Está en la página 1de 13

PROPOSAL SKRIPSI

GENOSIDA RWANDA DAN TINDAKAN YANG DILAKUKAN OLEH


HUKUM INTERNASIONAL DALAM MENANGANINYA

Penyusun :

Farida Febrina

NIM. 08.015.08.024

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK


UNIVERSITAS AL - AZHAR INDONESIA

2008

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Genosida merupakan sebuah kata yang mewakili tindak kekerasan dalam


bentuk pembantaian secara besar-besaran terhadap suatu suku bangsa ataupun
kelompok dengan tujuan untuk memusnakan bangsa tersebut. Kekerasan genosida ini
merupakan permasalahan yang sudah menjadi pambahasan dalam hukum
internasional sejak pertengahan tahun 1940-an. Kata genosida sendiri pertama kali
digunakan oleh seorang ahli hukum berketurunan Polandia dan Yahudi bernama
Raphael Lemkin pada tahun 1944 dalam bukunya yang berjudul Axis Rule in
Occupied Europe.1 Namun bukan berarti genosida itu sendiri baru muncul pada abad
ke-20, karena menurut data catatan sejarah kekerasan ini pertama kali terjadi pada
milenium pertama sebelum masehi. Hal ini menjadi bukti bahwa sejak sebelum
masehi saja manusia sudah memiliki sifat rasisme yang membuat mereka percaya dan
terdoktrin bahwa suatu ras lebih maju dan lebih beradab dibandingkan ras lainnya.
Sifat rasisme inilah yang akhirnya dapat memicu terjadinya kekerasan genosida.
Karena ras yang lebih superior merasa bahwa ras lain selain mereka atau dibawah
mereka pantas untuk dimusnahkan.

Dalam konvensi PBB yang membahas tentang Pencegahan dan Hukuman


Kejahatan Genosida atau yang lebih dikenal dengan Convention on the Prevention
and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG) tanggal 9 Desember 1948, pasal
2 dari konvensi ini mendefinisikan genosida sebagai tindakan-tindakan berikut ini
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian,
nasional, etnis, ras atau kelompok agama, dengan demikian: membunuh anggota
kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota
1
Raphael Lemkin, Axis Rule in Occupied Europe: Laws of Occupation - Analysis of Government - Proposals for
Redress. http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida, diakses pada 6 Januari 2011, pukul 16.40

2
kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan
secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam
kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.2
Dalam yurisdiksi International Criminal Court, genosida merupakan salah satu dari
empat pelanggaran HAM terberat selain kejahatan terhadap manusia, kejahatan
perang, dan kejahatan Agresi.

Bentuk-bentuk kekerasan genosida tidak hanya dibatasi sampai kekerasan fisik


terhadap suatu ras atau kelompok saja. Ada pula kekerasan genosida yang disebut
genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan
bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya
atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.3

Contoh dari tindak kekerasan genosida dari yang paling pertama sekali terjadi
menurut catatan sejarah adalah pembantaian yang dilakukan oleh bangsa Yahudi
terhadap bangsa Kanaan pada milenium pertama sebelum masehi. Kemudian disusul
oleh pembantaian-pembantaian lainnya seperti pembantaian bangsa Helvetia yang
dilakukan oleh Julius Caesar pada abad ke-1 SM, pembantaian suku bangsa Keltik
oleh bangsa Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia sejak abad ke-7, pembantaian
bangsa-bangsa Indian (suku penduduk asli Amerika) di benua Amerika oleh para
penjajah Eropa semenjak tahun 1492, pembantaian bangsa Aborijin Australia (suku
penduduk asli Australia) oleh Britania Raya atau Inggris semenjak tahun 1788, dan
pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa kelompok Turki pada akhir Perang
Dunia I.

Contoh lain kekerasan genosida yang terkenal dan terjadi secara besar-besaran
adalah pembantaian yang dilakukan oleh NSDAP (Nationalsozialistiche Deutsche
Arbeiterpartei) atau yang lebih kita kenal sebagai Partai Nazi atau Nazi pada masa
Perang Dunia II. Nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler (1933-1945)
melakukan pembantaian besar-besaran terhadap bangsa keturunan Yahudi, Gipsi
(Sinti dan Roma), dan Slavia (Rusia). Tidak cukup pada pembantaian ras saja, Nazi
kemudian juga mekakukan pembantaian terhadap kaum homoseksual, orang cacat

2
Office of the High Commissioner for Human Rights. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime
of Genocide. http://www.preventgenocide.org/ab/1998/, diakses pada 6 Januari 2011, pukul 17.20
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida, diakses pada 6 Januari 2011, pukul 17.30

3
mental atau fisik, kelompok saksi-saksi Yehuwa, dan para komunis. Korbannya
berjumlah 5 juta orang yang kebanyakan orang Rusia, Polandia, dan Roma, dan 6 juta
orang Yahudi.

Pembantaian lainnya yang baru terjadi sekitar 16 tahun lalu yaitu Pembantaian
di Rwanda pada tahun 1994. peristiwa ini bermula ketika Presiden Rwanda, Juvenal
Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di pesawat. Penembakan ini
merupakan sebuah bentuk protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk
menyatukan etnis-etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada masing-masing
etnis tersebut. Presiden Juvenal Habyarimana dibunuh pada tanggal 6 April 1994,
beliau dibunuh saat sedang berada di dalam pesawat yang membawa beliau dan
Presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira setelah negosiasi masalah Piagam Arusha.
Pesawat yang membawa kedua kepala negara ini diledakkan oleh sebuah granat roket.
Dari sinilah awal pembantaian etnis secara terencana terhadap suku Hutu dan Tutsi
oleh suku Tutsi radikal. Kemudian, sehari sesudah terbunuhnya Presiden
Habyarimana, Angkatan Bersenjata Rwanda (FAR) dan Interahamwe melakukan
blokade di seluruh tempat di Rwanda. Anggota FAR dan Interahamwe melakukan
kampanye dimulai dari utara Negara dan menyebar hingga ke selatan Negara. Yang
menjadi target adalah suku Tutsi dan Hutu moderat. Perdana menteri, menteri, pastur,
rakyat biasa, dan siapapun yang mendukung rencana penyatuan etnis di Rwanda dan
pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis seperti yang dirancang dalam Piagam
Arusha, menjadi korban dalam insiden ini. Piagam Arusha merupakan rencana yang
disusun oleh Presiden Habyarimana saat beliau masih menjabat sebagai Menteri
Pertahanan Rwanda tahun 1993, setahun sebelum beliau menjabat sebagai Presiden
Rwanda. Piagam ini berisi tentang rencana Presiden terhadap masa depan Rwanda,
yaitu menyatukan suku-suku etnis yang berada di Rwanda dan melaksanakan
pembagian kekuasaan bagi masing-masing etnis tersebut. Maka diperkirakan
penyerangan terhadap Presiden Habyarimana ini sebagai bentuk protes para suku etnis
yang tidak menginginkan terwujudnya rencana piagam ini.

Dapat dipastikan bahwa suku-suku etnis di Rwanda masih membedakan suku-


suku dan memberi jarak antara satu suku dengan suku yang lain. Dalam hal ini suku-
suku di Rwanda dapat dibilang bersifat etnosentrisme yang kemudian berkembang
menjadi rasisme. Etnosentrisme yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif

4
dalam memandang budaya orang lain.4 Sedangkan rasisme adalah suatu sistem
kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat
pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras
tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. 5 Kedua sifat
inilah yang kemudian dapat berkembang menjadi suatu tindakan seperti genosida,
karena adanya keinginan agar suatu suku atau ras lebih berkuasa dari ras lainnya.

Dalam usaha untuk menghentikan genosida ini pemimpin Front Patriotik


Rwanda (RPF), Paul Kagame melakukan pertahanan untuk mengakhiri genosida ini
dan menyelamatkan tentara yang terperangkap di Kigali. Demi tujuan kemenangan
militer dan menghentikan genosida, pada akhirnya para tentara RPF ini melakukan
pemberontakan dan melakukan pembantaian yang menewaskan ribuan, termasuk
warga sipil, pasukan pemerintah, dan anggota milisi. Sehingga terjadi bentrokkan
antara tentara milisi, RPF, dan pasukan pemerintah. Yang pada akhirnya justru
semakin banyak memakan korban jiwa di Rwanda.

PBB kemudian setuju untuk mengirimkan 6.800 polisi guna memberi


penjagaan kepada warga sipil, namun 5 hari selepas persetujuan tersebut polisi yang
dijanjikan PBB belum juga tiba dan pembunuhan pun masih terus terjadi. Hingga
akhirnya dibuat Operation Turquoise untuk menjaga para pelaku tindak genosida dan
menggagalkan serangan RPF yang terus-menerus memakan korban. Pada bulan Juli
1994, RPF menduduki Kigali sementara itu pemerintahan Hutu mengungsi ke Zaire.
Epidemi kolera pun terjadi di Zaire dan menewaskan ribuan pengungsi Hutu. Lagi-
lagi korban jiwa pun berjatuhan.

Pada bulan Agustus 1994 sebuah perjanjian untuk membentuk lembaga


pengadilan penjahat perang, yang kemudian menjadi International Criminal Tribunal
for Rwanda (ICTR) atau Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda, disetujui.
Veto dari Dewan Keamanan PBB akhirnya menurunkan jumlah pasukan penjaga
perdamaian dari 2.500 personil menjadi hanya 450 personil, dan dianggap tidak
mampu mengatasi masalah ini. Paul Kagame selaku ketua RPF pun akhirnya
menggantikan posisi Juvenal Habyarimana sebagai Presiden Rwanda. ICTR
kemudian mengadili para pelaku yang dianggap bersalah dan telah melakukan
4
http://id.wikipedia.org/wiki/Primordialisme, diakses pada 15 Januari 2011, pukul 18.57
5
http://dictionary.reference.com/browse/racism, diakses pada 15 Januari 2011, pukul 19.03

5
pembantaian Rwanda. Sejauh ini ICTR sudah menyelesaikan 19 persidangan, dan
menghukum 25 orang terdakwa. Sedangkan 25 orang lagi masih dalam proses
persidangan, 19 orang sedang menunggu persidangan dalam tahanan, dan 10 orang
masih belum tertangkap. Sidang pertama dilaksanakan mulai tahun 1997, mengadili
Jean-Paul Akayesu. Kemudian Perdana Menteri sementara, Jean Kambanda, mengaku
bersalah.6

Dari pembahasan diatas, dapat kita ambil suatu kesimpulan sementara bahwa
genosida merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang biasanya
berawal dari sifat rasisme, berupa pembantaian secara besar-besaran dengan tujuan
untuk memusnahkan seluruh ataupun sebagian dari suatu suku bangsa, ras, etnis,
ataupun agama karena dianggap tidak pantas untuk hidup dan lebih rendah dari kaum
yang melakukan penindasan tersebut. Jadi mereka melakukan eliminasi terhadap
kaum-kaum yang dianggap tidak pantas untuk hidup dan tidak pantas untuk lebih
berkuasa daripada kaum superior tersebut. Tindakan ini tentunya sangat merugikan
sekali bagi kaum yang dibantai bahkan bagi negara tempat terjadinya genosida itu
sendiri, karena menjatuhkan banyak sekali korban yang tidak bersalah. Dan hanya
mementingkan egoisme tanpa memandang hak-hak asasi yang dimiliki orang lain,
atau lebih spesifiknya hak-hak kaum yang dibantai tersebut.

Maka dalam mengatasi hal ini hukum internasional harus berperan lebih aktif
dan lebih membuka mata lagi atas apa yang mengancam suatu ras atau kelompok.
Karena kekerasan genosida bukan merupakan permasalahan domestik bagi Negara
tempat terjadinya peristiwa pembantaian ini.

Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih jelas lagi pembahasan di atas, yaitu
tentang pembantaian yang pernah terjadi di Rwanda. Mengapa pembantaian ini
terjadi, faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya, dan bagaimana terjadinya.

1.2. Rumusan Masalah

6
http://en.wikipedia.org/wiki/Genocide, diakses pada 15 Januari 2011, pukul 19.40

6
Dari pembahasan diatas, penulis akan membahas fokus masalah dalam skripsi
ini yaitu: “Apa saja tindakan-tindakan yang sudah dilakukan oleh Hukum
Internasional dalam mengatasi tindak genosida yang pernah ataupun masih terjadi di
dunia?” dan “Apa yang diharapkan oleh negara-negara di dunia terhadap Hukum
Internasional dalam mengatasi tindak genosida tersebut?”

1.3. Pembatasan Masalah

Dalam hal ini, penulis akan memberi batasan dalam pembahasan masalah di
atas, yaitu: (1) Tindakan atau insiden genosida yang akan dibahas dalam skripsi ini
adalah Genosida Rwanda yang terjadi pada tahun 1994 ; (2) Kebijakan dan cara
penanganan Hukum Internasional dalam menghadapi tindak genosida.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini, antara lain, bertujuan untuk:

1. Memberikan wawasan dan informasi tentang genosida serta sifat-sifat


yang mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan ini.
2. Menjelaskan dan memahami peranan Hukum Internasional dan
Pengadilan Kriminal International dalam menangani tindak genosida
3. Memenuhi prasyarat kelulusan Teori dan Metodologi Hubungan
Internasional, Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Al Azhar Indonesia.

1.4.2. Manfaat Penelitian

7
Manfaat dari penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Dengan meneliti dan memahami tentang genosida dan cara


penanganan hukum internasional, maka diharapkan dapat bermanfaat
bagi generasi penerus yang mungkin nantinya akan berperan dalam
hukum internasional dan akan berhadapan dengan permasalahan tindak
genosida ini agar dapat mengambil keputusan yang tepat demi
memajukan dan menjunjung keadilan di tingkat internasional.
2. Dari penelitian ini pula kita dapat melihat bagaimana cara kerja atau
sistem kerja dari Pengadilan Kriminal International dan juga
Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda dalam menghadapi
insiden genosida di Rwanda.

1.5. Kerangka Dasar Pemikiran

Kasus genosida yang terjadi di banyak negara di seluruh dunia seringkali tidak
dapat terselesaikan secara tuntas. Hal ini mungkin juga dikarenakan baru didirikannya
pengadilan kriminal internasional pada tahun 2002. Sedangkan kasus genosida sendiri
pertama kali terjadi sejak milenium pertama sebelum masehi dan sejak itu banyak
kasus genosida–genosida lainnya yang terjadi dan tercatat di dalam sejarah, seperti
contoh genosida yang paling terkenal dan memakan banyak sekali korban jiwa, yaitu
pembantaian yang dilakukan oleh Nazi pada masa Perang Dunia II.

Hingga akhirnya pada tahun 2002 diputuskan untuk dibentuk International


Criminal Court (ICC atau ICCt) atau dapat kita sebut Pengadilan Kriminal
International merupakan sebuah lembaga yang berdiri dibawah organisasi PBB. ICC
dibentuk sebagai sebuah "tribunal" permanen untuk menuntut individual untuk
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, sebagaimana
didefinisikan oleh beberapa persetujuan internasional.7 Kemudian, tujuan dari
dirancangnya ICC ini adalah untuk membantu sistem yudisial nasional yang telah ada,
namun pengadilan ini dapat melaksanakan yurisdiksinya bila pengadilan negara tidak
mau atau tidak mampu untuk menginvestigasi atau menuntut kejahatan seperti yang

7
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Kriminal_Internasional, diakses pada 10 Januari 2011, pukul 12.13

8
telah disebutkan di atas, dan menjadi "pengadilan usaha terakhir", meninggalkan
kewajiban utama untuk menjalankan yurisdiksi terhadap kriminal tertuduh kepada
negara individual.8

Ada pula faktor lain yang membuat suatu kasus genosida tidak dapat
terselesaikan secara tuntas, yaitu apabila suatu kasus genosida tidak dianggap dan
tidak diputuskan sebagai genosida oleh PBB. Seperti misalnya yang terjadi di Darfur,
Sudan. Pembantaian kaum kulit hitam oleh milisi Janjaweed di Sudan ini dianggap
kasus genosida oleh pemerintah Amerika Serikat namun tidak oleh PBB.9 Hal seperti
inilah yang menghambat penyelesaian kasus di pengadilan internasional, karena
penetapan kasus itu sendiri masih menjadi perdebatan.

Berbeda dengan kasus yang terjadi di Darfur, pembantaian Rwanda dianggap


kasus genosida namun memang insiden ini kurang mendapat perhatian dari dunia
internasional khususnya Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab
yang paling dominan adalah karena negeri ini tidak memiliki nilai kepentingan
strategis di mata internasional.

Paradigma

Genosida sebagai suatu tindak kekerasan sangat erat hubungannya dengan


paradigma realis, karena paham realis merupakan suatu paham yang mengedepankan
kekuasaan (power) dan kepentingan kelompok tertentu. Pandangan mengenai manusia
dalam realis adalah manusia merupakan makhluk yang egois (selfish), rakus (greedy),
agresif, Animus Dominandi, Homo Hominilupus.10 Dengan begitu, dari segi realis,
dapat dikatakan manusia adalah makhluk yang rakus dan egois apabila sudah
menyangkut kekuasaan. Niccolo Machiavelli mengatakan keamanan nasional
keberlangsungan hidup negara, penguasa harus mengatasi ancaman baik dari dalam
maupun dari luar, cara bagaimana mendapatkan, mempertahankan, dan memperluas
kekuasaan.

8
Ibid., diakses pada 10 Januari 2011, pukul 12.46
9
Glenn Kessler dan Colum Lynch, U.S. Calls Killings in Sudan Geniocide, The Washington Post, 10 September
2004, hal. A01
10
Dodi Mantra, Modul: Teori dan Metodologi Hubungan Internasional (program studi Ilmu Hubungan
Internasional, FISIP: Universitas Al Azhar Indonesia, 2009), hal. 34

9
Menurut Edward E. Carr, kita boleh berharap dunia dapat menjadi damai dan
harmonis, namun hal tersebut tidak berguna bagi studi ilmiah terhadap politik dunia.
Karena itu ia lebih menekankan pengamatan terhadap realitas (what is) kekuasaan
dalam politik internasional ketimbang menjadikan pandangan mengenai dunia
seharusnya (what ought to be).11 Para realis seperti Carr percaya bahwa pencarian
kekuatan nasional adalah dorongan alami yang memiliki resikonya sendiri jika
diabaikan oleh negara. Negara-bangsa yang menjauhkan diri dari pencarian kekuatan
(pursuit of power) sebagai pegangan prinsipnya pada dasarnya membahayakan
keamanan mereka sendiri.12

Kesimpulannya, pemikiran realisme berujung kepada sifat konservatif dan anti


inovasi. Realisme juga memunculkan ketidakadilan, dengan tidak memandang
kepentingan secara umum, realis lebih mementingkan kepentingan pribadi kelompok
kecil saja. Kemudian, realisme juga memandang dunia dalam sudut pandang yang
sempit dan etnosentris. Hal inilah yang utama menyebabkan terjadinya kasus seperti
genosida, karena suatu kelompok etnis tertentu menganggap mereka lebih superior
dibandingkan etnis lainnya (etnosentris). Realisme juga mengabaikan adanya
kerjasama, kepentingan bersama, dan perubahan dalam hubungan internasional.

1.6. Hipotesis

Dari uraian di atas, terlihat bahwa pihak PBB khususnya Dewan Keamanan
PBB dan ICTR dianggap sudah cukup baik dalam menyelesaikan masalah genosida
Rwanda ini. Namun, Dewan Keamanan PBB masih kurang cepat dalam memberikan
bantuan kepada tempat terjadinya konflik. Diharapkan kedepannya Dewan Keamanan
PBB dapat lebih tanggap lagi dalam menghadapi permasalahan genosida dan dalam
mengirimkan bantuan, apalagi dengan sudah dibentuknya ICC untuk mengadili para
pelaku kriminal internasional dan ICTR untuk menyelesaikan permasalahan genosida
Rwanda.

11
Ibid., hal. 35
12
Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of International Relations (New York: ST Martin’s
Press, INC., 1996), hal. 95

10
1.7. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dari


epistemologi kearah pelaksanaan penelitian. Epistemologi memberi pemahaman
tentang cara/teori menemukan atau menyusun pengetahuan dari ide, materi atau dari
kedua-duanya serta merujuk pada penggunaan rasio, intuisi, fenomena atau dengan
metode ilmiah. Sehingga bagaimana menemukan atau menyusun pengetahuan
memerlukan kajian atau pemahaman tentang metode-metode. Dalam pengertian ini
perlu dibedakan antara metode dan teknik. Secara keilmuan, metode dapat diartikan
sebagai cara berpikir, sedangkan teknik diartikan sebagai cara melaksanakan hasil
berpikir. Jadi dengan demikian metodologi penelitian itu diartikan sebagai
pemahaman metode-metode penelitian dan pemahaman teknik-teknik penelitian.13

Berdasarkan rumusan masalah, teknik pengumpulan data yang penulis


gunakan dalam skripsi ini adalah teknik deskriptif dengan menggambarkan sesuatu
yang sudah ada dengan tujuan untuk memperdalam dan lebih memfokuskan untuk
mencermati permasalahan. Karena itu, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif agar mendapatkan data yang akan digunakan dalam proses pengumpulan
data secara deskriptif tersebut. Yang dimaksud data kualitatif di sini adalah data yang
menunjukan kualitas atau mutu dari suatu fenomena (keadaan, proses, kejadian atau
peristiwa, dan lain-lain).

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah penelitian


kepustakaan (library research). Teknik ini dilakukan dengan cara mencari informasi
dari berbagai macam buku, artikel, jurnal, dan juga laporan penelitian, serta informasi
dari sumber media massa dan internet.

1.8. Sistematika Penulisan

Dalam bagian ini, penulis akan membagi pembahasan mengenai masalah di


atas ke dalam lima bab, yaitu: Bab satu antara lain menjelaskan tentang latar
belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, manfaat dan tujuan penelitian,
13
Rusidi, Metodologi Penelitian, http://irf4n.wordpress.com/2006/05/09/system-dynamics-metodologi-penelitian/,
diakses pada 17 Januari 2011, pukul 19.20

11
kerangka dasar pemikiran, sampai kepada metode penelitian. Bab dua akan
menjelaskan tentang tindakan apa saja yang dilakukan oleh pemerintah Rwanda
dalam kasus genosida ini. Bab tiga akan menjabarkan bagaimana kasus genosida
Rwanda ini terjadi secara mendetail. Mulai dari pertikaian antar etnis yang terjadi,
pembunuhan presiden Rwanda, hingga meledaknya pertikaian yang berujung kepada
tindak genosida ini. Bab empat akan berisi tentang apa saja yang dicapai dalam
kesepakatan-kesepakatan dalam penindaklanjutan kasus genosida ini. Tindakan
pemerintah nasional dan internasional dalam mengusahakan perdamaian di Rwanda.
Bab lima berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan skripsi, serta kritik dan saran
mengenai apa yang yang kurang dari sistem hukum internasional dan apa yang perlu
dilakukan oleh system hokum intenasional kedepannya dalam menghadapi tindak
genosida ini.

DAFTAR PUSTAKA

12
• Raphael Lemkin. Axis Rule in Occupied Europe: Laws of Occupation -
Analysis of Government - Proposals for Redress.
http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida
• Office of the High Commissioner for Human Rights. Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
http://www.preventgenocide.org/ab/1998/
• http://en.wikipedia.org/wiki/Genocide
• http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida
• http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Kriminal_Internasional
• Glenn Kessler dan Colum Lynch. U.S. Calls Killings in Sudan Geniocide. The
Washington Post, 10 September 2004, hal. A01
• http://id.wikipedia.org/wiki/Primordialisme
• http://dictionary.reference.com/browse/racism
• Dodi Mantra, Modul: Teori dan Metodologi Hubungan Internasional
(program studi Ilmu Hubungan Internasional, FISIP: Universitas Al Azhar
Indonesia, 2009)
• Burchill, Scott dan Andrew Linklater, Theories of International Relations
(New York: ST Martin’s Press, INC., 1996)
• Rusidi. Metodologi Penelitian,
http://irf4n.wordpress.com/2006/05/09/system-dynamics-metodologi-
penelitian/

13

También podría gustarte