Está en la página 1de 17

Tinjauan Hukum Positif Terhadap Arbitrase Syari'ah

Masruroh
Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Ekonomi Syariah, IAIN MADURA
Jl. Raya Panglegur No.Km. 4, Barat, Ceguk, Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa
Timur 69371
E-mail : masruroh2897@gmail.com

Abstrak

Pertumbuhan ekonomi pada masa ke masa semakin pesat. Perkembanganya mengikuti sesuai
dengan era pada masa ini, sehingga permasalahan ekonomi pun semakin memiliki peluang yang
sangat besar dan sulit dihindari oleh masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat merasa
kesyulitan dalam cara penyekesaiannya. Dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi tepatnya
yang sering terjadi dan dijumpai adalah permasalahan sengketa menggunakan cara tradisi klasik
atau berdasarkan hukum yang diakui negara dan berlandaskan Islam. Berdasarkan dengan cara
penyelesaian permasalahan sengketa dapat ditempuh dengan cara penyelesaian sengketa
ekonomi Syariah dan hukum positif dengan alternatif penyelesaian sengketa jalur damai dan
alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan arbitrase.
Kata kunci : Hukum Positif, Arbitrase Syariah.
A. Pendahuluan

Setiap umat manusia menginginkan kehidupan yang damai dan tentram juga
selalu berusaha terhindar dari permasalahan sengketa, walaupun demikian pada
kenyataannya banyak kesalahpahaman yang menimbulkan permasalahan sengketa.
Kesalahpahaman tersebut dapat diselesaikan secara pribadi, kekeluargaan, bahkan
campur tangan pihak lain serta ada juga yang memerlukan penyelesaian secara serius
sehingga sulit menemukan cara dalam menyelesaikannya.

Sebagai manusia masyarakat tidak dapat melepaskan permasalahan sengketa dari


kehidupannya, dalam penyelesaian sengketa masyarakat memiliki berbagai ragam cara
untuk penyelesaian sengketa. Masyarakat mulai beralih pada cara menurut hukum yang
diakui negara dibandingkan cara yang menurut kebiasaan mereka. Masyarakat kerap kali
memaknai hukum dengan artian yang sangat sempit, disebabkan karena karena cara
pandang mereka terhadap hukum yang secara skeptif menimbulkan hal demikian.

1
Padahal makna hukum sangatlah meluas, termasuk juga di dalamnya adalah penyelesaian
sengketa tanpa melalui jalur pengadilan yang biasa disebut dengan arbitrase.

Arbitrase merupakan salah satu cara dalam menyelesaikan sengketa di luar


pengadilan. Upaya ini dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan dengan menyerahkan
penyelesaian sengketa ini pada pihak lain yang netral yang tidak memilih dan yang
mempunyai kewenangan memutus dan memaksakan putusan tersebut kepada salah satu
pihak diantara yang bersengketa.

Penyerahan penyelesaian sengketa didasari dengan kesepakatan masing-masing


pihak. Arbitrase adalah badan penyelesaian sengketa secara pribadi (Adjudikasi Privat)
yang mana masing-masing pihak menyepakati penyelesaian sengketanya kepada pihak
yang netral yang meraka pilih untuk membuat suatu keputusan. Selain itu para pihak juga
dapat memilih hukum mana yang dipakai atau diterapkan pada sengketa tersebut
sehingga akan melindungi para pihak yang bersengketa dari rasa takut atau
ketidakyakinan terhadap hukum substantif dari yuridiksi tertentu. Di samping itu
arbitrase juga cenderung lebih informal dibandingkan dengan adjudikasi publik,
prosedurnya tidak begitu kaku dan lebih dapat menyesuaikan. 1

Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan


berdasarkan dari pihak pihak yang berselisih agar perselisihan mereka diselesaikan oleh
hakim, hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri dan putusan yang diambil oleh
hakim, hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat 2, arbitrase
adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus
dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri
secara sukarela oleh pihak pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di
luar pengadilan Negara merupakan kehendak bebas pihak pihak. Kehendak bebas ini
dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum dan sesudah
sengketa terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum
perdata.3
1
Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, 1995, Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi Arbitrase
Indonesia, Ghalia Indonesia, hal. 5.
2
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, HukumArbtrase, PT Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2001, hal. 16.
3
Abdul kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung, PT. Citra Adiyabakti, 1993, hal.
276.

2
B. Hukum Positif

Hukum positif disebut juga ius constitutum yang berarti kumpulan asas dan
kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau
khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadian dalam Negara
Indonesia. 4

Selanjutnya secara terperinci dijelaskan oleh situs resmi Mahkamah agung


Republik Indonesia. Hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang
ada pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan
oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.Hukum positif
dapat diklasifikasi kedalam berbagai macam pengelompokan, yaitu antara lain dilihat dari
sumbernya, bentuknya, isi materinya dan lain sebagainya.5

1. Sumber Hukum Positif

Sumber hukum dapat diartikan sebagai-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh
pengadilan dalam memutus perkara.6 Menurut Sudikno, kata sumber hukum sering
digunakan dalam beberapa arti, yaitu:7

a. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum,


misalnya kehendak Tuhan, akal manusia jiwa bangsa dan sebagainya.

b. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan kepada hukum sekarang


yang berlaku, seperti hukum Perancis, hukum Romawi.

c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal


kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).

d. Sebagai sumber darimana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undan-
undang, lontar, batu bertulis, dan sebagainya.

e. Sebagai sumber hukum.


4
I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di Indonesia. (Bandung: PT. Alumni,
2008), hal. 56
5
http://perpustakaan.mahkamah.agung.go.id/, diakses pada tanggal 19 Maret 2016, pukul 23.30 wib
6
Peter Mahmud Marzuku, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
7
Budi Ruhiatudin, Pengantar Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Teras), 2009, hal. 29-30.

3
Sumber yang menimbulkan aturan hukum. Sumber hukum sendiri
diklasifikasikan kedalam dua dua bentuk yaitu sumber hukum formil dan sumber
hukum materiil. Sumber hukum formil menjadi determain formil membentuk
hukum (formele determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunya
hukum. Sedangkan sumber-sumber hukum materiil membentuk hukum (materiele
determinanten van de rechtsvorming), menentukan isi dari hukum. Sumber
hukum yang formil adalah:

1) Undang-undang

Undang-undang merupakan peraturan yang mempunyai kekuatan hukum


mengikat yang dipelihara oleh penguasa negara. Contohnya Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan perundang-undangan dan sebagainya.8

Undang-undang sering digunakan dalam 2 pengertian, yaitu Undang-


undang dalam arti formal dan Undang-undang dalam arti material. Undang-
undang dalam arti formal adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari
bentuk dan cara pembuatannya disebut Undang-undang. Dilihat dari
bentuknya, Undang-undang berisi konsideran dan dictum (amar putusan).
Sementara dari cara pembuatannya, Undang-undang adalah keputusan atau
ketetapan produk lembaga yang berwenang. Di Indonesia lembaga yang
berwenang adalah Presiden dan DPR (UUDS 1950 pasal 89 UUD 1945 pasal
5 ayat [1] jo. Pasal 20 ayat [1]).

Undang-undang dalam arti material adalah keputusan atau ketetapan yang


dilihat dari isinya disebut Undang-undang dan mengikat setiap orang secara
umum. Dalam pengertian ini yang menjadi perhatian adalah isi peraturan yang
sifatnya mengikat tanpa mempersoalkan segi bentuk atau siapa
pembentuknya. Undang-undang dalam arti material sering juga disebut
dengan peraturan (regeling) dalam arti luas. Undang-undang dalam arti formal
tidak dengan sendirinya sebagai Undang-undang dalam arti material.
Demikian sebaliknya.9
8
http://My-Blog-Sumber-Hukum//.com. diakses pada tanggal 9 april 2016, pukul 12. 56 wib
9
http://Sumber-sumber-hukum/pustaka-sekolah//.com. Diakses pada tanggal 9 April 2016, pukul 12.10 wib.

4
Sumber dan ketentuan hukum dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan
para wakil rakyat dengan mengingat kepentingan hidup bersama bagi seluruh
anggotanya dalam ruang kehidupan yang tertib, aman dan damai.

Sama halnya dengan sumbernya, kaidah hukum yang bersumber pada


perundang-undangan ini harus berfungsi, yang dalam hal ini terdapat beberapa
syarat yang harus dipenuhi, yaitu:10

a) Ketentuan atau peraturan mengenai bidang-bidang tertentu harus cukup


sistematis yang artinya tidak terdapat kesimpang siuran
ketentuan/peraturan hukum dalam bidang yang sama.

b) Ketentuan atau peraturan hukum itu harus memiliki keselarasan, artinya


baik secara hirarkis maupun secara horizontal tidak terdapat pertentangan.

c) Adanya relevansi suatu ketentuan atau peraturan dengan dinamika sosial


secara kualitatif dan kuantitatif peraturan atau ketentuan yang mengatur
masalahnya yang tertentu itu memang benar-benar terpenuhi.

d) Penerbitan ketentuan atau peraturan-peraturannya harus sesuai dengan


persyaratan yuridis yang ada atau yang telah ditetapkan.

e) Hukum atau ketentuan/peraturan hukum harus merupakan penjelmaan dari


jiwa dan cara berfikir masyarakat, atau ketentuan/peraturan hukum
tersebut harus merupakan struktur rohaniyah suatu masyarakat, dimana
setiap anggota harus benar-benar mematuhinya.

2) Adat dan kebiasaan

Peranan kebiasaan dalam kehidupan hukum pada masa sekarang ini


memang sudah banyak merosot. Sebagaimana telah diketahui, kebiasaan
merupakan tidak lagi sumber yang penting sejak ia didesak oleh perundang-
undangan dan sejak sistem hukum semakin didasarkan pada hukum

10
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Bandung: Bina Aksara, 2007), hal. 18

5
perundang-undangan atau jus scriptum.11Kebiasaan dan adat merupakan
sumber kaidah. Bagi orang Indonesia, kebiasaan dan adat tidak sama. 12 Untuk
itu selanjutnya dijelaskan di bawah ini mengenai perbedaan kebiasaan dan
adat.

Dalam buku Mengenal Hukum yang menguraikan mengenai perbedaan


kebiasaan dan adat sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno:

"Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang ajeg, tetap, normal atau
adat dalam masyarakat atau pergaulan tertentu. Pergaulan hidup ini
merupakan lingkungan yang sempit seperti desa, tetapi dapat luas juga yakni
meliputi masyarakat Negara yang berdaulat.Perilaku yang tetap atau ajeg
berarti merupakan perilaku manusia yang diulang. Perilaku yang diulang itu
mempunyai kekuatan normative, mempunyai kekuatan mengikat. Karena
diulang oleh banyak orang maka mengikat orang lain untuk melakukan hal
yang sama, karenanya menimbulkan keyakinan atau kesadaran, bahwa hal itu
memang patut dilaksanakan, bahwa itulah adat."13

Sedangkan adat-istiadat merupakan kebiasaan sosial yang sejak lama telah


melekat pada masyarakat. Pada umumnya adat istiadat bersifat sakral serta
merupakan tradisi.

Sementara itu Utrecht membedakan hukum adat dan kebiasaan sebagai


berikut:14

a) Hukum adat asal usulnya bersifat sakral. Hukum adat berasal dari
kehendak nenek moyang, agama, dan tradisi rakyat, seperti dipertahankan
dalam keputusan para penguasa adat. Sedangkan kebiasaan yang
dipertahankan para penguasa yang tidak termasuk lingkungan perundang-
undangan, bagian besarnya dalah kontra antara bagian barat dan timur.

11
SatjiptoRahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 108
12
E. Utrech, Pengantar Dalam Hukum Indonesia. . ., hal. 133
13
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafiaka, 2009), hal. 150.
14
Ibid., hal. 110

6
Tetapi hukum kebiasaan ini dapat diresepsi dalam hukum Indonesia
nasional yang asli.

b) Hukum adat bagian besarnya terdiri atas kaidah-kaidah yang tidak tertulis,
tetapi ada juga hukum adat yang tertulis. Sedangkan kebiasaan semuanya
terdiri dari kaidah yang tidak tertulis.

3) Traktat

Merupakan perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Biasanya


memuat peraturan-peraturan hukum. Jenis-jenis traktat di antaranya yaitu: 15

a) Traktat Bilateral, yaitu traktat yang terjadi antara dua negara saja.

b) Traktat Multirateral yaitu traktat yang dibuat oleh lebih dari dua negara.

c) Traktat Kolektif, yaitu traktat multirateral yang membuka kesempatan


bagi mereka yang tidak ikut dalam perjanjian itu untuk menjadi
anggotanya.
Menurut pendapat klasik ada empat tingkatan untuk terjadinya suatu
traktat, yaitu:

(1) Penetapan

(2) Persetujuan DPR

(3) Ratifikasi kepala negara

(4) Pengumuman

(5) Yurisprudensi

Yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia (bahasa Latin) yang


berarti pengetahuan hukum (rechgeleerdeid). Kata yurisprudensi
sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan kata

15
Ibid., hal. 110-111

7
”yurisprudentia” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap ataupun
bukan peradilan.

Kata yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti teory ilmu hukum


sedangkam untuk pengertian yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah
case law atau judge Made Law.

Kata yurisprudensi dalam bahasa Jerman berarti ilmu hukum


dalam arti sempit. Kemudian dari segi praktik peradilan yurisprudensi
adalah keputusan hakim yang selalu dijadikam pedoman hakim lain
dalam menuntaskan kasus-kasus yang sama.16
Terdapat suatu sebab dimana seorang hakim mempergunakan putusan
lain, sebab-sebabnya ialah:

(a) Pertimbangan Psikologis

Karena keputusan hakim mempunyai kekuatan/kekuasaan


hukum,terutama keputusan pengadilan tinggi dan Mahkamah
Agung,maka biasanya hakim bawahan segan untuk tiddak
mengikuti putusan tersebut.

(b) Pertimbangan praktis

Karena dalam kasus yang sama sudah pernah di jatuhkan


putusan oleh hakim terdahulu,lebih-lebih apabila putusan itu sudah
di benarkan atai di kuatkan oleh Pengadilan Tinggi atau
Mahkamah Agung (MA) maka lebih praktis apabila hakim
berikutnya memberikan putusan yang sama.

(c) Pendapat yang sama

Karena hakim yang bersangkutan sependapat dengan


keputusan hakim yang lebih dulu,terutama apabila isi dan tujuan
undang-undang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sosial yang

16
Ibid., hal. 159-160

8
nyata pada waktu kemudian, maka wajar apabila keputusan hakim
lain tersebut dipergunakan. Sedangkan dasar hukum yurisprudensi
ialah:

(1) Dasar historis, yaitu secara historis diikutinya oleh umum.

(2) Adanya kekurangan daripada hukum yang ada,karena pembuat


Undang undang tidak dapat mewujudkan segala sesuatu dalam
undang-undang, maka yurisprudensi di gunakan untuk mengisi
kekurangan dari undang-undang.17

a) Doktrina

Doktrin adalah pendapat ahli hukum yang terkenal.


Sebagaimana yang dikutip dari pernyataan Sudikno, yaitu:
"doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang
merupakn sumber hukum tempat hakim dapat menemukan
hukumnya. Seringkali terjadi bahwa hakim dalam
keputusannya menyebut sarjana hukum. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa hakim menemukan hukumnya
dalam doktrin itu. Doktrin yang demikian itu adalah
sumber hukum formil".18

Apabila suatu doktrin ada yang belum digunakan


hakim dalam mempertimbangkan kekuasaanya, maka
belum merupakan sumber hukum formil. Jadi untuk dapat
menjadi sumber hukum formil, doktrin harus memenuhi
syarat tertentu yakni doktrin yang telah menjelma menjadi
putusan hakim.

C. Arbitrase Syari'ah
1. Pengertian Arbitrase Syari'ah

17
Ibid., hal. 161-164
18
E. Utrech, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, . . . hal. 115

9
Arbitrase dapat disamakan dengan istilah tahkim yang berasal dari kata Hakkama
yang berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Lembaga ini
sudah dikenal sejak zaman peradaban pra-Islam. Meskipun belum ada sistem
peradilan yang sudah terorganisir, setiap ada suatu permasalahan sengketa, hak waris
dan hak-hak lainnya masyarakat menyelesaikan sengketa melalui bantuan juru damai
yang ditunjuk oleh masyarakat yang berselisih.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpilkan bahwa arbitrase dalam Islam
disebut dengan istilah tahkim yang berarti cara penyelesaiannya berada di luar
pengadilan dan bersifat privat, melibatkan pihak ketiga yang berwenang mengambil
keputusan dengan perjanjian tertulis dari pihak ketiga.
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa arbitrase dalam Islam disebut dengan
istilah tahkim. Arbitrase merupakan pencegah perselisihan antara kedua belah pihak
yang bersengketa. Perselisihan yang terjadi mengenai hak milik maupun hak-hak
lainnya yang diselesaikan melalui bantuan pihak ketiga atau wasit.
Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitage (Belanda/Perancis),
arbritation (Inggris) dan schiedspruch (Jerman, yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau
wasit). Dalam literatur sejarah hukum Islam, arbitrase lebih identik dengan istilah
tahkim. Tahkim adalah pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit atau juru
damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang
mereka perselisihkan secara damai.19
2. Dasar Hukum Arbitrase Syari'ah
Dalam Islam segala sesuatu selalu disandarkam kepada Al-Qur'an As-Sunnah dan
ijtihad para ulama. Eksistensi majelis Tahkim Arbitrase sangat dianjurkan dalam
Islam guna mencapai kesepakatan yang maslahahdalam penyelesaian sengketa
termasuk juga sengketa perdata. Hal ini dimaksud agar umat Islam terhindar dari
perselisihan yang dapat melemahkan peersatuan Ukhuwah Islamiyah.
Dasar hukum bagi keharusan bertahkim adanya anjuran Al-Quran tentang
perlunya perdamaian yaitu QS. Al Hujurat ayat 9 yang berbunyi sebagai berikut:

19
Waldi Nopriansyah, Hukum Bisnis di Indonesia (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), hal 234.

10
‫وا ٱلَّتِى تَب ِْغى َحتَّ ٰى تَفِ ٓى َء ِإلَ ٰ ٓى َأ ْم ِر‬ ۟ ُ‫َت حْ َد ٰىهُما َعلَى ٱُأْل ْخ َر ٰى فَ ٰقَتِل‬ ۟ ۟
َ ‫َوِإن طَٓاِئفَتَا ِن ِمنَ ْٱل ُمْؤ ِمنِينَ ٱ ْقتَتَلُوا فََأصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما ۖ فَِإ ۢن بَغ ْ ِإ‬
‫ُوا بَ ْينَهُ َما بِ ْٱل َع ْد ِل َوَأ ْق ِسطُ ٓو ۟ا ۖ ِإ َّن ٱهَّلل َ ي ُِحبُّ ْٱل ُم ْق ِس ِطين‬
۟ ‫ت فََأصْ لِح‬
ْ ‫ٱهَّلل ِ ۚ فَِإن فَٓا َء‬
Artinya: “dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang Berlaku adil”. (QS. Al Hujurat : 9).20
Tafsir ayat tersebut adalah Allah SWT menyebutkan mereka sebagai orang-orang
mukmin, padahal mereka berperang satu sama lainnya. Berdasarkan ayat ini Imam
Bukhari dan lain-lainnya menyimpulkan bahwa maksiat itu tidak mengeluarkan orang
yang bersangkutan dari keimanannya, betapapun besarnya maksiat itu. Tidak seperti yang
dikatakan oleh golongan Khawarij dan para pengikutnya darikalangan Mu'tazilah dan
lain-lainnya (yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar dimasukkan ke dalam neraka
untuk selama-lamanya). Yakni hingga keduanya kembali taat kepada perintah Allah dan
Rasul-Nya, serta mau mendengar perkara yang hak dan menaatinya. Berlaku adillah
dalam menyelesaikan persengketaan kedua belah pihak, berkaitan dengan kerugian yang
dialami oleh salah satu pihak akibat ulah pihak yang lain, yakni putuskanlah hal itu
dengan adil dan bijaksana.21
Firman Allah yang lain QS. An Nisa ayat 35 sebagai berikut:

ٰ ۟
ِ ِّ‫ق بَ ْينِ ِه َما فَٱ ْب َعثُوا َح َك ًما ِّم ْن َأ ْهلِ ِهۦ َو َح َك ًما ِّم ْن َأ ْهلِهَٓا ِإن ي ُِريدَٓا ِإصْ لَحًا يُ َوف‬
‫ق ٱهَّلل ُ بَ ْينَهُ َمٓا ۗ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِي ًما خَ بِيرًا‬ َ ‫َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم ِشقَا‬

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal. (QS. An Nisa : 35)22

20
QS. Al Hujurat (49) : 9
21
Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Terj. M. Abdul
Ghofar, Abdurrahim Mu‟thi, dan Abu Ihsan Al Atsari (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2003), hal 481.
22
QS. An Nisa (4) : 35

11
Ayat ini dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya bagi hakam menetapkan
keputusannya, sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan
makna lahiriah ayat.Sedangkan menurut qaul jadid dari mazhab Syafi‟i juga menurut
pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya cenderung kepada pendapat
yang kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali r.a. kepada seorang suami
yang mengatakan, "Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali r.a. berkata, "Kamu
dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu." Mereka
mengatakan, "Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya tidak
diperlukan adanya ikrar dari pihak suami." Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan
bahwa para ulama sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda,
maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat bahwa pendapat
keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak suami
istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing
pihak.23
Kedua ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa badan arbitrase dalam
perspektif hukum positif merupakan suatu kebutuhan guna menyelesaikan sengketa yang
ada pada masyarakat. Bahkan, pada Surat Al-Hujarat ayat 9 di atas disebutkan apabila
salah satu dari keduanya melakukan wanprestasi atau pelanggaran (aniya), maka harus
diberi sanksi dengan jalan upaya paksa (diperangi). Apalagi wanprestasi dan pelanggaran
tersebut memunyai nilai eksekutorial, maka harus dilakukan upaya paksa tersebut sesuai
dengan klausula perjanjian para pihak atau putusan Badan Arbitrase, baik putusan
tunggal maupun majelis.
D. Arbitrase Syari'ah Dalam Hukum Positif
Menurut hartono Mardjono, bahwa adanya suatu “lembaga permanen” yang
berfungsi untuk mennyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perkara perdata di
antara bank-bank syariat dengan para nasabahnya, atau khususnya menggunakan jasa
mereka dan umumnya antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan-hubungan
keperdataan yang menjadi syariat sebagai dasarnya. adalah suatu kebutuhan yang
sungguh-sungguh nyata. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa kehadiran lembaga permanen
yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata diantara

23
Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh, Tafsir Ibnu ., 193

12
pihak-pihak yang bersangkutan, di samping memang merupakan suatu kebutuhan nyata,
juga memiliki dasar-dasar yang kuat berdasarkan hukum positif yang berlaku.24
Di dalam Mukadimah Yayasan Badan Arbitrase Muamlat Indonesia
(BASYARNAS) 25
dikemukakan bahwa Badan ini akan bekerja dalam kerangka
peraturan resmi negara yang ada dan didasarkan pada kesadaran dan penghayatan hukum
pelaku-pelaku muamalat itu, semuanya dilandasi oleh asas musyawarah mufakat dan
akhlak Islam dalam kerangka Negara Ketentuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dari segi kelembagaan, status hukum Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah yayasan dibentuk berdasarkan Akta
Notaris nommor 175 pada hari kamis tanggal 21 Oktober 1993 bertepatan dengan tanggal
5 Jumadil Awal 1414 Hijriyah.26 Yayasan adalah badan hukum yang menjadi subyek
hukum. Bahwa istilah yayasan pada mulanya digunakan sebagai terjemahan dari
“stichting” dalam bahasa Belanda, “foundation” dalam bahasa inggris. Terdapat sejumlah
definisi yayasan dikemukakan oleh para ahli, antara lain:
Dr.Chatamarrasyid, SH.,M mengemukakan bahwa:27
“Yayasan adalah suatu badan yang menjalankan usaha yang bergerak dalam
segala macam usaha, baik yang bergerak dalam usaha yang nonkomersial maupun yang
secara tidak langsung bersifat 100% komersial”
Paul Scholten mengemukakan bahwa:28
“Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan
sepihak, pernyataan itu harus berisikan pemisahansuatu kekayaan untuk tujuan tertentu,
dengan penunjukan bagaimana kenyataan itu harus diurus dan dipergunakan.”
Berdasarkan definisi di atas Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai
yayasan/badan/lembaga Arbitrase Islam memunyai asas, tujuan, operasional, dan
kewenangan yang tercantum di dalam Akta Pendirian, Anggaran Rumah Tangga dan
Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dalam upaya

24
H. Hartono Mardjono, Menegakan Syariat Islam dalam Konteks KeIndonesian, Mizan, Bandung, 1997, hlm 66.
25
Op Cit., Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, hlm. 15.
26
Ibid.
27
Chatamarrasyid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, (Bandung:PT Citra Aditya Bakti,
2000), hlm. 5.
28
Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroaan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf,
(Bandung: Alumni, 1986), hlm 22.

13
hukum untuk menyelesaikan sengketa bisnis para pihak memunyai kewenangan
tercantum dalam peraturan prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
sebagi berikut:29
1. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan industri, keungan jas
dan lain-lain mana para pihak sepakat secdra tertulis untuk menyelesaikan
penyelesaiannya kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai
dengan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS); dan
2. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai
suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak. Kesepakatan
klausula seperti itu bisa dicantumkan dalam perjanjian atau dalam suatu akta tersendiri
setelah sengketa timbul.
Dari segi Tata Hukum Indonesia, keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) secara yuridis formal mempunyai legitemasi yang kuat di negara
Indonesia. Terdapat dasar hukum negara sebagai hukum positif yang berlaku saat ini
memungkinkan suatu lembaga lain di luar lembaga peradilan umum dapat menjadi
wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan kepada badan peradilan dengan
berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang
meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-
masing diatur dalam undang-undang tersendiri.30
Namun demikian, di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 disebutkan antara lain, bahwa:
“Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbiter hanya memunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari
pengadilan”
Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan Arbitrse di Indonesia adalah
Pasal 615 sampai dengan 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op De
29
Op Cit., Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, hlm 30.
30
Op Cit., A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, hlm. 112.

14
Rechtvordering Staatsblad 1847) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (het Herziene Indonesisch Reglement, Staatbald 1941) dan Pasal 705
Reglemen Acafra untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buiitengewesten Staatblad 1927). Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa melalui Pasal
81 undang-undang tersebut secara tegas mencabut ketiga macam ketentuan tersebut
terhitung sejak tanggal diundangkan. Maka berarti segala ketentuan yang berhubungan
dengan Arbitrase, termasuk putusan Arbitrase asing tunduk pada ketentuan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999, meskipun secara lex specialis ketentuan yang
berhubungan (pelaksanaan) Arbitrase asing telah diatur dalam Undang-Undnag nomor
5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas persetujuan atas Konvensi tentang
Penyelesaian Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai
penanaman modal (International Centre for the Settlement of Invensment Disputes
(ICSID) Convnebtion), Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang
Pengesahaan New York Convention 1958 dan Peraturan Makamah Agung Nomor 1
Tahun 1990.31
Dalam tata hukum Indonesia BASYARNAS mempunyai kedudukan dan landasan
hukum yang sangat kuat. BASYARNAS mempunyai kewenangan dalam upaya
penyelesaian sengketa bisnis para pihak yang bersangkutan sesuai dengan prosedur
BASYARNAS. Berdasarkan hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
pada Pasal 3 ayat (1) penyelesaian sengketa di luar pengadilan dibolehkan melalui
lembaga Arbitrase. Hal demikian juga diatur melalui Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
E. Penutup
Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai salah
satu contoh lembaga arbitrase Islam yang ada di Indonesia, apabila dilihat dari aspek
yuridis, mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, baik dasar hukum negara maupun
hukum Islam. Sumber hukum Islam mengenai Arbitrase diatur dalam Al-Qur’an, AS-
Sunnah dan Ijma’Ulama. Secara historis dapat dikatakan bahwa keberadaan Lembaga

31
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 5

15
Arbitrase Islam sudah sejak masa Rasulullah Saw dan berkembang sampai sekarang dari
Lembaga Ad-Hoc menjadi Lembaga Permanen. Demikian juga secara sosiologis,
keberadaan Arbitrase Islam merupakan kebutuhan umat dalam menyelesaikan setiap
terjadi sengketa di antara mereka yang meliputi masalah politik, peperangan,
perdagangan,keluarga, ekonomi dan bisnis. Selain itu, juga dapat dilakukan secara
murah, mudah dan cepat dibandingkan dengan proses pengadilan.
Dalam tata hukum Indonesia BASYARNAS mempunyai kedudukan dan landasan
hukum yang sangat kuat. BASYARNAS mempunyai kewenangan dalam upaya
penyelesaian sengketa bisnis para pihak yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang
berlaku dalam BASYARNAS. .Berdasarkan hukum positifyang berlaku, yaitu Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman pada Pasal 3 ayat (1) penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan
dibolehkan melalui lembaga Arbitrase. Hal demikian telah diatur melalui Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

DAFTAR PUSTAKA

A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino. Arbitrase dalam Prespektif Islam dan Hukum Positif.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Abdul kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung, PT. Citra
Adiya bakti, 1993.

Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh. Tafsir Ibnu Katsir Jilid
2. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2003.

16
Chatamarrasyid, 2000, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Garry Goodpaster, 1995, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-dasar


Hukum Ekonomi Arbitrase Indonesia, Ghalia Indonesia.

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbtrase, PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,
2001.

Mardjono, H. Hartono, 1997, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks KeIndonesian,


Bandung: Mizan.

Rido, Ali, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroaan,Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Alumni.

Rosyadi, A. Rahmat dan Ngatino, 2002, Arbitrase dalam Prespektif Islam dan Hukum
Positif, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Siti Megadianti Adam dan Takdir Rahmadi, 1997, Sengketa dan Penyelesaiannya,
Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I, Jakarta, Indonesian Center For
Environmental Law.

Waldi Nopriansyah. Hukum Bisnis di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.


Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000.

Yusna Zaidah. “Lembaga Arbitrase Islam di Indonesia” Al’Adl, Volume VIII Nomor 3,
September -Desember 2016.

17

También podría gustarte