Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep prediabetes
1. Definisi
Prediabetes adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah lebih
tinggi daripada nilai normal namun belum memenuhi kriteria diagnosis
diabetes melitus tipe 2 (PERKENI, 2009). Istilah untuk menggambarkan
keadaan prediabetes adalah glukosa darah puasa terganggu (GDPT) dan
toleransi glukosa terganggu (TGT). Dimana keadaan tersebut dapat
dilihat jika seseorang memiliki kadar gula darah puasa 100-125 mg/dL,
kadar gula darah 2 jam postprandial 140-199 mg/dL atau kadar HbA1c
5,7% - 6,4%. Prediabetes menyebabakan meningkatnya resiko bagi
seseorng untuk menderita diabetes melitus tipe 2 dan penyakit
kardiovaskular lainya ( PERKENI, 2015; ADA, 2017).
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan RI (2014) dengan
melakukan wawancara pada penduduk usia ≥15 tahun untuk
mendapatkan proporsi penduduk yang pernah didiagnosa dokter terkena
diabetes melitus dan penduduk yang belum pernah terdiagnosis oleh
dokter namun dalam satu bulan terakhir mengalami gejala-gejala sering
lapar, sering haus, sering buang air kecil dalam jumlah yang banyak, dan
berat badan turun. Penduduk yang mengalami gejala tersebut belum bisa
dipastikan terkena diabetes melitus sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan gula darah lebih lanjut. Kemudian dari hasil pemeriksaan
gula darah, didapatkan bahwa penduduk usia ≥ 15 tahun paling banyak
mengalami GDPT yaitu sebanyak 36,6% atau dengan perkiraan jumlah
64.668.297 jiwa dengan kondisi TGT sebanyak 29,9% sedangkan
diabetes melitus sebanyak 6,9 % dengan estimasi jumlah penduduk usia
≥ 15 tahun sebnayak 176.689.336 jiwa.
6
7
2. Patogenesis
Secara garis besar, patogenesis dari peningkatan kadar gula darah
melebihi normal disebabkan oleh delapan hal ( ominous octet ) yaitu
sebagai berikut (PERKENI, 2015) :
a. Kegagalan sel beta pankreas dalam memproduksi insulin.
Normalnya hormon insulin berfungsi sebagai pemicu penyerapan
glukosa dari aliran darah menuju ke seluruh sel didalam tubuh
termasuk hati, ginjal, otot yang mana organ-organ tersebut berfungsi
dalam menyimpan glukosa yang kemudian akan diubah menjadi
energi. Hormon insulin ini berfungsi bagaikan pintu dari sel-sel di
dalam tubuh. Jadi jika produksi hormon insulin pada sel beta
pankreas berkurang maka akan menyebabkan meningkatnya kadar
gula dalam darah.
b. Hati (liver)
Resistensi insulin yang berat dan memicu gliconeogenesis sehingga
hati akan memproduksi glukosa dalam keadaan basal.
c. Sel otot
Gangguan kinerja insulin menyebabkan glukosa didalam darah tidak
dapat ditrasfer sel otot sehingga glukosa tetap menumpuk dalam
darah kemudian juga akan terjadi penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa.
d. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan lipolisis dan kadar asam lemak bebas
(FFA = Free Fatty Acid) dalam plasma. Meningkatnya FFA akan
merangsang proses glukoneognesis dan mencetuskan resistensi
insulin pada otot dan hati. FFA ini juga akan mengganggu sekresi
insulin. Bergagai macam gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut dengan lipotoxocity.
8
e. Gastrointestinal (usus)
Glukosa yang ditelan atau melalui oral, dapat memicu respon insulin
jauh lebih besar daripada diberikan secara intravena. Efek yang
dikenal sebagai efek incretin yang diperankan oleh dua hormon yaitu
GLP-1 (glucagon-like pylopeptid-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide). Incretin merupakan suatu hormone peptide yang
disekresi oleh epitel usus sebagai respon terhadap makanan yang
telah dimakan dan berfungsi mempertahankan homeostasis gula
darah. Incretin dapat meningkatkan sekresi insulin melalui aktivasi
reseptornya yang spesifik pada sel beta pankreas. Sehingga, jika
terjadi defisinsi incretin maka akan mengakibatkan penurunan
sekresi hormone insulin.
f. Sel alfa pankreas
Sel alfa berfungsi dalam sintesis glukagon, dimana glukagon ini
pada saat dalam keadaan puasa kadarnya akan meningkat di dalam
plasma. Peningkatan ini menyebabkan HGP (Hepatic glucose
prodaction) dalam keadaan basal meningkat.
g. Ginjal
Ginjal memfiltrasi 163 gram glukosa perhari. 90% glukosa yang
terfiltrasi diserap kembali di tubulus proksimal ginjal melalui
SGLT-2 (Sodium Glucose Co-Transforter). Kemudian 10% sisanya
diserap melalui peran SGLT-1 (Sodium Glucose Transforter). Pada
tubulus desenden dan asenden sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam ginjal. Namun pada penderita diabetes melitus terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
h. Otak
Terjadinya resistensi insulin menyebabakan peningkatan nafsu
makan.
9
3. Diagnosis
Diagnosis prediabetes ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar gula
dalam darah yaitu :
a. Gula darah puasa
Tes gula darah puasa bertujuan untuk mengetahui kadar gula
darah setelah melakukan puasa antara 8-10 jam. Secara umum
terdapat 3 hasil yang akan didapatkan setelah melakuakn tes gula
darah puasa yaitu :
1) Kadar gula darah puasa < 100 mg/dL : gula darah puasa dalam
batas normal.
2) Kadar gula darah puasa 100-125 mg/dL : prediabetes/ GDPT.
3) Kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dL : diabetes melitus tipe 2.
b. Gula darah 2 jam postprandial
Bertujuan untuk mengetahui kadar gula darah 2 jam
postprandial atau 2 jam setelah makan atau 2 jam setelah
pembebanan glukosa. Cara pelaksanaan pemeriksaan gula darah 2
jam postprandial adalah dengan melakuakan bebrapa tahapan yaitu :
1) Klien berpuasa 8-10 jam.
2) Diambil darah pertama untuk pemeriksaan glukosa darah puasa.
3) Setelah itu klien diberikan larutan 75 gram (orang dewasa) atau
1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan
diminum dalam waktu 5 menit.
4) Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel glukosa darah
dua jam setelah minum larutan glukosa selesai.
5) Lakukan pemeriksaan gula darah 2 jam sesudah beban glukosa.
Secara umum akan didapatkan 3 hasil dalam pemeriksaan glukosa
darah 2 jam postprandial yaitu :
1) Kadar gula darah 2 jam postprandial <140 mg/dL : kadar gula
darah dalam batas normal.
2) Kadar gula darah 2 jam postprandial 140-199 mg/dL :
prediabetes / TGT.
10
B. Konsep Remaja
Remaja adalah masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. Pada
saat usia remaja adalah saat dimana terjadinya pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat, baik secara fisik, psikologis, maupun intelektual.
Dimana masa pertumbuhan dan perkembangannya ini sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dimana remaja tersebut berada. Sehingga apapun yang ada di
sekitarnya, remaja akan selalu mengikutinya karena ciri khas dari remaja
adalah ingin mengetahui segala hal yang mereka anggap menarik dan ingin
selalu mencoba hal-hal yang menurut mereka baru. Sehingga tidak
mengherankan remaja selalu ingin berbuat hal-hal yang dapat membuatnya
tidak ketinggalan jaman, dan dapat diakui oleh orang-orang disekitarnya
( Kemenkes RI, 2014).
Menurut Monks, Knoers, dan Haditono (n.d) dalam BPS Jawa Timur
(2015) tahap perkembangan remaja dibagi menjadi :
1. Masa Pra-remaja : 10-12 tahun
2. Masa remaja awal : 12-15 tahun
3. Masa remaja tengah : 15-18 tahun
4. Masa remaja akhir : 18-21 tahun
Perkembangan globalisasi mengakibatkan masyarakat terutama remaja
menjalani gaya hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi fast food yang
mempunyai kandungan kalori tinggi, kemudian banyak remaja berperilaku
sedentary atau lebih sering menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan
sambil memainkan ponsel atau sekedar menonton televisi (Active Living
Research, 2014; diabetes.co.uk, 2017) Gaya hidup yang tidak sehat dapat
mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah (IDF, 2015). Berdasarkan
22
data Kemenkes RI (2014) mulai dari usia 15-24 tahun, sudah ada penduduk
yang mengalami TGT (17,5%) dan GDPT (26,2%), hal tersebut menunjukkan
bahwa mereka telah mengalami prediabetes.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hanum, dkk (2015)
diperoleh prilaku remaja dalam mengkonsumsi fast food berdasarkan jenis
fast food yang sering dikonsumsi. Dalam penelitiannya sebagian besar
responden (55,4 % dari total 83 orang responden) memilih untuk
mengkonsumsi Jenis fast food non traditional. Kemudian terdapat 44,6%
responden yang memilih fast food traditional. Didapatkan juga bahwa
sebanyak 24 (28,9%) responden memilih untuk mengkonsumsi jenis fast food
seperti mie instan. Kemudian diperoleh juga data frekuensi mengkonsumsi
fast food dari responden, yaitu sebesar 55,4% menyatakan sering
mengkonsumsi dan 46,6% menyatakan jarang mengkonsumsi.
Berdasarkan penelitian yang dilakuakan oleh Dicaraka, dkk. (2014)
tentang perbedaan tingkat aktivitas fisik antara remaja desa dan kota di
Kabupaten Banyumas. Dalam penelitiannya ini didapatkan hasil bahwa
remaja di daerah perkotaan memiliki dominan gaya hidup sedentary atau
sedentary behavior yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja di daerah
pedesaan. Dengan rerata remaja kota dengan dominan sedentary behavior
238,06 menit/hari dan remaja desa dengan dominan sedentary behavior
218,89 menit/hari.