Está en la página 1de 22

Obat Anti Inflamasi Nonsteroid

dan Asetaminofen : Farmakologi Untuk Masa Depan



Obat anti inIlamasi non steroid (OAINS) mencakup kelompok umum agen terapi
yang digunakan sebagai analgesik spektrum luas dan anti-inIlamasi. Dari aspirin,
OAINS pertama yang diproduksi secara komersial untuk peresepan analgesik lebih
dari 100 tahun yang lalu, OAINS konvensional telah dihasilkan dan sudah lama
digunakan dalam klinik sebelum mekanisme aksinya (yaitu menghambat sintesis
prostaglandin) sudah jelas. AsetaminoIen merupakan obat antiinIlamasi dan
antipireksia yang mungkin dikelompokkan sebagai OAINS berdasarkan manIaat dari
mekanisme aksinya pada metabolisme prostaglandin. Perkembangan coxib yang
sangat selektiI terus terjadi sejak pertengahan tahun 1990-an. Bab ini membicarakan
sejarah, Iarmakokinetik, penggunaan perioperatiI, dan eIek samping dari OAINS.

SE1ARAH
Salisilat
Pada abad ke-18 kulit kayu pohon willow (Salix alba) telah tercatat memiliki siIat
analgesik, berdasarkan sebuah surat dari revisi Mr. Edward Stone kepada the Royal
Society tahun 1763 menguraikan, 'a bark of an English tree, which I have found by
experience to be a powerful astringent, and very efhcacious in curing anguish and
intermitting disorders.` (sebuah kulit kayu English tree, yang saya temukan dari
pengalaman saya merupakan astringent yang kuat dan sangat ampuh dalam
menyembuhkan penderitaan (nyeri) dan gangguan intermitten). SiIat-siIat ini
dihasilkan oleh glikosida dari asam salisilat yang disebut sialicin, pertama kali
diisolasi dari alam sebagai yellow crystals oleh Buchner pada tahun 1828. Ahli kimia
Jerman juga sukses mengisolasi asam salisilat dari Meadowsweet (Spirea ulmaria)
tetapi tidak sampai disitu saja hingga akhir abad tersebut, di tahun 1860 ahli kimia
tersebut yang bernama Kolbe berhasil mensintesis asam salisilat dan garam
natriumnya dari Ienol, karbondioksida, dan natrium. Sejak saat itu, tersedianya
salisilat sintesis yang tidak mahal mendukung penggunaannya pada banyak indikasi
klinis, serta eIek analgesik, antipireksia, dan anti-inIlamasinya telah digunakan untuk
pengobatan demam rematik akut, gout dan arthritis. Akan tetapi eIek samping pada
tahap ini telah dikenali, mendorong seorang ahli kimia yang bernama HoIIman di
tahun 1893 mengembangkan salisilat yang kurang mengiritasi lambung, suatu eIek
samping yang dialami ayahnya yang mendapat pengobatan natrium salisilat karena
arthritis. Penemuan HoIIman akan asam asetil salisilat (Gambar 5.1), yang mana dia
telah keliru mempercayai bahwa kurangnya iritasi terhadap mukosa lambung sebagai
akibat menurunnya keasaman, diproduksi dan diperkenalkan dalam praktik klinik
oleh Bayer sebagai aspirin, berasal dari kata acetyl, dan spirin dari kata Spirsaure,
suatu derivat asam salisilat dari tumbuhan meadowsweet.

Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid
Istilah obat anti-inIlamasi nonsteroid atau OAINS merupakan istilah umum untuk
kelompok heterogen secara kimia dari obat-obatan yang disintesis sejak awal tahun
1900-an yang memiliki kegunaan sebagai analgesik, anti-inIlamasi, dan antipiretik
bersama-sama dengan aspirin. Analgesik nonopioid ini diklasiIikasikan berdasarkan
struktur kimia yang memberikan karakteristik yang mirip secara umum dalam setiap
kelompok, yaitu asam karboksilat, pyrazolone, oxicam, naphthylakalone, dan derivat
p-aminophenol (lebih jelasnya pada tabel 5.1)
Semua OAINS memiliki eIek yang sama dalam hal spektrum, tetapi hal itu
memberikan potensi terbesar untuk mengatasi nyeri akut yang diketahui sebagai eIek
analgesik dengan aksi anti-inIlamasi yang relatiI ringan. Dosis yang lebih besar dari
obat-obat ini yang diperlukan untuk eIek anti-inIlamasi yang cenderung dihubungkan
dengan kejadian eIek samping yang lebih tinggi.

Coxib
Coxib adalah istilah yang digunakan pada OAINS yang memiliki aksi inhibisi yang
istimewa terhadap siklooksigenase (COX) tipe 2, suatu isoIorm siklooksigenase,
dimana secara umum tidak terdeteksi pada jaringan normal tetapi terdapat dalam
konsentrasi yang tinggi pada makroIag dan diinduksi pada daerah yang mengalami
inIlamasi akut. Beberapa OAINS nonselektiI diketahui memiliki kerja yang istimewa
terhadap COX-2 dibandingkan dengan COX-1, contohnya meloxicam dan telah
dicatat rate dari iritasi lambung pada pasien yang mendapat pengobatan ini
dibandingkan dengan plasebo. Pencarian akan inhibitor COX-2 dengan selektiIitas
yang lebih tinggi mendorong penemuan roIecoxib dan celecoxib yang dilepas di
pasaran pada tahun 1999. Penjualan inhibitor COX-2 ini dengan cepat meluas ke
dalam industri senilai miliaran dollar dalam 2 tahun; namun kesuksesannya bertahan
sebentar dan pada tahun 2004, roIecoxib telah ditarik dari pasar oleh pabrik
pembuatnya, dan diikuti valdecoxib pada tahun 2005. Ketika Pengawas Makanan dan
Obat merilis beberapa data dari hasil Iollow-up penelitian secara detail menunjukkan
bahwa (termasuk eIek samping gastrointestinal) secara umum tingkat kejadian eIek
samping roIecoxib lebih tinggi dibandingkan OAINS lama sebagai kontrol,
khususnya tingkat kejadian eIek samping iskemik miokard lebih tinggi secara
signiIikan. Perdebatan akan eIek golongan inhibitor COX-2 ini masih terus berlanjut
dan sampai saat ini celecoxib dan agen COX-2 terbaru, seperti lumiracoxib masih
tetap dipasarkan.

5ara-Aminofenol
Meskipun tidak memiliki eIek terhadap metabolisme prostaglandin, asetaminoIen
masih sering digolongkan dan dijelaskan bersama dengan OAINS sebagai analgesik
nonopioid. AsetaminoIen hanya satu dari beberapa senyawa p-aminoIenol yang
disintesis pada abad ke-19 untuk tujuan analgesik dan antipiretik. Senyawa induknya
yaitu asetanilide ditemukan tahun 1886, tetapi segera ditemukan eIek toksik yang
terlalu sering berupa produksi methemoglobin. Pada tahun 1887, Ienacetin
diperkenalkan dan digunakan dalam satu periode sampai diidentiIikasi adanya
hubungan antara penggunaan dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama dengan
terjadinya nekrosis papiler ginjal yang dikenal secara klinis sebagai neIropati. Pada
tahun 1949, bahan aktiI dari asetanilid dan Ienacetin dikenalkan sebagai N-(4
hidroksiIenil) asetamida (Gambar 5.2), atau asetaminoIen dimana penggunaanya
menjadi populer dalam praktik klinik sebagai analgesik dan antipiretik yang eIektiI
meskipun bukan sebagai agen anti-inIlamasi. Pengadaan larutan asetaminoIen untuk
injeksi intravena pada pasar Eropa di awal tahun 2004 sangat mempengaruhi
peresepan asetaminoIen, terutama pada masa perioperatiI.

FISIOLOGI PROSTAGLANDIN
Prostaglandin pertama kali diisolasi pada tahun 1935 oleh Van Euler dari cairan
seminal sehingga dinamakan demikian setelah penemuannya yang sangat banyak dari
tempat dihasilkannya cairan seminal yaitu di glandula prostat. Prostaglandin awalnya
dijelaskan sebagai agen lokal aktiI jaringan yang memperantarai tonus otot polos dan
meskipun berbagai macam tipe telah dikenali, semuanya pada dasarnya berasal dari
asam prostanoic (Gambar 5.3). Sebuah molekul 20 rantai karbon dengan 5 cincin
karbon, dengan variasi derajat saturasi dan substitusi pada cincin ini di antara setiap
prostaglandin. Tata nama dari prostaglandin yang berbeda berasal dari proses asal
identiIikasinya, dimana prostaglandin E pertama kali diisolasi dari eter dan
prostaglandin F dari phosphate (swedish. fosfate). Prostaglandin merupakan anggota
dari keluarga eukasonoid, suatu metabolit teroksigenasi dari asam arakhidonat yang
juga di dalamnya termasuk leukotrin.

Sintesis Prostaglandin
Pada dasarnya kecepatan sintesis prostaglandin rendah. Peningkatan produksinya
dipicu oleh rangsangan seperti trauma yang mengaktivasi IosIolipase jaringan untuk
melepaskan asam arakhidonat dari membran IosIolipid plasma. !rostaglandin
endoperoxidase synthase (PEH), sebuah membran terikat glikoprotein dengan
aktivitas katalisis siklooksigenase dan hidroperoksidase, akan mengubah asam
arakhidonat menjadi berbagai prostaglandin (Gambar 5.4).
Siklooksigenase pertama-tama memasukkan 2 molekul oksigen ke dalam asam
arakhidonat 20-karbon menghasilkan endoperoksida siklik PGG2, yang kemudian
mengubah hidroperoksidase menjadi PGH2. Dari bentuk intermediet ini produk
prostaglandin utama yang stabil adalah PGE
2
, D
2
, F
2u
, I
2
(prostasiklin), dan
tromboksan A
2
.

Katabolisme Prostaglandin
Prostaglandin dengan cepat dipecah ke dalam bentuk metabolit inaktiI dan tidak
berubah dalam sirkulasi aliran darah. Terdapat jalur katabolik enzimatik spesiIik,
meskipun beberapa prostaglandin sudah menjadi siIatnya secara kimiawi tidak stabil.
Sebagai contoh, prostasiklin (PGI
2
) mengalami hidrolisis cepat non-enzimatik PGH
2

menjadi 6-keto-PGF
1u
yang bila dimetabolisme secara enzimatik menjadi 2,3-dinor-
6-keto-PGF
1u
. Dengan cara yang sama, agregator platelet dan vasokontriktor
tromboksan A
2
sangat tidak stabil dan dengan cepat dibuang menjadi tromboksan B
2
.
Pemecahan cepat secara spontan prostaglandin tertentu menyatakan secara tidak
langsung bahwa pengukuran metabolit inaktiI mungkin indikator terbaik dari laju
sintesis senyawa induk.
Metabolisme enzimatik dan non-enzimatik membatasi aksi prostaglandin secara lokal
pada tempat sintesisnya, karena itu prostaglandin dapat dikatakan sebagai hormon
yang bekerja lokal yang menyebabkan jaringan bereaksi terhadap keadaan tersebut
dengan segera tanpa adanya eIek sistemik.

MEKANISME AKSI
Banyak dari eIek obat-obatan ini (termasuk analgesia) dapat dihubungkan dengan
penghambatan dari sintesis prostaglandin, meskipun tidak sepenuhnya dapat
dijelaskan aksinya. Ada bukti bahwa substansi kimia ini turut campur (dengan proses
seluler utama termasuk didalamnya) pada aktivasi neutroIil yang dipicu oleh
rangsangan inIlamasi.

Penghambatan Sintesis Prostaglandin
Meskipun salisilat telah digunakan secara klinik sejak abad ke-19, mekanisme
aksinya belum jelas sampai tahun 1971 ketika Sir John Jane menunjukkan bahwa
aspirin dan indometasin menghambat sintesis prostaglandin pada berbagai jaringan.
Saat ini telah jelas bahwa aspirin dan OAINS bekerja dengan menghambat komponen
siklooksigenase dari ! synthase, yang secara lokal menghambat produksi semua
prostaglandin dan tromboksan dari membran IosIolipid. Istilah inhibitor COX sering
digunakan untuk menggambarkan obat-obatan ini.
Aspirin secara irreversibel menghambat COX dengan cara berikatan dengan protein
dan mengalami asetilasi pada Ser350, sehingga enzim baru harus dihasilkan oleh sel
sebelum sintesis prostaglandin dimulai lagi. Sebaliknya, OAINS lain tidak
mengalami asetilasi enzim tetapi menghambat secara reversibel yang mencegah
aktivitas siklooksigenase hanya ketika terdapat obat dalam konsentrasi plasma yang
eIektiI. Umumnya OAINS tidak menghambat jalur lain lipooksigenase dari
metabolisme asam arakhidonat dan tidak memiliki eIek pada produksi leukotrin
inIlamasi. Kecuali OAINS tertentu seperti ketoproIen yang mungkin bekerja sebagai
inhibitor ganda dari kedua enzim siklooksigenase dan lipooksigenase, sehingga
menghambat produksi prostaglandin, tromboksan, dan leuokotrin. Apakah dengan
adanya eIek tambahan ini menguntungkan ketoproIen masih belum jelas.

Penghambatan Agregasi Neutrofil
Meskipun inhibisi prostaglandin nampaknya dapat menjelaskan eIek analgesik dan
antipiretik dari obat ini namun belum sepenuhnya dapat dijelaskan aksi anti-
inIlamasinya. Masalah tetap timbul dalam menjelaskan aksi anti-inIlamasi semata-
mata dari eIek pada sistesis prostaglandin. Sebagai contoh, natrium salisilat tidak
memiliki eIek pada sintesis prostaglandin in vitro tetapi merupakan agen anti-
inIlamasi yang eIektiI secara in vivo. Masalah lain adalah bahwa aspirin mempunyai
eIek anti-inIlamasi hanya pada dosis yang jauh lebih tinggi daripada yang dibutuhkan
untuk menghambat siklooksigenase.
Beberapa eIek anti-inIlamasi dari obat-obatan ini mungkin dihasilkan dari mekanisme
yang sepenuhnya berbeda, yaitu dengan menghambat aktivasi neutroIil dari
rangsangan inIlamasi. Ketika terkena pada ligand tertentu, neutroIil akan diaktivasi
dari 'twin signals (kalsium intrasel dan protein C kinase) dimana penghambatan
proses tersebut oleh OAINS mencegah agregasi neutroIil in vivo dan in vitro. Hal ini
mungkin suatu eIek kimia yang berhubungan dengan struktur OAINS, dimana
molekul lipoIilik planarnya menghambat banyak proses intrasel. OAINS bahkan
menghambat agregasi sel pada kultur primitive marine cell sehingga tidak
mensintesis prostaglandin, menandakan bahwa eIek ini adalah suatu siIat dasar kimia
yang biasa pada obat ini.

Efek Analgesik
Cedera jaringan mengarah pada nosisepsi, pertama dengan kerusakan langsung pada
ujung saraI; kedua dengan proses inIlamasi dari pelepasan prostaglandin akibat
kerusakan jaringan; dan ketiga dengan hiperalgesia yang mediasi oleh penyebaran
dan invasi dari Iagosit dan Iibroblas.
Prostaglandin terlibat dalam reaksi jaringan terhadap cedera, dan produksi PGE
2
dan
PGI
2
pada tempat kerusakan yang menyebabkan pekanya reseptor nyeri terhadap
histamin dan bradikinin, sehingga menyebabkan hiperalgesia. Masih belum jelas
apakah prostaglandin yang menyebabkan nyeri ataukah prostaglandin meningkatkan
eIek tersebut oleh stimulus lain pada ujung-ujung saraI, tetapi didapatkan bahwa
prostaglandin terlibat dalam aktivasi nosiseptor oleh stimulus nyeri. Sebagai contoh,
PGE
2
meningkatkan input aIeren dari serabut C tunggal sebagai respon terhdap suhu
dan bradikinin yang merupakan eIek yang dihambat oleh salisilat lisin. Dengan
demikian, dengan menghambat sintesis prostaglandin di tempat jaringan yang cedera,
OAINS menghambat aktivasi nosiseptor dan bertindak sebagai analgetik. Karena eIek
ini muncul pada jaringan yang cedera, OAINS dikenal sebagai analgetik yang bekerja
di periIer. Meskipun dalam kasus ini terdapat bukti yang cukup bahwa OAINS
berdiIusi ke dalam cairan serebrospinalis di mana juga mempunyai aksi dalam SSP.
Sebagai contoh, indometasin, ibuproIen, dan dikloIenak menekan bangkitan respon
neuron thalamika tikus terhadap stimulasi nervus periIer, dimana besarnya eIek ini
bergantung dari besarnya dosis, hal ini menunjukkan eIek sentral dari analgetik. EIek
analgetik dan antipiretik asetaminoIen diduga seluruhnya dimediasi oleh inhibisi
prostaglandin sentral, karena obat ini tidak ditemukan aktivitas periIernya.

FARMAKOKINETIK OAINS
Prinsip Umum
Rincian mengenai pemberian OAINS, aspirin, asetaminoIen termasuk dosis,
Irekuensi, dan Iarmakokinetiknya ditunjukkan pada Tabel 5.2.
Absorbsi yang terjadi setelah pemberian sejumlah dosis OAINS berlangsung cepat,
bila diberikan secara parenteral atau injeksi sedangkan pemberian peroral secara
umum diabsorbsi dengan cepat melalui usus halus bagian atas, meskipun lajunya
mungkin melambat bila ada makanan. Sulindac, nabumetone, dan parecoxib
merupakan prodrugs yang dikonversikan menjadi bentuk aktiInya oleh metabolisme
hati dan aspirin diaktivasi oleh hidrolisis cepat dalam plasma menjadi salisilat.
Khusus dikloIenak mengalami metabolisme hati pertamakali yang signiIikan bila
diberikan secara peroral.
Umumnya OAINS terikat kuat pada protein dan volume distribusinya relatiI rendah,
yaitu berkisar 0,1 L/KgBB, dimana Iraksi yang tidak terikat menjadi aktiI secara
biologis. Sebagai akibatnya, OAINS mempengaruhi potensiasi obat-obatan lain yang
terikat kuat dengan protein, seperti antikoagulan oral , obat hipoglikemik oral,
sulIonamid, dan antikonvulsan yaitu dengan menggantikan tempat obat-obat itu dari
tempat ikatan protein plasma. OAINS mungkin memiliki eIek potensiasi terhadap
lithium dengan mengurangi klirensnya dan juga dengan mengganggu sama halnya
dengan eIek obat-obat diuretik dan antihipertensi, di mana eIek samping lebih sering
terjadi pada pasien lansia. Dosis OAINS harus dikurangi jika terdapat bukti adanya
kerusakan ginjal.
Sebagian besar eliminasinya melalui biotransIormasi hepar kemudian diikuti dengan
ekskresi melalui ginjal, dengan hanya sebagian kecil saja yang diekskresi bentuknya
tidak berubah. Tiga puluh persen sampai 40 metabolit inaktiI asam asetat dan
oksikam diekskresikan ke empedu.

Aspirin
Asetil salisilat memiliki siIat analgesik, anti-inIlamasi, dan antipiretik, serta bisa
dibilang sebagai pelopor OAINS. Di samping penggunaannya yang luas sebagai
analgesik minor, aspirin juga diigunakan sebagai proIilaksis terhadap thrombosis
arteri koroner dan arteri serebri, serta untuk pengobatan inIark miokard dan
preeklampsia.
Dosis peroral diabsorbsi dengan cepat dan dihidrolisis dalam plasma, oleh karena itu
aspirin memiliki waktu paruh yang singkat yaitu 15 menit, meskipun menghasilkan
asam salisilat yang memiliki waktu paruh yang lebih lama yaitu 2-3 jam. Aspirin
maupun salisilat sama-sama memiliki eIek klinis, dimana yang terakhir disebutkan
mungkin paling berperan penting sebagai anti-inIlamasi. Aspirin juga memiliki eIek
urikosurik. EIek samping yang paling sering timbul adalah dispepsia & ulkus
peptikum, perdarahan, tinitus, dan ketulian. Aspirin merupakan analgesik yang eIektiI
pada dosis rendah yaitu 300-600 mg, di mana biasanya digunakan untuk mengatasi
nyeri ringan sampai sedang. Dosis yang lebih tinggi yaitu 3,6 4,2 gram diberikan
sebagai anti-inIlamasi untuk mengobati rheumatoid arthritis, dimana dengan dosis
tersebut banyak pasien mengalami dispepsia, occult gastrointestinal bleeding, dan
tinitus. Perdarahan gastrointestinal berat dan gangguan hepar maupun ginjal jarang
terjadi. Aspirin dikontraindikasikan bagi anak yang berumur kurang dari 12 tahun
karena berpotensi memicu timbulnya Reye`s syndrome, berupa kegagalan hepar akut
disertai enseIalopati.
Hipersensitivitas terhadap aspirin cenderung muncul dalam dua bentuk. Pertama,
sensitivitas terkait dengan rhinitis, polip hidung, dan bronkospasme. Kedua, aspirin
dapat menyebabkan urtikaria, wheals, edema angioneurotik, dan hipotensi berat.
Kedua bentuk reaksi tersebut mungkin dipresipitasi pada individu yang sensitiI
aspirin oleh OAINS lain.
Berbagai preparat aspirin telah diperkenalkan untuk mengurangi eIek samping
gastrointestinal dari salisilat. Choline magnesium trisilicate adalah ester non-asetilasi
yang long-acting, diIlusinal adalah nonacetylated Iluorinated salisylate, dan salasalate
adalah ester aspirin yang hidrolisisnya lambat. Terdapat beberapa bukti bahwa pasien
dapat mentoleransi preparat tersebut, terutama bila dibutuhkan dosis anti-inIlamasi
yang tinggi.
Intoksikasi aspirin ringan menimbulkan gejala-gejala dari 'salicylism, berupa
ketulian, tinitus, pusing, dan nyeri kepala. Intoksikasi berat dapat menyebabkan
gangguan metabolik yang mengancam jiwa dengan hiperventilasi, tinitus, ketulian,
hipotensi, asidosis metabolik, dan koma. Timbulnya gejala/tanda tersebut karena
tidak terjadi coupling dari IosIorilasi oksidatiI sehingga meningkatkan laju
metabolisme dan peningkatan produksi ion hidrogen dan gas karbondioksida. Pada
awalnya terjadi alkalosis respiratorik karena stimulasi langsung pada pusat
pernapasan, namun kemudian sistem saraI pusat (SSP) menjadi tertekan dan
mendasari timbulnya asidosis metabolik berat. Penatalaksanaan intoksikasi meliputi
bilas lambung, pemberian active-carbon, tetapi pengosongan lambung dengan paksa
disertai dengan menjaga patensi airway masih bisa dilakukan bila ingesti terjadi tak
lebih dari satu jam pada pasien yang dibawa ke unit emergensi. Merangsang diuresis
alkalis dengan pemberian inIus natrium bikarbonat dilakukan bila jumlah salisilat
plasma melebihi 500 mg/L (3,6 mmol/L) pada orang dewasa, sehingga dengan pH
urin yang tinggi dapat mendorong ekskresi asam lemah.

Asam Propionat
Obat-obat kelas ini merupakan pilihan untuk penyakit inIlamasi sendi, meskipun eIek
anti-inIlamasinya lebih lemah daripada aspirin namun lebih dapat ditoleransi oleh
pasien. Dari semua OAINS, asam propionat merupakan golongan yang eIek
sampingnya paling sedikit, meskipun bisa saja timbul dispepsia, perdarahan
gastrointestinal, dan rash.

Asam Asetat
Kelompok ini terdiri atas OAINS yang paling sering digunakan untuk mengatasi
nyeri pasca operasi, yaitu indometasin, dikloIenak, dan ketorolak.
Indometasin adalah obat yang paling awal digunakan dan mempunyai eIek anti-
inIlamasi, analgesik, dan antipiretik yang poten. Namun, obat ini termasuk juga
golongan OAINS ini dikaitkan dengan tingginya insiden dari eIek samping
gastrointestinal dan gangguan SSP terkait dosis, termasuk nyeri kepala, confusion,
halusinasi, dan vertigo. Pemberian per-rektal dapat menurunkan eIek samping
gastrointestinal. DikloIenak juga sering diberikan per-rektal tetapi lebih dimaksudkan
untuk menghindari tingginya laju metabolisme awalnya, daripada untuk menghindari
eIek samping gastrointestinal bagian atas yang mana masih bisa saja timbul dengan
pemberian per-rektal. Sulindac adalah prodrug dengan masa kerja yang lebih lama
namun kurang poten yang dikonversikan menjadi metabolit aktiI di hati, yaitu suatu
produk sulIat aktiI yang diekskresikan melalui empedu dan kemudian diabsorbsi
kembali melalui usus halus, dengan mekanisme absorbsi ini dilaporkan meningkatkan
toleransi gastrointestinal.

Asam Antranilik
Asam meIenamat merupakan agen anti-inIlamasi yang relatiI lemah yang biasanya
digunakan untuk pengobatan osteoarthritis dan reumatoid arthritis. Asam meIenamat
juga digunakan untuk mengobati dismenore karena aksinya menghambat
metabolisme prostaglandin uterus. EIek samping asam meIenamat meliputi dispepsia,
rash, perdarahan gastrointestinal dan diare yang dapat menyebabkan dehidrasi dan
insuIisiensi ginjal pada pasien lansia. OAINS ini juga dikaitkan dengan neIritis
intertisial. Dari OAINS yang lebih baru, asam meIenamat biasanya menyebabkan
keracunan yang dapat mengakibatkan konvulsi yang sensitiI terhadap terapi
benzodiazepin.

Pirazolon
Fenilbutazon merupakan agen anti-inIlamasi yang toksik, sangat poten dan masa
kerja yang sangat panjang. Reaksi tambahan yang merugikan dari Ienilbutazon sering
dan berat, meliputi dispepsia, ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal, ulkus pada
mulut, gangguan ginjal dan hati, serta spektrum munculnya rash pada kulit mulai dari
eritema sampai nekrolisis epidermal toksik. Obat ini dicatat menyebabkan retensi
garam dan air yang dapat memperburuk gagal jantung. Terdapat juga laporan yang
menghubungkannya dengan depresi sumsum tulang yang berat yang tampak sebagai
agranulositosis atau anemia aplastik. Azapropazon juga termasuk pirazolon yang
toksisitasnya terhadap sumsum tulang lebih rendah meskipun memiliki eIek
merugikan yang mirip pada gastrointestinal dan retensi cairan.

Naftilalkalon
Anggota tunggal golongan ini yaitu nabumeton yang merupakan prodrug inaktiI non
asam. Setelah pemberian oral, nabumeton pertama kali mengalami metabolisme
secara luas di hati dengan mengkonversikannya menjadi asam 6-metoksi-2-
naItilasetat yang merupakan inhibitor poten terhadap sintesis prostaglandin dari
senyawa induk. EIek samping yang paling sering adalah eIek pada gastrointestinal
dan akumulasi dapat terjadi disertai gangguan ginjal terutama pada lansia.

Oksikam
Piroksikam dan tenoksikam merupakan obat yang masa kerjanya sangat lama dengan
eliminasi waktu paruh dua hari, oleh karena itu diberikan dosis tunggal sekali sehari.
Obat-obat ini bersiIat asam lemah yang berikatan dengan protein plasma secara luas
dengan volume distribusinya yang kecil. Keduanya dimetabolime di hati, produk
pemecahan inaktiI diekskresikan ke empedu dan urin, dan tidak jelas adanya
akumulasi di hati dan gangguan ginjal, begitu pun pada lansia. EIek samping meliputi
dispepsia, perdarahan gastrointestinal, dan rash. Kedua obat tersebut dapat
meningkatkan konsentrasi enzim transaminase hati dan dapat menimbulkan gagal
jantung.

Coxib
Coxib meliputi obat-obat dengan kelompok heterogen, yang mana semuanya
mempunyai selektiIitas terhadap COX-2 daripada COX-1 pada berbagai tingkatan.
RoIecoxib (coxib yang baru-baru ini ditarik dari praktik klinik) mempunyai aIinitas
300 kali lebih besar terhadap COX-2 daripada COX-1, sedangkan celecoxib sebagai
contoh hanya mempunyai aIinitas sekitar 30 kali lebih besar. EIikasi analgesik
melebihi plasebo tercatat dengan baik, baik pada nyeri post operatiI maupun pada
arthritis kronik, meskipun secara umum coxib memberikan analgesia yang cukup
ampuh namun tidak superior dibandingkan dengan OAINS biasa.
Mirip dengan OAINS lainnya, coxib kecuali celecoxib diabsorbsi dengan baik oleh
usus halus bagian atas dan mempunyai bioavaibilitas yang tinggi, secara umum
memiliki durasi kerja sedikit lebih panjang sehingga dapat diberikan dosis 1 atau 2
kali sehari. Metabolisme hati menghasilkan metabolit inaktiI yang diekskresikan
melalui empedu dan urin.
Coxib telah ditunjukkan dalam banyak percobaan, khususnya penelitian VIGOR
bahwa coxib secara signiIikan memiliki eIek samping gastrointestinal yang lebih
rendah dibandingkan dengan OAINS lama, tentu saja tingkat komplikasi ini rata-rata
dibandingkan dengan plasebo. Bagaimanapun juga terlepas dari eIek samping
gastrointestinal, coxib mempunyai suatu riwayat eIek merugikan yang sama dengan
OAINS lainnya. Retensi cairan dapat muncul dalam 2 minggu setelah dimulainya
pengobatan dengan roIecoxib, menyebabkan terjadinya edema dan peningkatan
tekanan darah sistolik. Coxib juga mengurangi aktivitas antiplatelet dibandingkan
aspirin (golongan yang lebih rendah daripada coxib, OAINS non selektiI) dan yang
mana dapat meningkatkan kejadian thrombosis. Kontroversi melingkupi
mekanisme ini dan akibat meningkatnya kejadian eIek samping pada miokard
sehingga mendasari penarikan roIecoxib sendiri oleh pabrik pembuatnya.

Asetaminofen
AsetaminoIen merupakan analgesik dan antipiretik yang eIektiI, tetapi hanya
memiliki sedikit aksi anti-inIlamasi. AsetaminoIen tidak menunjukkan eIikasi
analgesik yang lebih dibandingkan obat nonsteroid lama; akan tetapi eIek samping
yang lebih sedikit telah berulangkali dilaporkan, dimana insiden erosi
gastrointestinal, neIrotoksik, dan disIungsi platelet sebanding dengan plasebo pada
dosis terapi. Mekanisme aksi asetaminoIen bertahun-tahun diperdebatkan, dan saat ini
telah diterima bahwa asetaminoIen mempunyai eIek di tingkat periIer, medulla
spinalis, dan otak. Di periIer, metabolisme asetaminoIen oleh peroksidase
menghasilkan senyawa reaktiI yang menghambat bangkitan impuls bradikinin dalam
serabut nosiseptiI. Pada hewan coba menunjukkan bahwa asetaminoIen menginhibisi
lemah isoIorm 3 dari enzim siklooksigenase (COX-3) di otak, yang merupakan varian
lanjutan dari COX-1, walaupun sebenarnya peran COX-3 yang pasti pada manusia
belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Dari sini telah dihipotesiskan bahwa penurunan produksi prostaglandin mungkin
menyebabkan peningkatan aktivitas jalur descending serotonergic sehingga
memodulasi input nosiseptiI. Pada tingkat medulla spinalis, asetaminoIen bekerja
antagonis terhadap neurotransmisi melalui jalur NMDA, substansi P, dan NO yang
semuanya berimplikasi pada nosiseptiI.
AsetaminoIen diserap dengan cepat dari usus halus setelah pemberian oral yang laju
absorbsinya dipakai sebagai penanda pengosongan lambung, dan sekarang
asetaminoIen juga dapat diperoleh dalam bentuk larutan untuk pemberian intravena.
Pemberian asetaminoIen intravena baru-baru ini di Inggris dan Eropa (PerIalgan,
Bristol Squibb, New York, Amerika serikat) terlarut dalam mannitol dan disodium
phosphate pH buIIer, dengan penambahan sistein sebagai antioksidan. Tersedia
larutan 100 mL dengan 10 mg/mL untuk pemberian lebih dari 15 menit. Timbulnya
urtikaria minor telah dilaporkan terutama bila pemberiannya cepat meskipun
sebenarnya reaksi hipersensitiIitas sistemik sangat jarang terjadi. AsetaminoIen
melewati sawar darah otak dengan cepat pada konsentrasi tertentu dalam cairan
serebrospinalis dan onset kerja secara klinis berkisar 5 10 menit dengan eIek
analgesik klinis mencapai puncaknya sekitar 1 2 jam. Dibandingkan dengan OAINS
lainnya, asetaminoIen tidak terikat kuat dengan protein dan mempunyai volume
distribusi lebih besar. Tidak seperti obat-obat nonsteroid, asetaminoIen aman pada
wanita hamil dan anak-anak hingga neonatus.
Pada dosis nontoksik, metabolisme hati oleh sitokrom p450 2E1 terutama
menghasilkan glukoronida terkonjugasi inaktiI, dimana 90-nya diekskresikan
melalui ginjal. Keadaan di bawah normal, sekitar 4 dari dosis dimetabolisme
dengan hidroksilasi menjadi acetylpben:o6uino imine, suatu agen hepatotoksik
yang teralkilasi. Hati yang sehat akan mendetoksiIikasi dengan cepat bentuk reaktiI
intermediet ini dengan cara mengkonjugasikannya dengan sulfydril groups dari
glutathion dan kemudian diekskresikan sebagai derivat mercapturic. Dengan dosis
yang lebih tinggi, laju pembentukan metabolit melebihi laju reaksi konjugasi dengan
glutathion, sehingga metabolit tersebut bergabung dengan hepatosit makromolekul
yang menyebabkan kematian sel. Gambaran klinisnya berupa nekrosis hepatoseluler
sentrilobular akut, kadangkala berupa nekrosis tubular akut pada ginjal. Pengobatan
spesiIiknya dengan pemberian N-acetylcysteine atau methionine, suatu glutathione
hati sintetis yang akan dikonjugasikan pada metabolit reaktiI dari asetaminoIen yang
mencegah kerusakan hati. Pada dewasa, dosis kurang lebih 1015 g (20-30 tablet)
dapat berpotensi Iatal terhadap hati dan kadang-kadang kerusakan ginjal. Tanda awal
dari keracunan adalah mual dan muntah yang diikuti timbulnya nyeri spontan
maupun nyeri tekan subcostal sebelah kanan sehari kemudian. Kerusakan hati
maksimal terjadi 3 sampai 4 hari kemudian setelah ingesti dan dapat menyebabkan
kematian dan pemberian antidotum spesiIiknya eIektiI melindungi hati secara
maksimal jika diberikan tidak lebih dari 12-15 jam setelah ingesti, maka setiap
overdosis harus mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan hal tersebut. Di
rumah sakit, penatalaksanaan terdiri atas bilas lambung jika ingesti asetaminoIen dan
pemberian N-acetylsystein intravena sesuai dengan konsentrasi asetaminoIen plasma
yang mana bisa bermanIaat untuk memprediksi risiko kegagalan hati jika diberikan
dalam 4 jam setelah ingesti asetaminoIen. Terapi N-acetylcysteine harus diberikan
jika konsentrasi asetaminoIen plasma di atas batas 200 mg/L (1,32 mmol/L) setelah
ingesti asetaminoIen dalam 4 jam dan di atas 30 mg/L (0,2 mmol/L) setelah ingesti
asetaminoIen dalam 15 jam. N-acetylcysteine bisa diberikan jika pasien lebih dari 15
jam mengalami overdosis tetapi nilainya kurang pasti. Pasien yang juga
menggunakan obat-obat yang menginduksi enzim hati memiliki kemungkinan lebih
untuk terjadinya hepatotoksik dan oleh karena itu harus diberikan acetylcystein
walaupun konsentrasi asetaminoIen plasma lebih rendah. Di luar rumah sakit, muntah
harus dirangsang dan diberikan methionin.
.
OAINS DAN ANALGESIA PERIOPERATIF
Pada masa perioperatiI, pemberian parenteral OAINS lama, coxib dan asetaminoIen
intravena dipersiapkan untuk menjaga berlangsungnya analgesik pada nyeri
perioperatiI akut selama periode puasa. Preparat rektal asetaminoIen, dikloIenak, dan
indometasin boleh digunakan, meskipun eIek samping indometasin cenderung
menghalangi penggunaannya pada Iase perioperatiI akut.

Asetaminofen
EIikasi analgesik dari asetaminoIen secara luas telah diteliti dan dibandingkan dengan
OAINS dan analgesik opioid. AsetaminoIen memiliki eIikasi yang sebanding dengan
aspirin berdasarkan dosis per dosisnya. Penting untuk dicatat bahwa asetaminoIen
sedikit atau tidak memiliki siIat anti-inIlamasi.
Propacetamol intravena merupakan prodrug yang dengan cepat dihidrolisis oleh
plasma esterase menjadi asetaminoIen telah ditemukan lebih dari satu dekade; karena
sulitnya melarutkan asetaminoIen sehingga menunda produksi preparat intravena
dalam bentuk aktiInya. Pengenalan terbaru negara eropa akan asetaminoIen injeksi
intravena (PerIalgan) telah mengubah peresepan analgesik, terutama pada periode
perioperatiI. Penting untuk dicatat bahwa semua data Iarmakokinetik dan
Iarmakodinamik yang ditampilkan oleh pabrik produsen asetaminoIen intravena
berkaitan dengan obat intravena yang berbeda (propasetamol), merujuk pada studi
bioequivalensi yang menunjukkan siIat-siIat Iarmakokinetik yang identik antara
propasetamol dan asetaminoIen.
%he number needed to treat (NNT) merupakan suatu penanda untuk perbandingan
eIikasi klinik berdasarkan kumpulan hasil dari tinjauan secara sistematis. NNT
berhubungan dengan jumlah yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pengobatan
aktiI dibandingkan dengan plasebo untuk mencapai nilai pengurangan nyeri sebesar
50. Sebagai pengobatan tunggal penanganan nyeri sedang, NNT dari asetaminoIen
adalah 3,8 (95 CI, 3.44.4), meskipun analgesia optimal untuk nyeri sedang sampai
berat postoperatiI tidak dapat dicapai dengan hanya menggunakan pengobatan
tunggal, tetapi sebuah kombinasi yang hampir seimbang dengan agen nonsteroid
dapat menurunkan sampai 40-50 kebutuhan akan opioid. AsetaminoIen IV (1 g)
telah diperlihatkan memiliki eIikasi yang sama dengan morIin IM (10 mg) pada
ekstraksi gigi, dan sama eIektiInya dengan ketorolak intramuskuler (30 mg) pada
arthroplasty tungkai bawah.
Meskipun tidak ada manIaat terapi lebih yang diperoleh pada pemberian
asetaminoIen dengan dosis yang sama antara per oral maupun per rektal, namun
menguntungkan pada saat perioperatiI dengan dosis intravena. Dengan diharuskannya
puasa preoperatiI dan gangguan intake oral untuk beberapa waktu dari beberapa jam
hingga beberapa hari tergantung pada prosedur operasinya, terus dengan dihindarinya
pemberian rutin asetaminoIen rektal untuk waktu yang lama, pasien bisa
mendapatkan kelebihan analgetik dari pemberian asetaminoIen perioperatiI yang
diberikan pada pembedahan gigi, ginekolgik, ortopedi, dan umum, namun akhir-akhir
ini dibantah. Tersedianya secara luas asetaminoIen intravena seharusnya sekarang
meningkatkan persediaan analgesik pada masa perioperatiI, namun dengan
keterbatasan ekonomi, pemberian asetaminoIen harus dikonversi ke dosis oral segera
setelah pasien dapat mentoleransi intake oral. Pada dosis terapi asetaminoIen sudah
terkenal sebagai obat yang aman, di mana dilaporkan tidak ada perbedaan secara
statistik insiden eIek samping antara asetaminoIen dengan plasebo.

Aspirin
Aspirin normalnya dipertimbangkan sebagai analgesik oral untuk mengatasi nyeri
ringan tetapi salisilat intravena telah dibandingkan dengan opioid terkait
penggunaannya pada penanganan nyeri sedang sampai berat setelah operasi. Dalam
sebuah tinjauan sistematis yang luas menunjukkan aspirin dosis tunggal memiliki
NNT sebesar 4.4 (95CI, 4.04.9); namun dilaporkan juga adanya iritasi lambung
dan kantuk setelah pemberian dosis tunggal aspirin. Lysine acetylsalicylate (LAS)
(1,8 g IV) ekivalen dengan 1 g aspirin, tetapi pemberian tunggal secara bolus
memberikan hasil yang jelek dalam mengatasi nyeri berat postoperatiI dibandingkan
dengan 10 mg morIin. Penelitian menggunakan inIus intravena LAS secara kontinu
memberikan hasil yang lebih baik. Pemberian inIus LAS setelah operasi hernioraIi
inguinal sama eIektiInya dengan penggunaan morIin dan memberikan eIek samping
berupa kantuk, mual dan muntah yang lebih sedikit.
Pemberian 7,2 g LAS intravena setelah operasi thoraks memberikan analgesia lebih
dari 24 jam setara dengan pemberian 40 mg morIin, meskipun salisilat tidak seeIektiI
opioid pada masa segera setelah operasi. Setelah operasi ginekologi mayor, LAS
setidaknya sama baiknya dengan morIin sebagai analgesik, dengan gejala mual,
muntah, dan gangguan respirasi yang lebih sedikit. Meskipun penelitian tersebut
memberikan gambaran yang menguntungkan dari penggunaan inIus LAS, obat ini
masih jarang digunakan dalam praktik klinis, mungkin karena masalah yang
ditimbulkan saat injeksi, termasuk thrombosis vena.

Ibuprofen
IbuproIen telah ada di Inggris dan AS selama lebih dari 4 dekade dan pada masa itu
ibuproIen telah terbukti ampuh dan ditoleransi dengan baik sebagai anti inIlamasi dan
analgesik. Sediaan oral dan topikal gel juga sudah dapat dibeli di toko dan di samping
itu untuk resep medis, ibuproIen menyumbang hampir sepertiga dari semua
penggunaan NSAID. Absorbsi hampir seluruhnya setelah pemberian oral membuat
bioavailabilitas tinggi tercapai dengan cepat.
EIek antipiretik dan analgesik dari ibuproIen tergantung konsentrasi dalam plasma, di
mana ibuproIen sangat terikat kuat dengan protein terutama dengan albumin.
Distribusinya tersebar luas, namun dicatat bahwa ibuproIen disekresikan dengan
konsentrasi sigIinikan pada cairan sinovial, yang mana dianggap bermanIaat untuk
eIek anti-inIlamasinya.
Metabolismenya terutama oleh biotransIormasi hati dan selanjutnya konjugat
glukoronida diekskresikan melalui ekskresi ginjal. IbuproIen telah diteliti secara luas
pada nyeri pasca bedah, nyeri obstetri, dan nyeri gigi, di mana ditemukan secara
konsisten bahwa ibuproIen lebih ampuh dibandingkan plasebo dengan NNT
kombinasi sebesar 2.7 (95CI, 2.53.0) untuk dosis oral 400 mg dan dosedependent
improvement pada eIek analgesik.
IbuproIen (400mg) ditunjukkan juga setara dengan 50 mg dikloIenak untuk nyeri
pasca bedah. Seperti yang diduga, eIek sampingnya sesuai dengan semua OAINS
yang lain; akan tetapi ini jarang terjadi dan bila timbul maka cenderung bersiIat
ringan dan sementara. Sebagian besar percobaan melaporkan rate eIek samping yang
timbul sebanding dengan eIek samping plasebo.

Diklofenak
DikloIenak terdapat dalam sediaan tablet, suppositoria, dan injeksi. DikloIenak
merupakan OAINS parenteral pertama yang dipasarkan di Inggris untuk mengatasi
nyeri pasca operasi. Selain itu, dikloIenak telah terbukti eIektiI mengatasi nyeri yang
berhubungan dengan spasme otot polos, termasuk kolik renal dan bilier, yang mana
dikloIenak mungkin menjadi analgesik pilihan. DikloIenak intramuskular dapat
diberikan dalam dosis 75 mg hingga dua kali sehari sebagai dosis harian total tidak
boleh melebihi 150 mg. Pemberian melalui injeksi intramuskuler yang dalam
sebaiknya diberikan tidak lebih dari 2 hari karena risiko kerusakan otot. Keuntungan
yang berkaitan dengan pemberian dikloIenak setelah hip arthroplasty yaitu
kurangnya gangguan kognitiI dan penurunan waktu untuk mobilisasi. ManIaat
dikloIenak pada operasi abdomen kurang nyata. Setelah operasi abdomen, 75 mg
dikloIenak diberikan setiap 12 jam mengurangi konsumsi morIin, meskipun
keprihatinan diungkapkan tentang eIek antiplatelet dan kehilangan darah meningkat
pasca operasi. Hasil yang ditunjukkan dengan pemberian dikloIenak telah
memberikan harapan yang lebih setelah bedah minor, di mana pemberian dikloIenak
sama eIektiInya dengan pemberian Ientanil setelah bedah arthroskopik dan lebih
eIektiI daripada opioid setelah operasi pengangkatan gigi geraham bungsu yang
terjepit. DikloIenak dapat juga berguna pada bedah pediatrik, misalnya pemberian
dikloIenak per rektal setelah tonsilektomi sama eIektiInya dengan petidin atau
papaveretum dan setelah hernioraIi inguinal sebanding dengan eIek analgesik dengan
anastesi lokal blok kaudal. Sebuah tinjauan sistematis menyimpulkan NNT kombinasi
untuk 50 mg dikloIenak yaitu 2.3 (95 CI, 2.02.7) untuk nyeri pasca operasi.

Naproxen
Naproxen adalah derivat asam propionat sama seperti ibuproIen tetapi lebih poten dan
riwayat eIek sampingnya membatasi naproxen menjadi obat 'prescription only.
Naproxen mempunyai Iarmakokinetik yang mirip dengan ibuproIen, dimana
absorbsinya cepat dan sempurna di usus halus dengan bioavaibilitas yang tinggi, 99
terikat protein, dan mengalami glukoronidasi oleh hati yang kemudian metabolit
inaktiInya diekskresikan oleh ginjal.
Sebuah review sistematis mengenai eIikasi dari naproxen untuk analgesia pasca
operasi menemukan NNT senilai 2,6 (95 CI, 2.23.2), dengan eIek samping yang
timbul sama dengan yang ada pada plasebo, meskipun dilaporkan tidak konsisten.
Naproxen baru-baru ini telah membawa perhatian publik pada dua area yang sangat
berbeda. Pertama, naproxen digunakan sebagai pembanding OAINS pada publikasi
utama yang pertama membandingkan roIecoxib (inhibitor COX-2) dengan OAINS
lama. Analisis detail selanjutnya dari data lengkap memicu banyak kontroversi,
dengan eIek merugikan yang berlebihan pada kardiovaskuler dari kelompok
roIecoxib menjadikan naproxen dianggap memiliki eIek kardioprotektiI.
Penelusuran lebih lanjut melibatkan OAINS nonselektiI yang sering digunakan,
termasuk ibuproIen dan dikloIenak, apakah memiliki risiko terhadap kardiovaskuler.
Data lebih lanjut ditunggu untuk memberikan kesimpulan yang memuaskan dari
perdebatan ini (meskipun pedoman sekarang berasal dari the European Medicines
Agency yang mengatakan bahwa OAINS nonselektiI seharusnya diresepkan dalam
dosis terendah untuk waktu yang singkat) dan surveilens untuk eIek merugikan akan
berlanjut.
Area kedua dimana proIil naproxen menjadi terangkat adalah peran potensialnya
dalam memperlambat progresiIitas dari penyakit Alzheimer telah menjadi suatu
postulat. Studi epidemiologi menunjukkan melambatnya progresiIitas gangguan
kognitiI pada pasien yang mendapat pengobatan OAINS jangka panjang, mekanisme
aksi yang dikemukakan adalah adanya inhibisi agregasi amyloid- ekstrasel.
Selanjutnya percobaan random terkontrol belum berhasil membuktikan manIaat yang
meyakinkan dan pasti penelitian ADAPT, yang mana telah dikemukakan selama 7
tahun, telah dihentikan setelah hanya 3 tahun karena kekhawatiran akan eIek samping
kardiovaskuler pada kelompok kontrol(naproxen).

Ketorolak
Ketorolak adalah OAINS injeksi pertama yang dipasarkan di Amerika Serikat untuk
mengatasi nyeri akut. Secara kimiawi, ketorolak merupakan suatu asam piroloasetat
yang strukturnya mirip dengan senyawa yang lebih awal tolmetin dan zomepirac serta
tersedia sebagai garam trometamol (tromethamine di Amerika Serikat) untuk
meningkatkan kelarutannya dalam air. Pada hewan coba, ketorolak memiliki aksi
analgesik, antipiretik, dan anti-inIlamasi, yang mana dihubungkan dengan mencegah
sintesis prostaglandin dengan inhibisi siklooksigenase. Pada penggunaan dosis klinis,
ketorolak memiliki aksi analgesik yang lebih besar daripada aksi anti-inIlamasi,
dengan eIek analgesiknya 800 kali lebih kuat daripada aspirin.
Banyak penelitian telah memperkirakan nilai analgesia pasca operatiI dari ketorolak.
Bentuk oral sama eIektiInya dengan asetaminoIen dan kodein setelah operasi
ginekologik. Setelah operasi ortopedi, ketorolak peroral sebanding dengan
asetaminoIen, diIlusinal, dan dihidrocodein. Ketorolak intramuskuler eIektiI setelah
bedah minor, meskipun waktu onset aksi analgesik nya lebih dari 30 60 menit.
Ketorolak telah berulangkali terbukti superior terhadap plasebo dan opioid setelah
suatu operasi mulut. Jika diberikan sebagai proIilaksis sebelum operasi minor,
ketorolak dan morIin mengurangi nyeri pasca operasi pada derajat yang sama, tetapi
opioid lebih banyak menimbulkan sedasi.
Penelitian awal memberi kesan bahwa ketorolak sama baiknya dengan opioid sebagai
analgesik setelah operasi besar, akan tetapi optimisme itu belum didukung. Pada studi
dosis tunggal intramuskuler dimana pada hari pertama atau kedua setelah operasi
muncul nyeri sedang sampai berat, ketorolak unggul atas morIin dan memiliki durasi
yang lebih lama. Meskipun, penelitian yang lebih terbaru menemukan bahwa
ketorolak sendiri tidak sesuai untuk penanganan segera nyeri berat yang timbul
setelah operasi abdomen tetapi sama eIektiInya dengan morIin jika diberikan sehari
setelah operasi di mana intensitas nyerinya sudah berkurang.
EIek kombinasi antara ketorolak dan opioid setelah operasi abdomen bagian atas
telah diuji. InIus ketorolak intramuskuler secara kontinu dengan dosis 1,5 dan 3 mg/
jam secara signiIikan menurunkan konsumsi morIin sebesar 30 dari pasien
terkontrol lebih dari 24 jam, meningkatkan skor nyeri, dan pada dosis yang lebih
tinggi menurunkan peningkatan PCO2 arteri pasca operasi. Oleh karena ketorolac
kelihatannya memiliki eIek 'morphine sparing sehingga meminimalkan juga eIek
depresi pernapasan yang diakibatkan oleh opioid.

También podría gustarte