Está en la página 1de 13

TUGAS MATRIKULASI

DASAR KESEHATAN LINGKUNGAN


PERBEDAAN KONSERVASI AIR TANAH DI KAB.
BOYOLALI, JAWA TENGAH,INDONESIA DAN SINGAPURA

Aulia Risti Ramadhani


101814153025

MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
LATAR BELAKANG

Kelangkaan air bersih merupakan salah satu masalah lingkungan yang saat ini sedang
menjadi pusat perhatian warga dunia. Dari 70% jumlah kandungan air di muka bumi, hanya
0,007% merupakan air bersih yang tersedia bagi 6,8 triliun populasi manusia (Freshwater
crisis, 2016). Hasil penelitian yang dilakukan oleh United Nations (UN) memprediksi bahwa
pada tahun 2025 mendatang, sebanyak 1,8 triliun populasi manusia akan hidup dengan
kelangkaan air bersih, dengan dua pertigapopulasi manusia di seluruh dunia akan mengalami
stres sebagai akibat dari kondisi tersebut (United Nations [UN], 2016).

Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), kemampuan manusia


dalam menggunakan air bersih lebih cepat dibandingkan kemampuan alam untuk
memproduksinya kembali (United Nations Environment Programme [UNEP], 2016). Krisis
air bersih itu sendiri diprediksi akan lebih banyak menimpa warga di negara berkembang
daripada warga di negara maju. Salah satu penyebab krisis air bersih lebih banyak menimpa
warga di negara berkembang, termasuk negara Indonesia, karena warga negara berkembang
seringkali menggunakan air bersih dalam jumlah yang sangat banyak untuk kepentingan
perkembangan ekonomi dan kemajuan industri di negara mereka, tanpa mempertimbangkan
bahwa populasi manusia terus meningkat tiap tahunnya. Selain itu, minimnya kesadaran
warga untuk menerapkan perilaku konservasi air bersih, menyebabkan kelangkaan air bersih
diprediksi lebih banyak menimpa negara – negara berkembang atau negara yang masih
mengalami transisi ekonomi (UNEP, 2004; Kiswanto & Pitoyo, 2016).

Hal tersebut yangkemudian mendorong The World Economic Forum menempatkan


krisis air bersih sebagai isu paling utama yang akan menjadi pusat perhatian dunia untuk
beberapa dekade mendatang (Simple things can make a difference, 2016). Minimnya
kesadaran warga dari negara berkembang untuk menerapkan perilaku konservasi air bersih
sejak dini diprediksi berkaitan erat dengan perspektif waktu yang dimiliki oleh mereka.
Warga dari negara berkembang dinilai memiliki perspektif waktu dengan berorientasi pada
masa kini, sebaliknya warga dari negara maju memiliki perspektif waktu dengan berorientasi
pada masa depan (Sircova et al., 2015).

Adanya perbedaan perspektif waktu antara warga di negara berkembang dan negara
maju ini yang kemudian akan peneliti analisis lebih lanjut kaitannya dengan perilaku
konservasi air bersih, mengingat hasil penelitian yang dilakukan oleh Arnocky, Milfont, dan
Nicol (2013) menunjukkan bahwa individu yang memiliki orientasi waktu dengan mengacu
masa depan atau future orientation lebih memerlihatkan perilaku pro-lingkungan
dibandingkan dengan mereka yang tidak. Hipotesis dalam penelitian ini adalah perbedaan
perilaku konservasi air bersih antara warga di negara berkembang dan warga di negara maju
disebabkan oleh adanya perbedaan perspektif waktu antar kedua golongan negara tersebut.

Ketersediaan sumber air untuk wilayah Indonesia sebenarnya cukup melimpah.


Meskipun demikian, total curah hujan cukup tinggi di masing-masing pulau tersebut tidak
seluruhnya diserap oleh tanah dan menjadi air tanah. Justru karena tidak terkontrolnya
pertambahan lahan terbangun yang kedap air dan untuk menghindari banjir, upaya yang
dilakukan adalah mengalihkan air hujan dibuang ke laut. Data yang ada menunjukkan,
bahwa sebagian besar air hujan menjadi run off atau air permukaan. Secara ringkas masalah
yang mengancam ketahanan air di Indonesia meliputi:

1. Semakin bertambahnya luas lahan kritis 13,1 juta ha (1992) dan 18,5 juta ha
(2009).
2. Semakin berkurangnya daerah resapan air menjadi kawasan kota dan industri
(alih fungsi lahan pertanian 35000 ha/th juga mengancam ketahanan pangan).
3. Semakin tingginya pemakaian air tanah (di beberapa kota besar 73%
penduduk menggunakan air tanah).
4. Semakin bertambahnya pengguna air karena pertumbuhan penduduk
meningkat.
5. Semakin tingginya penggunaan air karena peningkatan kualitas kehidupan.
6. Semakin tercemarnya sumber sumber air (sungai, danau, air tanah) karena
tidak tersedia sarana pengolah air limbah di perkotaan.
7. Pemanasan global/kenaikan muka air laut yang menimbulkan gangguan
terhadap pertambakan, abrasi pantai dan memperberat masalah banjir kota-
kota tepi pantai, (mengancam 450,000 ha tambak, 10.666 desa pantai dengan
16 juta penduduk yang tinggal di kawasan pantai).
8. Belum terpadunya program, kewenangan dan tanggung jawab antar
lembaga/kementerianKementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/Air Tanah, dan Kementerian
Dalam Negeri). (Direktorat pengkajian bidang Sosbud Lemhanas, 2013)

Contohnya Di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah, air tanah merupakan


sumber air utama dalam memenuhi suplai air bersih. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Kabupaten Boyolali, sebagai perusahaan pengelola air bersih perkotaan bagi warga,
mengandalkan air baku dari air tanah yaitu dari Mata Air Tlatar. Boyolali merupakan salah
satu Kabupaten dengan potensi air tanah yang besar, karena berada pada Cekungan Air tanah
Karanganyar – Boyolali.

Tidak hanya Mata Air Tlatar, di beberapa wilayah masih banyak terdapat sumber
mata air, antara lain mata air di Kawasan Wisata Pengging Desa Dukuh dan Desa Bendan di
Kecamatan Banyudono. Daerah di sekitar sumber-sumber mata air ini tidak mengalami
kekurangan air sepanjang tahunnya. Namun beberapa tahun belakangan ini, penduduk yang
memanfaatkan sumber-sumber tersebut mengeluh bahwa sumber-sumber tersebut mengalami
penurunan debit dari tahun ke tahun. Permasalahan penurunan debit mata air ini diduga
sangat terkait dengan kerusakan lingkungan pada recharge area yang dirasakan semakin
meningkat. Daerah-daerah yang merupakan recharge area di Kabupaten Boyolali adalah
desa-desa yang terletak di lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Daerah dengan
jurang-jurang yang dalam serta sungai musiman merupakan salah satu ciri dari recharge area.
Daerah-daerah tersebut meliputi Kecamatan Ampel, Kecamatan Selo dan Kecamatan
Copogo. Kerusakan recharge area disebabkan oleh perubahan fungsi lahan, dan penambangan
pasir liar yang mengakibatkan kerusakan tanah dan peningkatan erosi dan sedimentasi.
Pengelolaan air tanah yang baik sangat mutlak diperlukan di Boyolali, mengingat besarnya
potensi air tanah yang harus dijaga kelestariannya. Salah satu kegiatan pengelolaanair tanah
yang dapat dilakukan adalah dengan konservasi. Konservasi air tanah menurut
Danaryanto,dkk (2005) adalah upaya melindungi dan memelihara keberadaan, kondisi dan
lingkungan air tanah guna mempertahankan kelestarian atau kesinambungan ketersediaan
dalam kuantitas dan kualitas yang memadai, demi kelangsungan fungsi dan kemanfaatannya
untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik waktu sekarang maupun pada generasi yang
akan datang.

Berbeda dengan negara Singapura yang saat ini terkenal sebagai negara kecil yang
menjadi salah satu pusat bisnis di kawasan Asia pada 40 tahun yang lalu memiliki kondisi
yang sangat berbeda. Ketersediaan sumber air baku yang sangat terbatas, banjir yang
seringkali terjadi, penanganan sanitasi yang kurang memadai sehingga mempengaruhi tingkat
kesehatan masyarakat. Menyadari kondisi tersebut, maka mulailah dilakukan transformasi.
Ada 2 fase yang dilakukan.
a. Tahap 1: Penanganan Kondisi Dasar, selama kurun waktu tahun 1965-2000. Tema
yang diangkat adalahTackling the Basics;
b. Tahap 2: Pengembangan pengelolaan air, selama kurun waktu tahun 2001-2006.
Tema yang diangkat adalahWater for All: Conserve, Value, Enjoy.
c. Tahap 3: Beyond 2006: Mengintegrasikan isu lingkungan dengan sektor lainnya.
Tema yang diangkat adalahThe Future – Integrating with the Environment and the
World.

Dari tema yang diangkat itulah kemudian diterjemahkan kedalam berbagai program dan
kegiatan:

Water for All; menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Singapura untuk
memastikan ketersediaan sumber air minum. Ada 4 sumber air minum (4 National Tap),
yaitu: melalui pengambilan dari sumber air setempat (local catchment), pembelian air dari
negara tetangga (imported water), NEWater (pemanfaatan kembali air reklamasi) dan
pengolahan air laut (desalinated water).

3 Approaches: conserve water, value our water, enjoy our water. Sub tema ini
menggambarkan berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya upaya konservasi air, menghargai nilai air sehingga rasa kepemilikan dan
kepedulian masyarakat terhadap upaya konservasi dapat meningkat. Selain itu, dengan
meningkatkan keterkaitan antara ketersediaan air dengan berbagai kegiatan rekreasi,
membuktikan bahwa berbagai kegiatan konservasi dapat dilakukan secara sinergi dengan
sektor pariwisata sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.

Berbagai upaya tersebut berada dibawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Sumber Daya Air, yang terbagi lagi menjadi:

1. National Environmental Agency; untuk memastikan keberlanjutan kualitas lingkungan


hidup di Singapura (tanah, air dan kesehatan lingkungan).
2. Public Utility Board (PUB); untuk memastikan ketersediaan air secara efisien, jumlah
yang cukup dan kontinu. Dalam menjalankan mandatnya, PUB bertanggung jawab
untuk mengelola siklus air yang penuh, mulai dari penyediaan, pengumpulan,
pengolahan dan penyaluran air minum.
a. Used Water Management
Agar mendapatkan perseps yang lebih positif dari masyarakat, Pemerintah
Singapura menggunakan terminologiUsed Water Management (Pengelolaan Air
Buangan) dibandingkan dengan Waste Water Treatment (Pengolahan Air Limbah).
Pengelolaan air buangan tersebut ditujukan untuk: (1) mencegah kontaminasi dan
penyebaran penyakit, (2) melindungi sumber air, dan (3) mendapatkan alternatif
sumber air baku (air reklamasi).

Gambar 1 – Skema Pengelolaan Air Buangan di Singapura


Hampir seluruh wilayah di Singapura ini (luas lahan 710 km2, dengan total
penduduk sekitar 5,1 juta jiwa) telah dilayani oleh sistem perpipaan terpusat, baik
yang berasal dari domestik (rumah tangga) ataupun dari daerah komersial dan industri
(setelah mendapatkan pengolahan pendahuluan/pre-treatment). Untuk melayani
kebutuhan tersebut, tersedia sistem perpipaan, pengumpulan dan pengolahan yang
saat ini tengah dikembangkan. Dari 6 unit instalasi pengolahan, direncanakan akan
dipindahkan sehingga untuk melayani seluruh wilayah hanya akan dioperasikan 2 unit
pengolahan terpusat dengan sistem perpipaan bawah tanah (deep tunnel sewerage
system).

Gambar 2 – Deep Tunnel Sewerage System


b. NEWater
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, dalam memastikan ketersediaan
air bagi negaranya, Singapura memiliki 4 sumber air baku. Salah satunya adalah
memanfaatkan kembali air reklamasi. Pemanfaatan air reklamasi tersebut pada
dasarnya adalah melengkapi siklus air yang dikelola PUB sehingga Singapura telah
mengembangakan pengelolaan air dalam suatu siklus tertutup (close loop).

Gambar 3 – Siklus Pengelolaan Air Singapura


Air reklamasi yang digunakan berasal dari air olahan dari instalasi pengolahan
air buangan (limbah), baik domestik ataupun industri. Seperti halnya berbagai negara
maju lainnya, Singapura memiliki sistem pengolahan sanitasi yang terpusat (sewerage
system). Hampir seluruh wilayah di Singapura (99%) telah dilayani oleh sistem
perpipaan air limbah. Pada awalnya air olahan ini dialirkan langsung ke badan air,
seperti sungai dan laut. Namun, untuk menjaga ketersediaan air di masa yang akan
datang, maka air olahan digunakan untuk 2 hal, yaitu:
1) Direct Non-Potable Use; terutama untuk penggunaan air untuk
pendingin bagi rumah sakit, bangunan komersial dan kantor; serta
sebagai bagian dari proses industri. Sebelum menggunakan NEWater,
industry (seperti Apple) menggunakan air perpipaan dari instalasi
pengolahan air minum. Upaya ini merupakan bagian dari Strategi
Pengalihan (Replace Strategy) sehingga lebih banyak air yang tersedia
dari pengolahan air minum yang digunakan untuk keperluan domestik.
Pemanfaatan NEWater akan terus meningkat, direncanakan akan
mencapai 40% dari kebutuhan air Singapura pada tahun 2020.
2) Indirect Potable Use; yaitu dengan menyimpan air reklamasi ini ke
dalam reservoir untuk kemudian diolah kembali agar mengandung
berbagai mineral yang diperlukan oleh tubuh. Saat ini hanya sekitar 5%
saja yang dimanfaatkan sebagai air baku air minum. Walaupun
demikian, kualitas air yang NEWater telah memenuhi standard baku
mutu yang ditetapkan oleh USEPA dan WHO. Hasil tes pathogen
menunjukkan tidak ditemukan adanya efek karsinogenik jangka
panjang dan tidak adanya efek estrogen.

Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah
SIngapura, yang didukung dengan ketersediaan sumber daya dan dukungan politis
yang sangat kuat, telah membawa Singapura menjadi negara terbaik dalam
pengelolaan air minum di dunia. Dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan air
minum dan sanitasi di Indonesia, berbagai pengalaman dapat diambil dan disesuaikan
dengan kondisi Indonesia. Berbagai catatan mengenai praktek terbaik yang telah
Singapura lakukan hingga saat ini dalam pengelolaan air dan sanitasi adalah sebagai
berikut:
Melibatkan partisipasi dari berbagai pihak dalam pengembangan teknologi
untuk mengatasi permasalahan air dan sanitasi. Pemerintah Singapura memberikan
award, hadiah uang tunai sebesar S$300,000 dan memberikan
- medali emas kepada pihak yang dapat memberikan penyelesaian terhadap
permasalah global dengan menerapkan teknologi ‘groundbreaking’ sebagai upaya
melaksanakan kebijakan dan program pemerintah. Selain itu, R&D dilakukan
bekerja sama dengan perguruan tinggi, supplier, bahkan swasta.
- Komprehensif; tidak hanya pengelolaan suplai tetapi juga demand, baik domestik
dan juga non-domestik (industri). Dimulai dari penetapan tariff yang mampu
merefleksikan pentingnya nilai air, mengurangi kebocoran dari sistem, hingga
mengurangi tingkat pemakaian air oleh konsumen. Saat ini tingkat kehilangan air
di Singapura hanya mencapai 5% saja. Untuk pengurangan tingkat pemakaian air,
Pemerintah Singapura menjalankan Program Konservasi Air (Water Conservation
Programs), dengan tema Tantangan 10 Liter (10-Litre Challenge). Dengan
menjalankan program ini, telah terjadi penurunan pemanfaatan dari 160 liter
perorang perhari di Tahun 2005 menjadi 154 liter perorang perhari di Tahun 2010.
Diharapkan angka ini terus menurun hingga 147 liter perorang perhari di Tahun
2020.

Gambar 4 – Program Pengelolaan Kebutuhan Air Domestik dan Non-Domestik

TUJUAN

Memberikan gambaran perbedaan perilaku konservasi air bersih antara warga di


negara berkembang dan warga di negara maju ditinjau dari segi perspektif waktu, sehingga
diharapkan mampu memberikan manfaat berupa informasi bagi warga dunia, khususnya bagi
warga yang tinggal di negara berkembang, mengingat wilayah mereka diprediksi akan
mengalami kelangkaan air bersih pada tahun 2025 mendatang.

METODE

Dalam salah satu penelitian Oktariani di tahun 2017 dengan Pendekatan interpretif –
kualitatif. Metode dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Sumber data dalam
penelitian ini adalah bahan – bahan kepustakaan yang berhubungan dengan perspektif waktu
dan perilaku konservasi air bersih. Bahan – bahan kepustakaan yang digunakan dalam
penelitian adalah buku – buku referensidan jurnal – jurnal psikologi sosial dan psikologi
lingkungan yang relevan dengan fokus penelitian.

Fokus dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan gambaran dari perbedaan perilaku
konservasi air bersih antara warga di negara berkembang dan warga di negara maju ditinjau
dari segi perspektif waktu. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis tematik.
Dalam teknik analisis tematik dilakukan proses identifikasi, analisis, dan menyimpulkan pola
– pola tema yang ada dalam data (Braun & Clark, 2006; Esin, 2011). Validasi hasil dalam
penelitian ini adalah melalui triangulasi dari berbagai sumber kepustakaan (Hanurawan,
2012).

Sedangkan untuk Metode penelitian yang digunakan untuk pengolahan air di Boyolali
oleh Riastika di tahun 2012 menggunakan metode deskriptif. Sedangkan berdasarkan teknik
dan alat yang digunakan untuk meneliti, penulis menggunakan metode survei untuk
memperoleh fakta – fakta ang terjadi di daerah penelitian, yaitu di Kabupaten Boyolali
khususnya di Kecamatan Cepogo yang diduga merupakan daerah imbuhan air tanah Mata air
Pengging. Metode survei yang dilakukan meliput:

1. Pengukuran Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran muka air tanah


pada sumur gali milik penduduk. Teknik pengambilan sampel sumur gali yang
diukur kedalamannya Menggunakan teknik random sampling, yaitu
pengambilan sampel secara random tanpa pandang bulu dimana setiap sumur
gali di sepanjang wilayah yang merupakan daerah aliran airtanh Mata Air
Pengging, yaitu mulai dari Kecapatan Cepogo, Boyolali, Mojosongo, sampai
Banyudono, mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel
2. Wawancara Wawancara yang dilakukan adalah wawancara dengan
menggunakan pedoman pertanyaan. Dalam penelitian ini wawancara
dilakukan pada sekelompok warga di Kecamatan Cepogo dan stakeholder
pengelola kegiatan konservasi di Kabupaten Boyolali dalam hal ini yaitu
Bapeda Kabupaten Boyolali dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Boyolali, untuk mengetahui sejauh mana kegiatan konservasi yang sudah
dilaksanakan utnutk menjaga daerah imbuhan (recharge area) serta kendala
yang dihadapi.
3. Observasi Observasi yang dilakukan oleh penulis adalah observasi langsung,
dimana penulis sembari melakukan wawancara juga melakukan pengamatan
terhadap kondisi lingkungan, khususnya kondisi sumur – sumur penduduk.
Data yang diperoleh di lapangan kemudian diolah dan dianalisis. Metode yang
digunakan dalam melakukan analisis adalah analisis kuntitatif dilakukan
dengan cara kuantitatif spasial. Data – data yang didapatkan dioleh secara
spasial dengan menggunakan GIS, program ArcView 3.3 dan Google Earth.
Data – data yang diperoleh dari pengukuran kedalaman muka air sumur
setempat, dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan MS Excel
sehingga diperoleh grafik kedalaman muka air tanah di daerah penelitian.
Sedangkan analisis kualitatif dilakukan pada data – data deskriptif yang
diperoleh dari hasil observasi di lapangan

KESIMPULAN

Kesimpulannya dari pembelajaran mengelola air buangan dari Singapura adalah :


1. Untuk mencapai kondisi sanitasi dan penyediaan layanan air minum yang ideal memang tidak
mudah, tetapi mungkin untuk dicapai. Berbagai syarat utama penentu keberhasilan
Singapura adalah:
1. Komitmen Pemerintah yang kuat serta didukung oleh politisi. Arah kebijakan yang jelas serta
didukung dengan ketersediaan sumber daya menjamin keberhasilan program.
2. Keterlibatan berbagai pihak, tidak hanya dalam lingkup kementerian, bahkan akademisi,
swasta dan berbagai pihak lainnya, termasuk media.
3. Adanya driving factor yang memicu perencanaan dan pelaksanaan program air. Driving
factor (faktor pendorong) keberhasilan program pengelolaan air yang sangat mengemuka
adalah keterbatasan ketersediaan sumber air baku untuk air minum.
4. Konsistensi pelaksanaan program sangat terlihat dari berbagai sisi. Pelaksanaan program
tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga didukung oleh masyarakat.
5. Sadar bahwa masyarakat tidak hanya sebagai objek tetapi subjek, maka program edukasi dan
promosi yang dilakukan kepada masyarakat dilakukan dengan sangat sistematis dan
komprehensif.
Boyolali mempunyai potensi air tanah dalam bentuk mata air yang cukup besar, total
mencapai 2.085 l/dtk, yang dimanfaatkan untuk keperluan irigasi dan sumber air bersih
PDAM. Pelayanan air bersih di Kabupaten Boyolali dibedakan menjadi dua sistem, yaitu
sistem perpipaan dan sistem non-perpipaan. Pelayanan air bersih dengan sistem non
perpipaan adalah sistem pemenuhan kebutuhan air yang diperoleh langsung dari sumbernya
tanpa melalui jaringan penyalur/pipa. Sumber air bersih non-perpipaan berasal dari air tanah
yang dimanfaatkan dengan pembuatan sumur gali maupun sumur pompa tangan, selain itu air
tersebut juga dapat diperoleh melalui mata air yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat
dengan cara
SARAN

Berbagai rekomendasi yang dapat disampaikan sebagai masukan bagi peningkatan kinerja
pengelolaan air buangan –serta penyediaan air minum- bagi masyarakat adalah:
1. Perlunya peningkatan semangat dan komitmen untuk perubahan. Tidak hanya berlindung dari
kompleksitas permasalahan dan kondisi yang dihadapi, tetapi dengan melihat upaya
transformasi yang dilakukan Singapura, semakin membuktikan bahwa perbaikan kondisi
sanitasi dan layanan air minum masyarakat adalah hal yang mungki untuk dilakukan.
2. Peningkatan komitmen diterjemahkan dalam penyusunan program yang disertai dengan
tahapan implementasi yang jelas dan konsisten.
3. Pelibatan berbagai pihak sangat diperlukan, tidak hanya pada saat perencanaan, namun juga
saat implementasi. Untuk itu, upaya advokasi dan promosi berbagai produk perencanaan
yang tengah dilakukan Tim Reformasi Birokrasi di Bappenas sangat relevan untuk
dilanjutkan.
4. Pelibatan masyarakat menjadi sangat penting, karena masyarakat tidak hanya sebagai objek
tetapi juga subjek dalam pengelolaan air. Untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi,
tidak hanya difokuskan pada upaya promosi tetapi juga pada perencanaan lingkup kegiatan
yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian, upaya promosi tidak hanya sebatas
pemberian pengetahuan tetapi juga memberikan arah yang jelas kepada kegiatan yang dapat
dilakukan masyarakat.
5. Pemanfaatan air reklamasi di Indonesia sangat potensial untuk dilakukan. Ini terlihat dari sisi
suplai (volume air buangan) dan sisi demand (kebutuhan air) yang semakin meningkat terkait
dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Namun demikian, upaya pengembangan
ini perlu didukung dengan berbagai langkah seperti penetapan standard, penyiapan legislasi
hingga promosi kepada masyarakat sebagai user.

DAFTAR PUSTAKA

Danaryanto; Hadipurwo, Satriyo,.2006. konservasi Sebagai Upaya Penyelamatan Air tanah di


Indonesia, disampaikan pada :Seminar Nasional Hari Air Dunia 2006. Direktorat
Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan Air tanah Direktorat
Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral
Kementerian PU. 2010. Kajian Keterpaduan Pengembangan Air Baku, Air Bersih dan
Sanitasi: Studi kasus (kota Pelembang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan
Banjarmasin). PT. Polatex Rancang Bangun: Jakarta.
Riastika, Meyra. 2012. Pengelolaan Air Tanah Berbasis Konservasi di Recharge Kab.
Boylali Area Cepogo. Semarang Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Sustainable behavior and time perspective: Present, past, and future orientations
and their relationship with water conservation behavior. Interamerican Journal of
Psychology, 40(2), 139- 147. Corral-Verdugo, V., Frias-Amenta, M., &
Gonzalez-Lomelí, D. (2003). On the relationship between antisocial and anti-
environmental behaviors: An empirical study. Population and Environment,
24(3), 273-286.
KONSERVASI AIR SEBAGAI UPAYA MENGATASI.... Available from:
https://www.researchgate.net/publication/283641871/download [accessed Aug 15
2018].Corral-Verdugo, V., Fraijo-Sing, B., & Pinheiro, J. Q. (2006).
Oktariani, Katry. 2017. Perbedaan Perilaku Konservasi Air Bersih antara Negara
Berkembang dan Negara Maju Ditinjau dari Prespektif Waktu. Jakarta; Program
Studi Psikologi Universitas Indonesia
Sircova, A., Van de Vijver, F. J., Osin, E., Milfont, T. L., Fieulaine, N., KislaliErginbilgic,
A., & Zimbardo, P. G. (2015). Time perspective profiles of cultures. In Time
Perspective Theory; Review, Research and Application, 169-187.
United Nations. (2016). Water scarcity. Diakses dari http://www.un.org/waterforlifedecade/
scarcity.shtml United Nations Environment Programme. (2004). Freshwater
issues.Diakses dari http://www.unep.or.jp/ietc/Issues/Fres hwater.asp United
Nations Environment Programme. (2016). Water conservation: a guide to
promoting public awareness. Diakses dari http://www.unep.org/training/program
mes/Instructor%20Version/Part_2/Act ivities/Interest_Groups/Public_Aware
ness/Supplemental/Water_Conservati on_A_Guide_to_Promoting_Public_A
wareness.pdf Water conservation. (2012). Diakses dari
http://www.thewaterpage.com/waterconservation.htm

También podría gustarte