Está en la página 1de 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata


sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas. Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sistem pendidikan merupakan suatu sistem dengan komponen yang saling
berkaitan. Keseluruhan komponen dalam sistem tersebut harus sesuai dengan standar
yang ditentukan bersama agar dapat mencapai kualitas pendidikan yang diharapkan.
Pelaksanaan pendidikan nasional yang memenuhi standar kualitas membutuhkan
sumberdaya pendidikan yang standar meliputi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana
dan prasarana pendidikan, bahan dan peralatan pengajaran, dan lain sebagainya.
Pemenuhan kebutuhan sumberdaya tersebut berimplikasi pada kebutuhan biaya.
Standar biaya pendidikan memuat informasi tentang jumlah sekolah/madrasah
berikut peserta didiknya untuk masing-masing jenjang pendidikan di Indonesia dan
informasi tentang indikator-indikator yang berkaitan. Standar biaya pendidikan tersebut
merupakan informasi penting bagi pengambil kebijakan untuk menentukan alokasi
sumber dana pendidikan baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun
masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Selain itu, standar biaya
pendidikan juga dapat menjadi pedoman bagi satuan pendidikan untuk menyusun dan
melaksanakan anggaran pendapatan dan belanja sekolah/madrasah.
Pasal 1 (ayat 17) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa standar nasional pendidikan merupakan kriteria minimal sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya
dalam pasal 35 (butir 1) dinyatakan bahwa standar nasional pendidikan meliputi standar
isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang merupakan acuan pengembangan pendidikan.
Standar nasional tersebut selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjabaran lebih lanjut dari pasal 1 (ayat 17) UU No. 20 Tahun 2003 di atas,
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menetapkan kriteria kelulusan pendidikan kejuruan
adalah (1) minimal memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus untuk bidang
keahliannya, (2) memiliki pengetahuan dan keterampilan sosial, emosional dan fisik
dalam kehidupan sosial, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dasar, (4)
memiliki pengetahuan dan keterampilan akademik untuk jabatan individu dan masa
depannya.
Tantangan utama bagi para lulusan SMK akan semakin meningkat, untuk itu perlu
dipersiapkan suatu strategi pembelajaran dalam berbagai program kejuruan dengan
mempertajam kemampuan adaptif.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas lulusan sekolah kejuruan adalah
melalui pendidikan sistem ganda. Dalam era pembangunan saat ini masalah relevansi

1
menjadi sesuatu yang penting. Hal ini ditekankan supaya program pendidikan senantiasa
mencerminkan kebutuhan dunia industri pada khususnya dan pembangunan ekonomi pada
umumnya. Dalam pendidikan kejuruan konsep ini dituangkan dalam kebijakan link and
match (keterkaitan dan kesepadanan) yaitu adanya keterkaitan dan kesepadanan antara
dunia pendidikan dengan dunia usaha/industri dalam hal perencanaan, pelaksanaan
pelatihan, penilaian, dan sertifikasi yang sesuai dengan kebutuhan industri, termasuk pola
penyelenggaraan sehingga ada sebagian tenaga pelatih dan fasilitas yang dapat
dimanfaatkan oleh sekolah sebagai tempat berpraktik (outsourcing). Hal itu dilaksankan
dengan harapan ada kontribusi masyarakat dalam menyediakan/memberi kesempatan
pemanfaatan fasilitas dan tenaga yang dimiliki, dan hal ini paling tidak mengurangi beban
biaya penyelenggaraan pendidikan yang harus ditanggung pemerintah.

Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP


SNP), pasal 62 menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi,
biaya operasi dan biaya personal membawa implikasi terhadap perlunya disusun standar
pembiayaan yang meliputi standarisasi komponen biaya pendidikan yang terdiri dari biaya
operasi, biaya investasi dan biaya personal. Selanjutnya dinyatakan bahwa standar biaya-
biaya satuan pendidikan ini ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Standar biaya pendidikan ini diharapkan
dapat dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan di
seluruh Indonesia. BSNP telah menghitung Standar Biaya Pendidikan untuk SD/MI,
SMP/MTs, dan SMA/MA, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK ), Sekolah Khusus (SDLB,
SMPLB, dan SMALB) berdasarkan data tahun 2005 dan 2006. Pada tahun 2008 dihitung
Standar Biaya Pendidikan untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA, Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK ), Sekolah Khusus (SDLB, SMPLB, dan SMALB) dengan menggunakan
data tahun 2007.

1.2 Landasan Yuridis

1. Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat:


a. Pasal 11: Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatannya.
b. Pasal 12: Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang
sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.
c. Pasal 13: Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
d. Pasal 14: Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan
yang sama kepada penyandang cacat dengan memperkerjakan penyandang cacat di
perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, pendidikan, dan
kemampuannya yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau
kualifikasi perusahaan.

2. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:


a. Pasal 35 ayat (1): Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses,
kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana
dan berkala.

2
b. Pasal 35 ayat (2): Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, dan pembiayaan.
c. Pasal 46 ayat (1): Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ayat (2) pemerintah dan
pemerintah daerah menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam
pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945.
d. Pasal 47 ayat (1): Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip
keadilan, kecukupan, dan berkelanjutan. Ayat (2) Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
e. Pasal 48 ayat (1): Pengelolaan Dana Pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan,
efisien, transparansi, dan akuntabilitas publik.
f. Pasal 49 ayat (1): Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

3. Undang-Undang RI No 14, Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

a. Pasal 13 ayat (1) pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran
untuk meningkatkan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam
jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, ayat(2) ketentuan lebih lanjut
mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi
pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diautur dengan peraturan
pemerintah.
b. Pasal 15 ayat (1) penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum sebagaimana yang
dimaksud dalan pasal 14 (ayat 1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang
melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan
fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan
tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar
prestasi, ayat (2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselengarakan
oleh pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji seseui dengan peraturan
perundang-undangan, ayat (3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja bersama
c. Pasal 16 ayat (1) pemerintah memberi tunjangan profesi sebagaimana dimaksud
dalam pasal ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikasi pendidik yang
diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/ atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang SNP


a. Pasal 62 ayat (1): Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya
operasi, dan biaya personal.
b. Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penyediaan biaya sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, dan modal kerja.
c. Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan
yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses
pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

3
d. Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
biaya gaji pendidik dan tenaga kependidikan, serta tunjangan yang melekat pada
gaji, bahan atau peralatan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung
berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang
lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

1.3 Tujuan

Tujuan penyusunan standar biaya pendidikan umum, pendidikan kejuruan, dan


pendidikan khusus adalah untuk menyediakan suatu pedoman bagi pemerintah pusat,
pemerintah daerah, masyarakat, dan sekolah/madrasah dalam menentukan komponen
biaya pendidikan dan alokasi sumber dana yang tersedia untuk penyelenggaraan
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, dan pendidikan khusus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu standar tersebut akan menjadi pedoman
bagi satuan pendidikan tersebut dalam menyusun dan melaksanakan anggaran dan belanja
sekolah sesuai dengan ketentuan pasal 62 PP No. 19 tahun 2005. sedangkan untuk
masyarakat lebih dari sumber, pelaksanaan, penguna dan pengendali maupun peningkatan
mutu pendidikan.

1.4 Ruang Lingkup

Secara keseluruhan, biaya pendidikan mencakup biaya investasi, biaya operasi dan
biaya personal. Namun demikian, sesuai dengan ketentuan umum tentang Standar
Pembiayaan pada Pasal 1 ayat (10) PP No. 19/2005 yang menyatakan bahwa standar
pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan
pendidikan yang berlaku selama satu tahun, maka ruang lingkup penyusunan standar
biaya satuan pendidikan ini difokuskan pada standar biaya operasi pendidikan.

4
BAB II
KAJIAN TEORI DAN EMPIRIS

2.1 Konsep Pendidikan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal


1 Ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara. Pendidikan nasional
Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Menurut Winch (2006) Pendidikan merupakan proses penyiapan atau pemberian
kesempatan bagi generasi muda untuk memiliki kemampuan yang diperlukan guna
menghadapi masa depannya, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai individu.
Sebagai makhluk sosial mereka harus belajar mengenal dan belajar mengikuti norma dan
pranata kehidupan sosial yang berlaku. Sebagai individu mereka harus belajar memilih
dan menerapkan konsep kehidupan-nya serta memiliki otonomi dalam membuat
keputusan yang terkait dengan kehidupan sosial dan ekonominya. Untuk itu, mereka juga
harus memiliki kemampuan yang dapat menjadi sumber penghasilan. Sedangkan Dimyati
(2001) memandang pendidikan sebagai proses rekonstruksi masyarakat manusia dengan
sisi kehidupan yang kompleks dan terkait satu sama lain, yaitu keagamaan, seni dan
budaya, sosial, ekonomi, dan politik.
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menurut Crain
(2005), tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik memperoleh pengalaman yang
diperlukan sesuai dengan kondisinya. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus
menyediakan lingkungan dan bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya.
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural
dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu kesatuan yang
sistematik dengan sistem terbuka dan multimakna. Pendidikan merupakan suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Pembudayaan dilakukan melalui keteladan dan pembiasaan. Pemberdayaan dicapai
dengan membangun kemauan, mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran, mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap
warga masyarakat. Pemberdayaan melibatkan semua komponen masyarakat melalui
peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan
Menurut Dimyati (2001) manusia sebagai individu sangat bervariasi antara satu
dengan yang lain, baik kondisi maupun kebutuhannya. Variabilitas individu berimplikasi
pada variabilitas kebutuhan layanan pendidikan, seperti layanan bagi peserta didik yang

5
ingin segera memasuki pasar kerja, layanan bagi peserta didik berkebutuhan khusus, dan
layanan bagi yang ingin melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Menurut Tilaar (1999), pendidikan memiliki dimensi ganda, yaitu teknis dan
pengembangan. Dimensi teknis pendidikan berkaitan dengan berbagai layanan pada
individu peserta didik, seperti layanan anak cerdas, anak luar biasa (berkebutuhan khusus),
dan anak yang memerlukan keterampilan untuk mencari kerja. Dimensi pengembangan
berkaitan dengan peningkatan kehidupam sosial masyarakat, seperti terbentuknya
masyarakat madani.
UU Sisdiknas Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan
dalam jalur formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan
memperkaya). Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang,
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah (umum dan kejuruan) dan pendidikan
tinggi (Pasal 1 Ayat 11 UU Sisdiknas). Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di
luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara berstruktur dan berjenjang (Pasal
1 Ayat 12 UU Sisdiknas).
Sedangkan jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (Pasal 15 UU Sisdiknas). Untuk selanjutnya,
sesuai dengan tujuan kegiatan naskah akademik ini membahas pendidikan formal dengan
jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus.

2.1.1 Pendidikan Umum

Pendidikan umum yang dimaksudkan dalam naskah akademik ini adalah


pendidikan dasar yang terdiri atas sekolah dasar (SD) / madrasah ibtidaiyah (MI), sekolah
menengah pertama (SMP) / madrasah tsanawiyah (MTs), dan pendidikan menengah
umum (sekolah menengah atas atau SMA). Pendidikan umum merupakan pendidikan
dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh
peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan Madrasah ibtidaiyah (MI)
atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah
tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan dasar diselenggarakan
untuk memberi bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat berupa
pengembangan sikap, pengetahuan dan ketrampilan dasar. Disamping itu juga berfungsi
mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan
menengah. Oleh karena itu pendidikan dasar menyediakan kesempatan bagi seluruh
warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang bersifat dasar.
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk sekolahmenengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA),
sekolah menengah kejuruan (SMK) dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk
lain yang sederajat.
Undang-undang RI No.20 Tahun 2003, pasal 17 ayat 2 menyebutkan bahwa
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) termasuk pada jenjang pendidikan
dasar. Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri.
Struktur kurikulum SMP/MTs memuat 10 mata pelajaran, muatan lokal, dan
pengembangan diri yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun.

6
Agak sedikit bebrbeda dengan struktur kurikulum pada tingkat SMA/MA yang sudah
mengalami penjurusan dengan empat program: (1) program Ilmu Pengetahuan Alam, (2)
program Ilmu Pengetahuan Sosial, (3) program Bahasa, dan (4) program Keagamaan,
khusus untuk MA. Untuk kelas X terdiri atas 16 mata pelajaran, muatan lokal dan
pengembangan diri, kelas XI dan XII untuk ke empat program terdiri atas 13 mata
pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri (Peraturan Mendiknas No.22, Tahun 2006,
tentang Standar Isi).
Beban belajar dirumuskan dalam satuan waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik
untuk mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap muka, penugasan terstruktur,
dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dengan tujuan untuk mencapai standar kompetensi
lulusan dengan memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Beban belajar setiap
mata pelajaran dinyatakan dalam satuan jam pelajaran. Beban belajar tatap muka perjam
pembelajaran untuk SD/MI selama 35 menit, SMP/ MTs selama 40 menit, dan SMA/MA
selama 40 menit. Jika dihitung per minggu maka beban mengajar untuk SD/MI (kelas I
s.d. III) adalah 29 s.d. 32 jam pembelajaran, SD/MI ( IV s.d. VI) adalah 34 jam
pembelajaran. SMP/MTs adalah 34 jam pembelajaran, dan SMA/MA adalah 38 s.d. 39
jam pembelajaran.
Terkait dengan standar sarana, sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun
2007 dikemukakan bahwa satuan pendidikan untuk SD/MI memiliki minimum 6
rombongan belajar dan maksimum 24 rombongan belajar. Sebuah SD/MI sekurang-
kurangnya memiliki prasarana: ruang kelas, ruang perpustakaan, laboratorium IPA, ruang
pimpinan, ruang guru, tempat beribadah, ruang UKS, jamban, gudang, ruang sirkulasi,
tempat bermain/berolahraga. Tingkat SMP/MTs harus memiliki minimun 3 rombongan
belajar dan maksimum 24 rombongan belajar. Untuk prasarana sekurang-kurangnya sama
dengan SD/MI ditambah dengan ruang tata usaha, ruang konseling, dan ruang organisasi
kesiswaan. Tingkat SMA/MA harus memiliki minimal 3 rombongan belajar dan
maksnimum 27 rombongan belajar. Prasarana sama dengan SMP/MTs kecuali
laboratorium yang terdiri atas lab biologi, lab fisika, lab kimia, lab komputer dan lab
bahasa.

2.1.1.1 Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang


pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan Madrasah
ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP)
dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan dasar
diselenggarakan untuk memberi bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam
masyarakat berupa pengembangan sikap, pengetahuan dan ketrampilan dasar. Disamping
itu juga berfungsi mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk
mengikuti pendidikan menengah. Oleh karena itu pendidikan dasar menyediakan
kesempatan bagi seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang bersifat dasar.
Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada
peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat,
warga negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk
mengikuti pendidikan menengah.

7
2.1.1.2 Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan


menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA),
sekolah menengah kejuruan (SMK) dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk
lain yang sederajat. Pada jenjang pendidikan menengah yang termasuk pendidikan umum
adalah SMA dan MA.
Pendidikan di sekolah menengah bertujuan; 1) untuk meningkatkan pengetahuan
siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan mampu
mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kesenian, dan; 2) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam
mengadakan hubungan timbale balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar.

2.1.2 Pendidikan Kejuruan

Pendidikan dan pelatihan kejuruan merupakan layanan publik yang bertujuan


membekali peserta didik dengan keterampilan dasar dan khusus sehingga mempunyai
kemampuan melakukan pekerjaan secara produktif dan mampu mengadopsi teknologi
baru untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan harapan mereka dapat memperoleh
pekerjaan di industri atau melakukan usaha mandiri (Gasskov, 2000). Pendidikan
kejuruan diselenggarakan berdasarkan pemikiran dan kenyataan bahwa tidak semua
peserta didik dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi karena berbagai sebab, seperti
keterbatasan biaya atau desakan ekonomi untuk segera bekerja dan terbatasnya daya
tampung perguruan tinggi sehingga persaingan masuk ke perguruan tinggi sangat berat
bagi peserta didik yang kemampuan akademiknya kurang (Nolker, 1983). Generasi muda
demikian berhak memperoleh bantuan yang sangat diperlukan dan tetap harus mendapat
pelayanan optimal guna meningkatkan peluangnya untuk memperoleh pekerjaan sebagai
sumber penghidupan. Mereka memerlukan dan berhak memperoleh keterampilan bidang
tertentu yang dibutuhkan atau yang dapat diterima oleh pihak industri. Di sisi lain, sektor
industri juga memerlukan tenaga kerja terampil untuk menjalankan bisnisnya.
Di USA, konsep pendidikan kejuruan secara formal sudah diakomodasi sejak
dikeluarkannya Smith Huges Act yang disponsori oleh Smith dan Huges pada tahun 1917.
Pengertian kejuruan mencakup berbagai bidang keterampilan, seperti mengetik, menjahit,
sekretaris kantor, instalasi listrik, operator komputer, akuntan dan sebagainya (Wenrich &
Wenrich, 1974). Konsep pendidikan kejuruan masih terus berkembang karena berbagai
faktor, seperti: faktor ekonomi, sosial budaya, jenis bidang dan tingkat keterampilan yang
perlu diberikan, dan perkembangan industri. Pendidikan kejuruan sering dikaitkan dengan
teknologi menjadi pendidikan kejuruan teknologi. Bidang ajarnya mencakup berbagai
jenis teknik yang dipakai oleh industri, terutama industri manufaktur. Istilah pendidikan
teknik (technical education) digunakan di samping pendidikan kejuruan (vocational
education) atau sering digabung menjadi vocational technical education. Program
pembentukan kemampuan yang diperlukan untuk semua okupasi masuk kategori
pendidikan, sedangkan yang berorientasi pada okupasi tertentu adalah pelatihan (Grubb
and Ryan, 1999).
Di Indonesia, pengertian pendidikan dan pelatihan kejuruan juga mengacu pada
konsep di negara maju tersebut. Istilah vocational technical education diterjemahkan
menjadi pendidikan teknologi dan kejuruan, mencakup bidang teknik dan nonteknik.

8
Mengacu pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, Pasal 18,
Ayat 3, pendidikan dan pelatihan kejuruan diselenggarakan pada tingkat sekolah
menengah. Sekolah menengah kejuruan (SMK) bertujuan menyiapkan peserta didik
memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sifat profesional. Dengan demikian,
SMK adalah jenjang pendidikan menengah yang membekali peserta didik kemampuan
bekerja dan mengembangkan diri pada bidang tertentu sebagai modal memasuki lapangan
kerja yang tersedia.
Persoalan yang dihadapi dalam penyelenggaraan SMK, selain biayanya yang dapat
mencapai 1,80 lebih besar dari pendidikan umum (Guthrie, 1998), adalah pesatnya
perkembangan teknologi di industri sebagai lapangan kerja lulusan SMK. Salah satu
upaya yang dilakukan Depdikbud supaya lulusan SMK memiliki kemampuan yang
relevan dan mampu mengikuti perkembangan teknologi adalah melalui pendidikan sistem
ganda (PSG), yaitu siswa melakukan praktek di sekolah dan di industri sebagai penerapan
kebijakan link and match (keterkaitan dan kesepadanan) pada SMK (Depdikbud, 1995).
Keterkaitan antara SMK dan dunia usaha/industri mencakup perencanaan, pelaksanaan
pelatihan, penilaian, dan sertifikasi yang sesuai dengan kebutuhan industri. Kesepadanan
adalah antara hasil sistem pendidikan (lulusan SMK) dengan kebutuhan di berbagai sektor
industri dilihat dari aspek banyak, dan mutu yang dikehendaki guna menunjang
pembangunan perekonomian. Siswa SMK dikirim ke dunia usaha/industri untuk
melakukan praktek kerja industri (prakerin) secara intensif. Perusahaan/industri
menyediakan tempat praktik (job training), khususnya yang terkait dengan pengunaan
teknologi baru. Melalui PSG siswa akan mendapat pengalaman kerja dan bekal untuk
bekerja sebagai tenaga kerja menengah yang terampil dan dapat mengikuti kebutuhan
dunia industri.
Dengan demikian, pendidikan kejuruan bertujuan meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. Agar dapat
bekerja secara efektif dan efisien serta mengembangkan keahlian dan keterampilan,
mereka harus memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-
dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, dan mampu
berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, serta memiliki kemampuan
mengembangkan diri (Permendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, halaman 19).
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan
umum, ditinjau dari kriteria pendidikan, substansi mata pelajaran kelompok produktif, dan
lulusannya. Kriteria yang harus dimiliki oleh pendidikan kejuruan adalah: (1) orientasi
pada kinerja individu, (2) justifikasi khusus pada kebutuhan nyata di lapangan atau dunia
kerja, (3) fokus kurikulum pada aspek-aspek psikomotorik, afektif dan kognitif, (4) tolok
ukur keberhasilan tidak terbatas di sekolah, (5) kepekaan terhadap perkembangan dunia
kerja, (6) memerlukan sarana dan prasarana yang memadai, dan (7) adanya dukungan
masyarakat. Substansi mata pelajaran kelompok produktif disesuaikan dengan program
keahliannya.
Pendidikan kejuruan diselenggarakan berdasarkan lima landasan, yaitu landasan
hukum, filosofis, sosiologis, ekonomis, dan psikologis. Penjelasan masing-masing
landasan tersebut adalah sebagai berikut.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal
4 ayat (2) menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Pada penjelasan pasal tersebut
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah pendidikan yang
diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian lintas program
satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit sistem). Peserta didik dapat belajar

9
sambil bekerja, atau mengambil program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang
berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak
jauh. Pendidikan multimakna adalah proses pendidikan yang diselenggarakan dengan
berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian,
serta berbagai kecakapan hidup.
Selanjutnya UUSPN Pasal 18 dan penjelasan Pasal 15 mengatur pendidikan
menengah kejuruan. Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan menengah
merupakan lanjutan pendidikan dasar; ayat (2) menyatakan pendidikan menengah terdiri
atas pendidikan menengah umum dan kejuruan; ayat (3) menyatakan salah satu bentuk
pendidikan menengah adalah sekolah menengah kejuruan (SMK). Pasal 15 menegaskan
bahwa: pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan
peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
Secara filosofis, pendidikan kejuruan menyangkut dua pertanyaan dasar yaitu: apa
yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkan (Clough, et al., 1994). Asumsi dan
prinsip-prinsip yang fundamental cenderung mengarahkan bahwa pendidikan kejuruan
adalah individu dalam perannya di masyarakat demokratik serta peran pendidikan dalam
transmisi sosial. Tujuan pendidikan kejuruan adalah memaksimalkan kesempatan individu
untuk belajar sepanjang hayatnya dan mencapai kehidupan yang layak. Selanjutnya Fullen
(1991) menyatakan bahwa martabat yang mulia harus dibina melalui proses mental dan
rasionalitas dalam pendidikan. Sehingga pendidikan dapat dipandang sebagai aktivitas
yang bernilai intrinsik yaitu usaha perspektif kognitif dan rasionalitas kepada peserta
didik memiliki martabat yang mulia. Dengan demikian secara filosofis pendidikan
kejuruan harus menjamin terwujudnya masyarakat yang demokratis terutama dalam
kesempatan belajar dan kesempatan bekerja agar setiap individu dalam masyarakat
memiliki kehidupan yang lebih baik dan martabat yang mulia.
Pandangan sosiologis menyatakan pendidikan adalah transmisi budaya dari satu
generasi kepemimpinan kegenerasi berikutnya yang memiliki fungsi manifes dan laten
untuk mewujudkan integrasi fungsional dan mempertahankan struktur sosial dalam
masyarakat. Clough, et al. (1994) menyatakan bahwa pendidikan memiliki dua fungsi
pokok yaitu, fungsi manifes dan laten. Fungsi manifes adalah mengajar mata pelajaran
spesifik bagi siswa seperti: membaca, menulis, aritmatik dan keterampilan akademis
lainnya. Sedangkan fungsi laten adalah mengajar keterampilan dan sikap seperti: disiplin
diri, kerja sama dengan orang lain, mentaati hukum, bekerja keras untuk mencapai tujuan.
Fungsi manifes dan fungsi laten tersebut menekankan hal yang vital dalam mewujudkan
integasi fungsional masyarakat serta mempertahankan struktur sosial. Secara rinci ada
tujuh fungsi sosial pendidikan: (1) mengajar keterampilan, (2) mentransmisikan budaya,
(3) mendorong adaptasi lingkungan, (4) membentuk disiplin, (5) mendorong bekerja
kelompok, (6) meningkatkan perilaku etik, dan (7) memilih bakat dan memberi
penghargaan terhadap prestasi. Dalam pandangan ini pendidikan mengacu pada setiap
bentuk pembelajaran budaya atau cultural learning yang berfungsi sebagai transmisi
pengetahuan, mobilitas sosial, pembentukan jati diri dan kreasi pendidikan.
Kontribusi pendidikan kejuruan dalam pertumbuhan ekonomis terjadi melalui
kemampuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang ada. The World Bank
(1998) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh investasi
modal, tetapi juga tenaga kerja yang memiliki fleksibilitas dalam menguasai keterampilan
dalam menguasai keterampilan baru untuk melaksanakan pekerjaan baru. Bagi negara
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat pendapatan perkapita yang
tinggi pula. Ilmu ekonomi yang menekankan pada efisiensi dan investasi, merupakan
dasar penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Artinya pendidikan kejuruan dijalankan atas
dasar prinsip-prinsip efisiensi baik internal maupun eksternal. Dengan demikian

10
pendidikan kejuruan dijalankan atas dasar human capital theory yang menjadi esensi
dasar penyelenggaraan pendidikan kejuruan.
Menurut pandangan psikologis, pendidikan kejuruan melandaskan diri pada
kenyataan bahwa manusia memiliki perbedaan dalam dimensi fisik, intelektual, emosional
dan spiritual. Untuk menjawab tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang terampil dan
produktif, mampu beradaptasi dan berketerampilan tinggi, maka landasan psikologis
menerapkan behaviourism dan mastery learning. Landasan behaviorisme memberi makna
bahwa tujuan akhir pembelajaran adalah dimilikinya kompetensi yang merupakan
kemampuan atau ability real dan dapat ditunjukkan atau didemonstarsikan. Sedangkan
mastery learning memberi pengertian bahwa setiap individu dapat belajar secara baik bila
diberi waktu cukup dan pembelajaran yang berkualitas. Pondasi yang kuat diperlukan
peserta didik agar berani menghadapi dan mampu mengatasi berbagai masalah kehidupan.
Pondasi yang kuat diperlukan apabila mereka terjun ke dunia usaha/dunia kerja sebagai
bekal menyesuaikan diri dengan perubahan.
Pada pertengahan tahun 1990-an di Indonesia berkembang pembaharuan
pendidikan kejuruan. Hakekat pembaruan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebijakan
link and match adalah perubahan dari pola lama yang cenderung berbentuk pendidikan
demi pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas dan konkrit menjadi pendidikan
kejuruan sebagai program pengembangan sumber daya manusia. Berbagai dimensi
pembaruan yang diturunkan dari kebijakan link and match, antara lain:
1) Perubahan dari pendekatan supply driven ke demand driven.
Pendekatan demand driven, mengharapkan justru dunia usaha/industri yang
seharusnya beroeran menentukan, mendorong dan menggerakan pendidikan kejuruan,
karena mereka adalah pihak yang berkepentingan dari sudut kepentingan tenaga kerja.
Dalam perencanaan pembangunan pendidikan kejuruan, pihak dunia kerja ikut
menentukan,dimana SMK harus dibangun, dan jurusan atau program keahlian apa
yang diperlukan. Dalam penyusunan program pendidikan (kurikulum), dunia kerja
ikut menentukan standar kompetensi yan harus dicapai setiap tamatan SMK, karena
mereka yang lebih tahu kebutuhan di dunia kerja.
2) Perubahan dari pendidikan berbasis sekolah ke sistem berbasis ganda.
3) Perubahan model pengajaran ke model pengajaran berbasis kempetensi.
4) Perubahan dari program dasar yang sempit ke program dasar yang mendasar, kuat dan
luas.
5) Perubahan sistem pendidikan ke sistem yang luwes dan menganut prinsip multi entry
– multi exit.
6) Perubahan ke sistem yang mengakui keahlian yang diperoleh dari manapun
7) Perubahan ke sistem baru yang mengintegrasikan pendidikan dan pelatihan kejuruan
secara terpadu.
8) Perubahan dari sistem terminal ke sistem berlanjutan.
9) Perubahan dari manajemen terpusat ke pola manajemen mandiri (desentralisasi).
10) Perubahan pembiayaan ke swadana dengan subsidi Pemerintah Pusat.
Sejalan dengan prinsip demand driven, dual based program, pendewasaan manajemen
sekolah, dan pengembangan unit produksi sekolah, sistem baru diharapkan dapat
mendorong pertumbuhan swadana pada SMK, dan posisi alokasi dana dari Pemerintah
pusat membantu atau subsidi. Sistem ini juga diharapkan mampu mendorong SMK
berpikir dan berperilaku ekonomis.

11
2.1.3 Pendidikan Khusus

Pendidikan khusus adalah pendidikan yang khusus disediakan untuk peserta didik
yang berkebutuhan khusus, yaitu peserta didik yang memiliki kelainan fisik, mental,
social dan perilaku sedemikian rupa yang berdampak dalam mencapai prestasi optimal.
Pendidikan khusus ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai
dengan jenis dan tingkat kelainannya. Dalam kegiatan sehari-hari peserta didik yang
mengalami keterbatasan dalam penglihatan (tunanetra) menggunakan tulisan braille,
orientasi mobilitas, alat bantu dengar dan bahasa isyarat digunakan untuk peserta didik
yang mengalami keterbatasan dalam pendengaran dan bicara (tunarungu-wicara), peserta
didik yang mengalami keterbatasan dalam intelegensia (tunagrahita) melalui latihan bina
diri antara lain melatih fungsi alat dria, dan memberi play therapy, peserta didik yang
mengalami keterbatasan dalam gerak (tunadaksa) melalui latihan bina diri dan bina gerak,
antara lain melatih fungsi otot, dan keseimbangan, dan atau peserta didik yang mengalami
gangguan prilaku dan sosial (tunalaras) melalui latihan bina pribadi dan sosial, antara lain
melatih fungsi komunikasi, emosi dan tingkah laku. Layanannya diberikan didasarkan
atas hasil assesment dan dilakukan melalui pendekatan pembelajaran individual.
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. (UU No 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 32). Sebagai warga negara mereka mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan (pasal 5, ayat 1), lebih ditegaskan dalam ayat 2,
bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Merekapun memiliki peluang
yang sama untuk memperoleh, memperluas dan mengembangkan potensi dan
keterampilannya melalui jenjang selanjutnya ataupun pengetahuan dan keterampilannya
itu sebagai bekal kerja di masyarakat. Dalam hal ini dijelaskan bahwa: 1) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi,
2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun, dikenal dengan pendidikan wajib belajar 9 tahun (Wajar Dikdas).
Konsep anak berkebutuhan khusus tidak terlepas dari perkembangan pemikiran-
pemikiran sekarang ini mengenai bagaimana cara yang terbaik untuk membantu anak dan
remaja beserta keluarganya. yang telah mengalami perubahan yang signifikan. Pergeseran
paradigma itu juga berdampak terhadap peristilahan yang melahirkan predikat anak
berkebutuhan khusus. Hal ini dapat dimaknai dari perubahan filosofi, sikap dan praktek
profesioanl yang terkait dengan bantuan bagi anak yang berkebutuhan khusus.
Sampai akhir tahun 1970-an, intervensi didominasi oleh apa yang disebut sebagai
“pendekatan berpusat pada para profesional’. Orientasi ini berimplikasi bahwa para
profesional membuat diagnosis, memberi resep untuk perlakuan, dan bertanggung jawab
atas pelaksanaannya. Sementara itu pada tahun 1980-an, praktek profesional seperti itu
berubah dibanyak bidang menjadi apa yang dapat disebut sebagai pendekatan yang lebih
berorientasi keluarga. Tahun 1990-an terdapat perubahan lebih lanjut menuju pendekatan
berpusat pada keluarga dalam melaksanakan intervensi. Konsep baru kemudian
diperkenalkan melalui pernyataan Salamanca menekankan bahwa semua anak dapat
dididik dan beberapa konsep diperkenalkan sebelumnya. Konsep-konsep ini penting
karena menggambarkan proses dan perubahan saat ini.
Skjorten (2003:15) menegaskan bahwa semua anak memiliki kebutuhan khusus
hanya ada yang bersifat temporer ada yang bersipat permanen. Anak-anak berkebutuhan

12
khusus baik itu permanen maupun temporer dapat dilihat dari kondisi sosial emosional,
dan /atau kondisi ekonomi, dan/atau kondisi politik, dan/atau kelainan bawaan dan/atau
kelainan yang didapat pada awal kehidupannya atau kemudian. Dengan kata lain,
hambatan belajar dan perkembangan dapat terdiri dari banyak bentuk. Dimasa lalu,
pendekatan-pendekatan pengajaran anak berkebutuhan khusus ditentukan oleh diagnosis
medis yang diberikan kepada mereka dengan pendekatan tersebut, anak-anak dengan
diagnosis yang serupa harus diajar dengan cara yang sama. Sekarang disadari bahwa
walaupun pembelajaran akan dipengaruhi oleh kelainan, tetapi ada faktor-faktor lain yang
lebih penting.
Faktor-faktor tersebut dapat terletak dalam pengalaman yang tergantung pada
lingkungan, termasuk sikap terhadap anak-anak pada umumnya dan terhadap anak
tertentu seperti karena lingkungan kurang responsif, kurang stimulasi, kesalah pahaman
guru akan proses pembelajaran, isi pendekatan pengajaran dan materi pembelajaran.
Faktor lainnya adalah faktor dalam diri anak seperti keingin tahuan, motivasi, inisiatif,
temparamen dan sebagainya.
Dari poin-poin tersebut disadari konsep hambatan belajar dan perkembangan
menarik pada kesulitan dan tantangan yang dapat muncul di setiap kelas, kesulitan
kesulitan yang dapat dihadapi oleh semua anak. Namun konsep ini juga membantu
menyadari besarnya implikasi dari hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor sensori,
motorik, kognitif, emosional dan lingkungan. Ini membantu kita menyadari bahwa,
misalnya, penguasaan Braille oleh seorang anak tunanetra tidak mengatasi semua
hambatan akibat ketunanetraan.
Peraturan pemerintah tahun 2003 menegaskan bahwa peserta didik berkelainan
yang memerlukan pendidikan khusus meliputi: tunanetra atau gangguan penglihatan,
tunarungu atau gangguan pendengaran, tunawicara atau gangguan komunikasi,
tunagrahita atau gangguan kecerdasan, tunadaksa atau gangguan fisik dan kesehatan,
tunalaras atau gangguan emosi dan prilaku, berkesulitan belajar, lamban belajar, autistik,
gangguan motorik dan korban penyalah gunaan narkoba. Dalam pedoman
penyelenggaraan pendidikan terpadu/inklusi (2004), anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang dalam proses pertumbuhan/perkembangannya secara signifikan mengalami
kelainan atau penyimpangan phisik, mental-intelektual, sosial, emosional dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan
khusus.
Skjorten ( 2003:39) mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah
mereka yang mempunyai kebutuhan khusus, baik permanen maupun temporer, untuk
memperoleh pelayanan pendidikan yang disesuaikan, yang disebabkan oleh: (1) kondisi
sosial ekonomi, dan/atau (2) kondisi ekonomi, dan/atau (3) Kondisi politik, dan/atau (4)
Kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian. Dengan kata lain, tidak hanya
membicarakan kelompok minoritas yang eklusif dan bukan hanya anak yang berkelainan
saja tetapi meliputi sebagian besar anak yang sedang belajar. Oleh karenanya, sekolah
hendaknya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual,
sosial, emosi, bahasa, ataupun kondisi lainnya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil
mendidik semua anak, termasuk yang berkebutuhan khusus.
Kelainan yang dimiliki anak baik itu kelainan bawaan atau yang diperoleh kemudian,
langsung atau tidak langsung akan menimbulkan hambatan dalam pembelajaran. Mereka
memiliki kebutuhan khusus karena memiliki gangguan sensori penglihatan, ganguan
sensori pendengaran, perkembangan intelektual, fisik dan motorik, emosi dan perilaku,
berbakat, tunaganda, berkesulitan belajar, autisme, gangguan konsentrasi dan perhatian
(Attention Deficit Disorders/Hyperactivity = ADD/H), hal tersebut selanjutnya dijelaskan
sebagai berikut:

13
1) Individu dengan gangguan sensori penglihatan (Tunanetra)
Adalah Individu yang memiliki gangguan daya penglihatan berupa kebutaan menyeluruh
atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat bantu khusus, mereka
masih tetap membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan. Patokannya adalah
ketajaman penglihatan dan /atau lapang pandang.
2) Individu dengan gangguan sensori pendengaran (Tunarungu)
Adalah Individu yang kehilangan kemampuan pendengaran menyeluruh atau sebagian,
sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah
diberi pertolongan dengan alat bantu masih tetap membutuhkan penyesuaian layanan
pendidikan. Kelompok ini terbagi dua yaitu: a) kurang dengar, yaitu mereka yang
kehilangan pendengaran kurang dari 90 dB, dan b ) tuli, mereka yang kehilangan
pendengaran di atas 90 dB.
3) Individu dengan hambatan perkembangan intelektual (Tunagrahita)
Adalah Individu yang memiliki hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental
intelektual jauh sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
akademik, komunikasi maupun sosial dan karenanya membutuhkan penyesuaian
layanan pendidikan
4) Individu dengan hambatan fisik dan motorik (Tunadaksa)
Adalah Individu yang memiliki kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak
(tulang, otot dan sendi) sedemikian rupa sehingga membutuhkan penyesuaian layanan
pendidikan
5) Individu dengan gangguan emosi dan perilaku (Tunalaras)
Adalah Individu yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan atau
bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
pada umumnya sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan.
Untuk lebih jelasnya konsep anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebut diatas
selanjutnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar. 2.2 Visualisasi Konsep Anak Berkebutuhan Khusus

• Kondisi sosial-emosi
ABK • Kondisi ekonomi
• Kondisi politik
Berdampak
terhadap
Individu yang Perk. Fisik
memiliki  Gangguan sensori Sosial &
kebutuhan penglihatan psikologis
 Gangguan sensori
pendengaran
 Hambatan
perkembangan
Adaptasi  Hambatan intelektual
Kurikulum Hidup
 Hambatan fisik &
& pembelajaran Bermasyarakat
motorik
Individul
 Gangguan emosi &
perilaku
 Berbakat
 Tunaganda

Pendidikan
Khusus

Sumber: PPMSI Jabar, 2003

14
2.2 Konsep Biaya Pendidikan

2.2.1 Pengertian Biaya Pendidikan

Beberapa pendapat tentang biaya pendidikan dari para pakar dan peneliti dikaji
oleh Ghozali (2004). Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas mendefinisikan
biaya pendidikan sebagai seluruh pengeluaran yang berupa sumber daya (input) baik
berupa barang (natura) atau berupa uang yang ditujukan untuk menunjang kegiatan
proses belajar mengajar. (Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas, 2000:5).
Coombs dan Hallak (dalam ADB, 1987:51 dan 1998: 18) mendefinisikan biaya satuan
pendidikan sebagai biaya satu bangku/tempat di sekolah yang ditempati oleh seorang
siswa untuk satu tahun ajaran. Ahli ekonomi pendidikan yang lain menyatakan bahwa
biaya pendidikan merupakan sejumlah pengeluaran yang terdiri dari pengeluaran rutin
(gaji guru, pembelian peralatan, biaya listrik, air, telepon, dll.) dan pengeluaran tidak rutin
(pengadaan tanah dan bangunan, perlengkapan yang diselesaikan dalam jangka waktu
yang relatif lama). Pengertian biaya pendidikan tersebut menitikberatkan pada jenis
pengeluaran yang dialokasikan dalam pemanfaatan biaya untuk keperluan pendidikan.
Selain itu, terdapat pengertian lainnya yang lebih menitikberatkan pada jenis-jenis
sumber biaya dengan menyatakan bahwa biaya pendidikan merupakan pengeluaran dan
pemanfaatan keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan yang sumbernya berasal dari
pemerintah, perorangan, dan masyarakat. Biaya pendidikan dihitung sebagai rata-rata
biaya per murid yang dikeluarkan oleh rumah tangga selama satu semester yaitu Juli-
Desember. (BPS, 2000: 9).
Dari berbagai definisi tersebut di atas Ghozali (2004) menyimpulkan bahwa biaya
pendidikan adalah nilai rupiah dari seluruh sumber daya pendidikan yang digunakan
untuk kegiatan pendidikan.

2.2.2 Jenis Biaya Pendidikan

Ghozali (2004) juga mereviu pengklasifikasian biaya pendidikan oleh para pakar
dan peneliti. Pengklasifikasian biaya pendidikan ini beragam. Pusat Penelitian dan
Pengembangan (Puslitbang) Pendidikan Agama dan Keagamaan mengkategorikan biaya
pendidikan ke dalam enam kategori, yaitu biaya langsung (direct cost), biaya tidak
langsung (indirect cost), biaya pribadi (private cost), biaya sosial (social cost), biaya
moneter (monetary cost), dan biaya bukan moneter (non monetary cost). (Puslitbang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2000: 4-7). Biaya langsung adalah biaya yang
langsung menyentuh aspek dan proses pendidikan, misalnya gaji guru dan pegawai,
pengadaan fasilitas belajar (ruang tingkat, kantor, WC, sarana ibadah, gudang,
laboratorium), ATK, buku rujukan pengajar dan buku pegangan siswa. Biaya tidak
langsung adalah biaya yang dikeluarkan oleh siswa, orangtua atau masyarakat untuk
menunjang keperluan yang tidak langsung, seperti: biaya hidup, pakaian, kesehatan, gizi,
transportasi, pemondokan, dan biaya kesempatan yang hilang selama pendidikan (Jones,
1985 dalam Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2002: 5). Biaya tidak
langsung ini memiliki sifat kepentingan dan tempat pengeluaran yang berbeda serta
dikeluarkan dalam waktu yang tidak terbatas dan jenis pengeluaran yang tidak pasti,
seperti halnya hilangnya pendapatan peserta didik karena sedang mengikuti pendidikan
atau forgone earning. Di samping itu, biaya tidak langsung dapat pula tercermin dari
bebasnya pajak bagi sekolah karena sifat sekolah yang tidak mencari laba.

15
Biaya pribadi adalah biaya yang dikeluarkan oleh keluarga untuk membiayai
sekolah anaknya, di dalamnya termasuk biaya kesempatan yang hilang (forgone
opportunities). Biaya ini meliputi: uang sekolah, ongkos, dan pengeluaran lainnya yang
dibayar secara pribadi (Jones, 1985 dalam Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagmaan,
2002: 6). Biaya sosial adalah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai
sekolah, termasuk di dalamnya biaya yang dikeluarkan oleh keluarga secara perorangan
(biaya pribadi). Namun, tidak semua biaya sosial dapat dimasukkan ke dalam biaya
pribadi. Menurut Jones, biaya sosial dapat dikatakan sebagai biaya publik, yaitu sejumlah
biaya sekolah yang ditanggung masyarakat. (Jones, 1985 dalam Puslitbang Pendidikan
Agama dan Keagmaan, 2002: 6). Namun demikian, pendapat tersebut berbeda dengan
pendapat Todaro dan Smith (2003: 810). Mereka berpendapat biaya sosial adalah
kerugian sosial yang ditanggung masyarakat akibat dari investasi pendidikan. Sebagai
contoh adalah pengangguran terdidik. Pengangguran terdidik tersebut merupakan
kerugian yang ditanggung masyarakat karena mereka menyekolahkannya hingga lulus
tetapi lulusan tersebut menganggur.
Biaya moneter adalah biaya yang dapat berupa biaya langsung, biaya tidak
langsung, biaya perorangan, atau biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat. Biaya moneter
merupakan nilai pengorbanan yang terwujud dalam bentuk pengeluaran uang. Sebaliknya,
biaya non moneter adalah biaya pengorbanan non uang seperti yang diperhitungkan
ketika seorang siswa tidak mengambil kesempatan waktu luang untuk istirahat/bermain,
melainkan digunakan untuk bersekolah.
Sejalan dengan hal tersebut, Cohn dan Geske (1990:71) mengelompokkan biaya
pendidikan sebagai, (1) biaya langsung (direct cost) yaitu biaya yang dikeluarkan oleh
sekolah, siswa dan keluarga siswa, (2) biaya tidak langsung (indirect cost) seperti forgone
earning. Pengertian lain biaya pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya
tidak langsung (indirect cost). (Cohn, 1979; Thomas Jone, 1985; Alan Thomas, 1976
dalam Fattah, 2000:23). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat
pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh
pemerintah, orangtua, maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa
pendapatan yang hilang (forgone earning) dari siswa.
Mirip dengan pendapat di atas adalah pendapat Koch yang menyatakan bahwa
biaya pendidikan terdiri dari (1) pengeluaran langsung dari siswa, (2) pengeluaran
langsung dari masyarakat, dan (3) pendapatan yang hilang (forgone earnings) karena
sekolah. (Koch, 1970: 7; dalam Ghozali, 2003: 9). Pendapat Koch tampak merujuk pada
pihak-pihak yang mengeluarkan biaya. Sedangkan, Richardson menguraikan jenis-jenis
biaya menurut keperluan penyelenggaraan pendidikan. Richardson menjabarkan biaya
langsung ke dalam (1) pengeluaran untuk administrasi, pengajaran, serta operasi, dan (2)
pengeluaran untuk gedung dan perlengkapan. (Richardson, 1972: 45; dalam Ghozali,
2003: 9).
Woodhall juga mengklasifikasikan biaya pendidikan ke dalam private cost yaitu
biaya yang dikeluarkan oleh pribadi siswa/orang tua dan social cost yaitu biaya yang
ditanggung oleh masyarakat (pemerintah). Menurut Woodhall, private cost mencakup
pengeluaran untuk sumbangan pendidikan, buku, perlengkapan, transportasi, dan
penghasilan siswa yang tidak jadi diterima karena sekolah (forgone earning); sedangkan
social cost meliputi selain private cost yang telah diuraikan di muka juga biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti biaya-biaya departemen (pusat dan daerah),
gedung, gaji tenaga kependidikan, peralatan, buku paket, dll. Pada dasarnya, social cost
ini sama dengan cycle cost. Berkaitan dengan biaya forgone earning, Verry memperjelas
bahwa dalam private cost, forgone earning itu adalah forgone earning setelah pajak;

16
sedangkan dalam social cost, forgone earning yang dianggap biaya adalah forgone
earning sebelum pajak yang merupakan proksi dari nilai output yang tidak jadi diproduksi
karena siswa sekolah dan tidak bekerja sehingga disebut juga output forgone. (Woodhall,
1987: 393; Verry, 1987: 401 dalam Ghozali, 2003: 10).
Jenis biaya lain lagi dibedakan antara biaya lancar dan kapital. Woodhall
membedakan biaya lancar (recurrent cost) dan biaya kapital (capital cost). Biaya lancar
mencakup semua pengeluaran untuk barang-barang konsumtif (seperti bahan-bahan, buku,
dll.) dan jasa-jasa yang memberikan manfaat jangka pendek dan secara regular diperbarui.
Biaya kapital meliputi pembelian barang-barang tahan lama seperti gedung atau
perlengkapan yang memberikan manfaat dalam jangka panjang. (Woodhall, 1987: 393
dalam Ghozali, 2003: 10).
Sejalan dengan Woodhall, BPS mengelompokkan jenis pengeluaran pendidikan
menjadi (1) biaya lancar (recurrent expenditure) yang merupakan pengeluaran yang
bersifat berulang-ulang tiap tahun atau tiap 2 atau 3 tahun, seperti: gaji dan tunjangan,
buku-buku wajib, barang-barang yang harus sering diganti dengan yang baru, beasiswa
dan bantuan dari dalam maupun luar negeri, pelayanan kesejahteraan, seperti kantin,
transport, penginapan dan olahraga, pemeliharaan gedung dan peralatan, serta
pengoperasian gedung, seperti listrik, air, dan telepon, dan (2) biaya modal (capital
expenditure) yang merupakan pengeluaran untuk barang-barang tahan lama, seperti
pembelian tanah, pengembangan gedung sekolah, laboratorium, peralatan tetap,
perlengkapan pelajaran lain yang tahan lama, tempat tinggal dan sebagainya. (BPS, 2000:
51).
Secara lengkap Tsang mengklasifikasikan biaya pendidikan ke dalam biaya publik
(public costs), biaya pribadi (private costs), biaya sosial (social costs), biaya langsung
(direct costs), biaya tidak langsung (indirect costs), biaya personel (personnel costs),
biaya bukan personel (non-personnel costs), biaya operasional/lancar
(operational/recurrent costs), biaya modal/pengembangan (capital/development costs),
biaya institusi (institutional costs), biaya domestik (domestic costs), dan biaya eksternal
(external costs). (Tsang, 1994: 34). Jenis–jenis biaya pribadi, biaya sosial, biaya
langsung, biaya tidak langsung, biaya operasional/lancar, dan biaya modal/pengembangan
telah disebutkan sebelumnya dan definisi atau pengertiannya juga telah dibahas.
Jenis biaya yang belum disebut oleh peneliti lain adalah biaya publik, biaya
personel, biaya bukan personel, biaya institusi, biaya domestik, dan biaya eksternal.
Biaya publik adalah biaya yang dipikul oleh pemerintah. Biaya personel adalah biaya-
biaya untuk guru, kepala sekolah, dan pegawai sekolah lainnya yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Biaya bukan personel adalah biaya-biaya untuk bahan,
peralatan, perlengkapan, pemeliharaan dan perbaikan ringan, dll. yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Biaya institusional adalah biaya yang timbul untuk
menunjang kelembagaan pendidikan yang mencakup biaya operasional dan biaya
investasi lembaga. Biaya domestik adalah biaya yang ditanggung oleh pemerintah dalam
negeri. Biaya eksternal adalah biaya yang ditanggung oleh lembaga-lembaga donor luar
negeri. (Tsang, 1994: 34).
Selain klasifikasi biaya pendidikan menurut pendapat pakar yang direviu di atas,
terdapat klasifikasi biaya pendidikan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP SNP). PP SNP mengklasifikasikan biaya
pendidikan ke dalam biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi
satuan pendidikan sebagaimana meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana,
pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya operasi satuan
pendidikan meliputi: a) gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan
yang melekat pada gaji; b) bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan c) biaya

17
operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan
sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain
sebagainya. Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh
peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
Dengan merangkum berbagai pendapat di atas, Ghozali (2004) merumuskan
bahwa biaya satuan pendidikan dapat diklasifikasikan berdasarkan: (1) jenis input, (2)
sifat penggunaan, (3) jenis penggunaan, dan (4) pihak yang menanggung.
Berdasarkan jenis inputnya, biaya satuan pendidikan dapat diklasifikasikan ke
dalam biaya pendidikan operasional/lancar (operational/recurrent costs) dan biaya
pendidikan investasi/modal/pembangunan (investment/capital/ develop-ment costs).
Biaya pendidikan operasional adalah biaya pengadaaan sumber daya pendidikan yang
habis pakai dalam satu tahun atau kurang, atau biaya yang dikeluarkan berulang-ulang
setiap tahunnya. Biaya pendidikan operasional ini mencakup, antara lain, pengeluaran-
pengeluaran untuk: gaji dan tunjangan, barang-barang yang harus sering diganti dengan
yang baru, pemeliharaan gedung dan peralatan, serta pengoperasian gedung, seperti listrik,
air, dan telepon. Biaya pendidikan investasi adalah biaya pengadaan sumber daya
pendidikan yang penggunaannya lebih dari satu tahun. Biaya pendidikan investasi ini
meliputi, antara lain, pengeluaran-pengeluaran untuk: pembelian tanah, pengembangan
gedung sekolah, ruang kelas, buku-buku wajib, laboratorium, peralatan, perlengkapan
pelajaran lain yang tahan lama, dan sebagainya.
Berdasarkan sifat penggunaannya, biaya satuan pendidikan dapat dibedakan antara
biaya pendidikan langsung (direct costs) dan biaya pendidikan tidak langsung (indirect
costs). Biaya pendidikan langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan
sumber daya pendidikan yang langsung terkait dengan proses belajar mengajar. Biaya
pendidikan langsung ini mencakup pengeluaran-pengeluaran, antara lain untuk: gaji guru
dan tenaga kependidikan lainnya; pembelian bahan, peralatan dan perlengkapan belajar;
dan pembangunan gedung untuk belajar. Biaya pendidikan tidak langsung adalah biaya
yang dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan proses
belajar mengajar tetapi menunjang proses belajar mengajar tersebut. Biaya pendidikan
tidak langsung ini, antara lain adalah: overhead sekolah, pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten, kecamatan, dan pendapatan yang tidak jadi diterima oleh siswa karena
bersekolah dan tidak bekerja (forgone earning). Biaya tidak langsung selain yang
ditanggung oleh orangtua/siswa dapat disebut juga biaya overhead atau institusional
(overhead/ institutional costs).
Berdasarkan jenis penggunaannya, khususnya di sekolah, biaya pendidikan
operasional dapat dikelompokkan ke dalam biaya pendidikan operasional personel dan
biaya pendidikan operasional bukan personel. Biaya pendidikan operasional personel
adalah biaya yang dikeluarkan untuk kesejahteraan dan pengembangan personel.
Personel di sekolah meliputi guru dan tenaga kependidikan lain (laboran, pustakawan, dll),
administratur (kepala sekolah dan pegawai administrasi lain), dan pegawai lain (seperti
penjaga sekolah, tukang kebun, dll) yg melaksanakan atau menunjang proses
pembelajaran. Biaya pendidikan operasional bukan personel adalah biaya yang
dikeluarkan untuk menyediakan segala bahan, peralatan, perlengkapan, serta sarana dan
prasarana yang digunakan untuk proses pembelajaran, seperti buku, alat tulis sekolah,
gedung, daya dan jasa, dll.
Berdasarkan pihak yang menanggung, biaya pendidikan dapat digolongkan
menjadi biaya pribadi (private costs), biaya publik (public costs), dan biaya sosial/total
(social/total unit costs). Biaya pribadi adalah biaya yang ditanggung oleh
orangtua/siswa. Biaya pribadi mencakup pengeluaran untuk sumbangan pendidikan,
iuran sekolah, buku dan alat tulis sekolah, seragam sekolah, akomodasi, transportasi,

18
konsumsi, karyawisata, uang jajan, kursus, dan forgone earning. Forgone earning adalah
potensi penghasilan yang tidak jadi diterima siswa karena siswa sekolah dan tidak bekerja.
Biaya publik adalah biaya yang ditanggung oleh pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten,
dll) dan masyarakat, yang berarti keseluruhan biaya selain yang ditanggung oleh
orangtua/siswa. Biaya sosial/total adalah total biaya yang ditanggung pemerintah,
orangtua/siswa dan masyarakat lain.
Antar keempat klasifikasi biaya yang pertama tersebut dapat terjadi tumpang
tindih. Contohnya adalah tumpang tindih antara klasifikasi biaya menurut jenis input dan
sifat penggunaan. Menurut jenis input, biaya dibedakan antara biaya pendidikan
operasional dan biaya pendidikan investasi; sedangkan, berdasarkan sifat penggunaannya,
biaya pendidikan dikelompokkan menjadi biaya pendidikan langsung dan biaya satuan
pendidikan tidak langsung. Tumpang tindihnya adalah bahwa dalam biaya pendidikan
operasional ada biaya pendidikan langsung dan ada pula biaya satuan pendidikan
langsung. Biaya gaji guru, misalnya, yang adalah biaya operasional, juga merupakan
biaya langsung, karena gaji guru dikeluarkan setiap tahun atau kurang, guru juga
merupakan sumber daya pendidikan yang digunakan langsung untuk proses pembelajaran;
sedangkan, biaya gaji pegawai administrasi, misalnya, yang adalah juga biaya operasional,
tapi tidak termasuk dalam biaya langsung, melainkan biaya tidak langsung, karena
sementara gaji pegawai administrasi dibayarkan setiap bulan, pegawai administrasi tidak
secara langsung berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar, melainkan kaitannya tidak
langsung atau sebagai pendukung.
Selain itu, biaya pendidikan dapat dikelompokkan menurut target pengeluaran
yang meliputi peserta didik, satuan pendidikan, manajemen pendidikan di kecamatan,
manajemen pendidikan di kabupaten/kota, manajemen pendidikan di provinsi, dan
manajemen pendidikan di pusat. Hal ini demikian karena pengeluaran pendidikan
dipergunakan untuk keperluan di masing-masing pihak tersebut. Untuk peserta didik,
biaya pendidikan meliputi biaya-biaya untuk pengadaan buku dan alat tulis sekolah (ATS),
pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan,
karyawisata, uang saku, kursus, iuran sekolah, dan foregone earning. Untuk satuan
pendidikan, biaya pendidikan mencakup biaya-biaya untuk kesejahteraan dan
pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan; ATS; daya dan jasa; perbaikan ringan
dan pemeliharaan; pembinaan siswa; pendidikan sistem ganda (khusus untuk SMK);
pembinaan, pemantauan, pengawasan, dan pelaporan; rapat-rapat pengurus sekolah;
kegiatan komite sekolah; serta investasi sarana dan prasarana seperti tanah; bangunan;
peralatan dan perlengkapan; perabot dan mebeler; buku-buku teks, sumber, dan bacaan;
jaringan listrik, telepon, air, dan gas; taman; dll. Untuk manajemen pendidikan dari
tingkat kecamatan sampai tingkat pusat pada dasarnya memiliki komponen yang sama,
yaitu meliputi biaya-biaya operasional pegawai dan bukan pegawau serta biaya-biaya
investasi sarana dan prasarana yang mencakup tanah; bangunan; peralatan dan
perlengkapan; perabot dan mebeler; jaringan listrik, telepon, air, dan gas; taman; dan
fasilitas olahraga.

2.2.3 Komponen Biaya Pendidikan

Sebagaimana disampaikan di atas, pembiayaan pendidikan terjadi di beberapa tempat atau


digunakan untuk target-target, yang meliputi peserta didik, satuan pendidikan, dan
manajemen pendidikan dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat
pusat. Namun demikian, sesuai dengan tugas Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) dalam penghitungan biaya pendidikan yang difokuskan pada satuan pendidikan,
pembahasan komponen biaya pendidikan hanya difokuskan pada komponen biaya

19
pendidikan di satuan pendidikan. Pembahasan dimulai dengan komponen biaya
pendidikan di satuan pendidikan umum dan kemudian dilanjutkan dengan komponen
biaya pendidikan di satuan pendidikan kejuruan dan satuan pendidikan khusus.

2.2.3.1 Komponen Biaya Pendidikan Sekolah Umum

Berdasarkan mata anggaran kegiatan (MAK), komponen biaya di SD,MI ....terdiri


atas 8 mata anggaran yaitu nomor mata anggaran (MA): (1) MA 5110 (gaji), (2) MA
5120 (beras), (3) MA 5159 (lembur), (4) MA 5210 (belanja kantor), (5) MA 5220
(inventaris kantor), (6) MA 5230 (daya dan jasa), (7) MA 5250 (bahan dan peralatan
(lain-lain), dan (8) MA 5350 (lain-lain pemeliharaan). (Tim Studi Pembiayaan Puslit
(1998:7).
Biaya operasional satuan pendidikan menurut PP No.19 Tahun 2005 adalah bagian
dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan
pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional
pendidikan secara teratur dan berkelanjutan. Selanjutnya biaya tersebut dikelompokkan ke
dalam biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
Biaya pendidikan sekolah umum dimaksudkan adalah biaya dari semua jenis
pengeluaran berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan baik dalam bentuk uang
maupun barang dan tenaga (yang dapat dinilai dengan uang) pada tingkat Sekolah Dasar/
Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah, dan Sekolah
Menengah Atas/ Madrasah Aliyah.
Supriadi (2003: 85) telah meneliti komponen biaya dari tingkat SD, SMP, dan
SMA dari sudut pandang sumber dana yang digunakan, dengan menentukan 17 komponen
pengeluaran: (1) uang pangkal/ uang masuk, (2) iuran rutin sekolah (bulanan), (3) biaya
ulangan, (4) kegiatan ektrakurikuler, (5) buku pelajaran, latihan, LKS, (6) pembelian
buku/ alat tulis, (7) pembelian tas sekolah, (8) pembelian sepatu sekolah, (9) biaya
transportasi ke sekolah, (10) pakaian seragam sekolah, (11) pakaian olahraga, (12) les di
sekolah, (13) kursus/ les luar sekolah, (14) biaya karyawisata, (15) sumbangan insidental,
(16) uang saku/ jajan, dan (17) lainnya.
Selanjutnya, Supriadi (2003) menemukan pula bahwa total biaya pendidikan
seorang anak SD mencapai Rp1.324.465 per siswa per tahun. Jumlah ini sumbangan
terbesar dari orang tua siswa yakni Rp 895.477 (67,61%), disusul subsidi pemerintah
sebesar Rp 402.477 (30,39%), dan sumbangan masyarakat sebesar Rp 26.511 (2%).
Dengan pola yang sama, ditemukan pula untuk tingkat SMP besar total biaya per siswa
per tahun sebesar Rp 2.743.605, orang tua siswa Rp 2.193.413 (79,95%), subsidi
pemerintah Rp 570.729 (19,34%), dan kontribusi masyarakat/ sumbangan lainnya sebesar
Rp 19.463 (0,71%). Sedangkan untuk tingkat SMA ditemukan bahwa biaya persiswa
pertahun sebesar Rp 3.552.269. Subsidi pemerintah Rp 684.084 (19,3%), orangtua/wali
siswa Rp 2.784.211 (78,4%), kontribusi dan sumbangan masyarakat lainnya Rp 83.934
(2,3%).
Penentuan komponen biaya pendidikan hasil penelitian beberapa pakar telah
direviu oleh Ghozali (2004). Tiga dintaranya yang paling relevan adalah hasil penelitian
Fattah (2002), hasil penelitian IPB kerjasama Ditjen Dikdasmen (2002) dan penelitian
Bank Dunia (2004). Fattah (2002:59-61) mengelompokkan biaya pendidikan di tingkat
sekolah, yang diambil dari anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS), dalam
enam kelompok sebagai berikut.
(1) Peningkatan kegiatan proses belajar dan mengajar. Komponen ini masih dibagi lagi
menjadi 2 sub komponen, yaitu (a) pelaksanaan tes dan (b) belanja alat PBM. Sub

20
komponen pelaksanaan tes dirinci lagi menjadi (i) penyusunan naskah di sekolah, (ii)
penggandaan naskah tes di sekolah, (iii) penggandaan naskah dari tim khusus, (iv)
pengawasan, pemeriksaan tes, dan (v) pemantapan evaluasi tingkat terakhir (VI SD
dan III SMP/SMA). Khusus untuk sub sub komponen (i) s.d. (iv), pembiayaannya
tergantung pada penerapan kurikulum, apakah menggunakan sistem cawu atau
semester (sehingga bisa 2 kali atau 3 kali per tahun). Sedangkan sub komponen
belanja alat PBM dirinci lagi menjadi (i) kapur tulis, (ii) kapur warna, (iii) mistar
besar/set, (iv) kertas stensil, (v) kertas lainnya, (vi) tinta, (vii) penghapus, dan (viii)
alat lainnya.
(2) Pemeliharaan dan penggantian sarana dan prasarana pendidikan. Komponen ini
dikelompokkan menjadi 10 sub komponen yaitu (a) pemeliharaan mebel, (b)
pengadaan mebel, (c) pemeliharaan peralatan, (d) pemeliharaan kantor, (e)
pemeliharaan halaman, (f) pemeliharaan kebersihan, (g) bahan/alat kebersihan, (h)
rehab ringan kantor, (i) pembuatan lemari, dan (j) pembuatan meja dan bangku murid.
(3) Peningkatan pembinaan kegiatan siswa: latihan dan sarana. Komponen ini
dikelompokkan dalam 9 sub komponen yaitu: (a) pramuka, Palang Merah Remaja
(PMR), Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), DK, dll.; (b) prestasi olahraga; (c) prestasi
kesenian; (d) kegiatan porseni; (e) lomba cerdas cermat; (f) kelompok kerja komplek;
(g) kelompok kerja rayon; (h) perpisahan tingkat terakhir; dan (i) kegiatan keagamaan
seperti pesantren kilat, retreat/rekoleksi, dan sebagainya.
(4) Kesejahteraan. Komponen ini dikelompokan menjadi 4 sub komponen, yaitu: (a)
peningkatan mutu keterampilan guru (penataran, latihan Kelompok Kerja Guru/KKG),
(b) perjalanan dinas, (c) honorarium dan insentif kepala sekolah dan guru, dan (d)
upah lembur.
(5) Rumah tangga sekolah dan BP3/komite sekolah. Komponen ini dikelompokkan
dalam 6 sub komponen, yaitu: (a) tata usaha sekolah, (b) tata usaha BP3/komite
sekolah, (c) rapat kerja sekolah, (d) rapat pengurus sekolah/BP3/komite sekolah, (e)
rapat kenaikan tingkat, dan (f) rapat tahunan anggota BP3/komite sekolah.
(6) Biaya pembinaan, pemantauan, pengawasan, dan pelaporan. Komponen ini terdiri
atas: (a) pembinaan, pemantauan, pengawasan, dan pelaporan sekolah, serta (b)
pembinaan, pemantauan, pengawasan, dan pelaporan tingkat kecamatan dan
kabupaten/kota.
Lain lagi pengelompokan komponen biaya oleh Ditjen Dikdasmen dan IPB (2002:
45-46). Menurut mereka pada pendidikan dasar terdapat tiga komponen utama proses
belajar mengajar (PBM), yaitu: (a) persiapan guru yang meliputi persiapan buku
penunjang kegiatan PBM, alat peraga, dan lainnya yang berhubungan dengan PBM di
sekolah; (b) kegiatan penyelenggaraan teori di tingkat yang mencakup bahan dan alat
yang dipersiapkan untuk teori dalam kegiatan belajar, seperti spidol, kapur, kertas,
penghapus, dan bahan lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan teori; dan (c) kegiatan
penyelenggaraan praktek (bahan dan alat yang diperlukan khusus untuk pelajaran
Penjaskes dan KTK). Selain biaya yang terkait langsung dengan pelaksanaan PBM,
diperlukan pula biaya untuk penyediaan fasilitas pendukung yang terdiri dari biaya rumah
tangga dan biaya pengadaan alat tulis kantor (ATK). (Ditjen Dikdasmen dan IPB, 2002:
52-53). Sub komponen biaya rumah tangga terdiri atas 5 sub sub komponen yaitu: (i) air,
(ii) listrik, (iii) telepon, (iv) gas, dan (v) minyak tanah). Sedangkan, sub komponen biaya
ATK terdiri dari 9 sub sub komponen, yaitu: (i) kertas, (ii) penghapus, spidol, (iv) kapur
tulis, (v) tinta, (vi) pensil, (vii) pulpen, (viii) buku tulis, dan (ix) lain-lain.
Komponen satuan biaya operasional SD/MI yang didasarkan pada studi Bank
Dunia (Ghozali, 2004) terdiri atas 9 komponen sebagai berikut: (a) alat tulis habis pakai,
(b) bahan peralatan habis pakai, yang terdiri atas: pembelajaran, praktik keterampilan,

21
olahraga, kebersihan, kesehatan, dan lain-lain, (c) daya dan jasa, (d) pemeliharaan ringan,
(e) pembinaan siswa, (f) penilaian, (g) rapat-rapat, (h) kegiatan komite sekolah, dan (i)
transport/ perjalanan dinas.
Komponen biaya operasional untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), hampir sama dengan komponen biaya pada tingkat
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Perbedaan terjadi pada komponen
bahan dan peralatan praktek IPA yang dipisah ke dalam komponen biaya untuk bahan dan
peralatan praktek Fisika, Kimia, dan Biologi. Demikian pula pada tingkat Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) hanya terjadi perbedaan pada
komponen bahan dan peralatan praktek.

2.2.3.2 Komponen Biaya Pendidikan Sekolah Kejuruan

Berdasarkan mata anggaran kegiatan (MAK), komponen biaya di SMK terdiri atas
8 mata anggaran yaitu nomor mata anggaran (MA): (1) MA 5110 (gaji), (2) MA 5120
(beras), (3) MA 5159 (lembur), (4) MA 5210 (belanja kantor), (5) MA 5220 (inventaris
kantor), (6) MA 5230 (daya dan jasa), (7) MA 5250 (bahan dan peralatan (lain-lain), dan
(8) MA 5350 (lain-lain pemeliharaan). (Tim Studi Pembiayaan Puslit (1998:7).
Tsang (1997) menyatakan bahwa belum ada standarisasi klasifikasi biaya
pendidikan dan pelatihan kejuruan yang berlaku diberbagai negara. Disebutkan bahwa
komponen biaya pada SMK sebagai input mencakup waktu bagi peserta dan guru, bahan
pembelajaran, peralatan, dan fasilitas fisik. Kompnen biaya dapat pula dibedakan menjadi
biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung dibagi menjadi dua, yaitu berulang
(recurrent) dan kapital. Biaya berulang mencakup personel dan nonpersonel. Biaya
personel terdiri atas guru atau instruktur, administrator, dan staf pendukung. Biaya
nonpersonel mencakup empat komponen, yaitu bahan pembelajaran (instructional
materials), bahan habis pakai (supplies), daya dan jasa (utility), perawatan dan perbaikan,
bea siswa, dan kesejahteraan siswa. Biaya kapital mencakup biaya untuk pengadaan lahan,
gedung, peralatan, dan mebeler. Biaya tidak langsung berupa hilangnya kesempatan
(opportunity cost) bagi peserta.
Guthrie (1998) membagi komponen biaya pendidikan kejuruan menjadi biaya
berulang (gaji, bahan, dan perlengkapan) dan biaya peralatan dan kapital. Di bagian lain
disebutkan bahwa elemen biaya pendidikan kejuruan mencakup biaya untuk personel,
bahan dan alat habis pakai untuk pembelajaran, peralatan, perawatan, administrasi,
kegiatan siswa, pengembangan profesional, dan asesmen. Bahan dan peralatan
pembelajaran yang dimaksud adalah yang seharusnya dimiliki sekolah, bukan hanya yang
sudah ada.
Bahan pembelajaran meliputi dua komponen yaitu normatif/adaptif dan produktif
(Ditjen Dikdasmen dan IPB (2002:69). Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan
komponen normatif dan adaptif dianggap sama dengan biaya di SMA. Penyelenggaraan
komponen produktif menjadi biaya tambahan di SMK yang mengakibatkan biaya di SMK
lebih mahal dari pada di SMA. Kebutuhan biaya praktek di SMK dikelompokkan menjadi
4 komponen yaitu: (1) pengadaan bahan utama, (2) pengadaan bahan penunjang, (3)
pengadaan alat habis pakai, dan (4) biaya pemeliharaan alat, praktek di industri dan ujian
praktek (uji kompetensi).

22
2.2.3.3 Komponen Biaya Pendidikan Sekolah Luar Biasa

Berdasarkan mata anggaran kegiatan (MAK), komponen biaya di SMK terdiri atas
8 mata anggaran yaitu nomor mata anggaran (MA): (1) MA 5110 (gaji), (2) MA 5120
(beras), (3) MA 5159 (lembur), (4) MA 5210 (belanja kantor), (5) MA 5220 (inventaris
kantor), (6) MA 5230 (daya dan jasa), (7) MA 5250 (bahan dan peralatan (lain-lain), dan
(8) MA 5350 (lain-lain pemeliharaan). (Tim Studi Pembiayaan Puslit (1998:7).
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan pembelajaran di SDLB, SMPLB,
SMALB, komponen biayanya berbasis peralatan sesuai dengan jenis ketunaan di sekolah
tersebut. Penyelenggaraan pendidikan pada SLB membutuhkan biaya tambahan untuk
peralatan khusus bagi ketunaan yang mengakibatkan biaya di SLB lebih mahal daripada
di sekolah umum. Selain itu rasio guru dan siswa 1:5 untuk SDLB, 1:8 untuk SMPLB dan
SMALB yang membuat biaya tambahan relatif mahal. Kebutuhan biaya pendidikan di
SLB dikelompokkan menjadi 4 komponen yaitu: (1) pengadaan bahan utama, (2)
pengadaan bahan penunjang, (3) alat habis pakai, dan (4) biaya pemeliharaan alat.
Komponen biaya pendidikan SLB dibagi dalam pengelompokkan sebagai berikut.
Biaya satuan pendidikan operasional/lancar dan biaya satuan pendidikan investasi. Biaya
pegawai untuk semua jenis ketunaan terdiri dari gaji pendidik dan tenaga kependidikan
lainnya, sedangkan biaya pendidikan untuk bukan pegawai disesuaikan dengan jenis
ketunaan. Sebagai gambaran komponen biaya bahan habis pakai dan alat habis pakais
standar pelayanan minimal diambil dua jenis ketunaan yaitu (SLB A) dan (SLB B).
Penyelenggaraan sekolah bagi anak dengan gangguan sensori penglihatan (SLB
A), bahan habis pakai secara rinci terdiri atas: alat assesment, snellent chart, ishihara test,
snellen chart electronic, tongkat panjang, tongkat lipat, blindfold, globe timbul, pesta
timbul, papan baca, model anatomi mata, meteran braille, puzzle bina-tang dan buah-
buahan, kompas braille, gelas rasa, botol aroma, bentuk geometr, color sorting box, braille
kit, reglets, stylush, mesin tik biasa, mesin tik braille magnifer lens set, CCTV, view scan.
Sedangkan peralatan yang digunanakan penunjang pembelajaran yaitu alat musik pukul,
alat musik tiup, alat latihan fisik, catur tunanetra, bridge tunanetra, pelindung kepala, bola
bunyi, rope lader, power rider, static bysicle.
Penyelenggaraan sekolah bagi anak dengan gangguan sensori pendengaran (SLB
B), peralatan yang digunakan penunjang pembelajaran yaitu, alat bantu dengar model
saku, model belakang telinga, model kacamata, hearing group, loop induction system,
alat bina wicara: speech and sound simulation, spatel, cermin, alat latihan meniup, alat
musik perkusi, meja dan kursi latihan bicara, alat bantu, belajar anatomi telinga dan model,
miniatur benda/model, finger/abjad jari, torso setengah badan, puzzle binatang/buah-
buahan, bentuk geometri, kartu katakartu kalimat, alat latihan fisik: weeplan/papan
keseimbangan, dan lain-lain. Biaya pemeliharaan alat merupakan komponen biaya dari
peralatan yang digunakan SLB tersebut.

2.3 Teknik Penghitungan Biaya Pendidikan

Cara penghitungan biaya satuan pendidikan di tingkat sekolah dari SD sampai


dengan SMK dilakukan oleh IPB dan Dikdasmen (2002: 45- 80). Studi tersebut
menghitung biaya satuan dengan pendekatan kategori kebutuhan, yaitu: (1) kebutuhan
biaya pendidikan tingkat sekolah (per tingkat); (2) kebutuhan biaya pendidikan untuk
jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA, dan SMK), dan (3) kebutuhan biaya per siswa.
Biaya penyelenggaraan pendidikan pada tingkat sekolah, secara umum dibedakan
menjadi: (a) biaya yang terkait langsung dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) dan,

23
(b) biaya yang tidak terkait langsung dengan KBM. Biaya yang terkait langsung dengan
KBM untuk SD sampai SMA terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: (i) persiapan guru,
(ii) penyelenggaran teori di tingkat, dan (iii) praktek. KBM di SD dilakukan untuk 10
mata pelajaran, di SMP 16 mata pelajaran, dan di SMA 20 mata pelajaran. Biaya yang
terkait langsung dengan KBM di SMK terdiri dari biaya teori dan praktek. Biaya yang
terkait tidak langsung dengan KBM terdiri dari biaya rumah tangga dan biaya ATK.
Penghitungan biaya satuan tersebut menunjukkan secara rinci biaya riil dan biaya
ideal penyelenggaraan pendidikan di SD, SMP, SMA dan SMK baik per mata pelajaran
maupun untuk seluruh mata pelajaran dalam satu tahun baik per sekolah, jenjang
pendidikan maupun per siswa. Penghitungan biaya ideal didasarkan pada asumsi jumlah
rombongan belajar yang ideal, yaitu satu tingkat hanya dipakai oleh satu rombongan
belajar yang terdiri dari 35-40 murid/tingkat dan jumlah tingkat minimum mengacu pada
ketetapan dan peraturan pemerintah yang berlaku.
Penghitungan biaya satuan di SMK difokuskan pada komponen mata diklat
kelompok produktif, dengan pertimbangan untuk program normatif dan adaptif tidak jauh
berbeda dengan di SMA. Dari berbagai program keahlian yang dimiliki ketiga sampel
sekolah, digunakan 9 (sembilan) program keahlian yang dianggap mewakili 3 (tiga)
bidang keahlian, yaitu:
(1) Bidang keahlian teknik mesin diwakili program keahlian mekanik otomotif dan teknik
perkakas.
(2) Bidang keahlian teknik bangunan diwakili program keahlian konstruksi bangunan,
teknik gambar bangunan, dan teknik perkayuan.
(3) Bidang keahlian teknik elektro diwakili program keahlian instalasi listrik, informatika
komersial, listrik pemakaian, dan audio video.
Dari kesembilan program keahlian diatas, biaya satuan atas biaya terkait langsung
dengan kegiatan PBM di SMK dirinci menurut biaya teori dan biaya praktek. Secara
umum biaya praktek jauh lebih besar daripada biaya teori, karena kegiatan praktek
memerlukan bahan, alat, waktu, dan personel lebih banyak. Biaya rumah tangga dan
biaya ATK di ketiga sekolah sampel nampak tidak jauh berbeda.
McMahon (2002: 23) melakukan perhitungan biaya satuan di tingkat sekolah
(untuk SD/MI) dan kabupaten/kota. Penghitungan biaya satuan pendidikan di tingkat
sekolah dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh komponen pengeluaran yang
meliputi pengeluaran-pengeluaran untuk gaji guru dan staf administrasi, buku-buku
pelajaran, alat bantu mengajar, pemeliharaan dan perawatan gedung sekolah, dan
keperluan lainnya seperti air, listrik dan telepon. Biaya satuan pendidikan di tingkat
kabupaten/kota diperoleh dari anggaran pendidikan pada anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) kabupaten/kota dan dari laporan pertanggungjawaban
bupati/walikota dikurangi dengan total pengeluaran tingkat sekolah (gaji dan honorarium
staf administrasi, SBPP, dan DOP).
Komponen-komponen pengeluaran dalam anggaran pendapatan dan belanja
madrasah (APBM) meliputi gaji dan bukan gaji. Komponen bukan gaji mencakup
pengeluaran untuk pemeliharaan, pengadaan, dan sarana penunjang belajar. Pengeluaran
yang berasal dari bukan APBM terutama digunakan untuk pembangunan fisik madrasah.
Seluruh pengeluaran di madrasah ini kemudian dibagi jumlah siswa dalam madrasah
tersebut.
Fattah melihat biaya satuan merupakan fungsi dari besarnya pengeluaran sekolah
serta banyaknya siswa sekolah (2002: 25). Dengan demikian, biaya satuan pendidikan ini
dapat dihitung dengan cara membagi seluruh jumlah pengeluaran sekolah dengan jumlah

24
siswa sekolah. Dalam bentuk persamaan, biaya satuan pendidikan itu dapat ditulis
sebagai:

Sb (s,t) = f ( K(s,t) dan M (s,t) )


dimana :
Sb = biaya satuan per siswa per tahun
K = jumlah seluruh pengeluaran
M = jumlah siswa
s = sekolah tertentu
t = tahun tertentu

Fattah juga menguraikan biaya satuan pendidikan SMA di tingkat orangtua/siswa


ke dalam biaya langsung dan biaya tidak langsung (2000: 25). Dengan demikian, biaya
keseluruhan (C) selama di SMA terdiri dari biaya langsung (L) dan biaya tidak langsung
(K). Menurut Fattah, biaya langsung di sini adalah yang langsung dibayarkan untuk
bersekolah di SMA. Sedangkan biaya tidak langsung adalah rata-rata penghasilan lulusan
SMP yang tidak jadi diterima karena bersekolah.
Pusat Penelitian Balitbang Depdiknas menghitung biaya satuan pada SMK.
Penghitungan biaya satuan pendidikan ini dibatasi pada biaya operasional, yang
merupakan biaya langsung bagi penyelenggaraan pendidikan, dan berasal dari seluruh
sumber, yaitu pemerintah, siswa atau orangtua, serta masyarakat. (Puslit Balitbang
Depdiknas, 1999: 5). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pengeluaran sekolah,
seperti nampak pada Tabel 2-2.

Tabel 2-2
Pengeluaran Sekolah untuk Berbagai Komponen Biaya

Pos Pengeluaran Sumber dan Komponen Pembiayaan


Kesejahteraan Pemerintah :
Rutin
Orangtua :
DPP
BP3
Masyarakat :
Unit Produksi
Koperasi
Sumber lain
Subtotal
Non Pemerintah :
Kesejahteraan Rutin
Orangtua :
DPP
BP3
Masyarakat :
Unit Produksi
Koperasi
Sumber lain
Subtotal
Total

25
Dari sisi pengeluaran sekolah, dapat dihitung biaya satuan pribadi, biaya satuan
publik, dan biaya satuan total. Biaya satuan pribadi diperoleh dengan menjumlahkan
pengeluaran sekolah yang sumber pembiayaannya berasal dari orang tua (DPP dan BP3)
lalu dibagi dengan jumlah siswa per sekolah. Biaya satuan pribadi ini belum termasuk
biaya transport dan opportunity cost. Cara penghitungan biaya satuan publik dari sisi
pengeluaran sekolah sama dengan yang dari sisi penerimaan. Biaya satuan total biaya
diperoleh dengan menjumlahkan biaya satuan pribadi dan biaya satuan publik.

2.4 Temuan Penelitian Biaya Pendidikan

Studi-studi pembiayaan pendidikan menyampaikan temuan pembiayaan


pendidikan dan sumber pendanaannya dengan pendekatan dan fokus yang berbeda-beda,
tergantung dari tujuan masing-masing studi tersebut. Berikut ini disampaikan temuan
berbagai studi tersebut yang direviu oleh Ghozali (2004).
Studi pembiayaan madrasah mengaitkan biaya satuan dengan nilai Ebtanas murni
(NEM) dan mengklasifikasikan biaya satuan berdasarkan status sosial ekonomi serta
lokasi madrasah. Studi itu menemukan bahwa madrasah ibtidaiyah swasta (MIS) yang
berada di kota memiliki biaya satuan Rp1.768.978 per siswa per tahun dengan NEM 7,08,
di pinggir kota Rp688.836 per siswa per tahun dengan NEM 6,68, dan yang di pedesaan
Rp682.914 per siswa per tahun dengan NEM 6,27. (Puslitbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan 2002: 55). Untuk jenjang MTs, MTsS yang berada di kota memiliki biaya
satuan Rp710.315 per siswa per tahun, di pinggir kota Rp777.657 per siswa per tahun, dan
yang di pedesaan Rp975.257 per siswa per tahun. (2002: 72). Sedangkan untuk jenjang
MA, MAS yang berada di pinggir kota memiliki biaya satuan yang lebih tinggi yaitu
Rp1.136.987 per siswa per tahun dibandingkan dengan yang di MAS kota dan pedesaan.
(2002: 95). Studi tersebut juga memperlihatkan variabel-variabel yang berkorelasi
dengan biaya pendidikan serta komponen pengeluaran orangtua untuk pendidikan
anaknya. (Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan 2002:53-96).
Studi itu juga menemukan persentase komponen biaya satuan pendidikan di
madrasah (diluar pembangunan gedung baru serta penambahan areal madrasah).
Persentase itu adalah sebagai berikut. (Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan,
2002 : 14-15).
(1) Gaji dan kesejahteraan guru dan pegawai lainnya (30%)
(2) Peningkatan PBM (25%)
(3) Dana pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan (15%)
(4) Peningkatan pembinaan kegiatan siswa (10%)
(5) Rumah tangga madrasah dan majelis madrasah (10%)
Biaya pengawasan, pelaporan, dan peningkatan mutu guru serta pegawai lainnya
(10%).
Tim Studi Pembiayaan Dikdasmen mengadakan penelitian pembiayaan untuk SD,
SMP, SMA, dan SMK. Berikut ini adalah temuan dari Studi Pembiayaan Dikdasmen
untuk jenjang SD. PBM di SD membutuhkan biaya kurang lebih Rp4.100.000 per tahun
yang terdiri atas Rp518.000 untuk tingkat I, Rp527.000 untuk tingkat II, Rp650.000 untuk
tingkat III, Rp730.000 untuk tingkat IV, Rp862.000,- untuk tingkat V, dan Rp815.000
untuk tingkat VI. Hasil itu memperlihatkan kecenderungan peningkatan biaya dari tingkat
I sampai tingkat V, meskipun pada tingkat VI terjadi penurunan biaya yang tidak terlalu
besar. (Tim Studi Pembiayaan Dikdasmen, 2002: 46).

26
Temuan lain memperlihatkan bahwa kebutuhan biaya untuk masing-masing mata
pelajaran cukup beragam. Kebutuhan biaya yang paling besar adalah untuk Matematika,
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, serta Kerajinan Tangan dan Kesenian. Pendidikan
Agama Islam maupun Kristen membutuhkan biaya yang relatif sedikit. Bila dilihat dari
kebutuhan biaya per mata pelajaran untuk tiap tingkat, tidak terdapat perbedaan mencolok,
kecuali Matematika yang mengalami lonjakan biaya yang signifikan pada tingkat IV dan
V.
Perbedaan biaya antar mata pelajaran terutama disebabkan oleh perbedaan
komponen persiapan guru yang menyangkut kebutuhan buku panduan atau penunjang
yang digunakan guru. Kebutuhan biaya yang sangat besar untuk Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan serta Kerajinan Tangan dan Kesenian disebabkan besarnya kebutuhan alat dan
bahan praktek siswa maupun untuk peragaan guru.
Kebutuhan biaya penyelenggaraan SD per siswa per tahun adalah kurang lebih
Rp64.000 yang terdiri atas Rp7.352 untuk tingkat I, Rp8.642 untuk tingkat II, Rp9.452
untuk tingkat III, Rp11.687 untuk tingkat IV, Rp14.255 untuk tingkat V, dan Rp12.627
untuk tingkat VI. Total biaya penyelenggaraan pendidikan per siswa per tahun yang
ideal mencapai Rp164.000. Artinya, pembiayaan pendidikan saat itu baru mencapai 30-
35% dari kebutuhan ideal. Hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa biaya yang
dibutuhkan untuk penyelenggaraan PBM pada tingkat SD masih jauh dari memadai.
Kepedulian masyarakat terhadap pendidikan anak sangat tergantung dari kondisi
perekonomian keluarga. Keluarga dengan pendapatan menengah ke atas cenderung lebih
peduli terhadap dunia pendidikan, sehingga memudahkan pihak sekolah untuk
mengadakan pertemuan dengan orangtua untuk membicarakan kebutuhan sekolah.
Karena itu, untuk menuju PBM yang efektif perlu dukungan pembiayaan dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan sekolah.
Dalam upaya menuju pembiayaan pendidikan yang efektif sudah selayaknya
penyediaan fasilitas dan persiapan guru lebih diprioritaskan, di samping biaya
pelaksanaan teori dan praktek. Penggalian dana dari pihak swasta masih terus digali
semaksimal mungkin sehingga ketergantungan subsidi dan bantuan pemerintah daerah
dapat mulai dikurangi.
Selain biaya yang terkait langsung dengan PBM diperlukan juga biaya untuk
penyediaan fasilitas pendukung, biaya rumah tangga, dan biaya untuk pengadaan alat tulis
kantor. Biaya rumah tangga antara lain untuk biaya air, listrik, telepon, dan gas yang
berjumlah Rp1.095 per siswa per tahun. Biaya alat tulis kantor Rp923 per siswa per tahun.
Temuan Tim Studi Pembiayaan Dikdasmen untuk jenjang SMP adalah sebagai
berikut. Rata-rata biaya total penyelenggaraan SMP per tahun adalah Rp6.900.000 yang
terdiri atas Rp2.200.000 untuk tingkat I, Rp2.340.000 untuk tingkat II, dan Rp2.350.000
untuk biaya tingkat III. Bila dihitung menjadi per siswa per tahun adalah sebagai berikut.
Biaya per siswa per tahun untuk tingkat I, II, dan III berturut-turut adalah Rp9.100,
Rp9.675, dan Rp10.420. Tampak ada kecenderungan peningkatan biaya meskipun tidak
terlalu besar. (Tim Studi Pembiayaan Dikdasmen 2002: 54).
Keragaman biaya antar tingkat (tingkat) untuk semua mata pelajaran adalah relatif
kecil. Keragaman nampak justru terjadi antar mata pelajaran. Mata pelajaran yang
membutuhkan biaya yang relatif besar adalah antara lain Fisika, Biologi, dan Bahasa
Indonesia. Mata pelajaran yang membutuhkan biaya yang relatif kecil adalah antara lain
Geografi, Pendidikan Agama, dan Sejarah. Perbedaan biaya antar mata pelajaran
terutama disebabkan karena keperluan materi persiapan yang berbeda yang menyangkut
kebutuhan buku ajaran. Pada komponen teori dan praktek, untuk Fisika dan Biologi
diperlukan bahan dan alat untuk praktikum, sehingga secara relatif biaya kedua mata
pelajaran tersebut relatif tinggi.

27
Biaya penyelenggaraan belajar untuk persiapan, teori, dan praktek untuk siswa
SMP tingkat I dan II berturut-turut adalah Rp35.000 dan Rp40.700 per siswa per tahun.
Secara relatif Fisika, Biologi, dan Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang
memerlukan biaya besar. Komponen utamanya adalah keperluan buku pelajaran bagi
guru.
Jika dibandingkan dengan kondisi ideal, pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
yang menyangkut biaya pelaksanaan pelajaran di lokasi penelitian baru mencapai 30%,
baik untuk tingkat I, II, maupun III. Pada tingkat I, kebutuhan biaya idealnya adalah
Rp35.000 per siswa per tahun, sedangkan kebutuhan faktualnya adalah hanya Rp9.100 per
siswa per tahun. Untuk tingkat III, perbandingan biaya faktual dan biaya ideal adalah
Rp10.400 berbanding Rp40.700.
Hasil perhitungan itu menunjukkan bahwa biaya pendukung untuk
penyelenggaraan belajar mengajar pada tingkat SMP masih jauh dari memadai. Artinya
upaya peningkatan kualitas pendidikan perlu didukung dengan ketersediaan dana yang
memadai, terutama fasilitas untuk guru berupa buku dan alat tulis agar guru dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Komposisi terbesar biaya pelaksanaan PBM terletak pada biaya persiapan. Pada
sebagain besar mata pelajaran, proporsi biaya persiapannya adalah di atas 90%. Mata
pelajaran yang proporsi biaya persiapannya relatif kecil adalah mata pelajaran yang
memerlukan praktek seperti Fisika dan Biologi. Mata pelajaran dengan komponen
teorinya relatif besar adalah Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.
Keragaman antar tingkat mengenai proporsi biaya persiapan, teori, dan praktek tidak
memperlihatkan perbedaan yang signifikan.
Selain biaya yang terkait langsung dengan pelaksanaan PBM diperlukan juga
biaya rumah tangga dan biaya untuk pengadaan alat tulis kantor. Biaya rumah tangga
mencakup biaya-biaya untuk air, listrik, telepon, dan gas yang besarnya adalah Rp1.616
per siswa per tahun. Biaya alat tulis adalah Rp1.954 per siswa per tahun.
Penetapan biaya ideal/siswa untuk pelaksanaan pendidikan SMP didasarkan pada
asumsi ideal (satu ruang tingkat hanya dipakai oleh satu rombongan belajar), jumlah
murid/tingkat yang ideal yaitu antara 35 sampai 40 orang per tingkat, dan jumlah tingkat
minimum SMP mengacu pada ketetapan dan peraturan pemerintah yang berlaku.
Temuan Tim Studi Pembiayaan Dikdasmen untuk jenjang SMA disajikan sebagai
berikut. Rata-rata total biaya penyelenggaraan SMA per tahun adalah Rp10.500.000 yang
terdiri atas Rp3.300.000 untuk masing-masing tingkat I dan II, sedangkan untuk tingkat
III IPA adalah Rp2.200.000 dan untuk tingkat III IPS Rp1.800.000. Tampak
kecenderungan peningkatan biaya dari tingkat I sampai III, meskipun jumlahnya tidak
terlalu besar. (Tim Studi Pembiayaan Dikdasmen, 2002: 60-80).
Keragaman biaya antar tingkat (tingkat) untuk semua mata pelajaran relatif kecil.
Keragaman nampak justru antar mata pelajaran. Mata pelajaran yang memerlukan biaya
relatif besar adalah, antara lain: Fisika, Biologi, Kimia, Matematika, Bahasa Indonesia,
dan Bahasa Inggris. Mata pelajaran yang memerlukan biaya relatif kecil adalah, antara
lain: Tatanegara, Geografi, Pendidikan Agama, dan Sosiologi. Perbedaan biaya antar
mata pelajaran disebabkan karena keperluan materi persiapan yang berbeda yang
menyangkut kebutuhan buku ajaran. Pada komponen teori dan praktek terutama Fisika
dan Biologi diperlukan bahan dan alat untuk praktikum, sehingga secara relatif biaya
kedua mata pelajaran ini relatif tinggi. Besarnya jumlah siswa juga mempengaruhi
besarnya biaya satuan. Beberapa pelajaran terutama pada tingkat III hanya untuk jurusan
tertentu dengan jumlah siswa yang sedikit sehingga biaya satuannya menjadi lebih besar.
Biaya penyelenggaraan pendidikan per siswa diperoleh dengan membagi biaya
menurut mata pelajaran per sekolah dengan biaya penyelenggaraan pendidikan per siswa

28
menurut mata pelajaran. Biaya/siswa/tahun untuk tingkat I, II, dan III berturut-turut
adalah Rp12.800, Rp15.500, dan Rp20.000. Mata pelajaran yang memerlukan biaya yang
relatif besar adalah Fisika, Biologi, Kimia, dan Matematika.
Jika dibandingkan dengan kondisi ideal, kondisi pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan sekolah yang menyangkut biaya pelaksanaan pengajaran di lokasi penelitian
baru mencapai sekitar 10 sampai 15% baik untuk tingkat I, II maupun III. Untuk tingkat I,
kebutuhan idealnya adalah Rp105.800 per siswa per tahun, sedangkan kondisi faktualnya
adalah sebesar Rp13.800 per siswa per tahun. Untuk tingkat III, perbandingan biaya
faktual dan ideal adalah sebesar Rp20.000 berbanding Rp80.284 untuk IPA dan Rp18.500
berbanding Rp43.712 untuk IPS.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa biaya pendukung untuk
penyelenggaraan belajar mengajar pada tingkat SMA masih jauh dari memadai, artinya
upaya peningkatan kualitas perlu didukung dengan ketersediaan dana yang memadai,
terutama fasilitas untuk guru berupa buku dan alat tulis agar guru dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Komposisi terbesar biaya pelaksanaan belajar mengajar terletak pada biaya
persiapan pengajaran. Proporsi biaya persiapan di sebagian besar mata pelajaran adalah
di atas 90%. Pelajaran yang biaya persiapannya relatif kecil adalah mata pelajaran yang
memerlukan praktek seperti fisika, biologi, dan kimia. Sementara mata pelajaran dengan
komponen teori yang relatif besar adalah Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa
Inggris. Keragaman antar tingkat mengenai proporsi biaya persiapan, teori, dan praktek
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Biaya lain yang diperlukan dalam mendukung pelaksanaan PBM adalah biaya
untuk fasilitas pendukung yaitu biaya rumah tangga dan pengadaan alat tulis kantor.
Biaya rumah tangga mencakup biaya untuk listrik, air, telepon, dan gas yang besarnya
adalah Rp1.464 per siswa per tahun. Biaya ATK adalah Rp853 per siswa per tahun.
Alat/bahan yang memerlukan biaya yang relatif besar adalah antara lain: kertas, telepon,
dan listrik.
Hasil perhitungan biaya ideal/siswa didasarkan pada asumsi kondisi ideal sekolah,
yaitu jumlah rombongan belajar yang ideal (satu tingkat hanya dipakai oleh satu
rombongan belajar), jumlah murid per tingkat ideal (yang berkisar antara 35 sampai 40
orang per tingkat dan jumlah tingkat minimum untuk SMA yang mengacu pada ketetapan
peraturan pemerintah yang berlaku). Demikian juga ketersediaan tenaga pengajar baik
kuantitas maupun kualitas. Di samping ketersediaan fasilitas penunjang seperti
honorarium, sarana olah raga, dan perpustakaan juga pada kondisi yang baik.
Untuk jenjang SMK, Tim Studi Dikdasmen mengambil sampel di tiga biadang
keahlian, yaitu bidang keahlian Teknik Mesin, bidang keahlian Teknik Bangunan, dan
bidang keahlian Teknik Elektro. Berikut disajikan temuan studi di ketiga bidang keahlian
tersebut. (Tim Studi Pembiayaan Dikdasmen, 2002).
Biaya penyelengaraan SMK memang cukup besar, baik untuk investasi awal
(terutama untuk pengadaan alat praktek) maupun untuk operasional yang mencakup biaya
pengadaan bahan habis pakai serta biaya perawatan, penggantian suku cadang, dan
perbaikat alat. Sebagai contoh, pada tahun 1976, biaya pengadaan mesin/alat utama Balai
Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) sebagai tempat praktek SMK kelompok Teknologi
Industri per “student place” adalah sebagai berikut (Bustami Akhir, t.t.):
a. Jurusan Bangunan US $ 884
b. Jurusan Elektronika US $ 2056
c. Jurusan Listrik US $ 1306
d. Jurusan Mesin US $ 3270
e. Jurusan Otomotif US $ 3135

29
Informasi tersebut menunjukkan banyaknya peralatan praktek pada SMK yang
berimplikasi pada besarnya biaya operasional SMK. Sebagai perbandingan atau
gambaran, biaya operasional pendidikan guru SMK pada Fakultas Pendidikan Teknologi
dan Kejuruan (FPTK) IKIP Yogyakarta yang memiliki mesin/alat utama hampir sama
dengan BLPT tersebut adalah sekitar US $ 720,- untuk jurusan Bangunan dan US $ 1000,-
untuk jurusan Mesin (Tim Perhitungan Unit Cost FPTK IKIP Yogyakarta, 1996).
Besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan kejuruan juga dapat dilacak dari hasil
perhitungan yang dilakukan oleh beberapa negara bagian di USA sebagai berikut (Guthrie,
1998). Guthrie mengutip hasil perhitungan Chamber pada tahun 1990 bahwa biaya bahan
untuk pelajaran teori adalah $0,50 per siswa sedangkan untuk pelajaran laboratory
mencapai $7,44 untuk Kimia dan $30 untuk Las. Negara bagian Ohio pada tahun 1999
menyediakan biaya sebesar $3,850/siswa/tahun untuk kegiatan yang bersifat akademik
dan $6,800/siswa/tahun untuk kegiatan yang bersifat pelatihan persiapan kerja.

(1) Bidang Keahlian Teknik Mesin


Di SMK bidang keahlian teknik mesin, biaya untuk teori lebih kecil daripada biaya
untuk praktek. Hal ini disebabkan sekolah kejuruan lebih mengutamakan kegiatan
praktek. Total biaya teori dan praktek tertinggi terjadi pada tingkat I dan turun tajam
pada tingkat III. Untuk program keahlian Mesin Perkakas, biaya teori dan praktek
pada tingkat I dan III relatif berimbang, dan tingkat II adalah sangat timpang.
Pada program keahlian Teknik Perkakas tingkat I, kebutuhan praktek adalah
sangat tinggi yaitu lebih dari Rp116.000.000 per tahun per tingkat, sedangkan
kebutuhan teori adalah di bawah Rp14.000.000 per tahun. Tingginya biaya praktek
untuk tingkat I disebabkan adanya komponen alat aus pakai yang sangat tinggi
biayanya, khususnya ruang bengkel Kerja Bangku yang membutuhkan biaya
Rp59.000.000 lebih per tahun karena memiliki 81 jenis alat. Beberapa alat yang
cukup mahal biaya aus pakainya adalah: kikir, penyiku, bor, lap tangan, kunci L, dan
obeng. Kegiatan praktek program keahlian Teknik Perkakas pada tingkat I
mempergunakan 5 bengkel, dimana ruang kerja bangku membutuhkan biaya bahan
penunjang dan alat aus pakai yang jauh lebih mahal dibandingkan untuk bengkel-
bengkel lain. Pada tingkat III, biaya kebutuhan prakteknya adalah sangat rendah
karena hanya menggunakan satu ruang kerja yaitu ruang kerja mesin CNC/MO
dengan kebutuhan biaya prakteknya adalah Rp7.423.200 per tahun.
Salah satu hal yang membuat mahalnya operasional sebuah bengkel adalah
frekuensi pemakaian. Dari 11 bengkel yang digunakan pada bidang keahlian Teknik
Mesin ini, frekuensi penggunaan yang paling tinggi ditemukan pada bengkel
Pengerjaan Logam dan Praktek Mekanik Otomotif, khususnya pada program keahlian
Mekanik Otomotif. Ruang praktek otomotif digunakan dengan sangat intensif oleh
siswa tingkat II dan III dengan frekuensi berturut-turut 264 dan 206 kali dalam
setahun. Beberapa bengkel digunakan terus menerus, namun sebagian hanya
digunakan oleh tingkat-tingkat tertentu. Ruang kerja mesin CNC/MO misalnya, selalu
digunakan oleh seluruh tingkat tingkat, sementara ruang kerja bangku hanya intensif
digunakan pada tingkat I.

(2) Bidang Keahlian Teknik Bangunan


Pada bidang keahlian Teknik Bangunan, total biaya teori dan praktek per tahun relatif
merata pada tingkat I dan II, tapi menurun pada tingkat III. Perbandingan antar
program keahlian menunjukkan biaya termahal ditemukan pada program keahlian

30
Konstruksi Bangunan. Untuk program keahlian ini pada semua tingkatan tingkat,
biaya teori selalu adalah lebih tinggi dibandingkan dengan biaya praktek.
Satu hal yang khas pada bidang keahlian Teknik Bangunan adalah bahwa
banyak sekali ruang bengkel yang digunakan sekaligus oleh program keahlian yang
berbeda, terutama bengkel batu dan bengkel kayu yang selalu digunakan oleh program
Konstruksi Bangunan, Teknik Gambar Bangunan, dan Teknik Perkayuan dengan
intensitas pemakaian yang tinggi oleh siswa tingkat I dan II. Rata-rata pemakaian
adalah 30 sampai 40 kali setahun. Sedangkan pada Teknik Perkayuan, penggunaan
Bengkel Kayu berbeda sesuai dengan spesialisnya. Bengkel Kayu pada program
Teknik Perkayuan bahkan digunakan sampai 120 kali setahun baik oleh siswa tingkat
II maupun III. Dibandingkan dengan ruangan bengkel lain, kebutuhan biaya untuk
bengkel kayu dan batu menjadi paling tinggi, karena frekuensi penggunaan yang
sangat tinggi tersebut. Komponen biaya praktek terbesar pada bengkel ini adalah
untuk pembelian bahan utamanya serta biaya alat aus pakai.
Secara umum, kebutuhan biaya bahan penunjang dan pemeliharaan pada
keseluruhan bengkel pada bidang Teknik Bangunan ini adalah relatif kecil, mulai dari
ribuan sampai ratusan ribu rupiah per tahun kegiatan. Biaya bahan penunjang yang
agak menonjol ditemukan pada Ruang Gambar, khususnya pada penggunaan oleh
siswa tingkat III.

(3) Bidang Keahlian Teknik Elektro


Teknik Elektro merupakan bidang terbaru yang masuk menjadi salah satu keahlian
pada SMK, dibandingkan Teknik Mesin dan Teknik Bangunan. Meskipun demikian,
peminat pada jurusan ini adalah yang paling tinggi, karena peluang kerjanya adalah
lebih besar dan menjanjikan pendapatan yang lebih baik. Di antara sekolah sampel,
jumlah siswa jurusan elektro adalah selalu lebih banyak.
Biaya untuk kegiatan teori relatif tidak berbeda dalam setiap jam pelajaran
baik untuk program, tingkat, kompetensi, dan sub kompetensi yang berbeda. Hal yang
membedakan adalah jumlah kompetensi dan sub kompetensi yang tercakup pada suatu
program. Biaya teori yang paling besar ditemukan pada program Informatika
Komersial, khususnya pada tingkat II, yaitu Rp33.600.000 per tahun ajaran. Hanya
program Informatika Komersial yang membutuhkan biaya paling besar dibandingkan
program-program lainnya, karena harus menyediakan buku-buku yang selalu dituntut
untuk diperbarui karena cepatnya perkembangan teknologi bidang ini. Untuk program
yang lain, kebutuhan biaya teori hanya berkisar lebih kurang Rp1.000.000 per tahun.
Dibandingkan dengan dua bidang sebelumnya, bidang Teknik Elektro
menghabiskan biaya yang lebih besar, khususnya pada program Instalasi Listrik dan
Informatika Komersial. Kebutuhan biaya pada program Instalasi Listrik tingkat I
sebesar lebih dari Rp219.000.000 per tahun yang merupakan angka paling besar.
Penyebab utamanya adalah karena tingginya biaya praktek, yang hampir mencapai
Rp200.000.000 per tahun. Besarnya biaya ini disebabkan oleh biaya alat aus pakai
pada ruang bengkel Kendali-Industri yang mencapai lebih dari Rp86.000.000 per
tahun.
Berbeda dengan bidang lain, tidak tiap program keahlian memiliki kegiatan
teori dan praktek pada semua tingkatan. Ada pula program keahlian yang hanya
memiliki kegiatan praktek, misalnya program Instalasi Listrik pada tingkat III dan
program Listrik Pemakaian pada tingkat I.
Tiap program memiliki kebutuhan bengkel yang sangat bervariasi. Program
Instalasi Listrik membutuhkan 6 bengkel untuk tingkat I, dan masing-masing satu
bengkel untuk tingkat II dan III. Karena perbedaan tekanan dalam kompetensi dan

31
sub kompetensi, tiap program tampaknya lebih banyak menggunakan bengkel-bengkel
yang berbeda. Di laboratorium komputer baik perangkat keras maupun lunak paling
sering digunakan, sampai 220 kali setahun, khususnya pada program Informatika
Komersial tingkat II.
Rangkuman temuan biaya satuan pendidikan yang dilakukan oleh beberapa studi
disajikan dalam Tabel 2-4. Studi Ghozali, dkk menghasilkan temuan sebagai berikut:
biaya satuan pendidikan untuk SD negeri Rp1,864 juta, SD swasta Rp1,563 juta, MI
negeri Rp1,960 juta, MI swasta Rp1,418 juta, SMP negeri Rp2,771 juta, SMP swasta
Rp2,398 juta, MTs negeri Rp2,246 juta, MTs swasta Rp1,927 juta, SMA negeri Rp3,612
juta, SMA swasta Rp2,956 juta, SMK negeri Rp4,737 juta, SMK swasta Rp2,766 juta,
MA negeri Rp2,673 juta, dan SMK swasta Rp2,523 juta.
Tim Studi Biro Keuangan menemukan bahwa biaya satuan pendidikan pada tahun
ajaran 1999/2000 untuk sekolah adalah Rp487.122 di SD negeri, Rp2.743.605 di SMP
negeri, Rp3.552.269 di SMA negeri, dan Rp3.468.318 di SMK negeri. (Biro Keuangan,
2001). Tim Studi Puslitbang Depag menemukan bahwa biaya satuan pendidikan pada
tahun ajaran 2000/2001 untuk madrasah adalah Rp700.717 di MI swasta, Rp747.948 di
MTs swasta, dan Rp1.469.828 di MA swasta. (Tim Studi Puslitbang Depag, 2002: 49-91).
Studi keuangan pendidikan Hickling menemukan bahwa biaya satuan pendidikan pada
tahun ajaran 1995/1996 untuk sekolah dan madrasah adalah Rp190.000 di SD negeri,
Rp171.000 di SD swasta, Rp139.000 di MI negeri, Rp87.000 di MI swasta, Rp299.000 di
SMP negeri, Rp265.000 di SMP swasta, Rp234.000 di MTs negeri, Rp107.000 di MTs
swasta, Rp418.000 di SMA negeri, Rp324.000 di SMA swasta, Rp513.000 di SMK negeri,
Rp251.000 di SMK swasta, Rp324.000 di MA negeri, dan Rp185.000 di MA swasta.
(Hickling, 1997). Analisis biaya pendidikan oleh BPS menemukan bahwa berdasarkan
hasil Susenas 1998, rata-rata biaya pendidikan per siswa per semester yang dikeluarkan
oleh orangtua adalah untuk SD sebesar Rp74.432, SMP sebesar Rp204.158, dan SM
sebesar Rp377.088. (BPS, 2000).

32
Tabel 2-4. Biaya Satuan Pendidikan yang Dihasilkan Beberapa Studi Comment [H1]: Perlu
ditambahkan tabel SLB

SD MI SMP MTS SMA SMK MA


Studi
N S N S N S N S N S N S N S
I 1.864.000 1.563.000 1.960.00 1.418.000 2.771.000 2.398.000 2.246.000 1.927.000 3.612.000 2.956.000 4.737.000 2.766.000 2.673.000 2.523.000

II 487.122 - - - 2.743.605 - - - 3.552.269 - 3.468.318 - - -


III - - - 700.717 - - - 747.948 - - - - - 1.469.828
IV 190.000 171.000 139.000 87.000 299.000 265.000 234.000 107.000 418.000 324.000 513.000 251.000 324.000 185.000
V 74.431 - - 204.157 - - 377.089 - -

33
Keterangan:

Studi I Hasil studi Ghozali, dkk (2004) tentang biaya satuan pendidikan,yaitu biaya per
siswa per tahun. Komponen biaya satuan pendidikan ini meliputi biaya operasional
dan biaya investasi. Biaya operasional mencakup biaya-biaya untuk mengeadakan
atau menyediakan kesejahteraan dan pengembangan pendidik dan tenaga
kependidikan, alat tulis sekolah, daya dan jasa, perbaikan ringan dan pemeliharaan,
pembinaan siswa, pendidikan sistem ganda (untuk SMK), pembinaan, pemantauan,
pengawasan, dan pelaporan, rapat-rapat pengurus sekolah, dan kegiatan komite
sekolah. Biaya investasi meliputi biaya-biaya untuk mengadakan atau menyediakan
lahan, bangunan, peralatan dan perlengkapan, perabot dan mebeler, buku teks,
sumber, dan bacaan, jaringan listrik, telepon, air, dan gas, taman, fasilitas olah raga,
dan lain-lain. (Hal 44, 83).

Studi II Hasil Penelitian Penyusunan Biaya Satuan Pendidikan SD, SMP, SMA, dan
SMK negeri (Biro Keuangan, 2001). Satuan biaya dimaksud adalah biaya per siswa
per tahun. Untuk SDN dengan sumber dana subsidi pemerintah, iuran
BP3/sumbangan siswa, kontribusi masyarakat, dan kontribusi sekolah. (Hal. 53).
Untuk SMPN dengan sumber dana subsidi pemerintah, kontribusi masyarakat,
sumbangan lainnya, dan keluarga siswa (Hal. 90). Untuk SMAN dengan sumber
dana subsidi pemerintah, kontribusi masyarakat, sumbangan lainnya, dan keluarga
siswa (Hal. 124). Untuk SMKN dengan sumber dana subsidi pemerintah,
kontribusi masyarakat, sumbangan lainnya, dan keluarga siswa (Hal. 154).

Studi III Standarisasi biaya pendidikan madrasah, MI, MTs, MA, (Puslitbang Depag,
2002). Satuan biaya dimaksud adalah biaya per siswa per tahun. Untuk MIS
dengan sumber dana subsidi pemerintah (dalam RAPBM), iuran BP3/sumbangan
siswa (dalam RAPBM), dan kontribusi masyarakat/yayasan (dalam RAPBM), (Hal.
49). Untuk MTs dengan sumber dana subsidi pemerintah (dalam RAPBM), iuran
BP3/sumbangan siswa (dalam RAPBM), dan kontribusi masyarakat/yayasan
(dalam RAPBM), (Hal. 70). Untuk MAS dengan sumber dana subsidi pemerintah
(dalam RAPBM), iuran BP3/sumbangan siswa (dalam RAPBM), dan kontribusi
masyarakat/yayasan (dalam RAPBM), (Hal. 91).

Studi IV Studi keuangan PT Hickling (1997). Data yang digunakan data pengeluaran
pendidikan tahun 1995/1996. Biaya satuan diperhitungkan sebagai pengeluaran per
siswa per tahun. Pengeluaran meliputi gaji termasuk honor dan non gaji.

Studi V Analisis biaya pendidikan oleh BPS (2000). Berdasarkan hasil Susenas 1998,
rata-rata biaya pendidikan per siswa per semester SD sebesar Rp74.432, SMP
sebesar Rp204.158, dan SM sebesar Rp377.088, meliputi biaya pendaftaran, iuran,
evaluasi, bahan penunjang seragam sekolah dan olahraga, buku, alat tulis dan
perlengkapan sekolah, transportasi, kursus, dan lainnya, (hal 35).

34
BAB III
KERANGKA PIKIR PENYUSUNAN STANDAR BIAYA

Berdasarkan rujukan peraturan perundang-undangan yang disampaikan di Bab 1


dan kajian teoritis dan empiris yang ada dalam Bab 2, dapat disimpulkan bahwa standar
biaya pendidikan adalah nilai uang dari sumber daya pendidikan (yang mencakup
pendidik dan tenaga kependidikan serta sarana dan prasarana) yang standar yang
dibutuhkan untuk penyelenggaraan pendidikan dengan proses belajar mengajar dan
pengelolaan pendidikan yang standar yang menggunakan kurikulum dan penilaian yang
standar untuk menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang standar. Seperti
digambarkan dalam Gambar 3-1, untuk menghasilkan kompetensi lulusan yang standar
perlu diterapkan kurikulum dan penilaian pendidikan yang standar. Dalam menerapkan
kurikulum pendidikan yang standar perlu dilaksanakan proses belajar mengajar dan
pengelolaan pendidikan yang standar. Untuk dapat dilaksanakan proses belajar mengajar,
pengelolaan pendidikan, dan penilaian pendidikan yang standar dibutuhkan pendidik dan
tenaga kependidikan serta sarana dan prasarana pendidikan yang standar. Penggunaan
pendidik dan tenaga kependidikan serta sarana dan prasarana pendidikan yang standar
berimplikasi pada biaya pendidikan yang standar. Standar kompetensi lulusan, standar
kurikulum pendidikan, standar penilaian pendidikan, standar proses belajar mengajar,
standar pengelolaan pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan dan standar
sarana dan prasaraana pendidikan dikembangkan oleh BSNP.

Kompetensi
Lulusan

Isi
(Kurikulum)

Penilaian
Proses Pengelolaan Pendidikan

Pendidik Sarana dan Tenaga


Prasarana Kependidikan

Biaya

Keterangan : Gambar Pendidik dan Tenaga Kependidikan merupakan satu kesatuan


Standar Pendidik dan Kependidikan

Biaya pendidikan yang dimaksud adalah biaya untuk satuan pendidikan. Biaya
pendidikan di satuan pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam biaya operasional
pendidikan dan biaya investasi pendidikan. (Lihat Gambar 3-2). Biaya operasional

35
pendidikan adalah biaya untuk pengadaan sumber daya pendidikan yang habis pakai
dalam satu tahun atau kurang, atau biaya yang dikeluarkan berulang-ulang setiap
tahunnya. Biaya pendidikan operasional ini meliputi biaya personalia dan biaya non
personalia. Biaya personalia terdiri atas: a) gaji pendidik dan segala tunjangan yang
melekat pada gaji; b) gaji pendidik dan segala tunjangan yang melekat pada gaji serta
tunjangan struktural. Biaya non personalia terdiri atas: a) alat dan bahan habis pakai, b)
alat tulis sekolah, c) daya dan jasa, d) pemeliharaan sarana dan prasarana, e) transportasi,
f). konsumsi, g) asuransi, h) pembinaan siswa, i) pelaporan, dan j) uji kompetensi dan
prakerin (khusus untuk SMK).

Gambar 3-2 Struktur Biaya Pendidikan

BIAYA SATUAN PENDIDIKAN

OPERASIONAL INVESTASI

PERSONALIA NON PERSONALIA

TENAGA PENDIDIK ALAT & BAHAN HABIS PAKAI

PEMELIHARAAN DAN
TENAGA KEPENDIDIKAN
PERBAIKAN SARANA DAN PRASARANA

DAYA DAN JASA


ALAT TULIS SEKOLAH

TRANSPORTASI

PELAPORAN
KONSUMSI

ASURANSI
UJI KOMPETENSI

PEMBINAAN SISWA 7

Biaya pendidikan yang dimaksud dalam standar ini adalah Biaya operasional
pendidikan yaitu biaya untuk pengadaan sumber daya pendidikan yang habis pakai
dalam satu tahun atau kurang, atau biaya yang dikeluarkan berulang-ulang setiap
tahunnya. Biaya pendidikan operasional ini meliputi biaya personalia dan biaya non
personalia.
1. Biaya personalia terdiri atas:
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, biaya personalia terdiri
atas:
a. Gaji pokok serta tunjangan yang melekat pada gaji, dan
b. Penghasilan lain yang terdiri atas: tunjangan profesi, tunjangan fungsional,
tunjangan khusus, dan maslahat tambahan.

36
Tunjangan Melekat

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tunjangan yang melekat


pada gaji yang meliputi tunjangan:
1) Isteri/suami 10% dari gaji pokok
2) Anak 2% dari gaji pokok dengan batas maksimal dua orang anak hingga usia 21
tahun atau belum pernah menikah atau belum berumur 25 tahun kuliah dan belum
pernah menikah,
3) Beras, dan
4) khusus, yakni diberikan sebagai pengganti apabila yang bersangkutan terkena
pajak penghasilan sejumlah potongan yang terkena pajak

Tunjangan Profesi

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tunjangan profesi


diberikan kepada guru yang telah memilikisertifikat pendidik yang diangkat oleh
penyelenggara pendidikan/satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
dan besarnya tunjangan setara dengan satu kali gaji pokok guru.

Tunjangan Fungsional

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tunjangan fungsional


diberikan kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dan besarnya tunjangan mengikuti subsidi
yang dialokasikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.

Tunjangan Khusus

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tunjangan khusus


diberikan kepada guru yang bertugas di daerah khusus.

Maslahat Tambahan

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maslahat tambahan


diberikan sebagai tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan
pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru serta
kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan
kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

2. Biaya non personalia terdiri atas:


a. Biaya alat tulis sekolah (ATS)
Biaya alat tulis sekolah adalah biaya untuk pengadaan alat tulis sekolah yang
dibutuhkan untuk pengelolaan sekolah dan proses belajar.
b. Biaya bahan dan alat habis pakai
• Biaya bahan habis pakai adalah biaya untuk pengadaan bahan-bahan
praktikum IPA, bahan-bahan praktikum IPS, bahan-bahan praktikum bahasa,

37
bahan-bahan praktikum komputer, bahan-bahan praktikum ketrampilan,
bahan-bahan olah raga, bahan-bahan kebersihan, bahan-bahan kesehatan dan
keselamatan, tinta stempel, toner/tinta printer, dll yang habis dipakai dalam
satu tahun atau kurang.
• Biaya alat habis pakai adalah biaya untuk pengadaan alat-alat praktikum IPA,
alat-alat praktikum IPS, alat-alat praktikum bahasa, alat-alat praktikum
komputer, alat-alat praktikum ketrampilan, alat-alat olah raga, alat-alat
kebersihan, alat-alat kesehatan dan keselamatan, tinta stempel, toner/tinta
printer, dll yang habis dipakai dalam satu tahun atau kurang.

c. Biaya pemeliharaan dan perbaikan ringan


Biaya pemeliharaan dan perbaikan ringan adalah biaya untuk memelihara dan
memperbaiki sarana dan parasana sekolah/madrasah untuk mempertahankan
kualitas sarana dan prasarana sekolah/madrasah agar layak digunakan sebagai
tempat belajar dan mengajar.

d. Biaya daya dan jasa


Biaya daya dan jasa merupakan biaya untuk membayar langganan daya dan jasa
yang yang mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah/madrasah seperti
listrik, telepon, air, dll.

e. Biaya transportasi/perjalanan dinas


Biaya transpor/perjalanan dinas adalah biaya untuk berbagai keperluan perjalanan
dinas pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik baik dalam kota maupun
luar kota.

f. Biaya konsumsi
Biaya konsumsi adalah biaya untuk penyediaan konsumsi dalam kegiatan
sekolah/madrasah yang layak disediakan konsumsi seperti rapat-rapat
sekolah/madrasah, perlobaan di sekolah/madrasah, dll.

g. Biaya asuransi
Biaya asuransi adalah biaya membayar premi asuransi untuk keamanan dan
keselamatan sekolah/madrasah, pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik
seperti asuransi kebakaran, asuransi bencana alam, asuransi kecelakaan praktek
kerja di industri, dll.

h. Biaya pembinaan siswa/ekstra kurikuler


Biaya pembinaan siswa/ekstrakurikuler adalah biaya untuk menyelenggarakan
kegiatan pembinaan siswa melalui kegiatan ekstra kurikuler seperti mencakup
Pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), Unit Kesehatan Sekolah (UKS),
Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), olah raga, kesenian, lomba bidang akademik,
perpisahan kelas terakhir, pembinaan kegiatan keagamaan, dll

i. Biaya uji kompetensi

38
Biaya uji kompetensi adalah biaya untuk penyelenggaraan ujian kompetensi bagi
peserta didik Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang akan lulus.

j. Biaya praktek kerja industri


Biaya praktek kerja industri (prakerin) adalah biaya untuk penyelenggaraan
praktek industri bagi peserta didik SMK

k. Biaya pelaporan.
Biaya pelaporan adalah biaya untuk menyusun dan mengirimkan laporan
sekolah/madrasah kepada pihak yang berwenang.

39
BAB IV
METODE PENGUMPULAN DATA DAN PENGHITUNGAN BIAYA

Survei ini ditujukan untuk menjaring data dan informasi yang akurat tentang
biaya operasi pendidikan sesuai dengan kondisi lapangan dan judgement tim ahli
pembiayaan pendidikan sebagai bahan untuk menentukan standar pembiayaan pendidikan
khusus pada biaya operasi (PP No. 19 Tahun 2005) di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
SMK dan SLB. Untuk mencapai tujuan tersebut disusun desain survei sebagai berikut.

4.1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penentuan standar biaya pendidikan ini adalah
penerapan standar-standar pendidikan nasional ke dalam biaya pendidikan. Sumber daya
pendidikan yang meliputi pendidik dan tenaga kependidikan serta sarana dan prasarana
pendidikan yang dibutuhkan yang sesuai dengan standar yang ditetapkan diidentifikasi
dan divalidasi dengan data yang ada di satuan pendidikan yang diambil melalui studi
kasus. Dalam studi kasus ini dipilih satuan pendidikan yang memenuhi standar
pendidikan. Sumber daya pendidikan tersebut dinilai dengan uang dengan menggunakan
harga pasar dan peraturan yang berlaku. Harga pasar yang dipilih adalah harga di DKI
Jakarta.

4.2. Komponen Biaya Operasional Pendidikan

Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya
operasi satuan pendidikan yang berlaku satu tahun. Pendekatan yang digunakan dalam
penghitungan biaya pendidikan sekolah umum (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA), SMK dan
SLB (SDLB, SMPLB, dan SMALB) adalah dengan pendekatan input (sumberdaya).
Komponen biaya operasional pendidikan yang dikumpulkan meliputi komponen-
komponen biaya operasional pendidikan yang terdiri dari biaya pegawai/personalia dan
bukan-pegawai/non personalia. Secara rinci biaya operasional disajikan dalam lampiran:

40
4.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan studi kasus, yaitu dengan cara
mengambil data dari 6 provinsi meliputi provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, DIY, DKI,
Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan . Dari 6 provinsi tersebut diambil sebanyak 3
SD/MI, 4 SMP/MTS, 5 SMA/MAN, 230 data dari sekolah menengah kejuruan
sebanyak 75 program keahlian, dan 15 data dari sekolah luar biasa dengan rincian 1
ketunaan pada setiap jenjang pendidikan SDLB, SMPLB, dan SMALB. Diharapkan
sampel tersebut dapat mewakili keragaman jenis program secara nasional. Pengumpulan
dokumen yang relevan, pengisian kuesioner oleh sekolah/madrasah, SMK dan SLB, serta
wawancara dan observasi lapangan sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan. Survei
pembiayaan biaya operasi pendidikan dilakukan dengan pendekatan mikro dengan
menggunakan sekolah sebagai unit analisis.

4.4.Metode Penghitungan Biaya Pendidikan

4.4.1. Asumsi Jumlah Siswa

JUMLAH JUMLAH JUMLAH


ROMBEL SISWA/ROMBEL SISWA/SEKOLAH

SD/MI 6 28 168

SMP/MTs 6 32 192

SMA/MA 6 32 192

SDLB 6 5 30

SMPLB 3 8 24

SMALB 3 8 24

SMK 12*) 32 384

*) setiap sekolah memiliki 2 program keahlian dan setiap program keahlian memiliki 6
rombel

41
4.4.2. Asumsi Kebutuhan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

4.4.2.1 SD/MI
1) Jumlah personalia yang dibutuhkan 9 (sembilan) pendidik dan empat tenaga
kependidikan. Sembilan pendidik tersebut terdiri dari satu kepala sekolah, enam
pendidik kelas yang mengajar semua mata pelajaran dan dua pendidik yang masing-
masing khusus mengajar mata pelajaran Agama dan mata pelajaran Olah Raga (Pasal
30 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan). Empat tenaga
kependidikan tersebut terdiri dari satu kepala sekolah, satu tenaga tata usaha, satu
pustakawan, dan satu tenaga kebersihan yang merangkap sebagai tenaga keamanan
(Pasal 35 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
2) Kualifikasi Pendidik: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat
(D-IV) atau sarjana (S1), b) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan
SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi, dan c) sertifikat profesi pendidik untuk
SD/MI (Pasal 29 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
Diperkirakan 10% pendidik memiliki sertifikat profesi pendidik untuk SD/MI.
3) Kualifikasi Kepala sekolah/madrasah berstatus pendidik SD/MI dan memiliki
pengalaman mengajar di SD/MI minimal lima tahun (Pasal 38 PP No. 19 Th 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan).

4.4.2.2 SMP/MTs
1) Jumlah personalia 13 pendidik dan enam tenaga kependidikan. Tiga belas pendidik
tersebut terdiri dari 10 pendidik yang mengajar 10 mata pelajaran untuk SMP/MTs,
satu guru pengajar muatan lokal, satu guru pengembangan diri, dan satu konselor.
(Pasal 30 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan). Enam tenaga
kependidikan tersebut terdiri dari satu kepala sekolah, satu tenaga tata usaha, satu
tenaga laboran, satu pustakawan, satu tenaga teknisi, dan satu tenaga kebersihan yang
merangkap sebagai tenaga keamanan (Pasal 35 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan).
2) Kualifikasi Pendidik: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat
(D-IV) atau sarjana (S1), b) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan
SMP/MTS, kependidikan lain, atau psikologi, dan c) sertifikat profesi pendidik untuk
SMP/MTS (Pasal 29 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
Diperkirakan 20% pendidik memiliki sertifikat profesi pendidik untuk SMP/MTS. .
3) Kualifikasi Kepala sekolah/madrasah berstatus pendidik SMP/MTS dan memiliki
pengalaman mengajar di SMP/MTS minimal lima tahun (Pasal 38 PP No. 19 Th
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).

4.4.2.3 SMA/MA

1) Jumlah personalia untuk SMA/MA sebanyak 19 pendidik dan 10 tenaga


kependidikan (Kolom-kolom 1 dan 2). Sembilas belas pendidik tersebut terdiri dari
16 pendidik yang mengajar 16 mata pelajaran untuk SMA/MA, satu Pendidik
pengajar muatan lokal, satu Pendidik pengembangan diri, dan satu konselor. (Pasal
30 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan). Enam tenaga

42
kependidikan tersebut terdiri dari satu kepala sekolah, satu tenaga tata usaha, satu
tenaga laboran, satu pustakawan, satu tenaga teknisi, dan satu tenaga kebersihan yang
merangkap sebagai tenaga keamanan (Pasal 35 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan).
2) Kualifikasi Pendidik: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat
(D-IV) atau sarjana (S1), b) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan
SMA/MA, kependidikan lain, atau psikologi, dan c) sertifikat profesi pendidik untuk
SMA/MA (Pasal 29 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
Diperkirakan 30% pendidik memiliki sertifikat profesi pendidik untuk SMA/MA.
3) Kualifikasi Kepala sekolah/madrasah berstatus pendidik SMA/MA dan memiliki
pengalaman mengajar di SMA/MA minimal lima tahun (Pasal 38 PP No. 19 Th 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan).

4.4.2.4 Sekolah Khusus/Luar Biasa

4.4.2.4.1 Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)

1) Jumlah personalia yang dibutuhkan oleh SDLB adalah sebanyak delapan pendidik
dan lima tenaga kependidikan serta dua tenaga Ahli. Delapan pendidik tersebut
terdiri dari enam pendidik/guru kelas yang mengajar semua mata pelajaran dan dua
pendidik yang masing-masing khusus mengajar mata pelajaran Agama dan mata
pelajaran Olah Rag (Pasal 30 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan). Lima tenaga kependidikan tersebut terdiri dari satu tenaga tata usaha,
satu pustakawan, dua tenaga terapis, dan satu tenaga kebersihan yang merangkap
sebagai tenaga keamanan (Pasal 35 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan).
2) Kualifikasi Pendidik: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat
(D-IV) atau sarjana (S1), b) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan
SD/MI/SDLB, kependidikan lain, atau psikologi, dan c) sertifikat profesi pendidik
untuk SD/MI/SDLB (Pasal 29 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan). Diperkirakan 10% pendidik memiliki sertifikat profesi pendidik untuk
SD/MI/SDLB. Dua tenaga ahli terdiri atas dokter dan psikolog yang secara periodik
(1 bulan 2 kali) didatangkan ke sekolah.
3) Kualifikasi Kepala sekolah/madrasah berstatus pendidik SD/MI/SDLB yang
mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah dan memiliki pengalaman
mengajar di SD/MI/SDLB minimal lima tahun (Pasal 38 PP No. 19 Th 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan).

4.4.2.4.2 Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB)

1) Jumlah personalis yang dibutuhkan untuk SMPLB adalah sebanyak 14 orang


pendidik dan tujuh tenaga kependidikan serta dua tenaga Ahli. Empat belas orang
pendidik terdiri atas 13 pendidik yang mengajar 13 mata pelajaran dan satu orang
guru konselor. Tujuh tenaga kependidikan tersebut terdiri dari satu tenaga laboran,
satu tenaga pustakawan, satu tenaga teknisi, dua tenaga tata usaha, dan satu tenaga
pekerja sosial, dan satu tenaga kebersihan yang merangkap sebagai tenaga keamanan

43
(Pasal 35 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan). Dua tenaga ahli
terdiri atas dokter dan psikolog yang secara periodik (1 bulan 2 kali) didatangkan ke
sekolah.
2) Pendidik memiliki: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-
IV) atau sarjana (S1) bidang studi, b) latar belakang pendidikan tinggi PLB,
kependidikan lain, atau psikologi, dan c) sertifikat profesi pendidik untuk
SMP/MTS/SMPLB (Pasal 29 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan). Diperkirakan 20% pendidik memiliki sertifikat profesi pendidik untuk
SMP/MTS/SMPLB.
3) Kualifikasi Kepala sekolah/madrasah dan wakil kepala sekolah berstatus pendidik
SMP/MTS/SMPLB yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah dan wakil
kepala sekolah yang memiliki pengalaman mengajar di SMP/MTS/SMPLB minimal
lima tahun (Pasal 38 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).

4.4.2.4.3 Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB)

1) Jumlah personalia yang dibutuhkan untuk SMALB adalah sebanyak 18 orang


pendidik dan 10 tenaga kependidikan serta dua tenaga Ahli. 18 orang pendidik terdiri
atas 17 pendidik yang mengajar 17 mata pelajaran dan satu orang pendidik/guru
konselor.Sepuluh tenaga kependidikan tersebut terdiri dari satu tenaga laboran, satu
tenaga pustakawan, dua tenaga teknisi, dua tenaga tata usaha, dua tenaga terapis yaitu
speech dan physical terapis, satu tenaga pekerja sosial, dan satu tenaga kebersihan
yang merangkap sebagai tenaga keamanan (Pasal 35 PP No. 19 Th 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan). Dua tenaga ahli terdiri atas dokter anak, dokter THT,
dan psikolog yang secara periodik (1 bulan 2 kali) didatangkan ke sekolah.
2) Pendidik memiliki: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-
IV) atau sarjana (S1) bidang studi, b) latar belakang pendidikan tinggi PLB,
kependidikan lain, atau psikologi, dan c) sertifikat profesi pendidik untuk
SMA/MA/SMALB (Pasal 29 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan). Diperkirakan 30% pendidik memiliki sertifikat profesi pendidik untuk
SMA/MA/SMALB.
3) Kualifikasi Kepala sekolah/madrasah dan wakil kepala sekolah berstatus pendidik
SMA/MA/SMALB yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah dan wakil
kepala sekolah yang memiliki pengalaman mengajar di SMA/MA/SMALB minimal
lima tahun (Pasal 38 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).

4.4.2.5 SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)

4.4.2.5.1 SMK Teknik.

1) Jumlah personalia yang dibutuhkan adalah 58 (lima puluh delapan) pendidik dan
delapan tenaga kependidikan. Lima puluh delapan pendidik tersebut terdiri dari
lima pendidik mata pelajaran normatif, 14 pendidik untuk mata pelajaran adaptif,
dan 33 pendidik untuk mata pelajaran produktif, dua pendidik mata pelajaran

44
lokal, dua pendidik pengembangan diri, dan dua Pendidik BP. Delapan tenaga
kependidikan tersebut terdiri dari satu kepala sekolah, dua wakil kepala sekolah,
satu tenaga tata usaha, satu tenaga perpustakaan, satu tenaga laboran, satu tenaga
teknisi, dan satu tenaga kebersihan yang merangkap sebagai tenaga keamanan
(Pasal 35 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan)
2) Kualifikasi pendidik: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma
empat (D-IV) atau sarjana (S1), b) latar belakang pendidikan tinggi sesuai dengan
program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan , dan c)
sertifikat profesi pendidik untuk SMK (Pasal 29 PP No. 19 Th 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan). Diperkirakan 30% pendidik memiliki sertifikat
profesi pendidik.
3) Kualifikasi Kepala sekolah dan wakil kepala sekolah berstatus pendidik SMK dan
memiliki pengalaman mengajar di SMK minimal lima tahun (Pasal 38 PP No. 19
Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).

Asumsi perhitungan kebutuhan tenaga pendidik

1) Standar Jam Belajar Peserta Didik/minggu/rombel mengacu pada standar isi,


yaitu beban belajar peserta didik terdiri atas:

• Normatif 9 jam/minggu terdiri atas 5 mata pelajaran


• Adaptif 19 jam/minggu terdiri atas 8 mata pelajaran
• Produktif 22 jam/minggu
• Muatan lokal 2 jam/minggu
• Pengembangan diri 2 jam/minggu
Sehingga total jam belajar adalah = 54 jam/minggu @ 45 menit

2) Standar Jam Mengajar Guru mengacu pada Standar Pengelolaan yaitu 24 jam
per minggu

3) Ukuran Rombel, mengacu pada Standar Pengelolaan yaitu:


 32 peserta/rombel untuk mata pelajaran teori
 16 peserta/rombel untuk mata pelajaran praktek laboratorium
 8 peserta/rombel untuk mata pelajaran praktek bengkel/workshop

4) Asumsi
 Mata Pelajaran Normatif : teori 9 jam/minggu
 Mata Pelajaran Adaptif : teori 19 jam/minggu
1) 60% Teori = 0,6 X 19 jam = 11,4 jam/minggu
2) 40% Praktek Laboratori = 0,4 X 19 jam = 7,6 jam/minggu

 Mata Pelajaran Produktif 22 jam/minggu terdiri atas:


1) 33,33% Teori = 0,333 X 22 jam = 7,34 jam/minggu
2) 66,66% Praktek Bengk/Work = 0,666 X 22 jam=14,66 jam/minggu

45
 Muatan lokal 2 jam/minggu merupakan pelajaran Laboratori
 Pengembangan diri 2 jam/minggu merupakan pelajaran laboratori

Jumlah Guru Smk Teknik Yang Diperlukan: (2 PK = 12 rombel)

Mengacu ketentuan tersebut di atas maka:


Peserta didik ada sebanyak 12 rombel Teori
Peserta didik ada sebanyak 2 X 12 = 24rombel Praktek Laboratori
Peserta didik ada sebanyak 2 X 2 X 12 = 48 rombel Praktek Bengk./Workshop

Jumlah kebutuhan guru:

1. Mata Pelajaran Normatif: 9 jam/minggu memerlukan guru sebanyak


= (9 jam/rombel X 12 rombel) : 24 jam/guru = 108 : 24 = 4.5 ≈ 5 orang guru
Terdapat 5 mata pelajaran normatif maka harus ada 5 orang
guru dari 5 mata pelajaran berbeda

2. Mata Pelajaran Adaptif: 19 jam/minggu terdiri atas


Teori: 11,4 jam/minggu /rombel memerlukan guru sebanyak
= (11,4 jam X 12 rombel) : 24 jam/guru/ minggu
= 136.8 : 24 = 5.7 orang guru

Praktek Laboratori: 7.6 jam/minggu/rombel memerlukan guru sebanyak


= (7.6 jam x 2 x 12 rombel) : 24 jam/guru/minggu
= 182.4 : 24 = 7.6 orang guru

Kebutuhan guru mata pelajaran adaptif: 5.7 + 7.6 = 13.3 = 14 orang guru

3. Mata Pelajaran Produktif: 22 jam pelajaran terdiri atas


a. Teori: 7,34 jam/minggu/rombel memerlukan guru sebanyak
= (7,34 jam X 12 rombel) : 24 jam/guru/ minggu
= 88.08 : 24 = 3.67 orang guru
b. Praktek Bengk./Work.: 14,66 jam/minggu/rombel memerlukan guru sebanyak
= (14,66 jam X 48 rombel) : 24 jam/guru/ mingg = 29.32orang guru
Jumlah = a + b = 3.67 + 29.32 = 32,99 ≈ 33 orang guru
4. Muatan Lokal: 2 jam (1 mata pelajaran Praktek laboratori)
Jumlah guru yang diperlukan = (2 jam/rombel x 12 rombel) : 24
= 48: 24 = 2 orang guru

5. Pengembangan Diri: 2 jam (1 mata pelajaran Praktek laboratori)


Jumlah guru yang diperlukan = (2 jam/rombel X 12 rombel) : 24
= 48 : 24 = 2orang guru

6. Guru BK: satu (1) orang guru per 150 peserta didik. Jadi untuk 12 rombel X 32
orang
= 384 orang peserta didik cukup dilayani oleh dua (2) orang guru BK

46
Jadi jumlah total guru yang diperlukan untuk 12 rombel adalah
= 5 + 8 + 33 + 2 + 2 + 2 = 58 orang guru

4.4.2.4.2 SMK Non Teknik

1) Jumlah personalia yang dibutuhkan sebanyak 49 (empat puluh sembilan) pendidik


dan delapan tenaga kependidikan. Empat puluh sembilan pendidik tersebut terdiri
dari lima pendidik mata pelajaran normatif, delapan pendidik untuk mata pelajaran
adaptif, dan 30 pendidik untuk mata pelajaran produktif, dua pendidik mata pelajaran
lokal, dua pendidik pengembangan diri, dan dua Pendidik BP. Delapan tenaga
kependidikan tersebut terdiri dari satu kepala sekolah, dua wakil kepala sekolah, satu
tenaga tata usaha, satu tenaga perpustakaan, satu tenaga laboran, satu tenaga teknisi,
dan satu tenaga kebersihan yang merangkap sebagai tenaga keamanan (Pasal 35 PP
No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
2) Kualifikasi Pendidik: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat
(D-IV) atau sarjana (S1), b) latar belakang pendidikan tinggi sesuai dengan program
pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, dan c) sertifikat
profesi pendidik untuk SMK (Pasal 29 PP No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan). Diperkirakan 30% pendidik memiliki sertifikat profesi pendidik.
3) Kualifikasi Kepala sekolah dan wakil kepala sekolah berstatus pendidik SMK dan
memiliki pengalaman mengajar di SMK minimal lima tahun (Pasal 38 PP No. 19 Th
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).

1. Standar Jam Belajar Peserta Didik/minggu/rombel mengacu pada standar isi,


yaitu beban belajar peserta didik terdiri atas:
 Normatif 10 jam/minggu terdiri atas 5 mata pelajaran
 Adaptif 16 jam/minggu terdiri atas 7 mata pelajaran
 Produktif 20 jam/minggu
 Muatan lokal 2 jam/minggu
 Pengembangan diri 2 jam/minggu
Sehingga total jam belajar adalah 50 jam per minggu @ 45 menit

2. Standar Jam Mengajar Guru mengacu pada Standar Pengelolaan yaitu 24 jam
per minggu
3. Ukuran Rombel, mengacu pada Standar Pengelolaan yaitu:
 32 peserta/rombel untuk mata pelajaran teori
 16 peserta/rombel untuk mata pelajaran praktek laboratorium
 8 peserta/rombel untuk mata pelajaran praktek bengkel/workshop
4. Asumsi
 Mata Pelajaran Normatif : teori 10 jam/minggu
 Mata Pelajaran Adaptif : teori 16 jam/minggu
 Mata Pelajaran Produktif 20 jam/minggu terdiri atas:
1) 33,33% Teori = 0,333 X 20 jam = 6,66 jam/minggu
2) 66,66% Praktek Bengk/Work = 0,666 X 20 jam=13,34 jam/minggu

47
 Muatan lokal 2 jam/minggu merupakan pelajaran Laboratori
 Pengembangan diri 2 jam/minggu merupakan pelajaran laboratori

Jumlah Guru Smk Non Teknik Yang Diperlukan: (2 PK = 12 rombel)

Mengacu ketentuan tersebut di atas maka:


Peserta didik ada sebanyak 12 rombel Teori
Peserta didik ada sebanyak 2 X 12 = 24 rombel Praktek Laboratori
Peserta didik ada sebanyak 2 X 2 X 12 = 48 rombel Praktek Bengkel/Workshop
Jumlah kebutuhan guru

1. Mata Pelajaran Normatif: 10 jam/minggu memerlukan guru sebanyak


= (10 jam/rombel X 12 rombel) : 24 jam/guru = 120 : 24 = 5 orang guru

2. Mata Pelajaran Adaptif: 16 jam/minggu terdiri atas


Teori: 16 jam/minggu/rombel memerlukan guru sebanyak
= (16 jam X 12 rombel): 24 jam/guru/ minggu
= 96 : 24= 8 orang guru

3. Mata Pelajaran Produktif: 20 jam pelajaran terdiri atas


a. Teori: 6,66 jam/minggu/rombel memerlukan guru sebanyak
= (6,66 jam X 12 rombel) : 24 jam/guru/ minggu
= 80 : 24 = 3.33 orang guru
b. Praktek Bengk./Work.: 13,34 jam/minggu/rombel memerlukan guru sebanyak
= (13,34 jam X 48 rombel) : 24 jam/guru/ minggu
= 26.68 orang guru
Jumlah a + b = 3.33 + 26.68 = 30 orang guru

4. Muatan Lokal: 2 jam (1 mata pelajaran Praktek laboratori)


Jumlah guru yang diperlukan = (2 jam/rombel X 24 rombel) : 24
= 48 : 24 = 2 orang guru

5. Pengembangan Diri: 2 jam (1 mata pelajaran Praktek laboratori)


Jumlah guru yang diperlukan = (2 jam/rombel X 24 rombel) : 24
= 48 : 24 = 2 orang guru

6. Guru BK: 1 orang guru per 150 peserta didik. Jadi untuk 12 rombel X 32 orang
= 384 orang peserta didik cukup dilayani oleh satu (2) orang guru BK

Jadi jumlah total guru yang diperlukan untuk 6 rombel adalah


= 5 + 8 + 30 + 2 + 2 + 2= 49 orang guru

48
4.4.3 Penentuan Biaya Personalia

Biaya pegawai dihitung berdasarkan asumsi 12 bulan gaji dan tunjangan dalam setahun
terdiri dari:
a) gaji pokok pendidik dengan rata-rata Golongan IIIA dan pengalaman mengajar 0
sampai 1 tahun yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 66/ 2005, PP No.
9/2007, dan PP No. 10/2008 tentang Daftar Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil adalah
Rp1.440.600 per bulan;
b) tunjangan yang melekat untuk pendidik dengan rata-rata Golongan III A dan
memiliki seorang isteri dan dua orang anak yang didasarkan pada Peraturan Presiden
No. 12 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum bagi Pegawai Negeri Sipil adalah
Rp185 ribu per bulan;
c) tunjangan fungsional pendidik dengan rata-rata Golongan III yang didasarkan pada
Peraturan Presiden No. 58 Tahun 2006 tentang Tunjangan Tenaga Kependidikan
adalah Rp227 ribu per bulan;
d) tunjangan profesi pendidik yang didasarkan pada UU No. 14 Tahun 2005 tentang
Pendidik dan Dosen Pasal 16 ayat 2 adalah sebesar satu kali gaji pokok pendidik
tersebut;
e) gaji dan tunjangan kepala sekolah dengan rata-rata Golongan IIIC dan pengalaman
mengajar selama 5 tahun yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan yang melekat,
tunjangan profesi, dan tunjangan fungsional yang berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan seperti butir-butir a, b, c, dan d.
f) gaji dan tunjangan wakil kepala sekolah dengan rata-rata Golongan IIIC dan
pengalaman mengajar selama 5 tahun yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan yang
melekat, tunjangan profesi, dan tunjangan fungsional yang berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan seperti butir-butir a, b, c, dan d. khusus untuk
tunjangan untuk wakil kepala sekolah dihitung sebesar 90% dari tunjangan kepala
sekolah.
g) gaji dan tunjangan tenaga tata pustakawan, teknisi, dan laboran diasumsikan berada
pada golongan II B dengan masa kerja tiga tahun, tenaga tata usaha II A dengan masa
kerja 0 tahun, sedangkan tenaga kebersihan dengan golongan I B dengan masa kerja
3 tahun.
h) Untuk SLB, biaya Tenaga ahli (dokter dan Psikolog) dibayarkan dalam bentuk honor
sebesar Rp 300.000,- setiap kali hadir sebanyak 24 kali dalam satu tahun.

4.4.4. Biaya Non Personalia

Biaya non personalia dihitung berdasarkan asumsi kebutuhan setahun yaitu terdiri atas :
a) alat dan bahan habis pakai, b) alat tulis sekolah, c) daya dan jasa, d) pemeliharaan
sarana dan prasarana, e) transportasi, f). konsumsi, g) asuransi, h) pembinaan siswa, i)
pelaporan, dan j) uji kompetensi dan prakerin (khusus untuk SMK). perhitungan dan
rincian disajikan pada Lampiran.

49

También podría gustarte