Está en la página 1de 4

Dewasa ini ruang publik tanah air banyak diisi oleh riuh intrik kontestasi politik yang

dipertontonkan, khususnya oleh kedua belah pihak yang akan bertarung pada
Pilpres 2019. Masyarakat melihat pertunjukan “Sirkus Politik” yang dimainkan
dengan adu sensasi, bukan substansi ataupun gagasan dan visi misi.

Mulai dari perang logika “Winter is Coming” dan “Make Indonesia Great Again”
sampai “politik sontoloyo, tampang boyolali” dan yang baru-baru ini yaitu politik
ketakutan atau “politik genderuwo”.

Hal tersebut menuai banyak kritik dari masyarakat yang notabene menantikan
gagasan-gagasan atau ide-ide dari calon-calon pemimpin bangsa tersebut, dan juga
membuat masyarakat dilema dalam menentukan pilihannya.

Faktanya, Masyarakat awam tidak mengerti dan tidak menginginkan masalah


sensasi yang ada, yang mereka inginkan adalah seorang pemimpin dengan
gagasan yang nyata tanpa rekayasa dalam membangun impian dan masa depan
mereka.

Masyarakat tidak ingin lagi adanya seorang pemimpin yang hanya mengumbar janji
belaka tanpa ada nya realisasi. Seorang pemilih yang cerdas lah yang dapat
membuat pemilihan umum tersebut menjadi berkualitas. Di sini penulis ingin sedikit
membahas tentang bagaimana untuk dapat menuju pemilu yang berkualitas dengan
masyarakat nya yang cerdas dalam memilih.

Gagasan, ide, visi dan misi


Hal ini lah yang paling penting dan harus sangat-sangat diperhatikan, dipikirkan, dan
dipertimbang kan oleh seorang pemilih. Karena ini menyangkut masa depan sang
pemilih itu sendiri. Namun selama ini dalam pelaksanaannya, yang menjadi polemik
ialah seorang pemilih menentukan pilihannya bukan berdasarkan hal tersebut, akan
tetapi berdasarkan asas politik keakraban atau kekerabatan, asas kekeluargaan,
asas suku,daerah, ras dan agama (politik identitas). Tentu akan timbul perbedaan
yang signifikan dari kelompok yang mayoritas dan minoritas dan tentu hal tersebut
akan merugikan.
Karena belum tentu berdasarkan hal tersebut, seorang yang kita pilih itu benar-
benar pas untuk dipilih jika tidak dilihat berdasarkan gagasan-gagasan yang mereka
buat. Memang secara konstitusi tidak ada larangan tentang hal tersebut. Setiap
orang berhak memilih calon pemimpin sesuai hati nurani mereka tetapi akan lebih
baik jika masalah gagasan, ide, visi dan misi yang harus jadi perhatian utama bagi
sang pemilih.

Sejak dimulainya masa kampanye Pilpres, khususnya hingga saat ini, lebih
didominasi oleh sensasi yang jauh dari esensi. Kampanye yang cenderung kearah
yang tidak substantif dan lebih ke arah provokatif. Saling menjatuhkan dan tidak ada
hubungan sama sekali dengan masalah kehidupan publik, yang diinginkan publik
ialah fokus pada sajian gagasan-gagasan yang bersifat efektif jika dilaksanakan
untuk kesejahteraan publik kedepannya.

Ruang publik hendaknya juga disi dengan perdebatan adu gagasan oleh para calon-
calon pemimpin atau calon-calon wakil rakyat, sehingga dapat membuka mata publik
bahwa mereka memang pantas untuk dipilih pada pemilu 2019.

Untuk itu seorang pemilih harus betul-betul teliti agar jangan salah dalam memilih
seorang pemimpin ataupun wakil rakyat yang akan datang sehingga apa yang
diharapkan dan di idam-idamkan oleh rakyat dapat dilaksanakan oleh orang yang
mereka pilih berdasarkan gagasan, ide, visi dan misi yang bertujuan akhir pada
kesejahteraan pemilih itu sendiri.

Rekam jejak dan prestasi

Yang satu ini juga tak kalah penting dalam pemilu 2019 yang akan datang. Seorang
calon pemimpin ataupun wakil rakyat tidak cukup hanya dengan gagasan, ide, visi
dan misi nya saja, rekam jejak merupakan salah satu pedoman penting kita dalam
memilih.

Dari sini pemilih dapat melihat bagaimana calon pemimpin yang akan mereka pilih
tersebut sesuai atau tidak dengan kriteria sebagai calon pemimpin bangsa, pantas
atau tidaknya mereka jadi pemimpin itu bisa dilihat dari rekam jejak tersebut. Pada
pilpres 2019 yang akan datang, kembali ada 2 pasangan capres dan cawapres.
Terjadi kembali duel lama Pilpres 2014 yaitu antara pasangan petahana Jokowi dan
sang lawan Prabowo. Hanya saja mereka menggandeng calon wakil presiden yang
baru.

Dari sini sang pemilih dapat dengan mudah menilai sejauh mana rekam jejak dan
prestasi para calon pemimpin tersebut. Jokowi sebagai petahana dapat dilihat
sejauh mana perkembangan segala hal yang menyangkut kesejahteraan rakyat
selama 5 tahun priode kepemimpinannya.

Prabowo sebagai sang lawan juga memiliki rekam jejak dan prestasi yang sangat
mentereng. Begitu pula kedua wakilnya. Tinggal rasionalitas sang pemilih lah yang
menentukannya. Jangan sampai nantinya terpilih seorang pemimpin yang
berorientasi pada kepetingan pribadi, bukan hajat hidup orang banyak.

Pada pesta demokrasi kali ini hendaknya publik merayakannya dengan sebaik-baik
perayaan. Tentukan pilihan berdasarkan dengan hati nurani yang bersih tanpa ada
rasa paksaan dalam diri. Gagasan, ide, visi dan misi serta rekam jejak dan prestasi
jangan pernah dilupakan dan selalu jadikan sebagai pedoman untuk kehidupan 5
tahun yang akan datang dan seterusnya. Jauhi segala macam polemik yang ada
serta praktik politik curang yang dilakukan oleh elit-elit politik. Elit politik pun juga
harus menghentikan praktik politik praktis yang dapat merugikan sang pemilih.

Untuk pemilu yang berkualitas,butuh sinergitas dari seluruh pihak yang


bersangkutan. Hentikan adu sensasi di antara elit politik yang tak ada sangkut
pautnya dengan kesejahteraan rakyat. Mulailah dengan kampanye sehat yang dapat
mencerdaskan publik tanpa ada retorika saling menjatuhkan.

Pilihan boleh berbeda, tapi persatuan harus tetap dijaga karena kita semua saudara.
Yang salah bukan lah pilihan yang berbeda tapi orang yang tak ingin ada perbedaan
dalam pilihan. Disini penulis menngajak untuk bersama-sama menjadi pemilih yang
cerdas agar mewujudkan pemilihan umum 2019 yang berkualitas dan bermoralitas.
Cita-cita demokrasi adalah untuk mensejahterakan seluruh masyarakat. Masyarakat dalam Negara
yang menganut system demokrasi seperti Indonesia berada pada posisi yang amat penting, hal ini
dikarenakan dalam proses pelaksanaan system demorasi tersebut masyarakat dilibatkan
sepenuhnya. Dalam konteks pemilu, peran masyarakat telah diamanatkan dalam undang-undang,
sebagaimana tertuang pada pasal 448 Undang-Undang PemiluTahun 2017 ayat 1 disebutkan bahwa
pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.

Upaya pelibatan masyarakatdalam penyelenggaraan pemilu tentu perlu diapresiasi, mengingat


bahwa pemilu merupakan sarana dari pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan
perwakilan rakyat, anggota dewan perwakilan daerah, serta presiden dan wakil presiden. Pelibatan
masyarakat dalam pemilu tentu merupakan bagian dari proses penguatan demokrasi serta upaya
memperbaiki kualitas pelaksanan pemilu. Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang diamanatkan
oleh undang-undang untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu terus berupaya membangun
kekuatan bersama, menuju pelaksanaan pemilu yang berkualitas.

Hal ini dilakukan menyongsong agenda demokrasi pada pemilu serentak tahun 2019 mendatang,
upaya membangun kekuatan tersebut dilakukan dengan bergerak memaksimalkan sosialisasi
mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pengawasan pemilu. Gerakan sosialisasi ini
juga bertujuan membangkitkan kesadaran bersama bahwa masyarakat benar-benar memiliki andil
dalam proses pemilu yakni sebagai subjek bukan sebagaiobjek, artinya masyarakat harus menjadi
pemeran bukan sebagai penonton.

Menghadapipemiluserentaktahun 2019, tentu kita akan dihadapkan pada berbagai persoalan.


Persoalan yang seringkali menyelimuti proses pelaksanaan pemilu yaitu praktik politik uang. Politik
uang (Money Politic) seringkali muncul disebabkan karena tingkat pendidikan politik para kontestan
dalam pemilu masih dibawah harapan, kekhawatiran kalah bersaing dalam memperoleh suara
dengan kontestan lain menjadi motif terjadinya praktik politik uang. Selain itu munculnya (distrust)
atau ketidak percayaan masyarakat terhadap kontestan politik. Ketidak percayaan masyarakat ini
memuncak akibat dari pemberian harapan palsu oleh kontestan politik sehingga memberikan efek
negatif yang pada akhirnya upaya yang dilakukan oleh kontestan politik untuk merebut kembali hati
masyarakat adalah dengan melakukan praktik politik uang.

Berkaca pada pemilu tahun 2014, (Ahmad;2015 hal;3) Badan Pengawas Pemilu menerima laporan
atas pelanggaran praktik politik uang yang dilakukan oleh sejumlah kontestan politik. Namun
demikian, menurut Jeirry Sumampaw, Pemerhati Pemilu KomitePemilih Indonesia, praktik suap dan
politik uang mengalami perubahan. Jika sebelumnya para kontestan politik mendatangi pemilih
memberikan sembako atau uang jelang pemungutan suara, kini para kontestan politik menghemat
membelanjakan dana kampanye mereka dan menyediakan dana untuk menyuap penyelenggara
pemilu.

Praktik politik uang ini merupakan cerminan dari sinisme pemilih yang tidak mampu berbuat apapun
terhadapi ntegritas kandidat, sehingga harus rela menjual suara mereka dengan harga tinggi. Sinisme
pemilih ini akibat dari buruknya proses seleksi kepemimpinan dalam tubuh partai politik, sehingga
muncul kepemimpinan politik yang tidak diharapkan namun proses ini tidak dapat di tolak
masyarakat. Dalam upaya mewujudkan pemilu yang berkualitas, penyelenggaraan pemilu telah
disandarkan pada prinsip-prinsip pelaksanaan pemilu, pasal 3 undang-undangnomor 7 tahun 2017
dengan tegas memberikan mandate bahwa penyelenggaraan pemiluharus memenuhi prinsip
kemandirian, kejujuran, keadilan, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional,
akuntabel, serta efektif dan efisian.

Selanjutnya tujuan dariprinsip-prinsip tersebut telah terjabarkan pada pasal 4 yakni sebagai upaya
memperkuat system ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkanpemilu yang adil dan
berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu, memberikan kepastian hukum dan
mencegah duplikasi dalam pengaturan pemilu serta mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.
Pada akhirnya, pemilu yang menjadi sarana perwujudan partisipasi politik masyarakat dan partai
politik dapat diwujudkan manakala hasil pemilu yang diumumkan penyelenggara pemilu dapat
diterima oleh semua pihak

También podría gustarte