Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Maslahat adalah satu term yang bisa jadi paling populer bila sedang berbicara
mengenai hukum Islam. Hal tersebut disebabkan maslahat merupakan tujuan syara
(maqashid syariah) dari ditetapkannya hukum Islam. Maslahat di sini berarti jalbul
manfaah wa daful mafsadah (menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan).
1
Meski demikian, keberadaan maslahat sebagai bagian tak terpisahkan dalam hukum
Islam tetap menghadirkan banyak polemik dan perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Baik sejak ushul fiqh masih berada pada masa sahabat, masa imam madzhab,
maupun pada masa ulama kontemporer saat ini.
Menempatkan maslahat sebagai sebuah kajian, ternyata merupakan persoalan
yang lumayan dilematis. Di satu sisi, sebagaimana ditemui dalam banyak literatur
turats, maslahat sudah terbentuk sebagai tatanan teori yang baku. Sehingga kajian
terhadap maslahat otomatis lebih cenderung kepada kajian teoritis yang kaku dan
tidak menarik sebagaimana disinyalir Musthafa Al-Khan dalam disertasi
doktoralnya. Sementara di sisi lain, maslahat dalam pengertian yang luas merupakan
lahan subur bagi upaya pemberian muatan hukum syariat kepada qadhiyah-qadhiyah
(persoalan hukum) kontemporer yang memang belum tersentuh sama sekali oleh
dalil-dalil yang sharih (jelas).
2
Perbedaan penentuan pola, kriteria, dan prioritas maslahat tidak jarang justru
melahirkan sebuah mafsadat berupa pertikaian antara sesama kaum muslim. Perang
Jamal, pada masa Kholifah Ali RA, yang telah mengorbankan beribu-ribu putra
terbaik Islam misalnya, hanyalah bermula dari perbedaan pandangan di dalam
menentukan skala prioritas maslahat, apakah harus mencari para pelaku kerusuhan
1
Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hal.
171-182.
2
Ahmad Nadhif Mudjib dan Afifuddin Harisah. Maslahat, Antara Syariah dan Filsafat,
dikutip dari pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/ Jan96/5.htm, diakses 21 Oktober
2007
2
dan pembunuhan terhadap kholifah Utsman RA, ataukah harus ditertibkan dahulu
negara dengan membaiat seluruh rakyat baru kemudian melacak para perusuh.
3
Dalam konteks Indonesia misalnya, penentuan awal syawal yang pada dua
tahun terakhir selalu mengalami perbedaan pendapat bisa diangkat sebagai contoh.
4
Pemerintah belum mampu menyatukan pendapat dari berbagai organisasi Islam yang
ada di Indonesia. Bila ditinjau dari kaca mata maslahat, penyelesaian polemik
semacam ini tetap saja melahirkan perbedaan. Satu kelompok menyatakan bahwa
merupakan suatu kemaslahatan bila pemerintah menetapkan 1 syawal melalui
undang-undang atau peraturan formal lainnya, sehingga akan terjadi kesatuan kaum
muslim. Sedang kelompok lain justru menganggap hal itu melanggar nilai-nilai
maslahat. Karena kebebasan menjalankan kepercayaan agama adalah salah satu dari
maslahat primer (dlaruriyah) yang harus dilindungi dan tidak boleh diintervensi.
5
Begitu juga yang terjadi dalam polemik seputar ATM Kondom, Legalisasi
Lokalisasi, Hukuman mati, dan kasus lainnya. Semua jawabannya kembali pada
konsep maslahat yang diyakini masing-masing. Dan sekali lagi, perdebatan semacam
ini ujung-ujungnya akan sampai pada perdebatan peran akal dan wahyu. Oleh
karenanya, perlu dikemukakan bahwa sejauh mengenai hubungan maslahat dengan
nash syara, para fuqaha sendiri terbagi menjadi tiga golongan:
1. Golongan yang hanya berpegang pada nash saja dan mengambil dzahir nash
serta tidak melihat pada suatu kemaslahatan yang tersirat dalam nash itu.
Demikianlah kehadiran golongan dzahiriyah, golongan yang menolak qiyas.
Mereka mengatakan Tak ada kemaslahatan melainkan yang didatangkan
syara.
2. Golongan yang berusaha mencari maslahat dari nash untuk mengetahui illat-
illat nash, maksud dan tujuan-tujuannya. Golongan ini mengqiyaskan segala
yang terdapat padanya maslahat kepada nash yang mengandung maslahat itu.
Hanya saja mereka tidak menghargai mashlahat terkecuali ada syahid
(persaksian). Jadi maslahat yang mereka i'tibar-kan hanyalah maslahat yang
3
Ali Audah, Ali Bin Abi Tholib; Sampai Kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Litera
AntarNusa, 2007), hal. 231-242
4
NU dan Muhammadiyah Belum Sepakat Soal 1 Syawal, dikutip dari www.antara.co.id,
diakses 21 Oktober 2007.
5
Abu Ishaq Al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syariat, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah,
2003), II: 7.
3
disaksikan oleh suatu nash atau dalil. Dan inilah yang mereka jadikan illat
qiyas.
3. Golongan yang menetapkan setiap mashlahat yang masuk ke dalam jenis
maslahat yang ditetapkan oleh syara. Maka walaupun tidak disaksikan oleh
sesuatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu
dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan mashlahah mursalah.
6
Perjalanan maslahat di era modern, cenderung mengukuhkan maslahat
sebagai metode yang menggusur kekakuan hukum Islam, dan mendukung hukum
Islam yang bersifat adaptif terhadap perubahan. Oleh karenanya, maslahat sering kali
menjadi nilai tanpa batas yang sering dibuat sebagai dasar argumentasi solusi hukum
kontemporer. Bahkan di tangan Najmuddin al-Tufi, maslahat dijadikan hujjah terkuat
yang secara mandiri dapat dijadikan landasan hukum.
7
Dasar ini pula yang menurut penulis banyak mengilhami kaum liberal di
Indonesia untuk meletakkan peran akal di atas nash.
8
Sebagaimana diungkap Zuli
Qodir, bahwa teks-teks wacana yang dibawa Islam Liberal mempunyai visi-misi
terciptanya masyarakat muslim yang modern (maju), toleran, terbuka, humanis,
dialogis, dinamis, inklusif dan pluralis. Penggunaan peran akal yang sangat dominan
dan tujuan mulia dari Islam Liberal tersebut didasarkan pada fakta bahwa fikih yang
ada saat ini diyakini tidak lagi menyuarakan kemaslahatan.
9
Oleh karenanya,
Moqshit Ghazali, salah seorang kontributor JIL berani merumuskan kaidah jawazu
naskhi al-nushush al-juziyyah bi al-mashlahat (bolehnya mengamandemen teks-teks
partikular dengan maslahat).
10
Belum adanya batasan penggunaan maslahat inilah yang mengilhami Majelis
Ulama Indonesia untuk mengeluarkan fatwa mengenai kriteria maslahat pada Munas
yang kelima. Fatwa ini jelas merupakan jawaban yang dirumuskan MUI untuk
menyikapi fenomena yang berusaha dikembangkan JIL. Pertarungan MUI dan JIL
6
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Itishom. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), hal. 354.
7
Ensiklopedi Hukum Islam, Abdul Azis Dahlan (ed), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2001), hal. 1147, artikel maslahat, al.
8
Ulil Abshar Abdalla. Metode Pemahaman Islam Liberal, Makalah disampaikan dalam
diskusi IIIT-Indonesia pada tanggal 1 Oktober 2002, hal. 4
9
Zuly Qodir, Islam Liberal: Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hal. 139
10
Abd. Moqshit Ghazali (peny.), Ijithad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keragaman yang
Dinamis, (Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. ix
4
dalam diskursus pemikiran memang sering kali terjadi. Hal tersebut bisa dibaca dari
wacana-wacana JIL yang hampir terus mendapat perhatian dari MUI melalui komisi
fatwanya. Bahkan dua kelompok ini bisa diibaratkan sebagai representasi dari
pertarungan Islam konservatif dan Islam progresif di Indonesia.
Akibatnya, perpecahan di kalangan umat Islam pun semakin tidak bisa
dihindari. Karena masyarakat Indonesia masih banyak yang menganggap fikih
sebagai sebuah agama. Mengkritisi fikih dikategorikan sebagai penodaan terhadap
ajaran agama. Disamping, proses penyampaian wacana yang sering kali
membingungkan masyarakat. JIL menyampaikan wacananya dengan cara yang
frontal dan terkesan sengaja melawan arus. Sedang MUI tidak jarang justru
melahirkan fatwa yang tidak produktif, seperti fatwa MUI tentang terorisme dan
Ahmadiyah yang pernah diteliti sebelumnya oleh penulis
11
.
Disinilah pentingnya memahami konsep maslahat yang ditawarkan oleh
kedua kelompok ini. Terlebih lagi, bila menggunakan teori analisis kognisi sosial
dapat dikemukakan bahwa apa yang tampak dalam teks tidak seharusnya hanya
dibaca dari bunyi harfiahnya saja. Namun juga harus melihat proses suatu teks
diproduksi, di mana proses itu melibatkan banyak komponen yang melingkupinya.
12
Karena sistem sosial politik sering kali mendapat legitimasi dari suatu sistem nilai,
ideologi bahkan agama.
13
Melalui pembacaan yang demikian, diharapkan akan
ditemukan satu titik temu mengenai konsep maslahat yang ideal untuk diterapkan di
Indonesia. Sehingga maslahat tidak hanya melangit pada dataran idealita, namun bisa
membumi dan bersifat aplikatif dalam dataran realita.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi
fokus penelitian dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
11
Robitul Firdaus, Studi Kritis terhadap Fatwa MUI No. 3 Tahun 2004 tentang Terorisme,
Karya Tulis, diikutkan dalam Pemilihan peneliti Remaja Indonesia (PPRI) Lembaga Ilmu
pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2006; Robitul Firdaus, Studi Kritis
Terhadap Fatwa MUI tentang Ahmadiyah dan Kebijakan Negara dalam Kasus Ahmadiyah, Karya
Tulis, diikutkan dalam lomba Presentasi Pemikiran Kritis Mahasiswa (PPKM) tingkat nasional pada
tanggal 2 Pebruari 2007.
12
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Pendekatan Analisis Wacana, Semiotik dan Framing.
(Bandung: Rosda Karya, 2002), hal. 73
13
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan. (Jakarta: Kompas, 2004), hal. 49
5
1. Bagaimana konsep maslahat dalam perspektif Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang tercermin melalui fatwanya tentang kriteria maslahat, ditinjau
dari sudut pandang metode yang digunakan, faktor-faktor yang melatar
belakangi dan dampaknya kepada masyarakat.
2. Bagaimana konsep maslahat dalam pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL)
terkait dengan kedudukan maslahat dalam landasan ijtihad yang mereka
kembangkan selama ini.
3. Bagaimana konsep maslahat yang ideal untuk diterapkan di Indonesia bila
ditinjau dari budaya hukum dan kondisi masyarakat Indonesia yang plural
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini dengan memperhatikan rumusan masalah di atas
adalah untuk:
1. Menganalisis fatwa MUI tentang kriteria maslahat yang ditetapkan dalam
Munas V dari tiga sudut pandang: Metode penetapannya, faktor-faktor yang
melarbelakanginya, dan dampaknya kepada pemikiran masyarakat.
2. Mendeskripsikan pandangan Jaringan Islam liberal sebagai representasi kaum
liberal di Indonesia terhadap konsep maslahat yang rentan dan memiliki
potensi untuk disalahgunakan dalam penggunaannya, terkait dengan landasan
ijtihad yang mereka kembangkan.
3. Menggagas konsep maslahat yang ideal untuk diterapkan di Indonesia yang
memiliki corak pemahaman keagamaan yang beragam di satu sisi, dan
menganut budaya hukum positif di sisi yang lain.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis (keilmuwan):
Penelitian ini akan memberikan kontribusi positif kepada para akademisi
khusunya penulis dalam upaya memahami lebih jauh tentang polemik seputar
penggunaan maslahat dalam hukum Islam. Penelitian ini juga menawarkan
model fikih yang berusaha menjadi jalan tengah bagi aliran formalis dan
substansialis yang berkembang di Indonesia. Model fikih inilah yang diharapakan
6
akan memberikan pemahaman maslahat yang ideal untuk diterapkan di
Indonesia.
Disamping itu, penelitian ini juga merupakan dukungan terhadap usaha
penambahan maupun penyempurnaan kompilasi-kompilasi hukum Islam.
Termasuk juga usaha memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia. Di sisi lain, Meskipun tidak
signifikan, namun setidaknya dengan penelitian ini diharapkan akan membawa
perkembangan terhadap dunia ilmu pengetahuan, karena penelitian ini akan
semakin menambah referensi pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan sekaligus rujukan dalam menetapkan hukum oleh pelaku ijtihad
(mujtahid).
2. Manfaat Praktis (bagi masyarakat):
Hasil penelitian atau penulisan ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman baru terhadap masyarakat luas, khususnya kaum muslimin, terkait
dengan maslahat sebagai salah satu bagian terpenting yang didaulat sebagai
tujuan syariat (maqashid syariah) dalam hukum Islam. Sehingga masyarakat
dapat memiliki frame pemikiran baru dalam menyikapi permasalahan yang ada.
Penelitian ini terutama akan bermanfaat bagi kaum muslimin yang mendambakan
internalisasi nilai-nilai Islam pada produk peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Penelitian ini juga akan bermanfaat dalam proses pengambilan
kebijakan dan dapat pula menjadi rujukan dalam penulisan selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
Berbicara mengenai maslahat dalam hukum Islam, tentu akan sejalan dengan
perkembangan hukum Islam itu sendiri. Secara aplikasi, keberadaannya telah ada
sejak periode awal Islam. Namun perumusan secara teoritis dalam bentuk utuh,
pelacakannya mungkin bisa dilakukan sejak ilmu ushul fiqh atau filsafat hukum
Islam mulai berkembang. Sebagian besar ulama meletakkan Imam Syafii sebagai
orang pertama yang dipercaya mempelopori penulisan ushul fiqh yang ada saat ini.
14
14
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, (Lentera: Jakarta, 2003), hal. xxx.
7
Mengkaji maslahat sebagai bagian dari maqahid Syariah dalam Islam tentu
tidak bisa dilepaskan dari kajian terhadap kitab Al-Muwafaqot Fi Ushul Al-Syariat
yang ditulis Al-Syatibi. Dalam kitabnya tersebut, sebagaimana tampak dari
pengakuan Syatibi tentang alasan penulisannya, ia berusaha mempertemukan dua
aliran yang seringkali dianggap bertentangan satu sama lain: ahl al-hadits (madzhab
Maliki) dan ahl al-ray (madzhab Hanafi). Ketika itu, tempat tinggal Syatibi
didominasi oleh madzhab Maliki yang menjadi madzhab resmi negara dan sangat
mengucilkan ulama madzhab Hanafi. Berangkat dari fenomena yang demikian itu,
Syatibi yang sesungguhnya bermazhab Maliki berusaha untuk mengatasi jurang
tajamnya pertentangan kedua madzhab tersebut dengan karyanya tersebut.
15
Menurut
Syatibi bahwa tujuan pokok pembuat undang-undang (syari) adalah tahqiq masalih
al-khalqi (merealisasikan kemaslahatan makhluk), dan bahwa kewajiban-kewajiaban
syariah dimaksudkan untuk memelihara al-maqasid al-syariyah.
16
Dalam madzhab Syafii, ada sebuah kitab yang ditulis oleh Izzud Din Ibn
Abdis Salam, Qowaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam yang juga berusaha
menjabarkan hakikat maslahat dalam Islam. Perbedaannya, penulis kitab ini dalam
memandang maslahat cenderung pada pemikiran tasawwuf. Sebab ia membagi
maslahat menjadi dua. Pertama, duniawiy yang bisa diketahui secara aqliy. Dan
kedua, uhkrawiy yang hanya bisa diketahui secara naqliy. Berkaitan dengan
pengetahuan akan maslahat, Ia membagi menjadi beberapa tingkatan. Yang terendah
adalah pengetahuan para orang awam, disusul oleh yang lebih tinggi berupa
pengetahuan para adzkiya (orang bijak), dan kemudian disusul yang tertinggi berupa
pengetahuan para awliya dan ashfiya.
17
Ketika perjalanan maslahat memasuki era modern, banyak orang yang
kemudian dianggap memanfaatkan maslahat untuk berpaling dari syariat. Oleh
karenanya, di tengah-tengah kecenderungan yang demikian itu, ada pula beberapa
penulis yang berusaha membatasi kembali cara penggunaan metode maslahat. Tahun
1965, Said Ramadan al-Buthi, mengeluarkan karya disertasinya di Al-Azhar yang
15
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syariat, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah,
2003).
16
Asmuni, Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al-Maqosid Menuju Ijtihad yang
Dinamis, dikutip dari www.yusdani.com. diakses 21 Oktober 2007.
17
Izzud Din Ibn Abdis Salam, Qowaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam.( Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 1999)
8
berjudul Dlawabith al-Mashlahah. Dalam disertasinya tersebut, ia memulai
pemaparannya dengan menyebutkan bahwa para orientalis telah memulai model baru
serangannya terhadap Islam dengan menganjurkan dibukanya pintu ijtihad seluas
mungkin dan menekankan bahwa metode maslahat adalah metode yang sangat
fundamental untuk menjadi rujukan. Berkaitan dengan isu ini, Al-Buthi mengatakan
bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, dan Allah juga sangat menghargai
kemaslahatan. Namun demikian, kemaslahatan tetap ada batasan dan kualifikasinya.
Penggunaan metode maslahat tidak boleh bebas tak terbatas, sebab penggunaan
metode ini dipagari oleh berbagai aturan main yang kemudian ia katakan sebagai
dlawabith al-mashlahah.
18
Persoalan maslahat juga pernah dibahas dalam skripsi yang ditulis M. Roy
Purwanto dengan judul Pengembangan Konsep Maslahat dalam Istinbath Hukum
Islam (Analisis terhadap Konsep Maqashid Syariah dalam Merespon Perubahan
Sosial). Skripsi ini tidak secara langsung menyoroti maslahat dari perspektif
kelompok atau tokoh tertentu. Penulisnya lebih banyak menyoroti peran maslahat
sebagai bagian penting yang menjadikan hukum Islam dapat beradaptasi dengan
perubahan zaman.
19
Umumnya, kelompok yang sering menggunakan dalil maslahat sebagai
pijakan utama dalam penetapan hukum adalah kelompok rasionalis. Di Indonesia,
Jaringan Islam Liberal adalah satu contoh representatif dari kelompok rasionalis.
Sebab itu, wacana mengenai paham liberal dinilai telah memiliki akar yang jauh
sampai pada masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam
yang dikembangkan oleh Mutazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn
Sina, dan Ibn Rusyd, dianggap sebagai perintis perkembangan kebudayaan modern
dewasa ini. Greg Barton dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia
menyebutkan bahwa setidaknya terdapat empat prinsip dasar yang dipegang oleh
kelompok Islam liberal. Pertama, Pentingnya kontekstualisasi ijtihad. Kedua,
Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama). Ketiga, Penerimaan
18
Muhammad Said Ramadan al-Buthi, Dawabit Al-Maslahah Fi Syariat Al-Islamiyah, (Beirut:
Muassasah ar-Risalah, 1986).
19
M. Roy Purwanto, Pengembangan Konsep Maslahat dalam Istinbath Hukum Islam (Analisis
terhadap Konsep Maqashid Syariah dalam Merespon Perubahan Sosial). Skripsi Sarjana.
Yogyakarta: Jurusan Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2000.
9
terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama. Keempat, Pemisahan agama
dari partai politik dan kedudukan negara yang non-sektarian.
20
Adian Husaini, orang yang sangat concern dalam mengkaji fenomena
lahirnya pemikiran liberal di Indonesia, juga telah banyak menghasilkan tulisan
tentang jawaban atas Islam Liberal. Dalam buku Islam Liberal; sejarah, konsepsi,
penyimpangan, dan jawabannya yang ia tulis bersama Nuim Hidayat, Ia menjawab
dan memberikan argumentasi rasional terhadap kesalahan kaprah yang terjadi dalam
pemikiran Islam Liberal. Pernyataan Ulil misalnya, yang menyatakan menolak
syariat Islam di Indonesia dianggap Adian Husaini sebagai hal yang aneh. Pasalnya
di Indonesia ini sudah begitu banyak syaiat Islam yang sudah diatur oleh negara,
sepeti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pokok Perbankan, UU Zakat, UU
Haji, dan sebagainya.
21
Tidak dapat disangkal bahwa mayoritas anggota JIL berasal dari dunia
pesantren. Adalah Zainal Abidin, dalam jurnal Lektur yang mencoba menulis dan
menyoroti fenomena ini. Dalam tulisannya yang berjudul Liberalisaasi Pendidikan
Pesantren; Mencermati Tumbuhnya Fenomena Transformasi Pemikiran Liberal dari
Pesantren, Ia berkesimpulan bahwa secara geneologis munculnya wacana pemikiran
liberal di kalangan para santri belakangan ini adalah refleksi dari pengaruh logis
mulai terbukanya garis demarkasi antara ortodoksi intelektualitas keagamaan yang
konservatif dengan nuansa baru pemikiran keagamaan yang lebih fleksibel, toleran,
dan bahkan terkesan sangat progresif.
22
Tokoh lain yang juga banyak melahirkan tulisan tentang jawaban dan
penolakan terhadap pemikiran-pemikiran Jaringan Islam Liberal adalah Hartono
Ahmad Jaiz. Dalam bukunya Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Ia banyak
menyoroti dan mengkritisi argumentasi-argumentasi yang dikemukakan oleh Ulil
Abshar Abdalla, selaku kordinator JIL dalam berbagai kesempatan wawancara dalam
berbagai media massa yang pernah dijalaninya. Dari analisis terhadap argumentasi-
argumentasi Ulil tersebut, Ia lalu menarik beberapa kesimpulan. Di antaranya adalah,
20
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neomodernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Pustaka Antara, 1999).
21
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan
Jawabannya. (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).
22
Zainal Abidin, Liberalisasi Pendidikan Pesantren: Mencermati Tumbuhnya Fenomena
Transformasi Pemikiran liberal dari Pesantren, Jurnal LEKTUR, Vol. XI No. 1 (Januari Juni 2005).
10
Ia menganggap bahwa pemikiran Ulil dan JIL tidak berstandar Islam dengan
mengutip beberapa pendapat para pakar dan fenomena pemikiran yang mereka
kembangkan.
23
Selain itu, JIL juga menerbitkan buku-buku yang memuat pikiran-pikiran
liberal dari kelompok ini. Buku Wajah Islam Liberal di Indonesia (Asyaukanie
[penyunting], 2002) dan buku Kekerasan: Agama tanpa Agama (Thomas Santoso
[ed], 2002) yang diterbitkan oleh pustaka Utan Kayu adalah buku yang sangat jelas
bertujuan mensosialisasikan pikiran-pikiran JIL di Indonesia.
24
Buku-buku tersebut
meskipun ditulis oleh beberapa kontirbutor JIL yang juga memiliki ragam pendapat,
namun nuansa liberalisasi pemikiran yang diusung oleh komunitas JIL sangat jelas
bisa terbaca.
Tulisan dan penelitian mengenai JIL juga pernah dilakukan dalam beberapa
skripsi. Imam Mustofa misalnya, menulis skripsi yang berjudul Pernikahan Lintas
Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal.
25
Januri Cholish juga menulis
skripsi tentang JIL dengan judul Studi Kritis terhadap Wacana Jaringan Islam
Liberal (Pendekatan Analisis Wacana Kritis terhadap Rubrik Kajian Utan Kayu Jawa
Pos).
26
Kedua skripsi ini menjadikan pendapat JIL sebagai obyek kajian dari
penelitian yang dilakukan. Obyek tersebut juga sudah sangat spesifik. Skripsi
pertama mengkritisi pandangan JIL tentang pernikahan lintas agama dari sudut
pandang hukum Islam. Sedangkan skripsi kedua lebih menyoroti wacana yang
dikembangkan JIL melalui salah satu rubrik yang ada di Jawa Pos.
Sementara perkembangan fatwa sendiri di Indonesia dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Nico Kaptein, disebut tidak bisa dipisahkan dari sejarah
eksistensi bangsa Indonesia. Mulai dari fatwa Majelis Ulama Indonesia yang baru
berdiri pada tahun 1975, sampai fatwa-fatwa organisasi keagamaan seperti Nahdlatul
23
Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA. (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2004).
24
Zuly Qodir, Islam Liberal: Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003)
25
Imam Mustofa, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal. Skripsi
Sarjana, Yogyakarta: Jurusan Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2005.
26
Januri Cholish, Studi Kritis terhadap Wacana Jaringan Islam Liberal (Pendekatan Analisis
Wacana Kritis terhadap Rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos). Skripsi Sarjana, Semarang: Fakultas
Dakwah IAIN Semarang, 2006.
11
Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang telah ada jauh sebelumnya. Menurutnya,
fatwa adalah sebuah faktor pemersatu yang ada dalam sejarah bangsa Indonesia.
27
Penelitian mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia pertama kali dilakukan
oleh Atho Mudzhar dalam sebuah disertasi yang naskah aslinya ditulis dalam bahasa
Inggris berjudul Fatwas of The Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic
Legal Thought in Indonesia, 1975-1988, edisi Indonesianya diterbitkan oleh INIS
(Jakarta, 1993) serta edisi arabnya diterbitkan oleh Center for Study of Islam and
Society (Jakarta, 1996).
28
Dalam disertasi tersebut, Atho Mudzhar mengupas sisi lain
di balik ditetapkannya suatu fatwa MUI selama kurun waktu 1975 sampai 1988.
Berdasarkan hasil penelitiannya, ia berkesimpulan bahwa produk fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI tidak murni terlepas dari faktor-faktor sosio politik yang
berkembang di wilayah sekitarnya.
Penelitian lain yang mengungkap masalah perkembangan fatwa di Indonesia
adalah MB. Hooker, seorang profesor di Australian National University, dalam
bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam Madzhab
Indonesia: Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial. Penelitian Hooker ini didasarkan
pada empat lembaga penting yang dijadikan sebagai sumber utama; Persis, NU,
Muhammadiyah, dan MUI. Ia menyoroti berbagai macam hasil fatwa yang berada
pada kurun waktu 1920-an sampai 1990-an. Dalam hasil penelitiannya, Ia
menemukan berbagai macam perbedaan yang terjadi di antara organisasi berbasis
massa Islam tersebut, tetapi pada saat yang sama banyak pula kesesuaian yang cukup
menakjubkan.
29
Penulis juga pernah meneliti tentang fatwa MUI dengan judul Studi Kritis
terhadap Fatwa MUI No. 3 tahun 2004 tentang terorisme.
30
Penelitian tersebut
meskipun dengan pola yang sama pada salah satu bagian skripsi ini, namun secara
spesifik hanya fokus pada fatwa MUI tentang terorisme. Demikian juga dengan
27
Johan Meuleman (ed.), Islam in the Era of Globalization, Muslim Attitudes Towards
Modernity and Identity, (Jakarta: Perpustakaan Nasional (KDT), 2001), hal. 106.
28
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hal. 242.
29
MB. Hooker, Islam Madzhab Indonesia: Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial. (Jakarta
Selatan: TERAJU, 2003).
30
Robitul Firdaus, Studi Kritis terhadap Fatwa MUI No. 3 Tahun 2004 tentang Terorisme,
Karya Tulis, diikutkan dalam Pemilihan peneliti Remaja Indonesia (PPRI) Lembaga Ilmu
pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2006.
12
penelitian fatwa MUI lainnya. Umumnya perbedaan penelitian-penelitian tersebut
terletak pada obyek dan pola kajian yang digunakan. Misalnya M. Doni Eka Putra
yang meneliti fatwa tentang pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama
31
dan
Suwardi Maninggesa yang mengkaji fatwa tentang bunga bank.
32
Penelitian yang penulis lakukan dalam skripsi ini tentu memiliki perbedaan
dengan karya-karya di atas. Secara materi, tulisan ini hanya fokus fatwa MUI tentang
kriteria maslahat dan pada pemikiran maslahat Jaringan Islam Liberal (JIL)
Indonesia yang dikomandani Ulil Abshar Abdalla. Sementara dari sisi metodologi,
tulisan ini menyoroti MUI dan JIL dan nalar berpikir yang mereka kembangkan dari
sudut pandang ushul fiqh (metodogis) dan sosiologis (hal yang terkait dengan faktor
dan dampak bagi kajian kelimuan dan masyarakat). Dari segi teori, studi ini
dimaksudkan untuk menganalisis pemikiran MUI dan JIL, dalam kaitannya dengan
isi maupun cara kerjanya. Yang pertama untuk membantu menambah pengetahuan
tentang fikih (hukum Islam), dan yang kedua tentang ushul fiqh (teori hukum Islam),
dua pokok penting dalam menetapkan kedudukan pemikiran hukum Islam.
Selanjutnya studi ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai tawaran
konsep maslahat yang dinilai ideal untuk diterapkan di Indonesia sebagai sebuah
sumbangan pemikiran dari studi ini.
F. Landasan Teori
1. Fatwa MUI dan Ijtihad Kaum Liberal
Fatwa adalah nasihat resmi dari suatu otoritas baik pribadi maupun lembaga
mengenai pendirian hukum atau dogma Islam. Fatwa diberikan sebagai respon
terhadap suatu masalah.
33
Berbicara tentang fatwa tidak bisa terlepas dari bahasan
mengenai masalah ijtihad, karena fatwa dalam fikih Islam sangat berkaitan dengan
ijtihad yang dihasilkan para ulama fikih Islam.
34
Oleh karenanya, dengan merujuk
31
M. Doni Eka Putra, Studi Kritis terhadap Fatwa MUI No. 07 Tahun 2005 tentang
Pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama, Skripsi Sarjana, Yogyakarta: Jurusan Syariah
Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2006.
32
Maninggesa, Suwardi, Kajian terhadap Fatwa MUI Mengenai Hukum Bunga Bank di
Indonesia, Skripsi Sarjana, Yogyakarta: Jurusan Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas
Islam Indonesia, 2005.
33
MB. Hooker, Islam., hal. 13
34
Rohadi Abd. Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fikih Islam, (Jakarta: BUMI
AKSARA, 1991), hal. 39.
13
pada Muhammad Iqbal, fatwa bisa disebut sebagai the principle of movement.
35
Ali
Syariati melihat Ijtihad sebagai suatu kepastian dalam mengantisipasi perubahan
dan memecahkan problematika zaman.
36
Dengan demikian, Ijtihad dipandang
sebagai cara yang pasti untuk menjaga agama atau pemikiran keagamaan dari
kemandegan dalam pola-pola lama dan menjadi terasing dalam masyarakat yang
berubah dengan cepat.
37
Menurut Khaled Abou El Fadl sebuah teks berbicara melalui
pembacaannya. Apabila moralitas pembacanya tidak toleran, maka akan
menghasikan penafsiran yang tidak toleran pula.
38
Oleh karenanya, penelitian
mengenai metode ijtihad sangat urgen untuk dilakukan. Sementara sebuah metode
ijtihad (penalaran hukum) sendiri secara umum dapat dibagi ke dalam tiga pola
tingkatan (Zuhaily, 1997, Juz I: 137):
39
1. Pola bayani, yaitu sebuah metode penalaran hukum yang berangkat dari
semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik). Metode
ini juga bisa disebut metode literal (tariqah lafdziyyah), karena metode ini
ditujukan terhadap teks-teks syariah yang berupa Al-Quran dan Hadis untuk
mengetahui bagaimana cara lafaz-lafaz kedua sumber itu menunjuk kepada
hukum-hukum fikih yang dimaksudkanya. Dengan begitu, dasar dari metode
ini adalah analisis lafaz Al-Quran dan Hadis dengan bertitik tolak pada
kaidah-kaidah kebahasaan arab.
2. Pola qiyasi (analogi), yaitu usaha untuk menetapkan hukum Islam yang
khususnya tidak terdapat dalam nash dengnn cara menganalogikannya
dengan kasus (peristiwa) hukum yang terdapat dalam nash karena adanya
keserupaan hukum.
40
Di dalam praktik, biasanya pola ini digunakan apabila
ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat
35
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, (Yogyakarta: Jalasutra,
2002), hal. 237.
36
Ali Syariati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 72
37
Wahyudi, 1999. Ijtihad dan Probelematika Pelaksanaannya, Jurnal Mukaddimah, NO. 7
TH. V (1999), hal. 67
38
Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otiritatif (terj).
(Jakarta: Serambi, 2004), hal. 300.
39
Wahbah Zhaily, Al-Fikih al-Islamy Wa Adillatuhu. Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), I: 137.
40
Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir Tasyri Al-Islamy Fima La Nassa Fih, (Kuwait: Dar Al-
Qalam, 1979), hal. 19.
14
argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkanya kepada kesimpulan lain
agar terasa lebih logis dan lebih berhasil guna.
41
3. Pola Istislahi, yaitu suatu metode penalaran hukum yang mengumpulkan
ayat-ayat umum guna menciptakan prinsip universal untuk melindungi atau
mendatangkan kemaslahatan. Karena pada dasarnya, esensi dari penetapan
syariat (tasyri)adalah bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan.
42
Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan. Dlaruriyat
(kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan
kemewahan). Prinsip-prinsip ini dideduksikan kepada persoalan yang ingin
diselesaikan.
43
MUI yang telah lahir sejak tahun 1975 dan JIL sebenarnya sama-sama telah
banyak menghasilkan jawaban atas problematika kontemporer. MUI melalui
fatwanya dan JIL melalui wacana yang dikembangkannya. Meski demikian, dalam
konteks MUI ada pula fatwa yang dinilai telah menimbulkan pertikaian, bahkan
pimpinan MUI telah dituduh lebih bercondong pada soal politik dengan
mengabaikan ajaran baku hukum Islam.
44
Begitu juga dengan yang dialami JIL.
Wacana yang mereka kembangkan dinilai merupakan jiplakan dari pemikiran Barat
atau setidak-tidaknya dianggap kebarat-baratan. Bukti konkritnya menurut Daud
Rasyid adalah ketika barat berlomba-lomba meneriakkan liberalisme, maka disini
pun kelompok yang berpikiran seperti ini menyebut dirinya sebagai Islam
liberal.
45
Sedangkan MUI dan JIL yang dalam pandangan penulis keduanya
memainkan peran keagamaan luar biasa besar di Indonesia bila dikaitkan dengan
teori Haryatmoko memiliki mekanisme tertentu yang memang rentan terhadap
kekerasan. Mekanisme ini terkait dengan pemahaman peran agama. Dalam teori ini
41
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukm Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2000), hal. 20.
42
Al-Syatibi, al-Muwafaqot., II: 261
43
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fikih, (Beirut: Dar Al-kutub al-ilmiyah, 2007), hal.
160-164.
44
M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia:Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic
Studies, 1993), hal. 5.
45
Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme Dalam Sorotan, (Jakarta: Akbar Media
EkaSarana, 2002), hal. 5.
15
disebutkan adanya tiga pemahaman peran agama yang menjelaskan kaitan antara
agama dan kekerasan. Pertama, agama sebagai kerangka penafsiran religius
terhadap hubungan sosial (fungsi ideologis); kedua, agama sebagai faktor identitas;
dan ketiga, agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial.
46
Misalnya Forum
Ulama Umat Indonesia (FUUI) dengan Athian Ali sebagai ketuanya yang
mengeluarkan fatwa hukuman mati kepada Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL,
karena dianggap telah murtad.
47
Oleh karenanya, Sepanjang mengenai dampak fatwa MUI terhadap
masyarakat, M. Atho Mudzhar menyusun suatu tipologi umum dan menarik
kesimpulan bahwa ada lima golongan fatwa sepanjang menyangkut reaksi
masyarakat. Pertama, fatwa yang tersiar secara luas tetapi tidak menimbulkan
pertentangan. Kedua, fatwa yang tidak mendapat penyebaran secara luas atau juga
tidak memperoleh reaksi banyak dari masyarakat. Ketiga, fatwa yang cukup tersiar
luas dan telah menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat Islam,
sedangkan pemerintah tetap bersikap netral. Keempat, fatwa yang tersiar secara
luas tetapi hanya menimbulkan sedikit pertentangan, sedangkan pemerintah
menyambutnya dengan baik. Kelima, fatwa yang tersiar secara luas dan telah
menimbulkan banyak pertentangan, sedangkan pemerintah tidak menyukai fatwa
itu.
48
2. Maslahat sebagai Asas Syariah yang Adaptif
Menurut Imam Syatibi, seorang mujtahid tidak boleh menerapkan hukum
yang telah digalinya dari Al-Quran atau Sunah sebagaimana adanya. Ia
berkewajiban memberikan pertimbangan berdasarkan situasi dan kondisi yang
mengitari objek hukum. Apabila hukum yang dihasilkan dari ijtihadnya itu tidak
cocok diterapkan pada objek hukum karena penerapan hukum itu membawa
kemudaratan, maka mujtahid itu harus mencarikan hukum lain yang lebih sesuai,
sehingga kemudaratan bisa dihilangkan dan kemaslahatan dapat tercapai. Teori
46
Haryatmoko, Etika., hal. 64
47
Ulil Abshar Abdalla dkk., Islam Liberal dan Fundamental; Sebuah Pertarungan Wacana,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hal. 15.
48
M. Atho Mudzhar, Pendekatan., hal. 255.
16
inilah yang dikenal dengan sebutan nazariyyah itibar al-maal.
49
Al-Syatibi juga
secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-
Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun
di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan
merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut.
50
Imam Al-Qarafy, salah seorang penganut madzhab Maliki dalam kitabnya
Al-Ihkam menegaskan bahwa aturan yang wajib diperhatikan ahli fikih dan
fatwa ialah memperhatikan perkembangan yang terjadi dari hari ke hari, sambil
memperhatikan tradisi dan kebiasaan, dengan perubahan waktu dan tempat. Senada
dengan al-Qarafy, Yusuf Qardawi dalam bukunya Syariatul Islam Shalihah lith-
Thathbiq fi Kulli Zaman wa Makan juga menjelaskan bahwa di antara hukum-
hukum hasil ijtihad terdapat hukum yang landasannya kemaslahatan temporal,
yang bisa berubah menurut perubahan waktu dan keadaan, berarti harus ada
perubahan hukum yang menyertainya.
51
Teori kemaslahatan (istislah) sendiri yang sering digunakan dalam ijtihad
kontemporer, sebagaimana juga sering digunakan oleh JIL kalau dikembalikan
pada konsep dlawabith maslahat yang dikemukakan Ramadan al-Buthi harus
memenuhi lima kriteria: Memprioritaskan tujuan syara; Tidak bertentangan
dengan Al-Quran; Tidak bertentangan dengan al-Sunnah; Tidak bertentangan
dengan prinsip qiyas; dan memperhatikan kemaslahatan yang lebih penting
(besar).
52
Sedang al-Syatibi membatasi dawabith al-maslahah (kriterium maslahah)
menjadi dua. Pertama, maslahat itu bersifat mutlak dan tidak subyektif. Kedua,
maslahat itu bersifat universal (kulliyah) dan tidak bertentangan dengan sebagian
juziyat-nya.
53
49
Yusdani, Ijtihad Dan Nazariyyah I'tibar Al-Ma'al, dikutip dari www.yusdani.com, diakses
21 Oktober 2007.
50
Al-Syatibi, al-Muwafaqot., II: 4.
51
Yusuf al-Qardawi, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, (Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar, 1999), hal. 256-260.
52
Ramadan al-Buthi, Dlawabith., hal. 142
53
Asmuni, Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al-Maqosid Menuju Ijtihad yang
Dinamis, dikutip dari www.yusdani.com. diakses 21 Oktober 2007.
17
3. Studi Komparatif untuk Menemukan Konsep Maslahat Ideal
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie, dengan menggunakan studi komparasi
dalam studi Islam, maka usaha kompilasi, kalau tidak kodifikasi hukum Islam akan
lebih mudah dikerjakan. Usaha ini menurutnya telah dirintis sejak abad ke-2 H,
namun sayang sampai kini belum memberi buah yang menggembirakan. Ibnu al-
Muqaffa (w. 144 H), dalam suratnya yang berjudul risalah ash-shabah
mengusulkan kepada Abu Jafar al-Mansur (136-158 H) dari dinasti Abbasiyah
agar pemerintah mengundangkan sebuah kodifikasi hukum yang menjadi pedoman
dan berlaku di seluruh wilayah negara. Sumbernya adalah Al-Quran, al-Sunnah dan
rayu (logika) dengan memperhatikan kaidah-kaidah umum dan kemaslahatan
umat jika tidak ada nash yang mengaturnya. Maksudnya adalah untuk mengakhiri
keberagaman penerapan hukum, agar para pencari keadilan mendapatkan kepastian
hukum.
54
Manfaat menggunakan metode komparasi, menurut Hasbi ialah untuk
mengetahui pendapat-pendapat yang disepakati dan yang diperselisihkan;
mengetahui sebab timbulnya perselisihan, karena mengetahui perbedaan metode
yang digunakan oleh masing-masing kelompok; dan memperoleh ketetapan hati
terhadap hukum yang diistinbath.
55
Dalam konteks maslahat, hal ini menjadi sangat urgen untuk dilakukan.
Mengingat subyektivitas dalam pemaknaan maslahat bisa jadi sangat besar. Oleh
karenanya usaha untuk menyusun kompilasi hukum Islam demi menjamin keadilan
dan kepastian hukum harus terus berjalan. Salah seorang pakar hukum, John Rawls
pernah membandingkan berbagai konsep keadilan, beserta kelebihan dan
kekurangan masing-masing, dalam bukunya yang sangat terkenal, A Theory of
Justice. Ia ternyata akhirnya lebih memilih dan lebih percaya pada kinerja formal
dari hukum, bahkan sampai mengatakan: where we find formal justice, the rule of
law and the honoring of legitimate expectations, we are likely to find substantive
justice as well (ketika kita menemukan keadilan formal, menegakkan rule of law
54
Nouruzzaman Shiddiqi, Fikih Indonesia; Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), hal. 75-76.
55
Ibid. hal. 72
18
dan mempertahankan dugaan-dugaan yang sah, maka kita kemungkinan besar juga
menemukan keadilan substantif).
56
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
sebuah penelitian yang berusaha mengungkap keadaan yang bersifat alamiah
secara holistik. Masalah dan fakta akan digambarkan secara deskriptif, kemudian
dianalisis guna memperoleh gambaran utuh tentang permasalahan-permasalahan
yang diteliti. Penelitian kualitatif bukan hanya menggambarkan variabel-variabel
tunggal melainkan dapat mengungkap hubungan antara satu variabel dengan
variabel lain.
57
Artinya menurut West, dengan penggunaan jenis penelitian ini,
penulis memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji
hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang
memiliki validitas universal.
58
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan
data litereir atau library research (studi pustaka). Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri atas:
a) Bahan hukum primer, yaitu Al-Quran, Hadits dan Fatwa MUI Nomor
6/MUNAS VII/MUI/10/2005 tentang kriteria maslahat.
b) Bahan hukum sekunder, terdiri dari bahan-bahan pustaka lainnya, seperti
buku, artikel, jurnal, ensiklopedi, software kitab-kitab Islam, dan data
internet yang berisikan pendapat para pakar atau praktisi dan hal-hal yang
memiliki relevansi dengan permasalahan yang menjadi obyek kajian
penelitian.
56
John Rawls, A Theory of Justice, Revised Edition, (Harvard University Press, Massachusetts,
2000), hal. 52.
57
Ali, M. Sayuthi, Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 47
58
Sukardi. Metodologi Penelitian Pendidikan; Kompetensi dan Prakteknya. (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2005), hal. 157.
19
c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari kamus.
Bahan-bahan tersebut dimaksudkan sebagai pendukung dalam menyusun
ketajaman analisis penulis.
3. Teknik Analisis data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content
analisys (analisis isi) dengan paradigma kritis. Dengan analisis semacam ini
diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai bahan pustaka yang
ada dan searah dengan objek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan
deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis dalam menyikapi pola pikir
mengenai maslahat yang dikembangkan oleh MUI dan Jaringan Islam Liberal di
Indonesia dan untuk selanjutnya dapat menarik satu benang merah yang bisa
diterapkan bersama.
4. Pendekatan Studi
Pendekatan yang penulis gunakan dalam skripsi ini ada tiga: pendekatan
komparatif (dirasat muqaranah), metodologis (ushul fiqh) dan sosiologis.
a) Metode komparatif, sebagaimana yang dirumuskan Hasbi Ash-Shiddiqie,
adalah suatu ilmu yang menerangkan hukum syara dengan mengemukakan
pendapat yang berbeda-beda terhadap suatu masalah dan dalil-dalil dari
masing-masing pendapat itu, kaidah-kaidah yang dipergunakan, serta
membanding yang satu dengan yang lain. Kemudian mengambil mana yang
lebih dekat dengan kebenaran dan membandingkannya dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dari suatu negeri.
59
b) Pendekatan ushul fiqh sesuai dengan dengan defenisinya mencoba untuk
mendekati suatu permasalahan dengan mengungkapkan metode penalaran
yang digunakan dalam menjawab suatu permasalahan atau untuk
mengetahui dasar-dasar yang dijadikan acuan dalam menetapkan suatu
pemahaman (fikih).
60
Pendekatan ini digunakan untuk menganalisa metode
istinbath (penggalian) hukum yang diterapkan oleh MUI dalam fatwanya
59
Nouruzzaman Shiddiqi, Fikih., hal. 71.
60
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fikih. (Aman Yordania: Muassasah al-Risalah,
1990), hal. 11.
20
tentang kriteria maslahat dan Jaringan Islam Liberal dalam wacana
kebebasan berpikirnya.
c) Pendekatan sosiologis adalah sebuah pendekatan yang berusaha
menggambarkan tentang keadaan masyarakat atau fenomena sosial yang
dapat dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan,
mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya
proses tersebut.
61
Pendekatan ini digunakan untuk dua hal. Pertama,
menyoroti faktor dan dampak fatwa MUI tersebut terhadap masyarakat.
Kedua, Pendekatan ini juga digunakan untuk meramu konsep maslahat
yang dinilai sejalan dengan kondisi sosio-kultural dan sosio-politik
masyarakat Indonesia.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan, maka penulisan skripsi
ini menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang munculnya masalah yang akan
dijawab, tujuan dan manfaat penelitian yang merupakan arah penelitian yang
dilakukan, telaah pustaka sebagai pembanding dan pembeda dengan penelitian
sebelumnya, landasan teori sebagai gambaran alur yang melandasi penulisan, dan
paparan tentang metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.
Bab II Merupakan penjelasan umum tentang dua pemikiran organisasi yang
menjadi obyek penelitian. Pertama, Fatwa Majelis Ulama Indonesia terdiri dari
sejarah berdirinya MUI, orientasi dan peran MUI, kedudukan fatwa dalam Islam, dan
prosedur penetapan fatwa MUI. Kedua, Pemikiran Jaringan Islam Liberal diawali
dengan deskripsi sejarah lahirnya JIL, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan
agenda dan misi JIL, karakteristik ijtihad JIL, dan respon masyarakat terhadap
wacana yang dikembangkan JIL.
Bab III Berisi tinjauan umum terhadap konsep maslahat dalam hukum Islam.
Dalam bab ini dijelaskan definisi maslahat dari para pakar, dasar hukum maslahat,
61
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 39.
21
Jenis-jenis maslahat, maslahat dalam tinjauan ulama ushul dan fikih, dan tinjauan
maslahat sebagai maqashid syariah.
Bab IV Merupakan bab yang berisi paparan untuk menjawab rumusan
masalah. Di dalamnya terdapat paparan tentang metode, faktor dan dampak yang ada
di balik penetapan fatwa tentang kriteria maslahat oleh MUI. Juga ada analisis
terhadap metode dan landasan yang digunakan oleh JIL dalam menetapkan maslahat,
termasuk kaidah fikih yang mereka ciptakan.
Bab V adalah kelanjutan dari pembahasan yang merupakan jawaban dari
rumusan masalah ketiga. Bab ini memberikan sebuah gambaran mengenai konsep
maslahat yang dinilai ideal oleh penulis untuk diterapkan di Indonesia sesuai dengan
budaya hukum yang ada. Konsep tersebut disusun setelah mengkaji dua model
pendekatan, MUI dan JIL yang digunakan dalam memahami maslahat.
Bab VI Penutup berisi kesimpulan dari pembahasan tentang rumusan masalah
yang diajukan dengan dilengkapi saran sebagai bahan rekomendasi dari hasil
penelitian penulis.
22
BAB II
DESKRIPSI UMUM FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
DAN PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
A. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
1. Sejarah Berdirinya MUI
Menurut Quraisy Shihab, ulama adalah orang yang mempunyai
pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyyah maupun
quraniyyah. Secara garis besar, ulama bertugas untuk menyampaikan ajaran-
ajaran Allah, menjelaskan ajaran-ajaran-Nya, memutuskan perkara atau problem
yang dihadapi masyarakat, dan memberikan contoh pengamalannya.
62
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah yang menghimpun dan
mempersatukan pendapat dan pemikiran ulama Indonesia yang tidak bersifat
operasional tetapi koordinatif. Majelis ini dibentuk pada tanggal 26 Juli 1975 M
atau 17 Rajab 1395 H dalam suatu pertemuan ulama nasional, yang kemudian
disebut Musyawarah Nasional I Majelis Ulama Indonesia, yang berlangsung di
Jakarta pada tanggal 21-27 Juli 1975.
63
Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh dua faktor:
a. Wadah ini telah lama menjadi hasrat umat Islam dan pemerintah, mengingat
sepanjang sejarah bangsa ulama memperlihatkan pengaruhnya yang sangat
kuat, nasihat-nasihat mereka dicari umat, sehingga program pemerintah,
khususnya menyangkut keagamaan, akan berjalan baik bila mendapat
dukungan ulama, atau minimal tidak dihalangi oleh para ulama.
b. Peran ulama yang dirasakan sangat penting.
64
Selain itu, menurut MUI kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia
dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan
aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi
sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat
62
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 383.
63
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), artikel Majelis Ulama
Indonesia, al, hal. 122.
64
Ibid. hal. 112.
23
terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh
karena itu kehadiran MUI makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah
organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka
mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta
kebersamaan umat Islam.
65
Jauh sebelum tahun 1975, pemerintah sebenarnya telah mengusahakan
berdirinya majelis ulama. Namun, fungsi dan tugasnya berbeda dengan Majelis
Ulama Indonesia yang dibentuk pada tahun 1975. Motivasi mendirikan Majelis
Ulama Indonesia pusat pada saat itu adalah agar pemerintah dapat mengadakan
pembinaan terhadap kegiatan masyarakat yang dianggap penting. Peran dan tugas
MUI pusat ketika itu hanya mencari dukungan untuk pemerintah dari pihak
ulama.
66
Pusat dakwah Islam Indonesia yang dibentuk Menteri Agama RI 14
September 1969 memprakarsai penyelenggaraan loka karya muballig se-
Indonesia (26-29 November 1974). Loka karya ini melahirkan sebuah konsensus
bahwa diperlukan adanya majelis ulama sebagai wahana yang dapat menjalankan
mekanisme yang efektif dan efisien guna memelihara dan membina kontinuitas
partisipasi umat Islam Indonesia terhadap pembangunan. Hal tersebut diperkuat
oleh amanat presiden Soeharto pada saat itu yang juga mengharapkan segera
dibentuknya Majelis Ulama Indonesia.
67
Dalam sebuah musyawarah yang dihadiri dua puluh enam orang ulama
yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur
dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat
Islam, Perti. Al Washliyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al
Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI
serta 13 orang tokoh atau cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan,
dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama, zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang
dalam sebuah PIAGAM BERDIRINYA MUI, yang ditandatangani oleh
65
Sekilas Tentang Kami, dikutip dari http://www.mui.or.id/mui_in/about.php, diakses 8
November 2007.
66
Ensiklopedi Islam, hal. 122, artikel Majelis Ulama Indonesia, al.
67
Ibid.
24
seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional
Ulama I.
68
Akhirnya, melalui Menteri agama dengan surat nomor 28 pada tanggal 1
Juli 1975 dibentuklah sebuah panitia Munas I Majelis Ulama Indonesia yang
kemudian melahirkan keputusan untuk membentuk Majelis Ulama Indonesia
dengan memberikan kepercayaan kepada Prof. Dr. HAMKA sebagai ketuanya.
Pembentukan MUI dimaksudkan agar para ulama mempunyai wadah dalam
keikut sertaannya menciptakan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur
serta diridlai Allah Swt.
69
2. Orientasi dan Peran MUI
Majelis Ulama Indonesia dalam pedoman dasarnya (pasal 5)
menyebutkan bahwa berdirinya MUI bertujuan untuk terwujudnya masyarakat
yang berkualitas (khaira ummah), dan negara yang aman, damai, adil dan
makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridlai Allah SWT (baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafur).
70
Majelis Ulama Indonesia sebagaimana tercantum dalam
situsnya, juga menempatkan sembilan orientasi sebagai bentuk perkhidmatan,
yaitu:
71
a. Diniyah. Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang
mendasari semua langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam yang
kaffah.
b. Irsyadiyah. Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
dakwah wal irsyad, yaitu upaya untuk mengajak umat manusia kepada
kebaikan serta melaksanakan amar makruf dan nahyi munkar dalam arti yang
seluas-luasnya. Setiap kegiatan Majelis Ulama Indonesia dimaksudkan untuk
dakwah dan dirancang untuk selalu berdimensi dakwah.
c. Istijabiyah. Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang
berorientasi istijabiyah, senantiasa memberikan jawaban positif dan responsif
68
Sekilas Tentang Kami, dikutip dari http://www.mui.or.id/mui_in/about.php, diakses 8
November 2007.
69
Ensiklopedi Islam., hal. 122, artikel Majelis Ulama Indonesia.
70
Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia, dikutip dari http://www.mui.or.id/mui_in/
about.php?id=15, diakses 8 November 2007
71
Orientasi dan Peran MUI, dikutip dari http://www.mui.or.id/mui_in/about.php?id=5,
diakses 8 November 2007
25
terhadap setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui prakarsa
kebajikan (amal saleh) dalam semangat berlomba dalam kebaikan (istibaq fi
al-khairat).
d. Hurriyah. Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
independen yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun
terpengaruh oleh pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan,
mengeluarkan pikiran, pandangan dan pendapat.
e. Taawuniyah. Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
yang mendasari diri pada semangat tolong menolong untuk kebaikan dan
ketakwaan dalam membela kaum dhuafa untuk meningkatkan harkat dan
martabat, serta derajat kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas
dasar persaudaraan di kalangan seluruh lapisan umat Islam (ukhuwwah
Islamiyah). Ukhuwah Islamiyah ini merupakan landasan bagi Majelis Ulama
Indonesia untuk mengembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah
wathaniyyah) dan memperkukuh persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah
basyariyyah).
f. Syuriyah. Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang
menekankan prinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan melalui
pengembangan sikap demokratis, akomodatif dan aspiratif terhadap berbagai
aspirasi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
g. Tasamuh. Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang
mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam menghadapi masalah-
masalah khilafiyah.
h. Qudwah. Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang
mengedepankan kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa kebajikan
yang bersifat perintisan untuk kemaslahatan umat.
i. Addualiyah. Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang
menyadari dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif
memperjuangkan perdamaian dan tatanan dunia sesuai dengan ajaran Islam.
26
Sedangkan dalam hal peran, Majelis ulama Indonesia mengagendakan
organisasi ini pada enam peran utama, yaitu:
72
a. Sebagai pewaris tugas-tugas para nabi (warasat al-anbiya).
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai ahli waris tugas-tugas para Nabi,
yaitu menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu
kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam. Sebagai
waratsatu al-anbiya (ahli waris tugas-tugas para nabi), Majelis Ulama
Indonesia menjalankan fungsi kenabian (an-nubuwwah) yakni,
memperjuangkan perubahan kehidupan agar berjalan sesuai ajaran Islam,
walaupun dengan konsekuensi akan menerima kritik, tekanan, dan ancaman
karena perjuangannya bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya, dan
peradaban manusia.
b. Sebagai pemberi fatwa (mufti). Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai
pemberi fatwa bagi umat Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai
lembaga pemberi fatwa Majelis Ulama Indonesia mengakomodasi dan
menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran
paham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya.
c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (raiy wa khadim al ummah). Majelis
Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat (khadim al-ummah), yaitu
melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan tuntutan
mereka. Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa berikhtiar
memenuhi permintaan umat, baik langsung maupun tidak langsung, akan
bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula, Majelis Ulama Indonesia
berusaha selalu tampil di depan dalam membela dan memperjuangkan
aspirasi umat dan bangsa dalam hubungannya dengan pemerintah.
d. Sebagai Penegak amar makruf dan nahyi munkar. Majelis Ulama Indonesia
berperan sebagai wahana penegakan amar makruf nahyi munkar, yaitu
dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai
kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqamah. Dengan demikian, Majelis
Ulama Indonesia juga merupakan wadah perhidmatan bagi pejuang dakwah
72
Ibid.
27
(mujahid dakwah) yang senantiasa berusaha merubah dan memperbaiki
keadaan masyarakat dan bangsa dari kondisi yang tidak sejalan dengan ajaran
Islam menjadi masyarakat dan bangsa yang berkualitas (khairu ummah).
e. Sebagai pelopor gerakan pembaharuan (al-tajdid). Majelis Ulama Indonesia
berperan sebagai pelopor tajdid yaitu gerakan pembaruan pemikiran Islam.
f. Sebagai pelopor gerakan ishlah. Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai
juru damai terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Apabila terjadi
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, maka Majelis Ulama Indonesia
dapat menempuh jalan al-jamu wat taufiq (kompromi dan persesuaian) dan
tarjih (mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan tetap
terpelihara semangat persaudaraan (ukhuwwah) di kalangan umat Islam
Indonesia.
3. Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam
Fatwa menurut Quraish Shihab sebagaimana dikutip MB. Hooker, berasal
dari bahasa Arab al-Ifta yang secara secara sederhana dimengerti sebagai
pemberian keputusan.
73
Fatwa adalah sebuah nasihat keagamaan yang
diberikan oleh mufti (orang yang memberikan fatwa) atas dasar permintaan dari
seorang atau sekelompok orang Islam. Oleh karena itu, maka sebuah fatwa pada
umumnya merupakan gambaran dari berbagai isu dan topik yang banyak menyita
perhatian kaum muslimin.
74
Fatwa dalam bentuk yang demikian seringkali
dikeluarkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan modern (al-hawadits
al-muashiroh) yang jawabannya seringkali tidak bisa ditemukan secara eksplisit
dalam nash.
Fatwa adalah kata yang sering disalah pahami. Ada yang menyangka,
fatwa adalah sejenis dogma yang memiliki daya ikat kuat seperti halnya Al-
Quran. Atau seperti konstitusi negara sehingga bagi yang melanggarnya dapat
dikenakan sanksi hukum. Tentu sangkaan ini keliru sepenuhnya. Sebab, fatwa
pada hakekatnya tak lebih dari sebuah petuah, nasihat, atau jawaban pertanyaan
hukum dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh diikuti atau
justru diabaikan sama sekali. Fatwa seorang mufti tidak mengikat siapapun,
73
MB. Hooker, Islam., hal 16.
74
Johan Meuleman (ed), Islam., hal. 99
28
karena betapapun kesungguhannya untuk bersikap obyektif, ia tidak dapat lepas
dari unsur subyektivitas berupa kecendrungan pribadi dan kemampuan daya
nalarnya.
75
Pendeknya, fatwa bersifat ghair mulzim (tidak mengikat).
Kebenaran fatwa bersifat relatif sehingga selalu dimungkinkan untuk
diubah seiring perubahan ruang, waktu, dan tradisi. Ibnul Qayyim al-Jauziyah
dalam magnum opusnya Ilam al-Muwaqqiin menyatakan tentang adanya
peluang untuk selalu mereformasi dan memperbaiki fatwa dalam satu bahasan;
fashl: fiy taghayyur al-fatwa wa ikhtilafiha bihasabi taghayyur al-azminah wa al-
amkinah wa al-ahwal wa al-niyyat wa al-awaid. Jadi, mengubah teks fatwa
bukanlah perkara tabu.
76
Menurut Ahmad Ibn Hanbal, jika sebuah fatwa diduga keras akan
menimbulkan keburukan, maka semestinya mufti dapat menahan diri dan tidak
mengedarkan fatwa tersebut. Fatwa perlu ditinjau kembali, waktu demi waktu,
untuk dilihat apakah ia memberikan efek maslahat terhadap umat atau justru
menimbulkan huru-hara di tengah masyarakat.
77
Suatu fatwa tidak bisa dijadikan
sebagai sumber ketetapan hukum. Fatwa hanya merupakan suatu pilihan hukum
yang bisa diikuti dan bisa saja dikritisi, karena produk hukum hasil fatwa tidak
ubahnya seperti produk hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran
mutlak dan nilai kekuatan untuk mengikat.
Meski demikian, fatwa -sebagaimana ijtihad- juga memiliki aturan main
yang harus ditaati. Ada beberapa pedoman dalam berfatwa yang disesuaikan
dengan tuntunan nash. Beberapa larangan bagi pemberi fatwa (mufti) dalam
pedoman tersebut antara lain dijelaskan oleh Musfir bin Ali al-Qahtany dalam
sebuah bukunya Dlawabit al-Fataya fi al-Nawazil al-Muashiroh sebagai
berikut:
78
a. Fanatik terhadap salah satu madzhab, atau pendapat ulama-ulama tertentu.
Pedoman ini sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Ahmad, melarang
75
M. Quraisy Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah mahdah, (Jakarta: Mizan, 1999), hal. ix
76
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Ilam al-Muwaqiin, (Beirut: Dar al-Jalil, 1973), hal. 5.
Bandingkan dengan Yusuf al-Qardawi, Pedoman., hal. 257.
77
Abdul Moqshit Ghazali, Metodologi Berfatwa dalam Islam. Dikutip dari
http://islamlib.com/ id/index.php?page=article&id, diakses 23 September 2005.
78
Musfir bin Ali al-Qahtany. Dlawabit al-Fataya fi al-Nawazil al-Muashiroh. (Saudi Arabia:
Universitas Raja Fahd, t.t.), hal. 5-18.
29
seorang pemberi fatwa untuk memaksakan madzhab yang dianutnya pada
orang lain, padahal hal itu justru memberatkan bagi orang tersebut.
b. Berpegang hanya pada arti eksplisit nash saja. Larangan ini mengindikasikan
pentingnya pemahaman seorang mufti terhadap makna di balik nash yang
menjadi tujuan syara (maqashid syariah). Begitu juga orang yang hanya
mengandalkan Hadis saja untuk menjawab persoalan yang ada tanpa
mempelajari fikih dan ushul fiqh serta perbedaan-perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Orang yang demikian, menurut al-Ghazali termasuk
golongan neo-Dhahiriyyah.
79
c. Tidak menggunakan konsep syaddu al-zariah
80
dan terlalu berhati-hati
dalam menyikapi perbedaan ulama. Menurut Ibnu Taymiyah sebagaimana
dikutip Qardawi, melakukan suatu keharaman yang dilarang Allah pasti
melalui perantara (wasilah). Bila tidak menutup perantara tersebut dengan
konsep syaddu al-dzariah, berarti mengurangi ketetapan haram dari Allah.
81
Sementara perbedaan yang terjadi antara para ulama tidak harus disikapi
berlebihan dengan meninggalkan semuanya, namun bisa difatwakan yang
paling unggul (rojih) di antara mereka.
d. Berlebihan dalam menggunakan maslahat dan memaksakan penggunaannya
meskipun bertentangan dengan nash. Hanya Najmuddin al-Thufi yang
meletakkan maslahat sebagai dalil independen yang boleh bertentangan dan
harus didahulukan dari pada nash.
82
e. Terlalu sering menggunakan rukshsoh
83
dan talfiq
84
antar madzhab.
79
Abdur Rahman Al-Luwaihaq, al-Ghuluw fi al-Din. (t.t.p: Muassasah al-risalah, 1413 H), hal.
273.
80
Sadd berarti menutup dan kata al-zariah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan.
Dengan demikian secara bahasa dapat diartikan dengan menutup jalan kepada suatu tujuan. Sedang
menurut istilah fuqaha, ialah menutup perantara ke arah perbuatan yang menyebabkan kerusakan.
lihat Satria Efendi, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 172; Muhammad Abu Zahrah, Ushul
fiqh, cet. IX, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hal 438.
81
Yusuf Qardawi, al-Siyasah al-Syariyah Fi Dlow-I Nushus al-Syariah, (Mesir: Maktabah
Wahbah, 1419 H), hal. 231.
82
Muhammad Roy, Filsafat Hukum al-Thufi dan Dinamisasi Hukum Islam, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren UII, 2007), hal. 100.
83
Rukhsoh secara bahasa diartikan dengan At-Tashil Fil Amri (mempermudah urusan).
Sedangkan dalam pandangan syara adalah suatu ketetapan hukum yang bertentangan dengan dalil
oleh karena disebabkan adanya udzur. Lihat Jamaluddin Al-Asnawi, At-Tamhid Fi Takhrij Al-Furu
Ala Al-Ushul, (Dar Ar-Raid Al-Arabi; Saudi Arabia, 2002), hal. 70
30
f. Melakukan hilah
85
dalam perkara-perkara syari.
Demikian juga yang dilakukan Yusuf Qardawi dalam salah satu karya
monumentalnya, Fatwa-Fatwa Kontemporer. Ia menyebutkan bahwa dalam
fatwa yang ia tulis dan merupakan jawaban atas berbagai persoalan hukum,
terdapat beberapa pedoman (qowaid) yang menjadi pegangan. Secara global
dapat disebutkan sebagai berikut:
86
a. Tidak fanatik dan tidak taqlid.
b. Mempermudah dan tidak mempersulit.
c. Menjelaskan kepada manusia sesuai dengan bahasa zamannya.
d. berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
e. Bersikap seimbang antara memperlonggar dan memperketat
f. Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan
Selain itu, faktor kepentingan pihak manapun, termasuk pribadi pemberi
fatwa harus dihilangkan dari lahirnya sebuah fatwa. Untuk meminimalisasi
adanya kepentingan di balik penetapan fatwa, para ulama menetapkan syarat-
syarat yang harus dipenuhi mufti. Imam Ahmad misalnya, sebagaimana dikutip
oleh Ali Hasballah menyatakan bahwa seorang muslim tidak boleh mengeluarkan
fatwa sebelum ia memenuhi lima syarat:
87
a. Ia harus memiliki niat benar-benar karena Allah Swt.
b. Ia harus memiliki kapabilitas, dan bersikap baik.
c. Ia harus benar-benar ahli dalam bidang yang ia tekuni, sehingga ia tidak
mudah berpaling dari kebenaran.
d. Ia harus orang yang mampu mencukupi diri dan keluarganya, agar terlepas
dari pengaruh orang luar.
84
Talfiq secara bahasa bermakna penemuan, perpaduan, atau menggabung, atau merapatkan
dua tepi yang berbeda. Adapun secara istilah, talfiq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari
suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Sejauh tidak
bertujuan mengikuti hawa nafsu, maka hukum talfiq dipebolehkan dalam agama Islam. Lihat Totok
Jumantoro dan Sasmsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul fiqh, (t.t.p.:AMZAH, 2005), hal. 322.
85
Hilah adalah sebuah strategi hukum untuk mengelak dari ketentuan syariat (hukum agama)
yang secara teknik tidak dipandang sebagai melanggar hukum. Strategi ini berkembang pada zaman
Abbasiyah utamanya di kalangan tokoh-tokoh madzhab Hanafi. Ibid. hal. 85-86.
86
Lebih lengkap tentang penjelasan masing-masing bagian lihat Yusuf Qardawi, Hadyul Islam
Fatawi Muashiroh, diterjemahkan oleh Asad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, cet. VII, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), I: 21-51
87
Ali Hasballah, Ushul., hal. 89-90.
31
e. Mengetahui kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat yang diberi
fatwa.
Fungsi MUI adalah memberi nasihat, karena MUI tidak dibolehkan
melakukan program praktis. Dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa
Majelis diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan
nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua
masalah yang dihadapi bangsa umumnya (Pasal 4 dan 6 Pedoman Dasar MUI).
88
Dalam bahasa Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, MUI bertugas selaku
penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan
ajaran Islam.
89
Syaikh Mahmoud Syaltout, mantan rektor Universitas al-Azhar
juga memandang penting adanya lembaga fatwa yang dapat menjadi tempat
bertanya masyarakat dalam masalah agama, demi menjaga kepentingan umat.
90
4. Prosedur Penetapan Fatwa MUI
Pada awal perkembangan Islam, fatwa dikeluarkan oleh ahli fikih tanpa
status resmi, sehingga tidak ada ketetapan prosedur yang baku. Tetapi dengan
perkembangan aparat birokratis berbagai negara di dunia Islam, akhirnya
sejumlah mufti diangkat sebagai pejabat negara. Hal ini sudah pernah terjadi pada
masa kerajaan Utsmani.
91
Di Indonesia, organisasi mufti tersebut dideklarasikan
dengan nama Majelis Ulama Indonesia. Metode pembuatan fatwa Majelis Ulama
Indonesia pertama kali dibuat pada 1975 dan tampak kemudian dalam himpunan
fatwa MUI 1995 dan 1997. Secara umum, petunjuk prosedur penetapan fatwa
MUI dapat dikemukakan sebagai berikut:
92
a. Dasar-dasar fatwa adalah:
1) Al-Quran
2) Sunnah (tradisi dan kebiasaan Nabi)
3) Ijma (kesepakatan pendapat para ulama)
88
Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia, dikutip dari http://www.mui.or.id/mui_in/
about.php?id=15, diakses 8 November 2007.
89
M. Atho Mudzhar, Fatwa., hal. 63
90
Syaikh Mahmoud Syaltout, Fatwa-Fatwa, cet. II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), I: 43
91
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Taufik Abdullah (ed. et al), (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), artikel Pergolakan Pemikiran Keagamaan, al VI: 125.
92
MB. Hooker, Islam., hal. 93-94.
32
4) Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi)
b. Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan:
1) Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas.
2) Pendapat para Imam Madzhab mengenai hukum Islam dan pendapat para
ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiran Al-
Quran.
c. Pembahasan yang merujuk ke atas adalah metode untuk menentukan
penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi
masyarakat Islam.
d. Ketika suatu permasalahan yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan
seperti prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan
pertimbangan (ijtihad).
e. Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah sebagai
berikut:
1) MUI berkaitan dengan:
a) Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan
dengan masyarakat Islam Indonesia secara umum.
b) Masalah-masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu
yang dianggap dapat diterapkan di wilayah lain.
2) MUI tingkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang sifatnya
lokal dan kasus kedaerahan, tetapi setelah berkonsultasi dengan MUI
pusat dan komisi fatwa.
f. Sidang komisi fatwa harus dihadiri para anggota komisi fatwa yang telah
diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi dengan
kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.
g. Sidang komisi fatwa diselenggarakan ketika:
1) ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
2) Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah, lembaga-lembaga
sosial, dan masyarakat atau MUI sendiri.
h. Sesuai dengan aturan sidang komisi fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan dengan
masalah tertentu harus diserahkan Ketua Komisi Fatwa kepada ketua MUI
Nasional dan propinsi.
33
i. Pimpinan Pusat MUI nasional/propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu ke
dalam bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.
B. Pemikiran Jaringan Islam Liberal
JIL mengungkapkan bahwa penggunaan nama Islam liberal sengaja
ditujukan untuk menggambarkan prinsip-prinsip yang mereka anut, yaitu Islam yang
menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang
menindas. Liberal di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. JIL percaya
bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan
secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Untuk mewujudkan Islam
Liberal yang mereka maksud itulah, JIL dibentuk. Sedangkan kata Jaringan sendiri
dipilih karena dianggap mewakili tujuan JIL untuk menyebarkan gagasan Islam
Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Sehingga JIL diharapkan menjadi wadah
yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap
gagasan Islam Liberal.
93
Menurut Ulil, alasan membubuhkan kata liberal pada Islam, sesungguhnya
hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya
adalah niat atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri.
Kata liberal di sini, menurutnya tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa
batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan intrinsik dalam
akal manusia itu sendiri. Karena dengan menekankan kembali dimensi kebebasan
manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka itu
berarti telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri.
94
Greg Barton lebih senang menyebut pemikiran liberal dengan istilah
pemikiran neo-modernisme. Ia menyebutkan bahwa gerakan neo-modernisme adalah
sebuah gerakan intelektual yang membutuhkan kajian secara detail dan seksama.
Gerakan ini menurutnya berusaha memadukan cita-cita liberal yang progresif dengan
93
Lihat dalam http://islamlib.com/id/tentangkami.php, diakses 8 November 2007
94
Keyakinan Ulil ini didasarkan pada pemikiran mutazilah yang ia rasa lebih tepat untuk
digunakan dalam konteks pemikiran non-Ibadah, artinya dengan memaksimalkan peran akal dalam
mencari standar kebenaran. Lihat Ulil Absar Abdalla, Agama, Akal, dan Kebebasan, dikutip dari
http://www.seasite.niu.edu/trans/indonesian/Concordance/Jaringan%20Islam%20Liberal-Ulil.htm,
diakses 31 Desember 2007.
34
keimanan yang shaleh.
95
Dari defenisi tersebut bisa disimpulkan bahwa yang
dimaksud Barton dengan neo-modernisme juga mencakup ide liberal di dalamnya.
1. Sejarah Lahirnya JIL
Pemikiran liberal di Indonesia tidaklah lahir bersamaan dengan lahirnya
JIL. Ia telah ada puluhan tahun sebelum JIL berdiri. Munculnya pemikiran liberal
Indonesia tidak terlepas dari pemikiran liberal dari dunia Arab, juga tidak
terlepas dari pengaruh pemikiran keagamaan di Amerika dan di Eropa. Di benua
Amerika telah lama berkembang pemikiran keagamaan yang mengarah pada
rekontekstualisasi doktrin agama, pemikiran tentang perlunya dialog antaragama,
dialog intereligius dan dialog praksis. Sementara di Eropa telah berkembang pula
pemikiran keagamaan yang sangat radikal yakni pemikiran tentang perlunya
reaktualisasi pemikiran keagamaan khususnya di kalangan katolik dan Protestan.
Charless Kurzman menyebutkan bahwa Islam liberal muncul sekitar abad
ke-18 saat kerajaan Turki Utsmani, Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah
berada di gerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk
mengadakan gerakan permurnian, kembali kepada Al-Quran dan sunnah. Pada
saat ini, muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah di
India (1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat
sesuai dengan kebutuhan pcnduduknya. Hal ini juga terjadi di kalangan Syiah
Iran. Adalah Muhammad Bihbihani (1790) yang mulai berani mendobrak pintu
ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
96
Ide ini terus bergulir. Di Mesir, muncul Rifaah Rafi al-Tahtawi (1801-
1873), yang mulai memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam.
Tahtawi adalah seorang tradisionalis. Dia adalah salah seorang anggota delegasi
pertama dari negara Muslim yang dikirim ke Barat. Bermula dari sini bisa
dikatakan bahwa tradisi pengiriman Muslim ke Barat adalah mengikuti tradisi
Tahtawi. Hampir semasa dengan Tahtawi, muncul Shihabuddin Marjani (1818-
95
Greg Barton, Gagasan., hal. 8.
96
Charles Kurzman. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. xx-xxiii.
35
1889) di Rusia dan Ahmad Makhdun (1827-1897) di Bukhara, yang memasukkan
mata pelajaran sekuler ke dalam kurikulum pendidikan Islam.
97
Di India ada Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1880) yang membujuk kaum
Muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada
tahun 1877 ia membuka suatu kolese yang kemudian menjadi Universitas
Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of
Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada
masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad adalah
Pelopor Agung Rasionalisme.
98
Di Mesir muncullah M. Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi
pemikiran mu'tazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari
pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropa dan
pelopor emansipasi wanita, penulis buku Tahrir al-Mar'ah. Lalu muncul Ali Abd.
Raziq (1888-1966). Lalu yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam
tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad hanyalah pemimpin agama.
Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatakan
bahwa yang dikehendaki oleh Al-Quran hanyalah sistem demokrasi tidak yang
lain.
99
Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di
Perancis. Ia menggagas tafsir Al-Quran model baru yang didasarkan pada
berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena
tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam
berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan
keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar
Islam.
100
Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika
dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual,
97
Ibid.
98
W. Montgomery Watt. Kerajaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yoyakarta:
Tiara wacana, 1990), hlm.132.
99
Ibid. Ali Abd. Raziq sendiri akhirnya akibat pemikiran yang ia keluarkan dipecat dari
anggota ulama al-Azhar. Lihat Leonard Binder, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi
Pembangunan (Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2001), hlm. 213.
100
W. Montgomery Watt. Kerajaan., hlm. 142-143.
36
satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan Al-
Quran itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh
Al-Quran adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk
diterapkan.
101
Pemikiran yang bercorak liberal dari berbagai penjuru negara tersebut
akhirnya merasuk ke dalam pemikiran intelektual muslim Indonesia. Ada
beberapa pemikiran tentang Islam yang mendahului lahirnya Islam liberal ini,
yaitu pembaruan Islam yang mengusung ide-ide sekularisasi dan neo-
modernisme serta pandangan pluralisme-inklusif di kalangan pemikir Islam.
Tokoh-tokoh yang mempunyai pemikiran ini antara lain Abdur Rahman Wahid,
Nurcholish Majid, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib.
Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) terkenal sebagai tokoh yang
menggaungkan ide pembaruan Islam yang disebutnya sebagai pribumisasi
Islam. Konsep tersebut menurut Gus Dur sebagai usaha melakukan pemahaman
terhadap nash terkait dengan kondisi negara Indonesia. Pribumisasi ini
menurutnya adalah upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama. Ada beberapa
argumen Gus Dur guna mempertahankan tawaran pribumisasi Islam ini. Pertama,
alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam,
baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Artinya, Islam
senantiasa mengalami proses pergulatan dengan kenyataan-kenyataan historis.
Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fiqih dengan adat,
menurutnya adat tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau
mengembangkan aplikasinya saja
102
.
Sedangkan Istilah neo-modernisme sebenarnya pertama kali digulirkan oleh
Fazlur Rahman. Neo-modernisme yang disuguhkan oleh Fazlur Rahman bertitik
tolak dari ide pembaruan pemikiran yang mencoba membongkar doktrin-doktrin
Islam. Meskipun tidak bisa disimpulkan bahwa Fazlur Rahman adalah tokoh
yang melahirkan pemikiran liberal di Indonesia, namun pengaruhnya terhadap
pola pemikiran kaum liberal di Indonesia tidak bisa dipungkiri. Dia orang yang
101
Ibid.
102
Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, (Bandung:
Zaman Wacana Mulia, 1998), hal. 179-191
37
berpengaruh dalam mengantarkan Nurcholish Madjid untuk mengambil gelar
Ph.D. dalam kajian-ajian keislaman dari pada pilihan pertamanya, ilmu poitik.
Fazlur Rahman juga yang membimbing riset Nurcholish Madjid tentang Ibn
Taimiyah
103
.
Begitu juga dengan Djohan Effendi dan Ahmad yang Wahib sama-sama
memiliki gairah intelektual yang tinggi. Keduanya percaya akan dapat melalui
sebuah pendekatan untuk membongkar wacana Islam secara lebih memuaskan
bagi masyarakat Indonesia abad XX melalui perwujudan Ijtihad yang terus
menerus, dengan semangat bahwa apa yang dibutuhkan adalah proses pencarian
rasional yang kontinyu tanpa harus terikat batasan-batasan tabu maupun
kebiasaan dogmatik
104
.
Jadi, pemikiran-pemikiran liberal atau progresif dalam konteks Indonesia
sesungguhnya telah muncul jauh sebelum berdirinya institusi Jaringan Islam
liberal. Di lingkungan NU misalnya, gelombang pemikiran Islam progresif
dimulai secara agak masif justru oleh teman-teman muda NU di Yogyakarta yang
bernaung di bawah LKiS. LKiS semenjak tahun 90-an awal adalah salah satu
lembaga yang concern menerbitkan dan menerjemahkan buku-buku keislaman
yang progresif, seperti terjemahan buku Abdullahi Ahmed An-Naim,
Dekonstruksi Syariah; Kiri Islam oleh Hassan Hanafi, dan lain-lain. Begitu juga
teman-teman NU Surabaya yang tergabung dalam LSAF yang menerjemahkan
buku Mahmud Muhammad Taha dengan judul Syariah Demokratik. Sementara
JIL secara kelembagaan itu baru berdiri pada tahun 2001 sebagai sebentuk reaksi
atas semakin menjamurkan kelompok fundamentalis Islam di Indonesia.
Sebagaimana lembaga-lembaga kajian yang lain, JIL juga memiliki perhatian
utama untuk mensosialisasikan pemikiran keislaman yang progresif.
105
Pada mulanya JIL hanya kelompok diskusi yang merespon fenomena-
fenomena sosial-keagamaan, kemudian berkembang menjadi kelompok diskusi
(milis) Islam Liberal (islamliberal@yahoogroups.com). Kelompok ini terus
mendiskusikan berbagai hal mengenai Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan.
103
Greg Barton, Gagasan., hal. 446-447
104
Ibid. hal. 69
105
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=784, diakses pada 31 Desember 2007
38
Kelompok diskusi ini diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis,
intelektual, dan pengamat politik seperti Taufik Adnan Amal, Rizal
Mallarangeng, Denny JA, Eep Saifulloh Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla,
Saiful Mujani, Hamid Basyaib, dan Ade Armando.
106
2. Agenda dan Misi JIL
Kalangan Islam liberal pada umumnya mempunyai agenda yang hampir
seragam, yaitu dalam wilayah politik mereka menentang teokrasi, mendorong
demokrasi manjamin hak-hak perempuan dan teologi pluralisme serta dialog
dengan non-Muslim; dalam wilayah kultural kebebasan berfikir dan gagasan-
gagasan kemajuan. Adapun transformasinya yaitu melalui institusi pendidikan,
penerbitan dan jaringan intelektual liberal.
107
Agenda yang diusung oleh Jaringan Islam Liberal tidaklah jauh berbeda
dengan agenda-agenda di atas. Assyaukani, salah seorang penggagas JIL yang
juga dosen di Universitas Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda
Islam Liberal. Pertama, Agenda politik. Menurutnya urusan negara adalah murni
urusan dunia, sistem kerajaan maupun parlementer (demokrasi) tidak ada
bedanya. Kedua, Mengangkat kehidupan antaragama. Menurutnya perlu
pencarian teologi pluralisme mengingat semakin majemuknya kehidupan
bermasyarakat di negeri-negeri Islam. Ketiga, Emansipasi wanita. Agenda ini
mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama
yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini
karena doktrin-doktrin tersebut -dari manapun sumbernya- bertentangan dengan
semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati hak-hak
semua jenis kelamin.
108
Keempat, Kebebasan berpendapat. Agenda ini menjadi
penting dalam kehidupan kaum Muslim modern, khususnya ketika persoalan ini
berkaitan erat dengan masalah hak-hak asasi manusia.
109
106
Ahmad Bunyan Wahib, Jaringan Islam Liberal: Towads A Liberal Islamic Thoght In
Indonesia, Jurnal Studi Islam Profetika, Vol. 6, No tahun 2004. Diterbitkan. Program Magister Studi
Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
107
Yudhie R. Haryono, Post Islam Liberal, (Bekasi: Airlangga Pribadi, 2002), hal. 256-288.
108
Lihat Q.S. Al-Ahzab (33): 35, Al-Hujurat (49): 13, dan An-Nisa (4): 1.
109
Luthfi asy-Syaukani, Empat Agenda Islam yang Membebaskan, dikutip dari
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=87, diakses 31 Desember 2007. Lihat juga Adian
Husaini dan Nuaim Hidayat, Islam.,hal. 3.
39
Sedangkan Misi Islam liberal, menurut Kurzman, bertitik tolak pada
suatu rasionalitas untuk selalu menjaga kesinambungan syariat Islam dengan
tuntutan sejarah. Pemahaman yang hanya menyandarkan pada teks-teks dengan
ketentuan normatif agama dan pada bentuk-bentuk formalisme sejarah Islam
paling awal jelas sangat kurang memadai. Dan di kalangan sebagian besar umat
Islam, pola semacam inilah yang berkembang dengan sangat subur. Jika ini terus-
menerus dipertahankan, Islam akan membayarnya dengan harga yang sangat
mahal, karena dengan pola pikir seperti ini, Islam akan menjadi agama yang
historis dan eksklusif. Inilah yang menjadi keprihatinan Islam liberal.
110
Agenda yang selama ini menjadi perjuangan JIL bila dilihat dari tema-
tema yang disusun Kurzman yang secara global dapat dikelompokkan dalam
enam tema: Menentang teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-
Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan. Dari tema-tema
tersebut, terdapat beberapa tokoh yang dianggap menjadi representasi tema-tema
tersebut dan diangkat Kurzman. Misalnya, Ali Abdul Raziq, Muhammad Natsir,
Nazira Zein ed-Din, Humayun Kabir, Ali Syariati, dan Muhammad Iqbal. Tema-
tema itu juga yang banyak diperjuangkan JIL di Indonesia.
111
JIL secara garis besar memiliki tiga misi utama. Pertama,
mengembangkan penafsiran Islam yang liberal yang sesuai dengan prinsip yang
mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua,
mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari konservatisme. Mereka
yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam
yang sehat. Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang
adil dan manusiawi. Di tempat lain, Ulil menyebutkan ada tiga kaidah yang
hendak dilakukan oleh JIL yaitu: Pertama, membuka ruang diskusi,
meningkatkan daya kritis masyarakat dan memberikan alternatif pandangan yang
berbeda. Kedua, ingin merangsang penerbitan buku yang bagus dan riset-riset.
110
Charles Kurzman. Wacana., hal. 33.
111
Charles Kurzman. Wacana., hal. xliii-lx
40
Ketiga, dalam jangka panjang ingin membangun semacam lembaga pendidikan
yang sesuai dengan visi JIL mengenai Islam.
112
Sebenarnya cita-cita JIL menurut Zuly Qodir sangat mulia. Teks-teks
wacana Islam Liberal baginya mempunyai visi-misi terciptanya masyarakat
muslim yang modern (maju), toleran, terbuka, humanis, dialogis, dinamis,
inklusif dan pluralis.
113
Meski demikian, penerimaan masyarakat terhadap visi
misi tersebut tidaklah sejalan. Bahkan JIL mendapat tanggapan miring dari
masyarakat dan dianggap sesat-menyesatkan. Perdebatan menjadi tidak sehat,
emosional dan tidak proporsional. Misalnya, JIL dituduh sebagai antek zionis,
dan berselingkuh dengan kalangan Kristen.
114
Tidak sedikit yang menghubung-hubungkan pemikiran dan kelahiran JIL
dengan agenda yang dimiliki barat.
115
Penyebab lahirnya JIL diindikasi lebih
banyak disebabkan pengaruh eksternal dari pada perkembangan alami dari tradisi
Islam sendiri. Indikasi ini menurut Khalif Muammar bisa dibaca dari Leornard
Binder yang telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam
bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam
buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam
Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan
tonggak utamanya, gerakan liberal ternyata tidak lebih daripada alat untuk
mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan Liberal ala Barat (AS
112
Bustamam Ahmad Kamaruzzaman. Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,
2004), hlm. 95
113
Zuly Qodir, Islam., hal. 139.
114
Muhsin Jamil, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar: Pergulatan Islam Liberal Versus
Islam Literal, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2005), hal. 137-138.
115
Di antara tokoh yang terus menyuarakan hal ini adalah Adian Husaini. Adian Husaini
mengemukakan adanya tiga alasan yang menyebabkan Barat menjadi sekular liberal, sehingga tidak
bisa diadopsi dalam Islam. Pertama, Problem Sejarah Kristen. Kedua, problem teks bible. Ketiga,
problem teologi kristen. Alasan-alasan tersebut tidak bisa diqiyaskan dalam Islam, karena problem
yang menjadi alasan tersebut tidak bisa diaplikasikan dalam Islam. Lihat Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press,
2005), hal. 28-57.
41
dan Eropa).
116
Bahkan JIL disebut sebagai kepanjangan imperialisme barat,
karena kedekatannya dengan Asia Foundation.
117
3. Karakteristik Ijtihad JIL
Liddle sebagaimana dikutip Adian Husaini mengemukakan bahwa
kalangan Islam liberal memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
118
a. Mereka percaya bahwa isi dan substansi ajaran Islam jauh lebih penting dari
pada bentuk dan labelnya. Dengan menekankan substansi ajaran moral,
sangat mudah bagi kaum substansialis untuk mencari common ground dengan
penganut agama dan kaum moralis lainnya untuk membentuk aturan publik
bersama.
b. Mereka percaya bahwa meskipun Islam (Al-Quran) bersifat universal dan
abadi, namun ia harus terus menerus diinterpretasi ulang untuk merespon
zaman, yang terus berubah. Zaman pasca industri menjelang abad ke-21 jelas
berbeda secara ekonomi, politik dan kultur, dengan zaman ketika Islam
pertama kali turun di era sebelum industri, lebih dari seribu tahun lalu.
c. Mereka percaya karena keterbatasan pikiran manusia mustahil mereka
mampu mengetahui kehendak tuhan secara tepat. Kemungkinan salah
menafsirkan kehendak Tuhan harus terus hidup dalam pikiran mereka.
Dengan sikap ini, mereka akan lebih bertoleransi atas keberagaman
interpretasi dan membuat dialog dengan pihak yang berbeda. Kompromi
untuk hal-hal yang bersifat publik, yang mengatur kehidupan bersama, lebih
mudah dilakukan. Kesediaan berkompromi adalah salah satu sokoguru
demokrasi.
d. Mereka menerima bahwa bentuk final negara Indonesia bukan sebagai negara
Islam. Dengan demikian, mereka tidak akan berupaya mendirikan negara
116
Khalif Muammar, Dalang Dibalik Gerakan Islam Liberal di Berbagai Negeri Muslim Saat
Ini dikutip dari http://swaramuslim.net/more.php?id=1518_0_1_0_M yang dikutip dari INSISTNET.
COM. Diakses pada 31 Desember 2007.
117
Thoriq, JIL, CIA, Asia Foundation dan Imperialisme Barat, dikutip dari
http://swaramuslim. net/more.php?id=501_0_1_0_M, diakses 31 Desember 2007. Bandingkan dengan
Siddiq al-Jawi, Wajah Liberal Islam di Indonesia, makalah, disampaikan dalam Seminar Nasional
dan bedah buku yang diselenggarakan oleh HMJ Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Diponegoro, di Auditorium UNDIP Pleburan, Semarang, pada hari Selasa 8
Oktober 2002, hal. 1
118
Adian Husaini dan Nuaim Hidayat, Islam.,hlm.8-9.
42
Islam yang menjadikan negara sebagai instrumen agama Islam saja.
Netralitas negara terhadap pluralitas agama di Indonesia akan sangat mudah
diterima.
Jaringan Islam Liberal juga mengartikan istilah Islam Liberal sebagai
suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam yang menurut mereka memiliki
landasan sebagai berikut:
119
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya
bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip
utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca.
Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah
ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan
mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa
diselenggarakan dalam semua segi, baik segi interaksi sosial (muamalat),
ritual (ubudiyyat), dan teologi (ilahiyyat).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang
dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam
berdasarkan semangat religio-etik Al-Quran dan Sunnah Nabi, bukan
menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks.
Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran
yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang
secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Islam Liberal
mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran
keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, terbuka dan plural. Bersifat relatif
karena sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh
konteks tertentu. Terbuka karena setiap bentuk penafsiran mengandung
kemungkinan salah, selain kemungkinan benar. Dan bersifat plural, sebab
penafsiran keagamaan adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir pada
suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
119
Bustamam Ahmad Kamaruzzaman. Wajah., hlm. 89-90. lihat juga http//islamlib.com/id/
tentangkami.php. diakses 8 November 2007.
43
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Islam Liberal berpijak pada
penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan
dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang menjalankan praktek
ketidakadilan atas kaum minoritas merupakan satu bentuk yang berlawanan
dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang
luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, dan
ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama. Islam Liberal meyakini bahwa urusan
beragama atau tidak beragama adalah hak perorangan yang harus
dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan
(persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan tertentu.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus
dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal
yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik
adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah
sumber inspirasi yang dapat memengaruhi kebijakan publik, tetapi agama
tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik.
Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan
melalui proses konsensus.
Berkaitan dengan gerakan neo-modernisme yang juga diusung oleh JIL,
setidaknya dalam pandangan Umaruddin Masdar, terdapat lima ciri dari neo-
modernisme tersebut, yaitu:
120
a. Neo-modernis adalah gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap
positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan.
b. Neo-moderinsme tidak seperti aliran fundamentalisme, neo-modernisme tidak
melihat Barat sebagai ancaman atas Islam dan umatnya. Peradaban Barat dan
Islam harus saling mengisi.
120
Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi,.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.121-122.
44
c. Neo-modernisme Islam mengafirmasi semangat sekularisasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagai salah satu upaya membangun titik temu
antara Islam dan negara.
d. Neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka,
inklusif dan liberal, utamanya dalam menerima dan mengafirmasi pluralisme
masyarakat dan menekankan signifikansi toleransi dan harmoni dalam
hubungan antar-komunal.
e. Neo-modernisme banyak mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam
rasionalisme ijtihad secara kontekstual.
Sementara itu, Adian Husaini setelah meneliti berbagai tulisan yang
disebarkan kaum Islam Liberal di Indonesia, menyimpulkan adanya beberapa
pokok ajaran Islam Liberal, yaitu:
121
a. Menghancurkan akidah Islam dengan menyebarkan paham pluralisme agama.
b. Meruntuhkan bangunan syariat Islam dengan program kontekstualisasi ijtihad
dan penggunaan metodologi interpretasi hermeunetika terhadap Al-Quran.
c. Membongkar konsep Al-Quran sebagai wahyu Allah, lafdhan wa manan
minallah, yang suci dari kesalahan.
d. Membongkar konsep-konsep dasar Islam seperti makna iman, kufur, murtad,
Islam, dan sebagainya.
e. Meruntuhkan otoritas ulama dalam pemahaman Islam.
f. Mendukung kerusakan akhlak, dengan berpegang pada paham liberalisme
dan relativitisme moral.
Membaca karakteristik Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak hanya bisa
dilakukan dari pengakuan mereka terhadap jenis ijtihad yang mereka gunakan.
Pembacaan tersebut juga bisa dilakukan melalui wacana yang dikembangkan JIL
atau melalui gaya JIL dalam merespon fenomena sosial yang berkembang. Bagi
penulis, mengkritisi proses berpikir (ijtihad) JIL itu lebih penting dari pada
bersusah payah menghujat wacana yang mereka kembangkan, karena bila
121
Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama, dan Diabolisme Intelektual, (Surabaya:
Risalah Gusti, 2005), hal. x
45
pondasi hukum yang digunakan runtuh, maka dengan sendirinya bangunan
hukum yang ada di atasnya juga runtuh.
122
Sebenarnya JIL bukanlah kelompok pertama yang menghendaki
pembaruan fikih. Jauh sebelum kelahiran JIL, banyak tokoh-tokoh yang
mengendaki pembaruan ushul fiqih antara lain Hasan Turabi. Turabi menilai
bahwa ushul fiqih tidak lagi relevan untuk sekarang ini. Ia hanya sesuai untuk
masa tersebut. Tokoh lain adalah Abu Hamid Abu Sulaiman yang menilai ushul
fiqih hanya bersifat tekstual dan Linguistic oriented, sehingga cenderung
melupakan unsur historisitas teks. Langkah Abu Sulaiman ini diikuti oleh
Muhammad Syahrur, Arkoun dan Fazlur Rahman. Arkoun mengkritik syafii
yang telah membakukan sumber hukum Islam dan sunnah sedemikian rupa
sehingga menjadi sesuatu yang unthinkable. Dalam penilaian Arkoun konstruksi
ushul fiqih klasik sangat kental dipengaruhi ideologi dominan ketika itu.
Sedangkan Fazlur Rahman mendesak agar metode penafsiran Al-Quran yang
dibakukan melalui Ushul fiqih segera dirombak. Menurutnya Al-Quran harus
dipahami dalam konteks masyarakat ketika ia diturunkan. Karena mengabaikan
relitas sosial hanya akan berujung pada penegasian tujuan dan obyektifitas moral-
sosial Al-Quran.
123
Terjadinya pemikiran liberal inii juga tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan ilmu-ilmu sosial. Kemunculan pendekatan baru dalam ilmu,
seperti ilmu sosial kritis, post-kolonial, post-struktural, dan oksidentalisme
memberikan kontribusi terhadap revolusi pemikiran yang telah ada. Belum lagi
kemunculan madzhab-madzhab baru dalam ilmu-ilmu sosial, seperti madzhab
post-modernisme, madzhab sosial demokrat madzhab sosial religius dan lain
122
Pentingnya metode ijtihad dalam hukum Islam bisa didasarkan pada hadis nabi, seorang
hakim yang telah melakukan ijtihad, jika kesimpulan ijtihadnya betul, maka untuknya dua pahala.
Namun jika kesimpulannya salah, maka baginya satu pahala. Lihat. Imam Bukhori, Shohih al-
Bukhori, Bab Ajru al-Hakimi Idza Ijtahada Fa Ashoba aw Akhtoa (t.t.p.: Dar Ihya Turats al-
araby, t.t.), hadis No. 7187. diriwayatkan Abi Qois dari Amru ibnu Ash. Hadis ini selain
diriwayatkan bukhori, juga diriwayatkan oleh Muslim, sehingga hadis ini muttafaq alaih. Maksud
dari hadis ini adalah bila metode dan hasil yang dicapai benar, maka mendapat poin dua. bila
metodenya benar dan hasilnya salah, maka poinnya satu. Sementara bila metodenya salah, baik
hasilnya benar atau salah, maka poinnya nol. Lihat Ibnu Hajar al-Asqolany, Fath al-Bari bi Syarh al-
Bukhori, Bab Ajru al-Hakimi Idza Ijtahada Fa Ashoba aw Akhtoa (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
123
Nirwan Syarfin, Konstruksi Epistimologi Islam: Telaaah Bidang Fiqih dan Ushul Fiqih,
dalam ISLAMIA Tahun II No. 5/ April-Juni 2005, (Jakarta: Institut for the Study Islamic Thought and
Civilization [INSIST] bekerja sama dengan Penerbit Khairul Bayan, 2005), hlm.45-46
46
sebagainya. Yang pasti model kritik dan dekonstruksi menjadi ciri khas
kelompok liberal dalam memahami Islam, sehingga memang terkesan
provokatif.
124
4. Respon Masyarakat Terhadap Pemikiran JIL
Ketika wacana Islam liberal di Indonesia kembali menghentak, seolah
terjadi gempa tektonik dalam jagad pemikiran Islam Indonesia. Kehebohan
yang paling menonjol adalah ketika kordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla,
melansir tulisannya tentang penyegaran kembali pemahaman Islam di harian
Kompas. Beragam tanggapan mengalir dari berbagai kalangan. Ada yang
mendukung dan banyak juga yang menentang sehingga selalu terjadi dialog dan
perdebatan yang sampai saat ini terus berlanjut. Hal ini menunjukkan bahwa
pemikiran-pemikiran kelompok JIL mendapatkan respon dari masyarakat dan
menghasilkan kajian-kajian baru dalam ranah hukum Islam.
Dampak dan respon yang diberikan masyarakat kepada pemikiran
liberal ini pernah terjadi dan dialami oleh Alm. Nurcholish Madjid. Banyak
sekali pemikir-pemikir yang menolak dan menentang pendapat Nurcholish,
bahkan pengkritik itu berasal dari kalangan ICMI sendiri, seperti Moh. Amien
Rais, A.M. Syaifuddin, Sri Bintang Pamungkas, dan lain-lain.
125
Hal yang sama
terjadi pada Ulil, koordinator JIL. Ia dianggap telah murtad karena telah
melakukan penghinaan terhadap Islam dalam artikelnya di harian Kompas.
Sehingga Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) dengan Athian Ali sebagai
ketuanya mengeluarkan fatwa hukuman mati kepada Ulil.
126
Nahdaltul Ulama (NU) sebenarnya pernah melarang penyebaran paham
liberalisme keagamaan dalam Muktamar NU ke-35 di Boyolali, Jawa Tengah.
Muhammadiyah. Namun, sejumlah aktivis NU masih terus mengembangkan
paham ini melalui lembaga-lembaga otonom NU. Begitu juga Muhammadiyah,
meskipun tokoh-tokoh liberal sudah tersingkir dari Muktamar Muhammadiyah
124
Zuly Qodir, Syariah Demokratik; Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hal. 99-100.
125
Daud Rasyid. Pembaruan., hal 77-79.
126
Ulil Abshar Abdalla dkk, Islam., hal. 15
47
ke-45 di Malang, tetapi penyebaran paham ini masih terus dilakukan oleh
beberapa aktivis Muhammadiyah.
127
Secara garis besar tanggapan masyarakat terhadap kehadiran JIL dengan
pemikirannya yang progresif dan liberal ini sebagaimana yang dirumuskan Zuly
Qodir ada dua. Pertama, menolak gagasan-gagasan JIL karena dianggap
membahayakan cara beragama masyarakat Islam Indonesia. Selain itu JIL juga
diidentikkan dengan imperialis Amerika dan misionaris Kristen sebab JIL
menawarkan hal-hal baru yang dianggap menyimpang dari format baku Islam.
Tangapan semacam ini umumnya diutarakan oleh kelompok Islam
fundamentalis Kedua, tidak merisaukan kehadiran dengan berbagai produk
pemikirannya. Apa yang ditawarkan oleh JIL merupakan proses alamiah dan
tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepentingan kelompok-kelompok
tertentu. JIL dianggap membuka kebebasan pemikiran, khususnya tentang
keislaman.
128
Pemikiran-pemikiran JIL dapat dikategorikan elitis atau konstruksi Islam
elit. Tema-tema yang diangkat oleh JIL seperti Islam dan demokrasi, Islam dan
pluralisme, HAM dan lainnya tidak semuanya bisa diikuti dan dipahami oleh
setiap orang. Tema-tema tersebut merupakan tema khas kalangan intelektual
yang telah dibekali dengan berbagai perangkat keilmuan, seperti ilmu politik,
ilmu sosial kritis, ilmu sosiologi, antropologi, maupun ilmu sejarah dan ilmu
yang berkaitan dengan kajian Islam, seperti ulumul Quran, ulumul hadis dan
sejarah Islam,
129
sehingga kemudian sangat beralasan bila perkembangan
pemikiran Islam liberal pun menimbulkan reaksi pro dan kontra. Bagi kelompok
yang pro antara lain memiliki alasan dan pandangan bahwa:
130
a. Ajaran Islam harus terus menerus ditafsirkan sesuai dengan perkembangan
masyarakat di berbagai tempat dan masa. Keharusan ini muncul karena
127
Adian Husaini, Islam., hal. xiii
128
Zuly Qodir, Islam., hal. 81-82
129
Ibid, hlm.105. Bandingkan dengan Melawan Ekstremisme Menuai Kesesatan, Majalah
Gatra, 8 Desember 2001, hal. 72. Tulisan ini juga meyakini bahwa gagasan liberal yang dipromosikan
oleh Intelektual Muslim dianggap tidak berhasil dan sukses karena terlalu elitis.
130
Lihat dalam tulisan Prof. Dr H. Hamadi B. Husain, MA., Dekonstruksi Pemikiran Islam
Liberal (sebuah otokritik) dalam Ridlwan Nasir (ed), Dialektika Islam Dengan Problematika
Kontemporer, (Surabaya: IAIN Press, 2006) Hal. 161-178
48
masyarakat akan terus mengalami permasalahan dengan karakteristik yang
berbeda dan berkembang. Bahkan pada masa Nabi Muhammad masih hidup,
beliau membolehkan Muadz Bin Jabal, ketika akan menjabat gubernur di
Yaman, suatu wilayah dengan karakter yang berbeda dengan Makkah dan
Madinah, untuk melakukan ijtihad terhadap permasalahan-permasalahan yang
belum ditemukan jawabannya dalam Al-Quran dan as-Sunnah.
b. Ancaman serius bagi setiap pemikiran keagamaan adalah kemandegan dan
ketiadaan semangat inovasi. Kondisi semacam itu akan menyebabkan agama
kehilangan relevansinya dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah.
Pemikiran keagamaan dalam bentuk tafsir, teologi dan lebih-lebih fikih,
bagaimanapun merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya.
Sedangkan bagi mereka yang kontra dengan pemikiran Jaringan Islam
Liberal antara lain berpandangan:
131
a. Tidak banyak hal baru yang diungkap pemikiran JIL. Sejak awal abad 20,
para pemikir yang disebut sebagai pembaharu pemikiran Islam dengan
berbagai variasi gaya dan kecanggihan melontarkan sebagian atau semua
unsur-unsur pemikiran JIL. Muhammad Abid Al-Jabiri, Sayyid Ahmad Khan,
Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, adalah sebagian di antara mereka yang
disebut sebagai pembaharu.
b. Gagasan yang dilontarkan kelompok JIL tidak bisa lagi dianggap sebagai hal
yang absah dan berada dalam koridor Ikhtilafiyah (perbedaan pendapat) yang
memang sangat dikenal dalam lapangan pemikiran Islam. Gagasan-gagasan
yang diusung JIL telah masuk pada wilayah inhirofiyah (penyimpangan
pendapat). Sebab landasan berpijak yang sering digunakan adalah
sekularisme. Bukti konkretnya bisa dilihat dari tema-tema yang sering
diangkat oleh JIL.
131
Ibid.
49
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP
MASLAHAT DALAM ISLAM
A. Pengertian Maslahat
132
Maslahat secara etimologi memiliki dua makna yang berbeda. Pertama,
maslahat memiliki arti yang sama dengan manfaah, baik dalam arti maupun
pemakaian lafaznya.
133
Kedua, maslahat secara bahasa digunakan terhadap perbuatan
yang mengandung manfaat dalam bentuk majaz mursal, seperti perdagangan
maslahat, mencari ilmu maslahat. Artinya perbuatan berdagang dan mencari ilmu
yang bisa mendatangkan maslahat.
134
Maslahat merupakan isim masdar dari soluha, solaha. Maslahat juga setara
maknanya dengan al-sulhu dan al-solah yang merupakan lawan dari al-fasad.
135
Maslahat secara bahasa juga bisa diartikan segala sesuatu yang membangkitkan
kebaikan-kebaikan atau perbuatan-perbuatan yang diperjuangkan oleh manusia untuk
menghasilkan kebaikan bagi diri dan masyarakat sekitarnya.
136
Arti maslahat secara
bahasa ini memang belum begitu bisa menggambarkan maksud maslahat dalam
Islam. Hal ini karena definisi secara etimologi diambilkan dari term pokok yang
membentuk kata maslahat, sehingga mengakibatkan batasan yang cenderung
sangat luas.
Sedangkan definisi maslahat secara terminologi atau istilah syara telah
banyak dikemukakan oleh para ulama ushul. Di antaranya adalah:
132
Kata maslahat yang digunakan dalam tulisan ini setara atau memiliki maksud yang sama
dengan kata maslahah ( ) dalam bahasa arab. Artinya konteks kata maslahat yang dimaksud
dalam tulisan ini adalah maslahat yang berada dalam kajian ushul fiqh.
133
Pengertian semacam ini dapat dilihat misalnya dalam Louis Maluf, al-Munjid, (Beirut: Dar
al-Masyriq, 1986), hal. 432. lebih lanjut kamus ini juga menjelaskan bahwa sholaha, sebagai kata
dasar dari maslahat berarti hilangnya kerusakan atau kemafsadatan. Artinya ketika dikatakan dia ahli
mafsadat bukan maslahat, artinya dia termasuk golongan orang yang berbuat kerusakan.
134
Majaz semacam ini disebut majaz mursal musabbabiyat, yaitu majaz yang menyebabkan
akibat, tapi yang dimaksud sebenarnya adalah penyebabnya. Lihat Hafny bin Nafis dkk, Qowaid
Lughot al-Arobiyat al al-Talamidz al-Madaris al-Sanawiyah, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hal. 124-
127
135
Ibnu Mandur, Lisanul Arab, (t.t.p: Dar Ihya at-Turats al-Araby, t.t.), dalam software
Maktabah al-Fiqh al-Islamy, kategori al-Maajim.
136
Louis Maluf, al-Munjid., hal. 432
50
1. Imam Ghazali, memberikan definisi maslahat sebagai berikut:
137
Maslahat adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya (usaha)
mengambil manfaat dan menolak mudarat.
2. Imam Zarkasyi, salah seorang penganut madzhab Syafii mendefinisikan
maslahat dengan definisi yang tidak jauh berbeda dengan al-Ghazali.
: