Está en la página 1de 4

Nama : Dewi Atika Ningsih

NIM :1113096000029

Analisis dan Manajemen Pangan Halal

Kontroversi Kehalalan Tepung Terigu Import

Belum banyak masyarakat yang tahu bahwa tepung terigu yang beredar di pasaran,
terutama pasar tradisional tidak semuanya buatan lokal. Meski Indonesia merupakan negara
pengekspor terigu terbesar di Asia Tenggara, kenyataannya juga menerima impor atau kiriman
terigu dari negara lain seperti Cina. Malah, dari tahun ke tahun terigu impor yang masuk ke
pasaran Indonesia semakin meningkat tajam.

Dilihat dari bahan baku utamanya, yakni gandum, jelas terigu adalah bahan makanan yang tidak
bermasalah. Persoalan muncul ketika terigu ditambahkan dengan zat-zat tambahan tertentu yang
tidak boleh dikonsumsi kaum muslim, orang yang berpantangan memakan daging babi dan
bagian tubuh manusia, atau pantang memakan hewan, seperti kaum vegetarian.

Rambut Manusia

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP
POM MUI) mengungkapkan terigu asal Cina ternyata mengandung L-sistein. Zat ini berfungsi
sebagai improving agent yang dapat meningkatkan sifat-sifat tepung terigu yang diinginkan
dalam pembuatan kue. Sistein dapat melembutkan protein utama gandum sehingga adonan kue
atau roti menjadi lembut. Selain itu juga membuat adonan mengembang lebih besar. Menurut
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, Ketua LP POM MUI, L-sistein dalam terigu impor ini dibuat dari
rambut manusia. “Sesuatu yang berasal dari manusia yang dicampurkan ke dalam makanan,
haram hukumnya bagi umat Islam,” kata Aisjah yang juga Guru Besar Biokimia pada Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Masalah halal- haram tepung terigu tidak terletak pada L-sistein saja. Ada produk tepung terigu
yang ditambah dengan vitamin dan mineral untuk meningkatkan nilai gizinya. Ada sejumlah
vitamin yang hanya dapat larut dalam lemak dan mudah rusak dalam penyimpanan. Contohnya
vitamin A. Agar mudah larut dalam pangan berair dan tak cepat rusak, vitamin A perlu disalut
dengan bahan penstabil. Yang sering digunakan sebagai penstabil adalah gelatin. Tidak semua
gelatin halal. Bila berasal dari lemak tumbuhan-tumbuhan, tidak akan jadi masalah. Yang perlu
dicurigai adalah gelatin yang terbuat dari lemak hewani, karena kebanyakan bahan bakunya
berasal dari lemak babi.

Jika pembahasan tepung terigu dilanjutkan sampai pada proses pembuatan roti atau kue, akan
ditemukan banyak unsur bahan tambahan pangan yang mengundang kekhawatiran umat Islam.
Berikut contoh bahan pengaya tepung terigu yang kerap dipakai untuk membuat roti atau kue.

Bahan Pengembang

Diperlukan untuk mengembangkan adonan dan membesarkan volume kue. Jenis yang
sering digunakan adalah baking soda. Dibuat secara sintetis dari bahan kimia bernama sodium
bikarbonat dan statusnya halal. Jenis pengembang lain disebut baking powder, merupakan
campuran baking soda dengan asam pengembang. Nah, asam pengembang ini mengandung
unsure cream of tartar. Gunanya mengatur rasa dan mengeluarkan karbon dioksida dari dalam
adonan agar dihasilkan volume roti yang baik. Sayangnya kehalalan cream of tartar
dipertanyakan karena terbuat dari hasil sampingan industri minuman beralkohol yang kemudian
direaksikan dengan garam potasium.

Mentega Putih

Disebut juga shorthening, berfungsi untuk menjadikan produk kue bertekstur lembut dan
renyah. Biasa digunakan dalam pembuatan pastry dan roti manis. Mentega putih terbuat dari
lemak tumbuhan atau hewan, bahkan adakalanya campuran dari lemak hewani dan nabati. Bila
mengandung unsur lemak hewani, status kehalalannya perlu dipertanyakan karena bisa jadi
bersumber dari lemak babi.

Margarine
Awalnya margarine dibuat untuk menggantikan fungsi mentega. Margarine terbuat dari
lemak nabati. Yang perlu dicermati adalah bahan tambahan penyertanya seperti, flavor,
emulsifier dan pewarna yang seringkali diragukan kehalalannya.

Cocoa Powder

Pada dasarnya cocoa powder atau bubuk coklat tidak bermasalah dari segi kehalalan.
Karena bahan baku utamanya adalah buah cacao yang diekstrak. Namun bubuk coklat yang
sekarang ini beredar di pasaran ada yang ditambahkan dengan flavor coklat untuk memberikan
rasa yang lebih tegas. Di sinilah letak kritis keharamannya, karena tidak sedikit bahan flavor
mengandung unsur yang tidak halal.

Fakta Di balik Harga Murah

Bila Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam masih membiarkan diri terus-
terusan ‘kecolongan’ banjir suplai terigu yang mengandung L-sistein berbahan baku unsur
rambut manusia, Pemerintah Korea Selatan yang tidak mengenal konsep halal-haram justru
melarang keras produk ini beredar di negaranya. Dasar pemikirannya adalah tinjauan kesehatan.

Bahwa memasukkan unsur organ tubuh manusia ke dalam bahan makanan merupakan tindakan
kanibalisme yang dapat mendatangkan efek negatif bagi kesehatan manusia di belakang hari.
Sebagai penganti L-sistein, digunakanlah improving agent yang terbuat dari unsur buah-buahan.

Kasus L-sistein pada terigu ini mengundang pertanyaan besar. Kalau ada bahan tambahan
makanan yang aman dan dapat diterima masyarakat luas, mengapa produsen memilih bahan
baku ‘kontroversi’ yang mendatangkan keresahan bagi konsumennya? Tidak bisa dipungkiri, ini
adalah salah satu dampak lain dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan penerapan
biotechnology (teknobiologi) dalam industri pangan.

Kemajuan ini memungkinkan para produsen mempunyai pilihan. Sebagai pihak yang selalu
berpikir profit oriented, tentu yang dicari adalah bahan-bahan pendukung terwujudnya
produktivitas dan kualitas produk yang tinggi dengan biaya produksi serendah mungkin, dengan
harapan produk dapat dipasarkan dengan harga bersaing dan laba yang dapat didulang pun lebih
banyak. Kenyataannya, di pasaran tepung terigu yang mengandung L-sistein rambut manusia
dijual dengan harga lebih murah dari pada terigu buatan lokal yang terjamin kehalalannya.

Niat Baik Produsen

Semestinya masalah ini tidak bisa dipandang remeh sebagai suatu kealpaan belaka. Prof. FG
Winarno, MSc, founder dan chairman PT M.Brio Food Tecnology Laboratory dan juga dosen
pada Fakultas Teknobiologi Unika Atmajaya Jakarta mengatakan seharusnya jika suatu produk
diarahkan pada pasar mayoritas muslim, seharusnya hal-hal ini sudah diperhatikan dan
diantisipaisi sebelumnya.

Karena itu, Aisjah mengatakan cap label ‘halal’ dari MUI pada kemasan produk menjadi
indikator yang sangat penting dalam memilih dan membeli produk bahan pangan. “Ini terkait
dengan itikad baik produsen. Dalam membuat dan memasarkan produk ada etikanya. Dan mesti
para produsen mematuhi itu,” kata Aisjah Girindra menguatkan.

Sumber : http://www.halalguide.info/2009/05/13/cermati-kandungan-terigu-impor/

También podría gustarte