Está en la página 1de 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai. Sampai saat ini hipertensi
masih tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara lain meningkatnya
prevalensi hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapat
pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai
target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin
meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi
kemungkinan juga akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi
hipertensi sistolik dan diastolic sering timbul pada lebih dari separuh orang yang
berusia >65 tahun.
Diperkirakan satu dari empat populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta
individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas
dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi
kardiovaskuler. Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa
prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini
dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Pada populasi
berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih
besar dari 160/95 mmHg dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari
140/90 mmHg. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus
meningkat, dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva
mendatar), dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh
pasien hipertensi.
Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih.
Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya
arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya

1
penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Pengendalian hipertensi yang
agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal jantung
kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga
morbiditas dapat dikurangi.
Konsekuensi dari penggunaan obat-obat antihipertensi yang rutin mempunyai
potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan.
Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama periode perioperatif,
dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam sebelum prosedur pembedahan
dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh
anesthesia.
Tingginya angka penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa
ditimbulkan akibat hipertensi ini menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli
anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Periode perioperatif dimulai
dari hari dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama
pembedahan sampai pemulihan pasca bedah.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, dan


pathogenesis hipertensi serta persiapan preoperative, manajemen anestesi, dan
manajemen postoperative pada pasien penderita hipertensi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di
dalam arteri. (Hiper artinya Berlebihan, Tensi artinya Tekanan/Tegangan; Jadi,
Hipertensi adalah Gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan
tekanan darah diatas nilai normal.)
Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Pressure (JIVC) sebagai tekanan yang lebih tinggi dari
140 / 90 mmHg.
Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih
tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah
diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah ditulis sebagai
tekanan sistolik garis miring tekanan diastolik, misalnya 120/80 mmHg, dibaca seratus
dua puluh per delapan puluh.
Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan
tekanan darah; tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan
diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara
perlahan atau bahkan menurun drastis.
Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan
anak-anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah daripada
dewasa. Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi
pada saat melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah
dalam satu hari juga berbeda; paling tinggi di waktu pagi hari dan paling rendah pada
saat tidur malam hari

B. Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita tekanan
darah tinggi (≥ 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan cukup besar setiap
tahunnya.3 Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES),
insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000 adalah sekitar 29-
31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang menderita hipertensi, dan terjadi
peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991.

3
Lebih dari 60 juta rakyat Amerika mengalami tekanan darah tinggi, termasuk
lebih dari separuh (54,3%) dari seluruh masyarakat Amerika yang berusia 64 hingga 74
tahun dan hampir tiga per empat (72,8%) dari seluruh orang Amerika Afrika dalam
kelompok usia yang sama.
Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya
tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Risiko untuk
menderita hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal
adalah 90%.2 Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum
mereka didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi
pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima.
Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi
dibanding perempuan. Dari umur 55 s/d 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan
dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥ 60 tahun),
prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 %.

B. DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya


peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur,
jenis kelamin dan ras. Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka
yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih
rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah kurang dari
120/80 mmHg didefinisikan sebagai “normal”. Pada tekanan darah tinggi, biasanya
terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik. Hipertensi biasanya terjadi pada tekanan
darah 140/90 mmHg atau ke atas, diukur di kedua lengan tiga kali dalam jangka
beberapa minggu.

Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah sebagai berikut :
Dewasa 140/90 mmHg
Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

4
Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention, detection, evaluation,
and treatment of high blood pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas
prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2.

Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD


dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi,
aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan
setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya
riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi prehipertensi
mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD
antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi
dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu. Di samping itu klasifikasi
hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu
sebagai berikut:
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:
A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:
c/: Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.
B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:
c/: Renal : glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik
ginjal, stenosis arteri renalis.

5
Endokrin : Sindroma Chusing, hyperplasia adrenal congenital,
sindroma Conn (hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma,
hipotiroidisme.
Neurogenik : peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension),
porfiria akut, tanda-tanda keracunan.
Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa,
hiperkalsemia,peningkatan volume intravaskuler (overload).

6
Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau
lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan diastolik masih dalam
kisaran normal. Hipertensi ini sering ditemukan pada usia lanjut.
Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan
tekanan darah; tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan
diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara
perlahan atau bahkan menurun drastis.
Dalam pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit ginjal, penelitian telah
menunjukkan bahwa tekanan darah di atas 130/80 mmHg harus dianggap sebagai
faktor resiko dan sebaiknya diberikan perawatan.

Pengaturan tekanan darah


Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara:
 Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada
setiap detiknya
 Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak
dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut.
Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh
yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang
terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku
karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat
pada saat terjadi “vasokonstriksi”, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk
sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam
darah.
 Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan
darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu
membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam
tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.
Sebaliknya, jika:
 Aktivitas memompa jantung berkurang

7
 Arteri mengalami pelebaran
 Banyak cairan keluar dari sirkulasi
Maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.
Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan di dalam
fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai
fungsi tubuh secara otomatis).

Perubahan fungsi ginjal


Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara:
 Jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan
air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan
tekanan darah ke normal.
 Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan
air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal.
 Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang
disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensi, yang selanjutnya
akan memicu pelepasan hormon aldosteron.
Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah; karena itu
berbagai penyakit dan kelainan pda ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan darah
tinggi.
Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis)
bisa menyebabkan hipertensi.
Peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan
naiknya tekanan darah.

Sistem saraf otonom


Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom, yang untuk
sementara waktu akan:
 meningkatkan tekanan darah selama respon fight-or-flight (reaksi fisik tubuh
terhadap ancaman dari luar)

8
 meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung; juga mempersempit
sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu
(misalnya otot rangka, yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak)
 mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal, sehingga akan
meningkatkan volume darah dalam tubuh
 melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang
merangsang jantung dan pembuluh darah.

D. PATOFISIOLOGI
Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial
dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah:

 Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi


diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress
psikososial dll
 Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor
 Asupan natrium (garam) berlebihan
 Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
 Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi
angiotensin II dan aldosteron
 Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik
 Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus
vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
 Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh
darah kecil di ginjal
 Diabetes mellitus
 Resistensi insulin
 Obesitas
 Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
 Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik
inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
 Berubahnya transpor ion dalam sel

9
Gambar 1: Mekanisme patofisiologi dari hipertensi.

E. GEJALA
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala; meskipun
secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan
dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud
adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan;
yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan
tekanan darah yang normal.
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:
 sakit kepala

10
 kelelahan
 mual
 muntah
 sesak nafas
 gelisah
 pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak,
mata, jantung dan ginjal.
Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma
karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang
memerlukan penanganan segera.

F. PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI


Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara
spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasus-
kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti
penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing’s
disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial.
Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi. Secara
umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan aktivitas
simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada
keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah
perifer (SVR) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi
pada mayoritas penderita hipertensi. Pola perkembangan terjadinya hipertensi,
awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi
semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal.
Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle
hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi
serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi
dipertahankan pada tekanan yang tinggi. Tekanan darah berbanding lurus dengan

11
curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan
hukum Law, yaitu:
BP = CO X SVR

Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi,


dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang
mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan
jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan
intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai
pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk
sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari keempat
tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon local yang berasal dari
endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen
oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.

G. KOMPLIKASI
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri
dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ
tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah
faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack),
penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial
fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain (tabel
3), maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan
kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi
mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke,
penyakit arteri perifer, dan gagal jantung.

12
Paradigma Perjalanan Penyakit Kardiovaskular
Disritmia

Infark miokard akut Disfungsi diastolik


PVD mati mendadak
plak tidak stabil
Disfungsi sistolik
ventrikel kiri Hipertrofi
ventrikel kiri
Penyakit jantung koroner
remodelling
STROKE Disfungsi endotel
aterosklerosis
Gagal jantung Hipertensi
kongestif Tekanan
Disfungsi endotel glomerulus
Gagal ginjal
Gagal jantung tahap akhir Disfungsi mesangial
tahap akhir sitokin
Faktor risiko
KEMATIAN Proteinuria
sklerosis & fibrosis

H. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
1. Terapi nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang untuk mencegah tekanan
darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua
pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.
Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi
pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi. Modifikasi gaya hidup yang
penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah:
 mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk;
 mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya
akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan
 mengkonsumsi alkohol sedikit saja.
Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan
terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat

13
membebaskan pasien dari menggunakan obat. Program diet yang mudah diterima
adalah yang didisain untuk menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada
pasien yang gemuk dan obesitas disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol.
Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril.
Aktifitas fisik juga dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara
teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan
pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan
kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini
dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi
dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk
pasien dengan kerusakan organ target.
Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit
kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan
resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.

Kira-kira penurunan
Modifikasi Rekomendasi
tekanan darah, range

Penurunan berat badan Pelihara berat badan normal 5-20 mmHg/10-kg


(BB) (BMI 18.5 – 24.9) penurunan BB

Adopsi pola makan Diet kaya dengan buah, sayur, dan 8-14 mm Hg1
DASH produk susu rendah lemak

Mengurangi diet sodium, tidak lebih dari


Diet rendah sodium 2-8 mm Hg
100meq/L (2,4 g sodium atau 6 g sodium
klorida)

Aktifitas fisik Regular aktifitas fisik aerobik seperti jalan 4-9 mm Hg18
kaki 30 menit/hari, beberapa hari/minggu

Limit minum alkohol tidak lebih dari


Minum alkohol sedikit 2/hari (30 ml etanol [mis.720 ml beer],
2-4 mm Hg
saja
300ml wine) untuk laki-laki dan 1/hari
untuk perempuan

14
Singkatan: BMI, body mass index, BB, berat badan, DASH, Dietary Approach to Stop
Hypertension
* Berhenti merokok, untuk mengurangi resiko kardiovaskular secara keseluruhan

Tabel Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi*

2. Terapi farmakologi
Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan
obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan
dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi
20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua
obat. Yang harus diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada
pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia.

Diuretik
Diuretik thiazide biasanya merupakan obat pertama yang diberikan untuk
mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal membuang garam dan air, yang akan
mengurangi volume cairan di seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah.
Diuretik juga menyebabkan pelebaran pembuluh darah.
Diuretik menyebabkan hilangnya kalium melalui air kemih, sehingga kadang
diberikan tambahan kalium atau obat penahan kalium.
Diuretik sangat efektif pada:
- orang kulit hitam
- lanjut usia
- kegemukan
- penderita gagal jantung atau penyakit ginjal menahun
Penghambat adrenergik

15
Penghambat adrenergik merupakan sekelompok obat yang terdiri dari alfa-
blocker, beta-blocker dan alfa-beta-blocker labetalol, yang menghambat efek sistem
saraf simpatis.
Sistem saraf simpatis adalah sistem saraf yang dengan segera akan memberikan
respon terhadap stres, dengan cara meningkatkan tekanan darah. Yang paling sering
digunakan adalah beta-blocker, yang efektif diberikan kepada: - penderita usia muda
- penderita yang pernah mengalami serangan jantung
- penderita dengan denyut jantung yang cepat
- angina pektoris (nyeri dada)
- sakit kepala migren.

Angiotensin converting enzyme inhibitor


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-inhibitor) menyebabkan
penurunan tekanan darah dengan cara melebarkan arteri.
Obat ini efektif diberikan kepada:
- orang kulit putih
- usia muda
- penderita gagal jantung
- penderita dengan protein dalam air kemihnya yang disebabkan oleh penyakit
ginjal
menahun atau penyakit ginjal diabetik
- pria yang menderita impotensi sebagai efek samping dari obat yang lain.
Angiotensin-II-bloker menyebabkan penurunan tekanan darah dengan suatu
mekanisme yang mirip dengan ACE-inhibitor.
Antagonis kalsium
Antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan
mekanisme yang benar-benar berbeda.
Sangat efektif diberikan kepada:
- orang kulit hitam
- lanjut usia

16
- penderita angina pektoris (nyeri dada)
- denyut jantung yang cepat
- sakit kepala migren.
Vasodilator
Vasodilator langsung menyebabkan melebarnya pembuluh darah. Obat dari
golongan ini hampir selalu digunakan sebagai tambahan terhadap obat anti-hipertensi
lainnya. Kedaruratan hipertensi (misalnya hipertensi maligna) memerlukan obat yang
menurunkan tekanan darah tinggi dengan segera.
Beberapa obat bisa menurunkan tekanan darah dengan cepat dan sebagian
besar diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah):
- diazoxide
- nitroprusside
- nitroglycerin
- labetalol.

Gambar: Tempat bekerja obat-obatan


hipertensi

17
Nifedipine merupakan kalsium antagonis dengan kerja yang sangat cepat dan bisa diberikan
per-oral (ditelan), tetapi obat ini bisa menyebabkan hipotensi, sehingga pemberiannya harus
diawasi secara ketat.

Monitoring kerusakan target organ

Parameter pasien yang di Monitoring


Kelas Obat
monitor Tambahan
ACE Inhibitor Hipotensi pada pemberian Fungsi ginjal (BUN, serum
dosis pertama, pusing, kreatinin), serum elektrolit
batuk, tekanan darah, (kalium)
adherence (kepatuhan)
ARB Hipotensi pada pemberian Fungsi ginjal (BUN, serum
dosis pertama, pusing, kreatinin), serum elektrolit
tekanan darah, adherence (kalium)
Alpha-blocker Hipotensi ortostatik
(Penyekat alfa) (terutama
-
dengan dosis pertama),
Pusing, tekanan darah,
adherence
Beta-blocker Denyut nadi, tekanan darah, Gejala gagal jantung,
(Penyekat beta) toleransi thd olah raga, gula darah
pusing, disfungsi seksual,
gejala gagal jantung,
adherence
Antagonis Denyut nadi (verapamil, Gejala gagal jantung
kalsium diltiazem), edema perifer,
sakit kepala (terutama
dengan
dihidropiridin), gejala gagal
jantung, tekanan darah,
adherence
Obat yang bekerja sentral Sedasi, mulut kering, denyut Enzim liver (metildopa)
(metildopa, klonidin) nadi, gejala retensi cairan,
tekanan darah, adherence
Diuretik Pusing, status cairan, urine Fungsi ginjal (BUN, serum
output, berat badan,
kreatinin), serum elektrolit
tekanan darah, adherence (kalium, magnesium,
natrium), kadar gula, asam
urat (utk tiazid)
ACE: angiotensin converting enzyme; ARB:angiotensin receptor blocker;

18
BUN:blood urea nitrogen

Monitoring interaksi obat dan efek samping obat


Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat harus di nilai secara
teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4 minggu setelah memulai obat baru atau
setelah menaikkan dosis (tabel 7). Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan
dosis atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain. Monitoring yang intensif diperlukan
bila terlihat ada interaksi obat.

Efek samping dan kontraindikasi obat-obat antihipertensi


Kelas Obat Kontraindikasi Efek samping
ACE inhibitors Kehamilan, bilateral artery Batuk, angioedema,
stenosis, hiperkalemia hiperkalemia, hilang rasa,
rash,
disfungsi renal
ARB Kehamilan, bilateral artery Angioedema (jarang),
stenosis, hiperkalemia hiperkalemia, dusfungsi
renal
Penyekat alfa Hipotensi ortostatik, gagal Sakit kepala, pusing, letih,
jantung, diabetes hipotensi postural,
hipotensi
dosis pertama, hidung
tersumbat, disfungsi ereksi
Penyekat beta Asma, heart block, sindroma Bronkospasm, gagal
Raynaud’s yg parah jantung,
gangguan sirkulasi perifer,
insomnia, letih, bradikardi,
trigliserida meningkat,
impoten, hiperglikemi,
exercise
intolerance
Antagonis kalsium Heart block, disfungsi Sakit kepala, flushing,
sistolik gagal jantung edema
(verapamil, diltiazem) perifer, gingival hyperplasia,
constipasi (verapamil),
disfungsi ereksi
Agonis sentral Depresi, penyakit liver Rebound hipertensi bila
(metildopa, (metildopa), diabetes dihentikan, sedasi, mulut

19
klonidine) kering, bradikardi, disfungsi
ereksi, retensi natrium dan
cairan, hepatitis (jarang)
Diuretik Pirai Hipokalemia, hiperurisemia,
glucose intolerance (kecuali
indapamide), hiperkalsemia
(tiazid), hiperlipidemia,
hiponatremia, impoten
(tiazid)

Interaksi antara obat antihipertensive dengan obat lain


Kelas Obat Berinteraksi dengan Mekanisme Efek
Diuretik
Tiazide Digoksin Hipokalemia Digoksin menjadi
lebih toksik
Loop Obat-obat yang Hipokalemia Lemah otot, aritmia
menurunkan kadar jantung
kalium
Potasium- ACEI, ARB, Hiperkalemia Hiperkalemia yg
Sparing siklosporin, garam serius dapat
kalium menyebabkan
cardiac arrest
Tiazid
Carbamazepin, Hiponatremia Mual, muntah,
chlorpropamid letargi, bingung, dan
kejang
Penyekat Diltiazem, verapamil Efek negatif Bradikardia, depresi
inotropik miokardial
beta
Antidiabetik oral yang aditif Gejala hipoglisemia
Blokade reseptor tertutupi
Dobutamin beta-2 Efek inotropik dr
Antagonis reseptor dobutamin
Adrenalin β-1 dihambat
α-vasokonstriksi Hipertensi dan
oleh bradikardi
adrenalin
Verapamil, Penyekat beta Efek negatif Bradikardia, depresi
inotropik miokardial
diltiazem
Digoksin yang aditif Akumulasi digoksin,
Menghambat efek aritmogenik
ekskresi renal
digoksin
ACEI/ARB Diuretik penahan Ekskresi kalium Hiperkalemia

20
Kalium melalui ginjal
berkurang
NSAID Retensi Na dan H2O Efek antihipertensi
berkurang
Klonidin Penyekat beta Tidak diketahui Fenomena rebound
bila klonidin
dihentikan
Antidepresan trisiklik Antagonisme Efek antihipertensi
adrenoreseptor α-2 berkurang dan
sentral fenomena
rebound bila
klonidin
dihentikan
PENATALAKSANAAN DIET
 Tujuan Akhir
 Menurunkan resiko
 Meminimalkan kebutuhan akan obat untuk mengontrol tekanan darah
 Mencapai dan menjaga status gizi baik
 Tujuan Diet
 Menurunkan tekanan darah (diastole) ≤ 90 mmHg
 Menghilangkan retensi garam atau air dalam jaringan tubuh
 Mencapai dan menjaga BB dengan IMT 18.5 – 25
 Syarat Diet
Menerapkan Diet Garam Rendah, yaitu sebagai berikut:
 Cukup energi, protein, mineral dan vitamin
 Komsumsi karbohidrat kompleks
 Bentuk makanan sesuai dengan keadaan penyakit
 Jumlah konsumsi natrium disesuaikan dengan berat tidaknya hipetensi
 Hindari bahan makanan yang tinggi natrium
 Konsumsi bahan makanan yang mengandung tinggi kalium, tinggi serat
 Jenis Diet
 Diet Garam Rendah I (200-400 mg Na)

21
Diberikan pada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi berat. Tidak
ditambahkan garam dapur dalam pengolahan makanannya. Hindari juga bahan makanan
yang tinggi kadar natriumnya.
 Diet Garam Rendah II (600-800 mg Na)
Diberikan pada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi tidak terlalu berat.
Boleh menggunakan ½ sdt (2 gr) garam dapur dalam pengolahan makanannya. Hindari juga
bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
 Diet Garam Rendah III (1000-1200 mg Na)
Diberikan pada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi ringan. Boleh
menggunakan 1 sdt (4 gr) garam dapur dalam pengolahan makanannya.
 Bahan Makanan yang dianjurkan dan Tidak Dianjurkan
Dianjurkan: bahan makanan yang tidak menggunakan garam dapur, soda, atau baking
powder dalam pengolahannya. Bahan makanan segar tanpa diawetkan, daging dan ikan
maksimal 100 gr sehari, dan untuk telur 1 butir sehari.
Dihindari: bahan makanan yang diolah dengan garam dapur, soda, baking powder, asinan, dan
bahan makanan yang diawetkan dengan natrium benzoat, soft drinks, margarin dan mentega
biasa, bumbu yang mengandung garam dapur (kecap, terasi, tomato ketchup, tauco, dan lain
sebagainya.

E. MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI


Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi Penilaian preoperatif
penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus
mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:
 Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.
 Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.
 Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
 Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk
prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

22
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan
penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya.
Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai
merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan
penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering
menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu.
Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak
seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum
kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan
parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan
peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat
adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.
Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya
TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.
Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung
sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronaria
sebesar 16%. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi Sampai saat ini belum ada protokol
untuk Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi Sampai saat ini belum ada protokol untuk
penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk
dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa
TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau
operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena
peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana
perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun
beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya
morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari
hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak

23
uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian
stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan
sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak
diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.
Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar
terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan
operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga
evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association /
American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg
dan/atau TDD 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi
bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam
beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat
rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD
yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu
saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat
laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi
preoperative yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai
hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.

1. Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan
penggunaanya:
 EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multiple lead ST, karena pasien hipertensi
punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
 TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya
digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang.
 Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.

24
 Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan
kadar CO2.
 Suhu atau temperature.

2.Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi
yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan
benzodiazepine atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari
pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi
menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif

3.Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik
pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering
menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk
tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat
depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang
dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi
yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea
yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian
hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan
bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya
fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan
laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.
 Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.
 Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb,
sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
 Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

25
 Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-
3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
 Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-
masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat
keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan
pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium
atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi
secara inhalasi.

4.Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring


Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah
meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan
hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan
hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran
kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan
mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara
tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva
autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi
serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang
dianjurkan untuk penderita hipertensi.
 Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.
 Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.
 Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang
terjadi pada serebral.
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan
kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau
dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O +

26
pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.
Anestesia re- Manajemen Perioperatif pada Hipertensi gional dapat dipergunakan sebagai
teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi
akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika
hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain
harus dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm.
Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan
monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk
jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG
diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama
untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine,
untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk
memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau
adanya kerusakan end organ yang lain.

Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensijuga pada periode
anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan
didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral, namun faktor
penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia
atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu. Pemilihan obat antihipertensi tergantung
dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada
tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya
atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3). Berikut ini ada beberapa
contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:
 Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi
ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.
 Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

27
 Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan
iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.
 Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang
sampai berat.
 Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau
pencegahan iskemia miokard.
 Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.
 Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang lambat
sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
Tabel 3. Golongan dan efek obat-obat antihipertensi

E.Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang
menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard
sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu
bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi
vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga
menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada
banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi

28
dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau
distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi,
penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.3 Nyeri merupakan salah satu
factor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien
yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural
secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka
intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca
operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat
hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi
sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker
yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila
penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila
hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan
iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin
dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan
sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya
antihipertensi secara oral segera dimulai.

29
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita yang cukup
tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa menyebabkan terjadinya
komplikasi seperti penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya
angka kejadian dan komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu
adanya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif.
Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan
dilanjutkan sampai periode pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan
penderita sangat penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang
terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada pasca pembedahan. Goncangan
hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa hipotensi, yang bisa
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi dengan perlunya
pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan perioperatif, pengetahuan
farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-obatan antihipertensi maupun obatobatan
anestesia serta penanganan nyeri akut yang adekuat. Dengan manajemen perioperatif yang
benar terhadap penderita-penderita hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan
bisa menurunkan atau meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

30
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and management; Available at: http://
www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512 Murray.pdf. Accesed Aug 13th 2007.
2. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation, and
treatment of high blood pressure, NIH publication No.03- 5233, December 2003.
3. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease.
Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-52.
4. Perez-Stable EJ. Management of mild hypertension- selecting an antihypertensive regimen.
West J Med 1991;154:78-87.
5. Yao FSF, Ho CYA. Hypertension. Anesthesiologyproblem oriented patient manajement. 5 th
ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.337-57.
6. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN). Decision making
in anesthesiology-an algorithmic approach. 4thed. Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6.
7.Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at: http://www.
emedicine.com/ MED/ topic3158.htm. Accessed Aug 18th 2007.
8. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http:// www. 4um.com/
tutorial/anaesthbp.htm. Accessed Aug 16th 2007.
9. Benowitz NL. Antihypertensive agentcardiovaskular- renal drugs: Katzung BG, editor.
Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2004.p.160-83.
10. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines RL,
Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing disease. 5th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87- 102.
11. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor. Adult perioperative
anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier; 2004.p.3-82.
12. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient undergoing anesthesia
and elective surgery. British Journal of Anesthesia 2001;86(6):789-93.
13. Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD, Bakris GL. editors.
Available at: www.uptodate.com. Accessed Aug 16th14. Laslett L. Hypertension
preoperative assessment and perioperative management. West J Med 1995;162:215-9.
15. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia. Current
Opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9.
16. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and perioperative cardiac risk.
British Journal of Anesthesia 2004;92(4):570-83.
17. Paix AD, et al. Crisis management during anesthesia: hypertension. Qual Saf Health Care
2005;14:e12.

31
18. Barisin S, et al. Perioperatif blood pressure control in hypertensive and normotensive
patient undergoing off-pump coronary bypass grafting. Croat Med J 2007;48:341-7.
19. Common problem in the cardiac surgery recovery unit in perioperative care. In: Cheng DCH,
David TE, editors. Cardiac anesthesia and surgery. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2006.p.1178-22.

32

También podría gustarte