MUI/IV/2001.
3. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan
pemberian talangan haji.
4. Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-
Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah (FATWA DEWAN SYARI'AH
7

NASIONAL NO: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang PEMBIAYAAN PENGURUSAN
HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH)
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai prinsip dan ketentuan akad al-qard dan al-
Ijarah :
a. Prinsip al-Qard
Ketentuan Umum al-Qardh
1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang
memerlukan.
2. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada
waktu yang telah disepakati bersama.
3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah (FATWA DEWAN SYARI'AH
NASIONAL NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang AL-QARDH)
b. Prinsip Ijarah
1. Rukun dan Syarat Ijarah:
1) Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah
pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk
lain.
2) Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/pengguna jasa.
3) Obyek akad ijarah adalah :
a. manfaat barang dan sewa; atau
b. manfaat jasa dan upah.
2) Ketentuan Obyek Ijarah:
1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan
dalam kontrak.
3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak
diharamkan).
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan
syariah.
8

5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk
menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan
sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka
waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah
kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan
harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam ijarah.
8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari
jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat
diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
3) Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah :
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a) Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
b) Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c) Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a) Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga
keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
b) Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak
materiil).
c) Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari
penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak
penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab
atas kerusakan tersebut (FATWA DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000
Tentang PEMBIAYAAN IJARAH)
C. AKAD AL-QARD DAN IJARAH
1. AL-QARD
Al-Qardh secara etimologis merupakan bentuk masdar dari ,
yang berarti qataa memutus. Dengan demikian al-qardh adalah sesuatu yang
9

diberikan oleh pemilik untuk dibayar. (al-Bahuti : tt : 298) As-Sayyid as-Sabiq
mendefinisikan al-qardh sebagai berikut :

Harta yang diberikan seseorang pemberi hutang kepada orang yang dihutangi
untuk kemudian dia memberikan yang semisal/sepadan setelah mampu. (as-Sabiq :
tt : XII : 166).
Pada perkembangannya. Para Ulama memberikan defenisi al-Qardh dengan
defenisi yang berbeda :
Ulama Hanafi menjelaskan bahwa al-Qardh adalah harta al-misliyat
1
yang
dipinjamkan dan kemudian dikembalikan dengan barang yang serupa. Sehingga
dalam al-Qardh ini disyaratkan harta tersebut berjenis misliyat, dimana harta tersebut
tidak memiliki perbedaan dalam hal nilainya (Ali Fikri: tt: 344)
Imam Malik juga memberikan defenisi yang hampir sama, yaitu pembayaran
seseorang kepada orang lain dengan benda yang sama dengan harta yang diambilnya
dengan ketentuan tidak boleh adanya tambahan (bunga) pada bayaran asal dan harta
yang menjadi bayaran tidak boleh berbeda dalam hal nilainya.
Imam Syafii mendasari pengertian al-Qardh dengan firman Allah swt
}E` -O Og~-.- O@O^NC -.- O~
4L=OEO +OEg_N1 N. +E;
LE4OOg1 _ +.-4 +*):^4C 7O:4C4
gO^1)4 ]ONE_O> ^gj)
Artinya : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (al-Baqarah: 245)
Berdasarkan ayat diatas, imam syafii memberikan kriteria, bahwa al-Qardh
disini adalah pinjaman yang baik, sama dengan as-Salf
2
, yaitu kepemilikan terhadap

1
harta yang mempunyai persamaan atau padanan dengan tidak mempertimbangkan adanya perbedaan antara
satu dengan lainnya dalam kesatuan jenisnya Biasanya berupa harta benda yang dapat ditimbang, ditakar, diukur
atau dihitung kuantitasnya.
2
Pinjaman tanpa bunga
10

suatu benda sebagai pinjaman untuk kemudian dikembalikan dengan semisal harta
tersebut berdasarkan kebiasaan pada masa itu
3
(Ali Fikri: tt: 345)
Imam Ahmad bin Hambal menerangkan bahwa. Al-Qardh merupakan salah
satu jenis pinjaman yang tidak ada bunga didalamnya dalam rangka membantu orang
yang meminjam untuk mengambil manfaat dari barang yang ia pinjam (Ali Fikri: tt:
346)
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa akad qardh merupakan bentuk muamalah
bercorak taawun (tolong menolong) semata, dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan pihak lain yang kekurangan. Jadi tidak ada imbalan tertentu yang
dipersyaratkan.
2. DASAR HUKUM QARDH
a). al-Quran

siapakah yang mau member pinjaman kepada allah pinjaman yang baik
(menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (surat al-baqarah : 245)
b). hadits
Ibnu Majah meriwayatkan hadits yang bersumber dari ibnu masud radhiyallahu anh
dari nabi s.a.w., beliau bersabda :

"tidakkah seorang muslim memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua
kali melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti sedekah satu kali. (riwayat
ibnu majah) Dan masih banyak lagi dalil serupa, baik dari al-quran maupun hadits.
3. HUKUM QARDH
Hukum qardh mengikuti hukum taklifi ; terkadang boleh terkadang makruh,
wajib dan haram semua itu sesuai dengan cara mempraktekkannya karena hukum
wasilah itu meliputi hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mendesak sedangkan orang
yang dihutangi orang kaya, maka orang kaya itu wajib memberi hutang. Jika

3
Jika pada masa sekarang, maka seseorang bisa membayar suatu benda dengan memakai uang.
11

pemberi hutang mengetahui bahwa yang menghutang akan berbuat maksiat dengan
barang yang dihutangi, maka haram bagi si pemberi hutang untuk memberikan
hutang dan lain sebagainya berdasarkan kondisi-kondisi yang bisa merubah
hukumnya. (Ath-Thayyar : 2009 : 157).
Ada dua hal yang perlu diketahui menyangkut hukum al-qard dalam konteks
pembahasan dana talangan haji yaitu syarat tempo dan tambahan dalam qard.
Untuk yang pertama pendapat yang shahih menyatakan kebolehan persyaratan
tempo. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-
Qayyim, al-Utsaimin dan Shalih Fauzan (Ath-Thayyar, 2009 : 165-166).
Menyangkut tambahan dalam qard, maka tergantung apakah penambahan
tersebut dipersyaratkan atau tidak. Jika penambahan tersebut disyaratkan, maka
berdasarkan ijma ulama hukumnya haram karena adanya riba terselubung. Praktek
memberikan hutang untuk mendapatkan manfaat juga termasuk yang diharamkan.
Pengharaman ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:


Artinya : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Hamzah, telah
mencertiakan kepada kami Syawar bin Musab dari Imarah al-Hamdaniy, dia
berkata : aku mendengar Ali ra berkata, Rasulullah saw bersabda : setiap qard
yang menarik manfaat adalah riba. (HR. Baihaqi, Thabrani)
Jenis penambahan yang kedua adalah penambahan yang diberikan ketika
pembayaran dan tidak dipersyaratkan. Tambahan seperti ini tidaklah diharamkan dan
bahkan temasuk perbuatan yang baik berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan
Muslim (Ath-Thayyar : 2009 : 169).
4. RUKUN DAN SYARAT
Dalam aqad Qardh ini, terdapat ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat:
1. Syarat aqidain (orang yang memberi pinjaman dan yang dipinjami), yaitu kedua
belah pihak adalah orang yang mampu mentasarufkan hartanya sendiri secara mutlak
12

dan bertanggung jawab atau dengan istilah ahliyatul at-Tabarru. Juga kedua belah
pihak melakukannya karena terpaksa
2. Syarat muqtarad (barang yang menjadi objek Qardh) adalah harus barang yang
bermanfaat dan dapat dipergunakan.
3. Syarat shighat, ijab qabul menunjukkan kesepakatan kedua belah pihak, dan Qardh
tidak boleh mendatangkan manfaat bagi muqridh (yang meminjami). Demikian juga
shighat tidak mensyaratkan Qardh bagi aqad lain (multi aqad) (Affandi : 2009 : 183)
5. AL-IJARAH
Al-Ijarah adalah bentuk musytaq (derivasi) dari al-ajru yaitu al-audu (pengganti).
Secara istilah adalah akad pengambilan manfaat dengan menggganti (as-Sabiq : tt :
144)
Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa al-Ijarah adalah aqad yang berakibat
pemindahan kepemilikan terhadap manfaat benda yang diketahui oleh pemilik barang
dengan maksud mendapatkan imbalan lebih (sewa menyewa). Sedangkan Ulama
Malikiyah hanya menyamakan dengan al kiraa
4
(Ali Fikri: tt: 85).
Ulama Syafiiyah pun juga memberikan defenisi yang hampir sama, dengan
kebolehan adanya tambahan yang disepakati dalam aqad, sehingga bagi ulama
Syafiiyah ijab dan qabul sangatlah penting dan harus memakai lafazh (Ali Fikri: tt:
87).
Sementara Ulama Hambali, memberikan defenisi yang lebih terperinci dengan
menyatakan adanya kesepakatan waktu dalam aqad, dan tambahan dari sewa juga
sesuatu yang disepakati (Ali Fikri: tt:89 )
Landasan Syariah transaksi al-Ijarah adalah :
1. Al-Quran

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan


antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar

4
Sewa menyewa
13

sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (Q.S. Az Zukhruf (43): 32).

Jika mereka telah menyusukan anakmu maka berilah upah mereka (Q.S. Ath-
Thalaq (65): 6)

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Q.S.
Al-Qashash (28): 26)
2. Al-Hadits

:
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Nabi saw bersabda : berikanlah upah pada
buruh sebelum keringatnya kering
) ( . :
Dari Ibnu Abbas, Nabi saw bersabda : berbekamlah engkau, lalu berikanlah upah
pada orang yang membekam. ( HR. Bukhari Muslim)
6. SYARAT DAN KETENTUAN IJARAH
Dalam aqad Ijarah, juga ditentukan beberapa syarat:
1. Kedua belah pihak telah mumayyiz, dan tidak ada paksaan ketika melakukan aqad
2. Objek sewa bisa diserah terimakan dengan ketentuan bahwa barang tersebut milik
sah orang yang menyewakan (mu'jir)
3. Mempunyai nilai manfaat menurut syara'
4. Upah diketahui kedua belah pihak
5. Objek Ijarah tidak cacat
6. Objek adalah sesuatu yang dihalalkan syara'
7. Objek bukan kewajiban penyewa, misalnya menyewa orang untuk melakukan
shalat
14

8. Syarat ijab qabul sama dengan syarat aqad muawwadat lainnya seperti jual beli,
kecuali dalam Ijarah disyaratkan adanya waktu tertentu yang ditentukan (Affandi,
2009 : 183).
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa akad al-Qardh dan al-
Ijarah adalah akad yang diperbolehkan oleh syariat Islam, tetapi yang jadi masalah
disini adalah jika kedua akad itu digabungkan menjadi satu yaitu akad al-Qard wal
Ijarah yang digunakan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai dasar
legalitas Dana Talangan Haji yang merupakan salah satu produk mereka.
IV. PERMASALAHAN YANG MUNCUL
A. Mengenai Akad
Berdasarkan pengumuman Dewan Pengawas Syariah (DPS) Indonesia bahwa
semua lembaga keuangan syariah melakukan praktek pembiayaan talangan haji sesuai
dengan fatwa MUI yang telah kami paparkan di atas. Namun pada prakteknya, bank-
bank memilki ketentuan yang berbeda-beda, utamanya dalam hal akad.
Hasil wawancara kami pada empat bank yang berbeda pada tanggal 15 Februari
2012, yaitu BSM (Bank Syariah Mandiri), BRI Syariah, BPD Syariah, dan Bank
Muamalat, diperoleh informasi adanya praktek talangan haji sebagai berikut :
1. BPD Syariah melaksanakan program talangan haji dengan akad Multi ijarah semata.
Dalam prakteknya pelunasan dilakukan dengan dana angsuran perbulan. Bank
tersebut membatasi masa pelunasan sampai 4 tahun dengan ketentuan marginnya 7,2
%. Artinya pembayaran harus lunas sebelum berangkat haji, jika si peminjam tidak
bisa melunasinya tepat sesuai dengan waktu yang telah disepakati, maka kursi (seat)
akan dibatalkan dan uang pinjaman akan dikembalikan pada bank, sedangkan
angsuran akan dikembalikan kepada nasabah dipotong biaya administrasi yang
dibayarkan dimuka sebesar Rp 250.000. (hasil wawancara pada BPD Syariah Jln.
Cik Ditiro dengan costumer service saudari Rini)
2. Bank Muamalat Indonesia, melaksanakan program talangan haji dengan akad qardh,
namun sebagai administrasi memakai aqad ijarah. Batas pembayaran selama satu
tahun, tanpa adanya tambahan dari jumlah pokok pinjaman. Sesuai dengan aqad
qardh yang dipakai, jika tidak bisa melunasi tepat pada waktunya, maka akan diberi
15

waktu maksimal 6 bulan. Jika dalam masa tambahan tersebut belum juga bisa
melunasi, maka dana talangan akan ditarik, kursi akan dibatalkan dan angsuran
nasabah dikembalikan dipotong biaya adminsitrasi yang dibayar dimuka sebesar Rp
2.500.000. (hasil wawancara pada Bank Muammalat jln. Mangkubumi dengan
costumer service saudari Gita)
3. Bank Syariah Mandiri, pembiayaan talangan haji yang dilakukan menggunakan akad
al-qardh wa al-ijarah mengacu pada fatwa MUI di atas. Ketentuannya yaitu dengan
membayar ujrah dimuka sebesar Rp 2.000.000. Masa pelunasan maksimal 3 tahun,
dengan tambahan waktu 6 bulan jika dalam masa 3 tahun tersebut belum bisa
melunasi. Pelunasan tidak menggunakan system angsuran per bulan, dalam artian
tidak ada jumlah tertentu yang harus dibayarkan per bulannya. Peminjam diberikan
kebebasan membayar berapapun, yang penting ketika jatuh tempo sudah lunas. Uang
pinjaman yang nantinya dikembalikan hanyalah jumlah pokok pinjaman, tanpa ada
tambahan.
4. Bank Rakyat Indonesia Syariah, sebatas informasi yang kami terima dari costumer
service bank tersebut, menunjukkan bahwa ketentuan pembiayaan talangan haji
hampir sama dengan BSM yaitu dengan akad al-qardh wa al-ijarah. Perbedaannya
hanya pada ketentuan teknis talangan haji dan besar talangan yang diberikan pada
nasabah, misalnya untuk jangka waktu pengembalian pinjaman pada BSM jangka
waktunya 3 tahun sedangkan untuk BRI Syariah 5 tahun dan untuk besar talangan
haji pada BSM sebesar 5 25juta sedangkan pada BRI Syariah 10-23juta.
Hasil wawancara ini menunjukan bahwa bank melaksanakan program talangan haji
dengan beberapa akad, diantaranya : al-qardh, al-ijarah multi jasa, dan al-qardh wal
ijarah. Berangkat dari praktek akad talangan haji ini, kami akan mencoba untuk
menganalisisnya.
1. Al-qardh wa al-ijarah
Pada umumnya mereka yang mengharamkan praktik ini berargumen bahwa
dalam praktik semacam ini ada unsur riba terselubung yaitu uang sewa (ujrah)
yang diterima oleh kreditur. Mereka juga berdalih bahwa menggabungkan dua
akad dalam satu transaksi itu tidak diperbolehkan dalam syariah. Namun jika
kita kembali cermati contoh transaksi di atas maka sama sekali tidak terkandung
16

adanya unsur riba. Contoh di atas jelas menunjukkan bahwa akad qardh dalam
transaksi tersebut tidak mensyaratkan imbalan tambahan, nasabah hanya
mengembalikan jumlah pokok pinjaman yang ia terima. Sedangkan biaya
administrasi/ujrah yang dibebankan kepada nasabah hanyalah imbalan atas jasa
pengurusan haji, sebagaimana diketahui bahwa al-ijarah ada dua jenis; yaitu
ijarah al-maal (sewa barang) dan ijarah al-amal (sewa jasa). Jadi secara akad,
baik qardh maupun ijarah dalam praktik ini tidak ada masalah, karena sudah
sesuai dengan prinsip qardh dan ijarah di atas.
Dari sini kemudian muncul persoalan baru, bukankah yang demikian berarti
menggabungkan dua akad dalam satu transaksi atau yang sekarang lebih populer
dengan istilah hybrid contract (multi akad) ?. Memang ada yang menyanggah
bahwa ini bukanlah menggabungkan dua akad, dengan beralasan bahwa dua
akad tersebut adalah untuk dua jenis obyek yang berbeda, yaitu uang dan jasa.
Pertama, akad al-qard (pinjaman) dengan obyek uang, di sini nasabah hanya
mengembalikan sejumlah yang dipinjam. Kedua, akad ijarah al `amal (sewa
jasa), yaitu jasa pengurusan haji. Namun menurut penulis, argument tersebut
tidak bisa menunjukkan bahwa praktik ini bukanlah menggabungkan dua akad.
Karena yang dimaksud dengan menggabungkan dua akad adalah
menggabungkan dua akad dalam satu transaksi. Jadi, meskipun dengan dua
objek yang berbeda, praktik ini tetap dikatakan menggabungkan dua akad.
Karena masih dalam lingkup satu transaksi pembiayaan talangan haji.
Karenanya, penulis akan membahas tentang bagaimana pendapat di kalangan
para ulama tentang multi akad ini.
Ada tiga buah hadits Nabi Saw yang menunjukkan larangan penggunaan hybrid
contract. Ketiga hadits itu berisi tiga larangan :
Pertama, larangan bay dan salaf, (Imam Malik:tt: II:657).

Kedua, larangan baiataini fi baiatin (at-Tirmidzi: 1999: III: 533).
17

:
Ketiga, larangan shafqataini fi shafqatin (al-Bashri: 1998: V: 384)

Ketiga hadits itulah yang selalu dijadikan rujukan para konsultan dan
banker syariah tentang larangan two in one. Namun harus dicatat, larangan itu
hanya berlaku kepada dua kasus, karena maksud hadits kedua dan ketiga sama,
walaupun redaksinya berbeda.
Buku-buku teks fikih muamalah kontemporer, menyebut istilah hybrid
contract dengan istilah yang beragam, seperti al-uqd al-murakkabah, al-
uqd al-mutaaddidah , al-uqd al-mutaqbilah,al-uqd al-mujtamiah, dan
al-Ukud al-Mukhtalitah, Namun istilah yang paling populer ada dua macam ,
yaitu al-ukud al-murakkabah dan al-ukud al mujtamiah.
Al-Imrani dalam buku Al-Ukud al-Maliyah al-Murakkabah
mendefinisikan hybrid contract yaitu Kesepakatan dua pihak untuk
melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih seperti jual
beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzaraah, sahraf
(penukaran mata uang), syirkah, mudharabah dst. sehingga semua akibat
hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.
Ada beberapa pandangan di kalangan ulama mengenai multi akad :
1. Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama
Syafiiyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah
sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan
beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak
diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang
18

mengharamkan atau membatalkannya (al-Imrani: tt: 69) Kecuali
menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba,
seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya
larangan hadits me\nggabungkan jual beli dan qardh. Demikian pula
menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi.
2. Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah
boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram
kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang
disyariatkan(Ibnu Taimiyah: 1989: II: 317)
3. Nazih Hammad dalam buku al-Uqd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-
Islmy menuliskan, Hukum dasar dalam syara adalah bolehnya
melakukan transaksi hybrid contract , selama setiap akad yang
membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak
ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu
tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang
diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai
pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan
melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
4. Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal
dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh
agama (al-Qayyim: tt: 344)
Al-Sytiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan
muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (taabbud)
apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan
hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada
praktiknya (iltift ila many). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan
atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang
muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan
yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan
melaksanakan (taabbud) (asy-Syatibi: 2000: 284)
19

Dari pandangan ulama-ulama di atas, dapat diketahui bahwa multi aqad
pada dasarnya dibolehkan karena penggabungan akad pada masa sekarang
merupakan sebuah kensicayaan. Akan tetapi, yang harus diperhatikan bahwa
penggabungan aqad tersebut tidak menimbulkan riba.
Kemudian, jika kita melihat aqad yang digabungkan dalam praktek
talangan haji adalah aqad tabarruat yaitu qardh dan aqad muawwadat yaitu
ijarah. Kedua jenis aqad ini memiliki orientasi yang sangat berbeda. Aqad
tabarruat merupakan aqad sosial, tidak bertujuan untuk mencari keuntungan.
Sementara aqad muawwadat merupakan aqad komersil, aqad yang digunakan
untuk mendapatkan keuntungan. Jika keduanya digabungkan maka berpotensi
menimbulkan riba karena merusak masing-masing tujuan dari kedua aqad
tersebut.
Sehingga penggabungan dua aqad dalam dana talangan haji ini, sudah
masuk dalam wilayah pelarangan hadits Nabi saw, sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah:

Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan


menggabungkan antara aqad komersial dengan aqad sosial. Yang demikian itu
karena keduanya(orang yang beraqad) menjalin aqad sosial karena adanya
aqad komersial antara mereka. Dengan demikian aqad sosial itu tidak
sepenuhnya sosial. bahkan aqad sosial secara tidak langsung menjadi bagian
dari nilai transaksi dalam aqad komersial." (Ibnu Taimiyah, 1987 : 39).
Dari kesimpulan yang ditetapkan oleh ibnu Taimiyah, kita dapat
mengetahui bahwa yang menjadi Illat larangan Rasulullah menggabungkan dua
aqad, ialah adanya perbedaan asas aqad tersebut yaitu asas komersial dan asas
20

sosial. Hal ini disebabkan karena penggabungan itu menyebabkan motif
sosialnya tidak murni lagi tapi menjadi mencari keuntungan, dan keuntungan
itulah yang rentan menjadi riba, sehingga selama illat ini ada maka hukum
hadits diatas bisa diterapkan bagi aqad yang lain, semisal penggabungan aqad
Qardh dan Ijarah dalam praktek talangan haji, hal ini berdasarkan kaidah ushul
fiqih:

Hukum itu berlaku berdasarkan ada tidak adanya illat
2. Al-Qardh Semata
Sesuai yang telah kami jelaskan pada hukum al-qardh, bahwa al-qardh
mengikuti hukum taklifi yang bisa berubah, mulai dari dianjurkan hingga
dilarang. Perubahan tersebut didasarkan pada praktek aqad yang dilakukan. Pada
Bank Muamalat yang mendasarkan aqadnya dengan al-qardh ternyata pada
prakteknya masih menggabungkan aqad al-qardh dengan ijarah meskipun tidak
dipaparkan secara tertulis. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara kami, bahwa
Bank Muamalat Indonesia masih menarik biaya administrasi sebesar 2,5 juta
sebagai jasa kepengurusan haji tanpa memperinci biaya administrasinya.
Bahkan costumer service bank tersebut memberikan keterangan bahwa
administrasi ini didasarkan pada aqad ijarah. Oleh karena itu, meski secara
tertulis aqadnya al-qardh tapi pada prakteknya masih menggabungkan dengan
aqad ijarah, sedangkan penggabungan dua aqad ini tidak diperbolehkan
sebagaimana yang kami paparkan diatas.
3. Ijarah (multi jasa)
Pada bank yang menggunakan aqad ini, seperti BPD Syariah,
sebenarnya tidak murni ijarah. Karena bank tersebut tetap meminjamkan uang
kepada nasabah dengan adanya tambahan (margin sebesar 7,2 persen). Bank
tersebut tidak mengakui bahwa pinjaman tersebut sebagai al-Qardh tetapi
sebagai jasa bantuan bagi orang yang ingin melaksanakan ibadah haji agar
mendapatkan seat (kursi) lebih cepat. Sepintas praktek seperti ini tidak ada
masalah, apalagi dengan niat membantu orang, tetapi menurut penulis praktek
seperti ini tidak dibenarkan karena pada dasarnya jasa uang dalam konteks ini
21

harusnya memakai prinsip al-Qardh sebab bertujuan untuk membantu orang lain
(aqad sosial/muawwad) yang tidak boleh menetapkan biaya tambahan. Jika
terdapat biaya tambahan maka akan menimbulkan larangan sesuai qaidah fiqh
yang disampaikan Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni:

Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa
ada perbedaan pendapat. (Qudamah tt : 432 ).





B. Mengenai ke-Istithoan seseorang
Dalil yang menjadi dasar hukum kewajiban ibadah haji adalah surat ali imran ayat 97 :

padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barang


siapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah, barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka
sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Ayat diatas dalam ilmu ushul fiqh termasuk dalam pembahasan takhsis, yaitu
mengecualikan sebagian dari lafadz umum. Pada mulanya dalam ayat tersebut
disebutkan bahwa haji diwajibkan bagi seluruh umat islam, tapi di akhir lafadz ada
pengecualian dengan bentuk badal

, yakni bagi yang sudah mampu.


Dari sinilah kemudian muncul pendapat-pendapat dalam memahami maksud istithaah
dalam ayat tersebut.
22

Dimaksudkan dengan ististhaah dalam firman-Nya man istathaaa ilaihi sabiilan
ialah mempunyai bekal dan mampu dalam perjalanan, sebagaimana disebutkan dalam
suatu hadis;

( .


8 : 713 )
Dari Anas r.a. ia berkata: Rasululullah SAW ditanya; Hai Rasulullah, apakah yang
dimaksudkan dengan as-sabil (jalan)? Beliau menjawab; bekal dan perjalanan.
(Ditakhrijkan oleh ad-Daruqutniy, dan dinilai sahih oleh al-Hakim; as-Sananiy, 1960,
Subulus Salam, II : 179).
Dari hadis tersebut jumhur ulama berpendapat, bahwa yang dimaksudkan dengan
istithaah ialah mampu dalam perjalanan dan perbelanjaan, atau bekal. Uang belanja
cukup bagi dirinya dan bagi keluarga yang ditinggalkan, aman dalam perjalanan, dan
dirinya dalam keadaan sehat. (as-Sananiy, 1960: II : 179).
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Hakim, dan beliau juga
mensahihkannya (Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz V:13). Dijelaskan pula bahwa yang
dimaksud dengan bekal oleh kebanyakan ulama adalah bekal untuk dirinya dan
keluarganya sampai ia pulang dari tanah suci (menunaikan ibadah haji).
Ibnu zubair, atha, ikrimah dan malik berpendapat bahwa al istithaah adalah kesehatan,
bukan yg lainnya
Selain pendapat-pendapat di atas, kiranya kita pun perlu menyimak perkataan
imam Al-Jashsh. Beliau menjelaskan makna isthithah tidak hanya terbatas pada
bekal dan kendaraan. Sebab, seseorang yang sedang sakit keras, orang tua yang tidak
mampu lagi menempuh perjalanan ( ), az-zamin, dan semua orang
yang kesulitan melakukan ibadah haji haji termasuk dalam kategori orang yang tidak
mempunyai isthithah, meskipun ia memiliki bekal dan kendaraan. Sehingga, bekal
dan kendaraan bukan merupakan syarat mutlak tanpa mempertimbangkan hal-hal
lainnya.
Mengenai makna Istithah ini para pengikut madzhab yang empat juga
berpendapat :
23

Hanafiyah berpendapat bahwa Istithah itu ada tiga, yaitu memiliki badan
(tubuh) yang sehat, memiliki bekal dan biaya perjalanan, dan memiliki jaminan
keamanan (az-Zuhaily: 2006: 2082).
Malikiyah berpendapat bahwa Istithah adalah memungkinkannya seseorang
sampai di Makkah, baik dengan berjalan atau dengan berkendara. Pengikut Imam Malik
(Malikiyah) juga mensyaratkan Istithah dengan terpenuhinya tiga hal, yaitu memiliki
badan yang kuat, adanya bekal yang dimampui oleh seseorang, dan banyaknya jalan
yang bisa dilalui untuk pergi ke Makkah, baik melalui darat, laut maupun udara (az-
Zuhaily: 2006: III: 2050).
Mengenai Istithah ini Syafiiyah sependapat dengan Malikiyah, yaitu memiliki
badan yang mampu (sehat), memiliki harta, baik bekal dan biaya perjalanan, dan adanya
kendaraan untuk melakukan perjalanan (az-Zuhaily: 2006: III: 2087)
Hanabilah (pengikut Imam Ahmad ibn Hambal) berpendapat bahwa Istithah itu
hanya disyaratkan memiliki bekal dan biaya perjalanan (az-Zuhaily: 2006: III: 2089)
Dari semua pendapat di atas, maka dapat kita rangkum makna istithaah ke dalam 3
cakupan makna :
Pertama, Kesehatan jasmani, berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Abbas r.a :
4
4
Bahwasanya seorang wanita dari Khatsam berkata: Wahai Rasulullah ,
sesungguhnya ayahku telah diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji disaat dia telah
tua renta, dia tidak mampu untuk tetap bertahan diatas kendaraan, apakah aku
melaksanakan haji untuk mewakilinya? (al-Baihaqy: 1991: VII: 14)
Kedua, Memiliki bekal yang cukup untuk pergi dan kembali, serta mencukupi segala
hajat atau kebutuhanya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya
dalam hal nafkah. Hal ini berdasarkan hadits nabi saw :

":

"
24

"Dari Abdullah bin Umar, Nabi saw bersabda : Cukuplah dosa bagi seseorang (tatkala)
dia menyia-nyiakan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya" ( Abu Dawud: ttb:
II: 59).
Ketiga, Keamanan dalam perjalanan, hal ini disebabkan karena mewajibkan ibadah haji
yang tidak disertai dengan jaminan keamanan selama perjalanan merupakan sesuatu
yang berbahaya (dharar), padahal menurut ketentuan syariat bahwa (sesuatu
yang berbahaya harus dihindari). Jika ketiga syarat diatas telah terpenuhi maka telah
wajib bagi seseorang untuk melaksanakan ibadah haji bagi laki-laki maupun perempuan.
Mengingat bahwa haji sebagai sebuah kewajiban (rukun Islam yang kelima),
maka hendaknya setiap orang Islam yang diberi keluasan rizki bercita-cita dan berusaha
untuk dapat menunaikan ibadah haji dengan terlebih dahulu berupaya untuk dapat
memiliki bekalnya sebagai sarana dapat dilakukan ibadah haji itu. Dalam qaidah
ushuliyah ditegaskan:

Artinya : Hukum bagi sarana sama dengan hukum tujuannya.



Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan bahwa bagi
orang Islam yang diberi keluasan rizki wajib untuk berusaha agar memiliki bekal guna
dapat menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, menabung dan mengikrarkan untuk
biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), merupakan perbuatan bijak dan terpuji.
Penabungnya dapat dikatakan sebagai hamba Allah yang sungguh-sungguh berupaya
untuk dapat melaksanakan ibadah haji. Uang tabungan haji ini hendaknya dijaga
sedemikian rupa agar tidak digunakan untuk keperluan lain, sehingga maksud dari
menabung dapat menjadi kenyataan. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki
tabungan tapi berkeinginan menunaikan ibadah haji. Dari sinilah muncul salah satu
produk Lembaga Keuangan Syariah yang disebut dengan Dana Talangan Haji guna
membantu mereka yang berkeinginan menunaikan ibadah haji tapi mempunyai kendala
keuangan. Sepintas tujuan dari adanya dana talangan haji ini baik, tapi ternyata dengan
adanya program tersebut menimbulkan banyak permasalahan, baik dari tinjauan status
hukum dan manfaatnya secara syari. untuk lebih rincinya akan dibahas dalam
25

pembahasan mengenai manfaat dan mudharat program dana talangan haji pada
penjelasan dibawah ini.
C. Manfaat dan mudharat dari program dana talangan haji
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah produk tentu memiliki sisi positif dan
negatif. Manfaat utama dari produk ini adalah memberikan bantuan kepada masyarakat
untuk melaksanakan salah rukun Islam yakni berhaji ke Baitullah. Sehingga ia bisa saja
dianggap sebagai bagian dari fath al-dzariah. Di samping itu produk ini memiliki
peminat yang cukup banyak sehingga berpotensi memajukan Lembaga Keuangan
Syariah sebagai instrument ekonomi umat Islam.
Namun demikian ada banyak mudarat yang timbul dari praktek dana talangan haji
ini, baik ditinjau dari aspek syariah yakni keabsahan akadnya yang sangat riskan
menjatuhkan kepada riba tersembunyi, karena dalam akad ini terjadi penggabungan
antara akad al-qardh dan al-ijarah dengan mensyaratkan adanya tambahan imbalan
sebagai jasa, bahkan tambahan tersebut besarnya tergantung pada masa pinjaman (Riba
an-Nasiah), sebagaimana firman Allah swt :
-g~-.- 4pOU4C W-_O4@O-
4pON`O4C ) EE NO4C Og~-.-
+O7C*:EC44C }C^OO=- =}g` +pE^-
_ ElgO _^^) W-EO7~ E^^)
7^O4l^- Nu1g` W-_O4@O-
EEO4 +.- E7^O4l^- 4OEO4
W-_O4@O- _ }E +47.~E} OgNO4`
}g)` gO)O _OE_4^ N- 4`
E-UEc +NO^`4 O) *.- W ;4`4
E14N Elj^q CUE; jOEL- W
- OgOg ])-E= ^g_)

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari
26

Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya (al-Baqarah : 275 ).
Juga hadist :
.
) . ( :
Menceritakan kepada kami Abdullah bin Said, menceritakan kepada kami Abdullah
bin Idris dari Abi Masyar dari Said al-Muqbiri dari Abi Hurairah berkata. bersabda
Rasulullah saw: Riba ada tujuh puluh dosa, yang paling ringan adalah (sama dengan)
dosa orang yang berzina dengan ibunya. ( HR. Ibnu Majah)
" "

Dari Jabir Radliyallaahu anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam


melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya.
Beliau bersabda: Mereka itu sama. ( HR. Muslim, Subulus Salam, Juz 3, hal. 36)
Hal ini tidak diperbolehkan, karena selain hukum dari riba itu sendiri haram juga setiap
qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan termasuk riba, meski besarnya tak
didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
Jika dilihat dari aspek sosial, sebuah media lokal yakni Kabar Cirebon pada hari
Rabu, 05 Oktober 2011 menurunkan berita berjudul Dana Talangan Haji Harus
Dihentikan, yang intinya menyatakan bahwa adanya dana talangan haji menyebabkan
berbondong-bondongnya masyarakat untuk mendaftarkan diri guna mendapatkan seat
haji dengan bantuan dari dana talangan haji meskipun sebenarnya mereka belum
sanggup membayarnya. Hal ini menyebabkan membengkaknya peserta tunggu sehingga
banyak orang yang sebenarnya sudah mampu namun diserobot antriannya oleh
mereka yang memakai jasa talangan haji dan antriannya mundur bahkan sampai tahun
27

2017. Jika berita itu dimuat pada tahun 2011, maka kita dapat membayangkan apa yang
terjadi jika produk ini tetap dijalankan oleh LKS pada tahun-tahun yang akan datang. Di
media lain yakni situs Media Islam (www.media-islam.or.id) ada pengunjung situs
tersebut yang mengeluhkan tentang orang tuanya yang tidak mendapatkan lagi jatah seat
hingga bertahun-tahun yang akan datang padahal orang tuanya itu sudah tergolong
mampu, penyebabnya adalah membludaknya pendaftar sebab banyak orang yang
memakai dana talangan haji. Kedua fakta ini bisa saja merupakan fenomena gunung es,
yang muncul dipermukaan hanya beberapa kasus padahal di lapangan hal ini telah
terjadi cukup banyak. Dalam ushul fikih kita mengenal kaidah yang berbunyi ;

Artinya : menolak kemudaratan lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Dana talangan haji dibolehkan oleh DSN atas dasar kebolehan akad qardh dan ijarah yang
menjadi komponen akadnya.
2. Status akad gabungan qardh dan ijarah dalam produk ini sangat rentan terjatuh pada
praktek riba terselubung. Padahal riba sangat dicela oleh agama, atau setidaknya masih
berupa hal syubhat yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk dijauhi dalam sabdanya :

Artinya : Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas dan yang harampun telah jelas.
Diantara keduanya terdapat perkara-perkara mutasyabihat yang tidak diketahui
sebagian besar manusia. Maka barang siapa yang berhati-hati terhadap perkara-
perkara mutasyabihat maka ia sugguh telah menjaga agama serta kehormatannya. Dan
28

barang siapa yang terjatuh ke dalam perkara yang syubhat, maka ia telah terjatuh ke
dalam hal yang haram. (HR. Muslim).

3. Jika melihat pengertian isthita'ah yang merupakan syarat kewajiban haji, sebenarnya
orang yang memakai jasa talangan haji belum bisa dikatakan memenuhi syarat tersebut,
sehingga ia belum dikenai kewajiban berhaji. Justru jika ia memaksakan diri dengan
berhutang kepada LKS, maka ada kemungkinan ia akan menyusahkan dirinya sendiri
padahal Allah sendiri memberikan beban (taklif) kepada hamba-Nya sesuai kesanggupan
hamba tersebut, Allah swt berfirman :


Artinya : Allah tidak membebani seseorang kecuali yang sesuai kemampuannya (Al-
Baqarah : 268).
4. Meskipun memiliki manfaat bagi sebagian umat Islam, dana talangan haji ternyata
mengandung mudarat yang tidak sedikit, baik ditinjau dari aspek syari maupun dari
aspek kemaslahatan sosial. Maka dalam keadaan seperti ini mencegah kemudaratan harus
diutamakan dari pada mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan kaidah :

Artinya : menolak kemudaratan lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan.
5. Lebih jauh lagi, dengan memakai metode sadd al-dzariah dana talangan haji sangat
mungkin diharamkan untuk mencegah kemudaratan yang dikandungnya.
6. Jika kita menerima argument mereka yang membolehkannya, tetap saja pendapat ulama-
ulama yang melarang praktek ini tidak bisa diabaikan, sehingga dapat dikatakan bahwa
telah terjadi ikhtilaf seputar hukum talangan haji ini. Maka yang perlu dilakukan adalah
mecari khuruj (jalan keluar) dari perselisihan ini, sesuai kaidah :

Artinya : keluar dari suatu perselisihan pendapat itu disukai.


29

7. Jika ada pendapat yang membolehkan namun yang lain mengharamkan, maka jalan
keluar yang paling aman dan menentramkan adalah mengikuti pendapat yang
melarangnya. Dalam kitab al-Asybah wa an-Nazhair al-Sayuti menyebutkan sebuah
kaidah fikih :

Artinya : jika berkumpul haram dan halal, maka keharaman dimenangkan.(al-Sayuti,


1983 : 209).
As-Sayuti juga menukil perkataan para Imam :
:
Artinya : para Imam berkata : mengharamkan lebih disukai dari membolehkan, karena
pada pengharaman kita meninggalkan yang mubah untuk menjauhi yang haram dan itu
lebih utama daripada melakukan hal yang sebaliknya. (al-Sayuti, 1983 : 209).

8. Bagi umat Islam untuk memenuhi perintah Allah swt kepada kita yakni melaksanakan
ibadah haji, selain dana talangan haji ini kita masih bisa menabung untuk haji. Dengan
cara seperti itu hati lebih tentram dan ketika melaksanakannya, juga kita memang telah
termasuk hamba-Nya yang mampu.
VI. PENUTUP
Demikianlah paparan singkat seputar permasalahan dana talangan haji yang akhir-
akhir ini sedang menjadi trend dan marak dilakukan oleh banyak kalangan. Dari pemaparan
diatas kami berpendapat bahwa dana talangan haji tidak boleh digunakan karena beberapa
pertimbangan yang telah dipaparkan diatas.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya ada banyak kesalahan dan kekurangan.
Oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca, ustadz dan para guru sangat diperlukan
guna membantu memperbaiki dan memperkaya khazanah keilmuan dalam studi ini.


30








DAFTAR PUSTAKA
----------, 2002, Taisr al-Allm Syarh Umdah al-Ahkm, Iskandaria: Dr al-Aqdah.
------------, 2003, al-dur al-mantsur fi al-tafsir bi al-matsur, Darul Hijr, Mesir
Imrni al, tt, Al-uqd al-Mliyah al-Murakkabah, ttb
Abdurrahman,Asjmuni, 1976, Qaedah-qaedah Fiqh (Qawaidul Fiqhiyah), Bulan Bintang,
Jakarta
Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama, Thn 2002.
lu Bassm, Abdullah bin Abd ar-Rahmn, 2008, Taudlh al-Ahkm Min Bulgh al-Marm,
kairo: Jannah al-Afkr al-Qhirah.
Ash-Shbuniy, Muhammad Ali, 2007, RawI al-Bayn Tafsr yt al-Ahkm, Kairo: Dr Ash-
Shbuniy.
Ash-Shanniy, 2006, Subul as-Salm, Lebanon: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah.
As-Syaukani, 2000, Nailul Author, Lebanon : Darul Hadits: Beirut
Bahri al, 1998, Musnad al-Bazzar,ttb
Fikri. Ali, tt, Al-Mumalah al-Madiyah al- adabiyah, Al-Mathbah al-Musthafa al-Bany , Mesir
Gufron A. Masadi, 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet.1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ibn al-Qayyim,tt, Ilm al-Muwaqqin, ttb
Ibn Taimiyah, 1989, Jmi al-Rasil, ttb
Ibnu Katsir, 2008, Tafsr Ibnu Katsr, Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibnu Najr, 1997, Syarh al-Kaukab al-Munr, (Al-Maktabah Asy-Symilah)
31

Ibnu Taimiyah, Taqy al-Din, 1987, al-Fatawa al-Kubra, Dar al-Kutub al-Ilmiyah : Beirut
Malik, 2005, al-Muwatto,Dar al-Ghad al-Jadid: Kairo
Munawir, A.W, 1997, Kamus al-Munawir, Pustaka Progresif: Surabaya
Sbiq, As-Sayyid, 2001, Fiqh As-Sunnah, Kairo: Dr al-Fath li Ilm al-Arabiy.
Sayuthi al, 1983, al-asybah wa al-nadhoir, dar al-kutub al-ilmiyyah, Lebanon
Sytiby al, 2000, al-Muwfaqt fii Ushul asy-Syariah, Darul Fikr: Damaskus
Tanya jawab Agama PP Tarjih Muhammadiyah, 2003, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta
Tirmidzi at, 1999, Sunan at-Tirmidzi, Dar Ihya al-Turots al-arabi: Mesir
Zuhaily, Wahbah, 2006, Fiqh Islam wa adillatuhu, Darul Fikr: Damaskus

También podría gustarte