Está en la página 1de 58

ASPEK-ASPEK PSIKOLOGI KEAGAMAAN

Pengertian -istilah-istilah dalam aspek psikologi manusia- menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia ) :

AS·PEK /aspék/ n 1 tanda: linguis dapat mencatat dng baik ucapan-ucapan yg mempunyai -- fonemis; 2 sudut
pandangan: mempertimbangkan sesuatu hendaknya dr berbagai --; 3 pemunculan atau penginterpretasian gagasan,
masalah, situasi, dsb sbg pertimbangan yg dilihat dr sudut pandang tertentu; 4 Ling kategori gramatikal verba yg
menunjukkan lama dan jenis perbuatan;
-- augmentatif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan meningkat;
-- diminutif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan mengurang;
-- frekuentatif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan berulang berkali-kali (kekerapannya);
-- habituatif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan yg menjadi kebiasaan;
-- imperfektif Ling aspek inkompletif;
-- inkoatif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan mulai;
-- inkompletif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan belum selesai;
-- inseptif Ling aspek inkoatif;
-- kompletif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan selesai;
-- kontinuatif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan berlangsung;
-- momentan Ling aspek yg menggambarkan perbuatan berlangsung sebentar;
-- perfektif Ling aspek kompletif;
-- permansif Ling aspek yg menggambarkan keadaan permanen sbg akibat dr perbuatan yg selesai;
-- progresif Ling aspek kontinuatif;
-- pungtiliar Ling aspek yg menggambarkan perbuatan dipandang sbg satuan temporal tunggal;
-- repetitif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan berulang;
-- sesatif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan berakhir;
-- simulfaktif Ling aspek yg menggambarkan perbuatan berlangsung serentak;
-- yuridis aspek menurut hokum

IN·TE·LI·GEN·SI /inteligénsi/ n Psi daya reaksi atau penyesuaian yg cepat dan tepat, baik secara fisik maupun
mental, thd pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yg telah dimiliki siap untuk dipakai apabila
dihadapkan pd fakta atau kondisi baru; kecerdasan

EMO·SI /émosi/ n 1 luapan perasaan yg berkembang dan surut dl waktu singkat; 2 keadaan dan reaksi psikologis
dan fisiologis (spt kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yg bersifat subjektif); 3 cak marah;
-- keagamaan getaran jiwa yg menyebabkan manusia berlaku religius;

ke·e·mo·si·an n perihal emosi: kalau pendekatan ini yg dipakai, kita akan dapat menggambarkan derajat ~
seseorang

MO·TI·VA·SI n 1 dorongan yg timbul pd diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu
tindakan dng tujuan tertentu; 2 Psi usaha yg dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak
melakukan sesuatu krn ingin mencapai tujuan yg dikehendakinya atau mendapat kepuasan dng perbuatannya;
-- bawah sadar dorongan untuk bertindak yg pd hakikatnya terselubung bagi yg bersangkutan, tetapi dapat
ditelusuri melalui perilakunya;
-- ekstrinsik dorongan yg datangnya dr luar diri seseorang;
-- intrinsik dorongan atau keinginan yg tidak perlu disertai perangsang dr luar;

me·mo·ti·va·si v memberikan motivasi; menciptakan suasana yg subur untuk lahirnya motif: dng - pegawai
diharapkan dapat terjadi perubahan sikap dan peningkatan mutu kerja pegawai yg bersangkutan;

ter·mo·ti·va·si v terdorong untuk melakukan sesuatu: ia mampu membuat orang - dan bekerja keras

SI·KAP [1] n 1 tokoh atau bentuk tubuh: -- nya tegap; 2 cara berdiri (tegak, teratur, atau dipersiapkan untuk
bertindak); kuda-kuda (tt pencak dsb): hebat sekali -- nya ketika akan mengucapkan sumpah; tepat sekali -- adik
ketika menangkis pukulan itu; 3 perbuatan dsb yg berdasarkan pd pendirian, keyakinan: rakyat akan selalu
mengutuk -- pemimpin-pemimpinnya yg kurang adil itu; 4 perilaku; gerak-gerik: -- di panggung sangat berbeda dng
-- nya sehari-hari;membuang -- , ki bertingkah laku dng gaya yg dibuat-buat (supaya tampak gagah dsb);
-- bahasa posisi mental atau perasaan thd bahasa sendiri atau bahasa orang lain;
-- hidup pandangan hidup;
-- tubuh bentuk tubuh;

ber·si·kap v 1 berdiri tegak (bersiap): setelah sampai di hadapan komandan, mereka -; 2 mengambil sikap
(pendirian): - masa bodoh, berbuat tidak peduli thd apa yg akan terjadi menimpa dirinya dsb;

me·nyi·kapi v mengambil sikap terhadap (sesuatu)

TING·KAH [1] n 1 ulah (perbuatan) yg aneh-aneh atau yg tidak sewajarnya; lagak; canda: kuda itu bermacam-
macam -- nya; gadis itu -- nya semakin keterlaluan; banyak --; 2 perangai; kelakuan;
-- laku kelakuan; perangai: terbayang di ruang mata hamba wajahnya, tubuhnya, dan -- lakunya; -- lakunya
sangat terpuji;
-- langkah tingkah laku;
-- perangai tingkah laku;

ber·ting·kah v 1 berbuat aneh-aneh (nakal dsb): ia ~ spt anak-anak yg rewel; kuda itu ~; 2 berbuat tidak sewajarnya
(minta ini minta itu, sebentar begini sebentar begitu, banyak cincong, dsb): ~ benar gadis ini;~ laku berperangai;
berkelakuan

TA·AT a 1 senantiasa tunduk (kpd Tuhan, pemerintah, dsb); patuh: Nabi Muhammad saw. menyeru manusia
supaya mengenal Allah dan -- kepada-Nya; 2 tidak berlaku curang; setia: ia adalah seorang istri yg --; 3 saleh; kuat
beribadah: jadilah Anda seorang muslim yg --;
-- sumpah menaati sumpah yg diucapkan;

me·na·ati v mematuhi; menurut (perintah, aturan, dsb): setiap pemakai jalan harus ~ peraturan lalu lintas;

ke·ta·at·an n 1 kepatuhan; 2 kesetiaan; 3 kesalehan; 4 Huk fungsi untuk tidak membahayakan atau mengganggu
kedamaian atau keadilan

INTELEGENSI BERAGAMA

Beberapa Pengertian Intelegensi menurut Para Ahli dalam Dalyono. 2007)

1. Super dan Cites mengemukakan” Intelegence has frequently been difined as the ability to adjust to the
environment or to learning from experience” (Super & Cites, 1962: 83) Intelegnsi sebagai kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dati pengalaman. Dimana manusia hidup dan berinteraksi
didalam lingkungannya yang kompleks untuk itu ia memerlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan.
2. Garrett (1946: 372) mengemukakan “ Intelegence includes at least the abilities demanded in the solution of
problems which requer the comprehension and use of symbols” (intelegensi itu setidak-tidaknya mencakup
kemampuan kemampuan yang diperlukan untuk pemecahan masalah-masalah yang memerlukan pengertian
serta mengunakan symbol-simbol. Karena manusia hidup senantiasa menghadapi permasalahan, setiap
permasalahan harus dipecahkan agar manusia manusia memperoleh keseimbangan (homeostasis) dalam hidup.
3. Bischor, 1954 mengemukakan “ Intelegence is the ability to solve problems of all kinds” Intelegensi ialah
kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah. Defenisi intelegensi yang dikemukakan bischor ini
memuat perbedaan dengan defenisi menurut gareet yaitu intelegensi dalam asti khusus sementara bischor
dalam artian yang lebih luwes namun bersifat operasional dan fungsional bagi kehidupan manusia.
4. Haidentich 1970 mengemukakan” intelegence refers to ability to learn and to utilize what has been learned in
adjusting to unfamiliar situation, or in the solving of problems” Intelegensi menyangkut kemampuan untuk
belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang
kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah-masalah. Dimana manusia yang belajar sering menghadapi
situasi-situasi baru serta permasalahan hal ini memerlukan kemampuan individu untuk belajar menyesuaikan
diri serta memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi.
5. Alfred Binet, tokoh perintis pengukuran intelegensi mendefinisikan intelegensi terdiri dari tiga komponen,
yaitu
a. Kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan
b. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan
c. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto criticism
6. Super dan Cities mendefinisikan kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau belajar dari
pengalaman.
7. J. P. Guilford menjelaskan bahwa tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang
bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan
informasi yang diberikan. Sedangkan kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu
kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Lebih jauh,
Guilford menyatakan bahwa intelegensi merupakan perpaduan dari banyak faktor khusus.
8. K. Buhler mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.
9. George D. Stoddard (1941) menyebutkan intelegensi sebagai kemampuan untuk memahami masalah-masalah
yang bercirikan:
a. Mengandung kesukaran
b. Kompleks
c. Abastrak
d. Diarahkan pada tujuan
e. Ekonomis
f. Bernilai sosial
10. Garett (1946) mendefinisikan setidak-tidaknya mencakup kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk
memecahkan masalah-masalah yang memerlukan pengertian serta menggunakan simbol-simbol.
11. William Stern (1953) intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan
alat-alat berpikir menurut tujuannya.
12. Bischof, psikolog Amerika (1954) mendefinisikan kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah.
13. Lewis Hedison Terman memberikan pengertian intelegensi sebagai kemampuan untuk berfikir secara abstrak
dengan baik (lih. Hariman, 1958).
14. David Wechsler (1958) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk bertindak secara terarah,
berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
15. Thorndike (lih. Skinner, 1959) mengemukakan pendapatnya bahwa orang dianggap intelegen apabila
responnya merupakan respon yang baik atau sesuai terhadap stimulus yang diterimanya.
16. Freeman (1959) memandang intelegensi sebagai
a. Kemampuan untuk menyatukan pengalaman-pengalaman,
b. Kemampuan untuk belajar dengan lebih baik,
c. Kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dengan memperhatikan aspek psikologis dan
intelektual, dan
d. Kemampuan untuk berpikir abstrak.
17. Heidenrich (1970) mendefinisikan kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari
dalam usaha untuk menyesuaikan terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah.
18. Sorenson (1977) intelegensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak, belajar merespon dan kemampuan
untuk beradaptasi dengan lingkungan.
19. Suryabrata (1982) intelegensi didefinisikan sebagai kapasitas yang bersifat umum dari individu untuk
mengadakan penyesuaian terhadap situasi-situasi baru atau problem yang sedang dihadapi.
20. Walters dan Gardnes (1986) mendefinisikan intelegensi sebagai serangkaian kemampuan-kemampuan yang
memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk sebagai konsekuensi seksistensi suatu budaya
tertentu.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah


1. Kemampuan untuk berfikir secara konvergen (memusat) dan divergen (menyebar)
2. Kemampuan berfikir secara abstrak
3. Kemampuan berfikir dan bertindak secara terarah, bertujuan, dan rasional
4. Kemampuan untuk menyatukan pengalaman-pengalaman
5. Kemampuan untuk menggunakan apa yang telah dipelajari
5. Kemampuan untuk belajar dengan lebih baik,
6. Kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dengan memperhatikan aspek psikologis dan
intelektual
7. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dan merespon terhadap situasi-situasi baru
8. Kemampuan untuk memahami masalah dan memecahkannya.
Karena intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh
karena itu, inteligensi sebenarnya tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai
tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri intelegensi yaitu :
1. Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional (intelegensi
dapat diamati secara langsung).
2. Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan
masalah yang timbul daripadanya.

=====

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi


Intelegensi memainkan peranan yang sangat besar khususnya pengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi yang
dicapai oleh peserta didik di lembaga pendidikan. Kenyataan ini semakin nampak dalam prestasi pada bidang ilmu
yang menuntut banyak berpikir, salah satunya adalah bidang matematika. Meskipun peranan intelegensi semakin
besar namun faktor-faktor yang lain tetap berpengaruh juga. Maka kita tidak boleh mengatakan bahwa prestasi di
sekolah kurang, pastilah karena taraf intelegensinya juga kurang (Winkel, 1984).

Mengenai intelegensi Slameto (1987) juga berpendapat bahwa intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan
belajar, intelegensi siswa akan membantu pengajar menentukan apakah siswa mampu mengikuti pelajaran yang
telah diberikan. Meskipun begitu prestasi siswa tidak semata-mata ditentukan oleh tingkat kemampuan intelektual
yang dimiliki sikap. Faktor-faktor lain motivasi, sikap, kesehatan fisik, kesehatan mental dan sebagainya perlu
dipertimbangkan (Slameto, 1987).

Perbedaan individu dalam tingkat kecerdasan atau intelegensi ditunjukkan dari hasil tes IQ. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi intelegensi sehingga terdapat perbedaan intelegensi seseorang dengan yang lain adalah:
a) Pembawaan yang ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri yang dapat dibawa sejak lahir;
b) Kematangan yaitu tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ
(fisik maupun psikis) dapat dikatakan matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya
masing-masing.
c) Minat dan pembawaan yang khas, minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan yang merupakan
dorongan bagi perbuatan itu.
d) Pembentukan yaitu segala keadaan luar diri seseorang yang mempengaruhi intelegensi. Dapat dibedakan
pembentukan sengaja (seperti dilakukan di sekolah-sekolah).
e) Kebebasan yang berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode tertentu dalam memecahkan
masalah. Manusia mempunyai kebebasan sesuai dengan kebutuhan.
Dijelaskan lebih lanjut semua faktor tersebut bersangkut paut satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi seorang
anak tidak dapat hanya berpedoman pada salah satu faktor tersebut diatas karena intelegensi merupakan hal yang
menyeluruh. Keseluruhan pribadi dan lingkungannya ikut menentukan perbuatan seseorang (Purwanto, 1988).

========
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi intelegensi seseorang sehingga terdapat perbedaan intelegensi seseorang
dengan yang lain adalah:
a. Pembawaan, yaitu sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir, kenyataan menunjukkan ada siswa yang
pintar dan ada siswa yang bodoh, meskipun menerima pelajaran yang sama.
b. Kematangan, yaitu kematangan yang berupa fisik maupun psikis, dapat dikatakan matang jika telah mencapai
kesanggupan menjalankan fungsi masing-masing.
c. Pembentukan, ialah segala keadaan di luar diri siswa yang mempengaruhi perkembangan intelegensinya,
disengaja atau tidak.
d. Minat dan pembawaan yang leka, yakni dorongan-dorongan yang menuntun manusia untuk berinteraksi
dengan dunia luar.
e. Kebebasan, artinya manusia bebas memilih metode atau bebas memilih masalah sesuai dengan kebutuhan
(Ngalim, 1990).
Dengan demikian kita sebagai pendidik bisa menyadari akan adanya perbedaan-perbedaan tersebut dan dapat
memilih metode-metode yang tepat dalam menyampaikan pelajaran. Semua faktor di atas bersangkut paut menjadi
satu. Untuk menentukan seseorang berintelegen atau tidak, tidak bisa berpedoman pada salah satu faktor saja, sebab
intelegensi adalah faktor total. Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa:
a. Intelegensi adalah merupakan faktor total, menyangkut berbagai macam daya jiwa yang erat.
b. Intelegensi hanya dapat diketahui dari tingkah laku atau perbuatan yang nampak melalui “kelakuan
intelegensinya”.
c. Intelegensi bukan hanya kemampuan yang dibawa sejak lahir saja, tetapi faktor lingkungan dan faktor
pendidikan ikut berperan.
d. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru dan dapat
memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mencapainya.

======

Pengertian emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk
pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan
untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap
rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati
seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting
dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga
dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi
terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy
(kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan),
Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak
berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :

a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati


b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan,
kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk
bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku
terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan,
karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan.
Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan
kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi.
Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi
dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi
emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka
penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak
menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu
untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
==========
istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard
University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang
tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan
kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat.
Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam
pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara
dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor
keturunan. (Shapiro, 1998-10).

Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli
psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan
sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan
(Goleman, 2000 :180).

Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya
satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum
kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik,
interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh
Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.

Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami
orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan
kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri.
Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri
serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.”
(Goleman, 2002 : 52).

Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk
membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam
kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju
perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta
memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan
interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional
pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina
hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya
dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi
diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk
membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

============
FAKTOR-FAKTOR KECERDASAN EMOSIONAL
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi
dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima
kemampuan utama, yaitu :

a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu
terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran
diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64)
kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada
maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum
menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi
sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi.

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat
atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas
terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup
kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan
akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi Diri Sendiri.

Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk
menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang
positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan
seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang
memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang
lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat
non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka
(Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau
mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang
mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada
emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai
kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

e. Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi
merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang
berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer
dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman,
2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana
siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari
banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar
dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.
==========

A. Pengertian Emosi

Kata “emosi” diturunkan dari kata bahasa Perancis, emotion. Emosi adalah pengalaman yang bersifat subjektif,
atau dialami berdasarkan sudut pandang individu. Emosi berhubungan dengan konsep psikologi lain seperti
suasana hati, temperamen, kepribadian, dan disposisi.
Al-Ghazali mendefinisikan emosi merupakan kumpulan perasaan yang ada dalam hati manusia. Jadi emosi
identik dengan perasan. Perasaan gembira, sedih, takut, benci, cinta dan amarah merupakan bentuk emosi.
Firman Allah yang berhubungan dengan perasaan dan emosi.
Arti : Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut
dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 32:16)
Namun ada pendapat lain yang mendefinisikan emosi adalah reaksi yang kompleks yang mengandung aktivitas
dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan dalam kejasmanian serta berkaitan dengan perasaan yang
kuat.
Menurut Syamsu Yusuf emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: emosi sensoris dan emosi
psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa
dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan
kejiwaan, seperti : (1) perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (2) perasaan
sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun
kelompok; (3) perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika
(moral); (4) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang
bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (5) perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai
makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious).
1. Sebab-Sebab Perbedaan Emosi
Terjadinya perbedaan emosi dikarenakan oleh :
a. Emosi itu sangat dalam, misalnya antara yang sangat marah dengan yang takut, mengakibatkan aktifitas
badan yang sangat tinggi.
b. Seseorang dapat memahami dan mengahayati emosi dengan berbagai cara, misalnya, perbedaan individu
jika marah, mungkin dia gemetar mungkin memaki-maki dan mungkin lari.
c. Istilah yang diletakan pada ‘emosi’ yang didasarkan pada sifat rangsang bukan pada keadaan, misalnya
takut adalah emosi yang timbul terhadap suatu bahaya, marah adalah emosi yang timbul terhadap suatu
yang menjengkelkan .
d. Emosi subyektif dan intropeksi sukar dikenali karena akan dipengaruhi oleh lingkungan.
2. Macam-Macam Emosi
a. Takut: Emosi ini cenderung atau sering disebabkan oleh situasi sosial tertentu, biasanya kondisi ketakutan
pada suatu obyek yang nyata. Misalnya, takut berada di tempat yang gelap atau sepi.
b. Khawatir: Khawatir ini merupakan bentuk ketakutan, tetapi lebih bersifat imajiner atau khayalan. Dalam
pikiran dan keyakinan kita diyakini konkret keberadaannya. Kekhawatiran muncul kalau intensitas
ketakutan meningkat. Misalnya, khawatir kalau kita tidak berhasil melakukan sesuatu atau tidak lulus ujian.
c. Marah: Marah bersifat sosial dan biasanya terjadi jika mendapat perlakukan tidak adil atau tidak
menyenangkan dalam interaksi sosial. Marah membuat kita menjadi tertekan. Saat kita marah denyut
jantung kita bertambah cepat dan tekanan darah naik. Napas pun tersengal dan pendek, otot menegang.
d. Sebal: Sebal terjadi kalau kita merasa terganggu, tetapi tidak sampai menimbulkan kemarahan dan
cenderung tidak menimbulkan tekanan bagi kita. Sebal akan muncul berkaitan dengan hubungan
antarpribadi, misalnya kita sebal melihat tingkah teman atau si pacar yang enggak perhatian.
e. Frustrasi: Frustrasi merupakan keadaan saat individu mengalami hambatan-hambatan dalam pemenuhan
kebutuhannnya, terutama bila hambatan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Konsekuensi frustrasi dapat
menimbulkan perasaan rendah diri. Kita dianggap mampu memberikan respons positif terhadap rasa
frustrasi kalau mampu memahami sumber-sumber frustrasi dengan logis. Namun, reaksi yang negatif juga
dapat muncul dalam bentuk agresi fisik dan verbal, pengalihan kemarahan pada obyek lain serta
penghindaran terhadap sumber persoalan atau realitas hidupnya.
f. Cemburu: Cemburu adalah suatu keadaan ketakutan yang diliputi kemarahan. Perasaan ini muncul
didasarkan perasaan tidak aman dan takut status atau posisi kita yang sangat berarti bagi diri kita akan
digantikan oleh orang lain. Yang paling sering kita alami adalah cemburu kalau melihat cowok atau cewek
kita dekat sama orang lain atau sahabat kita mulai dekat dengan teman lain.
g. Iri Hati: Emosi ini ditunjukkan pada orang tertentu atau benda yang dimiliki orang lain. Hal ini bisa
menjadi hal yang berat bagi kita karena berkaitan dengan materi yang juga menunjukkan status sosial.
Misalnya, kita iri karena melihat si A lebih cantik, kaya, populer daripada kita.
h. Dukacita: Dukacita merupakan perasaan galau atau depresi yang tidak terlalu berat, tetapi mengganggu
individu. Keadaan ini terjadi bila kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat berarti buat kita. Kalau
dialami dalam waktu yang panjang dan berlebihan akan menyebabkan kerusakan fisik dan psikis yang
cukup serius hingga depresi.
i. Afeksi atau Sayang: Afeksi adalah keadaan emosi yang menyenangkan dan obyeknya lebih luas, memiliki
intensitas yang tidak terlalau kuat (tidak sekuat cinta), dan berkaitan dengan rasa ingin dimiliki dan
dicintai.
j. Bahagia: Perasaan ini dihayati secara berbeda-beda oleh setiap individu. Bahagia muncul karena remaja
mampu menyesuaikan diri dengan baik pada suatu situasi, sukses dan memperoleh keberhasilan yang lebih
baik dari orang lain atau berasal dari terlepasnya energi emosional dari situasi yang menimbulkan
kegelisahan dirinya.
3. Perubahan Tubuh Pada Saat Terjadi Emosi
a. Terpesona : Reaksi elektris pada kulit.
b. Marah : Peredaran darah bertambah cepat.
c. Terkejut : Denyut jantung bertambah cepat.
d. Kecewa : Bernafas panjang
e. Cemas : Air liur mengering
f. Takut : Berdiri bulu roma
g. Tegang : Terganggu pencernaan, otot tegang dan bergetar.

4. Memelihara Emosi
Emosi sangat memegang peranan penting dalam kehidupan individu, akan memberi warna kepada kepribadian,
aktivitas serta penampilannya dan juga akan mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mentalnya. Agar
kesejahteraan dan kesehatan mental ini tetap terjaga, maka individu perlu melakukan beberapa usaha untuk
memelihara emosi-emosinya yang konstruktif. Dengan merujuk pada pemikiran James C. Coleman (Nana
Syaodih Sukmadinata, 2005), di bawah ini dikemukakan beberapa cara untuk memelihara emosi yang
konstruktif.
a. Bangkitkan rasa humor. Yang dimaksud rasa humor disini adalah rasa senang, rasa gembira, rasa optimisme.
Seseorang yang memiliki rasa humor tidak akan mudah putus asa, ia akan bisa tertawa meskipun sedang
menghadapi kesulitan.
b. Peliharalah selalu emosi-emosi yang positif, jauhkanlah emosi negatif. Dengan selalu mengusahakan
munculnya emosi positif, maka sedikit sekali kemungkinan individu akan mengalami emosi negatif.
Kalaupun ia menghayati emosi negatif, tetapi diusahakan yang intensitasnya rendah, sehingga masih bernilai
positif.
c. Senatiasa berorientasi kepada kenyataan. Kehidupan individu memiliki titik tolak dan sasaran yang akan
dicapai. Agar tidak bersifat negatif, sebaiknya individu selalu bertolak dari kenyataan, apa yang dimiliki dan
bisa dikerjakan, dan ditujukan kepada pencapaian sesuatu tujuan yang nyata juga.
d. Kurangi dan hilangkan emosi yang negatif. Apabila individu telah terlanjur menghadapi emosi yang negatif,
segeralah berupaya untuk mengurangi dan menghilangkan emosi-emosi tersebut. Upaya tersebut dapat
dilakukan melalui: pemahaman akan apa yang menimbulkan emosi tersebut, pengembangan pola-pola
tindakan atau respons emosional, mengadakan pencurahan perasaan, dan pengikisan akan emosi-emosi yang
kuat.
=================

teiner (1997) menjelaskan pengertian kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan yang dapat
mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri
terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi. Senada dengan
definisi tersebut, Mayer dan Solovey (Goleman, 1999; Davies, Stankov, dan Roberts, 1998)
mengungkapkan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk memantau dan
mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk
memadu pikiran dan tindakan.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Patton (1998) mengemukakan kecerdasan emosional


sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif guna mencapai tujuan, dan
membangun hubungan yang produktif dan dapat meraih keberhasilan. Sementara itu Bar-On
(2000) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu rangkaian emosi, pengetahuan emosi
dan kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi kemampuan keseluruhan individu untuk
mengatasi masalah tuntutan lingkungan secara efektif.

Dari beberapa definisi kecerdasan emosional tersebut ada kecenderungan arti bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri
dan orang lain.

=========

Pengertian Kecerdasan Emosional


Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk
mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana
hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca
perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-
baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan
sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai
dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian
moral.

Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial
yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain
atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan
lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut
Goleman (1997) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang
dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan,
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan
emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah
kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan
perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-
hari.

Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional
merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang
tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional
menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang
lain. Menurut Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali,
mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang
indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena
percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.

Sedangkan menurut Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah
kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani
masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau
juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali individu tidak mampu menangani masalah–
masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami
perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita.
Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.
Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada
emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada
kemampuan yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999)
bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan
benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi
dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida memiliki kematangan emosi maka
akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi
pekerja yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam
menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.

Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri
untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk
menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan
pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan
pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan
sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).

rujukan buku :
Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Cooper Cary & Makin Peter, 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta: Arcan.
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Harmoko, R., Agung, 2005. Kecerdasan Emosional. Binuscareer.com

a. Pengertian kecerdasan emosional


Kecerdasan emosional merupakan sebuah istilah baru yang pertama kali ditemukan oleh Salovey, psikolog dari
Universitas Yale dan Mayer dari Universitas New Hampeshire pada tahun 1990. Namun istilah tersebut menjadi
popular di tengah-tengah masyarakat setelah Goleman menulis buku yang berjudul Emotional Intelegence. Salovey
dan Mayer menggunakan istilah kecerdasan emosi untuk menggambarkan sejumlah kemampuan mengenali emosi
diri sendiri, mengelola dan mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat, memotivasi diri sendiri, mengenali
orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.

Ciri utama pikiran emosional adalah respons yang cepat, tetapi ceroboh, mendahulukan perasaan daripada
pemikiran, realitas simbolik yang seperti kanak-kanak, masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang, dan realitas
yang ditentukan oleh keadaan. Kecerdasan emosional merupakan hasil kerja dari otak kanan, sedangkan kecerdasan
intelektual merupakan hasil kerja dari otak kiri. Menurut De Porter dan Hernacke, otak kanan manusia memiliki cara
kerja yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik, sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial,
rasional, dan linear. Kedua belahan otak ini harus diperankan sesuai dengan fungsinya. Jika tidak, maka masing-
masing otak akan mengganggu pada otak lain. Fungsi dan peranan kedua otak tersebut adalah sebagai berikut:

Otak kiri
(Left Hemisphere) Otak kanan
(Right Hemisphere)
Matematika, sejarah, bahasa Persepsi, intuisi, imajinasi
Konvergen (runtut), sistematis Divergen
Analitis Perasaan
Perbandingan Terpadu, holistic
Hubungan Perasaan
Linear Non linear
Logis Mistik, spiritual
Scientific Kreatif
Fragment Rasa, seni

Kecerdasan emosional diakui sebagai suatu kemampuan yang pengaruhnya terhadap individu serta Intelegence
Quotient (IQ), dalam pengertian bahwa setiap orang tidak hanya dituntut untuk mengandalikan kecerdasan
intelegensi saja, namun juga sebenarnya dia harus mempergunakan kecerdasan emosional dalam menghadapi
problem kehidupan yang dijalani. Faktanya tidak sedikit individu yang memiliki Intelegence Quotient (IQ) tinggi
mengalami kegagalan dalam upaya mengentaskan problema kehidupan, hanya karena tidak memiliki emosional
(EQ) yang mantap.

Ari Ginanjar Agustian mengemukakan bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak
memiliki gelar yang tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali orang yang
berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang lebih berhasil karena EQ tinggi. Kebanyakan program
pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal disamping kecerdasan intelektual diperlukan
kecerdasan emosi yang lebih menentukan.

Ari Ginanjar juga mengemukakan bahwa tingkat Intelegence Quotient (IQ) seseorang umumnya tetap, sedangkan
Emotional Quotient (EQ) dapat terus ditingkatkan. Dalam peningkatan inilah kecerdasan emosional sangat berbeda
dengan kecerdasan intelektul, yang umumnya hampir tidak berubah selama kita hidup, sementara kecerdasan
emosional dengan motivasi dan usaha yang benar dapat dipelajarai dan dikuasai.

Kecerdasan emosi mencakup kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik
(academic intelegence), yaitu kemampuan kognitif murni yang dilakukan dengan IQ. Dalam kenyataannya banyak
orang yang cerdas dalam artian terpelajar, namun tidak mempunyai kecerdasan emosi, bekerja menjadi bawahan
orang yang ber-IQ lebih rendah, tetapi unggul dalam keterampilan EQ.

Mahmud Al-zaki mengemukakan bahwa kecerdasan emosional pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat
dengan kecerdasan uluhiyah (ke-Tuhan-an). Jika seseorang tingkat pemahaman dan pengalaman nilai-nilai ke-
Tuhan-an yang tinggi dalam hidupnya, maka berarti dia telah memiliki kecerdasan emosional yang tinggi pula. Hal
yang sama juga diungkapkan oleh Abdul Rahman Al-Aisu, yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan ke-Tuhan-an.

b. Aspek-aspek kecerdasan emosional


Ari Ginanjar mengemukakan aspek-aspek yang berhubungan dengan kecerdasan emosional dan spiritual, yaitu:
1) konsistensi (istqomah);
2) kerendahan hati (tawadhu’);
3) berusaha dan berserah diri (tawakkal);
4) ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah);
5) keseimbangan (tawazun); dan
6) integritas dan penyempurnaan (ihsan).

Sedangkan Jalaludin Rahmat mengemukakan bahwa untuk memperoleh kecerdasan emosional yang tinggi, harus
dilakukan hal-hal berikut ini:
1) musyarathah, yaitu berjanji pada diri sendiri untuk membisaakan perbuatan baik dan membuang perbuatan buruk;
2) muraqabah, yaitu memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari;
3) muhasabah (introspeksi diri), yaitu melakukan perhitungan baik dan buruk yang pernah dilakukan; dan
4) mu’atabah dan mu’aqabah, yaitu mengecam keburukan yang dikerjakan dan menghukum diri sendiri (sebagai
hakim sekaligus terdakwa)

Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosional pada dasarnya memiliki lima aspek kemampuan, yaitu:
1) kemampuan mengenali emosi diri;
2) kemampuan menguasai emosi diri;
3) kemampuan memotivasi diri;
4) kemampuan mengenali emosi orang lain; dan
5) kemampuan mengembangkan hubungan dengan orang lain.

Kecerdasan Moral (MQ)


Kecerdasan moral adalah kemampuan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah, dengan
menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran manusia. Indikator kecerdasan moral adalah bagaimana
seseoarang memiliki pengetahuan tentang moral yang benar dan yang buruk, kemudian ia mampu
menginternalisasikan moral yang benar ke dalam kehidupan nyata dan menghindarkan diri dari moral yang buruk.
Orang yang baik adalah orang yang memiliki kecerdasan moral sedangkan orang jahat merupakan orang yang idiot
moral. Kecerdasan moral tidak bisa dicapai dengan menghafal atau mengingat aturan yang dipelajari, melainkan
membutuhkan interaksi dengan lingkungan luar.

Menurut Abdul Mujib sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (2001 : 92), kecerdasan moral tidak bisa dicapai dengan
menghafal atau mengingat kaidah atau aturan yang dipelajari di dalam kelas melainkan membutuhkan interaksi
dengan lingkungan luar. Ketika seorang anak berinteraksi dengan lingkungan, maka dapat diperhatikan bagaimana
sikap yang diperankan, penuh belas kasih, adanya atensi, tidak sombong atau angkuh, egois atau mementingkan diri
sendiri dan sejumlah sikap lainnya.

Kecerdasan Spiritual (SQ)


Adalah Donah Zohar dan Ian Marshall dua nama yang selalu disebut ketika dihadirkan konsep kecerdasan spiritual.
Dalam karyanya SQ: Spiritual Intelligence the Ultimate Intelligence, yang diterbitkan awal tahun 2000, Zohar dan
Marshall mendakwakan kecerdasan spiritual sebagai puncak kecerdasan, setelah kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan moral. Meskipun terdapat benang merah antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan
moral, namun muatan kecerdasan spiritual lebih dalam, lebih luas, dan lebih transenden daripada kecerdasan moral.

Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk cerdas dalam memilih atau
memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang
berhubungan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan
kualitas-kualitas kehidupan spititualnya. Kehidupan spiritual di sini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (the will
to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan
mendambakan hidup bermakna (the meaningful life).

Kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu
memiliki kecerdasan spiritual. Acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, ekslusivisme, dan intoleransi terhadap
pemeluk agama lain sehingga mengakibatkan permusuhan dan peperangan. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang
yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam
perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna spirituality (keruhanian)
di sini tidak selalu berarti agama atau ber-Tuhan.
=============
Dorongan-dorongan untuk melakukan suatu kegiatan yang bertujuan ini disebut dengan motivasi.
Motivasi ini tidak terlepas dari dorongan yang berasal dari dalam maupun luar individu. Tidak jarang
dorongan-dorongan ini menjadi sebuah gerakan yang sifatnya kolektif, massif dan melibatkan banyak
massa. Hal ini terjadi di dalam sebuah komunitas yang terdiri dari individu-individu yang mempunyai
kesamaan tujuan dan alasan. Sebagai contoh adalah organisasi kemahasiswaan, organisasi keagamaan,
perusahaan dan lain sebagainya.

A. Pengertian

Motivasi merupakan dorongan dalam diri seseorang dalam usahanya untuk memenuhi
keinginan, maksud dan tujuan.

Agama berarti segenap kepercayaan kepada tuhan atau dewa serta dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.

Motivasi atau dorongan beragama ialah merupakan dorongan psikis yang mempunyai landasan
ilmiah dalam watak kejadian manusia. Dalam relung jiwanya manusia merasakan adanya dorongan
untuk mencari dan memikirkan sang penciptanya dan pencipta alam semesta, dorongan untuk
menyembahnya, meminta pertolongan kepadanya setiap kali ia ditimpa malapetaka dan bencana.

B. Macam-macam Motivasi

Secara fitrah motivasi dalam diri manusia dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

1. MOTIVASI SPIRITUAL, hal ini terdiri dari keinginan manusia untuk terhindar dari sifat-sifat
buruk yang mampu merusak keimanan :

I. Motivasi memelihara diri dari kemusyrikan

II. Motivasi memelihara diri dari kekufuran

III. Motivasi memelihara diri dari kemunafikan

2. MOTIVASI FISIOLOGIS (yang bersifat jasmaniah) yang terdiri dari:


I. Motivasi pemeliharaan diri

II. Motivasi kepada kelangsungan jenis (berkeluarga dan berketurunan)

3. MOTIVASI PSIKOLOGIS yang terdiri dari :

I. Motivasi memiliki

II. Motivasi Agresif (dalam kajian sifat, kata-kata maupun fisik)

C. Ayat-ayat Al-Quran tentang motivasi beragama

QS.Al-Ara’af :172 :

َ ‫ش ِه ْدنَا أ َ ْن تَقُولُوا َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة ِإنَّا ُكنَّا‬


‫ع ْن َهذَا‬ َ ‫علَى أ َ ْنفُ ِس ِه ْم أَلَسْتُ ِب َر ِِّب ُك ْم قَالُوا َبلَى‬
َ ‫ور ِه ْم ذُ ِ ِّريَّت َ ُه ْم َوأ َ ْش َه َد ُه ْم‬ ُ ‫َو ِإ ْذ أ َ َخذَ َربُّكَ مِ ْن َبنِي آدَ َم مِ ْن‬
ِ ‫ظ ُه‬
َ‫غَافِلِين‬

172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?”
mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”,

QS. Ar-Rum : 30

ِ َّ‫َّللاِ ذَلِكَ ال ِدِّينُ ْالقَ ِِّي ُم َولَك َِّن أ َ ْكث َ َر الن‬


َ‫اس ال َي ْعلَ ُمون‬ َّ ‫ق‬ ِ ‫ع َل ْي َها ال ت َ ْبدِي َل ِلخ َْل‬ َ ‫َّللاِ َّالتِي َف‬
َ َّ‫ط َر الن‬
َ ‫اس‬ ْ ‫ِّين َحنِيفًا ف‬
َّ َ ‫ِط َرة‬ ِ ‫فَأ َ ِق ْم َوجْ َهكَ لِل ِد‬

30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],[1168] fitrah Allah: maksudnya ciptaan
Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia
tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah
lantara pengaruh lingkungan.

QS. Adz-Dzariyaat: 56 :

‫ُون‬ َ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َواإل ْن‬


ِ ‫س ِإال ِل َي ْعبُد‬

56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
D. Fungsi agama bagi manusia

1) Agama sebagai petunjuk bagi manusia

Kebutuhan manusia terhadap hukum yang bernilai absolut hanya dapat dipenuhi bila ia
datang dari yang absolut juga, yaitu hukum yang datang dari tuhan yang maha esa. Yang
kemudian disebut agama. Jadi tampak jelas bahwa agama merupakan kebutuhan yang primer
bagi manusia itu sendiri dan demi terselenggaranya ketertertiban dan peradapan manusia
sebagai suatu kelompok ummat. Maka agama dapat dilihat sebagai hidayah yang diterima
manusia dari tuhan, sebab dengan jalan hidayah itulah manusia dapat menemukan nilai-nilai
yang dibutuhkan secara fitrawi sebagai sarana dan petunjuk dalam mewujudkan ketertiban
dan mengembangkan peradapan dibumi ini.

2) Agama sebagai motivasi perbuatan moral

Iman adalah landasan dan motivasi bagi manusia, ia tidak sekedar mempercayai hukum-
hukum tuhan semata, tetapi juga mengamalkan dalam kehidupan yang nyata, kedudukan iman
sebagai motivasi perbuatan moral yakni perbuatan yang sesuai dengan tuntunan hukum tuhan
adalah dengan melihat kedudukan iman yang berada dilubuk hati manusia.

3) Agama dan kesehatan mental

Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.


Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang
disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi
atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal
ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk
tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia
dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of
man).

Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid,
maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan

D. Tingkatan motivasi
1. Motivasi Hewani, ialah motivasi memebuhi kebutuhan hidup tanpa memperhatikan keadan dari
suatu yang diperolehnyadan cara memanfaatkannya, seperti ketika ingin menghilangkan rasa
lapar dan haus Ia tidak peduli apakah yang dimakan halal atau haram.

2. Motivasi Insani, ialah motivasi yang terdapat didalam diri manusia yang memiliki akal yang
sehat, hati yang bersih, dan indrawi yang tajam, dalam merespon motivasi atau rangsangan
selalu menggunakan hati, indrawi dan akal sehat.

3. Motivasi Rabbani, ialah dorongan jiwa yang terdapat dalam diri manusia yang telah mencapai
tingkat kesempurnaan diri melalui ketaatannya yang sangat sempurna dalam menjalankan
perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, motivasi ini adalah dorongan jiwa yang
dianugrahkan oleh Allah kepada para nabi, rasul, auliya, sebagai ahli waris dari para nabi-nabi
terdahulu.

===================

1. Pengertian Motivasi
Kata motivasi berasal dari kata "motion" yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Dalam perbuatan manusia
motivasi disebut juga dengan perbuatan atau tingkah laku. Dalam psikologi "motif" diartikan juga sebagai
rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga untuk terwujudnya tingkah laku.
Motivasi adalah energi dasar yang menjadikan seseorang melakukan sesuatu. Dalam beragama manusia juga
memiliki motivasi tertentu. Motivasi beragama selalu juga diartikan sebagai sesuatu yang mendorong orang untuk
beragama.

2. Macam-Macam Motivasi Beragama


Menurut Psikologi Agama, motivasi beragama bukanlah motivasi yang berdiri sendiri seperti motivasi makan,
minum, dan sejenisnya. Motivasi beragama adalah bagian dari motivasi lain seperti motivasi akan rasa aman,
motivasi dicintai, dan motivasi pernyataan diri dan sejenisnya.
Menurut Psikologi Agama ada 4 macam motivasi beragama pada manusia yaitu:
2.1. Motivasi untuk Mengatasi Rasa Frustrasi
Pandangan ini berasal dari Frued yang memandang agama merupakan jawaban manusia terhadap frustrasi yang
dialaminya dalam berbagai bidang kehidupannya. Manusia bertindak religius karena dia mengalami frustrasi dan
untuk mengatasi frustrasi tersebut. Penyebab frustrasi dalam kehidupan ada 4 macam:
a. frustrasi karena alam
b. frustrasi karena sosial
c. frustrasi karena moral
d. frustrasi karena maut
Bukan hanya Frued yang berpendapat bahwa penyebab manusia beragama adalah frustrasi, Jung juga berpendapat
hampir senada dengan Frued. Jung menyatakan bahwa agama menjadi sarana yang ampuh dan obat yang manjur
untuk menyembuhkan penyakit neurosis pada manusia.
Pandangan ini muncul disebabkan pengalaman keduanya sebagai psikiater. Orang-orang yang mengalami gangguan
jiwa yang datang ke klinik mereka yang dijadikan objek penelitian. Bagi pasien tersebut agama ternyata menjadi
salah satu terapi yang ampuh dalam penyembuhan penyakitnya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa frustrasi dapat meningkatkan aktivitas-aktivitas keagamaan pada seseorang.
Namun banyak juga frustrasi yang menyebabbkan seseorang jauh dari agama. Jika demikian kelompok tertentu
mungkin akan lebih giat beragama ketika frustrasi, sementara kelompok lain akan semakin jauh dari agama pada
saat mengalami frustrasi.
Oleh sebab itu terlalu sederhana dan apriori jika disimpulkan bahwa frustrasi merupakan penyebab seseorang
beragama. Sebab dua kemungkinan menjauh dan mendekat terhadap ajaran agama dapat disebabkan frustrasi.
2.2. Motivasi Agama Sebagai Sarana untuk Menjaga Kesusilaan dan Tata Tertib Masyarakat
Selalu jika ditanyakan kepada manusia mengapa mereka mendidik anak-anaknya beragama, mereka umumnya
menjawab: "karena dengan agama mereka akan menjadi orang yang baik." Pertanyaan senada pernah ditanyakan
kepada para orangtua di Prancis dalam sebuah penelitian. Responden yang berusia antara 18-30 tahun terdiri dari
orang-orang yang taat beragama (73%), percaya kepada ketuhanan Kristus (62%), sangat sering berdoa (10%),
sering berdoa (19%) tersebut memberikan jawaban sebagai berikut:
• 30% mendidik anaknya dengan ajaran agama karena tradisi.
• 28% pendidikan agama akan menanamkan moral pada anak
• 30% karena pendidikan agama akan membantu anak untuk hidup lebih baik dan memberikan pengangan dan
menarik perhatian anak-anak terhadap nilai-nilai kemanusian dan sosial, dan
• 12% didorong keyakinan agama yaitu untuk menjadikan mereka beriman dan demi keselamatan jiwa mereka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orangtua di Perancis mendidik anak mereka dengan ajaran agama
cenderung pada alasan sosial dan tradisi daripada karena alasan agama. Tentu saja pengertian agama yang
fungsional ini tidak jelek. Namun jika menyimpulkan bahwa alasan beragama untuk etika sosial terlalu sederhana.
Memandang agama sebagai alat pengaman sosial mengundang bahaya. Pertama, penggabungan nilai-nilai agama
dan moral dapat membuat agama kehilangan substansinya masing-masing, padahal agama berlalu universal,
sedangkan moral selalu berlaku lokal. Kedua, bila agama dipakai sebagai sarana untuk menjamin lancarnya
kehidupan sosial moral, agama dapat disalahgunakan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Jadi, secara
fungsional dapat diakui bahwa agama dapat menjaga tatanan moral, tetapi agama tidak saja bersifat fungsional tetapi
agama adalah kebutuhan alami manusia, meskipun tanpa alasan sosial.
2.3. Motivasi untuk Memuaskan Intelek yang Ingin Tahu
Ahli Psikologi Agama yang berpendapat bahwa motivasi beragama untuk memuaskan intelektualnya
mengemukakan alasan sebagai berikut:
Pertama, agama dapat menyajikan pengetahuan rahasia yang menyelamatkan, sebagaimana aliran 'gnosis,' sebuah
aliran keagamaan yang memasuki alam dunia Yunani-Romawi pada abad-abad pertama tarikh masehi. Aliran ini
membebaskan para penganutnya dan kejasmanian yang dianggap menghambat dan menyiksa manusia serta
menghantarkannya kepada keabadian. Dalam dunia modern dari sudut aliran psikologi aliran ini dipandang sama
dengan "Christin Science" bahkan mungkin dapat digolongkan ke dalam aliran kebatinan.
Kedua, dengan menyajikan moral, maka agama dapat memuaskan intelek manusia yang ingin tahu apa dan
bagaimana yang dilakukannya dalam hidupnya agar mencapai tujuan hidupnya. Ketiga, agama menyajikan
pengetahuan tentang arah dan tujuan hidupnya. Secara psikologis manusia memerlukan keterarahan untuk hidupnya.
Bila hidup tidak berarah, tiada asal dan tujuan, maka kacau balaulah kehidupan dan cenderung tidak berarti.
2.4. Motivasi Mendapatkan Rasa Aman
Semua manusia memiliki rasa takut yang menyebabkan mereka merasa tidak aman. Ketakutan dapat dibagi ke
dalam dua kelompok. Pertama, ketakutan yang berobjek, seperti manusia takut kepada binatang, manusia, dan lain-
lain. Kedua, ketakutan yang tidak berobjek, seperti takut begitu saja, cemas hati, gelisah, dan sejenisnya. Dalam
kondisi seperti itu seseorang merasa takut, tetapi tidak tahu apa yang ditakutinya. Kierkegaard mengatakan justru
yang membedakan manusia dari hewan adalah kemampuannya untuk cemas hati (ketakutan tanpa objek). Sementara
Heidegger berpendapat, perasaan takut yang mendalam merupakan sumber filsafat, sejauh perasaan tersebut
membuat seseorang mengalami "jurang ketiadaan" yang menganga bagi orang yang menyadari kerapuhan serta
kefanaan dirinya.
Dalam berbagai penyelidikan ketakutan tanpa objek seperti ketakutan yang terselubung di balik rasa malu, rasa
bersalah, dan takut mati menyebabkan seseorang mencari suatu kekuatan sebagai tempat berlindung. Oleh sebab itu
Psikologi Agama memandang ketakutan tanpa objek ini dapat mendorong seseorang memilih agama sebagai tempat
berlindung sebagaimana hal dengan frustrasi. Para ahli Psikologi Agama menyatakan: "Agama merupakan
pengungsian bagi manusia dari ketakutannya."
Memang terlalu sederhana bila mengatakan bahwa ketakutan menyebabkan seseorang beragama, namun harus
diakui dalam kondisi takut seseorang mungkin mengambil salah satu dari dua sikap untuk mengatasi ketakutannya.
Pertama, mencari perlindungan, pada kondisi ini orang mungkin mencarinya di dalam ajaran agama. Kedua,
berusaha menekan rasa takut dengan melakukan kompensasi, sublimasi, dan sejenisnya. Kompensasi dapat berupa
kegiatan hura-hura, rekreasi, atau kegiatan-kegiatan yang bermanfaat lainnya. Sublimasi dapat berupa memindahkan
ketakutan kepada kegiatan lain seperti melakukan hal-hal yang bermanfaat atau mengikuti kegiatan-kegiatan yang
disenangi, bahkan mungkin mengikuti kegiatan keagamaan. Bagaimanapun ketakutan menurut Nico adalah gejala,
simpton, sinyal, dan peringatan itu memperingatkan manusia bahwa dasar-dasar eksistensinya ada di luar kuasa
manusia sendiri (Nico, 1992: 112).
Keempat motivasi beragama di atas memang belum seluruhnya menjawab pertanyaan apa sebenarnya motivasi
manusia beragama, namun perdebatan psikologi sebagai ilmu empiris baru bisa menjelaskan sebatas itu. Persoalan
beragama itu menjadi bagian rahmat dan hidayah Tuhan, tidak bisa dikaji psikologi, karena masalah tersebut berada
di luar wilayah pengetahuan empiris.
================

A. Pengertian Motivasi Beragama


Menurut M. Utsman Najati, motivasi adalah kekuatan penggerak yangmembangkitkan aktivitas pada makhluk hidup, dan
menimbulkantingkah laku serta mengarahkan menuju tujuan tertentu.(AbdurrahmanSaleh dan Muhib Abul Wahab : 132)
Sedangkan menurut Mc. Donaldmotivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandaidengan munculnya ³feeling´
dan didahului dengan tanggapan terhadapadanya tujuan. (Sardiman AM : 72) Adapun yang dimaksud dengan motivasi beragama
adalah akumulasidaya dan kekuatan yang ada pada diri seseorang untuk mendorong,merangsang, menggerakkan, membangkitkan,
dan memberi harapandalam melaksanakan seperangkat aturan dan hukum-hukum normatif

yang mengatur dan menata kehidupan manusia dalam rangkamentaati aturan Tuhan1. Macam-macam MotivasiMotivasi dilihat dari dasar
pembentukannya meliputi motif-motif bawaan atau biologis seperti makan, minum, dan bekerja, sertamotif-motif yang timbul karena
dipelajari seperti dorongan untukbelajar suatu cabang ilmu pengetahuan dan dorongan untukmengejar sesuatu di dalam masyarakat.
(Sardiman AM : 84).Sedangkan menurut Abraham Maslow motivasi hidup manusiatergantung pada kebutuhan-kebutuhanya yang
dikelompokkanmenjadi dua kategori, yakni kebutuhan taraf dasar (basic needs)yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta
danikut memiliki (sosial), dan harga diri; serta metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs) meliputi apa saja yang terkandungdalam
aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan, keindahan,keteraturan, kesatuan, dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhanyang dapat
mengakibatkan kepuasan hidup adalah pemenuhanmete-kebutuhan sebab pemenuhan kebutuhan ini untukpertumbuhan ynag timbulnya
dari luar diri (eksternal). Sedangkanpemenuhan kebutuhan dasar hanya diakibatkan kekurangan yangbersal dari dalam diri (internal). (Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakir :245 - 246).Selain dari tokoh di atas, beberapa psikolog ada yang membagimotivasi menjadi dua, yaitu :a.
Motivasi intrinsik, ialah motivasi yang berasal dari diri seseorangitu sendiri tanpa dirangsang dari luar.b. Motivasi ektrinsik, ialah motivasi
yang datang karena adanyaperangsangan dari luar. (Abdurrahman Saleh dan Muhib AbulWahab : 139 -140)

1. Motif Orang BeragamaPada diri manusia terdapat keinginan serta kebutuhan yangbersifat universal. Keinginan dan kebutuhan tersebut
merupakankebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintaiTuhan. Untuk memenuhi kebutuhan yang demikian,
makaseseorang akan beragama dan melaksanakan ajaran yang diyakinikebenarannya tersebut.Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi
beragama dibagi menjadiempat motivasi, yaitu:a. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasifrustasi yang ada dalam
kehidupan, baik frustasi karenakesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasisosial, frustasi moral maupun frustasi karena
kematian.b. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untukmenjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.c. Motivasi beragama
karena didorong oleh keinginan untukmemuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahumanusia.d. Motivasi beragama karena
ingin menjadikan agama sebagaisarana untuk mengatasi ketakutan.Dalam Al-qur¶an ditemukan beberapa statemen yangmenunjukkan
dorongan-dorongan yang mempengaruhi manusia baikberbentuk instingtif (naluriah) maupun dorongan terhadap hal-halyang memberikan
kenikmatan. Dorongan instingtif berdasar padakenyataan bahwa manusia mempunyai motif bawaan (fitrah) yangmenjadi pendorong untuk
melakukan berbagai macam bentukperbuatan tanpa disertai dengan peran akal, sehingga terkadangmanusia tanpa disadari bersikap dan
bertingkah laku untuk menuju

pemenuhan fitrahnya. Sedangkan dorongan terhadap hal-hal yangmemberikan kenikmatan adlah seperti kecintaan terhadap dunia
dansyahwat (perempuan, anak, dan harta kekayaan).(AbdurrahmanSaleh dan Muhib Abul Wahab : 141-142) Dorongan naluriah
tersebutdiatas bisa dikatakan sebagai motivasi intrinsic, sedangkan doronganyang berorientasi pada kenikmatan ragawi adalah motivasi
ekstrinsik.B. Mengapa Orang BeragamaMenurut A. Kamil, alasan-alasan mengapa manusia berhajatdan memerlukan agama adalah :1.
Agama menjawab sense of religionMenyingkap perasaan keberagamaan pada diri manusia, danpengakuan terhadap perasaan ini
merupakan salah satu unsur yang tetap dan natural pada jiwa manusia. Karena dalam dirimanusia terdapat empat naluri . Keempat naluri
tersebut adalah:a. Naluri Kognitif atau Kuriositas, yang mengkondisikan manusiasemenjak awal penciptaan untuk mencari dan
menelusurimasalah-masalah yang kabur dan buram tentang siapa yangmenciptakan alam semesta ini. Dan perasaan atau naluri iniyang
memotivasi para penemu dan inventor untuk menyingkaptirai yang menyelimuti alam semesta.b. Naluri Etis, yang menumbuhkan etika
dan sifat-sifat utama dantransendental pada jiwa manusia.c. Naluri Estetis, yang memunculkan seni dan menjadi sebabberseminya berbagai
cita rasa kesenian.d. Naluri Religiusitas adalah naluri atau perasaan yang dirasakanoleh setiap orang pada awal-awal masa baligh dan
sebuah jenis kecenderungan terhadap alam metafisika.

2. Agama Menjawab KuriositasSetiap insan menemukan tiga pertanyaan asasi dalamdirinya ihwal: Aku berasal dari mana ? Untuk
keperluan apa ? Akan kemanakah aku melangkah ?Seorang Materialis akan terperangah dan tertunduk dalammenghadapi pertanyaan-
pertanyaan ontologis semacam ini,namun agama dengan lantang dan kencang dapatmemberikan jawaban atas tiga pertanyaan tersebut.
Agamamenjawab bahwa manusia dan alam semesta merupakanmakhluk Tuhan Yang Mahakuasa dan Dialah sebagai sumber keberadaan
manusia dan semesta. Tujuan penciptaanmanusia adalah untuk mengenal dan mentaati serta sampaikepada kesempurnaan diri dimana hasil
dari semua itu dapatdituai pada kehidupan selanjutnya. Kematian dalam perspektif agama merupakan terminal bagi kehidupan yang lain
dan iatidak memandangnya sebagai akhir dari kehidupan.3. Agama Menjawab Perkara PsikologisPara psikolog di samping membahas
masalahfenomena-fenomena yang tak terhitung yang berlaku di duniaini mereka juga mengurai tentang dimensi kejiwaan manusia.Mereka
dalam hal ini berkata, kembalinya manusia kepadaagama memiliki efek-efek yang dapat memecahkan pelbagaipersoalan yang mendera
kehidupan manusia, antara lain:a. Menciptakan pemahaman dan sikap optimisme di antaramanusia.b. Mengkompensasi segala derita dan
nestapa yang dialamimanusia.

4. Agama Mengatur Urusan SosialManusia secara natural adalah makhluk sosial (zoonpolitician). Manusia menghendaki adanya interaksi
sosial diantara sesama jenisnya sehingga ia dapat memecahkanberbagai problematika yang dihadapinya secara gotong-royongdan saling
membantu satu sama lain, serta agar dapatmenghalau berbagai rintangan dan halangan yang merintangi jalannya untuk sampai kepada
kesempurnaan. Dari sini,agama memainkan peran untuk mengatur dan menata relasidan hubungan yang ada dan seharusnya ada di antara
sesamamanusia. Yaitu, antara lain:Pertama, menjelaskan batasan dan tugas masing-masing individu dalam interaksi sosialnya. Karena
betapapunseorang individu adalah seorang adil dan tahu akan tugasnyanamun apabila rule of game tidak ditentukan maka ia tidakakan dapat
menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.Kedua, dengan mengimplementasikan serangkaian programkerja yang bermanfaat dan
menjelaskan punish terhadap sikapegosentrik dan tidak tahu batasan setiap individuDengan peran sentral agama ini, jaminan
untukterciptanya tatanan masyarakat yang saling menghargai dantolong menolong dalam rangka mencapai kesempurnaanmaknawi dan
mengaktualkan potensi kemanusiaan yangdimiliki oleh setiap individu dalam masyarakat dapat dicapai
===============

Tipologi Sikap Beragama

Komarudin Hidayat menyebutkan adanya lima tipologi sikap keberagamaan, yakni “eksklusivisme, inklusivisme,
pluralisme, eklektivisme, dan universalisme”. Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus
dari yang lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol,
mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di
atas.

1. Eksklusivisme

Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan ajaran yang paling benar hanyalah agama yang
dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan
penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke
zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan langsung
dengan tuntutan eksklusivitas. Artinya,kalau suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan
tidak bisa benar.

Menurut Nurcholish Madjid, sikap yang eksklusif ini ketika melihat agama bukan agamanya, agama-agama
lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi para pemeluknya. Paradigma ini merupakan pandangan yang
do-minan dari zaman ke zaman dan terus dianut hingga dewasa ini : “Agama sendirilah yang paling benar, yang lain
salah”.

Bagi agama Kristen, inti pandangan eksklusivisme adalah bahwa Yesus adalah satu-satu jalan yang sah
untuk keselamatan. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa,
kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). Juga, dalam ayat lain (Kisah Para Rasul 4,12) disebutkan, “Dan
keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada
nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”.

Menurut Budhy Munawar Rachman, untuk contoh Islam, sekalipun tidak ada semacam kuasa gereja dalam
agama Kristen, khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa menyeluruh seperti contoh di atas, banyak penafsir
sepanjang masa yang menyempitkan Islam pada pandangan-pandangan eksklusif. Beberapa ayat yang biasa dipakai
sebagai ungkapan eksklusifitas Islam itu antara lain :

Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada
mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku
untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu ((Q.S.5:3).

Barangsiapa menerima agama selain Islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan
pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi (Q.S.3:85).

Komarudin Hidayat menambahkan bahwa, sekalipun sikap eksklusif merasa dirinya yang paling baik dan
paling benar, sementara yang lainnya tidak masuk hitungan, tidaklah selamanya salah dalam beragama. Sebab, jika
eksklusivisme berarti sikap agnostik, tidak toleran, dan mau menang sendiri, maka tidak ada etika agama mana pun
yang membenarkannya. Tetapi, jika yang dimaksud dengan eksklusif berkenaan dengan kualitas, mutu, atau
unggulan mengenai suatu produk atau ajaran yang didukung dengan bukti-bukti dan argumen yang fair, maka setiap
manusia sesungguhnya mencari agama yang eksklusif dalam arti excellent, sesuai dengan selera dan keyakinanya.

Dalam jargon hidup politik modern, bersikap hidup seperti itu adalah beragama yang eksklusif atau sikap
hidup yang kafir. Yang tentu saja mengabaikan sikap hidup yang pluralistik yaitu suatu sikap hidup yang benar, dan
oleh sebab itu, juga sikap hidup yang beriman.

Pada sisi yang lain, sikap ini menimbulkan kesukaran-kesukaran.

Pertama, sikap ini membawa bahaya yang nyata akan intoleransi, kesombongan, dan penghinaan bagi yang
lain.

Kedua, sikap ini pun mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang
seolah logis secara murni dan sikap yang tidak kritis dari kenaifan epistimologis.

Menurut Friedrich Heiler, seorang ahli Ilmu Perbandingan Agama dari Marburg menyatakan bahwa, secara
tradisional tradisi agama Barat adalah eksklusif dalam sikap mereka terhadap agama-agama lain dengan
memberikan kepada agama mereka sendiri validitas mutlak.

Terlepas dari adanya kelemahan sikap eksklusivitas itu, biasanya komitmen dan sikap tegas dalam
memelihara dan mempertahankan kebenaran agamanya adalah bisa dipandang positif. Sebab, sikap eksklusivitas itu
tidak selamanya bisa disalahkan atau dipandang negatif, tetapi sikap demikian lebih banyak kepada faktor
kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang agamanya, atau, bahkan lingkungan sosial dan kultural dimana ia
hidup, sangat mempengaruhi dalam beragamnya.

2. Inklusivisme

Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun
tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut
Nurcholish Madjid, sikap inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit agama
kita.
Paradigma itu membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan aktifitas Tuhan
dalam tradisi-tradisi agama lain, dengan penyelamatan dan aktifitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus.
Menjadi “inklusif” berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus.
Paradigma ini, membaca agama orang lain dengan kacamata sendiri. Sikap beragama inklusif pun bisa berarti
memasukkan orang lain dalam kelompok kita.

Pandangan yang paling ekspresif dari paradigma inklusif ini tampak pada dokumen Konsili Vatikan II,
mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965. Dokumen yang berkaitan dengan pernyataan inklusif
berkaitan dengan agama lain, ada pada “Deklarasi tentang Hubungan Gereja dan Agama-agama Non-Kristiani”.

Teolog terkemuka yang menganut aliran ini adalah Karl Rehner, yang pandangan-pandangannya termuat
dalam karya terbesarnya the Theological Investigation yang berjilid 20, dalam “Christianity and the Non-Christian
Religions”, jilid 5. Problem yang diberikannya adalah, bagaimana terhadap orang-orang yang hidup sebelum karya
penyelamatan itu hadir, atau orang-orang sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh oleh Injil? Di sini, Rahner
memunculkan istilah inklusif, the Anonymous Christian (Kristen anonim), yaitu orang-orang non-Kristen. Menurut
pandangannya, Kristen anonim juga akan selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan,
karena karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik.

Dalam contoh Islam juga sering dikemukakan misalnya istilah dari seorang filsuf Muslim abad XIV, Ibn
Taymiyah, yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (yang non-Muslim par exellance), dan
orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par exellance). Kata Islam sendiri di sini diartikan sebagai “sikap
pasrah kepada Tuhan”. Mengutip Ibn Taymiyah, “semua nabi dan pengikut mereka seluruhnya disebut oleh Allah
adalah orang-orang Muslim”.

Hal itu sebagaimana dalam Alquran (S.3:85), “Barangsiapa yang menganut suatu din selain al-Islam maka
tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat ia termasuk yang merugi”. Dan firman-Nya, “sesungguhnya
al-din di sisi Allah ialah al-Islam” (Q.S.3:19). Dalam tafsiran penganut “Islam Inklusif”, bahwa sekalipun para nabi
mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut
secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang Muslim. Itu semua hanyalah
peristilahan Arab. Para nabi dan rasul, dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-
masing. Alquran (S.14:4) menegaskan, bahwa “Kami tidak mengutus seorang Rasul; kecuali dengan bahasa
kaumnya”. Dengan demikian, kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah
satu.

Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian,
sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke arah
universalisme dari ciri eksistensial atau formal daripada isi esensialnya. Suatu kebenaran doktrinal hampir tidak
dapat diterima sebagai yang universal jika ia sangat berkeras mempertahankan isinya yang spesifik, karena
pencerapan isi selalu mengandaikan perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap menerima yang toleran akan
adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau
struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.

Sikap inklusivitas memuat kualitas keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Anda dapat mengikuti jalan anda sendiri
tanpa perlu mengutuk yang lain. Ibadah anda dapat menjadi konkrit dan pandangan anda dapat menjadi universal.
Tetapi, pada sisi lain, sikap inklusivitas pun membawa beberapa kesulitan.

Pertama, ia juga menimbulkan bahaya kesombongan, karena hanya andalah yang mempunyai privilese atas
penglihatan yang mencakup semua dan sikap toleran; andalah yang menentukan bagi yang lain tempat yang harus
mereka ambil dalam alam semesta.

Kedua, jika sikap ini menerima ekspresi ‘kebenaran agama’ yang beraneka ragam sehingga dapat
merengkuh sistem-sistem pemikiran yang paling berlawanan pun, ia terpaksa membuat kebenaran bersipat relatif
murni. Kebenaran dalam arti ini tidak mungkin mempunyai isi intelektual yang independen, karena berbeda atau
berlainan dengan orang lain.
3. Pluralisme Atau Paralelisme

Dalam pandangan Panikkar dan Budhy Munawar Rachman, masing-masing menyebutkan istilah
pluralisme dan paralelisme. Sikap teologis paralelisme adalah bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan,
misalnya : “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”; agama-
agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”; atau “setiap agama
mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.

Paradigma itu percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim
kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain
(inklusif), harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis.

Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari
eksklusivisme. Ia berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya
yang masing-masing berdiri sejajar (paralel) sehingga semangat misionaris atas dakwah dianggap tidak relevan.

Sikap paralelistis memberikan keuntungan yang sangat positif; toleran dan hormat terhadap yang lain serta tidak
mengadili mereka. Sikap ini pun menghindari sinkretisme dan eklektisisme yang keruh yang membuat suatu agama
mengikuti selera pribadi; sikap ini pun menjaga batas-batas tetap jelas dan merintis pembaharuan yang ajeg pada
jalan-jalan orang itu sendiri. Namun demikian, sikap paralelisme ini pun tidak lepas dari kesulitan-kesulitan.

Yang pertama, sikap ini tampaknya berlawanan dengan pengalaman historis bahwa tradisi-tradisi
keagamaan dan manusiawi yang berbeda biasanya muncul dari saling campur tangan, pengaruh dan fertilisasi.

Kedua, sikap ini dengan tergesa-gesa menganggap seolah-olah setiap tradisi manusia sudah memuat dalam
dirinya sendiri semua unsur untuk pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut; singkatnya, sikap ini mengandaikan
kecukupan diri dari setiap tradisi dan sepertinya menyangkal adanya kebutuhan atau kesenangan untuk saling
belajar.

Di lingkungan Islam, tafsir Islam pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif.
Misalnya, perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam
meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Menurut para penganut Islam pluralis
(misalnya Schuon dan Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal: “perumusan iman” dan
“pengalaman iman”. Hanya saja, setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua. Islam,
misalnya, mendahulukan “perumusan iman” (tauhid) dan “pengalaman iman” mengikuti perumusan iman tersebut.
Sebaliknya agama Kristen, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi
manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan “perumusan
iman” mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan
dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.

Sekalipun demikian, sikap paralelistis, pada sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk
suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini sekaligus membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran; pengharapan
bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-
perbedaan kita.

4. Eklektivisme

Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi
ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi
semacam mosaik yang bersipat eklektik.

5. Universalisme
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena
faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.

Menurut Raimundo Panikkar, jika suatu perjumpaan agama terjadi, baik dalam fakta yang nyata maupun
dalam suatu dialog yang disadari, maka orang membutuhkan metafora dasar untuk mengutarakan masalah-masalah
yang berbeda. Oleh karena itu, tiga macam model perjumpaan agama bisa berguna, yakni model fisika : pelangi,
model geomteri : invarian topologis, dan model antropologis : bahasa.

Paradigma atau sikap beragama yang berkembang di dunia Kristen tersebut, ada hubungannya dengan teori
W.C. Smith dalam mengkaji agama orang lain. Ada beberapa tahapan dalam hubungan antar agama yang akhirnya
memunculkan dialog harmonis antar umat beragama. Tahapan-tahapan ini dianalogkan dalam bentuk : I, You dan
We. “I” menunjukkan eksklusif. “You”, menunjukkan inklusif, dan “we” menunjukkan keterbukaan.

Para penganut agama memberikan tanggapan atau respon terhadap doktrin agamanya. Dalam memberikan
respon ini, para penganut agama, paling tidak, memiliki tiga kecenderungan yang bisa diamati. Komarudin Hidayat
memberikan ketiga kecenderungan itu, yang menurutnya bukan sebagai suatu pemisahan, yakni kecendeungan
“mistikal”(solitary),“profetik-ideologikal” (solidarity), dan “humanis-fungsional”.

Respon keberagamaan mistikal, antara lain, ditandai dengan penekanannya pada penghayatan individual
terhadap kehadiran Tuhan. Dalam tradisi mistik, puncak kebahagiaan hidup adalah apabila seseorang telah berhasil
menghilangkan segala kotoran hati, pikiran, dan perilaku sehingga antara dia dan Tuhan terjalin hubungan yang
intim yang dijalin dengan cinta kasih.

Tipologi kedua adalah profetis ideologikal. Kecenderungan beragama model ini, antara lain, ditandai
dengan penekanannya pada misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan. Oleh karenanya,
kegiatan penyebaran agama dengan tujuan menambah pengikut dinilai memiliki keutamaan teologis dan
memperkuat kekuatan ideologis.

Yang ketiga,humanis fungsional, adalah kecenderungan beragama dengan titik tekan pada penghayatan
nilai-nilai kemanusiaan yang dianjurkan oleh agama. Pada tipe ini, apa yang disebut kebijakan hidup beragama
adalah bila seseorang telah beriman pada Tuhan dan lalu berbuat baik terhadap sesamanya. Sikap toleran dan
eklektisisme pemikiran beragama merupakan salah satu ciri tipe ini.

Kecenderungan keberagamaan di atas hanyalah merupakan respon aksentuasi dan tidak identik dengan
totalitas doktrin agama itu sendiri. Partisipasi dan pelaksanaan seseorang ke dalam agama biasanya bersipat parsial,
dibatasi oleh kemampuan, pilihan, serta kuat lemahnya komitmen iman seseorang. Namun demikian, dalam konteks
hidup bermasyarakat dan bernegara, tipologi keberagamaan ketiga, yang menekankan orientasi kemanusiaan, perlu
mendapat apresiasi dan penekanan. Hikmah hidup keberagamaan haruslah bermuara pada komitmen untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus dihambat oleh sentimen kelompok keagamaan.

Saya melihat bahwa, kelima tipologi beragama itu harus menjadi ciri dan karakter manusia beragama
secara bersamaan. Sebab, tanpa kecenderungan beragama yang pertama, kedua,dst. tidak akan memunculkan
kesadaran dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kalaupun terjadi, akan nampak kehampaan spiritual,
yang akan muncul adalah keinginan timbal balik berupa penghargaan sosial atau penghormatan atas jasa.

Komaruddin Hidayat lebih cenderung pada pandangan inklusivisme beragama yang barangkali lebih
mudah diterima ketimbang keempat faham yang lain, karena dalam faham inklusivisme seseorang masih tetap
meyakini bahwa agamanya paling baik dan benar. Namun, dalam waktu yang sama, mereka memiliki sikap toleran
dan bersahabat dengan pemuluk agama lain. Sejarah membuktikan bahwa semua pendiri agama besar selalu
bersikap inklusif. Sementara itu, ketika eksklusivisme menjadi pandangan hidup atau ideologi beragama yang dianut
para pemuka agama dan penguasa negara, maka biasanya agama bukannya menjadi sumber perdamaian, melainkan
sumber konflik. Sedangkan pluralisme agama sebagai suatu keniscayaam teologis dan historis, sikap kedewasaan
memeluk suatu agama akan tumbuh kebenarannya. Bisa jadi orang yang menganggap semua agama sama saja
menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama serta tidak serius mendalami ajaran suatu agama.
Inklusivitas beragama memang sangat diperlukan dalam memelihara perdamaian. Jika agama memang
menyumbang perdamaian, maka agama – melalui para pengikutnya – harus belajar meninggalkan absolutisme dan
menerima pluralisme. Kita boleh melihat agama sebagai absolut, karena mungkin inilah makna kepenganutan
kepada suatu agama. Namun, pemahaman kita, baik pribadi maupun kelompok melalui indera akal dan batin,
menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. Karena itulah, tidak ada tempat bagi seseorang untuk
mengabsolutkan faham keagamaan sendiri.

Ibn al-‘Arabi telah pula meletakkan prinsip-prinsip fundamental spiritualitas agama yang mengungkai
persoalan kebahagiaan (diferensiasi) agama dalam apa yang dia sebut sebagai “lingkaran keberbagaian religius” (the
circle of religious diversity).

Prinsip-prinsip fundamental itu adalah, diferensiasi agama-agama wahyu (revealed religions) semata-mata
karena diferensiasi hubungan-hubungan keahlian; diferensiasi hubungan-hubungan keilahian (divine relationships)
semata-mata karena diferensiasi keadaan-keadaan (states); diferensiasi keadaan-keadaan semata-mata karena
diferensiasi waktu; diferensiasi waktu semata-mata karena diferensiasi gerakan-gerakan; diferensiasi gerakan-
gerakan semata-mata karena diferensiasi perhatian-perhatian; diferensiasi perhatian-perhatian semata-mata karena
diferensiasi tujuan-tujuan; diferensiasi tujuan-tujuan semata-mata karena diferensiasi penyingkapan-penyingkapan
diri; dan diferensiasi penyingkapan-penyingkapan diri semata-mata karena diferensiasi agama-agama wahyu; dan
seterusnya.

Inilah yang barangkali disebut sebagai pesan universal spiritualitas agama yang menjadi fokus perhatian
sufisme – spiritualitas yang lebih menitikberatkan keserupaan (similarity) peran agama-agama sebagai jalan menuju
kesempurnaan manusia, dan bahwa untuk meraih kesempurnaan itu terdapat banyak pintu menuju Tuhan sebagai
tujuan ultima manusia yang bergerak meraih kesempurnaan religius tanpa harus terperangkap pada bentuk-bentuk
formalisme dan pragmatisme ritual agama. Sebab, pada dasarnya manusia itu adalah beragama (“homo religiosus”).

Tidak diragukan lagi bahwa pada masa-masa kontemporer terjadi pergeseran-pergeseran teologis tertentu
yang jauh lebih kompleks dibandingkan masa-masa silam. Untuk konteks masyarakat Islam Indonesia, pergeseran
pandangan teologis tertentu itu terlihat jelas sejak tahun 1970-an, berbarengan dengan dimulainya program
modernisasi ekonomi dan sosial oleh pemerintah orde baru.

Atas dasar itu, Azyumardi Azra menyebutkan adanya beberapa sikap berteologi umat Islam pada masa
kontemporer. Tentu saja, sikap teologis ini bisa juga berlaku bagi agama-agama lain, dan sangat mempengaruhi pula
terhadap proses dan dinamika kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia. Sikap-sikap berteologi itu adalah,
teologi modernisme, teologi transformatif, teologi inklusivisme, teologi fundamentalisme, dan teologi
neotradisionalisme.

Teologi modernisme pada intinya berargumen bahwa modernisasi dan pembangunan umat Islam Indonesia
harus dimulai dari pembaruan teologis dan aspek-aspek pemikiran lainnya. Tokoh teologi modernisme ini antara
lain, Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Bagi Harun Nasution, teologi Asy’ariyah, yang disebutnya sebagai
teologi tradisional, tidak cocok dengan semangat kemajuan. Teologi yang cocok pada saat sekarang adalah teologi
yang rasional yakni teologi Mu’tazilah. Sedangkan Nurcholish Madjid bertitik tolak dari apa yang disebutnya
sebagai “pembaharuan pemikiran”, yang mencakup sekularisasi, kebebasan intelektual, gagasan kemajuan, dan
sikap terbuka.

Teologi transformatif, dalam batas tertentu, merupakan bagian dari teologi modernisme, yang sama-sama
ingin memajukan masyarakat Muslim, tetapi tidak menekankan pembaruan teologi. Sebaliknya, teologi
transformatif memandang bahwa pembaruan itu harus dimulai dari masyarakat paling bawah (grassroots). Para
protagonis teologi ini antara lain M.Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Mansour Fakih, dan banyak aktivis LSM
lainnya.

Teologi Inklusivisme, dapat pula disebut sebagai “teologi kerukunan keagamaan”, baik di dalam satu agama
tertentu maupun antara satu agama dengan agama lainnya. Para pendukung teologi ini adalah A. Mukti Ali,
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Djohan Effendi.
Teologi fundamentalisme,dalam banyak hal muncul sebagai reaksi terhadap teologi modernisme yang
dipandang telah “mengorbankan” Islam untuk kepentingan modernisasi yang oleh kalangan fundamentalis dianggap
nyaris identik dengan westernisasi. Tema pokok teologi ini adalah kembali kepada “Islam yang murni” sebagaimana
dipraktikkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya.Juga, tema lain yang cukup dominan adalah islamisasi
pemikiran dan kelembagaan masyarakat Muslim.

Teologi Neotradisionalisme, muncul dan berkembang sedikit banyak sebagai reaksi terhadap teologi
modernisme yang dipandang telah mendorong terjadinya “despiritualisasi” Islam dalam proses modernisasi. Salah
satu tema pokok teologi neotradisionalisme ialah kembali kepada kekayaan warisan spiritual Islam tradisional,
khususnya tasawuf (dan tarekat), dan syariah.

===============

Sikap orang terhadap agamanya itu beragam, ada tingkatan-tingkatannya. Ada yang acuh tak perduli, menjaga
jarak, setengah-setengah hingga yang menjadikan agamanya benar-benar sebagai pandangan hidupnya. Ada orang
beragama tapi asing dengan agamanya sendiri, tidak mengenali ajarannya. Ia sengaja tidak mendekati agamanya
karena takut banyak aturan yang akan mengaturnya. Ada juga yang sangat shaleh dan taat pada agamanya. Berikut
ini lima tingkatan sikap orang dalam beragama.

___________________

1. Melambai
Pertama, ada orang beragama dan tahu agama itu penting dalam kehidupan tapi tidak mau mendekati, tidak mau
mempelajari, tidak melaksanakan ajarannya. Ia hanya “melambai” saja dari kejauhan. Ia menjaga jarak dengan
agamanya karena kalau dekat dan banyak tahu, ia akan merasa berat harus melaksanakan ajaran-ajarannya, harus
beribadah, harus taat, banyak keharusan-keharusan, banyak larangan-larangan. Ia merasakan ribet dengan
agamanya. Ia memilih tidak dekat dan cukup melambai saja dari kejauhan. Dengan menjaga jarak, dengan
melambai, ia merasa bebas, hidupnya ia sendirilah yang mengaturnya. Mendengar syari’at Islam belum apa-apa
sudah alergi. Bila penolakan pada ide penegakkan syari’at Islam karena dilihatnya sebagai isu untuk kepentingan
politik sebuah kelompok, itu wajar. Tapi, bila bayangannya adalah ia akan repot karena akan banyak aturan dan
larangan agama, dan kebebasan hidupnya akan menjadi sempit dan terpenjara, itu adalah sikap melambai. Manusia
kelompok ini berada di tengah-tengah antara ketaatan pada agama dengan menjauhi agama. Pada agama ia tidak
mau teralu dekat, tidak beragama pun ia tahu akan celaka, lalu berdirilah di tengah-tengah. Hidup religius tidak mau,
sekuler total pun tidak. Karena menjaga jarak pada aturan-aturan agama yang akan menyelamatkan hidupnya,
sementara godaan syetan sangat berat menghindarinya dan sering tidak terasa, akhirnya kelompok orang seperti ini
akan menjadi sasaran empuk hawa nafsu dan syetan untuk mencelakannya dan menjerumuskannya kepada jurang
kenistaan. Bila tidak di dunia, karena misalnya merasa sukses, di akhirat ia akan merasakan akibatnya.

2. Membelai
Kedua, ada orang beragama yang tidak melaksanakan perintah-perintah agamanya, jarang beribadah, mengabaikan
aturan-aturan agama dalam hidupnya. Tapi, ia bereaksi kalau agamanya diganggu. Ia tahu agama itu bagus dan
penting, karenanya tidak menerima bila agamanya dihujat atau dilecehkan. Kalau ada acara-acara keagamaan ia
mendukung, ia suka agama berkembang, ia memberi sumbangan dan menunjukkan dukungan simpatiknya. Dan ia
merasa sudah baik dan benar dengan sikapnya seperti itu. Tetapi, ia sendiri tidak taat pada perintah-perintah agama
yang dianutnya. Bahkan tidak merasa perlu shalat, puasa, menutup aurat, meningkatkan kesadaran dsb. Pada diri dan
keluarganya tidak ada perhatian pada pentingnya pendidikan agama dan tidak ada usaha menerapkan norma-norma
agama di rumah tangganya. Bila ada acara-acara keagamaan seperti pengajian ia senang dan mendukung tapi
perhatian dan kesibuknya lebih pada penyelenggaraanya seperti mengurusi tempat, penceramah, undangan,
konsumsi, kendaraan dsb agar pengajiannya lancar. Pada uraian nasihat-nasihatnya dan usaha meningkatkan
kesadarannya sendiri tidak tertarik. Bentuk-bentuk ibadah dan ketaatan ritual-ritual agama dianggap formalitas saja,
nasehat-nasehat agama ia merasa sudah tahu banyak. Yang penting agama itu baik dan jangan diganggu. Ini adalah
sikap “membelai” pada agama. Agamanya dibelai dan dielus-elus tapi tidak melaksanakan ajarannya.
3. Menggapai
Ketiga, adalah menggapai. Ini adalah kelompok orang yang taat melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Shalat,
zakat, puasa dan haji ia jalankan semuanya sebagai seorang Muslim. Dalam kategori sosiologis, ini adalah kaum
santri. Ia hidup dalam kesadaran agama sebagai sebuah keharusan dengan tidak meninggalkan kewajiban-
kewajibannya. Ia “menggapai” agama dalam kehidupan. Menggapai adalah sikap standar dalam beragama bahwa
seseorang harus melaksanakan ajaran-ajaran agamanya dengan baik. Menggapai adalah keberagamaan orang-orang
umum yang menjalankan syari’at dan kewajiban agama dalam kehidupan.

4. Mempelai
Keempat, lebih tinggi dari menggapai adalah mempelai. Pada tahap ini, seseorang lebih dari melaksanakan dasar-
dasar kewajibannya tetapi ia sudah “kawin” dengan agama. Agama dijadikannya orientasi dan tujuan hidupnya,
agama dijadikan dasar dan pertimbangan dari segala tindakannya dan sudah merasakan kenikmatan beragama.
Segala sesuatu yang bertentangan atau menjauhkan dirinya dengan agama ia jauhi dan ditolak. Ibarat pengantin ia
ingin selalu dekat dengan agama, merasa nikmat dalam ketaatan beragama, merasa tenang selalu dekat dengan Allah
sebagai tujuan hidupnya. Kesenangan dunia dilihat dan dirasakannya hanyalah kesenangan sementara yang tidak
tertarik mengejar-ngejarnya. Mempelai adalah golongan shalihin dan ahli ibadah yang menjadikan agama sebagai
dasar dan tujuan hidupnya. Golongan ini menemukan kesenangannya bukan pada kesenangan dunia seperti harta,
pangkat dan jabatan, tapi pada kedekatannya beragama. Orang-orang yang sudah mewakafkan jiwa raganya untuk
agama, mereka yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa, raga dan hartanya adalah para mempelai dalam beragama.

5. Mencapai
Terakhir, yang paling tinggi adalah mencapai. Mencapai adalah tingkatan sudah menemukan kebenaran tertinggi
yaitu kebenaran Tuhan, sudah makrifat kepada Allah, menemukan Tuhan melalui perjuangan beratnya (riyadhah)
dan jalan panjang dan berliku (thariqah) seperti menjauhi kehidupan dunia, menghindari segala kesenangan duniawi,
sudah tidak tertarik pada ajakan-ajakan nafsu, tidak tertarik dan tidak ada kebanggaan pada pencapaian-pencapaian
dunia. Ukuran keberhasilan baginya bukan pada prestasi-prestasi dunia, melainkan pada kemuliaan akhlak,
ketinggian kesadaran, puncak pencapaian ibadah dan kepasrahan yang total kepada Allah. Baginya, beragama yang
benar bukan pada formalitasnya melainkan pencapaian hakikat tapi dengan tidak meninggalkan seluruh keharusan
syari’at. Ia sudah menemukan hakikat hidup di dunia untuk apa dan mau kemana. Ia tidak menemukan ruang-ruang
kesempatan dalam hidupnya untuk urusan dunia dan mencari kesenangan diri melainkan kecintaan dan ketaatan
pada kehendak Allah. Karenanya, secara materi mungkin tidak punya apa-apa karena tidak memerlukannya,
hidupnya pas-pasan, tapi kepuasan, ketenangan, kedamaian dan cahaya ketentraman hidupnya terpancar dari wajah,
perangai dan sikapnya. Ia selalu melihat siapapun dengan rasa kasihan kemudian menasehatinya karena dilihatnya
kebanyakan orang hidupnya tanpa arah dan waktunya habis mengejar-ngejar kepuasan duniawi. Karena sudah dalam
tingkat “mencapai,” golongan ini berada dalam derajat ruhani yang tinggi, memiliki keistimewaan-keistimewaan
atau kelebihan-kelebihan spiritual yang dianugrahkan Allah kepada mereka. Disinilah para guru ruhani, guru
spiritual, para wali Allah dan para Nabi.[] (Moeflich Hasbullah)

Kita berada di tingkat mana, tinggal merenung masing-masing diri.

===============

Berikut ini adalah contoh-contoh sikap berlebih-lebihan dalam beragama yang disampaikan oleh Syeikh Sholih al
Fauzan.

‫و من مظاهر الغلو بين الشباب‬


1 ‫ما ظهر بين بعضهم في الصالة من تفريق رجليه إذا وقف في الصالة حتى يضايق من بجانبيه‬.

Syeikh Sholih al Fauzan mengatakan, “Di antara bentuk-bentuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama yang
dilakukan oleh sebagian pemuda adalah sebagai berikut

 Sikap sebagian anak muda yang melebarkan jarak antara kedua kakinya manakala berdiri di tengah-tengah
shaf dalam shalat berjamaah sehingga menyusahkan orang yang ada di sebelah kanan atau kirinya.
2‫و حني رأسه في حال القيام في الصالة إلي قريب من الركوع‬

 Menundukkan kepala saat berdiri dalam shalat secara berlebihan sehingga seperti orang yang ruku

3 ‫ومد ظهره في السجود حتى يكون كالمنبطح علي األرض‬

 Memanjangkan punggung ketika sujud sehingga seperti orang telungkup

4 ‫ومن مظاهر الغلو عندهم المبالغة في الصالة إلي السترة حتي إن بعضهم إذا دخل المسجد قبل اإلقامة فإنه يترك الصف و يذهب إلي عمود أو جدار‬
‫ليصلي إليه صالة النافلة مع أن السترة سنة ليست بواجبة إن تيسرت و إال فال يكلفها و يترك فضيلة القيام في الصف خصوصا في الصف األول و‬
‫ كل هذه الفضائل ال ينبغي إهدارها‬.‫حصول مكانه فيه و قربه من اإلمام‬

 Di antara sikap berlebih-lebihan dalam beragama yang dilakukan sebagian anak muda adalah sikap
berlebih-lebihan terkait shalat dengan menghadap sutroh. Sebagian orang ketika masuk masjid sebelum
iqomah tidak mau mengambil posisi di shaf sholat namun pergi menuju tiang atau tembok untuk
mengerjakan sholat sunnah dengan menghadap sutroh padahal hukum sutroh dalam sholat itu sunnah jika
memungkinkan dan tidak wajib. Karenanya kita tidak perlu memaksakan diri untuk sholat dengan
menghadap sutroh dengan meninggalkan keutamaan berdiri di shaf terutama shaf yang paling depan dan
mendapatkan posisi dekat dengan imam. Hal-hal afdhol tersebut tidak selayaknya disia-siakan.

5 ‫بل إن بعضهم يدافع الناس عن المرور أمامه إذا قام يصلي في المسجد الحرام في وقت الزحام مع أن المرور أمام المصلي في المسجد الحرام و‬
‫ وهلل الحمد‬.‫المواطن الشديد الزحام ال بأس به دفعا للحرج‬, ‫فديننا دين اليسر‬.

 Sebagian orang menolak orang yang lewat di depannya ketika dia mengerjakan sholat di Masjidil Haram
saat masjid penuh sesak dengan banyak orang. Padahal lewat di depan orang yang shalat di Masjidil Haram
dan tempat-tempat lain yang penuh sesak dengan manusia itu hukumnya tidak mengapa dalam rangka
mencegah kesulitan bagi banyak orang. Alhamdulillah, agama kita itu penuh dengan kemudahan.

6 ‫و من مظاهر الغلو تقصير الثياب إلي قريب من الركبتين مما يخشى معه انكشاف العورة و المشروع تقصيرها إلي نصف الساق أو إلي الكعبين‬

 Di antara sikap berlebih-lebihan dalam beragama adalah laki-laki yang meninggikan kain sehingga hampir
dekat dengan lutut. Dikhawatirkan aurat bisa tersingkap dengan perbuatan semacam ini. Yang sesuai
dengan petunjuk syariat adalah meninggikan kain sampai setengah betis atau asalkan di atas mata kaki”.

Perkataan Syeikh Sholih al Fauzan saya jumpai di buku berjudul al Ghuluw Mazhahiruhu Asbabuhu ‘Ilajuhu karya
Muhammad bin Nashir al ‘Uraini hal 51-53.

=================

A. Pendahuluan

Sikap keagamaan merupakan perwujudan dari pengalaman dan penghayatan seseorang terhadap agama, dan agama
menyangkut persoalan bathin seseorang, karenanya persoalan sikap keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari kadar
ketaatan seseorang terhadap agamanya.
Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara unsure kognisi (pengetahuan), afeksi (penghayatan)
dan konasi (perilaku) terhadap agama pada diri seseorang, karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa pada
seseorang.
Sikap keagamaan sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan berupa fithrah beragama; dimana manusia punya naluri
untuk hidup beragama, dan faktor luar diri individu, berupa bimbingan dan pengembangan hidup beragama dari
lingkungannya.
Kedua factor tersebut berefek pada lahirnya pengaruh psikologis pada manusia berupa rasa takut, rasa
ketergantungan, rasa bersalah, dan sebagainya yang menyebabkan lahirnya keyakinan pada manusia. Selanjutnya
dari keyakinan tersebut, lahirlah pola tingkah laku untuk taat pada norma dan pranata keagamaan dan bahkan
menciptakan norma dan pranata keagamaan tertentu.
Dalam kehidupan di masyarakat, sering ditemui perilaku/ sikap keagamaan yang menyimpang, maka dalam makalah
ini dengan kajian psikologis, akan dibahas tentang hal tersebut, berikut dengan penyebabnya, yang diharapkan dari
sini dapat digali berbagai alternatif yang dimungkinkan untuk menghindari penyimpangan tingkah laku keagamaan
tersebut.

B. Pembentukan dan Penyimpangan Sikap Keagamaan

Dr. Mar’at mengemukakan ada 13 pengertian sikap, yang dirangkum menjadi 4 rumusan berikut :

Pertama sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan
lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan senantiasa berhubungan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa
atau pun ide, sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek. Kedua, Bagian
yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif,
negatif atau ragu, dengan memiliki kadar intensitas yang tidak tentu sama terhadap obyek tertentu, tergantung pada
situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi berbeda
belum tentu cocok. Ketiga, sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu, karena ia merupakan
bagian dari konteks persepsi atau pun kognisi individu. Keempat sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang
mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan, karenanya sikap merupakan
penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai.
Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau
tidak senang terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap
merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara komplek. Komponen kognisi akan menjawab apa
yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap
obyek. Komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek.
Faktor penentu sikap, baik sikap positif atau pun sikap negatif, adalah motif, yang berdasarkan kajian psikologis
dihasilkan oleh penilaian dan reaksi afektif yang terkandung dari sebuah sikap. Motif menentukan tingkah laku
nyata (overt behavior) sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert behavior).
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan
motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu obyek. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan
pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta tergantung kepada obyek
tertentu. Karena Sikap dipandang sebagai perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil
penalaran, pemahaman dan penghayatan individu
Pemberian dasar jiwa keagamaan pada anak, tidaklah dapat dilepaskan dari peran orang tua sebagai pendidik di
lingkungan rumah tangga. Pengenalan agama sejak usia dini, akan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan
kesadaran dan pengalaman beragama pada anak tersebut. Karenanya adalah sangat tepat, Rasul SAW menempatkan
orang tua sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku keagamaan seorang anak, sebagaimana
sabdanya : “setiap anak dilahirkan atas fithrah, dan tanggung jawab kedua orang tuannyalah untuk menjadikan anak
itu nashrani, Yahudi atau Majusi. Dimana fithrah yang dapat diartikan sebagai potensi untuk bertauhid (dapat
disebut sebagai jiwa keagamaan), merupakan potensi physikis pada manusia, yang diakui adanya oleh para ahli
psikologi transpersonal. Aliran psikologi ini juga mencoba melakukan kajian ilmiah terhadap demensi yang selama
ini merupakan kajian dari kaum kebathinan, rohaniawan, agamawan dan mistikus. Jadi, keluarga sebagai lingkungan
yang pertama ditemui anak, sangat berperan dalam pembentukan pola perilaku/ sikap anak. Adanya perbedaan
individu, pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing.
Karena itu, pembinaan dan pengembangan fithrah sebagai potensi psikis manusia, untuk melahirkan sikap dan pola
tingkah laku keagamaan, dapat dibentuk dengan mengkondisikan lingkungan sesuai dengan ketentuan norma-norma
agama. Dan norma-norma tersebut akhirnya terintegrasi dalam kepribadian individu yang bersangkutan.
Walau norma-norma agama telah menjadi bagian dari kepribadian seseorang, pada kenyataannya sering ditemukan
adanya penyimpangan-penyimpangan, yang disebabkan oleh sikap yang bersangkutan (baik perseorangan atau
kelompok) terhadap keyakinan agamanya mengalami perubahan.
Penyimpangan sikap keagamaan dapat menimbulkan tindakan yang negatif, apalagi penyimpangan itu dalam bentuk
kelompok. Memang, penyimpangan dalam bentuk kelompok ini, sering diawali oleh penyimpangan individual, tapi
individual tersebut mempunyai pengaruh besar. Seseorang yang mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan dan
keyakinan orang lain, sebagai bagian dari tingkat pikir transenden. Akan sangat berpengaruh terhadap
penyimpangan kelompok.

Sikap keagamaan sangat erat hubungannya dengan keyakinan/ kepercayaan. Dan keyakinan merupakan hal yang
abstrak dan susah dibuktikan secara empirik, karenanya pengaruh yang ditimbulkannya pun lebih bersifat pengaruh
psikologis.
Keyakinan itu sendiri merupakan suatu tingkat fikir yang dalam proses berfikir manusia telah menggunakan
kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai penyempurna proses dan pencapaian kebenaran dan kenyataan
yang terdapat di luar jangkauan fikir manusia. Karenanya penyimpangan sikap keagamaan cenderung di dasarkan
pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat dan menonjol ketimbang aspek rasional.
Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang ( tingkat
fikir materialistik dan tingkat fikir transendental relegius ), sehingga akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan
baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok). Jika keyakinan itu bertentangan atau tidak
sejalan dengan keyakinan ajaran agama tertentu, maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang.

Penyimpangan sikap keagamaan ini, disamping menimbulkan masalah pada agama tersebut, juga sering
mendatangkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat.

C. Penyebab Terjadinya Penyimpangan sikap Keagamaan


Perubahan sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada seseorang,
kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap
dapat diubah walaupun sulit.Karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1. adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek, sehingga menarik perhatian, memberi pengertian dan
akhirnya dapat diterima dan dijadikan sebagai sebuah sikap baru.
2. terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang dilakukannya sebelumnya adalah keliru,
maka ia tentu akan mempertimbangkan untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini
memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap keagamaan sebelumnya yang ia yakini
sebagai suatu kekeliruan tadi.
3. penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status sosial, dimana mereka yang
merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan
perbaikan pada status sosialnya.
4. penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang menyimpang dilakukan seseorang
(utamanya mereka yang punya pengaruh besar), ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan
kehidupan masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap yang sama,
walau pun disadari itu merupakan sikap yang menyimpang dari sikap sebelumnya.

D. Beberapa Solusi Alternatif

Sikap keagamaan akan tidak mengalami distorsi, manakala norma/nilai yang melandasi keyakinan yang melahirkan
sikap itu mampu menjawab berbagai hal yang menyebabkan terjadinya perubahan/ pergeseran sikap tadi.
Suatu sikap akan tidak bergeser, walau adanya lingkungan merekayasa obyek, untuk menarik perhatian, kalau
norma/ nilai yang mendasari keyakinan untuk lahirnya sebuah sikap keagamaan, dapat menampilkan daya tarik lebih
besar dari apa yang ditampilkan oleh lingkungan.
Kemampuan penyampai informasi dan komunikator nilai/ norma agama untuk meyakinkan kebenaran agama,
dengan dapatnya teruji pada kehidupan, akan menghindarkan terjadinya proses konversi agama pada seseorang.

Pentingnya memperhatikan masalah status social dalam kehidupan beragama , adalah hal yang mutlak dilakukan,
jika tidak diinginkan adanya mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma
sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya. Hal ini juga telah disampaikan Rasul
SAW., bahwa ‘kefakiran dekat dengan kekufuran’ (al Hadits). Dan kekufuran berarti penyimpangan dari sikap
sebelumnya. Karenanyanya, juga kehidupan keagamaan juga harus mengedepankan kemaslahatan kehidupan
masyarakat,

E. Penutup
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa :

1. Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang , sehingga
akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok).
2. Diantara penyebab terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, antara lain :

a. adanya kemampuan lingkungan menarik perhatian

b. terjadinya konversi agama

c. karena pengaruh status social

d. Hal-hal yang dinilai sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat

3. Untuk menghindari terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, ada beberapa solusi alternatif, antara lain :

a. Menyajikan agama dengan performa yang senantiasa menarik

b. Menyajikan agama dalam bentuk sesuatu kebenaran yang tidak pernah bergeser dan senantiasa
teruji dan dapat diuji.

c. Mengupayakan pengangkatan status social pengikut suatu agama.

d. Menampilkan nilai/ norma agama dengan mengedepankan apa yang dinilai sangat positif bagi
kemaslahatan kehidupan masyarakat

===============
Definisi sikap
Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai
perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap
manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu, bahkan
terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap yang
timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga
dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat
sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Sikap
manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai
versi oleh para ahli (Azwar, 2007).
Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif
terhadap suatu objek psikologis (dalam Azwar, 2007). Sikap atau Attitude
senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. Tidak ada sikap tanpa adanya
objek (Gerungan, 2004). LaPierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola
perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri

dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli
sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo secara lengkap
mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya
sendiri, orang lain, objek atau isu-isu (dalam Azwar, 2007).
Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu.
Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan
perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadiankejadian
tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya
suatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).
Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran.
Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis
Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu
bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek
adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.
Kedua, kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus,
LaPierre, Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap
merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan caracara
tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial
untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya
respon

Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada


skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan
konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
Jadi berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku
terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif,
afektif dan konatif.
2. Komponen sikap
Azwar (2007) menyatakan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu:
a. Komponen kognitif
Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan
seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek
sikap.
b. Komponen afektif
Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah
emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum,
komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
c. Komponen perilaku
Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap
menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang
ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.

3. Karakteristik sikap
Menurut Brigham (dalam Dayakisni dan Hudiah, 2003) ada beberapa ciri
atau karakteristik dasar dari sikap, yaitu :
a. Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
b. Sikap ditujukan mengarah kepada objek psikologis atau kategori, dalam
hal ini skema yang dimiliki individu menentukan bagaimana individu
mengkategorisasikan objek target dimana sikap diarahkan.
c. Sikap dipelajari.
d. Sikap mempengaruhi perilaku. Memegang teguh suatu sikap yang
mengarah pada suatu objek memberikan satu alasan untuk berperilaku
mengarah pada objek itu dengan suatu cara tertentu.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
Azwar (2007) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang
dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga
agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
a. Pengalaman pribadi
Middlebrook (dalam Azwar, 2007) mengatakan bahwa tidak adanya
pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis,
cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan
lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang
melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi akan
menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis
atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini
antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk
menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh Kebudayaan
Burrhus Frederic Skinner, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan
pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi
seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang
menggambarkan sejarah penguat (reinforcement) yang kita alami (Hergenhan
dalam Azwar, 2007). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi
individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis
pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah.
d. Media Massa
Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah
dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini
dan kepercayaan individu. Media massa memberikan pesan-pesan yang
sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan
memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah
sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan
tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan
serta ajaran-ajarannya. Konsep moral dan ajaran agama sangat menetukan
sistem kepercayaan sehingga tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya
kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu
terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial,
pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi
sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak.
Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan
atau lembaga agama sering kali menjadi determinan tunggal yang menentukan
sikap.
f. Faktor Emosional
Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera
berlalu begitu frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap
yang lebih persisten dan bertahan lama.
Menurut Bimo Walgito (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003), pembentukan
dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu :
a. Faktor internal (individu itu sendiri) yaitu cara individu dalam menanggapi
dunia luar dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima
atau ditolak.
b. Faktor eksternal yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang
merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.
Sementara itu Mednick, Higgins dan Kirschenbaum (dalam Dayakisni &
Hudaniah, 2003) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu :
a. Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan.
b. Karakter kepribadian individu
c. Informasi yang selama ini diterima individu
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap
dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berasal dari luar individu dan faktor
intrinsik yang berasal dari dalam individu.
5. Perwujudan sikap dalam perilaku
Werner dan Defleur (Azwar, 2007) mengemukakan 3 postulat guna
mengidentifikasikan tiga pandangan mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu
postulat of consistency, postulat of independent variation, dan postulate of
contigent consistency. Berikut ini penjelasan tentang ketiga postulat tersebut:
a. Postulat Konsistensi
Postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal memberi petunjuk
yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang
bila dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi postulat ini mengasumikan
adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku.
b. Postulat Variasi Independen
Postulat ini mengatakan bahwa mengetahui sikap tidak berarti dapat
memprediksi perilaku karena sikap dan perilaku merupakan dua dimensi
dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda.
c. Postulat Konsistensi Kontigensi
Postulat konsistensi kontigensi menyatakan bahwa hubungan sikap dan
perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Normanorma,
peranan, keanggotaan kelompok dan lain sebagainya, merupakan
kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku.
Oleh karena itu, sejauh mana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap
akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi lainnya.
Postulat yang terakhir ini lebih masuk akal dalam menjelaskan hubungan
sikap dan perilaku.
Apabila individu berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai
bentuk tekanan atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi sikapnya maka
dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang ditampakkannya merupakan
ekspresi sikap yang sebenarnya. Artinya, potensi reaksi sikap yang sudah
terbentuk dalam diri individu itu akan muncul berupa perilaku aktual sebagai
cerminan sikap yang sesungguhnya terhadap sesuatu. Sebaliknya jika individu
mengalami atau merasakan hambatan yang dapat mengganggu kebebasannya
dalam mengatakan sikap yang sesungguhnya atau bila individu merasakan
ancaman fisik maupun ancaman mental yang dapat terjadi pada dirinya sebagai
akibat pernyataan sikap yang hendak dikemukakan maka apa yang diekspresikan
oleh individu sebagai perilaku lisan atau perbuatan itu sangat mungkin tidak
sejalan dengan sikap hati nuraninya, bahkan dapat sangat bertentangan dengan
apa yang dipegangnya sebagai suatu keyakinan. Semakin kompleks situasinya dan
semakin banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam bertindak maka
semakin sulitlah mempediksikan perilaku dan semakin sulit pula menafsirkannya
sebagai indikator (Azwar, 2007).
B. Sikap terhadap kematian
1. Definisi sikap terhadap kematian
Secara umum, kematian didefinisikan sebagai kehilangan permanen dari
fungsi integratif manusia secara keseluruhan. Namun, terdapat banyak definisi
kematian (Hasan, 2006). Kematian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti perihal mati. Mati itu sendiri dalam KBBI adalah sudah kehilangan
nyawanya, tidak hidup lagi dan tidak bernyawa (Depdiknas, 2005).
Kematian merupakan fakta biologis, tapi juga memiliki aspek sosial, budaya,
sejarah, agama, hukum, psikologis, perkembangan, medis dan etikal yang saling
terkait dekat satu sama lain (Papalia, 2004). Salah satu jenis kematian adalah
kematian fisiologis (Physiological death) yang terjadi saat semua proses fisik
yang mendukung kehidupan telah hilang, kematian otak (brain death) yaitu
ketiadaan secara total aktivitas otak selama paling tidak 10 menit serta kematian
serebral (cerebral death) yaitu hilangnya aktivitas di cerebral cortex.
Kematian dapat disimpulkan sebagai proses biologis yang terjadi pada
individu saat fungsi-fungsi organ tubuh individu secara fisiologis tidak berfungsi
lagi atau tidak bernyawa lagi dan kondisi ini tidak dapat pulih kembali.
Berdasarkan berbagai uraian tentang sikap dan tentang kematian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap kematian adalah kecenderungan individu
untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap proses biologis
yang terjadi saat fungsi-fungsi organ tubuh individu secara fisiologis tidak
berfungsi lagi atau tidak bernyawa lagi dan kondisi ini tidak dapat pulih kembali.
Hal ini merupakan hasil interaksi dari komponen kognitif, afektif dan perilaku.
2. Aspek-aspek sikap terhadap kematian
Sikap yang berkaitan dengan kematian dapat berfokus pada hal-hal berikut
(Corr, Nabe & Corr, 2003) :
a. Sikap tentang diri individu pada saat sekarat yaitu merefleksikan ketakutan
dan kecemasan tentang kemungkinan mengalami proses kematian yang
panjang, sulit atau sakit.
b. Sikap tentang kematian diri yaitu berfokus kepada apa makna kematian
bagi diri individu.
c. Sikap tentang apa yang akan terjadi pada diri setelah kematian yaitu
berfokus pada apa yang akan terjadi pada diri individu sesudah kematian

d. Sikap yang berkaitan dengan kematian atau rasa kehilangan orang lain
yang dicintai yaitu berfokus pada bagaimana individu memandang
kematian orang lain yan dicintai.
3. Faktor yang mempengaruhi Sikap terhadap Kematian
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sikap individu terhadap
kematian adalah :
a. Usia
Ketakutan terhadap kematian berhubungan dengan variabel usia (Nelson
& Nelson dalam Lahey, 2003). Lansia secara umum distreotipekan sebagai
individu yang menunggu kematian tanpa rasa takut (Barrow, 1996). Lansia
memiliki sedikit rasa takut terhadap kematian daripada individu pada usia
dewasa awal (Lefrancois, 1993).
b. Agama
Sikap agama terhadap kematian mempengaruhi bagaimana individu dari
usia tertentu memandang kematian (Papalia, 2004). Sikap agama yang
dianut individu dapat menjadi prediktor penting untuk menentukan sikap
individu terhadap kematian. Christopher, Drummond, Jones, Marek dan
Therriault menemukan bahwa religiusitas secara positif berhubungan
dengan sikap positif terhadap kematian (misalnya memandang kematian
sebagai akhir hidup yang alami) dan secara negatif berkaitan dengan sikap
negatif terhadap kematian (misalnya memandang kematian sebagai
kegagalan) (Dezutter et all, 2007).
C.Religiusitas
1.Defenisi religiusitas
Menurut Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) kata “religi” berasal dari bahasa
latin ’religio’ yang akar katanya ’religare’ yang berarti mengikat. Maksudnya
adalah suatu kewajiban-kewajiban atau atauran-aturan yang harus dilaksanakan,
yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang
atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia,
serta alam sekitarnya. Mangunwijaya membedakan antara istilah religi atau agama
dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk pada aspek formal, yang berkaitan
dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk
pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati. Glock & Stark
memahami religiusitas sebagai kepercayaan individu tentang ajaran-ajaran agama
tertentu yang dianut dan dampak dari ajaran agama, dalam kehidupan sehari-hari
(dalam Pujiono, 2006).
Religiusitas adalah istilah yang mengacu pada individu yang mencurahkan
perhatian yang lebih besar pada agama yang dianutnya (Corsini, 2002).
Adisubroto (dalam Widiyanta, 2005) menjelaskan bahwa manusia religius adalah
manusia yang struktur mental keseluruhannya secara tetap diarahkan kepada
pencipta nilai mutlak, memuaskan dan tertinggi yaitu Tuhan.

Religius adalah suatu keadaan dimana individu merasakan dan mengajui


adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia, dan hanya kepada-
Nya manusia merasa bergantung serta berserah diri. Semakin seseorang mengakui
adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, maka akan semakin tinggi tingkat
religiusitasnya (Dister dalam Rahayu, 1997).
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah
penghayatan manusia akan ajaran, kewajiban dan aturan agama yang dianutnya
yang diamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Dimensi religiusitas
Menurut Glock dan Stark (dalam Rahmat, 2003), dimensi religiusitas antara
lain :
a. Dimensi Ideologis
Dimensi ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berisi
kepercayaan atau doktrin agama yang harus dipercayai. Misalnya
kepercayaan umat Kristen terhadap Ketuhanan Kristus dan kepercayaan
umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW.
b. Dimensi Ritualistik
Dimensi ritualistik berkaitan dengan perilaku, maksudnya perilaku yang
mengacu pada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan agama. Seperti
tata cara ibadah, berpuasa dan pengakuan dosa.
c. Dimensi Eksperensial
Dimensi eksprensial berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dimiliki
seseorang. Psikologi menamainya religious experiences (pengalaman

religius). Pengalaman keagamaan ini misalnya kekhusukan dalam sholat


dan ketenangan batin saat berdoa.
d. Dimensi Intelektual
Dimensi intelektual yaitu informasi khusus tentang suatu agama yang
harus diketahui oleh penganutnya. Dimensi ini berhubungan erat dengan
pengetahuan tentang agama yang dianut oleh seseorang.
e. Dimensi Konsekuensial
Dimensi konsekuensial menunjukkan akibat ajaran agama dalam perilaku
umum. Dimensi ini merupakan efek ajaran agama pada perilaku individu
dalam kehidupan sehari-hari.
D. Lansia
1. Definisi lansia
Masa dewasa akhir atau lanjut usia adalah periode perkembangan yang
bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian. Masa ini adalah masa
pemyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali
kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial
(Santrock, 2006).
Lansia merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di
dunia. Usia tahap ini dimulai pada usia 60 tahun sampai akhir kehidupan (Hasan,
2006). Masa lansia dibagi dalam tiga kategori yaitu: orang tua muda (young old)
(65-74 tahun) , orang tua tua (old-old) (75-84 tahun) dan orang tua yang sangat
tua oldest old (85 tahun ke atas) (Papalia, 2005). Barbara Newman & Philip

Newman membagi masa lansia ke dalam 2 periode , yaitu masa dewasa akhir
(later adulthood) (usia 60 sampai 75 tahun) dan usia yang sangat tua (very old
age) (usia 75 tahun sampai meninggal dunia) (Newman & Newman , 2006).
Secara legal atau menurut peraturan pemerintah Indonesia, permulaan usia
lanjut telah ditetapkan, yaitu usia untuk pensiun (Suling & Pelenkahu, 1996) :
a. Anggota Tentara Nasional Indonesia pensiun pada usia 55 tahun
b. Pegawai Negeri Sipil pensiun pada usia 56-58 tahun
c. Profesor di perguruan tinggi pensiun pada usia 65 tahun
Tahap usia lanjut adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan.
Penurunan lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan pada usia lanjut daripada pada
usia tengah baya. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan dan sel yang mengalami kapasitas fungsional. Pada
manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang,
jantung, pembuluh darah, paru-paru, syaraf dan jaringan tubuh lainnya (Hasan,
2006).
Penuaan terbagi atas penuaan primer (primary aging) dan penuaan sekunder
(secondary aging). Pada penuaan primer tubuh melemah dan mengalami
penurunan karena proses normal yang alamiah. Pada penurunan sekunder terjadi
proses penuaan karena faktor-faktor ekstrinsik seperti lingkungan atau perilaku
(Hasan, 2006).
Usia lanjut merupakan periode terakhir dalam hidup manusia yaitu umur 60
tahun ke atas. Masa ini adalah saat untuk mensyukuri segala sesuatu yang sudah ia
capai di masa lalu. Pada saat ini keadaan fisiknya sudah jauh menurun (Irwanto
dkk, 1994).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa akhir atau
masa lanjut usia merupakan periode terakhir dalam rentang hidup manusia,
dimulai pada usia 60 tahun dan akan berakhir dengan kematian. Individu pada
usia ini diharapkan telah mencapai kematangan dan kebijaksanaan. Periode ini
juga ditandai oleh penurunan fisik.
2. Ciri-ciri lansia
Sama seperti periode sebelumnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia
lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut
menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita usia lanjut akan
melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1999).
a. Lanjut usia merupakan periode kemunduran
Kemunduran yang dialami individu lanjut usia berupa kemunduran fisik dan
mental. Kemunduran itu sebagian datang dari faktor fisik dan sebagian lagi dari
faktor psikologis. Penyebab kemunduran fisik ini merupakan suatu kemunduran
pada sel-sel tubuh, bukan karena penyakit khusus tapi karena proses menua.
Kemunduran dapat juga mempunyai penyebab psikologis, sikap tidak senang
terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan.
b. Perbedaan individual pada efek menua
Individu menjadi tua secara berbeda karena mereka mempunyai sifat bawaan
yang berbeda, sosial ekonomi dan latar pendidikan yang berbeda, dan pola hidup
yang berbeda. Perbedaan terlihat diantara individu-individu yang mempunyai

jenis kelamin yang sama, dan semakin nyata bila pria dibandingkan dengan
wanita karena menua terjadi dengan laju yang berbeda pada masing-masing jenis
kelamin. Bila perbedaan-perbedaan tersebut bertambah sesuai dengan usia,
perbedaan-perbedaan tersebut akan membuat individu bereaksi secara berbeda
terhadap situasi yang sama.
c. Usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda
Arti usia tua itu sendiri kabur dan tidak jelas dan tidak dapat dibatasi pada
anak muda, maka individu cenderung menilai tua itu dalam hal penampilan dan
kegiatan fisik. Bagi usia tua, anak-anak adalah lebih kecil dibandingkan dengan
orang dewasa dan harus dirawat, sedang orang dewasa adalah sudah besar dan
dapat merawat diri sendiri. Orangtua mempunyai rambut putih dan tidak lama lagi
berhenti dari pekerjaan sehari-hari. Banyak individu berusia lanjut melakukan
segala apa yang dapat disembunyikan atau disamarkan yang menyangkut tandatanda
penuaan fisik dengan memakai pakaian yang biasa dipakai orang muda dan
berpura-pura mempunyai tenaga muda. Inilah cara lansia untuk menutupi diri dan
membuat ilusi bahwa lansia belum berusia lanjut.
d. Berbagai stereotipe orang lanjut usia
Banyak stereotipe orang lanjut usia dan banyak kepercayaan tradisional
tentang kemampuan fisik dan mental. Stereotipe dan kepercayaan tradisional ini
timbul dari berbagai sumber, ada yang melukiskan bahwa usia lanjut sebagai usia
yang tidak menyenangkan, diberi tanda sebagai orang secara tidak menyenangkan
oleh berbagai media masa. Pendapat klise yang telah dikenal masyarakat tentang
usia lanjut adalah pria dan wanita yang keadaan fisik dan mentalnya loyo, usang
sering pikun, jalan membungkuk, dan sulit hidup bersama dengan siapa pun,
karena hari-harinya yang penuh dengan manfaat sudah lewat, sehingga perlu
dijauhkan dari orang-orang yang lebih muda.
e. Sikap sosial terhadap lanjut usia
Pendapat klise tentang usia lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
sikap sosial baik terhadap usia lanjut maupun terhadap individu berusia lanjut.
Kebanyakan pendapat klise tersebut tidak menyenangkan, sehingga sikap sosial
tampaknya cenderung menjadi tidak menyenangkan.
f. Orang lanjut usia mempunyai status kelompok-minoritas
Terdapat fakta bahwa jumlah orang usia lanjut dewasa ini bertambah banyak,
tetapi status mereka dalam kelompok-minoritas, yaitu suatu status yang dalam
beberapa hal mengecualikan lansia untuk tidak berinteraksi dengan kelompok
lainnya, dan memberi sedikit kekuasaan atau bahkan tidak memperoleh kekuasaan
apapun. Status kelompok-minioritas ini terutama terjadi sebagai akibat dari sikap
sosial yang tidak menyenangkan terhadap individu usia lanjut dan diperkuat oleh
pendapat klise yang tidak menyenangkan tentang mereka.
g. Menua membutuhkan perubahan peran
Sama seperti individu berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan
baru demikian juga bagi yang berusia lanjut. Pengaruh kebudayaan dewasa ini,
dimana efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat
dihargai, mengakibatkan orang berusia lanjut sering dianggap tidak ada gunanya
lagi. Lansia tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam
berbagai bidang tertentu, dan sikap sosial terhadap lansia tidak menyenangkan.
h. Penyesuaian yang buruk merupakan ciri-ciri lanjut usia
Sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi individu usia lanjut, nampak
dalam cara orang memperlakukan lansia, maka tidak heran lagi kalau banyak
individu usia lanjut mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan. Hal
ini cenderung diwujudkan dalam bentuk perilaku yang buruk. Lansia yang pada
masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung untuk semakin jahat
ketimbang mereka yang dalam menyesuaikan diri pada masa lalunya mudah dan
menyenangkan.
i. Keinginan menjadi muda kembali sangat kuat pada lanjut usia
Status kelompok-minioritas yang dikenakan pada individu berusia lanjut
secara alami telah membangkitkan keinginan untuk tetap muda selama mungkin
dan ingin dipermuda apabila tanda-tanda menua tampak. Berbagai cara-cara kuno,
obat yang termanjur untuk segala penyakit, zat kimia, tukang sihir dan ilmu gaib
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian timbul orang-orang yang
bisa membuat orang tetap awet muda, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis
untuk mengubah usia lanjut menjadi muda lagi.
Individu yang memasuki masa lanjut usia mengalami perubahan-perubahan
sebagai berikut (Hutapea, 2005) :
a. Perubahan fisik
Perubahan fisik yang terjadi sewaktu memasuki usia tua antara lain :
1) Perubahan pada sistem kekebalan atau immunologi, dimana tubuh menjadi
rentan terhadap penyakit dan alergi.
2) Konsumsi energik turun secara nyata diikuti dengan menurunnya jumlah
energi yang dikeluarkan tubuh atau energy expenditure.
3) Air dalam tubuh turun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel mati
yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif.
4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan
mencerna makanan serta penyerapannya menjadi lamban dan kurang
efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi (susah
ke belakang).
5) Perubahan pada sistem metabolik, yang menyebabkan gangguan
metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun. Sekresi insulin
juga menurun karena timbulnya lemak.
6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat,
kepekaan bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang,
pendengaran berkurang, reaksi menjadi lambat, fungsi mental menurun
dan ingatan visual berkurang.
7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas
paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat mengakibatkan
munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat.
8) Kehilangan elastisitas dan fleksibilitas persendian, tulang mulai keropos.
b. Perubahan psikososial
Perubahan psikososial menyebabkan rasa tidak aman, takut, merasa penyakit
selalu mengancam, sering bingung, panik dan depresif. Hal itu disebabkan antara
lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi. Ketergantungan sosial
finansial pada waktu pensiun membawa serta kehilangan rasa bangga, hubungan
sosial, kewibawaan dan sebagainya.
Rasa kesepian bisa muncul karena semua anak telah meninggalkan rumah dan
makin sedikitnya teman akrab yang sebaya. Kecemasan dan mudah marah
merupakan gejala yang umum yang dapat menyebabkan keluhan susah tidur atau
tidur tidak tenang.
c. Perubahan emosi dan kepribadian
Setiap ada kesempatan, lansia selalu mengadakan introspeksi diri. Terjadi
proses pematangan dan bahkan tidak jarang terjadi pemeranan gender yang
terbalik. Para wanita lansia bisa menjadi lebih tegar dibandingkan lansia pria,
apalagi dalam memperjuangkan hak mereka. Sebaliknya, pada saat lansia, banyak
pria tidak segan-segan memerankan peran yang sering distreotipekan sebagai
pekerjaan wanita, seperti mengasuh cucu, menyiapkan sarapan, membersihkan
rumah dan sebagainya. Persepsi tentang kondisi kesehatan berpengaruh pada
kehidupan psikososial, dalam hal memilih bidang kegiatan yang sesuai dan cara
menghadapi persoalan hidup.
Menurut Mubin dan Cahyadi (2006), fase lanjut usia ditandai dengan
perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. Perubahan yang bersifat fisik :
1) Kekuatan fisik & motorik yang sangat kurang, terkadang ada sebagian
fungsi organ tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi.
2) Kesehatan sangat menurun sehingga sering sakit-sakitan.
b. Perubahan yang bersifat psikis :
1) Munculnya rasa kesepian, yang mungkin disebabkan karena putra atau
putrinya sudah besar dan berkeluarga, sehingga tidak tinggal serumah lagi.
Lansia biasanya suka memelihara cucu-cucu untuk mengatasi rasa
kesepian tersebut.
2) Berkurangnya kontak sosial dan tugas-tugas sosial akibat kondisi fisik
yang menurun.
3) Lekas merasa jenuh dan kadang-kadang menjadi cerewet.
4) Mengalami penurunan dalam hal ingatan, penglihatan atau pendengaran
dan kadang-kadang dapat menjadi pikun.
5) Suka bercerita atau bernostalgia tentang kehebatannya di masa lampau.
6) Kehidupan keagamaan sangat baik, terutama dalam hal beribadah dan
beramal, karena dari segi usia rata-rata lansia sudah mendekati kematian
yang pasti datang menjemputnya.
Lansia atau Masa dewasa akhir juga ditandai dengan berbagai tantangan.
Tantangan ini termasuk penyesuaian pada masa pensiun, menyesuaikan diri
dengan perubahan dalam jaringan dukungan sosial, mengatasi masalah kesehatan
dan menghadapi kematian (Wayne & Llyod, 2006). Selain menghadapi kematian
diri sendiri, lansia juga kemungkinan menghadapi kematian pasangan, saudara
kandung, teman dan individu lain yang penting dalam hidupnya (Corr, Nabe &
Corr, 2003).
Menurut Erikson, tantangan dalam tahap akhir perkembangan manusia adalah
mencapai integritas ego. Individu yang mencapai integritas (integrity) mampu
untuk melihat masa lalu dengan perasaan puas, menemukan makna dan tujuan
hidup, sebaliknya keputusasaan (despair) adalah kecenderungan untuk tinggal
dalam kesalahan masa lalu, meratapi pilihan yang tidak diambil dan merenung
tentang kematian yang semakin dekat dengan kepahitan. Erikson menekankan
bahwa lebih baik menghadapi masa depan dengan penerimaan daripada
tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan. Hasil yang diharapkan pada usia ini
adalah pemenuhan dan kepuasan hidup dan kesediaan untuk menghadapi
kematian (Wayne & Llyod, 2006).
Tujuan tugas perkembangan lansia adalah menyelesaikan konflik pada masa
lalu & meraih makna hidup yang baru, baik sebagai penerimaan akan masa lalu
lansia maupun sebagai persiapan untuk menghadapi kematian. Jika proses ini
berhasil, hasilnya adalah integritas (Integrity) dan kebijaksanaan (Wisdom)
(Erickson & Erickson dalam Corr, Nabe & Corr, 2003). Jika tidak berhasil, maka
lansia akan merasa tidak puas dengan hal yang telah dilakukan dalam hidupnya
(Corr, Nabe & Corr, 2003).
Erickson memandang bahwa lansia mencoba untuk menemukan makna dalam
hidup yang akan membantu lansia untuk menghadapi kematian yang tidak dapat
dielakkan. Ahli gerontologi Robert Butler mengatakan bahwa lansia terlibat dalam
proses yang disebut meninjau kehidupan atau life review dimana lansia
merefleksikan konflik yang tidak dapat diselesaikan pada masa lalu untuk
mendapatkan makna bagi diri sendiri, menemukan makna hidup yang baru dan
sesuai serta mempersiapkan diri untuk kematian (Sigelman & Rider, 2003).
Integritas mengarah pada kemampuan untuk melihat kembali kehidupan
seseorang dan melihatnya sebagai hal yang memuaskan dan bermakna.
Kemampuan melihat hidup sebagai sesuatu yang memuaskan dan bermakna
mengarah pada penerimaan kematian. Individu yang putus asa (despair)
memandang hidup sebagai hal yang tidak memuaskan, mengalami penyesalan
yang besar, menghindari perubahan serta mengalami ketakutan akan kematian
(Lemme, 1995). Integritas sebagaimana yang digunkan dalam teori Erickson
merupakan kemampuan untuk menerima kenyataan hidup dan menghadapi
kematian tanpa rasa takut (Newman & Newman, 2006).
3. Tugas perkembangan lansia
Menurut Robert Peck, tahap akhir dari perkembangan Erickson yaitu integritas
versus keputusasaan dapat digambarkan dengan tiga tugas-tugas perkembangan
atau isu-isu yang dihadapi pria dan wanita saat mereka tua, yaitu :
a. Diferensiasi versus kesibukan dengan peran (Differentiation versus
preoccupation)
Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu dewasa
lanjut harus mendefinisikan nilai diri dalam istilah yang berbeda dari
peran-peran kerja. Peck percaya individu dewasa lanjut perlu mengejar
serangkaian aktivitas yang bernilai sehingga dapat mengisi waktu yang
sebelumnya diisi dengan pekerjaan dan mengasuh anak.
b. Kekuatiran pada tubuh versus kesibukan pada tubuh (Body transcendence
versus body preoccupation)
Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu dewasa lanjut
harus mengatasi penurunan kesehatan fisik. Seiring dengan proses menua,
individu dewasa lanjut mungkin menderita penyakit kronis dan tentu saja
penurunan kapasitas fisik. Bagi pria dan wanita yang identitasnya berkisar
di sekitar kesehatan fisik, penurunan kesehatan dan kerusakan kapasitas
fisik akan menghadirkan beberapa ancaman bagi identitas diri dan
perasaan akan kepuasan hidup. Namun, beberapa individu lansia
menikmati hidup melalui hubungan-hubungan antar manusia yang
memberi kesempatan untuk keluar dari kesibukan dengan tubuhnya.
c. Melampaui ego versus kesibukan dengan ego (Ego transcendence versus
ego preoccupation)
Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu lanjut usia
harus menyadari bahwa saat kematian tidak dapat dihindari dan mungkin
waktunya tidak terlalu lama, merasa tentram dengan dirinya dengan
menyadari individu lansia telah memberikan sumbangan untuk masa
depan melalui pengasuhan yang kompeten terhadap anak-anak atau
melalui pekerjaan dan ide-ide yang dimiliki oleh lansia.
E. Religiusitas pada Masa Lansia
Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa biasanya merupakan gejala
menjadi tua yang amat wajar. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa merupakan benteng pertahanan mental yang amat ampuh dalam
melindungi diri dari berbagai ancaman masa tua (Munandar, 2001).
Bagi lansia, peribadatan di rumah ibadah merupakan sumber dukungan
yang dapat diterima, tersedia dan tidak mengeluarkan banyak biaya. Sosialisasi
yang disediakan oleh organisasi religius dapat membantu mencegah isolasi dan
kesepian (Koenig & Larson dalam Santrock, 2004). Pada banyak komunitas di
dunia, individu yang berusia lanjut merupakan pemimpin spiritual dalam gereja
dan komunitas. Agama merupakan hal yang penting dalam kehidupan para lansia.
Lansia sering berdoa, membaca materi-materi keagamaan dan mendengarkan
program-program keagamaan (Levin, Taylor & Chatten dalam Santrock, 2004).
Lansia wanita memiliki ketertarikan terhadap agama yang lebih besar
dibandingkan lansia pria (Santrock, 2004). Bukti dalam sebuah literatur juga
menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam hal
kehadiran di gereja, lebih patuh pada perintah agama dan lebih sering berbicara
kepada pendeta dibandingkan pria (Chatters & Taylor, Cornwall, Greeley, Levin,
dalam Smith, Fabricatori & Peyrot, 1999).
Suatu penelitian yang berhubungan dengan sikap terhadap kegiatan
keagamaan dan agama pada usia tua membuktikan bahwa ada fakta-fakta tentang
meningkatnya minat terhadap agama sejalan dengan bertambahnya usia (Hurlock,
1999). Banyak individu yang percaya bahwa agama memainkan peran sentral
yang semakin meningkat dalam kehidupan seseorang yang mulai bertambah tua
(Sigelman & Rider, 2003).
F. Pengaruh Religiusitas Terhadap Sikap terhadap Kematian pada Lansia
Kematian sering kali dianggap merupakan hal yang menakutkan (Hasan,
2006). Perasaan takut untuk mati merupakan hal yang normal bagi kebanyakan
orang (Cavanaugh & Kail, 2000). Individu yang akan menghadapi kematian
biasanya terlihat menghadapi penderitaan. Bila kematian terjadi, kehidupan
individu di atas dunia ini terputus karena individu yang meninggal tidak dapat
kembali lagi ke dunia, bersama-sama dengan keluarga, kerabat dan teman yang
dicintai (Hasan, 2006).
Walaupun kematian dipandang sebagai hal yang paling buruk, namun menurut
Erickson kematian merupakan peristiwa alamiah dan dapat diterima setelah
memiliki kehidupan yang utuh. Kematian merupakan saat untuk bertemu Tuhan,
untuk bersatu kembali dengan orang-orang yang dikasihi yang telah pergi
sebelumnya (Ross & Pollio, dalam Belsky, 1997).
Pemikiran akan kematian meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal
ini dapat dipahami sebab lansia lebih cenderung mengalami kematian temanteman
dan individu yang dicintai serta cenderung lebih dekat dengan kematian
diri sendiri (Lemme, 1995). Lansia secara umum distereotipekan sebagai individu
yang menunggu kematian tanpa rasa takut (Barrow, 1996). Lansia memiliki
sedikit rasa takut terhadap kematian daripada individu pada usia dewasa awal
(Lefrancois, 1993). Alasan lansia lebih tidak takut terhadap kematian daripada
individu dewasa awal sebagaimana yang dinyatakan oleh Kalish (dalam Barrow,
1996) adalah karena lansia merasa bahwa tugas-tugas penting di dunia ini telah
selesai, lansia cenderung telah mengalami penyakit kronis atau merasakan sakit
pada tubuh dan lansia telah banyak kehilangan teman-teman dan kerabat.
Kehilangan ini membuat lansia lebih mampu merasakan realitas kematian.
Lansia lebih banyak berpikir tentang kematian dan lebih banyak
membicarakan kematian dibandingkan dengan individu pada usia dewasa madya
atau dewasa muda. Lansia juga mengalami kematian secara lebih langsung seiring
dengan sakit atau meninggalnya teman-teman dan keluarga yang dimiliki. Lansia
didorong untuk lebih sering menguji arti kehidupan dan kematian dibandingkan
dengan individu dewasa muda (Santrock, 2006).
Ketakutan seseorang akan kematian berhubungan dengan variabel lain selain
variabel usia. Salah satu faktor yang signifikan adalah keyakinan agama. Individu
yang tingkat religiusitasnya tinggi cenderung mengalami sedikit rasa takut akan
kematian. Individu yang tidak religius mengalami tingkat kecemasan akan
kematian pada level sedang, sedangkan individu religius yang tidak
mempraktikkan kepercayaan mereka secara konsisten mengalami ketakutan akan
kematian dengan tingkat yang paling besar (Nelson & Nelson dalam Lahey,
2003). Ketakutan akan kematian berhubungan dengan rendahnya tingkat
religiusitas, kurangnya dukungan sosial dan pusat kendali eksternal (external
locus of control) (Newman & Newman, 2006).
Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada individu
lansia, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga rasa
kebermaknaan dalam hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan di
masa tua (Koenig & Larson, dalam Santrock 1999). Banyak studi menunjukkan
bahwa individu yang religius memiliki tingkat ketakutan yang sedikit atas
kematian diri sendiri dan orang yang dikasihi. Individu yang religius lebih
cenderung mendeskripsikan kematian dengan cara yang positif (Belsky, 1997).
G.Hipotesa Penelitian
Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh positif
religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia

================

MOTIVASI BERAGAMA

(Dalam kajian Psikologi Dakwah)

1. PENDAHULUAN

Manusia ialah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan yang

paling sempurna dari pada makhluk ciptaan yang lain karena diibekali oleh akal pikiran

dan hawa nafsu secara sekaligus, manusia juga diberikan amanat oleh Allah SWT untuk

menjadi pemimpin dan perawat bumi tempat tinggal manusia.

Manusia juga dilahirkan dalam keadaan fitrah dan memiliki insting untuk

beragama, namun dikemudian orang tuanyalah yang menjadikan manusia tersebut

majusi, nasrani atau pun islam, hal ini juga sesuai dengan hadits yang nabi sampaikan.

Karena telah dibuktikan bahwa manusia memang dalam dunia ini dan kehidupan sehari-

hari memang membutuhkan agama dan membutuhkn tempat bersandar, dalam hal ini

ialah tuhan.

Motivasi yang terdapat dalam diri manusia memiliki berbagai macam jenis dan

unsur-unsur yang dapat mempengaruhinya, terlebih lagi motivasi dalam beragama

seseorang dan bagaimana memaknai agama sebagai suatu kebutuhan manusia itu sendiri.
Atas dasar pendahuluan diatas dalam makalah ini pemakalah akan mencoba

menyajikan tema tentang motivasi beragama dalam kajian psikologi agama berdasarkan

literature-literatur yang kami dapatkan.

2. PEMBAHASAN

A. Pengertian

Motivasi merupakan dorongan dalam diri seseorang dalam usahanya untuk


memenuhi keinginan, maksud dan tujuan.

Agama berarti segenap kepercayaan kepada tuhan atau dewa serta dengan
ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.

Motivasi atau dorongan beragama ialah merupakan dorongan psikis yang


mempunyai landasan ilmiah dalam watak kejadian manusia. Dalam relung jiwanya
manusia merasakan adanya dorongan untuk mencari dan memikirkan sang
penciptanya dan pencipta alam semesta, dorongan untuk menyembahnya, meminta
pertolongan kepadanya setiap kali ia ditimpa malapetaka dan bencana.

B. Macam-macam Motivasi

Secara fitrah motivasi dalam diri manusia dapat dibagi menjadi tiga macam,
yaitu :

1. MOTIVASI SPIRITUAL, hal ini terdiri dari keinginan manusia untuk


terhindar dari sifat-sifat buruk yang mampu merusak keimanan :

I. Motivasi memelihara diri dari kemusyrikan

II. Motivasi memelihara diri dari kekufuran

III. Motivasi memelihara diri dari kemunafikan


2. MOTIVASI FISIOLOGIS (yang bersifat jasmaniah) yang terdiri dari:

I. Motivasi pemeliharaan diri

II. Motivasi kepada kelangsungan jenis (berkeluarga dan berketurunan)

3. MOTIVASI PSIKOLOGIS yang terdiri dari :

I. Motivasi memiliki

II. Motivasi Agresif (dalam kajian sifat, kata-kata maupun fisik)

C. Ayat-ayat Al-Quran tentang motivasi beragama

QS.Al-Ara’af :172 :

‫علَى أَ ْنفُ ِس ِه ْم‬ َ ‫ور ِه ْم ذُ ِ ِّريَّتَ ُه ْم َوأَ ْش َهدَ ُه ْم‬ ُ ‫َو ِإ ْذ أَ َخذَ َرب َُّك ِم ْن بَنِي آدَ َم ِم ْن‬
ِ ‫ظ ُه‬
‫ع ْن َهذَا‬ َ ‫ش ِه ْدنَا أَ ْن تَقُولُوا يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة ِإنَّا ُكنَّا‬ َ ‫أَلَ ْستُ بِ َر ِبِّ ُك ْم قَالُوا بَلَى‬
َ‫غَافِ ِلين‬

172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”,

QS. Ar-Rum : 30

‫علَ ْي َها ال تَ ْبدِي َل‬


َ ‫اس‬َ َّ‫ط َر الن‬ َ َ‫َّللاِ الَّتِي ف‬
َّ َ‫ط َرة‬ ْ ِ‫ِّين َحنِيفًا ف‬ ِ ‫فَأَقِ ْم َو ْج َه َك ِلل ِد‬
َ‫اس ال يَ ْعلَ ُمون‬ِ َّ‫ِّين ْالقَيِِّ ُم َولَ ِك َّن أ َ ْكث َ َر الن‬
ُ ‫َّللاِ ذَ ِل َك ال ِد‬
َّ ‫ق‬ ِ ‫ِلخ َْل‬
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui[1168],[1168] fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan
Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu
hanyalah lantara pengaruh lingkungan.

QS. Adz-Dzariyaat: 56 :

‫ُون‬ َ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َواإل ْن‬


ِ ‫س ِإال ِل َي ْعبُد‬
56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.

D. Fungsi agama bagi manusia

1) Agama sebagai petunjuk bagi manusia

Kebutuhan manusia terhadap hukum yang bernilai absolut hanya dapat


dipenuhi bila ia datang dari yang absolut juga, yaitu hukum yang datang dari
tuhan yang maha esa. Yang kemudian disebut agama. Jadi tampak jelas bahwa
agama merupakan kebutuhan yang primer bagi manusia itu sendiri dan demi
terselenggaranya ketertertiban dan peradapan manusia sebagai suatu
kelompok ummat. Maka agama dapat dilihat sebagai hidayah yang diterima
manusia dari tuhan, sebab dengan jalan hidayah itulah manusia dapat
menemukan nilai-nilai yang dibutuhkan secara fitrawi sebagai sarana dan
petunjuk dalam mewujudkan ketertiban dan mengembangkan peradapan
dibumi ini.

2) Agama sebagai motivasi perbuatan moral


Iman adalah landasan dan motivasi bagi manusia, ia tidak sekedar
mempercayai hukum-hukum tuhan semata, tetapi juga mengamalkan dalam
kehidupan yang nyata, kedudukan iman sebagai motivasi perbuatan moral
yakni perbuatan yang sesuai dengan tuntunan hukum tuhan adalah dengan
melihat kedudukan iman yang berada dilubuk hati manusia.

3) Agama dan kesehatan mental

Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan


manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-
faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan
masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali
dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena
manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk
tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor
intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun
hati nurani (conscience of man).

Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia


diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada
manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama
tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan

D. Tingkatan motivasi

1. Motivasi Hewani, ialah motivasi memebuhi kebutuhan hidup tanpa


memperhatikan keadan dari suatu yang diperolehnyadan cara
memanfaatkannya, seperti ketika ingin menghilangkan rasa lapar dan haus Ia
tidak peduli apakah yang dimakan halal atau haram.

2. Motivasi Insani, ialah motivasi yang terdapat didalam diri manusia yang
memiliki akal yang sehat, hati yang bersih, dan indrawi yang tajam, dalam
merespon motivasi atau rangsangan selalu menggunakan hati, indrawi dan
akal sehat.

3. Motivasi Rabbani, ialah dorongan jiwa yang terdapat dalam diri manusia yang
telah mencapai tingkat kesempurnaan diri melalui ketaatannya yang sangat
sempurna dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT,
motivasi ini adalah dorongan jiwa yang dianugrahkan oleh Allah kepada para
nabi, rasul, auliya, sebagai ahli waris dari para nabi-nabi terdahulu.

3. PENUTUP

Motivasi atau dorongan beragama ialah merupakan dorongan psikis yang

mempunyai landasan ilmiah dalam watak kejadian manusia. Dalam relung jiwanya

manusia merasakan adanya dorongan untuk mencari dan memikirkan sang penciptanya

dan pencipta alam semesta, dorongan untuk menyembahnya, meminta pertolongan

kepadanya setiap kali ia ditimpa malapetaka dan bencana.

Macam-macam motivasi ada tiga yaitu : motivasi spiritual yang terdiri dari

(motivasi memelihara diri dari kemusyrikan, kekufuran dan kemunafikan), motivasi

fisiologis yang terdiri dari (motivasi pemeliharaan diri dan motivasi kepada

kelangsungan jenis) dan motivasi psikologis yang terdiri dari (motivasi memiliki,

motivasi agresif).

Agama terhadap manusia mempunyai tiga fungsi penting yakni Agama sebagai

petunjuk bagi manusia, Agama sebagai motivasi perbuatan moral, Agama dan kesehatan

mental, sedangkan tingkatan motivasi itu sendiri ada tiga yaitu motivasi hewani, motivasi

insani dan motivasi rabbani.


Pemakalah menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah

terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan

saran yang membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap

kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak

lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih

kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah

Daftar pustaka

Siaksoft, Pengertian Motivasi, www.siaksoft.com, diakses tanggal 5


September 2008

WJS.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta Balai


Pustaka, 1985

Faizah, Lalu muhsin effendi, Psikologi Dakwah, Jakarta: Prenada


Media, 2006

Hamdani bakran Ad-Dzakiy, Psikologi Kenabian, Yogyakarta, Pustaka


Al-Quran, 2005

Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah, Yogyakarta , Teras, 2006

Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007

Siaksoft, Pengertian Motivasi, www.siaksoft.com, diakses tanggal 5 September 2008

WJS.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 18
Faizah, Lalu muhsin effendi, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 124

Hamdani bakran Ad-Dzakiy, Psikologi Kenabian,(Yogyakarta: Pustaka Al-Quran, 2005),


hlm.358-360

Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah, (Yogyakarta : Teras, 2006), hlm.30-45

Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 159

Hamdani bakran Ad-Dzakiy, OpCit……, hlm. 415

================

Kamis, 11 November 2010


MOTIVASI BERAGAMA

1. Pengertian Motivasi
Kata motivasi berasal dari kata "motion" yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Dalam
perbuatan manusia motivasi disebut juga dengan perbuatan atau tingkah laku. Dalam psikologi "motif"
diartikan juga sebagai rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga untuk terwujudnya tingkah laku.
Motivasi adalah energi dasar yang menjadikan seseorang melakukan sesuatu. Dalam beragama manusia
juga memiliki motivasi tertentu. Motivasi beragama selalu juga diartikan sebagai sesuatu yang
mendorong orang untuk beragama.

2. Macam-Macam Motivasi Beragama


Menurut Psikologi Agama, motivasi beragama bukanlah motivasi yang berdiri sendiri seperti motivasi
makan, minum, dan sejenisnya. Motivasi beragama adalah bagian dari motivasi lain seperti motivasi
akan rasa aman, motivasi dicintai, dan motivasi pernyataan diri dan sejenisnya.
Menurut Psikologi Agama ada 4 macam motivasi beragama pada manusia yaitu:
2.1. Motivasi untuk Mengatasi Rasa Frustrasi
Pandangan ini berasal dari Frued yang memandang agama merupakan jawaban manusia terhadap
frustrasi yang dialaminya dalam berbagai bidang kehidupannya. Manusia bertindak religius karena dia
mengalami frustrasi dan untuk mengatasi frustrasi tersebut. Penyebab frustrasi dalam kehidupan ada 4
macam:
a. frustrasi karena alam
b. frustrasi karena sosial
c. frustrasi karena moral
d. frustrasi karena maut
Bukan hanya Frued yang berpendapat bahwa penyebab manusia beragama adalah frustrasi, Jung juga
berpendapat hampir senada dengan Frued. Jung menyatakan bahwa agama menjadi sarana yang ampuh
dan obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit neurosis pada manusia.
Pandangan ini muncul disebabkan pengalaman keduanya sebagai psikiater. Orang-orang yang
mengalami gangguan jiwa yang datang ke klinik mereka yang dijadikan objek penelitian. Bagi pasien
tersebut agama ternyata menjadi salah satu terapi yang ampuh dalam penyembuhan penyakitnya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa frustrasi dapat meningkatkan aktivitas-aktivitas keagamaan pada
seseorang. Namun banyak juga frustrasi yang menyebabbkan seseorang jauh dari agama. Jika demikian
kelompok tertentu mungkin akan lebih giat beragama ketika frustrasi, sementara kelompok lain akan
semakin jauh dari agama pada saat mengalami frustrasi.
Oleh sebab itu terlalu sederhana dan apriori jika disimpulkan bahwa frustrasi merupakan penyebab
seseorang beragama. Sebab dua kemungkinan menjauh dan mendekat terhadap ajaran agama dapat
disebabkan frustrasi.
2.2. Motivasi Agama Sebagai Sarana untuk Menjaga Kesusilaan dan Tata Tertib Masyarakat
Selalu jika ditanyakan kepada manusia mengapa mereka mendidik anak-anaknya beragama, mereka
umumnya menjawab: "karena dengan agama mereka akan menjadi orang yang baik." Pertanyaan
senada pernah ditanyakan kepada para orangtua di Prancis dalam sebuah penelitian. Responden yang
berusia antara 18-30 tahun terdiri dari orang-orang yang taat beragama (73%), percaya kepada
ketuhanan Kristus (62%), sangat sering berdoa (10%), sering berdoa (19%) tersebut memberikan
jawaban sebagai berikut:
• 30% mendidik anaknya dengan ajaran agama karena tradisi.
• 28% pendidikan agama akan menanamkan moral pada anak
• 30% karena pendidikan agama akan membantu anak untuk hidup lebih baik dan memberikan
pengangan dan menarik perhatian anak-anak terhadap nilai-nilai kemanusian dan sosial, dan
• 12% didorong keyakinan agama yaitu untuk menjadikan mereka beriman dan demi keselamatan jiwa
mereka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orangtua di Perancis mendidik anak mereka dengan ajaran
agama cenderung pada alasan sosial dan tradisi daripada karena alasan agama. Tentu saja pengertian
agama yang fungsional ini tidak jelek. Namun jika menyimpulkan bahwa alasan beragama untuk etika
sosial terlalu sederhana.
Memandang agama sebagai alat pengaman sosial mengundang bahaya. Pertama, penggabungan nilai-
nilai agama dan moral dapat membuat agama kehilangan substansinya masing-masing, padahal agama
berlalu universal, sedangkan moral selalu berlaku lokal. Kedua, bila agama dipakai sebagai sarana untuk
menjamin lancarnya kehidupan sosial moral, agama dapat disalahgunakan penguasa untuk
mempertahankan kekuasaannya. Jadi, secara fungsional dapat diakui bahwa agama dapat menjaga
tatanan moral, tetapi agama tidak saja bersifat fungsional tetapi agama adalah kebutuhan alami
manusia, meskipun tanpa alasan sosial.
2.3. Motivasi untuk Memuaskan Intelek yang Ingin Tahu
Ahli Psikologi Agama yang berpendapat bahwa motivasi beragama untuk memuaskan intelektualnya
mengemukakan alasan sebagai berikut:
Pertama, agama dapat menyajikan pengetahuan rahasia yang menyelamatkan, sebagaimana aliran
'gnosis,' sebuah aliran keagamaan yang memasuki alam dunia Yunani-Romawi pada abad-abad pertama
tarikh masehi. Aliran ini membebaskan para penganutnya dan kejasmanian yang dianggap menghambat
dan menyiksa manusia serta menghantarkannya kepada keabadian. Dalam dunia modern dari sudut
aliran psikologi aliran ini dipandang sama dengan "Christin Science" bahkan mungkin dapat digolongkan
ke dalam aliran kebatinan.
Kedua, dengan menyajikan moral, maka agama dapat memuaskan intelek manusia yang ingin tahu apa
dan bagaimana yang dilakukannya dalam hidupnya agar mencapai tujuan hidupnya. Ketiga, agama
menyajikan pengetahuan tentang arah dan tujuan hidupnya. Secara psikologis manusia memerlukan
keterarahan untuk hidupnya. Bila hidup tidak berarah, tiada asal dan tujuan, maka kacau balaulah
kehidupan dan cenderung tidak berarti.
2.4. Motivasi Mendapatkan Rasa Aman
Semua manusia memiliki rasa takut yang menyebabkan mereka merasa tidak aman. Ketakutan dapat
dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, ketakutan yang berobjek, seperti manusia takut kepada
binatang, manusia, dan lain-lain. Kedua, ketakutan yang tidak berobjek, seperti takut begitu saja, cemas
hati, gelisah, dan sejenisnya. Dalam kondisi seperti itu seseorang merasa takut, tetapi tidak tahu apa
yang ditakutinya. Kierkegaard mengatakan justru yang membedakan manusia dari hewan adalah
kemampuannya untuk cemas hati (ketakutan tanpa objek). Sementara Heidegger berpendapat,
perasaan takut yang mendalam merupakan sumber filsafat, sejauh perasaan tersebut membuat
seseorang mengalami "jurang ketiadaan" yang menganga bagi orang yang menyadari kerapuhan serta
kefanaan dirinya.
Dalam berbagai penyelidikan ketakutan tanpa objek seperti ketakutan yang terselubung di balik rasa
malu, rasa bersalah, dan takut mati menyebabkan seseorang mencari suatu kekuatan sebagai tempat
berlindung. Oleh sebab itu Psikologi Agama memandang ketakutan tanpa objek ini dapat mendorong
seseorang memilih agama sebagai tempat berlindung sebagaimana hal dengan frustrasi. Para ahli
Psikologi Agama menyatakan: "Agama merupakan pengungsian bagi manusia dari ketakutannya."
Memang terlalu sederhana bila mengatakan bahwa ketakutan menyebabkan seseorang beragama,
namun harus diakui dalam kondisi takut seseorang mungkin mengambil salah satu dari dua sikap untuk
mengatasi ketakutannya. Pertama, mencari perlindungan, pada kondisi ini orang mungkin mencarinya di
dalam ajaran agama. Kedua, berusaha menekan rasa takut dengan melakukan kompensasi, sublimasi,
dan sejenisnya. Kompensasi dapat berupa kegiatan hura-hura, rekreasi, atau kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat lainnya. Sublimasi dapat berupa memindahkan ketakutan kepada kegiatan lain seperti
melakukan hal-hal yang bermanfaat atau mengikuti kegiatan-kegiatan yang disenangi, bahkan mungkin
mengikuti kegiatan keagamaan. Bagaimanapun ketakutan menurut Nico adalah gejala, simpton, sinyal,
dan peringatan itu memperingatkan manusia bahwa dasar-dasar eksistensinya ada di luar kuasa
manusia sendiri (Nico, 1992: 112).
Keempat motivasi beragama di atas memang belum seluruhnya menjawab pertanyaan apa sebenarnya
motivasi manusia beragama, namun perdebatan psikologi sebagai ilmu empiris baru bisa menjelaskan
sebatas itu. Persoalan beragama itu menjadi bagian rahmat dan hidayah Tuhan, tidak bisa dikaji
psikologi, karena masalah tersebut berada di luar wilayah pengetahuan empiris.
================

B. Pengertian Motivasi Beragama


Menurut M. Utsman Najati, motivasi adalah kekuatan penggerak yangmembangkitkan aktivitas pada makhluk hidup, dan
menimbulkantingkah laku serta mengarahkan menuju tujuan tertentu.(AbdurrahmanSaleh dan Muhib Abul
Wahab : 132) Sedangkan menurut Mc. Donaldmotivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang
ditandaidengan munculnya ³feeling´ dan didahului dengan tanggapan terhadapadanya tujuan. (Sardiman AM :
72) Adapun yang dimaksud dengan motivasi beragama adalah akumulasidaya dan kekuatan yang ada pada diri
seseorang untuk mendorong,merangsang, menggerakkan, membangkitkan, dan memberi harapandalam
melaksanakan seperangkat aturan dan hukum-hukum normatif

yang mengatur dan menata kehidupan manusia dalam rangkamentaati aturan Tuhan1. Macam-macam
MotivasiMotivasi dilihat dari dasar pembentukannya meliputi motif-motif bawaan atau biologis seperti makan,
minum, dan bekerja, sertamotif-motif yang timbul karena dipelajari seperti dorongan untukbelajar suatu cabang
ilmu pengetahuan dan dorongan untukmengejar sesuatu di dalam masyarakat. (Sardiman AM : 84).Sedangkan
menurut Abraham Maslow motivasi hidup manusiatergantung pada kebutuhan-kebutuhanya yang
dikelompokkanmenjadi dua kategori, yakni kebutuhan taraf dasar (basic needs)yang meliputi kebutuhan fisik,
rasa aman dan terjamin, cinta danikut memiliki (sosial), dan harga diri; serta metakebutuhan-metakebutuhan
(meta needs) meliputi apa saja yang terkandungdalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan,
keindahan,keteraturan, kesatuan, dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhanyang dapat mengakibatkan kepuasan
hidup adalah pemenuhanmete-kebutuhan sebab pemenuhan kebutuhan ini untukpertumbuhan ynag timbulnya
dari luar diri (eksternal). Sedangkanpemenuhan kebutuhan dasar hanya diakibatkan kekurangan yangbersal dari
dalam diri (internal). (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir :245 - 246).Selain dari tokoh di atas, beberapa psikolog
ada yang membagimotivasi menjadi dua, yaitu :a. Motivasi intrinsik, ialah motivasi yang berasal dari diri
seseorangitu sendiri tanpa dirangsang dari luar.b. Motivasi ektrinsik, ialah motivasi yang datang karena
adanyaperangsangan dari luar. (Abdurrahman Saleh dan Muhib AbulWahab : 139 -140)

1. Motif Orang BeragamaPada diri manusia terdapat keinginan serta kebutuhan yangbersifat universal.
Keinginan dan kebutuhan tersebut merupakankebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan
dicintaiTuhan. Untuk memenuhi kebutuhan yang demikian, makaseseorang akan beragama dan melaksanakan
ajaran yang diyakinikebenarannya tersebut.Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi
menjadiempat motivasi, yaitu:a. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasifrustasi yang ada
dalam kehidupan, baik frustasi karenakesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasisosial, frustasi
moral maupun frustasi karena kematian.b. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untukmenjaga
kesusilaan dan tata tertib masyarakat.c. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untukmemuaskan
rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahumanusia.d. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama
sebagaisarana untuk mengatasi ketakutan.Dalam Al-qur¶an ditemukan beberapa statemen yangmenunjukkan
dorongan-dorongan yang mempengaruhi manusia baikberbentuk instingtif (naluriah) maupun dorongan
terhadap hal-halyang memberikan kenikmatan. Dorongan instingtif berdasar padakenyataan bahwa manusia
mempunyai motif bawaan (fitrah) yangmenjadi pendorong untuk melakukan berbagai macam bentukperbuatan
tanpa disertai dengan peran akal, sehingga terkadangmanusia tanpa disadari bersikap dan bertingkah laku untuk
menuju

pemenuhan fitrahnya. Sedangkan dorongan terhadap hal-hal yangmemberikan kenikmatan adlah seperti
kecintaan terhadap dunia dansyahwat (perempuan, anak, dan harta kekayaan).(AbdurrahmanSaleh dan Muhib
Abul Wahab : 141-142) Dorongan naluriah tersebutdiatas bisa dikatakan sebagai motivasi intrinsic, sedangkan
doronganyang berorientasi pada kenikmatan ragawi adalah motivasi ekstrinsik.B. Mengapa Orang
BeragamaMenurut A. Kamil, alasan-alasan mengapa manusia berhajatdan memerlukan agama adalah :1.
Agama menjawab sense of religionMenyingkap perasaan keberagamaan pada diri manusia, danpengakuan
terhadap perasaan ini merupakan salah satu unsur yang tetap dan natural pada jiwa manusia. Karena dalam
dirimanusia terdapat empat naluri . Keempat naluri tersebut adalah:a. Naluri Kognitif atau Kuriositas, yang
mengkondisikan manusiasemenjak awal penciptaan untuk mencari dan menelusurimasalah-masalah yang kabur
dan buram tentang siapa yangmenciptakan alam semesta ini. Dan perasaan atau naluri iniyang memotivasi para
penemu dan inventor untuk menyingkaptirai yang menyelimuti alam semesta.b. Naluri Etis, yang
menumbuhkan etika dan sifat-sifat utama dantransendental pada jiwa manusia.c. Naluri Estetis, yang
memunculkan seni dan menjadi sebabberseminya berbagai cita rasa kesenian.d. Naluri Religiusitas adalah naluri
atau perasaan yang dirasakanoleh setiap orang pada awal-awal masa baligh dan sebuah jenis kecenderungan
terhadap alam metafisika.
2. Agama Menjawab KuriositasSetiap insan menemukan tiga pertanyaan asasi dalamdirinya ihwal: Aku berasal
dari mana ? Untuk keperluan apa ? Akan kemanakah aku melangkah ?Seorang Materialis akan terperangah dan
tertunduk dalammenghadapi pertanyaan-pertanyaan ontologis semacam ini,namun agama dengan lantang dan
kencang dapatmemberikan jawaban atas tiga pertanyaan tersebut. Agamamenjawab bahwa manusia dan alam
semesta merupakanmakhluk Tuhan Yang Mahakuasa dan Dialah sebagai sumber keberadaan manusia dan
semesta. Tujuan penciptaanmanusia adalah untuk mengenal dan mentaati serta sampaikepada kesempurnaan diri
dimana hasil dari semua itu dapatdituai pada kehidupan selanjutnya. Kematian dalam perspektif agama
merupakan terminal bagi kehidupan yang lain dan iatidak memandangnya sebagai akhir dari kehidupan.3.
Agama Menjawab Perkara PsikologisPara psikolog di samping membahas masalahfenomena-fenomena yang
tak terhitung yang berlaku di duniaini mereka juga mengurai tentang dimensi kejiwaan manusia.Mereka dalam
hal ini berkata, kembalinya manusia kepadaagama memiliki efek-efek yang dapat memecahkan
pelbagaipersoalan yang mendera kehidupan manusia, antara lain:a. Menciptakan pemahaman dan sikap
optimisme di antaramanusia.b. Mengkompensasi segala derita dan nestapa yang dialamimanusia.

4. Agama Mengatur Urusan SosialManusia secara natural adalah makhluk sosial (zoonpolitician). Manusia menghendaki
adanya interaksi sosial diantara sesama jenisnya sehingga ia dapat memecahkanberbagai problematika yang dihadapinya
secara gotong-royongdan saling membantu satu sama lain, serta agar dapatmenghalau berbagai rintangan dan halangan
yang merintangi jalannya untuk sampai kepada kesempurnaan. Dari sini,agama memainkan peran untuk mengatur dan
menata relasidan hubungan yang ada dan seharusnya ada di antara sesamamanusia. Yaitu, antara lain:Pertama,
menjelaskan batasan dan tugas masing-masing individu dalam interaksi sosialnya. Karena betapapunseorang individu
adalah seorang adil dan tahu akan tugasnyanamun apabila rule of game tidak ditentukan maka ia tidakakan dapat
menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.Kedua, dengan mengimplementasikan serangkaian programkerja yang
bermanfaat dan menjelaskan punish terhadap sikapegosentrik dan tidak tahu batasan setiap individuDengan peran sentral
agama ini, jaminan untukterciptanya tatanan masyarakat yang saling menghargai dantolong menolong dalam rangka
mencapai kesempurnaanmaknawi dan mengaktualkan potensi kemanusiaan yangdimiliki oleh setiap individu dalam
masyarakat dapat dicapai

III. KESIMPULAN
Dengan menjawab asumsi-asumsi dan hipotesa ataskeberagamaan manusia maka dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa manusia tidak dapat tidak beragama dalam kehidupannya. Agama yang akan
mengantarkannya mencapai kesempurnaan maknawi dan duniawi berkat aturan dan rule of game yang tegas
dijelaskan dalamsetiap ajaran agama. Melalui agama pertanyaan-pertanyaan ontologisyang menyangkut
persoalan-persoalan eksistensial dapat terjawab dengan tuntas dan komprehensif dimana orang-orang yang
kontradengan keberadaan agama dan mencoba memberangus rasa keberagamaan itu dengan menyajikan
industri dan sains. Namunmanusia karena dalam dirinya mengandung dua dimensi, ragawi danmaknawi,
kebutuhan dan dahaga maknawinya tidak akan dapat pernahdapat terpenuhi selain dengan perantara sesuatu
yang trasendental
==================
Setiap individu memiliki dorongan untuk melakukan sebuah kegiatan yang bertujuan. Dorongan-
dorongan untuk melakukan suatu kegiatan yang bertujuan ini disebut dengan motivasi. Motivasi ini
tidak terlepas dari dorongan yang berasal dari dalam maupun luar individu. Tidak jarang dorongan-
dorongan ini menjadi sebuah gerakan yang sifatnya kolektif, massif dan melibatkan banyak massa. Hal
ini terjadi di dalam sebuah komunitas yang terdiri dari individu-individu yang mempunyai kesamaan
tujuan dan alasan. Sebagai contoh adalah organisasi kemahasiswaan, organisasi keagamaan, perusahaan
dan lain sebagainya.
Munculnya motivasi tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan individu oleh karena adanya struktur
kebutuhan tertentu yang dapat bersifat intrinsik maupun ekstrinsik, secara tunggal maupun majemuk
dapat mendorong motivasi bertindak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan manusia selalu
didasarkan pada motif, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik.
Kajian mengenai motivasi telah banyak dilakukan, sebagai contoh yang dilakukan oleh para filsuf
Yunani. Filsuf-filsuf Yunani di abad ke-XIX telah menelaah mengenai motivasi bahwasannya perilaku
manusia disebabkan oleh pengaruh fisik dan spiritual. Para filsuf juga berpendapat bahwa pemikiran
merupakan sumbangan terhadap dorongan untuk manusia bertindak, dimana pikiran adalah motivasi
primer bagi manusia (Rosana, 2000).

==============

También podría gustarte