Está en la página 1de 38

Bab 3

Advokasi
Damai
Penyusun:
Esther Ahaswasty Day, (Pusat Informasi Advokasi Rakyat, Kupang)
Arief Rachman (LIMIT ornop for Social Transformation, Kendari)
Didik S. Mulyana (IFC, Grobogan)
John Lefmanut (Yayasan Tita Mae, Ambon)
Guswarman (Mitra Bentala, Lampung)
Kris Drijodemite (CRS, Kupang)

Didukung oleh:
Roem Topatimasang (INSIST, Jogjakarta), Fasilitator
Buyung (SBPY, Jogjakarta), Administrator

Advokasi Damai
87
Advokasi Damai
88
Daftar Isi

Bagian 1
 Pendahuluan

Bagian 2
 Belajar dari Pengalaman
– Rakyat Menentang Penambangan Marmer di Mollo Utara,
Pulau Timor
– Pengusiran Masyarakat Adat Moronene di Taman Nasional
Rawa Aopa, Sulawesi Tenggara
– Buruh Tani Mantan Tahanan Politik Memperjuangkan
Hak-hak Mereka di Grobogan, Jawa Tengah

Bagian 3
 Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
– Pengertian dan Prinsip Dasar Advokasi
– Langkah-langkah Advokasi

Bagian 4
 Saran-saran Praktis
– Hal-hal yang Perlu Dilakukan oleh Pelaku Advokasi
– Menetapkan Ukuran-ukuran Keberhasilan

Bagian 5
 Peringatan-peringatan Penting

Bagian 6
 Sumber-sumber Belajar
– Daftar Organisasi-organisasi Pendukung
– Daftar Pustaka

Advokasi Damai
89
Advokasi Damai
90
Bagian 1
Pendahuluan

B ab yang akan Anda baca berikut ini dimulai dengan tiga contoh kasus.
Pertama, kasus sengketa tanah dan sumber daya alam antara rakyat Mollo Utara
di Timor Barat berhadapan dengan satu perusahaan swasta yang melakukan
Advokasi adalah proses
penambangan batu marmer di sana yang didukung oleh pemerintah daerah proaktif, dengan berbagai
setempat. Kedua, kasus pengusiran masyarakat adat Moronene, penghuni cara dan strategi, secara
kawasan hutan Taman Nasional Rawa Aopa Warumohai, oleh Dinas Kehutanan terus-menerus dan
bertanggung jawab,
Propinsi Sulawesi Tenggara. Ketiga, kasus rakyat buruh tani di Kabupaten membela atau
Grobogan, Jawa Tengah, mantan tahanan politik anggota Barisan Tani Indone- memperjuangkan
sia (BTI) yang dicap “komunis” yang berjuang menuntut pemulihan hak-hak politik terjadinya perubahan-
dan hak-hak milik pribadi mereka yang dulu dirampas segera setelah kudeta perubahan kebijakan yang
tidak menguntungkan
militer tahun 1965. rakyat awam, menjadi
Seperti halnya banyak kasus serupa di daerah-daerah lain di seluruh Indone- kebijakan-kebijakan yang
sia selama ini, rakyat di ketiga daerah kasus tersebut adalah juga korban-korban lebih menghormati dan
melindungi hak-hak
kebijakan resmi pemerintah, atas nama negara, dengan berbagai kepentingan politik
mereka.
dan ekonomi tertentu di baliknya. Rakyat di Mollo Utara adalah korban dari
kebijakan pemerintah daerah yang sangat mementingkan peningkatan angka-angka
pendapatan asli daerah (PAD). Masyarakat adat di Rawa Aopa adalah korban dari
kebijakan pemerintah daerah yang berpandangan sempit bahwa masyarakat adat
tak bisa hidup berdampingan secara damai dengan alam sekitarnya. Kaum buruh
tani di Grobogan adalah korban kebijakan nasional pemerintah rezim militer Orde
Baru yang mengharamkan segala bentuk, jenis perbedaan paham politik dan
pendapat, yang sangat anti-komunisme, dan yang sangat tidak memperhatikan Advokasi juga harus
kepentingan wong cilik seperti kaum buruh tani. dilandasi oleh prinsip-
prinsip perdamaian: tanpa
Ketiga kasus ini dituturkan kembali secara singkat oleh beberapa aktivis
kekerasan, dan tanpa atau
organisasi nonpemerintah (Ornop) dari daerah-daerah itu yang terlibat langsung sesedikit mungkin
mengorganisir para korban tersebut untuk mempertahankan dan memperjuangkan menimbulkan berbagai
hak-hak mereka. Untuk itu, mereka telah melakukan berbagai kegiatan mulai akibat lanjutan yang justru
akan semakin menguatkan
dari rangkaian pertemuan dan diskusi di tingkat kampung atau desa sampai ke sumber-sumber penyebab
aksi-aksi unjuk-rasa, pernyataan pers dan kampanye pendapat umum, utama terjadinya tindak
perundingan-perundingan, dan pengajuan alternatif pemecahan masalahnya. kekerasan dan
ketidakdamaian, seperti
Semuanya ditujukan ke satu sasaran akhir: berubahnya kebijakan pemerintah
pemiskinan, pembodohan,
yang mengorbankan rakyat tersebut, dan agar semua pihak menghormati hak- ketergantungan, dan
hak asasi mereka. sebagainya.
Oleh karena itu, menurut pengalaman di atas, apa yang disebut di sini sebagai

Advokasi Damai
91 Pendahuluan
“advokasi” pada dasarnya adalah proses proaktif, dengan berbagai cara dan strategi, secara
terus-menerus dan bertanggung jawab, membela atau memperjuangkan terjadinya perubahan-
perubahan kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat awam, menjadi kebijakan-kebijakan
yang lebih menghormati dan melindungi hak-hak mereka. Perdamaian hidup yang sejati dalam
masyarakat, pada dasarnya, hanya bisa terwujud jika hak-hak mereka sebagai manusia, sebagai warga
masyarakat, dan sebagai warga negara dihormati dan dilindungi.
Jadi, apa yang dimaksud dengan advokasi di sini adalah juga “advokasi dalam rangka membangun
perdamaian”. Oleh karena itu, berbagai cara dan strategi yang ditempuh dalam proses advokasi juga
harus dilandasi oleh prinsip-prinsip perdamaian: tanpa kekerasan, dan tanpa atau sesedikit
mungkin menimbulkan berbagai akibat lanjutan yang justru akan semakin menguatkan sumber-
sumber penyebab utama terjadinya tindak kekerasan dan ketidakdamaian, seperti pemiskinan,
pembodohan, ketergantungan, dan sebagainya.
Dalam ketiga kasus tersebut, akan tampak bahwa semua bentuk kegiatan yang dilakukan itu
merupakan proses panjang, rumit, bahkan melelahkan. Hasilnya, ada yang sudah mampu mencapai
hasil tertentu sementara yang lainnya belum berhasil sama sekali. Dalam buku ini dipaparkan pula hal
apa saja yang memungkinkan tercapainya hasil tersebut, juga apa saja yang membuat suatu kegiatan
advokasi tidak berhasil atau gagal. Berbagai kelemahan atau bahkan kesalahan yang mungkin dilakukan
oleh mereka yang melakukan proses-proses advokasi tersebut juga tampak dalam cerita ini. Semua itu
dapat menjadi pelajaran penting bagi siapa saja yang berminat melakukan advokasi. Pokok-pokok
pelajaran penting dari ketiga kasus itu mengenai beberapa pengertian dan prinsip dasar serta langkah-
langkah proses advokasi yang kemudian diuraikan secara ringkas setelah ketiga kasus tersebut.
Berdasarkan pelajaran-pelajaran itu pada uraian-uraian selanjutnya, beberapa saran praktis dihadirkan
juga bagi yang berniat melakukan kegiatan advokasi. Juga, beberapa ukuran yang dapat dijadikan pedoman
untuk menilai apakah kegiatan advokasi yang kita lakukan itu memang berhasil atau sebaliknya, gagal.
Kemudian sejumlah peringatan tentang kemungkinan-kemungkinan dampak atau resiko yang akan timbul
akibat kegiatan advokasi dan bagaimana menghadapinya. Terakhir sekali adalah beberapa sumber belajar
lainnya yang dapat dicari dan dihubungi untuk lebih memahami dan meningkatkan kemampuan melakukan
advokasi.
Bab ini memang lebih merupakan pedoman praktis secara garis besarnya saja, sepenuhnya disusun
berdasarkan pengalaman-pengalaman nyata para pelakunya langsung, bukan dari teori-teori baku. Jadi,
harap gunakan pedoman ini sebagai kerangka umum saja, jangan menganggapnya sebagai sekumpulan
rumus atau dalil kaku yang berlaku untuk semua keadaan, tempat dan waktu yang berbeda. Jadikan uraian-
uraian dalam Bab Advokasi ini lebih sebagai sumber acuan dan perbandingan lalu kembangkan sendiri
secara kreatif berbagai kemungkinan melakukan advokasi sesuai dengan keadaan, tempat dan waktu pelaku
advokasi sendiri dan rakyat yang didampingi.

Selamat beradvokasi, semoga berhasil.

Advokasi Damai
Pendahuluan 92
Bagian 2
Belajar dari Pengalaman

Rakyat Menentang Pertambangan Marmer


di Mollo Utara, Pulau Timor *

Desa Netpala adalah satu desa di bagian selatan Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS), sekitar 30 km dari Soe, ibukota kabupaten, dan sekitar 130 km dari
Kupang, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten TTS adalah
daerah dataran tinggi bersuhu dingin, tetapi dengan kelembaban cukup tinggi.
Selain penghasil jeruk yang sangat terkenal karena rasanya yang manis, daerah
ini juga terkenal dengan bahan galian C, seperti marmer. Dari sinilah kisah berawal,
salah satu konflik besar antara rakyat setempat dengan pemerintah berawal dari
penambangan batu marmer di dalam wilayah Desa Netpala, Kecamatan Mollo
Utara.
Konflik bermula pada bulan Februari 1998, ketika dua perusahaan swasta
nasional, PT Soe Marmer Indah dan PT Timor Marmer Industri hanya dengan
berbekal izin prinsip dari Gubernur NTT mulai melakukan usaha pertambangan Masyarakat adat Dawan
marmer di bukit batu (fatu) Naususu dan Anjaf, dua dari sekitar 12 bukit batu lainnya di Mollo Utara secara
tegas menolak
yang tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Mollo Utara maupun Mollo Selatan.
penambangan marmer
Bukit-bukit batu itu merupakan tempat suci dan keramat bagi penduduk setempat, di tempat-tempat suci
khususnya Fatu Naususu dan Anjaf, sebagai tempat bersejarah yang menjadi dan bersejarah mereka.
lambang pemersatu dan kesejahteraan bersama bagi seluruh warga masyarakat
adat suku Dawan (sebutan asli bagi masyarakat adat Timor), mulai dari Liurai di
Timor Timur sampai Sonbai, Oematan, di Timor Barat. Oleh karena itu, Fatu
Naususu dan Anjaf merupakan tempat suci di mana keputusan-keputusan penting
menyangkut adat dan kehidupan sosial orang Dawan dilakukan.
Masyarakat secara tegas menolak penambangan masuk di tempat-tempat
suci dan bersejarah mereka. Mereka menulis dan menyampaikan surat pernyataan
sikap penolakan kepada Bupati TTS, Gubernur NTT, dan sejumlah instansi
pemerintah yang terkait dengan masalah ini, baik di pusat maupun di daerah, dan
juga kepada pihak perusahaan. Mereka juga menyatakan penolakan dengan
melakukan aksi upacara adat langsung di lokasi penambangan di Fatu Naususu
dan Anjaf.
Alasan lain mengapa masyarakat setempat menolak usaha penambangan
marmer tersebut adalah dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Usaha

Advokasi Damai
93 Belajar dari Pengalaman
penambangan itu merusak daerah tangkapan air sungai-sungai di pulau Timor. Cara-cara penggalian
oleh perusahaan yang menggunakan bahan peledak dan kendaraan berat atau mesin-mesin pengeruk
mengakibatkan pelongsoran tanah besar-besaran, terutama karena jenis tanah di Desa Netpala adalah
tanah kasar, dengan lapisan permukaan yang dangkal (rata-rata hanya 90 cm), dengan kemiringan antara
45 sampai 90%. Data selama ini memperlihatkan tingkat erosi tanah di sana mencapai 1.027.172,16 ton
per hektar per tahun.

Lokasi kasus

Ini berarti bahwa hanya dengan getaran kecil saja sudah cukup untuk membuat terjadinya pergeseran dan
longsor. Masyarakat memprotes karena usaha penambangan tersebut belum memiliki Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL) dan bekerja semata-mata hanya dengan izin prinsip dari Gubernur NTT saja.
Tetapi, semua protes dan keberatan dari masyarakat ini tidak dihiraukan oleh pemerintah daerah
bahkan sebaliknya mereka mulai merekayasa adanya Surat Kesepakatan Penyerahan bukit-bukit batu
tersebut dari pemuka-pemuka adat setempat kepada pemerintah daerah, antara lain dengan memalsukan
tanda tangan dan okomama (wadah sirih-pinang) sebagai tanda penyerahan. Bekerja sama dengan
pengusaha, Camat Mollo Utara dan Bupati TTS menakut-nakuti masyarakat dengan mengatasnamakan
pembangunan dan demi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Mereka mengancam akan
menghadirkan aparat keamanan untuk menangkap warga masyarakat yang menolak usaha penambangan
tersebut.
Karena ancaman-ancaman itulah, masyarakat akhirnya terpaksa menerima kegiatan penambangan
tersebut, asalkan bukan di bukit-bukit batu suci dan yang dikeramatkan secara adat, tetapi di bongkahan-
bongkahan bebatuan lain di sekitarnya. Kesediaan masyarakat yang sudah dilakukan secara terpaksa inipun

Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 94
ternyata kemudian dimanipulasi lagi oleh pemerintah
daerah dan pihak pengusaha. Bahkan, penganiayaan
mulai terjadi oleh beberapa oknum pemerintah
daerah ketika salah seorang penduduk setempat
memimpin warga menghalangi rencana penam-
bangan, yang tidak sesuai dengan kesepakatan
penyerahan.
Peristiwa penganiayaan ini memicu protes baru
yang lebih keras dari masyarakat. Pemerintah daerah
akhirnya harus memberi penjelasan kepada ma-
syarakat dan serangkaian pertemuan lanjutan Base camp perusahaan penambangan di Fatu Naususu
berlangsung kembali. Akhirnya disepakati bahwa masyarakat bersedia menerima
rencana penambangan marmer di Mollo Utara, tetapi hanya pada Fatu Anjaf
yang menurut pertimbangan masyarakat sendiri, bukit batu tersebut telah cacat
disambar petir. Namun, kesepakatan ini pun lagi-lagi dimanipulasi oleh pemerintah
daerah dan pihak pengusaha yang justru melakukan penambangan di Langkah-langkah yang diambil
Fatu Naususu. Akibat sikap pemerintah yang tidak konsisten ini, masyarakat merasa PIAR dalam membangun
dipermainkan dan akhirnya kembali ke sikap tegas mereka yang awal: menolak kampanye advokasi:
1. Membangun lopo (balai
semua kegiatan penambangan tersebut! pertemuan).
Masyarakat lalu membongkar base camp perusahaan di lokasi penambangan 2. Mendampingi masyarakat adat,
mempertahankan hak-hak
dan bersama dengan satu organisasi nonpemerintah (Ornop) yang berkedudukan
masyarakat adat.
di Kupang, yakni Pusat Informasi Advokasi Rakyat (PIAR), membangun lopo (balai 3. Mengorganisir masyarakat
pertemuan) di tempat tersebut. Lopo inilah yang menjadi tempat pertemuan- setempat melalui serangkaian
diskusi kritis.
pertemuan antar warga, termasuk melakukan berbagai upacara adat. PIAR 4. Melakukan penyebaran
membantu menyediakan berbagai bahan bacaan, sehingga lopo tersebut juga informasi dan memberikan
berfungsi sebagai perpustakaan bagi masyarakat setempat. Lahan di sekeliling penjelasan tentang berbagai
dampak.
lopo juga dipagari dan ditanami dengan berbagai jenis tanaman produktif. 5. Membentuk tim investigasi.
Keterlibatan PIAR mendampingi masyarakat adat Dawan di Mollo Utara ini 6. Melakukan pertemuan dengan
aparat dan pimpinan pemerintah
sudah berlangsung sejak awal terjadinya kasus. PIAR melakukan berbagai upaya
daerah.
untuk membantu mempertahankan hak-hak masyarakat adat setempat atas 7. Membantu masyarakat
kawasan ulayat tradisional mereka, dengan segenap sumber daya alam yang melakukan aksi-aksi unjuk rasa.
8. Melakukan kampanye
terkandung di dalamnya, termasuk tempat-tempat suci dan bersejarah mereka. pembentukan pendapat umum.
Salah satu bentuk kegiatan utama yang dilakukan PIAR adalah mengorganisir 9. Memperluas kampanye sampai
masyarakat setempat melalui serangkaian diskusi kritis, termasuk “diskusi-diskusi ke tingkat nasional.

gerilya” tentang berbagai permasalahan hukum, agraria dan lingkungan hidup


yang berkaitan dengan kasus yang sedang mereka hadapi. Dalam beberapa

Advokasi Damai
95 Belajar dari Pengalaman
diskusi tersebut, PIAR juga sengaja
mengundang tokoh-tokoh masyarakat
setempat, pemuka-pemuka agama, dan
aparat pemerintah daerah dari tingkat
propinsi, kabupaten, kecamatan, dan
desa. Tetapi, semua aparat pemerintah
tersebut selalu bersikap angkuh dan
menentang protes dan tuntutan ma-
syarakat. Bahkan, aparat pemerintahan
Desa Netpala sendiri sudah menerima
suap atau sogokan dari pihak peru-
Aksi unjuk-rasa penduduk ke lokasi penambangan
sahaan.
Taktik suap dan sogok itu memang merupakan cara pihak pemerintah dan perusahaan untuk mengadu
domba dan memecah-belah warga masyarakat setempat. Terjadilah pengelompokan pro dan kontra
usaha penambangan di kalangan masyarakat sendiri. Mereka yang pro bahkan juga mulai menakut-
nakuti warga yang kontra, misalnya dengan menutup jalan ke dan di sekitar base camp perusahaan,
mengancam akan memanggil petugas Komando Rayon Militer (Koramil) untuk menangkap, jika perlu
membunuh mereka yang menolak usaha penambangan. Warga yang kontra itu pun mulai dimata-matai,
antara lain kalau mereka menerima kunjungan tamu dari luar desa. Akibatnya, mereka mulai ketakutan
menerima tamu. Orang-orang luar yang baru datang ke desa pun diinterogasi oleh petugas keamanan.
Selain itu, PIAR juga melakukan penyebaran informasi dan memberikan penjelasan tentang berbagai
dampak (positif dan negatif) yang akan terjadi dari usaha penambangan tersebut, baik terhadap manusia
maupun lingkungan hidup sekitar. PIAR juga membentuk tim investigasi untuk mencari tahu tentang
berbagai kebijakan pemerintah mengenai pertambangan dan usaha penambangan, misalnya mengenai
perizinan usaha penambangan. PIAR membantu masyarakat setempat melakukan pertemuan-pertemuan
dengan aparat dan pimpinan pemerintah daerah Kabupaten TTS dan Propinsi NTT. Mereka membantu
masyarakat melakukan aksi-aksi unjuk rasa secara damai ke lokasi penambangan dan ke gedung DPRD
Kabupatan dan Propinsi. Melalui media penerbitannya, yakni tabloid Udik, PIAR terus-menerus memuat
informasi perkembangan kasus ini selain melakukan kampanye pembentukan pendapat umum melalui
media massa yang lain, misalnya konperensi pers bersama Jaringan Masyarakat Adat (JAGAT) NTT pada
tanggal 16 Agustus 1999, serta dialog-dialog publik untuk membuat tekanan lebih besar kepada pemerintah
dan pihak pengusaha.
Dalam semua konperensi dan siaran pers serta dialog publik tersebut, PIAR menyebarluaskan isi
pokok protes dan tuntutan masyarakat adat Dawan di Mollo Utara kepada pemerintah agar:
1. mencabut izin usaha penambangan yang telah dikeluarkan oleh Gubernur NTT
2. menghentikan izin segala jenis usaha penambangan apapun di Mollo dan

Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 96
3. mencabut Peraturan Daerah (PERDA) No.8/1974 tentang Pelaksanaan Penegasan Hak-hak atas
Tanah yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

Sementara, tuntutan mereka kepada pihak perusahaan adalah:


1. menghentikan kegiatan pertambangan di Fatu Naususu dan Anjaf
2. mengembalikan rona lingkungan yang telah rusak seperti keadaan semula sebelum penggalian
dan
3. membayar denda adat atas perusakan lingkungan kepada masyarakat adat setempat.
Perjuangan tak kenal lelah oleh masyarakat adat Dawan di Mollo yang didampingi PIAR tersebut
akhirnya mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Fakultas Teologia Universitas Kristen Artha Wacana
(UKAW) Kupang membentuk satu tim khusus yang langsung melakukan pengkajian dan dialog di lapangan
dengan masyarakat setempat. Akhirnya, pada tanggal 20 Juni 1999, mereka membuat pernyataan sikap
yang secara tegas juga menolak usaha penambangan di sana. Dukungan ini semakin memberanikan
masyarakat melakukan aksi unjuk-rasa sampai tiga kali di lokasi penambangan, sampai akhirnya mereka
menduduki dan menghancurkan base camp perusahaan pada tanggal 4 Juli 2000. Semua warga, termasuk
kaum perempuan yang menyediakan perbekalan makanan ikut dalam aksi pendudukan tersebut. Dalam
peristiwa inilah terjadi tindak kekerasan oleh petugas Koramil yang menangkap koordinator aksi, beberapa
amaf (tuan tanah), dan dua orang wartawan.
Kampanye dan aksi semakin diperluas sampai ke tingkat nasional. Bekerja sama dengan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL), PIAR
memfasilitasi tiga orang wakil masyarakat adat berangkat ke Jakarta untuk melakukan pertemuan dengan
beberapa orang Menteri (Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Energi &
Sumber daya Mineral, Menteri Negara Penanaman Modal), serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM). Kampanye dan aksi di Jakarta selama lebih seminggu tersebut, 16-25 Agustus 1999,
akhirnya membuahkan hasil. Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, serta Komnas
HAM menulis surat khusus kepada Gubernur NTT untuk memperhatikan protes dan tuntutan masyarakat
adat Dawan di Mollo Utara. Setahun kemudian, Agustus 2000, Gubernur NTT akhirnya mencabut semua
Surat Izin Penambangan (SIP) perusahaan-perusahaan di Mollo Utara.
Sejak itu, semua kegiatan penambangan di sana pun berhenti.

Pengusiran Masyarakat Adat Moronene di Kawasan Taman Nasional


Rawa Aopa, Sulawesi Tenggara *
Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Warumohai (TNRAW) terletak di bagian selatan jazirah Sulawesi
Tenggara dan merupakan kawasan konservasi terbesar di propinsi tersebut. Di dalam kawasan inilah
bermukim satu kelompok suku asli setempat, yakni masyarakat adat Moronene. Seperti halnya masyarakat
adat tradisional di tempat lain, mereka juga hidup selaras dengan alam bahkan sebenarnya menjadi
penjaga utama keseimbangan ekosistem alam dan lingkungan di sana yang membuatnya tetap lestari.

Advokasi Damai
97 Belajar dari Pengalaman
Kelestarian ini akhirnya membuat kawasan ini dinyatakan secara
resmi oleh pemerintah sebagai kawasan lindung dengan status
Taman Nasional.
Lalu, tibalah bencana itu. Tak lama setelah dinyatakan secara
resmi sebagai kawasan Taman Nasional, pemerintah daerah
Propinsi Sulawesi Tenggara, dalam hal ini Dinas Kehutanan,
memutuskan bahwa tidak boleh ada pemukiman apapun dalam
kawasan taman nasional, sehingga orang Moronene harus pindah
dan keluar dari sana. Jelas, orang Moronene menolak keputusan
tersebut. Tiba-tiba, pada tanggal 28 November 1997, orang-orang
Moronene di Kampung Hukaea-Laea, yang merupakan pemukiman Orang Moronene telah
mendiami dengan damai
terbesar mereka dalam kawasan TNRAW dikejutkan oleh serbuan kawasan hutan dan rawa di
sepasukan tentara, polisi, polisi hutan, dan aparat pemerintah Taman Nasional Rawa Aopa
daerah. Dengan nama sandi “Operasi Sapu Jagad” (OSJ), pasukan sejak ratusan tahun yang lalu.
itu merusak rumah-rumah, kebun dan sawah penduduk, dan
membantai ternak-ternak peliharaan mereka. Orang-orang kampung itu mencoba melawan, tetapi kalah
dalam segala hal dan akhirnya menyerah. Bahkan, 11 orang dari mereka yang dianggap sebagai pemimpin
dan pelopor perlawanan, ditangkap, diinterogasi, dan ditahan tanpa proses peradilan selama satu tahun
10 hari. Sesudah itu, barulah kemudian mereka diajukan ke pengadilan, tetapi kasusnya berakhir tanpa
keputusan yang jelas sampai saat ini.
Peristiwa itu memancing reaksi beberapa organisasi nonpemerintah. Suluh Indonesia, salah satu
organisasi nonpemerintah (Ornop) di Kendari, Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, segera mengumpulkan
kembali semua penduduk Huakea-Laea yang sudah tercerai-berai. Beberapa bulan kemudian, bekerja
sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), mereka mengantar penduduk semua kembali
ke kampung yang sudah hancur, membenahi semua kerusakan, dan memulai kembali kehidupan seperti
sediakala. Beberapa orang staf Suluh Indonesia bahkan menetap bersama orang Moronene di Huakea-
Laea sebagai pendamping. Mereka mulai melakukan proses-proses pengorganisasian melalui rangkaian
kegiatan diskusi, pertemuan, dan pelatihan kepada orang Moronene. Mereka melatih orang-orang
kampung itu mengenai bagaimana mengorganisir diri lebih baik, memetakan kawasan ulayat tradisional
mereka, menghidupkan kembali praktek-praktek sistem konservasi tradisional, memahami berbagai
undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi seperti taman
nasional, dan sebagainya.
Tetapi, pihak pemerintah juga tidak tinggal diam. Satu serangan mendadak dilancarkan lagi dengan
nama sandi yang sama. OSJ-II ini dilakukan pada tanggal 26 Oktober 1998, tetapi kali ini mereka tidak
berhasil memaksa penduduk pindah dan keluar dari kawasan TNRAW. Selain karena orang-orang
Moronene kali ini jauh lebih siap, juga karena terjadinya perubahan sistem politik nasional oleh gerakan
reformasi pada bulan Mei 1998 yang membuat aparat pemerintah tidak bisa lagi berbuat sewenang-
Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 98
wenang seperti setahun sebelumnya. Tetapi, pihak pemerintah tetap saja mencoba
melancarkan serangan baru berikutnya, OSJ-III, pada tanggal 25 Desember 2000.
Namun, masyarakat di sana sudah lebih bersiap setelah didampingi oleh Ornop.
Mereka sekarang memiliki informasi yang cukup mengenai apa sesungguhnya
kawasan taman nasional tersebut, dan mengapa pemerintah daerah bertindak
sewenang-wenang ingin mengusir mereka dari sana. Mereka juga mulai mampu
menyiapkan diri dengan berbagai cara dan teknik menghadapi kemungkinan
diserbu lagi. Walhasil, OSJ-III pun gagal.

Peta lokasi
Kasus 2

Pemerintah tampaknya mulai lebih berhati-hati. Selain sistem politik otoriter


sudah berubah, juga karena tekanan pendapat umum tidak memihak mereka lagi.
Kasus TNRAW ini telah menjadi salah satu kasus nasional berkat kampanye Aksi-aksi yang dilakukan dalam
kasus pengusiran masyarakat
gencar yang dilakukan oleh Ornop dan masyarakat adat Moronene sendiri.
adat Moronene.
Penyebaran informasi mengenai nasib orang Moronene di TNRAW berlangsung 1. Memfasilitasi beberapa orang
cepat melalui pemberitaan media massa, terutama melalui milis dan internet. wakil masyarakat adat
Moronene.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
2. Menyelenggarakan rangkaian
(AMAN), dan Konsorsium Pengembangan Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) kampanye intensif.
mulai terlibat dan melancarkan tekanan-tekanan pendapat umum dan politik pada 3. Menyelenggarakan diskusi
tingkat nasional. Mereka memfasilitasi beberapa orang wakil masyarakat adat interaktif melalui radio.
4. Menyelenggarakan dialog-
Moronene datang ke Jakarta dan mengadukan permasalahan mereka ke Komnas
dialog kebijakan dan diskusi
HAM. Di tingkat lokal, Ornop-Ornop setempat menyelenggarakan rangkaian publik.
kampanye intensif, terutama melalui “Radio Suara Alam” milik salah satu Ornop 5. Memprakarsai lokakarya-
setempat, Yayasan Cinta Alam (YASCITA), dan diskusi interaktif melalui Radio lokakarya resolusi konflik.
6. Mengadakan aksi unjuk rasa.
Republik Indonesia (RRI) Kendari milik pemerintah. Mereka juga

Advokasi Damai
99 Belajar dari Pengalaman
menyelenggarakan dialog-dialog kebijakan dan diskusi publik, termasuk dengan kalangan pemerintah
daerah seperti Gubernur, Bupati, Dinas Kehutanan, Badan Penilaian dan Pengawasan Dampak
Lingkungan Daerah termasuk bahkan Menteri Negara Lingkungan Hidup kala itu, ketika berkunjung ke
sana. Secara proaktif mereka juga mulai memprakarsai lokakarya-lokakarya resolusi konflik antar semua
pihak yang terlibat dalam rangka mencari pemecahan yang dapat diterima oleh semuanya.
Semua itu membuat pemerintah daerah melunakkan sikap dan mulai menempuh cara-cara yang
lebih manusiawi. Perundingan-perundingan pun mulai berlangsung, tetapi tetap tidak dapat mencapai
kesepakatan pemecahan masalah. Orang-orang Moronene semakin pandai menyatakan pendapat dan
sikap mereka sementara pemerintah daerah tetap bersikeras pada pandangan mereka sendiri bahwa
“sama sekali tidak boleh ada manusia bermukim dalam kawasan lindung Taman Nasional.” Hampir dua
tahun berlalu tanpa perubahan apa pun: pemerintah daerah tak bisa lagi main
paksa dan belum mampu menemukan cara lain untuk memindahkan orang
Kronologi Operasi Sapu Jagad
Moronene. Ini membuat orang Moronene sendiri mulai merasa tenang lagi
OSJ I : 28 November 1997
bermukim di sana. OSJ II : 26 Oktober 1998
Pada awal tahun 2002, satu Ornop internasional mengeluarkan laporan OSJ III : 26 Desember 2000
yang menyatakan bahwa tingkat kerusakan hutan dan ekosistem dalam OSJ IV : 29 April 2002
kawasan TNRAW sudah cukup parah. Organisasi tersebut memang
melaksanakan satu program khusus di masyarakat adat Moronene di TNRAW yang mereka sebut sebagai
“Program Penguatan Kelembagaan Masyarakat dalam Kawasan Penyanggah Taman Nasional.” Mereka
memberikan informasi dan laporan tersebut kepada Dinas Kehutanan sebagai pengelola resmi TNRAW.
Dengan adanyalaporan itu pemerintah pun merasa mendapatkan satu “alasan pembenaran baru yang
kuat” untuk kembali mengusir orang Moronene. Maka, terjadilah OSJ-IV pada tanggal 29 April 2002.
Dengan cara-cara yang lebih canggih, akhirnya orang Moronene kembali terusir dari kawasan ulayat
tradisional mereka untuk kedua kalinya.
Mendapat perlakuan kasar seperti itu lagi, akhirnya orang-orang Moronene pun melakukan aksi
unjuk rasa besar-besaran ke gedung DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara di Kota Kendari. Mereka
menduduki gedung tersebut dan menginap di sana selama beberapa hari, menunggu sampai kepastian
akan nasib mereka menjadi lebih jelas. Tetapi, mereka akhirnya secara sukarela meninggalkan gedung
parlemen propinsi tersebut. Pemerintah daerah tetap tidak bersedia memenuhi tuntutan mereka yaitu:
pengakuan resmi akan hak-hak ulayat tradisional mereka untuk bermukim dan hidup dalam kawasan
TNRAW.
Pemerintah justru mengajukan alternatif lain seperti: mentransmigrasikan mereka ke tempat lain.
Orang-orang Moronene juga tetap menolak. Lagi-lagi tak ada kesepakatan dan pemecahan masalah,
sementara beberapa orang Moronene mulai pelan-pelan berani kembali lagi ke Hukaea-Laea, mulai
membenahi lagi puing-puing rumah, kebun dan sawah mereka yang hancur akibat OSJ-IV. Sehingga,
sampai sekarang masih tetap tidak jelas apakah pemerintah akan membiarkan mereka atau akan mengusir
mereka lagi dengan OSJ-V.
Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 100
Buruh Tani Mantan Tahanan Politik Memperjuangkan Hak-hak Mereka
di Grobogan, Jawa Tengah *

Peristiwa tahun 1965 menimbulkan banyak korban di beberapa


daerah. Salah satu daerah yang saat itu warganya banyak menjadi korban
pembantaian adalah Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tengah.
Penduduk desa di Kabupaten Grobogan menggantungkan hidupnya dari
lahan pertanian, penghasilan yang sangat rendah dan umumnya belum
mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
Pada masa kolonial, penguasa memberlakukan kebijakan yang
dikenal sebagai Blandong-stelsel, yakni menggunakan tenaga rakyat yang
dipekerjakan pada lahan-lahan hutan untuk menanam bibit-bibit dan
menebang kayu jati di kawasan pegunungan kapur yang mengelilingi
wilayah Grobogan, Blora, dan Cepu. Setelah kemerdekaan, sekitar tahun
1958, pemerintah Republik Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda,
termasuk kawasan hutan jati di seluruh Pulau Jawa yang kemudian dikelola oleh perusahaan negara PT
Perhutani. Sejak saat itulah, terjadi banyak sekali kasus sengketa hak penguasaan dan pengelolaan
lahan antara rakyat desa sekitar hutan jati berhadapan dengan PT PERHUTANI. Perubahan terjadi ketika
Partai Komunis Indonesia (PKI), pada awal tahun 1960an, berhasil mempengaruhi pemerintah untuk
melaksanakan land reform (penataan ulang pemilikan dan pembagian tanah secara adil dan merata).
Kaum buruh tani yang selama itu tidak memiliki lahan sendiri, kini memperoleh kesempatan untuk
memilikinya. Akibatnya, jutaan buruh tani di seluruh Indonesia terutama di Jawa, termasuk di Grobogan,
mendukung dan masuk menjadi anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) di mana PKI merupakan organisasi
massa taninya. Sejak saat itu pula wilayah Grobogan dikenal sebagai salah satu daerah basis terkuat BTI
alias “daerah merah”.
Sampai akhirnya terjadi peristiwa 1965, militer mengambil alih kekuasaan dan menyatakan PKI
dengan semua organisasi bawahan sebagai organisasi terlarang. Jutaan anggota PKI, termasuk BTI,
dikejar-kejar, ditangkap, dipenjarakan tanpa proses peradilan bahkan dibunuh. Sampai sekarang sulit
sekali untuk memperkirakan secara tepat berapa banyak anggota PKI atau BTI yang dibantai di seluruh
wilayah Grobogan saat itu. Menurut salah seorang saksi mata, pada tahun 1966, didirikan dua kamp
tahanan besar oleh pihak militer untuk menampung massa BTI yang waktu itu sangat banyak, dan setahun
kemudian 1967, kamp-kamp tahanan ini telah kosong. Dengan demikian, dianggap bahwa para tahanan
politik itu dibunuh atau diasingkan di penjara Nusa Kambangan dan Pulau Buru. Penangkapan demi
penangkapan terus dilakukan oleh pihak militer sampai Desember 1968, ketika tokoh aktivis nasional
gerakan hak asasi manusia, HJC Princen datang melakukan pemantauan di Grobogan.
Selain penahanan, pemenjaraan, dan pembunuhan, akibat lain dari peristiwa 1965 adalah
perampasan hak-hak politik mereka yang dicap sebagai anggota PKI, termasuk BTI. Mereka semua,

Advokasi Damai
101 Belajar dari Pengalaman
termasuk keluarganya, sama sekali tidak diperbolehkan ikut dalam hampir semua
kegiatan politik apa pun, bahkan secara sosial dikucilkan dari lingkungan sekitar
mereka. Perampasan lainnya adalah perampasan hak milik pribadi (rumah, tanah,
dsb) ketika mereka ditangkap dan diasingkan atau ketika terpaksa harus melarikan
dan menyembunyikan diri. Beberapa tahun kemudian, ketika mereka kembali ke
tempat asal semula, mereka menemukan kenyataan bahwa semua harta milik
pribadi telah berpindah tangan menjadi milik orang lain atau disita oleh pemerintah.
Aksi-aksi yang dilakukan dalam
Peta lokasi Kasus 3
kasus Grobogan
1. Pengorganisasian dan
penyadaran tentang hak
dasar.
2. Merumuskan apa yang
hendak diperjuangkan.
3. Membuat kondisi gabung
dengan kelompok lain.
Peta lokasi Kasus 3 4. Melakukan pelatihan.
5. Membentuk kelompok
kelompok kerja di tempat
kerja masing-masing.
6. Mengajukan surat kepada
Ketika rezim militer Orde Baru (yang membunuh, memenjarakan, dan pemerintah desa,
merampas hak-hak mereka selama ini) tumbang pada tahun 1998, para mantan kecamatan, kabupaten, dan
tahanan politik tersebut mulai lebih berani saling berkunjung dan berkumpul propinsi.
7. Melakukan serangkaian
bersama membicarakan nasib mereka. Berawal dari acara saling mengunjungi pertemuan dan dialog.
inilah kemudian muncul gagasan untuk mengadakan pertemuan berkala tetap. 8. Pelatihan mengenai
Pertemuan-pertemuan berkala tetap para mantan tahanan politik itu pun pemerintahan desa.
9. Membentuk Paguyuban
berlangsung sebulan sekali, berkeliling dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya.
BPD.
Dalam pertemuan-pertemuan itulah para mantan tahanan politik itu menyampaikan 10.Mengajukan usul
dan mendiskusikan hak-hak politik warga negara, hak-hak untuk memperoleh penyusunan satu Peraturan
pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak-hak untuk memperoleh informasi Daerah.
11.Pendataan dan pemetaan.
mengenai kebijakan pemerintah, dan berbagai perkembangan terbaru dari
12.Menghubungi organisasi di
berbagai kebijakan pemerintah selama ini yang berkaitan dengan masalah- Jakarta, untuk membantu
masalah yang mereka hadapi, baik sebagai mantan tahanan politik maupun melakukan kampanye dan
sebagai buruh tani. lobi-lobi politik nasional.
13.Lobi-lobi politik di tingkat
Dari rangkaian pertemuan inilah akhirnya para mantan tahanan politik itu
daerah.
merumuskan apa yang hendak mereka perjuangkan, yakni agar pemerintah: 14.Gugatan hukum secara
(1) merehabilitasi dan mengakui hak-hak politik dan hak-hak milik pribadi mereka; bersama-sama.
dan (2) memberikan kepada mereka hak menggarap “lahan tidur,” yakni tanah-
tanah yang selama ini dikuasai oleh negara, tetapi selama ini hanya dikelola oleh

Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 102
para elite desa, sementara buruh tani (yang banyak sekali tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Grobogan)
hanya dipakai tenaganya saja. Oleh karena itu, dengan mendahulukan agenda perjuangan kedua tersebut,
mereka bisa menangkis berbagai tuduhan dengan mengatakan bahwa apa yang mereka perjuangkan
adalah hal yang lumrah bagi kaum buruh tani miskin tak bertanah seperti mereka, tidak peduli ia seorang
komunis atau bukan. Oleh karena itu, mereka juga mengajak para buruh tani lain yang bukan mantan
tahanan politik
Setelah menyepakati strategi tersebut, para mantan tahanan politik itu pun segera mulai melakukan
pelatihan antar sesama mereka dengan berbagai keterampilan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan
agenda perjuangan kedua tersebut, misalnya cara-cara mengorganisir diri, merencanakan dan
melaksanakan kegiatan, teknik dan taktik mengajukan permintaan mereka kepada pemerintah, bagaimana
bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain, dan sebagainya. Mereka segera membentuk kelompok-
kelompok kerja di tempat masing-masing. Kelompok buruh tani di Kecamatan Toroh tampil sebagai
pelopor yang pertama kali mengajukan surat permohonan kepada pemerintah desa, kecamatan,
kabupaten, dan propinsi. Mereka melengkapi surat permohonan tersebut dengan data lengkap mengenai
lahan-lahan tidur di Kecamatan Toroh yang selama ini hanya dikuasai oleh para pamong desa dan
kerabatnya saja.
Mereka meminta agar diizinkan menggarap lahan-lahan tidur Dinas
Karena masih khawatir
Pengairan yang terbentang sepanjang saluran-saluran pengairan di kecamatan akan dituduh macam-
tersebut. Mereka juga melakukan serangkaian pertemuan dan dialog dengan macam oleh berbagai
para pejabat Dinas Pengairan. Didukung oleh beberapa politisi lokal yang peduli pihak, mereka bersepakat
untuk lebih mendahulukan
dengan nasib buruh tani mantan tahanan politik tersebut, akhirnya Dinas Pengairan agenda perjuangan yang
memenuhi permintaan mereka dengan perjanjian bahwa mereka boleh kedua, yakni memperoleh
menggarap lahan-lahan tidur tersebut selama beberapa musim taman saja dulu, hak menggarap “lahan
tidur”.
tetapi mungkin diperpanjang lagi sesuai dengan perkembangan keadaan nantinya.
Meskipun sistem politik
Keberhasilan kelompok buruh tani di Toroh itu mengilhami yang lainnya dan sudah banyak berubah,
mulai mencontoh cara-cara yang mereka tempuh. Beberapa kelompok buruh namun sentimen anti
tani yang bermukim di sekitar hutan jati milik PT Perhutani mulai melakukan komunis masih cukup kuat
di tengah masyarakat
pertemuan dan perundingan dengan para pejabat perusahaan negara tersebut.
umumnya dan masih tetap
Akhirnya, PT Perhutani bersepakat dengan mereka melaksanakan program merupakan isu yang
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PBHM). Dalam program itu para buruh sangat peka.
tani tersebut diizinkan menggarap lahan kosong sekitar hutan atau dalam kawasan
hutan di sela-sela pepohonan jati (tumpangsari) dengan sistem bagi-hasil. PT Perhutani menyediakan
bantuan dansebagai modal kerja, sementara para buruh tani cukup menyediakan tenaga mereka saja.
Meskipun secara teknis program ini berjalan dengan baik, para buruh tani tersebut masih mengeluhkan
pola bagi hasil 30:70 yang masih lebih menguntungkan pihak PT Perhutani. Sampai sekarang, mereka
masih berunding terus agar pola bagi hasil itu diubah sehingga lebih menguntungkan para buruh tani.

Advokasi Damai
103 Belajar dari Pengalaman
Sementara para buruh tani mantan tahanan politik itu mulai sibuk dengan kegiatan penggarapan
lahan tidur, para aktivis Inter-Faith Committee Grobogan (IFC Grobogan) juga mulai mengajak mereka
melakukan beberapa kegiatan lain. Salah satu kegiatan yang terpenting adalah pelatihan mengenai
organisasi pemerintahan desa yang baru sesuai dengan UU Otonomi Daerah No.22/1999. Pelatihan
dipusatkan pada masalah bagaimana memanfaatkan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai parlemen
desa yang dipilih secara demokratis oleh seluruh warga, sebagai wadah resmi dan legal untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan dan hak-hak mereka sebagai buruh tani. Mereka sangat
bersemangat mengikuti program ini karena mereka yang mantan tahanan politik juga melihat BPD sebagai
peluang nyata untuk meraih kembali hak-hak politik mereka. Salah seorang di antara mereka bahkan
sudah terpilih sebagai anggota BPD di desanya, Desa Karangsari, Kecamatan Brati (tetapi dibatalkan oleh
pemerintah dengan alasan ada Perda yang melarang mantan tahanan politik 1965 sebagai anggota
BPD).
Hasil pelatihan-pelatihan khusus ini adalah mereka bersepakat membentuk Paguyuban BPD di tingkat
kecamatan dan sampai kini sudah terbentuk di empat dari 19 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten
Grobogan. Setelah melakukan suatu survei di 10 desa contoh, para aktivis IFC Grobogan melakukan
pelatihan kepada para anggota paguyuban mengenai cara-cara menyusun Peraturan Desa (PERDES)
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dengan tekanan pada kepentingan buruh tani. Dengan
pengetahuan dan keterampilan baru tersebut, beberapa BPD anggota paguyuban mulai melaksanakan
kegiatan-kegiatan nyata, seperti pemetaan tata guna dan kepemilikan lahan di desa masing-masing.
Peta-peta tersebut mulai mereka gunakan untuk membahas pola-pola pemilikan lahan, cara-cara
pembagian dan pengelolaannya, serta pemanfaatan lahan-lahan tidur dan lahan-lahan milik desa oleh
buruh tani. Dalam beberapa kali diskusi lanjutan, mereka bersepakat untuk sekali waktu mengajukan usul
penyusunan satu Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten maupun Provinsi berdasarkan hasil-hasil temuan
tersebut.
Sementara agenda perjuangan kedua mereka mulai memperlihatkan beberapa hasil, para mantan
tahanan politik itu sekarang mulai mengajak mereka menggarap agenda perjuangan pertama mengenai
pemulihan hak-hak politik dan hak milik pribadi mereka. Keberadaan kelompok-kelompok buruh tani dan
Paguyuban BPD mulai diterima oleh masyarakat dan pemerintah, sehingga mereka sudah mulai cukup
aman untuk menggarap agenda pertama tersebut. Mereka mulai melakukan pelatihan-pelatihan mengenai
teknik-teknik pengumpulan data dan informasi untuk melacak kembali bukti-bukti perampasan hak-hak
politik dan hak milik pribadi mereka di masa lalu. Setelah pelatihan, mereka mulai melakukan pendataan
apa saja hak milik pribadi mereka yang pernah dirampas, bahkan mereka berhasil memetakan titik-titik
lokasi pembantaian yang dituduh sebagai anggota PKI atau BTI pada peristiwa 1965 dan sesudahnya.
Para mantan tahanan politik itu berhasil menghubungi satu organisasi di Jakarta yang didirikan oleh
para alumni perguruan tinggi Eropa Timur yang pada saat peristiwa 1965 masih menjadi mahasiswa di
sana dan selama masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998) dilarang atau dipersulit dan ditakut-takuti

Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 104
jika pulang kembali ke Indonesia. Organisasi ini kemudian bersedia membantu untuk melakukan kampanye
dan lobi-lobi politik di tingkat nasional untuk memperjuangkan pemulihan hak-hak politik dan hak milik
pribadi para buruh tani mantan tahanan politik di Grobogan dan di seluruh Indonesia. Mereka juga membantu
melakukan lobi-lobi politik di tingkat daerah dengan mencoba memasukkan masalah tersebut ke dalam
agenda pembahasan Komisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Grobogan. Sekarang,
mereka sedang menyusun dan menyelesaikan suatu rencana melakukan gugatan hukum secara bersama-
sama sebagai suatu kelompok.

Advokasi Damai
105 Belajar dari Pengalaman
Bagian 3
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
Pengertian dan Prinsip Dasar Advokasi

Tujuan utama kegiatan advokasi adalah mempengaruhi dalam rangka


merubah suatu kebijakan negara atau pemerintah yang merugikan rakyat
awam. Oleh karena itu, keberhasilan suatu kegiatan advokasi pada akhirnya
ditentukan oleh terjadinya perubahan kebijakan tersebut. Kebijakan-kebijakan
tersebut bisa saja berupa undang-undang atau peraturan, cara-cara pemerintah
melaksanakannya, bahkan juga pandangan, sikap, perilaku, dan tindakan-
tindakan mereka terhadap warga masyarakat.
Tujuan utama:
 Sasaran antara advokasi dibutuhkan untuk mencapai sasaran utama. mempengaruhi dalam
Selama proses advokasi berlangsung, ada banyak hal lain yang bisa dicapai rangka mengubah suatu
atau dihasilkan, misalnya masyarakat menjadi lebih sadar bahwa masalah kebijakan negara atau
pemerintah yang
yang mereka hadapi ada hubungannya atau bersumber dari suatu kebijakan
merugikan rakyat awam.
tertentu; para korban kebijakan tersebut menjadi lebih berani bertindak dan
menyatakan sikap dan tuntutan mereka; dan dukungan dan kerja sama dari
berbagai pihak yang bersedia membantu memperjuangkan terjadinya
perubahan kebijakan tersebut. Semua ini dapat dikatakan sebagai “sasaran-
sasaran antara” dari kegiatan advokasi sehingga mungkin saja kegiatan
advokasi itu gagal atau belum berhasil mencapai tujuan utamanya saat ini,
namun cukup berhasil menciptakan prasyarat-prasyarat penting yang
mutlak dibutuhkan untuk mencapai tujuan utama tersebut suatu waktu
kelak.

 Pelaku utama kegiatan advokasi sebaiknya korban kebijakan itu sendiri.


Meskipun kegiatan advokasi melibatkan dan membutuhkan dukungan berbagai Para korban kebijakan
pihak dan kalangan, para korban kebijakan itu sendirilah yang itu sendirilah yang
semestinya menjadi pelaku utamanya. Kepentingan dan masalah mereka semestinya menjadi
seharusnya menjadi agenda utama advokasi. Pihak-pihak lain, termasuk para pelaku utamanya.
aktivis Ornop sebagai pendamping langsung dalam seluruh proses advokasi,
mestinya memang hanya berfungsi sebagai pendukung saja.

 Pihak-pihak lainnya berperan sebagai barisan pendukung. Dalam


kenyataannya di Indonesia sampai saat ini, masih banyak sekali masyarakat
korban suatu kebijakan yang belum siap dalam banyak hal untuk menjadi
pelaku utama dari kegiatan advokasi, antara lain karena ketiadaan informasi
atau ketakutan sebagai akibat dari sistem politik yang sangat menindas di

Advokasi Damai
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah 106
masa lalu. Maka, diperlukan dukungan pendampingan khusus dari
para aktivis Ornop untuk membantu mereka mempersiapkan dan
meyakinkan diri sehingga pada akhirnya nanti benar-benar mampu menjadi
pelaku utama advokasi. Inilah yang dimaksud sebagai proses
pengorganisasian masyarakat.

 Metode tinggal di tengah masyarakat korban sebaiknya dilakukan.


Proses pendampingan atau pengorganisasian masyarakat adalah proses
yang berlangsung terus-menerus, setiap saat, langsung di tengah masyarakat
itu sendiri. Ada banyak kejadian dan perubahan yang terjadi setiap hari selama
advokasi berlangsung sehingga para pendamping sedapat mungkin
tinggal dan berada langsung di tengah masyarakat korban.

 Prasyarat utama kerja advokasi adalah kesamaan pandangan. Oleh


karena itu, baik di kalangan masyarakat korban dan antar semua pihak yang
terlibat dan mendukung mereka, sangat perlu membangun kesamaan
pandangan dan pemahaman tentang inti masalah atau isu pokok dari kasus
yang mereka hadapi, kebijakan-kebijakan tertentu yang menjadi sumber
penyebabnya, dan sasaran perubahan apa yang akan dicapai sebagai tujuan
utama kegiatan advokasi yang akan dilakukan.

 Pendokumentasian seluruh proses advokasi adalah mutlak perlu


dilakukan, baik sebagai catatan sejarah perjuangan rakyat itu sendiri maupun
sebagai bahan pelajaran berharga bagi siapa saja yang akan melakukan Pendokumentasian
advokasi. Salah satu kelemahan mencolok banyaknya kegiatan advokasi seluruh proses advokasi
adalah mutlak perlu
selama ini adalah tidak ada atau sangat kurangnya bahan-bahan terekam
dilakukan.
dan tertulis mengenai prosesnya. Yang paling banyak adalah laporan hasilnya
padahal yang sangat berguna untuk dipelajari justru adalah prosesnya

 Harus ada sikap keterbukaan dan kesediaan berbagi di antara semua


pihak yang terlibat, terutama dalam hal perolehan informasi, cara dan
pembagian kerja, sumber daya serta pembiayaan. Banyak kegiatan advokasi
berjalan tidak lancar bukan karena soal-soal prinsip seperti kesamaan
pandangan dan pemahaman diantara para pelaku dan pendukungnya,
melainkan justru lebih karena persoalan-persoalan tidak adanya sikap
keterbukaan dan kesediaan saling berbagi di antara mereka.

 Perencanaan dan evaluasi terus-menerus mutlak diperlukan. Kegiatan


advokasi ternyata juga merupakan suatu proses berjangka panjang, rumit,

Advokasi Damai
107 Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
dan terdiri dari berbagai jenis kegiatan yang berbeda pada berbagai tingkatan
untuk tujuan-tujuan khusus yang berlainan pula. Oleh karena itu, mutlak
dibutuhkan suatu perencanaan yang cukup matang sebelum melaku-
kannya. Bahkan, setiap tindakan atau kegiatan harus direncanakan dan
diperhitungkan benar semua kemungkinan-kemungkinannya. Oleh karena
itu, juga diperlukan evaluasi bersama setiap saat selama proses advo-
kasi berlangsung.

 Keberanian, pantang menyerah, kesiapan menghadapi resiko penting


dimiliki aktivis advokasi. Kegiatan advokasi ternyata juga sarat dengan
berbagai dampak dan resiko tertentu, terkadang sampai membahayakan
keselamatan jiwa mereka yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu,
diperlukan keberanian, semangat pantang menyerah, serta kesiapan Anda bisa mempelajari
metode analisis pada
untuk menghadapi tantangan yang mungkin timbul.
Bab Analisis Konflik.

Langkah-langkah Advokasi
Dari ketiga contoh kasus, ternyata kegiatan advokasi yang dilakukan cukup
beragam. Tetapi, secara umum ada beberapa persamaan yang kalau diurutkan
adalah sebagai berikut.

Analisis dan pemetaan masalah


Suatu kegiatan advokasi biasanya bermula dari suatu permasalahan atau
isu yang dipicu oleh suatu kasus tertentu yang terjadi di tengah masyarakat.
Sebelum memutuskan untuk melibatkan diri sebagai pendamping masyarakat
1
korban untuk mengadvokasikan permasalahan atau isu tersebut, suatu Ornop
sebaiknya melakukan analisis dan pemetaan permasalahannya. Anda bisa
mempelajari metode analisis pada Bab Analisis Konflik.

Oleh karena advokasi adalah usaha untuk mengubah suatu kebijakan tertentu maka pada tahap
persiapan awal ini pulalah Ornop yang berminat mengadvokasikan suatu isu harus mulai melakukan
kajian kebijakan secara mendalam.
 Undang-undang (UU) atau peraturan-peraturan apa saja yang berkaitan?
 Apa saja rincian isi undang-undang atau peraturan tersebut dan mengapa dulu undang-
undang atau peraturan itu muncul?
 Bagian mana dari undang-undang atau peraturan itu yang dianggap merugikan masyarakat
korban dan karena itu, mereka memprotesnya?

Advokasi Damai
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah 108
 Siapa sesungguhnya yang paling diuntungkan dari undang-undang dan peraturan tersebut
dan mengapa?
 Apakah memang strategis untuk mengadvokasikan perubahan undang-undang dan peraturan
tersebut? (Misalnya, kalau undang-undang atau peraturan itu berubah maka akan membawa
dampak yang baik bagi masyarakat korban khususnya dan masyarakat luas umumnya).

Pengorganisasian Masyarakat

Setelah analisis dan pemetaan masalah, barulah Ornop pendamping mulai


melibatkan diri langsung dengan masyarakat korban yang akan didampingi dalam
proses advokasi (kecuali jika mereka memang sudah saling berhubungan
sebelumnya). Dari ketiga contoh kasus dan dalam banyak kasus advokasi lainnya,
langkah pertama yang dilakukan oleh para Ornop pendamping adalah
2
mengorganisir masyarakat korban agar lebih siap nantinya sebagai pelaku utama
advokasi. Inti dari tahap pengorganisasian ini adalah peningkatan kemampuan
masyarakat korban melalui berbagai kegiatan pelatihan, pertemuan dan diskusi, penyediaan informasi,
dan sebagainya. Hasil terpenting dari tahap ini adalah terbentuknya suatu organisasi masyarakat korban
yang kuat, mampu bekerja secara lebih sistematis, dan penuh percaya diri. Dari ketiga kasus dan
pengalaman selama ini, tahap ini bisa berlangsung cukup lama, bisa bulanan atau bahkan tahunan,
tetapi biasanya juga dilakukan sambil menunggu proses advokasi dimulai.

Ketika organisasi masyarakat korban sudah terbentuk dan memiliki kemampuan dasar yang
diperlukan, barulah kemudian dilakukan perencanaan strategis bersama antara organisasi
masyarakat korban dengan Ornop pendamping untuk menentukan:
 Apa isu strategis yang ingin dijadikan fokus advokasi dari kasus yang dihadapi oleh masyarakat
korban dan mengapa?
 Apa sasaran perubahan kebijakan yang ingin dicapai dan mengapa?
 Siapa saja yang dapat diajak untuk mendukung advokasi itu nanti dan mengapa?
 Apa saja kegiatan yang harus dilakukan, mengapa dan bagaimana caranya?
 Apa saja kemungkinan resiko dan dampak yang akan dihadapi ketika melakukan kegiatan
advokasi itu nanti dan bagaimana cara menghadapinya?
 Apa saja peluang dan sumber daya yang kita miliki untuk melakukan advokasi tersebutapakah
cukup memadai atau masih memerlukan dukungan bantuan dari siapa saja dan bagaimana
caranya?
 Apa saja hal-hal penting dan prinsip yang harus disepakati sebagai aturan main
bersama selama proses advokasi nanti dan bagaimana cara menjamin
pelaksanaannya dengan baik?

Advokasi Damai
109 Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
Pengumpulan data dan informasi

3
Berdasarkan perencanaan strategis itulah kemudian dilakukan kegiatan-kegiatan
pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan kasus dan diperlukan untuk
mengadvokasikannya.

Banyak data dan informasi yang perlu, tetapi yang paling penting dan mutlak adalah:
 Fakta-fakta mengenai kasus yang dihadapi masyarakat korban (usahakan serinci mungkin
sampai kecatatan kejadian-kejadian penting, jenis dan jumlah korban, dan sebagainya).
 Dokumen-dokumen resmi berbagai kebijakan, undang-undang atau peraturan yang
berkaitan atau menjadi sumber penyebab kasus tersebut.
 Kasus-kasus serupa di tempat lain yang berguna sebagai bahan perbandingan dan
pembelajaran.

Membangun jaringan pendukung

Jika semua data dan informasi yang penting dan diperlukan sudah tersedia, usaha
menggalang dukungan seluas mungkin dari berbagai pihak mulai dapat dilakukan. 4
Berbagai pihak yang dapat diajak sebagai pendukung adalah:
 Ornop-ornop lokal, nasional atau, jika memang diperlukan dan mampu, juga Ornop-
ornop internasional
 Sesama masyarakat korban
 Perseorangan yang dianggap penting dan memiliki pengaruh
 Kalangan profesional (misalnya, praktisi hukum, wartawan, dan lain-lain)
 Kalangan akademis dari perguruan tinggi, terutama untuk membantu melakukan kajian
dan riset yang diperlukan
 Jika mampu meyakinkan mereka dan memang terbukti bahwa mereka tidak akan
mengkhianati, juga kalangan politisi dan birokrat yang bersimpati

Advokasi Damai
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah 110
Melakukan kampanye dan lobi
Jika jaringan sekutu atau pendukung sudah cukup luas dan kuat, kampanye
pendapat umum dan lobi-lobi politik pun mulai bisa dilaksanakan.
Kampanye bisa dilakukan dengan berbagai cara dan media, mulai dari fo-
rum-forum publik (seminar, lokakarya, dialog terbuka, dan lain-lain) sampai
5
pemanfaatan semua media cetak dan elektronik yang ada (leaflet, brosur, poster,
lembar fakta, koran-koran, siaran radio, televisi, dan sebagainya).
Lobi juga bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang bersifat
kontak-kontak pribadi dengan kalangan pembuat kebijakan sampai yang sifatnya Bab Mendesain dan
dialog terbuka (dengar-pendapat dengan DPR, dialog kebijakan, dan sebagainya). Menggunakan Media

Tentang cara-cara, teknik-teknik atau taktik melakukan kampanye dan lobi bisa dipelajari
terutama dari mereka yang berpengalaman sehingga salah satu cara terbaik melakukan
kampanye atau lobi adalah dengan meminta bantuan kaum profesional yang bersedia
mendukung untuk melakukannya, asalkan mereka tetap bersedia dalam garis kebijakan
dan strategi advokasi yang disepakati oleh masyarakat korban dan pendampingnya.

Aksi-aksi Langsung

Tekanan pendapat umum yang dihasilkan dari kegiatan kampanye biasanya


akan menjadi lebih diperhatikan oleh para pembuat kebijakan jika juga terjadi
tekanan-tekanan politik yang dihasilkan dari aksi-aksi langsung. 6
Berbagai bentuk aksi-aksi langsung yang banyak dikenal dan digunakan selama ini, antara lain:
 Unjuk-rasa (demonstrasi)
 Mogok
 Blokade atau menduduki tempat-tempat umum strategis
 Rapat-rapat akbar
 Mengajukan gugatan hukum ke pengadilan
 Upacara-upacara khusus, misalnya upacara adat untuk menggalang kesetia-
kawanan, seperti dalam Kasus 1 di Mollo Utara, Timor

Advokasi Damai
111 Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
Pendokumentasian, pemantauan, dan evaluasi

7
Untuk mengetahui perkembangan atau kemajuan suatu proses advokasi,
pendokumentasian seluruh proses, pemantauan langsung di lapangan dan terhadap
perkembangan sikap pemerintah, serta evaluasi hasil dan tatacara kerja advokasi,
mutlak diperlukan.

Kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan adalah:


 Pencatatan kronologis kasus atau peristiwa
 Pengumpulan foto-foto, kaset rekaman, peta lokasi, video, dan lain-lain.
 Penulisan laporan perkembangan dan hasil advokasi
 Pertemuan-pertemuan berkala untuk memantau dan mengevaluasi proses, strategi,
hasil dan rencana tindak lanjut

Advokasi Damai
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah 112
Bagian 4
Saran-saran Praktis
Hal-hal yang Perlu Dilakukan oleh Pelaku Advokasi

Sesuai dengan pengertian, prinsip dasar dan langkah-langkah advokasi


tersebut di atas maka berdasarkan pengalaman nyata selama ini disarankan
beberapa hal praktis sebagai berikut.

1. Waspadailah kemungkinan terjadinya pengambilalihan peran pelaku


utama advokasi oleh pihak pendamping (para aktivis Ornop) dari masya-
rakat korban.
Kegiatan advokasi menye-
2 Waspadai juga kemungkinan pembelokan isu utama advokasi, baik diakan banyak sekali ke-
oleh para pendamping, pendukung, maupun pihak lawan. Pemerintah sempatan untuk menjadi
“orang terkenal” (misalnya,
misalnya, selalu berusaha mencoba membela diri mereka dan menghindari
selalu diwawancarai dan
tanggung jawab dengan membelokkan atau mengaburkan permasalahan menjadi berita media mas-
utama yang diajukan oleh masyarakat korban. Biasanya mereka memancing sa), punya banyak hubungan
masyarakat melakukan hal-hal yang tidak perlu (misalnya tindak kekerasan), dengan pusat-pusat infor-
kemudian menyatakan bahwa masyarakat melanggar hukum atau masi dan kekuasaan politik
menganggu keamanan sehingga isu utamanya (yakni tuntutan masyarakat maupun ekonomi (misal-
nya, dengan para politisi,
korban itu sendiri) terkesampingkan.
pejabat pemerintah, atau
3. Oleh karena itu, bersiaplah selalu dengan data dan informasi terbaru, lembaga donor), sehingga
baik data dan informasi lapangan (seperti perkembangan kasusnya sendiri, para pendamping sering
mudah sekali tergoda untuk
keadaan masyarakat korban, dampak yang ditimbulkan, dan sebagainya)
selalu tampil paling depan
maupun data dan informasi mengenai berbagai kebijakan, peraturan atau meng”atasnama”kan ma-
tindakan pemerintah yang berkaitan dengan isu atau kasus yang syarakat korban. Sebaiknya,
diadvokasikan. Jangan biarkan diri Anda ketinggalan informasi terbaru, buat satu kesepakatan yang
sehingga menjadi lebih mudah terpancing dan terhasut untuk membelok jelas tentang hal ini sejak
awal dengan masyarakat
dari isu dan agenda utama advokasi.
korban sendiri.
4. Tetapi, kalau isu utama advokasi masih merupakan sesuatu yang
sangat peka secara politik maupun hukum, sebaiknya isu tersebut
dikemas sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kecurigaan-
kecurigaan berbagai pihak. Seperti dalam contoh kasus ketiga, isu
perjuangan hak-hak politik mantan tahanan politik, demi mencegah berbagai
reaksi yang tidak perlu dari berbagai pihak, sehingga “disamarkan” dulu
dengan lebih mengajukan isu lain yang lebih menyangkut persoalan
kehidupan sehari-hari mereka sebagai buruh tani.
Advokasi Damai
113 Saran-saran Praktis
5 Sehingga, bersiaplah dengan berbagai kemungkinan resiko yang akan
terjadi. Karena menyangkut persoalan kebijakan pemerintah, salah satu
resiko yang paling sering dihadapi dalam kegiatan advokasi adalah serangan Praktisi hukum
yang peduli, berdedikasi
balik atau tindakan pembalasan dari pihak pemerintah dalam berbagai dan bersih memang masih
bentuk, mulai dari usaha memecah-belah, mengancam dan menakut-nakuti, merupakan mahluk langka di Indo-
nesia sehingga, kalau sulit mene-
sampai menangkap dan memenjarakan “atas nama hukum dan peraturan.” mukannya, pilih dan ajak yang
Kalau sudah sampai pada tahap ini, sebaiknya masyarakat korban dan “terbaik di antara yang terjelek”
yang tersedia, tetapi dengan mem-
para pendampingnya juga didampingi oleh seorang atau satu tim batasi peran dan fungsi mereka
pengacara dan paktisi hukum. pada hal-hal bersifat teknis dan
prosedural hukum saja, misalnya,
6 Tetapi, berhati-hatilah ketika memilih dan mengajak para praktisi hukum hanya diajak kalau Anda dan
masyarakat sampai terpaksa harus
untuk mendampingi Anda dan masyarakat korban. Sudah bukan rahasia beracara di mahkamah peradilan,
lagi, praktek-praktek sistem hukum di Indonesia adalah salah satu yang pal- atau ketika berurusan dengan aparat
militer dan kepolisian.
ing korup dan amburadul, penuh dengan permainan uang, sogok dan suap.
Salah satu cara terbaik adalah pilih dan ajak mereka yang memang sudah
terbukti kepedulian, pengabdian dan kebersihan pribadinya selama Di masa pemerintahan
otoriter Orde Baru,
ini. mungkin memang sangat
rawan untuk bekerjasama lang-
7. Kehati-hatian yang sama juga berlaku ketika Anda memilih dan sung dengan para politisi.
mengajak pihak-pihak pendukung yang lain, misalnya kalangan Sekarang, setelah sistem politik
berubah, mungkin justru perlu
akademisi dari perguruan tinggi, para wartawan dari media massa, tokoh- mengajak mereka menjadi pen-
tokoh agama atau masyarakat yang terkenal sebagai pembentuk pendapat dukung aktif yang juga terlibat
langsung dalam kegiatan advokasi
umum, para politisi atau anggota DPR, bahkan juga pegawai pemerintah sesuai dengan kedudukan, peran,
atau birokrat yang dianggap memiliki kedudukan penting dan menentukan dan kemampuan mereka.

untuk membantu tercapai tujuan advokasi.

8. Jangan terpaku pada hanya satu strategi atau cara tertentu. Jika terbukti
strategi dan cara itu kurang tepat untuk mencapai hasil yang diinginkan,
Jangan terpaku pada
jangan ragu-ragu untuk menggantinya dengan strategi atau cara lain yang
hanya satu strategi
lebih baik, sesuai dengan perkembangan keadaan. Demikian pula halnya atau cara tertentu.
dengan pemilihan dan penggunaan media, baik untuk keperluan
penyampaian informasi dan pelatihan kepada masyarakat korban maupun
untuk keperluan kampanye pembentukan pendapat umum. Prinsipnya,
gunakan sebanyak mungkin media yang mudah dipahami oleh Bab Mendesain dan
masyarakat awam, terutama masyarakat korban. Usahakanlah untuk Menggunakan Media
selalu menggunakan bahasa keseharian yang mudah dimengerti. Media
seperti foto-foto, gambar-gambar, peta-peta, akan sangat membantu.
Pembahasan lebih jauh mengenai media bisa dibaca pada Bab Mendesain
dan Menggunakan Media dalam buku ini.
Advokasi Damai
Saran-saran Praktis 114
9. Khusus untuk pemilihan dan penggunaan media massa dalam rangka
kampanye pembentukan pendapat umum, sebaiknya dilakukan secara
bertahap sesuai dengan perkembangan kasus dan proses advokasinya Usahakan agar isu atau
sendiri. Usahakan agar isu atau permasalahan yang diadvokasikan permasalahan yang
tetap terjaga sebagai “berita hangat” dalam media massa, tetap diadvokasikan tetap terjaga
memancing perhatian khalayak umum, sehingga tidak tenggelam oleh sebagai “berita hangat”
dalam media massa, tetap
banyak permasalahan dan berita-berita lainnya. Usahakan sedemikian rupa
memancing perhatian
mengatur irama dan tempo pemberitaan di media massa. khalayak umum.
10 Bila terjadi pengelompokan orang-orang yang mendukung (pro) dan
menentang (kontra) di kalangan masyarakat korban sendiri, sebaiknya tetap
melanjutkan proses advokasi dengan mereka yang mendukung, tetapi Sistem adat atau prak-
jangan mengabaikan sama sekali mereka yang menentang. tek kebiasaan lokal
Berdasarkan pengalaman selama ini, proses rujuk antar kedua kelompok biasanya selalu me-
miliki cara-cara perda-
yang berbeda itu biasanya lebih cepat dan bijak diselesaikan oleh mereka
maiannya sendiri.
sendiri dengan cara-cara damai yang sudah mereka kenal di antara mereka. Cobalah bersikap arif
11. Maka, jangan membuang-buang waktu dan tenaga untuk urusan yang untuk tidak terlalu
banyak “mencampuri
tidak terlalu perlu atau yang bukan menjadi bagian tugas atau urusan
urusan dalam” mereka.
pokok Anda. Banyak kegiatan advokasi selama ini lebih menghabiskan
waktu para pendamping masyarakat korban menangani perkara-perkara
seperti persaingan pribadi atau antar organisasi pendamping, pembelokan Setiap orang dalam tim
atau jaringan advokasi
isu atau pancingan hasutan oleh pihak lawan, dan sebagainya. Singkatnya,
sebaiknya saling me-
tanggapi dan ambil tindakan seperlunya saja. miliki alamat kontak
12. Oleh karena itu, sepakati sejak awal pembagian dan tatacara kerja di yang jelas dan yang
paling mudah dihubu-
antara semua pihak yang terlibat dalam proses advokasi, terutama di
ngi kapan saja dibu-
antara para pendamping dan pendukung. Tentukan dan kenali bersama tuhkan.
apa kekuatan dan kelemahan masing-masing, apa kemampuan terbaik
setiap orang atau organisasi, kemudian buat kesepakatan-kesepakatan yang
jelas tentang pembagian tugas atau kerja masing-masing, jika perlu sepakati
sekalian aturan-aturan kedisiplinan bersama.
Tim advokasi sepakati suatu
13. Salah satu hal teknis yang penting dan menentukan dalam tatacara kerja tim tempat tertentu, yang jelas
advokasi adalah kemudahan untuk setiap saat saling berhubungan satu sama dan pasti, untuk melakukan
lain. Oleh karena itu, sepakati suatu tempat tertentu, yang jelas dan koordinasi dan komunikasi
pasti, untuk melakukan koordinasi dan komunikasi mengenai setiap mengenai setiap
perkembangan kasus dan
perkembangan kasus dan proses advokasinya. Tempat yang dimaksud
proses advokasinya.
sebaiknya ada yang di lokasi kasus di tempat tinggal masyarakat korban, dan

Advokasi Damai
115 Saran-saran Praktis
ada yang di salah satu kantor Ornop pendukung. Jika jaringan advokasi sudah meluas sampai ke
tingkat nasional, perlu juga disepakati tempat tersebut, misalnya salah satu kantor Ornop pendukung
di Jakarta.

14. Akhirnya, karena advokasi yang dianjurkan di sini adalah advokasi dalam rangka membangun
perdamaian yang mestinya dijalankan dengan cara-cara damai pula, usahakan sedapat mungkin
menghindari penggunaan “tindak kekerasan”. Memang sulit menentukan batas-batas apa yang
disebut sebagai “tindak kekerasan”. Dalam kenyataan pengalaman selama ini sering diperlukan
tindakan tertentu yang terkesan “mengandung unsur kekerasan” untuk mempertahankan diri dari
tindak kekerasan sesungguhnya yang dilakukan oleh pihak lawan, terutama ketika melakukan aksi-
aksi massal seperti unjuk rasa. Atau, dalam rangka memberikan tekanan yang lebih kuat kepada para
pembuat kebijakan, karena selama ini bersikap pongah dan tidak mau memperhatikan apa yang
dituntut oleh masyarakat korban, maka tindakan-tindakan keras diperlukan. Dalam banyak kasus
advokasi selama ini, kadangkala tindakan-tindakan keras itulah yang justru membuat “terobosan”
memecahkan kebuntuan dalam proses advokasi sebagai akibat kepongahan atau kekeras-kepalaan
para pembuat kebijakan.

Dalam contoh kasus pertama, rakyat Mollo Utara terpaksa menduduki dan merusak base camp
perusahaan marmer di sana karena berbagai upaya sebelumnya untuk meminta mereka menghentikan
kegiatan sudah tidak mempan lagi, bahkan justru membalasnya dengan ancaman dan tindak
kekerasan terhadap penduduk oleh aparat militer setempat. Lantas, bagaimana kita menilai
“kekerasan” yang dilakukan oleh orang-orang Moronene yang memecahkan kaca-kaca jendela
ketika menduduki gedung DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara? Oleh karena itu, sebaiknya sepakati
bersama sejak awal apa batas-batas dari semua tindakan yang akan dilakukan, mana yang
boleh dan mana yang tidak boleh, sampai batas mana dan dalam keadaan apa?

Advokasi Damai
Saran-saran Praktis 116
Contoh kasus

Sejak tahun 1988, masyarakat adat di Yamdena, Kepulauan Tanimbar,


Maluku Tenggara sudah menyatakan protes dan menolak konsesi pembabatan
hutan oleh PT Alam Nusa Segar (ANS) dalam kawasan hutan ulayat tradisional
mereka. Tetapi, protes mereka sama sekali tidak dipedulikan oleh pemerintah
yang memberi izin konsesi dan pihak perusahaan.
Sesudah berbulan-bulan memprotes dengan cara-cara sopan dan damai,
akhirnya mereka tidak dapat menahan diri lagi dan pada suatu hari di bulan
November 1990, ratusan penduduk dari delapan desa terdekat menyerbu dan
merusak empat base camp perusahaan dalam hutan wilayah konsesi. Mereka
membakar semua base camp tersebut dan merusakkan hampir semua alat-alat
berat pembalakan (traktor, mesin diesel, truk-truk, chainsaw) dan semua perabot
base camp. Ketika mereka tiba di lokasi, mereka terlebih dahulu meminta semua
pekerja perusahaan untuk menyingkir dengan membawa semua barang-barang
pribadi mereka. Tak ada seorangpun yang disakiti.
Ini memang merupakan kesepakatan di antara mereka. Dalam rangkaian
pertemuan penduduk sebelum penyerbuan, perdebatan keras antar mereka sendiri
memang sempat terjadi tentang: bagaimana cara melakukan penyerbuan tersebut,
apa yang boleh dan apa yang tidak boleh? Beberapa kali pertemuan tidak
mencapai kesepakatan bahkan nyaris terpecah antara kelompok yang ingin
melakukan tindakan apa saja dengan mereka yang tidak setuju. Akhirnya, dengan
alasan ajaran agama untuk menghormati kehidupan dan dilarang membunuh
(mereka semua adalah penganut Katolik yang saleh), dan alasan praktis agar
persoalannya nanti tidak dibelokkan menjadi persoalan tindak-pidana, mereka
bersepakat bahwa satu-satunya yang tidak boleh dilakukan adalah menyakiti
dan membunuh manusia. Oleh karena itu semua yang akan ikut penyerbuan
diminta untuk mentaati prinsip ini. Mereka mengorganisir diri dalam beberapa
kelompok yang masing-masing akan diawasi oleh seorang tetua adat paling
berpengaruh untuk mencegah anggota setiap kelompoknya terpancing menyakiti
atau bahkan membunuh para pekerja perusahaan di base camp. Siapa saja yang
melanggar ketentuan ini bahkan diancam akan dikenakan hukum adat yang
sangat berat.

Bagaimana pendapat Anda sendiri? Apakah ini termasuk “tindak kekerasan”

atau bukan? Mengapa?

Advokasi Damai
117 Saran-saran Praktis
Menetapkan Ukuran Keberhasilan Kegiatan Advokasi

Bagaimana kita tahu usaha advokasi yang kita lakukan itu berhasil atau
tidak?

Seperti sudah diuraikan dalam pengertian dan prinsip dasar advokasi, tujuan
utama advokasi adalah terjadinya perubahan kebijakan.
Oleh karena apa yang disebut sebagai kebijakan itu sendiri terdiri dari: (1)
sejumlah peraturan tertulis (undang-undang, peraturan daerah, dan sebagainya); Oleh karena itu, ukuran
utama untuk mengatakan
(2) tatacara dan praktek pelaksanaannya yang sangat ditentukan oleh sikap dan
apakah suatu itu kegiatan
perilaku aparat pelaksananya; dan (3) pandangan masyarakat umumnya yang advokasi itu berhasil atau
mengakui dan menerima peraturan tersebut; maka yang paling bagus memang tidak adalah: Apakah
adalah kalau ketiga-tiganya bisa berubah secara serempak. Tetapi kalau advokasi memang terjadi peru-
kita ternyata baru mampu mengubah salah satunya saja, hal itu sudah cukup bahan kebijakan seperti
yang dituntut oleh ma-
baik, sehingga sejak awal kita memang perlu menentukan: mana di antara ketiga
syarakat? Kita harus be-
hal itu -sesuai dengan tuntutan, kebutuhan, tingkat pemahaman dan
rendah hati untuk menga-
kemampuan masyarakat korban- yang paling penting kita jadikan sasaran kui bahwa advokasi kita
advokasi agar segera berubah? memang gagal atau
Singkatnya, jangan terlalu cepat berpuas diri. Kalau salah satu dari ketiga belum berhasil jika pe-
hal itu sudah tercapai, kegiatan advokasi tidak boleh berhenti sama sekali, masih rubahan kebijakan yang
diinginkan itu memang
ada dua hal lainnya yang perlu diperjuangkan terus agar berubah juga. Bahkan,
belum terjadi.
masih ada banyak peraturan lainnya yang berkaitan pada berbagai tingkatan
(lokal, nasional, bahkan internasional) yang tetap memerlukan perubahan.
Tetapi, seperti yang juga sudah diuraikan sebelumnya, ada banyak hal lain
yang bisa dicapai dan dihasilkan selama proses advokasi berlangsung. Meskipun
kita tidak bisa mengatakan bahwa advokasi kita sudah berhasil mencapai tujuan
utamanya, kita bisa mengatakan bahwa paling tidak, kita sudah berhasil
menciptakan prasyarat-prasyarat penting yang dibutuhkan ke arah pencapaian
tujuan akhir itu nanti, jika beberapa hal berikut ini mampu kita capai selama proses
advokasi, yakni:

a. Masyarakat korban semakin memahami secara kritis hakikat


permasalahan yang mereka hadapi: Mengapa permasalahan itu timbul?
Kebijakan apa yang menjadi penyebab utamanya? Mengapa sampai ada
kebijakan semacam itu? Siapa saja yang berada di balik kebijakan itu dan
apa saja kepentingan-kepentingan mereka?

b. Masyarakat korban menjadi lebih terorganisir dan mampu menjadi


pelaku utama kegiatan advokasi: Apakah mereka sudah mampu melakukan

Advokasi Damai
Saran-saran Praktis 118
sendiri semua kegiatan utama advokasi, mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan dan
hasilnya? Apakah mereka memang sudah menjadi pembuat keputusan utama selama proses advokasi
berlangsung? Apakah para aktivis atau Ornop pendamping dan para pendukung lainnya memang
pada akhirnya hanya berfungsi sebagai pendukung saja?

c. Terbentuknya pendapat yang semakin luas di tengah masyarakat umum yang juga
menginginkan agar kebijakan yang dituntut oleh masyarakat korban memang merugikan
rakyat dan harus diubah: Apakah mereka menyatakannya secara terbuka pula, misalnya melalui
media massa? Apakah ada perubahan sikap pemerintah menanggapi tuntutan masyarakat korban
sebagai akibat tekanan pendapat umum yang semakin meluas itu?

d. Terbentuknya jaringan kerja advokasi yang secara aktif mendukung kegiatan advokasi: Apakah
mereka terdiri dari berbagai kalangan dan lapisan yang ada dalam masyarakat? Seberapa banyak dan
seberapa luas? Siapa-siapa saja mereka? Apakah mereka memang memberikan sumbangsih nyata,
aktif, dan langsung dalam seluruh proses advokasi?

e. Tidak munculnya berbagai tindak-kekerasan baru sebagai akibat dari kegiatan advokasi:
Apakah pemerintah dan aparat keamanannya justru tidak melakukan serangan balik dengan
mengancam, menakut-nakuti, atau bahkan menyakiti secara fisik masyarakat korban dan para
pendamping atau pendukungnya? Apakah masyarakat korban sendiri tidak terpancing melakukan
tindak kekerasan yang sama?

Orang kecil macam kita ini


mau hidup tenang dan damai
saja. Yang suka bikin rusuh
itu sebenarnya siapa, ya?

Advokasi Damai
119 Saran-saran Praktis
Bagian 5
Peringatan-peringatan Penting

Seperti sudah diuraikan pada pengertian dan prinsip dasar, kegiatan advokasi
ternyata sarat dengan resiko dan kemungkinan menimbulkan berbagai dampak
yang tidak diinginkan.
Berdasarkan pengalaman selama ini, berbagai kemungkinan resiko dan
dampak tersebut adalah:

a. Terjadi konflik baru di kalangan masyarakat korban sendiri atau antara


mereka dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik akan selalu ada,
kapan dan di mana saja, sehingga mustahil untuk meniadakannya sama
sekali. Apa yang perlu dicegah adalah konflik yang kemudian mengarah kepada
tindak kekerasan yang mengancam dan menghilangkan nyawa sesama
manusia, merampas hak-hak asasi orang lain, dan merusak alam kehidupan.

b. Ancaman dan tindakan pembalasan dari mereka yang kepentingannya


terganggu akibat kegiatan advokasi. Ini bisa saja menimpa masyarakat
korban sendiri, tetapi juga para pendamping dan pendukungnya. Ada banyak
kasus selama ini di mana masyarakat korban, para pendamping dan
pendukungnya, diteror dengan berbagai cara, mulai dari cara yang paling
halus (misalnya, dicap sebagai “penghasut”), yang ringan (diancam lewat
telepon, direkayasa sedemikian rupa agar mengalami “kecelakaan yang tidak
disengaja”), sampai yang paling kasar (misalnya, dianiaya secara fisik, ditahan,
dipenjara, bahkan diculik dan dibunuh).

c. Dicibirkan bahkan oleh kerabat dan orang-orang terdekat sendiri.


Banyak aktivis pendamping masyarakat korban selama ini yang menceritakan
pengalaman pribadi mereka bagaimana para kerabat, keluarga, dan kawan-
kawan dekat sendiri secara sinis menanyakan kepada mereka: “Untuk apa
sih repot-repot ngurus masalah orang lain?”

d. Pengorbanan waktu, tenaga, biaya, pikiran, dan perasaan. Kegiatan


advokasi adalah kegiatan berjangka lama dan penuh dengan berbagai
kegiatan yang berlangsung terus-menerus. Tidak sedikit aktivis pendamping
masyarakat korban yang akhirnya terpaksa harus mengorbankan seluruh waktu
dan tenaga mereka untuk melaksanakan kegiatan advokasi. Bahkan juga
mengeluarkan biaya sendiri, karena banyak kasus di mana masyarakat korban
adalah lapisan masyarakat miskin yang nyaris tidak memiliki apa-apa lagi.

Advokasi Damai
Peringatan-peringatan Penting 120
Proses-proses advokasi yang melibatkan banyak orang dari berbagai latar-belakang juga sering
membuat seorang aktivis pendamping masyarakat korban perlu berkorban perasaan demi menjaga
agar keutuhan tim advokasi tetap terjaga.

Terhadap semua kemungkinan resiko dan dampak tersebut, tidak ada rumus tindakan yang paling
sempurna untuk menghadapinya. Yang terbaik adalah memperkirakannya sejak awal dan belajar dari
pengalaman nyata mereka yang sudah mengalaminya selama ini. Kalau kegiatan advokasi memang
direncanakan dengan baik sejak awal, semua kemungkinan resiko dan dampak tersebut dapat dikurangi
sekecil mungkin, tetapi mungkin memang tak dapat dihindari sama sekali. Dan tentu saja, kesiapan
mental secara pribadi akan sangat menentukan.

Advokasi Damai
121 Peringatan-peringatan Penting
Bagian 6
Sumber-sumber Belajar

Akhirnya, bagaimana kalau kita ingin belajar lebih banyak mengenai advokasi? Paling tidak ada dua
cara: membaca buku dan mengikuti pelatihan atau magang.

Kepustakaan
Ada banyak sekali bahan-bahan kepustakaan dan dokumentasi yang sekarang tersedia, tetapi di sini
kita senaraikan beberapa saja yang memang mungkin cukup mudah untuk Anda peroleh, terutama yang
memang sudah dalam bahasa Indonesia.
Selain buku-buku yang sudah diterbitkan untuk umum tersebut (sehingga Anda dapat membelinya di
toko-toko buku), bahan-bahan tertulis lainnya adalah dalam bentuk dokumentasi laporan berbagai Ornop
di Indonesia tentang kegiatan advokasi yang mereka lakukan. Cara terbaik untuk memperoleh laporan-
laporan tersebut adalah dengan menghubungi langsung organisasi-organisasi yang bersangkutan.

Pelatihan & Magang

Jika Anda ingin mengikuti pelatihan-pelatihan mengenai advokasi, ada beberapa organisasi yang
dapat Anda hubungi, antara lain:

Institute for Social Transformation (INSIST), Sekip Blimbingsari CT-IV/38, Jogjakarta 55281; Telp/Fax:
0274-561847; e-mail: insist@indosat.net.id

Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jalan Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu,
Jakarta 12510; Telp. 021-7972662, 79192564; Fax. 021-79192519; e-mail: elsam@nusa.or.id dan
advokasi@rad.net.id

Public Interest Research & Advocacy Center (PIRAC), Mampang Prapatan XI/39, RT.05/RW04, Jakarta
12790; Telp/Fax: 021-79190752; e-mail: pirac@pirac.or.id

Berbagai Ornop yang selama ini terlibat langsung dalam berbagai kegiatan advokasi di daerah-
daerah juga menyediakan pelatihan-pelatihan advokasi khusus sesuai dengan tema-tema atau isu-isu
advokasi mereka selama ini. Organisasi-organisasi semacam itu merupakan tempat yang sangat bagus
untuk magang, karena Anda akan melihat dan ikut langsung juga terlibat dalam kegiatan advokasi mereka
yang sedang berlangsung sehingga Anda bisa belajar langsung dari praktek dan pengalaman nyata. Ada
banyak sekali organisasi semacam itu di seluruh Indonesia, baik pada tingkat kabupaten maupun propinsi.
Anda bisa menanyakannya kepada Ornop setempat. Sebagai pedoman saja, terutama untuk mendapatkan
informasi lanjut yang lebih rinci, Anda misalnya dapat menghubungi organisasi-organisasi ini:

– Pusat Informasi Advokasi Rakyat (PIAR), Jalan W.J.Lalamentik No.75, Oebobo, Kupang;

Telp/Fax: 0380-827917; e-mail: Piar@kupang.wasantara.net.id

Advokasi Damai
Sumber-sumber Belajar 122
– LIMIT ornop for Social Transformation, Jalan Abunawas 113, Kendari 93117; Telp. 0401-395544; e-
mail: arianggu@yahoo.com

– Inter-Faith Committee (IFC), Jalan Ahmad Yani 16B, Purwodadi 58111, Grobogan, Jawa Tengah;
Telp. 0292-421204; e-mail: didi_dea@telkom.net

– Yayasan Tita Mae, Jalan dr. Kayadoe Sk 26/1, Ambon; Telp/Fax: 0911-341622; e-mail:
titamae@ambon.wasantara.net.id

– Yayasan Mitra Bentala, Jalan Flamboyan No.18, Enggal, Bandar Lampung 35118; Telp/Fax: 0721-
241383; e-mail: yamitra@indo.net.id

– Catholic Relief Services (CRS) Kupang, Jalan Sam Ratulangi I/18, Walikota Baru, Kupang 85228;
Telp. 0380-827272, 829051; e-mail: crs@kupang.wasantara.net.id

– Yappika (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi), Jl. Pedati Raya No.20 RT 007/09, Otista
Kampung Melayu, Jakarta Timur, Jakarta; Tel: 021-8191623, e-mail: yappika@indosat.net.id /
yappika@yappika.org

– Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jalan Situ Batu No.C-9, Bandung, Buah Batu, Jawa Barat;
Telp: 022-7303386; e-mail: kpa@kpa.or.id/deputi_pendidikan_pengorganisasian@kpa.or.id

– Lembaga Bina Potensia (LBP), Cempaka X No.15, Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Telp: 0511-
51263; e-mail: benawa@banjarmasin.wasantara.net.id, lbp@indo.net.id

– Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan EkonMomi dan Sosial (LP3ES), Jalan S.
Parman 81 Slipi, Jakarta Barat, DKI Jakarta; Telp: 021-5674211; e-mail: KONFLIK@lp3es.or.id

– Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Masyarakat (LP3M ALGHEINS), Jalan Ir.
Juanda 132 A, Ponorogo, Tonatan, Jawa Timur; Telp: 0352-485067; e-mail: algh@indo.net.id

– PACT Indonesia, Jalan Tebet Barat I No.8, Jakarta Selata, DKI Jakarta; Telp: 021-8293156; e-mail:
pactoca@cbn.net.id

Pelayanan Hukum dan Keahlian

Jika Anda membutuhkan bantuan para praktisi hukum, Anda dapat menghubungi semua kantor
cabang Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang terdapat hampir di semua ibukota
propinsi di Indonesia. Juga beberapa lembaga bantuan hukum lainnya yang selama ini aktif mendampingi
rakyat setempat mengadvokasikan isu-isu mereka. ELSAM di Jakarta telah menerbitkan satu buku petunjuk
khusus mengenai organisasi-organisasi pelayanan bantuan hukum tersebut di Indonesia, lengkap dengan
alamat dan uraian singkat mengenai kegiatan mereka (Direktori Lembaga Pelayanan Hukum; Jakarta:
ELSAM, 2000).

Advokasi Damai
123 Sumber-sumber Belajar
Untuk pelayanan keahlian lainnya (riset, kajian kebijakan, perancangan media kampanye, pemberitaan di
media massa, dan sebagainya), Anda dapat menghubungi lembaga-lembaga perguruan tinggi dan me-
dia massa di daerah anda.

Daftar Pustaka

Elwood, Wayne. Menggalang Kekuatan; Jakarta: YLKI, 1998.

Fakih, Mansour, ed. Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan: Kisah-kisah Advokasi di Indonesia;
Jogjakarta: INSIST Press & PACT-Indonesia, 2002.

Noertjahyo, Ludwina Inge & Safitri, Myrna A. Annotasi Peraturan Perundang-undangan berkaitan
dengan Akses Masyarakat Adat pada Sumber Daya Alam di Indonesia; Jakarta: ELSAM, 2000.

Putri, Agung & Palupi, Sri. Menelusuri Jejak, Menyingkap Fakta: Panduan Investigasi Pelanggaran Hak
Asasi Manusia; Jakarta: ELSAM, 1999.

Saidi, Zaim. Memenangkan Agenda Publik: Panduan Pelatihan Advokasi; Jakarta: PIRAC, 1998.

Topatimasang, Roem, Fakih, Mansour & Rahardjo, Toto eds. Merubah Kebijakan Publik: Panduan
Pelatihan Advokasi; Jogjakarta: INSIST Press & PACT-Indonesia, 2000.

Widjardjo, Boedi & Topatimasang, Roem eds. Pemantauan Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Panduan
Pelatihan di Tingkat Masyarakat; Jakarta: ELSAM, 2000.

Advokasi Damai
Sumber-sumber Belajar 124

También podría gustarte