Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Advokasi
Damai
Penyusun:
Esther Ahaswasty Day, (Pusat Informasi Advokasi Rakyat, Kupang)
Arief Rachman (LIMIT ornop for Social Transformation, Kendari)
Didik S. Mulyana (IFC, Grobogan)
John Lefmanut (Yayasan Tita Mae, Ambon)
Guswarman (Mitra Bentala, Lampung)
Kris Drijodemite (CRS, Kupang)
Didukung oleh:
Roem Topatimasang (INSIST, Jogjakarta), Fasilitator
Buyung (SBPY, Jogjakarta), Administrator
Advokasi Damai
87
Advokasi Damai
88
Daftar Isi
Bagian 1
Pendahuluan
Bagian 2
Belajar dari Pengalaman
– Rakyat Menentang Penambangan Marmer di Mollo Utara,
Pulau Timor
– Pengusiran Masyarakat Adat Moronene di Taman Nasional
Rawa Aopa, Sulawesi Tenggara
– Buruh Tani Mantan Tahanan Politik Memperjuangkan
Hak-hak Mereka di Grobogan, Jawa Tengah
Bagian 3
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
– Pengertian dan Prinsip Dasar Advokasi
– Langkah-langkah Advokasi
Bagian 4
Saran-saran Praktis
– Hal-hal yang Perlu Dilakukan oleh Pelaku Advokasi
– Menetapkan Ukuran-ukuran Keberhasilan
Bagian 5
Peringatan-peringatan Penting
Bagian 6
Sumber-sumber Belajar
– Daftar Organisasi-organisasi Pendukung
– Daftar Pustaka
Advokasi Damai
89
Advokasi Damai
90
Bagian 1
Pendahuluan
B ab yang akan Anda baca berikut ini dimulai dengan tiga contoh kasus.
Pertama, kasus sengketa tanah dan sumber daya alam antara rakyat Mollo Utara
di Timor Barat berhadapan dengan satu perusahaan swasta yang melakukan
Advokasi adalah proses
penambangan batu marmer di sana yang didukung oleh pemerintah daerah proaktif, dengan berbagai
setempat. Kedua, kasus pengusiran masyarakat adat Moronene, penghuni cara dan strategi, secara
kawasan hutan Taman Nasional Rawa Aopa Warumohai, oleh Dinas Kehutanan terus-menerus dan
bertanggung jawab,
Propinsi Sulawesi Tenggara. Ketiga, kasus rakyat buruh tani di Kabupaten membela atau
Grobogan, Jawa Tengah, mantan tahanan politik anggota Barisan Tani Indone- memperjuangkan
sia (BTI) yang dicap “komunis” yang berjuang menuntut pemulihan hak-hak politik terjadinya perubahan-
dan hak-hak milik pribadi mereka yang dulu dirampas segera setelah kudeta perubahan kebijakan yang
tidak menguntungkan
militer tahun 1965. rakyat awam, menjadi
Seperti halnya banyak kasus serupa di daerah-daerah lain di seluruh Indone- kebijakan-kebijakan yang
sia selama ini, rakyat di ketiga daerah kasus tersebut adalah juga korban-korban lebih menghormati dan
melindungi hak-hak
kebijakan resmi pemerintah, atas nama negara, dengan berbagai kepentingan politik
mereka.
dan ekonomi tertentu di baliknya. Rakyat di Mollo Utara adalah korban dari
kebijakan pemerintah daerah yang sangat mementingkan peningkatan angka-angka
pendapatan asli daerah (PAD). Masyarakat adat di Rawa Aopa adalah korban dari
kebijakan pemerintah daerah yang berpandangan sempit bahwa masyarakat adat
tak bisa hidup berdampingan secara damai dengan alam sekitarnya. Kaum buruh
tani di Grobogan adalah korban kebijakan nasional pemerintah rezim militer Orde
Baru yang mengharamkan segala bentuk, jenis perbedaan paham politik dan
pendapat, yang sangat anti-komunisme, dan yang sangat tidak memperhatikan Advokasi juga harus
kepentingan wong cilik seperti kaum buruh tani. dilandasi oleh prinsip-
prinsip perdamaian: tanpa
Ketiga kasus ini dituturkan kembali secara singkat oleh beberapa aktivis
kekerasan, dan tanpa atau
organisasi nonpemerintah (Ornop) dari daerah-daerah itu yang terlibat langsung sesedikit mungkin
mengorganisir para korban tersebut untuk mempertahankan dan memperjuangkan menimbulkan berbagai
hak-hak mereka. Untuk itu, mereka telah melakukan berbagai kegiatan mulai akibat lanjutan yang justru
akan semakin menguatkan
dari rangkaian pertemuan dan diskusi di tingkat kampung atau desa sampai ke sumber-sumber penyebab
aksi-aksi unjuk-rasa, pernyataan pers dan kampanye pendapat umum, utama terjadinya tindak
perundingan-perundingan, dan pengajuan alternatif pemecahan masalahnya. kekerasan dan
ketidakdamaian, seperti
Semuanya ditujukan ke satu sasaran akhir: berubahnya kebijakan pemerintah
pemiskinan, pembodohan,
yang mengorbankan rakyat tersebut, dan agar semua pihak menghormati hak- ketergantungan, dan
hak asasi mereka. sebagainya.
Oleh karena itu, menurut pengalaman di atas, apa yang disebut di sini sebagai
Advokasi Damai
91 Pendahuluan
“advokasi” pada dasarnya adalah proses proaktif, dengan berbagai cara dan strategi, secara
terus-menerus dan bertanggung jawab, membela atau memperjuangkan terjadinya perubahan-
perubahan kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat awam, menjadi kebijakan-kebijakan
yang lebih menghormati dan melindungi hak-hak mereka. Perdamaian hidup yang sejati dalam
masyarakat, pada dasarnya, hanya bisa terwujud jika hak-hak mereka sebagai manusia, sebagai warga
masyarakat, dan sebagai warga negara dihormati dan dilindungi.
Jadi, apa yang dimaksud dengan advokasi di sini adalah juga “advokasi dalam rangka membangun
perdamaian”. Oleh karena itu, berbagai cara dan strategi yang ditempuh dalam proses advokasi juga
harus dilandasi oleh prinsip-prinsip perdamaian: tanpa kekerasan, dan tanpa atau sesedikit
mungkin menimbulkan berbagai akibat lanjutan yang justru akan semakin menguatkan sumber-
sumber penyebab utama terjadinya tindak kekerasan dan ketidakdamaian, seperti pemiskinan,
pembodohan, ketergantungan, dan sebagainya.
Dalam ketiga kasus tersebut, akan tampak bahwa semua bentuk kegiatan yang dilakukan itu
merupakan proses panjang, rumit, bahkan melelahkan. Hasilnya, ada yang sudah mampu mencapai
hasil tertentu sementara yang lainnya belum berhasil sama sekali. Dalam buku ini dipaparkan pula hal
apa saja yang memungkinkan tercapainya hasil tersebut, juga apa saja yang membuat suatu kegiatan
advokasi tidak berhasil atau gagal. Berbagai kelemahan atau bahkan kesalahan yang mungkin dilakukan
oleh mereka yang melakukan proses-proses advokasi tersebut juga tampak dalam cerita ini. Semua itu
dapat menjadi pelajaran penting bagi siapa saja yang berminat melakukan advokasi. Pokok-pokok
pelajaran penting dari ketiga kasus itu mengenai beberapa pengertian dan prinsip dasar serta langkah-
langkah proses advokasi yang kemudian diuraikan secara ringkas setelah ketiga kasus tersebut.
Berdasarkan pelajaran-pelajaran itu pada uraian-uraian selanjutnya, beberapa saran praktis dihadirkan
juga bagi yang berniat melakukan kegiatan advokasi. Juga, beberapa ukuran yang dapat dijadikan pedoman
untuk menilai apakah kegiatan advokasi yang kita lakukan itu memang berhasil atau sebaliknya, gagal.
Kemudian sejumlah peringatan tentang kemungkinan-kemungkinan dampak atau resiko yang akan timbul
akibat kegiatan advokasi dan bagaimana menghadapinya. Terakhir sekali adalah beberapa sumber belajar
lainnya yang dapat dicari dan dihubungi untuk lebih memahami dan meningkatkan kemampuan melakukan
advokasi.
Bab ini memang lebih merupakan pedoman praktis secara garis besarnya saja, sepenuhnya disusun
berdasarkan pengalaman-pengalaman nyata para pelakunya langsung, bukan dari teori-teori baku. Jadi,
harap gunakan pedoman ini sebagai kerangka umum saja, jangan menganggapnya sebagai sekumpulan
rumus atau dalil kaku yang berlaku untuk semua keadaan, tempat dan waktu yang berbeda. Jadikan uraian-
uraian dalam Bab Advokasi ini lebih sebagai sumber acuan dan perbandingan lalu kembangkan sendiri
secara kreatif berbagai kemungkinan melakukan advokasi sesuai dengan keadaan, tempat dan waktu pelaku
advokasi sendiri dan rakyat yang didampingi.
Advokasi Damai
Pendahuluan 92
Bagian 2
Belajar dari Pengalaman
Desa Netpala adalah satu desa di bagian selatan Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS), sekitar 30 km dari Soe, ibukota kabupaten, dan sekitar 130 km dari
Kupang, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten TTS adalah
daerah dataran tinggi bersuhu dingin, tetapi dengan kelembaban cukup tinggi.
Selain penghasil jeruk yang sangat terkenal karena rasanya yang manis, daerah
ini juga terkenal dengan bahan galian C, seperti marmer. Dari sinilah kisah berawal,
salah satu konflik besar antara rakyat setempat dengan pemerintah berawal dari
penambangan batu marmer di dalam wilayah Desa Netpala, Kecamatan Mollo
Utara.
Konflik bermula pada bulan Februari 1998, ketika dua perusahaan swasta
nasional, PT Soe Marmer Indah dan PT Timor Marmer Industri hanya dengan
berbekal izin prinsip dari Gubernur NTT mulai melakukan usaha pertambangan Masyarakat adat Dawan
marmer di bukit batu (fatu) Naususu dan Anjaf, dua dari sekitar 12 bukit batu lainnya di Mollo Utara secara
tegas menolak
yang tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Mollo Utara maupun Mollo Selatan.
penambangan marmer
Bukit-bukit batu itu merupakan tempat suci dan keramat bagi penduduk setempat, di tempat-tempat suci
khususnya Fatu Naususu dan Anjaf, sebagai tempat bersejarah yang menjadi dan bersejarah mereka.
lambang pemersatu dan kesejahteraan bersama bagi seluruh warga masyarakat
adat suku Dawan (sebutan asli bagi masyarakat adat Timor), mulai dari Liurai di
Timor Timur sampai Sonbai, Oematan, di Timor Barat. Oleh karena itu, Fatu
Naususu dan Anjaf merupakan tempat suci di mana keputusan-keputusan penting
menyangkut adat dan kehidupan sosial orang Dawan dilakukan.
Masyarakat secara tegas menolak penambangan masuk di tempat-tempat
suci dan bersejarah mereka. Mereka menulis dan menyampaikan surat pernyataan
sikap penolakan kepada Bupati TTS, Gubernur NTT, dan sejumlah instansi
pemerintah yang terkait dengan masalah ini, baik di pusat maupun di daerah, dan
juga kepada pihak perusahaan. Mereka juga menyatakan penolakan dengan
melakukan aksi upacara adat langsung di lokasi penambangan di Fatu Naususu
dan Anjaf.
Alasan lain mengapa masyarakat setempat menolak usaha penambangan
marmer tersebut adalah dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Usaha
Advokasi Damai
93 Belajar dari Pengalaman
penambangan itu merusak daerah tangkapan air sungai-sungai di pulau Timor. Cara-cara penggalian
oleh perusahaan yang menggunakan bahan peledak dan kendaraan berat atau mesin-mesin pengeruk
mengakibatkan pelongsoran tanah besar-besaran, terutama karena jenis tanah di Desa Netpala adalah
tanah kasar, dengan lapisan permukaan yang dangkal (rata-rata hanya 90 cm), dengan kemiringan antara
45 sampai 90%. Data selama ini memperlihatkan tingkat erosi tanah di sana mencapai 1.027.172,16 ton
per hektar per tahun.
Lokasi kasus
Ini berarti bahwa hanya dengan getaran kecil saja sudah cukup untuk membuat terjadinya pergeseran dan
longsor. Masyarakat memprotes karena usaha penambangan tersebut belum memiliki Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL) dan bekerja semata-mata hanya dengan izin prinsip dari Gubernur NTT saja.
Tetapi, semua protes dan keberatan dari masyarakat ini tidak dihiraukan oleh pemerintah daerah
bahkan sebaliknya mereka mulai merekayasa adanya Surat Kesepakatan Penyerahan bukit-bukit batu
tersebut dari pemuka-pemuka adat setempat kepada pemerintah daerah, antara lain dengan memalsukan
tanda tangan dan okomama (wadah sirih-pinang) sebagai tanda penyerahan. Bekerja sama dengan
pengusaha, Camat Mollo Utara dan Bupati TTS menakut-nakuti masyarakat dengan mengatasnamakan
pembangunan dan demi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Mereka mengancam akan
menghadirkan aparat keamanan untuk menangkap warga masyarakat yang menolak usaha penambangan
tersebut.
Karena ancaman-ancaman itulah, masyarakat akhirnya terpaksa menerima kegiatan penambangan
tersebut, asalkan bukan di bukit-bukit batu suci dan yang dikeramatkan secara adat, tetapi di bongkahan-
bongkahan bebatuan lain di sekitarnya. Kesediaan masyarakat yang sudah dilakukan secara terpaksa inipun
Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 94
ternyata kemudian dimanipulasi lagi oleh pemerintah
daerah dan pihak pengusaha. Bahkan, penganiayaan
mulai terjadi oleh beberapa oknum pemerintah
daerah ketika salah seorang penduduk setempat
memimpin warga menghalangi rencana penam-
bangan, yang tidak sesuai dengan kesepakatan
penyerahan.
Peristiwa penganiayaan ini memicu protes baru
yang lebih keras dari masyarakat. Pemerintah daerah
akhirnya harus memberi penjelasan kepada ma-
syarakat dan serangkaian pertemuan lanjutan Base camp perusahaan penambangan di Fatu Naususu
berlangsung kembali. Akhirnya disepakati bahwa masyarakat bersedia menerima
rencana penambangan marmer di Mollo Utara, tetapi hanya pada Fatu Anjaf
yang menurut pertimbangan masyarakat sendiri, bukit batu tersebut telah cacat
disambar petir. Namun, kesepakatan ini pun lagi-lagi dimanipulasi oleh pemerintah
daerah dan pihak pengusaha yang justru melakukan penambangan di Langkah-langkah yang diambil
Fatu Naususu. Akibat sikap pemerintah yang tidak konsisten ini, masyarakat merasa PIAR dalam membangun
dipermainkan dan akhirnya kembali ke sikap tegas mereka yang awal: menolak kampanye advokasi:
1. Membangun lopo (balai
semua kegiatan penambangan tersebut! pertemuan).
Masyarakat lalu membongkar base camp perusahaan di lokasi penambangan 2. Mendampingi masyarakat adat,
mempertahankan hak-hak
dan bersama dengan satu organisasi nonpemerintah (Ornop) yang berkedudukan
masyarakat adat.
di Kupang, yakni Pusat Informasi Advokasi Rakyat (PIAR), membangun lopo (balai 3. Mengorganisir masyarakat
pertemuan) di tempat tersebut. Lopo inilah yang menjadi tempat pertemuan- setempat melalui serangkaian
diskusi kritis.
pertemuan antar warga, termasuk melakukan berbagai upacara adat. PIAR 4. Melakukan penyebaran
membantu menyediakan berbagai bahan bacaan, sehingga lopo tersebut juga informasi dan memberikan
berfungsi sebagai perpustakaan bagi masyarakat setempat. Lahan di sekeliling penjelasan tentang berbagai
dampak.
lopo juga dipagari dan ditanami dengan berbagai jenis tanaman produktif. 5. Membentuk tim investigasi.
Keterlibatan PIAR mendampingi masyarakat adat Dawan di Mollo Utara ini 6. Melakukan pertemuan dengan
aparat dan pimpinan pemerintah
sudah berlangsung sejak awal terjadinya kasus. PIAR melakukan berbagai upaya
daerah.
untuk membantu mempertahankan hak-hak masyarakat adat setempat atas 7. Membantu masyarakat
kawasan ulayat tradisional mereka, dengan segenap sumber daya alam yang melakukan aksi-aksi unjuk rasa.
8. Melakukan kampanye
terkandung di dalamnya, termasuk tempat-tempat suci dan bersejarah mereka. pembentukan pendapat umum.
Salah satu bentuk kegiatan utama yang dilakukan PIAR adalah mengorganisir 9. Memperluas kampanye sampai
masyarakat setempat melalui serangkaian diskusi kritis, termasuk “diskusi-diskusi ke tingkat nasional.
Advokasi Damai
95 Belajar dari Pengalaman
diskusi tersebut, PIAR juga sengaja
mengundang tokoh-tokoh masyarakat
setempat, pemuka-pemuka agama, dan
aparat pemerintah daerah dari tingkat
propinsi, kabupaten, kecamatan, dan
desa. Tetapi, semua aparat pemerintah
tersebut selalu bersikap angkuh dan
menentang protes dan tuntutan ma-
syarakat. Bahkan, aparat pemerintahan
Desa Netpala sendiri sudah menerima
suap atau sogokan dari pihak peru-
Aksi unjuk-rasa penduduk ke lokasi penambangan
sahaan.
Taktik suap dan sogok itu memang merupakan cara pihak pemerintah dan perusahaan untuk mengadu
domba dan memecah-belah warga masyarakat setempat. Terjadilah pengelompokan pro dan kontra
usaha penambangan di kalangan masyarakat sendiri. Mereka yang pro bahkan juga mulai menakut-
nakuti warga yang kontra, misalnya dengan menutup jalan ke dan di sekitar base camp perusahaan,
mengancam akan memanggil petugas Komando Rayon Militer (Koramil) untuk menangkap, jika perlu
membunuh mereka yang menolak usaha penambangan. Warga yang kontra itu pun mulai dimata-matai,
antara lain kalau mereka menerima kunjungan tamu dari luar desa. Akibatnya, mereka mulai ketakutan
menerima tamu. Orang-orang luar yang baru datang ke desa pun diinterogasi oleh petugas keamanan.
Selain itu, PIAR juga melakukan penyebaran informasi dan memberikan penjelasan tentang berbagai
dampak (positif dan negatif) yang akan terjadi dari usaha penambangan tersebut, baik terhadap manusia
maupun lingkungan hidup sekitar. PIAR juga membentuk tim investigasi untuk mencari tahu tentang
berbagai kebijakan pemerintah mengenai pertambangan dan usaha penambangan, misalnya mengenai
perizinan usaha penambangan. PIAR membantu masyarakat setempat melakukan pertemuan-pertemuan
dengan aparat dan pimpinan pemerintah daerah Kabupaten TTS dan Propinsi NTT. Mereka membantu
masyarakat melakukan aksi-aksi unjuk rasa secara damai ke lokasi penambangan dan ke gedung DPRD
Kabupatan dan Propinsi. Melalui media penerbitannya, yakni tabloid Udik, PIAR terus-menerus memuat
informasi perkembangan kasus ini selain melakukan kampanye pembentukan pendapat umum melalui
media massa yang lain, misalnya konperensi pers bersama Jaringan Masyarakat Adat (JAGAT) NTT pada
tanggal 16 Agustus 1999, serta dialog-dialog publik untuk membuat tekanan lebih besar kepada pemerintah
dan pihak pengusaha.
Dalam semua konperensi dan siaran pers serta dialog publik tersebut, PIAR menyebarluaskan isi
pokok protes dan tuntutan masyarakat adat Dawan di Mollo Utara kepada pemerintah agar:
1. mencabut izin usaha penambangan yang telah dikeluarkan oleh Gubernur NTT
2. menghentikan izin segala jenis usaha penambangan apapun di Mollo dan
Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 96
3. mencabut Peraturan Daerah (PERDA) No.8/1974 tentang Pelaksanaan Penegasan Hak-hak atas
Tanah yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Advokasi Damai
97 Belajar dari Pengalaman
Kelestarian ini akhirnya membuat kawasan ini dinyatakan secara
resmi oleh pemerintah sebagai kawasan lindung dengan status
Taman Nasional.
Lalu, tibalah bencana itu. Tak lama setelah dinyatakan secara
resmi sebagai kawasan Taman Nasional, pemerintah daerah
Propinsi Sulawesi Tenggara, dalam hal ini Dinas Kehutanan,
memutuskan bahwa tidak boleh ada pemukiman apapun dalam
kawasan taman nasional, sehingga orang Moronene harus pindah
dan keluar dari sana. Jelas, orang Moronene menolak keputusan
tersebut. Tiba-tiba, pada tanggal 28 November 1997, orang-orang
Moronene di Kampung Hukaea-Laea, yang merupakan pemukiman Orang Moronene telah
mendiami dengan damai
terbesar mereka dalam kawasan TNRAW dikejutkan oleh serbuan kawasan hutan dan rawa di
sepasukan tentara, polisi, polisi hutan, dan aparat pemerintah Taman Nasional Rawa Aopa
daerah. Dengan nama sandi “Operasi Sapu Jagad” (OSJ), pasukan sejak ratusan tahun yang lalu.
itu merusak rumah-rumah, kebun dan sawah penduduk, dan
membantai ternak-ternak peliharaan mereka. Orang-orang kampung itu mencoba melawan, tetapi kalah
dalam segala hal dan akhirnya menyerah. Bahkan, 11 orang dari mereka yang dianggap sebagai pemimpin
dan pelopor perlawanan, ditangkap, diinterogasi, dan ditahan tanpa proses peradilan selama satu tahun
10 hari. Sesudah itu, barulah kemudian mereka diajukan ke pengadilan, tetapi kasusnya berakhir tanpa
keputusan yang jelas sampai saat ini.
Peristiwa itu memancing reaksi beberapa organisasi nonpemerintah. Suluh Indonesia, salah satu
organisasi nonpemerintah (Ornop) di Kendari, Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, segera mengumpulkan
kembali semua penduduk Huakea-Laea yang sudah tercerai-berai. Beberapa bulan kemudian, bekerja
sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), mereka mengantar penduduk semua kembali
ke kampung yang sudah hancur, membenahi semua kerusakan, dan memulai kembali kehidupan seperti
sediakala. Beberapa orang staf Suluh Indonesia bahkan menetap bersama orang Moronene di Huakea-
Laea sebagai pendamping. Mereka mulai melakukan proses-proses pengorganisasian melalui rangkaian
kegiatan diskusi, pertemuan, dan pelatihan kepada orang Moronene. Mereka melatih orang-orang
kampung itu mengenai bagaimana mengorganisir diri lebih baik, memetakan kawasan ulayat tradisional
mereka, menghidupkan kembali praktek-praktek sistem konservasi tradisional, memahami berbagai
undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi seperti taman
nasional, dan sebagainya.
Tetapi, pihak pemerintah juga tidak tinggal diam. Satu serangan mendadak dilancarkan lagi dengan
nama sandi yang sama. OSJ-II ini dilakukan pada tanggal 26 Oktober 1998, tetapi kali ini mereka tidak
berhasil memaksa penduduk pindah dan keluar dari kawasan TNRAW. Selain karena orang-orang
Moronene kali ini jauh lebih siap, juga karena terjadinya perubahan sistem politik nasional oleh gerakan
reformasi pada bulan Mei 1998 yang membuat aparat pemerintah tidak bisa lagi berbuat sewenang-
Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 98
wenang seperti setahun sebelumnya. Tetapi, pihak pemerintah tetap saja mencoba
melancarkan serangan baru berikutnya, OSJ-III, pada tanggal 25 Desember 2000.
Namun, masyarakat di sana sudah lebih bersiap setelah didampingi oleh Ornop.
Mereka sekarang memiliki informasi yang cukup mengenai apa sesungguhnya
kawasan taman nasional tersebut, dan mengapa pemerintah daerah bertindak
sewenang-wenang ingin mengusir mereka dari sana. Mereka juga mulai mampu
menyiapkan diri dengan berbagai cara dan teknik menghadapi kemungkinan
diserbu lagi. Walhasil, OSJ-III pun gagal.
Peta lokasi
Kasus 2
Advokasi Damai
99 Belajar dari Pengalaman
menyelenggarakan dialog-dialog kebijakan dan diskusi publik, termasuk dengan kalangan pemerintah
daerah seperti Gubernur, Bupati, Dinas Kehutanan, Badan Penilaian dan Pengawasan Dampak
Lingkungan Daerah termasuk bahkan Menteri Negara Lingkungan Hidup kala itu, ketika berkunjung ke
sana. Secara proaktif mereka juga mulai memprakarsai lokakarya-lokakarya resolusi konflik antar semua
pihak yang terlibat dalam rangka mencari pemecahan yang dapat diterima oleh semuanya.
Semua itu membuat pemerintah daerah melunakkan sikap dan mulai menempuh cara-cara yang
lebih manusiawi. Perundingan-perundingan pun mulai berlangsung, tetapi tetap tidak dapat mencapai
kesepakatan pemecahan masalah. Orang-orang Moronene semakin pandai menyatakan pendapat dan
sikap mereka sementara pemerintah daerah tetap bersikeras pada pandangan mereka sendiri bahwa
“sama sekali tidak boleh ada manusia bermukim dalam kawasan lindung Taman Nasional.” Hampir dua
tahun berlalu tanpa perubahan apa pun: pemerintah daerah tak bisa lagi main
paksa dan belum mampu menemukan cara lain untuk memindahkan orang
Kronologi Operasi Sapu Jagad
Moronene. Ini membuat orang Moronene sendiri mulai merasa tenang lagi
OSJ I : 28 November 1997
bermukim di sana. OSJ II : 26 Oktober 1998
Pada awal tahun 2002, satu Ornop internasional mengeluarkan laporan OSJ III : 26 Desember 2000
yang menyatakan bahwa tingkat kerusakan hutan dan ekosistem dalam OSJ IV : 29 April 2002
kawasan TNRAW sudah cukup parah. Organisasi tersebut memang
melaksanakan satu program khusus di masyarakat adat Moronene di TNRAW yang mereka sebut sebagai
“Program Penguatan Kelembagaan Masyarakat dalam Kawasan Penyanggah Taman Nasional.” Mereka
memberikan informasi dan laporan tersebut kepada Dinas Kehutanan sebagai pengelola resmi TNRAW.
Dengan adanyalaporan itu pemerintah pun merasa mendapatkan satu “alasan pembenaran baru yang
kuat” untuk kembali mengusir orang Moronene. Maka, terjadilah OSJ-IV pada tanggal 29 April 2002.
Dengan cara-cara yang lebih canggih, akhirnya orang Moronene kembali terusir dari kawasan ulayat
tradisional mereka untuk kedua kalinya.
Mendapat perlakuan kasar seperti itu lagi, akhirnya orang-orang Moronene pun melakukan aksi
unjuk rasa besar-besaran ke gedung DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara di Kota Kendari. Mereka
menduduki gedung tersebut dan menginap di sana selama beberapa hari, menunggu sampai kepastian
akan nasib mereka menjadi lebih jelas. Tetapi, mereka akhirnya secara sukarela meninggalkan gedung
parlemen propinsi tersebut. Pemerintah daerah tetap tidak bersedia memenuhi tuntutan mereka yaitu:
pengakuan resmi akan hak-hak ulayat tradisional mereka untuk bermukim dan hidup dalam kawasan
TNRAW.
Pemerintah justru mengajukan alternatif lain seperti: mentransmigrasikan mereka ke tempat lain.
Orang-orang Moronene juga tetap menolak. Lagi-lagi tak ada kesepakatan dan pemecahan masalah,
sementara beberapa orang Moronene mulai pelan-pelan berani kembali lagi ke Hukaea-Laea, mulai
membenahi lagi puing-puing rumah, kebun dan sawah mereka yang hancur akibat OSJ-IV. Sehingga,
sampai sekarang masih tetap tidak jelas apakah pemerintah akan membiarkan mereka atau akan mengusir
mereka lagi dengan OSJ-V.
Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 100
Buruh Tani Mantan Tahanan Politik Memperjuangkan Hak-hak Mereka
di Grobogan, Jawa Tengah *
Advokasi Damai
101 Belajar dari Pengalaman
termasuk keluarganya, sama sekali tidak diperbolehkan ikut dalam hampir semua
kegiatan politik apa pun, bahkan secara sosial dikucilkan dari lingkungan sekitar
mereka. Perampasan lainnya adalah perampasan hak milik pribadi (rumah, tanah,
dsb) ketika mereka ditangkap dan diasingkan atau ketika terpaksa harus melarikan
dan menyembunyikan diri. Beberapa tahun kemudian, ketika mereka kembali ke
tempat asal semula, mereka menemukan kenyataan bahwa semua harta milik
pribadi telah berpindah tangan menjadi milik orang lain atau disita oleh pemerintah.
Aksi-aksi yang dilakukan dalam
Peta lokasi Kasus 3
kasus Grobogan
1. Pengorganisasian dan
penyadaran tentang hak
dasar.
2. Merumuskan apa yang
hendak diperjuangkan.
3. Membuat kondisi gabung
dengan kelompok lain.
Peta lokasi Kasus 3 4. Melakukan pelatihan.
5. Membentuk kelompok
kelompok kerja di tempat
kerja masing-masing.
6. Mengajukan surat kepada
Ketika rezim militer Orde Baru (yang membunuh, memenjarakan, dan pemerintah desa,
merampas hak-hak mereka selama ini) tumbang pada tahun 1998, para mantan kecamatan, kabupaten, dan
tahanan politik tersebut mulai lebih berani saling berkunjung dan berkumpul propinsi.
7. Melakukan serangkaian
bersama membicarakan nasib mereka. Berawal dari acara saling mengunjungi pertemuan dan dialog.
inilah kemudian muncul gagasan untuk mengadakan pertemuan berkala tetap. 8. Pelatihan mengenai
Pertemuan-pertemuan berkala tetap para mantan tahanan politik itu pun pemerintahan desa.
9. Membentuk Paguyuban
berlangsung sebulan sekali, berkeliling dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya.
BPD.
Dalam pertemuan-pertemuan itulah para mantan tahanan politik itu menyampaikan 10.Mengajukan usul
dan mendiskusikan hak-hak politik warga negara, hak-hak untuk memperoleh penyusunan satu Peraturan
pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak-hak untuk memperoleh informasi Daerah.
11.Pendataan dan pemetaan.
mengenai kebijakan pemerintah, dan berbagai perkembangan terbaru dari
12.Menghubungi organisasi di
berbagai kebijakan pemerintah selama ini yang berkaitan dengan masalah- Jakarta, untuk membantu
masalah yang mereka hadapi, baik sebagai mantan tahanan politik maupun melakukan kampanye dan
sebagai buruh tani. lobi-lobi politik nasional.
13.Lobi-lobi politik di tingkat
Dari rangkaian pertemuan inilah akhirnya para mantan tahanan politik itu
daerah.
merumuskan apa yang hendak mereka perjuangkan, yakni agar pemerintah: 14.Gugatan hukum secara
(1) merehabilitasi dan mengakui hak-hak politik dan hak-hak milik pribadi mereka; bersama-sama.
dan (2) memberikan kepada mereka hak menggarap “lahan tidur,” yakni tanah-
tanah yang selama ini dikuasai oleh negara, tetapi selama ini hanya dikelola oleh
Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 102
para elite desa, sementara buruh tani (yang banyak sekali tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Grobogan)
hanya dipakai tenaganya saja. Oleh karena itu, dengan mendahulukan agenda perjuangan kedua tersebut,
mereka bisa menangkis berbagai tuduhan dengan mengatakan bahwa apa yang mereka perjuangkan
adalah hal yang lumrah bagi kaum buruh tani miskin tak bertanah seperti mereka, tidak peduli ia seorang
komunis atau bukan. Oleh karena itu, mereka juga mengajak para buruh tani lain yang bukan mantan
tahanan politik
Setelah menyepakati strategi tersebut, para mantan tahanan politik itu pun segera mulai melakukan
pelatihan antar sesama mereka dengan berbagai keterampilan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan
agenda perjuangan kedua tersebut, misalnya cara-cara mengorganisir diri, merencanakan dan
melaksanakan kegiatan, teknik dan taktik mengajukan permintaan mereka kepada pemerintah, bagaimana
bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain, dan sebagainya. Mereka segera membentuk kelompok-
kelompok kerja di tempat masing-masing. Kelompok buruh tani di Kecamatan Toroh tampil sebagai
pelopor yang pertama kali mengajukan surat permohonan kepada pemerintah desa, kecamatan,
kabupaten, dan propinsi. Mereka melengkapi surat permohonan tersebut dengan data lengkap mengenai
lahan-lahan tidur di Kecamatan Toroh yang selama ini hanya dikuasai oleh para pamong desa dan
kerabatnya saja.
Mereka meminta agar diizinkan menggarap lahan-lahan tidur Dinas
Karena masih khawatir
Pengairan yang terbentang sepanjang saluran-saluran pengairan di kecamatan akan dituduh macam-
tersebut. Mereka juga melakukan serangkaian pertemuan dan dialog dengan macam oleh berbagai
para pejabat Dinas Pengairan. Didukung oleh beberapa politisi lokal yang peduli pihak, mereka bersepakat
untuk lebih mendahulukan
dengan nasib buruh tani mantan tahanan politik tersebut, akhirnya Dinas Pengairan agenda perjuangan yang
memenuhi permintaan mereka dengan perjanjian bahwa mereka boleh kedua, yakni memperoleh
menggarap lahan-lahan tidur tersebut selama beberapa musim taman saja dulu, hak menggarap “lahan
tidur”.
tetapi mungkin diperpanjang lagi sesuai dengan perkembangan keadaan nantinya.
Meskipun sistem politik
Keberhasilan kelompok buruh tani di Toroh itu mengilhami yang lainnya dan sudah banyak berubah,
mulai mencontoh cara-cara yang mereka tempuh. Beberapa kelompok buruh namun sentimen anti
tani yang bermukim di sekitar hutan jati milik PT Perhutani mulai melakukan komunis masih cukup kuat
di tengah masyarakat
pertemuan dan perundingan dengan para pejabat perusahaan negara tersebut.
umumnya dan masih tetap
Akhirnya, PT Perhutani bersepakat dengan mereka melaksanakan program merupakan isu yang
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PBHM). Dalam program itu para buruh sangat peka.
tani tersebut diizinkan menggarap lahan kosong sekitar hutan atau dalam kawasan
hutan di sela-sela pepohonan jati (tumpangsari) dengan sistem bagi-hasil. PT Perhutani menyediakan
bantuan dansebagai modal kerja, sementara para buruh tani cukup menyediakan tenaga mereka saja.
Meskipun secara teknis program ini berjalan dengan baik, para buruh tani tersebut masih mengeluhkan
pola bagi hasil 30:70 yang masih lebih menguntungkan pihak PT Perhutani. Sampai sekarang, mereka
masih berunding terus agar pola bagi hasil itu diubah sehingga lebih menguntungkan para buruh tani.
Advokasi Damai
103 Belajar dari Pengalaman
Sementara para buruh tani mantan tahanan politik itu mulai sibuk dengan kegiatan penggarapan
lahan tidur, para aktivis Inter-Faith Committee Grobogan (IFC Grobogan) juga mulai mengajak mereka
melakukan beberapa kegiatan lain. Salah satu kegiatan yang terpenting adalah pelatihan mengenai
organisasi pemerintahan desa yang baru sesuai dengan UU Otonomi Daerah No.22/1999. Pelatihan
dipusatkan pada masalah bagaimana memanfaatkan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai parlemen
desa yang dipilih secara demokratis oleh seluruh warga, sebagai wadah resmi dan legal untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan dan hak-hak mereka sebagai buruh tani. Mereka sangat
bersemangat mengikuti program ini karena mereka yang mantan tahanan politik juga melihat BPD sebagai
peluang nyata untuk meraih kembali hak-hak politik mereka. Salah seorang di antara mereka bahkan
sudah terpilih sebagai anggota BPD di desanya, Desa Karangsari, Kecamatan Brati (tetapi dibatalkan oleh
pemerintah dengan alasan ada Perda yang melarang mantan tahanan politik 1965 sebagai anggota
BPD).
Hasil pelatihan-pelatihan khusus ini adalah mereka bersepakat membentuk Paguyuban BPD di tingkat
kecamatan dan sampai kini sudah terbentuk di empat dari 19 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten
Grobogan. Setelah melakukan suatu survei di 10 desa contoh, para aktivis IFC Grobogan melakukan
pelatihan kepada para anggota paguyuban mengenai cara-cara menyusun Peraturan Desa (PERDES)
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dengan tekanan pada kepentingan buruh tani. Dengan
pengetahuan dan keterampilan baru tersebut, beberapa BPD anggota paguyuban mulai melaksanakan
kegiatan-kegiatan nyata, seperti pemetaan tata guna dan kepemilikan lahan di desa masing-masing.
Peta-peta tersebut mulai mereka gunakan untuk membahas pola-pola pemilikan lahan, cara-cara
pembagian dan pengelolaannya, serta pemanfaatan lahan-lahan tidur dan lahan-lahan milik desa oleh
buruh tani. Dalam beberapa kali diskusi lanjutan, mereka bersepakat untuk sekali waktu mengajukan usul
penyusunan satu Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten maupun Provinsi berdasarkan hasil-hasil temuan
tersebut.
Sementara agenda perjuangan kedua mereka mulai memperlihatkan beberapa hasil, para mantan
tahanan politik itu sekarang mulai mengajak mereka menggarap agenda perjuangan pertama mengenai
pemulihan hak-hak politik dan hak milik pribadi mereka. Keberadaan kelompok-kelompok buruh tani dan
Paguyuban BPD mulai diterima oleh masyarakat dan pemerintah, sehingga mereka sudah mulai cukup
aman untuk menggarap agenda pertama tersebut. Mereka mulai melakukan pelatihan-pelatihan mengenai
teknik-teknik pengumpulan data dan informasi untuk melacak kembali bukti-bukti perampasan hak-hak
politik dan hak milik pribadi mereka di masa lalu. Setelah pelatihan, mereka mulai melakukan pendataan
apa saja hak milik pribadi mereka yang pernah dirampas, bahkan mereka berhasil memetakan titik-titik
lokasi pembantaian yang dituduh sebagai anggota PKI atau BTI pada peristiwa 1965 dan sesudahnya.
Para mantan tahanan politik itu berhasil menghubungi satu organisasi di Jakarta yang didirikan oleh
para alumni perguruan tinggi Eropa Timur yang pada saat peristiwa 1965 masih menjadi mahasiswa di
sana dan selama masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998) dilarang atau dipersulit dan ditakut-takuti
Advokasi Damai
Belajar dari Pengalaman 104
jika pulang kembali ke Indonesia. Organisasi ini kemudian bersedia membantu untuk melakukan kampanye
dan lobi-lobi politik di tingkat nasional untuk memperjuangkan pemulihan hak-hak politik dan hak milik
pribadi para buruh tani mantan tahanan politik di Grobogan dan di seluruh Indonesia. Mereka juga membantu
melakukan lobi-lobi politik di tingkat daerah dengan mencoba memasukkan masalah tersebut ke dalam
agenda pembahasan Komisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Grobogan. Sekarang,
mereka sedang menyusun dan menyelesaikan suatu rencana melakukan gugatan hukum secara bersama-
sama sebagai suatu kelompok.
Advokasi Damai
105 Belajar dari Pengalaman
Bagian 3
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
Pengertian dan Prinsip Dasar Advokasi
Advokasi Damai
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah 106
masa lalu. Maka, diperlukan dukungan pendampingan khusus dari
para aktivis Ornop untuk membantu mereka mempersiapkan dan
meyakinkan diri sehingga pada akhirnya nanti benar-benar mampu menjadi
pelaku utama advokasi. Inilah yang dimaksud sebagai proses
pengorganisasian masyarakat.
Advokasi Damai
107 Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
dan terdiri dari berbagai jenis kegiatan yang berbeda pada berbagai tingkatan
untuk tujuan-tujuan khusus yang berlainan pula. Oleh karena itu, mutlak
dibutuhkan suatu perencanaan yang cukup matang sebelum melaku-
kannya. Bahkan, setiap tindakan atau kegiatan harus direncanakan dan
diperhitungkan benar semua kemungkinan-kemungkinannya. Oleh karena
itu, juga diperlukan evaluasi bersama setiap saat selama proses advo-
kasi berlangsung.
Langkah-langkah Advokasi
Dari ketiga contoh kasus, ternyata kegiatan advokasi yang dilakukan cukup
beragam. Tetapi, secara umum ada beberapa persamaan yang kalau diurutkan
adalah sebagai berikut.
Oleh karena advokasi adalah usaha untuk mengubah suatu kebijakan tertentu maka pada tahap
persiapan awal ini pulalah Ornop yang berminat mengadvokasikan suatu isu harus mulai melakukan
kajian kebijakan secara mendalam.
Undang-undang (UU) atau peraturan-peraturan apa saja yang berkaitan?
Apa saja rincian isi undang-undang atau peraturan tersebut dan mengapa dulu undang-
undang atau peraturan itu muncul?
Bagian mana dari undang-undang atau peraturan itu yang dianggap merugikan masyarakat
korban dan karena itu, mereka memprotesnya?
Advokasi Damai
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah 108
Siapa sesungguhnya yang paling diuntungkan dari undang-undang dan peraturan tersebut
dan mengapa?
Apakah memang strategis untuk mengadvokasikan perubahan undang-undang dan peraturan
tersebut? (Misalnya, kalau undang-undang atau peraturan itu berubah maka akan membawa
dampak yang baik bagi masyarakat korban khususnya dan masyarakat luas umumnya).
Pengorganisasian Masyarakat
Ketika organisasi masyarakat korban sudah terbentuk dan memiliki kemampuan dasar yang
diperlukan, barulah kemudian dilakukan perencanaan strategis bersama antara organisasi
masyarakat korban dengan Ornop pendamping untuk menentukan:
Apa isu strategis yang ingin dijadikan fokus advokasi dari kasus yang dihadapi oleh masyarakat
korban dan mengapa?
Apa sasaran perubahan kebijakan yang ingin dicapai dan mengapa?
Siapa saja yang dapat diajak untuk mendukung advokasi itu nanti dan mengapa?
Apa saja kegiatan yang harus dilakukan, mengapa dan bagaimana caranya?
Apa saja kemungkinan resiko dan dampak yang akan dihadapi ketika melakukan kegiatan
advokasi itu nanti dan bagaimana cara menghadapinya?
Apa saja peluang dan sumber daya yang kita miliki untuk melakukan advokasi tersebutapakah
cukup memadai atau masih memerlukan dukungan bantuan dari siapa saja dan bagaimana
caranya?
Apa saja hal-hal penting dan prinsip yang harus disepakati sebagai aturan main
bersama selama proses advokasi nanti dan bagaimana cara menjamin
pelaksanaannya dengan baik?
Advokasi Damai
109 Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
Pengumpulan data dan informasi
3
Berdasarkan perencanaan strategis itulah kemudian dilakukan kegiatan-kegiatan
pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan kasus dan diperlukan untuk
mengadvokasikannya.
Banyak data dan informasi yang perlu, tetapi yang paling penting dan mutlak adalah:
Fakta-fakta mengenai kasus yang dihadapi masyarakat korban (usahakan serinci mungkin
sampai kecatatan kejadian-kejadian penting, jenis dan jumlah korban, dan sebagainya).
Dokumen-dokumen resmi berbagai kebijakan, undang-undang atau peraturan yang
berkaitan atau menjadi sumber penyebab kasus tersebut.
Kasus-kasus serupa di tempat lain yang berguna sebagai bahan perbandingan dan
pembelajaran.
Jika semua data dan informasi yang penting dan diperlukan sudah tersedia, usaha
menggalang dukungan seluas mungkin dari berbagai pihak mulai dapat dilakukan. 4
Berbagai pihak yang dapat diajak sebagai pendukung adalah:
Ornop-ornop lokal, nasional atau, jika memang diperlukan dan mampu, juga Ornop-
ornop internasional
Sesama masyarakat korban
Perseorangan yang dianggap penting dan memiliki pengaruh
Kalangan profesional (misalnya, praktisi hukum, wartawan, dan lain-lain)
Kalangan akademis dari perguruan tinggi, terutama untuk membantu melakukan kajian
dan riset yang diperlukan
Jika mampu meyakinkan mereka dan memang terbukti bahwa mereka tidak akan
mengkhianati, juga kalangan politisi dan birokrat yang bersimpati
Advokasi Damai
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah 110
Melakukan kampanye dan lobi
Jika jaringan sekutu atau pendukung sudah cukup luas dan kuat, kampanye
pendapat umum dan lobi-lobi politik pun mulai bisa dilaksanakan.
Kampanye bisa dilakukan dengan berbagai cara dan media, mulai dari fo-
rum-forum publik (seminar, lokakarya, dialog terbuka, dan lain-lain) sampai
5
pemanfaatan semua media cetak dan elektronik yang ada (leaflet, brosur, poster,
lembar fakta, koran-koran, siaran radio, televisi, dan sebagainya).
Lobi juga bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang bersifat
kontak-kontak pribadi dengan kalangan pembuat kebijakan sampai yang sifatnya Bab Mendesain dan
dialog terbuka (dengar-pendapat dengan DPR, dialog kebijakan, dan sebagainya). Menggunakan Media
Tentang cara-cara, teknik-teknik atau taktik melakukan kampanye dan lobi bisa dipelajari
terutama dari mereka yang berpengalaman sehingga salah satu cara terbaik melakukan
kampanye atau lobi adalah dengan meminta bantuan kaum profesional yang bersedia
mendukung untuk melakukannya, asalkan mereka tetap bersedia dalam garis kebijakan
dan strategi advokasi yang disepakati oleh masyarakat korban dan pendampingnya.
Aksi-aksi Langsung
Advokasi Damai
111 Prinsip Dasar dan Langkah-langkah
Pendokumentasian, pemantauan, dan evaluasi
7
Untuk mengetahui perkembangan atau kemajuan suatu proses advokasi,
pendokumentasian seluruh proses, pemantauan langsung di lapangan dan terhadap
perkembangan sikap pemerintah, serta evaluasi hasil dan tatacara kerja advokasi,
mutlak diperlukan.
Advokasi Damai
Prinsip Dasar dan Langkah-langkah 112
Bagian 4
Saran-saran Praktis
Hal-hal yang Perlu Dilakukan oleh Pelaku Advokasi
8. Jangan terpaku pada hanya satu strategi atau cara tertentu. Jika terbukti
strategi dan cara itu kurang tepat untuk mencapai hasil yang diinginkan,
Jangan terpaku pada
jangan ragu-ragu untuk menggantinya dengan strategi atau cara lain yang
hanya satu strategi
lebih baik, sesuai dengan perkembangan keadaan. Demikian pula halnya atau cara tertentu.
dengan pemilihan dan penggunaan media, baik untuk keperluan
penyampaian informasi dan pelatihan kepada masyarakat korban maupun
untuk keperluan kampanye pembentukan pendapat umum. Prinsipnya,
gunakan sebanyak mungkin media yang mudah dipahami oleh Bab Mendesain dan
masyarakat awam, terutama masyarakat korban. Usahakanlah untuk Menggunakan Media
selalu menggunakan bahasa keseharian yang mudah dimengerti. Media
seperti foto-foto, gambar-gambar, peta-peta, akan sangat membantu.
Pembahasan lebih jauh mengenai media bisa dibaca pada Bab Mendesain
dan Menggunakan Media dalam buku ini.
Advokasi Damai
Saran-saran Praktis 114
9. Khusus untuk pemilihan dan penggunaan media massa dalam rangka
kampanye pembentukan pendapat umum, sebaiknya dilakukan secara
bertahap sesuai dengan perkembangan kasus dan proses advokasinya Usahakan agar isu atau
sendiri. Usahakan agar isu atau permasalahan yang diadvokasikan permasalahan yang
tetap terjaga sebagai “berita hangat” dalam media massa, tetap diadvokasikan tetap terjaga
memancing perhatian khalayak umum, sehingga tidak tenggelam oleh sebagai “berita hangat”
dalam media massa, tetap
banyak permasalahan dan berita-berita lainnya. Usahakan sedemikian rupa
memancing perhatian
mengatur irama dan tempo pemberitaan di media massa. khalayak umum.
10 Bila terjadi pengelompokan orang-orang yang mendukung (pro) dan
menentang (kontra) di kalangan masyarakat korban sendiri, sebaiknya tetap
melanjutkan proses advokasi dengan mereka yang mendukung, tetapi Sistem adat atau prak-
jangan mengabaikan sama sekali mereka yang menentang. tek kebiasaan lokal
Berdasarkan pengalaman selama ini, proses rujuk antar kedua kelompok biasanya selalu me-
miliki cara-cara perda-
yang berbeda itu biasanya lebih cepat dan bijak diselesaikan oleh mereka
maiannya sendiri.
sendiri dengan cara-cara damai yang sudah mereka kenal di antara mereka. Cobalah bersikap arif
11. Maka, jangan membuang-buang waktu dan tenaga untuk urusan yang untuk tidak terlalu
banyak “mencampuri
tidak terlalu perlu atau yang bukan menjadi bagian tugas atau urusan
urusan dalam” mereka.
pokok Anda. Banyak kegiatan advokasi selama ini lebih menghabiskan
waktu para pendamping masyarakat korban menangani perkara-perkara
seperti persaingan pribadi atau antar organisasi pendamping, pembelokan Setiap orang dalam tim
atau jaringan advokasi
isu atau pancingan hasutan oleh pihak lawan, dan sebagainya. Singkatnya,
sebaiknya saling me-
tanggapi dan ambil tindakan seperlunya saja. miliki alamat kontak
12. Oleh karena itu, sepakati sejak awal pembagian dan tatacara kerja di yang jelas dan yang
paling mudah dihubu-
antara semua pihak yang terlibat dalam proses advokasi, terutama di
ngi kapan saja dibu-
antara para pendamping dan pendukung. Tentukan dan kenali bersama tuhkan.
apa kekuatan dan kelemahan masing-masing, apa kemampuan terbaik
setiap orang atau organisasi, kemudian buat kesepakatan-kesepakatan yang
jelas tentang pembagian tugas atau kerja masing-masing, jika perlu sepakati
sekalian aturan-aturan kedisiplinan bersama.
Tim advokasi sepakati suatu
13. Salah satu hal teknis yang penting dan menentukan dalam tatacara kerja tim tempat tertentu, yang jelas
advokasi adalah kemudahan untuk setiap saat saling berhubungan satu sama dan pasti, untuk melakukan
lain. Oleh karena itu, sepakati suatu tempat tertentu, yang jelas dan koordinasi dan komunikasi
pasti, untuk melakukan koordinasi dan komunikasi mengenai setiap mengenai setiap
perkembangan kasus dan
perkembangan kasus dan proses advokasinya. Tempat yang dimaksud
proses advokasinya.
sebaiknya ada yang di lokasi kasus di tempat tinggal masyarakat korban, dan
Advokasi Damai
115 Saran-saran Praktis
ada yang di salah satu kantor Ornop pendukung. Jika jaringan advokasi sudah meluas sampai ke
tingkat nasional, perlu juga disepakati tempat tersebut, misalnya salah satu kantor Ornop pendukung
di Jakarta.
14. Akhirnya, karena advokasi yang dianjurkan di sini adalah advokasi dalam rangka membangun
perdamaian yang mestinya dijalankan dengan cara-cara damai pula, usahakan sedapat mungkin
menghindari penggunaan “tindak kekerasan”. Memang sulit menentukan batas-batas apa yang
disebut sebagai “tindak kekerasan”. Dalam kenyataan pengalaman selama ini sering diperlukan
tindakan tertentu yang terkesan “mengandung unsur kekerasan” untuk mempertahankan diri dari
tindak kekerasan sesungguhnya yang dilakukan oleh pihak lawan, terutama ketika melakukan aksi-
aksi massal seperti unjuk rasa. Atau, dalam rangka memberikan tekanan yang lebih kuat kepada para
pembuat kebijakan, karena selama ini bersikap pongah dan tidak mau memperhatikan apa yang
dituntut oleh masyarakat korban, maka tindakan-tindakan keras diperlukan. Dalam banyak kasus
advokasi selama ini, kadangkala tindakan-tindakan keras itulah yang justru membuat “terobosan”
memecahkan kebuntuan dalam proses advokasi sebagai akibat kepongahan atau kekeras-kepalaan
para pembuat kebijakan.
Dalam contoh kasus pertama, rakyat Mollo Utara terpaksa menduduki dan merusak base camp
perusahaan marmer di sana karena berbagai upaya sebelumnya untuk meminta mereka menghentikan
kegiatan sudah tidak mempan lagi, bahkan justru membalasnya dengan ancaman dan tindak
kekerasan terhadap penduduk oleh aparat militer setempat. Lantas, bagaimana kita menilai
“kekerasan” yang dilakukan oleh orang-orang Moronene yang memecahkan kaca-kaca jendela
ketika menduduki gedung DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara? Oleh karena itu, sebaiknya sepakati
bersama sejak awal apa batas-batas dari semua tindakan yang akan dilakukan, mana yang
boleh dan mana yang tidak boleh, sampai batas mana dan dalam keadaan apa?
Advokasi Damai
Saran-saran Praktis 116
Contoh kasus
Advokasi Damai
117 Saran-saran Praktis
Menetapkan Ukuran Keberhasilan Kegiatan Advokasi
Bagaimana kita tahu usaha advokasi yang kita lakukan itu berhasil atau
tidak?
Seperti sudah diuraikan dalam pengertian dan prinsip dasar advokasi, tujuan
utama advokasi adalah terjadinya perubahan kebijakan.
Oleh karena apa yang disebut sebagai kebijakan itu sendiri terdiri dari: (1)
sejumlah peraturan tertulis (undang-undang, peraturan daerah, dan sebagainya); Oleh karena itu, ukuran
utama untuk mengatakan
(2) tatacara dan praktek pelaksanaannya yang sangat ditentukan oleh sikap dan
apakah suatu itu kegiatan
perilaku aparat pelaksananya; dan (3) pandangan masyarakat umumnya yang advokasi itu berhasil atau
mengakui dan menerima peraturan tersebut; maka yang paling bagus memang tidak adalah: Apakah
adalah kalau ketiga-tiganya bisa berubah secara serempak. Tetapi kalau advokasi memang terjadi peru-
kita ternyata baru mampu mengubah salah satunya saja, hal itu sudah cukup bahan kebijakan seperti
yang dituntut oleh ma-
baik, sehingga sejak awal kita memang perlu menentukan: mana di antara ketiga
syarakat? Kita harus be-
hal itu -sesuai dengan tuntutan, kebutuhan, tingkat pemahaman dan
rendah hati untuk menga-
kemampuan masyarakat korban- yang paling penting kita jadikan sasaran kui bahwa advokasi kita
advokasi agar segera berubah? memang gagal atau
Singkatnya, jangan terlalu cepat berpuas diri. Kalau salah satu dari ketiga belum berhasil jika pe-
hal itu sudah tercapai, kegiatan advokasi tidak boleh berhenti sama sekali, masih rubahan kebijakan yang
diinginkan itu memang
ada dua hal lainnya yang perlu diperjuangkan terus agar berubah juga. Bahkan,
belum terjadi.
masih ada banyak peraturan lainnya yang berkaitan pada berbagai tingkatan
(lokal, nasional, bahkan internasional) yang tetap memerlukan perubahan.
Tetapi, seperti yang juga sudah diuraikan sebelumnya, ada banyak hal lain
yang bisa dicapai dan dihasilkan selama proses advokasi berlangsung. Meskipun
kita tidak bisa mengatakan bahwa advokasi kita sudah berhasil mencapai tujuan
utamanya, kita bisa mengatakan bahwa paling tidak, kita sudah berhasil
menciptakan prasyarat-prasyarat penting yang dibutuhkan ke arah pencapaian
tujuan akhir itu nanti, jika beberapa hal berikut ini mampu kita capai selama proses
advokasi, yakni:
Advokasi Damai
Saran-saran Praktis 118
sendiri semua kegiatan utama advokasi, mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan dan
hasilnya? Apakah mereka memang sudah menjadi pembuat keputusan utama selama proses advokasi
berlangsung? Apakah para aktivis atau Ornop pendamping dan para pendukung lainnya memang
pada akhirnya hanya berfungsi sebagai pendukung saja?
c. Terbentuknya pendapat yang semakin luas di tengah masyarakat umum yang juga
menginginkan agar kebijakan yang dituntut oleh masyarakat korban memang merugikan
rakyat dan harus diubah: Apakah mereka menyatakannya secara terbuka pula, misalnya melalui
media massa? Apakah ada perubahan sikap pemerintah menanggapi tuntutan masyarakat korban
sebagai akibat tekanan pendapat umum yang semakin meluas itu?
d. Terbentuknya jaringan kerja advokasi yang secara aktif mendukung kegiatan advokasi: Apakah
mereka terdiri dari berbagai kalangan dan lapisan yang ada dalam masyarakat? Seberapa banyak dan
seberapa luas? Siapa-siapa saja mereka? Apakah mereka memang memberikan sumbangsih nyata,
aktif, dan langsung dalam seluruh proses advokasi?
e. Tidak munculnya berbagai tindak-kekerasan baru sebagai akibat dari kegiatan advokasi:
Apakah pemerintah dan aparat keamanannya justru tidak melakukan serangan balik dengan
mengancam, menakut-nakuti, atau bahkan menyakiti secara fisik masyarakat korban dan para
pendamping atau pendukungnya? Apakah masyarakat korban sendiri tidak terpancing melakukan
tindak kekerasan yang sama?
Advokasi Damai
119 Saran-saran Praktis
Bagian 5
Peringatan-peringatan Penting
Seperti sudah diuraikan pada pengertian dan prinsip dasar, kegiatan advokasi
ternyata sarat dengan resiko dan kemungkinan menimbulkan berbagai dampak
yang tidak diinginkan.
Berdasarkan pengalaman selama ini, berbagai kemungkinan resiko dan
dampak tersebut adalah:
Advokasi Damai
Peringatan-peringatan Penting 120
Proses-proses advokasi yang melibatkan banyak orang dari berbagai latar-belakang juga sering
membuat seorang aktivis pendamping masyarakat korban perlu berkorban perasaan demi menjaga
agar keutuhan tim advokasi tetap terjaga.
Terhadap semua kemungkinan resiko dan dampak tersebut, tidak ada rumus tindakan yang paling
sempurna untuk menghadapinya. Yang terbaik adalah memperkirakannya sejak awal dan belajar dari
pengalaman nyata mereka yang sudah mengalaminya selama ini. Kalau kegiatan advokasi memang
direncanakan dengan baik sejak awal, semua kemungkinan resiko dan dampak tersebut dapat dikurangi
sekecil mungkin, tetapi mungkin memang tak dapat dihindari sama sekali. Dan tentu saja, kesiapan
mental secara pribadi akan sangat menentukan.
Advokasi Damai
121 Peringatan-peringatan Penting
Bagian 6
Sumber-sumber Belajar
Akhirnya, bagaimana kalau kita ingin belajar lebih banyak mengenai advokasi? Paling tidak ada dua
cara: membaca buku dan mengikuti pelatihan atau magang.
Kepustakaan
Ada banyak sekali bahan-bahan kepustakaan dan dokumentasi yang sekarang tersedia, tetapi di sini
kita senaraikan beberapa saja yang memang mungkin cukup mudah untuk Anda peroleh, terutama yang
memang sudah dalam bahasa Indonesia.
Selain buku-buku yang sudah diterbitkan untuk umum tersebut (sehingga Anda dapat membelinya di
toko-toko buku), bahan-bahan tertulis lainnya adalah dalam bentuk dokumentasi laporan berbagai Ornop
di Indonesia tentang kegiatan advokasi yang mereka lakukan. Cara terbaik untuk memperoleh laporan-
laporan tersebut adalah dengan menghubungi langsung organisasi-organisasi yang bersangkutan.
Jika Anda ingin mengikuti pelatihan-pelatihan mengenai advokasi, ada beberapa organisasi yang
dapat Anda hubungi, antara lain:
Institute for Social Transformation (INSIST), Sekip Blimbingsari CT-IV/38, Jogjakarta 55281; Telp/Fax:
0274-561847; e-mail: insist@indosat.net.id
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jalan Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu,
Jakarta 12510; Telp. 021-7972662, 79192564; Fax. 021-79192519; e-mail: elsam@nusa.or.id dan
advokasi@rad.net.id
Public Interest Research & Advocacy Center (PIRAC), Mampang Prapatan XI/39, RT.05/RW04, Jakarta
12790; Telp/Fax: 021-79190752; e-mail: pirac@pirac.or.id
Berbagai Ornop yang selama ini terlibat langsung dalam berbagai kegiatan advokasi di daerah-
daerah juga menyediakan pelatihan-pelatihan advokasi khusus sesuai dengan tema-tema atau isu-isu
advokasi mereka selama ini. Organisasi-organisasi semacam itu merupakan tempat yang sangat bagus
untuk magang, karena Anda akan melihat dan ikut langsung juga terlibat dalam kegiatan advokasi mereka
yang sedang berlangsung sehingga Anda bisa belajar langsung dari praktek dan pengalaman nyata. Ada
banyak sekali organisasi semacam itu di seluruh Indonesia, baik pada tingkat kabupaten maupun propinsi.
Anda bisa menanyakannya kepada Ornop setempat. Sebagai pedoman saja, terutama untuk mendapatkan
informasi lanjut yang lebih rinci, Anda misalnya dapat menghubungi organisasi-organisasi ini:
– Pusat Informasi Advokasi Rakyat (PIAR), Jalan W.J.Lalamentik No.75, Oebobo, Kupang;
Advokasi Damai
Sumber-sumber Belajar 122
– LIMIT ornop for Social Transformation, Jalan Abunawas 113, Kendari 93117; Telp. 0401-395544; e-
mail: arianggu@yahoo.com
– Inter-Faith Committee (IFC), Jalan Ahmad Yani 16B, Purwodadi 58111, Grobogan, Jawa Tengah;
Telp. 0292-421204; e-mail: didi_dea@telkom.net
– Yayasan Tita Mae, Jalan dr. Kayadoe Sk 26/1, Ambon; Telp/Fax: 0911-341622; e-mail:
titamae@ambon.wasantara.net.id
– Yayasan Mitra Bentala, Jalan Flamboyan No.18, Enggal, Bandar Lampung 35118; Telp/Fax: 0721-
241383; e-mail: yamitra@indo.net.id
– Catholic Relief Services (CRS) Kupang, Jalan Sam Ratulangi I/18, Walikota Baru, Kupang 85228;
Telp. 0380-827272, 829051; e-mail: crs@kupang.wasantara.net.id
– Yappika (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi), Jl. Pedati Raya No.20 RT 007/09, Otista
Kampung Melayu, Jakarta Timur, Jakarta; Tel: 021-8191623, e-mail: yappika@indosat.net.id /
yappika@yappika.org
– Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jalan Situ Batu No.C-9, Bandung, Buah Batu, Jawa Barat;
Telp: 022-7303386; e-mail: kpa@kpa.or.id/deputi_pendidikan_pengorganisasian@kpa.or.id
– Lembaga Bina Potensia (LBP), Cempaka X No.15, Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Telp: 0511-
51263; e-mail: benawa@banjarmasin.wasantara.net.id, lbp@indo.net.id
– Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan EkonMomi dan Sosial (LP3ES), Jalan S.
Parman 81 Slipi, Jakarta Barat, DKI Jakarta; Telp: 021-5674211; e-mail: KONFLIK@lp3es.or.id
– Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Masyarakat (LP3M ALGHEINS), Jalan Ir.
Juanda 132 A, Ponorogo, Tonatan, Jawa Timur; Telp: 0352-485067; e-mail: algh@indo.net.id
– PACT Indonesia, Jalan Tebet Barat I No.8, Jakarta Selata, DKI Jakarta; Telp: 021-8293156; e-mail:
pactoca@cbn.net.id
Jika Anda membutuhkan bantuan para praktisi hukum, Anda dapat menghubungi semua kantor
cabang Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang terdapat hampir di semua ibukota
propinsi di Indonesia. Juga beberapa lembaga bantuan hukum lainnya yang selama ini aktif mendampingi
rakyat setempat mengadvokasikan isu-isu mereka. ELSAM di Jakarta telah menerbitkan satu buku petunjuk
khusus mengenai organisasi-organisasi pelayanan bantuan hukum tersebut di Indonesia, lengkap dengan
alamat dan uraian singkat mengenai kegiatan mereka (Direktori Lembaga Pelayanan Hukum; Jakarta:
ELSAM, 2000).
Advokasi Damai
123 Sumber-sumber Belajar
Untuk pelayanan keahlian lainnya (riset, kajian kebijakan, perancangan media kampanye, pemberitaan di
media massa, dan sebagainya), Anda dapat menghubungi lembaga-lembaga perguruan tinggi dan me-
dia massa di daerah anda.
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour, ed. Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan: Kisah-kisah Advokasi di Indonesia;
Jogjakarta: INSIST Press & PACT-Indonesia, 2002.
Noertjahyo, Ludwina Inge & Safitri, Myrna A. Annotasi Peraturan Perundang-undangan berkaitan
dengan Akses Masyarakat Adat pada Sumber Daya Alam di Indonesia; Jakarta: ELSAM, 2000.
Putri, Agung & Palupi, Sri. Menelusuri Jejak, Menyingkap Fakta: Panduan Investigasi Pelanggaran Hak
Asasi Manusia; Jakarta: ELSAM, 1999.
Saidi, Zaim. Memenangkan Agenda Publik: Panduan Pelatihan Advokasi; Jakarta: PIRAC, 1998.
Topatimasang, Roem, Fakih, Mansour & Rahardjo, Toto eds. Merubah Kebijakan Publik: Panduan
Pelatihan Advokasi; Jogjakarta: INSIST Press & PACT-Indonesia, 2000.
Widjardjo, Boedi & Topatimasang, Roem eds. Pemantauan Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Panduan
Pelatihan di Tingkat Masyarakat; Jakarta: ELSAM, 2000.
Advokasi Damai
Sumber-sumber Belajar 124