Está en la página 1de 13

Laporan kasus

Herpes Zoster dan Dermatitis Seboroik pada lansia

A. Mudrikah H Dirgahayu (2017-84-027)

Laboratorium/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

FK UNPATTI/RSUD DR. M. Haulussy Ambon

PENDAHULUAN
Kekurangan gizi didefinisikan sebagai kondisi kurangnya berat badan untuk
usia seseorang, kurang tinggi untuk usia seseorang (stunting), sangat kurus untuk
tinggi badan seseorang (wasting) serta kekurangan vitamin dan mineral (defisiensi
mikronutrien) sebagai hasil dari asupan makanan yang tidak mencukupi, perawatan
yang tidak memadai dan penyakit tertentu. Kekurangan gizi secara luas diakui
sebagai masalah kesehatan di negara-negara berkembang di dunia, termasuk di
indonesia.1 Kekurangan gizi berkontribusi terhadap setengah dari total jumlah
kematian dan mencakup sebanyak 34-62% pada anak usia sekolah. Kekurangan gizi
yang berkepanjangan pada kelompok usia ini menghambat pertumbuhan dan
meningkatkan kerentanan anak terhadap penyakit. 2

Kekurangan gizi menunjukkan kurangnya asupan energi dan nutrisi untuk


memenuhi kebutuhan individu untuk menjaga kesehatan yang baik. Istilah kurang
gizi mencakup pada kekurangan energi protein dan defisiensi mikronutrien.3 Faktor-
faktor termasuk biologi, ekonomi, budaya, lingkungan dan penyakit berkontribusi
terhadap kekurangan gizi. Anak-anak paling rentan terhadap kekurangan gizi yang
karenakan asupan makanan yang rendah, kurang akses ke makanan, distribusi
makanan yang tidak merata dalam rumah tangga, penyimpanan dan persiapan
makanan yang tidak tepat,2

1
Kondisi buruknya asupan nutrisi pada individu terutama pada anak akan dapat
mengarahkan individu tersebut kedalam penyakit-penyakit tertentu seperti Xerosis
cutis. Xerosis cutis adalah suatu bentuk iritasi yang disebabkan oleh kurangnya
kelembaban di kulit. Penyakit ini seringkali ditemukan pada usia tua. Akan tetapi,
faktor-faktor seperti kondisi sosial ekonomi dan asupan nutrisi yang rendah dapat
berkontribusi memicu munculnya kelainan ini pada anak-anak.4

KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun, tidak bekerja dan tidak


bersekolah, suku ambon, bangsa indonesia, alamat suli bawah, dikonsulkan dari
bagian anak ke bagian kulit dan kelamin rumah sakit umum daerah (RSUD) dr.
M. Haulussy Ambon tanggal 17 Januari 2019 (NO. RM : 09-29-98) dengan
keluhan munculnya luka pada siku kiri dan lutut kiri.

AUTOANAMNESIS dan ALOANAMNESIS

Pasien anak laki-laki usia 7 tahun dikonsulkan dari bagian anak dengan
keluhan munculnya luka pada siku kiri, dan lutut kiri sejak 4 hari yang lalu
(Sabtu, 12 Januari 2019). Keluhan disertai adanya bercak kehitaman pada
wajah, kedua tangan, dan kedua kaki, keseluruhan kulit kering, gatal, dan
bersisik, penurunanan berat badan disertai penurunan nafsu makan, dan sulit
berjalan yang muncul tiba-tiba sejak 3 tahun yang lalu. Demam, batuk,
gangguan buang air kecil (BAK), dan buang air besar (BAB) disangkal. Pasien
lahir normal dengan usia kehamilan dan berat badan lahir cukup di rumah
dengan dibantu bidan. ibu pasien mengaku bahwarutin memeriksakan
kandungannya selama 9 bulan mengandung di puskesmas terdekat. Imunisasi
pasien lengkap dan cukup air susu ibu (ASI).

Riwayat penyakit dahulu : disangkal

2
Riwayat keluarga : tidak ada anggota keluarga atau yang tinggal serumah
dengan pasien memiliki keluhan yang sama.

Riwayat alergi : alergi makanan, obat-obatan, dan bahan lainnya disangkal

Riwayat pengobatan : pasien tidak pernah berobat ke tempat pelayanan


kesehatan manapun untuk keluhan yang saat ini diderita. Setelah benjolan
pecah, keluarga hanya membersihkan daerah tersebut dengan menggunakan air
hangat.

Riwayat kebiasaan : pasien rutin menjaga kebersihan tubuhnya dan sehari-hari


hanya berada di dalam rumah

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan umum : kesadaran kompos mentis, kesan gizi kurang (Indeks massa

tubuh/IMT 8.6), Nadi 90x/menit, Pernapasan 26x/menit, dan

suhu 36⸰C

Kepala : Normochephali, Konjungtiva anemis (-)

Mulut : Sianosis (-), T1/T1, hiperemis (-), Kandidiasis oral (-), bibir

kering

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Toraks : Jantung → Bunyi Jantung SI/SII, reguler, murmur (-), gallop

(-), Paru → Bunyi napas dasar vesikuler, bunyi tambahan (-)

Abdomen : Hepar dan lien tidak dan nyeri tekan (-)

3
Inguinal : Tidak ada pembesaran kelenjar betah bening

Genital : Tidak diperiksa

Ekstremitas : Akral dingin , edema (-)

Status dematologi

1. Lokasi : Regio ekstremitas atas dan regio ekstremitas bawah

Ukuran : Numular

Effloresensi : Krusta, erosi

2. Lokasi : Generalisata

Ukuran : Bervariasi (Numular, Plakat)

Effloresensi : Makula hiperpigmentasi

4
PEMERIKSAAN TAMBAHAN

Laboratorium :

Selasa, 15 Januari 2019


Pemeriksaan darah rutin
No. Pemeriksaan Hasil
1 Hemoglobin 10.7 g/dl (10.8-15.6)
2 Eritrosit 5.03 x 106 /ɥL
3 Leukosit 11.4 x 103 /ɥL
4 Trombosit 337 x 103 /ɥL
5 Basofil 0.3 %
6 Eosinofil 15.9 % (1-5%)
7 Neutrofil 48.1 %
8 Limfosit 28.3 %
9 Monosit 7.4 %

Pemeriksaan darah kimia


No. Pemeriksaan Hasil
1 SGOT 28 U/L
2 SGPT 15 U/L
3 Albumin 4.50 mg/dl
4 GDS 88 mg/dl
5 Ureum 14 mg/dl (15-36)
6 Kreatinin 0.3 mg/dl (0.5-1.2)
7 Kalium (K) 4.3 mmol/L
8 Natrium (Na) 141 mmol/L
9 Klorida (Cl) 101 mmol/L

Kamis, 17 Januari 2019


Urinalisis
No. Pemeriksaan Hasil
1 Warna Kuning muda
2 Leukosit Negatif
3 Bilirubin Negatif
4 Darah Negatif
5 Albumin Negatif

5
6 Eritrosit 0-1/LPB
7 Nitrit Negatif
8 Epitel Negatif
9 Bakteri Negatif

DIAGNOSA BANDING

Xerosis cutis

Iktiosis vulgaris

Xeroderma pigmentosum

DIAGNOSIS

Xerosis cutis

Diagnosis bagian Anak : KEP (Marasmus-Kwasiokor) + pneumonia

PENATALAKSANAAN

1. Sagestam krim 2x1 (pagi dan sore) pada luka


2. Emolient

PROGNOSIS
Quo ad Vitam: dubia ad bonam
Quo ad Functionam: dubia ad bonam
Quo ad Sanationam: dubia ad bonam
Qua ada Kosmetikan: dubia ad malam

ANJURAN
Perhatikan kebersihan dan asupan gizi seimbang

6
FOLLOWUP

Tanggal Subjek (S), Objek (O), Assesment (A) Planning (P)


S : luka mengering, nyeri (-)
22/01/2019 Sagestam 2x1
O: Emolient
Krusta (-), Erosi (-), Hiperpigmentasi (+) regio
caput, collum, dan ekstremitas
TTV → N : 80x, S : 36c, RR : 16x

A : Xerosis cutis
S : luka mengering, nyeri (-)
23/01/2019 Sagestam 2x1
O: Emolient
Krusta (-), Erosi (-), Hiperpigmentasi (+) regio
caput, collum, dan ekstremitas
TTV → N : 70x, S : 36c, RR : 16x

A : Xerosis cutis
S : luka mengering, nyeri (-)
24/01/2019 Sagestam 2x1
O: Emolient
Krusta (-), Erosi (-), Hiperpigmentasi (+) regio
caput, collum, dan ekstremitas
TTV → N : 80x, S : 36c, RR : 17x

A : Xerosis cutis
S : luka mengering, nyeri (-)
25/01/2019 Sagestam 2x1
O: Emolient
Krusta (-), Erosi (-), Hiperpigmentasi (+) regio
caput, collum, dan ekstremitas
TTV → N : 80x, S : 36c, RR : 17x

A : Xerosis cutis
S : luka mengering, nyeri (-)
29/01/2019 Sagestam 2x1
O: Emolient
Krusta (-), Erosi (-), Hiperpigmentasi (+) regio
caput, collum, dan ekstremitas

7
TTV → N : -, S : - RR : -
Eosinofil >10.000

A : Xerosis cutis

PEMBAHASAN

Diagnosis xerosis cutis karena gizi buruk pada penderita ini ditegakan
berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium.

Pada anamnesis didapatkan bahwa seorang anak laki-laki berusia 7 tahun


mengeluh luka pada siku dan lutut. disertai adanya bercak kehitaman pada wajah,
kedua tangan, dan kedua kaki, kulit kering, gatal, dan bersisik, penurunanan berat
badan disertai penurunan nafsu makan, dan sulit berjalan. Menurut kepustakaan
xerosis cutis (Eksim asteatotik) biasanya dikaitkan dengan hilangnya lipid (lemak)
pada jaringan dibawah kulit yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya trans
epidermal water sehingga kulit menjadi lebih kering.5 Prevalensi kejadian xerosis
cutis lebih besar pada lansia dibandingkan pada orang yang berusia muda, namun
terdapat faktor-faktor yang memprovokasi timbulnya Xerosis cutis seperti kondisi
iklim yang panas, penggunaan sistem pemanas yang menghabiskan kelembaban
dalam ruangan (perapian dan tungku kayu), mandi berlebihan, malnutrisi (jarang),
dan penggunaan obat-obatan tertentu.7 Sehingga kondisi gizi buruk yang dialami
oleh pasien (IMT 8.6) dapat dianggap sebagai pencetus timbulnya penyakit ini.
Xerosis cutis dapat terlokalisasi atau tersebar general. Bentuk yang terlokalisir diduga
disebabkan oleh hilangnya lipid kulit yang kemudian akan menyebabkan hilangnya
air pada lapisan transepidermal. Kehilangan air selanjutnya akan meningkatkan
sensitivitas kulit terhadap rangsangan atau interaksi lingkungan termasuk diantaranya
adalah penggunaan sabun, penurunan kelembaban, trauma, dan penurunan suhu
lingkungan sekitar. Berkurangnya jaringan lemak dibawah kulit juga menurunkan

8
fungsi kulit sebagai dinding perlindungan pertama, sehingga trauma dan luka sering
kali ditemukan pada daerah-daerah penonjolan tulang. Hal tersebut sesuai dengan
masalah utama yang dikeluhkan pasien yakni terdapat luka pada siku dan lututnya.6

Gambaran klinis yang ditemukan pada pasien berupa makula hiperpigmentasi


dengan bentuk plakat ireguler, erosi, dan kulit kering pada hampir keseluruhan
permukaan tubuh. Pada kepustakaan dijumpai bahwa tampilan klasik dari xerosis
cutis adalah tampak adanya celah eritematosa berbentuk polygonal yang memisahkan
pelat kulit yang bersisik dan kering atau dikenal sebagai gambaran "cracked
porcelain" atau "dry riverbed".7 Namun, penampakan warna kulit yang tampak
hiperpigmentasi diakibatkan oleh karena adanya gambaran “creazy pavement
dermatosis” yang timbul sebagai bagian dari gejala klinis kwasiokor yang
berlangsung kronis. Diagnosa pediatrik yang menyatakan bahwa pasien menderita
marasmus-kwasiokor adalah berdasarkan temuan klinisnya yakni kulit akan tampak
kering, kusut, dan kendur karena kehilangan lemak subkutan, perut akan membuncit
sebagai akibat dari hilangnya jaringan lemak subkutan. Selain itu, gambaran khas
yang sering ditemukan pada anak penderita gizi buruk adalah tampilan monkey
facies.8 serta pada kulit akan tampak hiperpigmentasi (awalnya eritematosa) yang
muncul pertama kali di daerah yang sering mengalami gesekan atau tekanan seperti
fleksura, pangkal paha, bokong, dan siku yang kemudian akan tersebar pada hampir
atau keseluruhan permukaan tubuh. Kekurangan gizi dapat terjadi karena konsumsi
nutrisi yang tidak memadai, malabsorpsi, metabolisme yang terganggu, kehilangan
nutrisi karena diare, atau peningkatan kebutuhan nutrisi.1

Iktiosis vulgaris (IV) adalah penyakit kulit bawaan akibat kelainan


semidominan autosomal yang ditandai oleh xerosis, keratosis pilaris, dan hiper linier
palmar. Filaggrin adalah protein vital yang memfasilitasi diferensiasi epidermis dan
pengembangan pelindung kulit. Mutasi pada gen pengkodean profilaggrin, protein
prekursor filaggrin adalah penyebab IV. Pembawa mutasi FLG lebih rentan terhadap
perubahan pada lingkungan yang dapat menyebabkan perkembangan gangguan

9
atopik lainnya. Selain itu, ada korelasi antara kekurangan filaggrin dan risiko
pengembangan eksim. Diagnosis IV berdasarkan pada integrasi beberapa faktor.
Faktor-faktor ini termasuk fenotipe kulit, onset, manifestasi kulit terkait, riwayat
keluarga, temuan histopatologis pada biopsi kulit, dan pengujian genetik. Manajemen
perawatan kulit untuk IV bertujuan untuk mengurangi kerak, mendukung fungsi
sawar kulit, meningkatkan hidrasi kulit, dan mengurangi gejala. Terapi IV meliputi
mandi segera dengan diikuti oleh penggunaan pelembab, emolien, agen keratolitik,
dan steroid topical.9 Diagnosis banding iktiosis vulgaris dapat disingkirkan karena
pada iktiosis vulgaris sisik dan lesi yang ditimbulkan lebih dalam dibandingkan
xerosis cutis sehingga akan menimbulkan rasa nyeri. Selain itu juga ikhtiosis vulgaris
dapat sembuh atau tidak menimbulkan keluhan pada tempat yang hangat dan seiring
pertambahan usia, sedangkan pada kasus ini tidak.9

Xeroderma pigmentosum didefinisikan sebagai kondisi sensitivitas ekstrim


kulit terhadap sinar matahari yang selanjutnya menghasilkan kulit terbakar,
perubahan pigmen pada kulit dan peningkatan insiden kanker kulit. Gejala klinik
yang pertama kali timbul adalah sensitivitas ekstrim terhadap sinar matahari yang
terlihat dengan adanya Fotofobia dan peningkatan jumlah lentigine (pigmentasi mirip
bintik) yang banyak di daerah yang terpapar sinar matahari seperti hidung, zygoma,
dahi, dan leher. Dengan tidak adanya perlindungan terhadap sinar matahari, maka
kulit menua, menjadi kering, kasar dan atrofi. Makula kecil dan hipopigmentasi
umumnya terlihat di antara lentigine dan bahkan mungkin merupakan presentasi
pertama. Karena semua perubahan kulit adalah hasil dari paparan radiasi UV, tingkat
keparahan perubahan ini sangat tergantung pada jumlah paparan sinar matahari, jenis
kulit Fitzpatrick dan tingkat perlindungan kulit dari sinar matahari. Efeknya sangat
bervariasi antar individu. Gejala lain yang dapat timbul adalah adanya masalah
neurologis dan defisiensi intelektual. Meskipun tidak ada obat yang tersedia untuk
XP, masalah kulit dapat diperbaiki secara dengan perlindungan yang tepat. Namun,
beberapa efek paparan sinar matahari sebelum diagnosis dapat muncul bertahun-

10
tahun kemudian meskipun perlindungan matahari yang cukup telah dilakukan.
Karena perubahan kulit semua disebabkan oleh sinar UV, perlindungan penuh dari
paparan UV dapat mencegah perubahan kulit lebih lanjut. Perlindungan sinar
matahari yang ketat kemungkinan menyebabkan kekurangan vitamin D, jadi
suplemen vitamin D harus diresepkan. Diagnosa banding Xeroderma pigmentosum
dapat disingkirkan karena pada xeroderma pigmentosum penderita biasanya akan
menunjukan gejala sensitivitas terhadap paparan sinar matahari yang signifikan
seperti kulit menjadi bersisik, menebal, dan gatal. Namun pada penderita ini tidak.10

Penatalaksanaan pada penderita ini dilakukan rawat inap kemudian diberikan


pengobatan topikal berupa emolient krim untuk memperbaiki kelembaban kulit dan
sagestam krim pada luka untuk mengatasi infeksi sekunder. Pada kepustakaan
diketahui bahwa terapi yang diberikan dapat dengan menggunakan antihistamin,
steroid topikal yang ringan atau cukup kuat dalam medium berminyak, dan krim
berair sebagai pengganti sabun untuk area tersebut. Pasien dianjurkan mandi tetapi
tidak boleh terlalu berlebihan.7 Perawatan sendiri dapat menjadi masalah yang
signifikan. Banyak pasien akan menggunakan krim gatal yang mengandung zat yang
sangat sensitif seperti benzocaine atau diphenhydramine. Hal ini dapat menyebabkan
dermatitis kontak alergi superimposed. Terkadang sulit meyakinkan pasien bahwa
pruritus mereka yang parah disebabkan oleh kulit yang kering.11

Prognosis penderita ini adalah quo vitam dubia ad bonam, quo fungtionam
dubia ad bonam, quo sanationam ad bonam, dan quo kosmetikam dubia ad malam.
Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa penatalaksanaan dengan
menggunakan emolient secara teratur sudah dapat menurukan keluhan pasien terkait
xerosis cutis dan membantu penderita dalam menjalankan fungsi sehari-hari. Namun,
jika kondisi status gizi ikut dipertimbangkan maka prognosis penderita sulit untuk
dapat dipastikan. 11

11
Tanpa perawatan, kondisi epidermis akan memburuk kearah kegagalan dalam
mempertahankan integritas permukaannya. Pada titik ini, pelat sel epidermis akan
terangkat, menghasilkan skala putih kasar. Celah kemudian berkembang menjadi pola
seperti canal (cannalé) atau crazy-paving (craquelé).7 Perubahan ini paling sering
dimulai pada ekstremitas bawah, tetapi seiring waktu atau dalam kasus yang parah,
dapat digeneralisasi. Fisura persisten akan meradang dan eritematosa. Menggaruk
dapat menyebabkan infeksi sekunder superfisial (impetiginisasi), yang selanjutnya
memicu reaksi inflamasi dan meningkatkan penyebaran lesi. 11

DAFTAR PUSTAKA

1. Vizwaroopan D, Arun GR, Shailaja U, Mallannavar V, Priya SL.


Undernutrition in children : an update review. International Journal of
Research in Ayurveda and Pharmacy. 2017; 8(2): p.13-18
2. Degarede A, Degarege D, Animut A. Undernutrition and associated risk
factors among school age children in Addis Ababa, Ethiopia. BMC public
health. 2015; 15: p.375-384
3. Maleta K. Undernutrition. Malawi Medical Journal. 2006; 18(4): p.189-205
4. Gawkrodger D J, editors. Dermatology : An illustrated colour text. 3rd ed. UK:
Churchill Livingstone; 2002.
5. Casler NM, Burris AM, Nguyen JC. Asteatotic Eczema in Hypoesthetic Skin
A Case Series. JAMA Dermatology. 2014; 150(10): p.1088-1090
6. Weller R ,Hunter J, Savil J, Dahl M, editors. Clinical dermatology. 4 th ed.
USA: Blackwell publishing; 2008.
7. Nutritional disease. In: James WD, Berger TG, Elson DM, editors. Andrews’
Disease of the skin : clinical dermatology. 11th ed. UK: Sauders elsavier;
2011. p.475

12
8. Jen M, Shah KN, Yan AC. Diabetes Cutaneous changes in nutritional disease.
In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchhrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th Ed.The Mcgraw-
Hill Companies Inc: 2008; p.1201-1202
9. Mertz SE, Thea D. Nguyen, Spies LA. Ichthyosis Vulgaris A Case Report and
Review of Literature. Journal of dermatology nurse assosiation. 2018; 10(5):
p.235-237
10. Lehmann AR, McGibbon D, Stefanini M. Xeroderma pigmentosum.
Orphanet journal of rare disease. 2011; 6: p.70-75
11. Trozak DJ, Tennenhouse DJ, Russel JJ, editors. Dermatology skills for
primary care. New Jersey: Humana pers; 2006.

13

También podría gustarte