Está en la página 1de 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyuluhan merupakan proses pendidikan diluar sekolah yang diselenggarakan
secara sistematis ditujukan pada orang dewasa (masyarakat) agar mau, mampu dan
berswadaya dalam memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan keluarganya dan
masyarakat luas. Dengan kata lain, penyuluhan merupakan usaha untuk mengubah
pengetahuan, sikap, kebiasaan dan keterampilan dengan membantu, mempengaruhi dan
memotivasi masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya. Pada hakekatnya
penyuluhan adalah suatu kegiatan komunikasi. Proses yang dialami mereka yang disuluh
sejak mengetahui, memahami, mentaati, dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan
yang nyata, adalah suatu proses komunikasi.
Berbagai kemajuan yang dicapai diawali dengan riset dan temuan-temuan baru dalam
bidang teknologi (invensi) yang kemudian dikembangkan sedemikan rupa sehingga
memberikan keuntungan bagi penciptanya dan masyarakat penggunanya. Fenomena
perkembangan bisnis dalam bidang teknologi diawali dari ide-ide kreatif di beberapa
pusat penelitian yang mampu dikembangkan, sehingga memiliki nilai jual di pasar.
Penggagas ide dan pencipta produk dalam bidang teknologi tersebut
Suatu inovasi tidak akan berguna tanpa adanya adopsi. Mardikanto (1993)
mendefinisikan adopsi sebagai proses perubahan perilaku yang berupa pengetahuan
(cognitive), sikap (afective) maupun keterampilan (pikomotorik) pada diri seseorang
setelah menerima pesan yang disampaikan penyuluh pada sasaranya. Pada dasarnya,
dalam adopsi terdapat proses adopsi yang melalui tahapan sebelum masyarakat
memutuskan menerima atau menolak suatu inovasi. Tahapan dalam proses adopsi
biopestisida dimulai dari tahap pengenalan, di mana seseorang mulai mengetahui tentang
adanya inovasi. Kemudian dilanjutkan dengan tahap persuasi, di mana seseorang
membentuk sikap terhadap inovasi. Selanjutnya tahap keputusan untuk menerima atau
menolak inovasi. Akhirnya, berlanjut pada tahap konfirmasi, di mana seseorang mencari
penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuat untuk terus melanjutkan penerapan
inovasi atau pada akhirnya tidak menerapkan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Inovasi
2. Apa Pengertian Adopsi
3. Bagaimana Proses Adopsi Inovasi
4. Bagaimana Kategori Adopter
5. Bagaimana Analisis Inovasi dan Proses Adaptasi Inovasi

1.3 Manfaat
Manfaat proses adopsi inovasi dalam bidang pertanian ini adalah mengetahui
pentingnya proses adopsi teknologi dan inovasi dalam bidang pertanian dan juga
pengaruh antara faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi dan inovasi dalam bidang-
bidang pertanian tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Adopsi Inovasi


Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini d
isebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut prosespengambil
an keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya.Berarti dala
m hal ini adalah proses pengambilan keputusan untuk menerima ide-ide baru.
Karena dalam proses adopsi inovasi diperlukan informasi yang cukup, maka calon
adopter biasanya senantiasa mencari informasi dari sumber informasi yang relevan. Ada tiga
hal yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dalam proses adopsi inovasi, yaitu:
a. Adanya pihak lain yang telah melaksanakan adopsi inovasi dan berhasil dengan
sukses. Pihakyang tergolong kriteria ini dimaksudkan sebagai sumber informasi yang rel
evan.
b. Adanya suatu proses adopsi inovasi yang berjalan secara sistematis, sehingga dapat
diikuti dengan mudah oleh calon adopter.
c. Adanya hasil adopsi inovasi yang sukses dalam artian telah memberikan keuntungan,
sehingga dengan demikian informasi seperti ini akan memberikan dorongan kepada
calon adopter untuk melaksanakan adopsi inovasi.
B. Tahapan Adopsi Inovasi
Ada empat tahapan dalam proses adopsi inovasi, yaitu :

a. Tahap Kesadaran
Pada tahapan ini petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang
baru.Informasi yang dipunyai tentang teknologi baru yang akan di adopsi itu masih bersifa
tumum. Ia mengetahui sedikit
sekali bahkan informasi yang yang diketahui tersebut kadang-
kadang tidak ada kaitannya dengan kualitas khusus yang
diperlukan untuk melakukanadopsi.

b. Tahapan Menaruh Minat


Pada tahapan ini petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam
menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk adopsi inovasi. Ia mulai mempelajari
secara lebih terperinci tentang ide baru tersebut, bahkan tidak puas kalau hanya mengetahui
saja tetapi ingin berbuat yang lebih dari itu. Oleh karena itu, pada tahapan ini, petani
tersebut mulai mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, apakah itu dari media cetak
ataupun dari media elektronik.

c. Tahapan Evaluasi
Pada tahapan ini, seseorang yang telah mendapatkan informasi dan bukti yang telah
dikumpulkan pada tahapan-tahapan sebelumnya dalam menentukan apakah ide baru tersebut
akan diadopsi atau tidak, maka diperlukan kegiatan yang disebut evaluasi atau
penilaian.Maksudnya tentu saja
untuk mempertimbangkan lebih lanjut apakah minat yang telahditimbulkan tersebut perlu di
teruskan atau tidak. Hal ini berarti petani mulai menilai secarasungguh-
sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki.

d. Tahapan Mencoba
Pada tahapan ini, petani atau individu dihadapkan dengan suatu masalah yang nyata.
Ia harus menuangkan buah pikirannya tentang minat dan evaluasi tersebut dalam suatu
kenyataan yang sebenarnya. Pemikiran itu harus dituangkan dalam praktek, sesuai dengan
apa yang disebut dengan tahapan mencoba dari dari ide baru tersebut. hal ini berarti bahwa
ia harus belajar, apa yang disebut ide baru, bagaimana melakukannya, mengapa harus ia
lakukan, dengan siapa ia melakukan ide baru tersebut, apakah dilakukan sendiri atau
berkelompok dan dimana ia harus melakukan percobaan tersebut.
e. Tahapan Adopsi
Pada tahan ini, petani atau individu telah memutuskan bahwa ide baru yang ia
pelajari adalah cukup baik untuk diterapkan dilahannya dalam skala yang agak luas.
Tahapan adopsi ini barang kali yang paling menentukan dalam proses kelanjutan
pengambilan keputusan lebih lanjut.

C. Sifat Adopsi Inovasi


Sifat adopsi inovasi ini akan menentukan kecepatan adposi inovasi. Berikut adalah
sifat-sifat adopsi inovasi, yaitu :

a. Apakah Memberi Keuntungan atau Tidak


Sejauh mana inovasi baru itu akan memberikan keuntungan daripada teknologi lama
yang digantikannya. Bila memang benar bahwa teknologi baru akan memberikan
keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka
kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.

b. Kompabilitas
Seringkali teknologi baru yang menggantikan teknologi lama tidak saling
mendukung, namun banyak pula dijumpai penggantian teknologi lama dengan teknologi
baru yang merupakan kelanjutan saja. Bila teknologi baru itu merupakan kelanjutan dari
teknologi yang lama yang telah dilaksanakan petani, maka kecepatan proses adopsi inovasi
akan berjalan relatif lebih cepat. Hal ini disebabkan karena pengetahuan petani yang sudah
terbiasa untuk menerapkan teknologi lama yang tidak banyak berbeda dengan teknologi baru
tersebut.

c. Kompleksitas
Inovasi suatu ide baru atau teknologi baru yang cukup rumit untuk diterapkan akan
mempengaruhi kesepatan proses adopsi inovasi. Artinya, makin mudah teknologi baru
tersebut dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan
petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi inovasi dapat berjalan lebih cepat maka penyajian
inovasi baru tersebut harus lebih sederhana.

d. Triabilitas
Triabilitas merupakan persamaan dari kata kemudahan. Artinya makin mudah
teknologi baru tersebut dilakukan maka relatif makin cepat proses adopsi inovasi yang
dilakukan petani.

e. Observabilitas
Observabilitas disini maksudnya adalah dapat diamatinya suatu inovasi. Seringkali
ditemukan bahwa banyak kalangan petani yang cukup sulit untuk diajak mengerti
mengadopsi inovasi dari teknologi baru, walaupun teknologi baru tersebut telah memberikan
keuntungan karena telah dicoba di tempat lain.

D. Faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi Inovasi


a. Saluran komunikasi

Peranan saluran komunikasi ini sangat penting. Inovasi yang disampaikan secara
individual akan berjalan secara lebih cepat bila dibandingkan dengan inovasi tersebut
dilakukan secara masal. Walaupun pendapat demikian tidak selalu benar, hal itu dikarenakan
masih banyak faktor lain yang mempennaruhi kecepatan proses adopsi inovasi. Para peneliti
membagi saluran komunikasi menjadi (1) saluran interpersonal dan media massa, dan (2)
saluran lokal dan saluran kosmopolit. Saluran interpersonal adalah saluran yang melibatkan
pertemuan tatap muka (sumber dan penerima) antara dua orang atau lebih.

b. Ciri sistem sosial

Faktor selanjutnya adalah ciri dari sistem sosial yang ada di masyarakat di mana
calon adopter itu bertempat tinggal. Masyarakat yang lebih modern akan relatif lebih cepat
bila dibandingkan dengan masyarakat yang tradisional. Di samping itu masyarakat dengan
individu-individu kosmoplitas akan relatif lebih cepat melakukan adopsi inovasi daripada
masyarakat yang bersifat lokalitas.

c. Kegiatan promosi penyuluh pertanian

Proses adopsi inovasi ini juga dipengaruhi oleh peranan komunikator yang biasanya
ditampilkan oleh penyuluh pertanian. Semakin giat penyuluh pertanian melaksanakan
promosi tentang adopsi inovasi, maka semakin cepat pula adopsi inovasi yang dilakukan
oleh masyarakat tani.
d. Sumber informasi

Sumber informasi juga sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi. Sumber
informasi dapat berasal dari media masa, tetangga, teman, petugas penyuluh pertanian,
pedagang, pejabat desa atau dari informan yang lain.

e. Faktor-faktor geografis

Faktor-faktor geografis juga dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Kondisi


alam dari suatu daerah dapat berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi. Wilayah yang
memiliki kondisi alam yang sulit akan berpengaruh juga terhadap kecepatan adopsi inovasi.
Misalnya wilayah yang topografinya curam dan berbukit-bukit akan lebih sulit dibandingkan
dengan wilayah yang datar. Lokasi juga berpengaruh terhadap kecepatan adospi inovasi.
Lokasi ini tentu berhubungan dengan jarak dan keterjangkauan. Daerah yang memiliki jarak
yang jauh dengan sumber informasi atau daerah yang terisolir akan cukup sulit dalam
proses adopsi inovasi.

E. Produktivitas Pertanian
Berdasarkan tinjauan Geografis, Sumaatmadja (1988:166), mengemukakan bahwa:
Pertanian sebagai suatu
sistem keruangan, merupakan perpaduan subsistem fisisdengan subsistem manusia. Kedalam
subsistem fisis termasuk komponen-komponentanah, iklim,
hidrografi, topografi dengan segala proses alamiahnya. Sedangkan dalam
subsistem manusia termasuk tenaga kerja, kemampuan teknologi, tradisi yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat, kemampuan ekonomi, dan kondisi politik setempat.

Pendapat diatas mengemukakan bahwa dalam sistem usaha pertanian akan banyak
dipengaruhi faktor-faktor baik fisik maupun sosial, adapun faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi usaha pertanian salah satunya adalah produktivitas pertanian.

Partadireja (1980: 7), mengatakan bahwa:


Produksi per hektar ditentukan oleh keadaan dan kesuburan tanah, varietas tanaman,
penggunaan pupuk organik, tersedianya air dalam jumlah dalam yang cukup dan alat-alat
pertanian yang semuanya itu tremasuk modal, teknik bercocok tanam, teknologi yang
didalamnya termasuk organisasi, manajemen dan gagasan- gagasan serta tenaga kerja.

Pendapat di atas mengungkapkan bahwa, hasil produktifitas dalam pertanian akan


banyak dipengaruhi kondisi fisik lahan pertanian itu sendiri, pengelolaan usaha tani yang baik
pula, serta modal yang cukup.

Produksi lahan pertanian sangat dipengaruhi tingkat kesuburan tanah dan bagaimana
pengelolaannya, yang dimaksud “produktivitas lahan pertanian adalah kemampuan lahan
untuk memproduksi sesuatu spesies tanaman atau suatu sistem penanaman pada suatu sistem
pengelolaan tertentu. Aspek pengelolaan yang dimaksud misalnya pengaturan jarak tanam,
pemupukan, dan pengairan.

F. Tingkat Pendapatan Petani


Perbedaan kebijaksanaan antar sektor pertanian dan industri dapat dilihat
dalam keperluan akan kebijaksanaan yang berada antara penduduk kota dan penduduk
pedesaan adalah sedemikian rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola pengeluaran
konsumsi dan perilaku lain-lainnya. Pendapatan pada beberapa negara Asia penduduk desa
jauh lebih rendah daripada penduduk kota yang hampir dari setengahnya. Mubyarto (1995:
250) mengemukakan ada tiga hal yang menyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota
lebih yaitu :

a. Kestabilan dan kemantapan yang lebih besar dari pendapatan penduduk kota.
b. Lebih banyaknya lembaga-lembaga ekonomi dan
keuangan yang dapat mendorong kegiatanekonomi.
c. Lebih banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan dikota yang memungkinkan rata-
rataproduktivitas tenaga kerja di kota lebih tinggi.

Sasaran pertanian ada dua yaitu sasaran sebelum panen atau sasaran pra panen dan
sasaran pasca penen. Sasaran pra panen ialah hasil pertanian setinggi-tingginya. Sasaran ini
merupakan sasaran tahap pertama atau sasaran tahap pertama atau sasaran fisik. Sasaran
tahap kedua yaitu sasaran ekonomis atau sasaran akhir ialah pendapatan atau keuntungan
yang sebanyak-banyaknya tiap satuan lahan yang diusahakan karena hasil panen tinggi belum
tentu memberikan keuntungan atau pendapatan tinggi pula.
Tingkat pendapatan dapat menunjukkan tinggi rendahnya keadaan sosial
ekonomi masyarakat tertentu. Hal ini sesuai dengan permasalahan yang timbul di Indonesia
yaitu masih rendahnya tingkat pendapatan sebagian besar petani.

Usaha untuk meningkatkan pendapatan petani dari lahan pertaniannya merupakan


salah satu tujuan usaha pertanian. Tinggi rendahnya pendapatan petani ditentukan beberapa
hal diantaranya pengolahan lahan, pemupukan dan pengairan. Selain itu juga keadaan cuaca,
sifat-sifat tanah dan keadaan sosial budaya petani akan ikut menentukan pula, seperti yang
dikemukakan arsyad (1987: 25) sebagai berikut :
Besar kecilnya pendapatan petani dari usaha taninya terutama ditentukan oleh luas lahan
garapan. Kecuali itu, faktor lain yang menentukkan diantaranya produktivitas dan kesuburan
tanah. Jenis komoditas yang diusahakan serta tingkat penerapan teknologi pertanian.

Pendapatan petani menurut Arsyad tersebut tergantung pada modal dan pengolahan
lahan. Kedua hal tersebut menentukan hasil jerih payah petani. Semakin besar modal yang
dimiliki dan didukung dengan pengolahan lahan yang baik akan menentukan besarnya
pendapatan yang diperoleh petani. Sebaliknya modal yang dimiliki sedikit kurang didukung
pengolahan lahan pertanian yang maksimal hasilnya pun akan sedikit.
Pendapatan petani memiliki cirri khas sendiri yaitu penerimaan penghasilan hanya
setiap musim panen sekali. Kadangkala dalam setahun penerimaan penghasilan tersebut bisa
sampai dua atau tiga kali, tetapi ada juga yang hanya satu kali. Sehingga terdapat perbedaan
antara pola pengeluaran dalam masyarakat petani. Pendapatan petani hanya diterima sekali
panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap saat.
Pendapatan petani pada umumnya ditandai tidak adanya surplus produksi pertanian,
sehingga menyebabkan terbatasnya kemampuan mereka dalam investasi. Pendapatan per
kapita yang sangat rendah di bawah kebutuhan minimum menyebabkan produktivitasnya
rendah dan membatasi dirinya untuk kesepatan berusaha. Sehingga untuk menutupi
kebutuhan yang tidak terbatas petani mencari sumber pendapatan lain di luar sektor pertain.
Jumlah rumah tangga petani di Indonesia didominasi petani kecil, sebagaimana
diungkapakan Soekartawi (1986:6), bahwa karakteristik petani kecil di Indonesia ialah
sebagai berikut:
a. Petani yang pendapatannya rendah, kurang dari 240 Kg beras perkapita pertahun.
b. Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan sawah di Jawa at
au0,5 hektar di luar jawa
c. Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan terbatas.
d. Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamis.

Tinggi rendahnya pendapatan petani ditentukan beberapa faktor, hal


ini senadadengan pendapat yang diungkapkan Arsyad (1989: 2). Bahwa:
Besar kecil pendapatan petani dari usaha taninya terutama ditentukan oleh luas lahan
garapan. Kecuali ada faktor lain yang turut menentukan, diantaranya produktivitas dan
kesuburan tanah, jenis komoditas yang diusahakan serta tingkat penerapan teknologi
pertanian.
Kedua pendapat di atas pada dasarnya memiliki maksa yang sama bahwa semakin
besar modal yang dimiliki dan didukung dengan pengelolaan yang baik maka semakin besar
pula pendapatan yang akan diperolah petani dari hasil pertaniannya, tetapi yang menjadi
masalah pada umumnya bagi petani yaitu pendapatan yang diperoleh petani setiap musim
panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap saat dalam waktu yang sangat
mendesak sebelum panen tiba.

G. Studi Kasus Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian


ADOPSI TEKNOLOGI M-BIO (Pengajuan Terdaftar Paten nomor P 20000939)SEBAGAI
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN BERKELANJUTAN(Tindak lanjut
KKN-PPM 2007)
Oleh : Rudi Priyadi dan Rina Nuryati

Adopsi Teknologi M-Bio sebagai pupuk hayati yang merupakan kultur campuran
dari berbagai mikroorganisme yang menguntungkan bagi perbaikan tanah dan tanaman, dan
dikembangkan di Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi pada usaha budidaya tanaman
padi dengan System Rice Intensification (SRI) merupakan aplikasi teknologi pertanian ramah
lingkungan yang mendukung program pembangunan berkelanjutan, karena secara teknis
dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya setempat dan pemanfaatan limbah ( sampah
tanaman, pupuk kandang, pupuk hijau, sampah kota, sampah dapur, dsb), serta dihindari
sama sekali penggunaan bahan kimia baik berupa pupuk maupun pestisida.

Pengujian di lapangan sejak tahun 1998 teknologi ini telah mampu memberikan
peningkatan hasil pada beberapa komoditas pertanian. Dan Berdasarkan hasil uji
pendahuluan yang dilakukan di Laboratorium Produksi Fakultas Pertanian Universitas
Siliwangi teknologi ini mampu menghasilkan 300 gram GKP per rumpun tanaman padi.
Kemudian di PKBM Al-Hidayah yang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang
telah mengadopsi teknologi ini satu rumpun tanaman padi mampu memberikan hasil rata-rata
sebesar 160 gram GKP. Sementara itu di lahan sawah satu rumpun tanaman padi hanya
menghasilkan rata-rata 80 gram GKP (Rina Nuryati dkk, 2008).

Sehubungan dengan hal tersebut maka teknologi tersebut perlu segera


disosialisasikan kepada para petani untuk diadopsi pada usaha budidaya tanaman padi yang
dilakukannya karena menurut Wiraatmadja (1985) penemuan baru itu tidak akan banyak
manfaatnya, apabila tidak diketahui dan tidak digunakan oleh banyak orang. Sehubungan
dengan hal tersebut maka telah dilakukan sosialisasi teknologi tersebut melalui
penyelenggaraan KKN PPM 2007 yang ditindak lanjuti dengan Program Penerapan Ipteks
2009.

Tujuan yang ingin dicapai dari penyelenggaraan program ini adalah untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas sekaligus efektivitas dan efisiensi usahatani yang
dilakukan melalui pemanfaatan bahan organik yang banyak tersedia di lingkungan sekitar
petani, mengurangi ketergantungan petani pada penggunaan pupuk anorganik yang sering
kali mengalami kelangkaan pada saat musim tanam tiba, dihasilkannya bahan pangan pokok
bagi masyarakat yang aman dan sehat serta bebas dari berbagai bahan kimia yang berbahaya,
menjamin keberlangsungan proses produksi dari usahatani yang dilakukan sekaligus
menjamin kelestarian lingkungan di mana proses produksi dilakukan sehingga mendukung
proses pembangunan pertanian yang berkelanjutan, kemudian yang paling penting adalah
meningkatnya pendapatan dan taraf hidup petani pada khususnya sekaligus meningkatkan
aktivitas perekonomian pada sektor lainnya.

Bahan dan Metode


Kegiatan dilakukan di Desa Setiawaras Kecamatan Cibalong Kabupaten
Tasikmalaya, yang pada Bulan Oktober 2007 desa ini telah dijadikan lokasi pelaksanaan
Kuliah Kerja Nyata sebagai Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat atau di kenal dengan
KKN-PPM oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP2M) Universitas
Siliwangi dengan Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Dan dalam
penyelenggaraannyamendapatkan dana hibah dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (DP2M) Dikti melalui Universitas Gajah Mada Yogyakarta sebagai
Koordinator KKN-PPM. Selanjutnya pada tahun 2009 diteruskan dengan pelaksanaan
Program Penerapan Ipteks 2009 yang dalam pelaksanaannya didanai dari APBN Ditjen
Pendidikan Tinggi.

Desa Setiawaras terpilih sebagai lokasi penyelenggaraan kegiatan KKN-PPM 2007


dan Program Penerapan Ipteks 2009 karena desa ini memiliki potensi desa yang cukup besar
bagi pengembangan tanaman budidaya, khususnya padi, dengan luas lahan sawah beririgasi
seluas 915,4 ha dan luas lahan sawah tadah hujan seluas 233.568 Ha. Sedangkan luas desa
keseluruhan seluas 1.829.418 Ha berupa lereng dan memiliki jumlah penduduk sebanyak
4.365 penduduk dengan jumlah kelompok tani sebanyak 10 kelompok tani .

Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah Metoda penyuluhan yang disertai
dengan diskusi dan tanyajawab untuk meningkatkan mutu pengetahuan dan pengalaman
petani. Kemudian Metode pelatihan digunakan untuk membantu petani dalam meningkatkan
kemampuan teknis persiapan dan pelaksanaan aplikasi teknologi M-Bio yang diteruskan
dengan kegiatan monitoring dan evaluasi untuk melihat perkembangan dari hasil adopsi
Teknologi M-Biopada budidaya tanaman padi.

Dalam upaya untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani serta
untuk mengetahui tingkat adopsi petani sasaran program terhadap Teknologi M-Bio sekaligus
untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan
tingkat adopsi Teknologi M-Bio, selama kegiatan monitoring danevaluasi dilakukan
wawancara dengan petani sasaran program yang dalam pelaksanaannya dipandu dengan
bantuan daftar pertanyaan atau kuesioner.

Penyebaran kuesioner dilakukan kepada 26 petani responden di sembilan Dusun


yang ada di Desa Setiawaras yang ditetapkan secara acak supaya hasil yang diperoleh
representative dan mewakili populasi yang diamati. Selanjutnya data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan Analisis Nilai Tertimbang (Rasyid, 1995) untuk mengetahui
tingkat pengetahuan dan keterampilan petani, serta untuk mengetahui tingkat adopsi petani
terhadap Teknologi M-Bio. Sementara itu untuk mengetahui hubungan antara tingkat
pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat adopsi Teknologi M-Bio dilakukan
analisis dengan menggunakan Analisis Kendall-W.

Hasil dan Pembahasan


Sosialisasi Teknologi M-Bio yang telah dilaksanakan melalui penyelenggaraan
Program KKN PPM 2007 telah berhasil menggugah kesadaran sebagian besar petani di Desa
Setiawaras untuk melaksanakan budidaya tanaman padi secara organik dengan
memanfaatkan berbagai sumber bahan organik yang tersedia di sekitar petani. Aplikasi
Teknologi M-Bio ini sudah diterapkan pada usaha pembuatan pupuk organik padat, pupuk
organik cair dan pestisida nabati serta pada teknis budidaya tanaman padi di lapangan yang
dalam pelaksanaannya dipadukan dengan system budidaya tanaman padi SRI.

Pengembangan usaha pembuatan pupuk organik ini seiring dengan program


Departemen Pertanian yang telah mencanangkan dan memprogramkan pengembangan
pertanian organik, dan sejalan dengan program Revitalisasi Pertanian, dengan aspek
peningkatan mutu, nilai tambah, efisiensi sistem produksi, serta kelestarian sumber daya alam
dan lingkungan merupakan isu yang menjadi sasaran utama.Kondisi di atas ini diketahui
berdasarkan hasil survey pendahuluan yang dilakukan dalam rangka persiapan
penyelenggaraan Program Penerapan Ipteks 2009 yang merupakan program tindak lanjut dari
penyelenggaraan KKN PPM 2007. Kesadaran petani dalam melaksanakan usaha budidaya
tanaman padi organik ini juga didukung oleh potensi sumber bahan organik di Desa
Setiawaras yang cukup berlimpah.

Potensi bahan organik lainnya juga tersedia dari luar Desa Setiawaras yaitu bahan
organic yang berasal dari limbah usaha penggergajian kayu yang kapasitasnya dapat
mencapai 18 ton/hari dan limbah dari pabrik kapur berupa abu/kapur dolomite yang dapat
ditambahkan pada pupuk organik yang dibuat dengan aplikasi Teknologi M-Bio untuk
meningkatkan kualitas pupuk organik yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sarwono Hardjowigeno (1992) yang menyatakan bahwa pemberian kapur dolomite berguna
untuk menaikkan pH tanah agar unsure-unsur hara seperti P mudah diserap tanaman dan
keracunan Al dapat dihindarkan.

Budidaya tanaman padi organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio di Desa


Setiawaras ini menurut hasil wawancara dengan petani telah berhasil menaikkan
produktivitas tanaman padi sebesar 10-15 persen.

Hal ini disebabkan karena pupuk organik dengan aplikasi teknologi M-Bio
mempunyai kandungan unsure hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kompos/pupuk
kandang (tanpa fermentasi kultur mikroba),. Diantaranya kandungan N dan K meningkat
masing-masing 100 persen dan 30 persen dengan C/N = 8, pupuk organik tersebut apabila
diaplikasikan ke dalam tanah maka bahan organiknya akan digunakan sebagai makanan bagi
mikroorganisme efektif untuk berkembang biak di dalam tanah, sehingga juga sekaligus
sebagai penyedia unsur hara/makanan bagi tanaman.

Oleh karena itu selain berguna untuk menambah komponen bahan organik untuk
perbaikan sifat fisika tanah dan menambah unsur-unsur hara, juga
mengandung antibiotik(menekan patogen/pembawa penyakit) dan mikroorganisme yang
bermanfaat yang diharapkan dapat memperbaiki sifat biologi tanah (Analisis Laboratorium
Analis Kimia Bogor, 2007). Hal tersebut menyebabkan kebutuhan unsur hara tanaman dapat
terpenuhi sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi yang diusahakan.

Keberhasilan penyelenggaraan KKN PPM 2007 juga mendapatkan apresiasi dan


dukungan dari pemerintah,yaitu dengan dikucurkannya bantuan ternak sapi sebanyak 50 ekor
kepada kelompok tani di Desa Setiawaras. Bantuan ternak sapi ini diterima oleh kelompok
tani pada tahun 2007 yaitu sekitar 2 bulan setelah penyelengaraan KKN PPM 2007 berakhir.
Kondisi ini semakin menggairahkan petani untuk melakukan usaha budidaya tanaman padi
dengan aplikasi pupuk organik sekaligus melakukan usaha ternak sapi potong yang limbah
kandangnya dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan pupuk organik.

Hal yang lebih menggembirakan dari hasil survey pendahuluan diketahui bahwa saat
ini Kelompok Tani “Kalapa Herang” di Dusun Cipigan yang merupakan salah satu kelompok
tani sasaran program KKN PPM 2007 telah berhasil mengembangkan usaha pembuatan
pupuk organik dengan Aplikasi Teknologi M-Bio dan produknya telah masuk ke perusahaan
Pupuk Kujang di Cikampek dengan kapasitas pemesanan sebanyak 100 – 200 ton/bulan.

Keadaan ini tentu saja menjadi peluang yang sangat menjanjikan bagi peningkatan
aktivitas perekonomian kelompok tani Kalapa Herang pada khususnya dan masyarakat Desa
Setiawaras pada umumnya. Akan tetapi kendala yang dihadapi oleh kelompok tani tersebut
saat ini adalah terbatasnya kapasitas produksi yang dapat dicapai sehubungan dengan
keterbatasan alat dan peralatan yang dimiliki untuk memenuhi stándar mutu yang telah
ditetapkan oleh pihak Pupuk Kujang.

Kondisi ini pada akhirnya mendorong kelompok tani Kalapa Herang untuk menjalin
kerjasama dengan kelompok tani lain dari Desa Setiawaras yang telah menjadi sasaran
program penyelenggaraan KKN PPM 2007 untuk mengembangkan usaha pembuatan pupuk
organik guna merespon peluang pasar yang telah tersedia, dan ternyata mendapat tanggapan
yang positif, meskipun dalam pelaksanaannya masih memerlukan pembinaan lebih lanjut
untuk mampu menghasilkan pupuk organik seperti yang telah dihasilkan oleh Kelompok Tani
Kalapa Herang untuk mampu menembus pasar PT. Pupuk Kujang Cikampek. Hal ini
menyebabkan saat ini aktivitas perekonomian masyarakat di Desa Setiawaras lebih hidup dan
lebih maju.

Namun demikian keberhasilan tersebut belum dicapai oleh seluruh petani yang ada
di Desa Setiawaras karena proses adopsi terhadap suatu teknologi dari setiap individu petani
berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari masih terdapatnya sebagian petani yang dalam proses
pembuatan pupuk organiknya belum melaksanakan proses pembuatan sesuai dengan prosedur
yang telah diberikan. Seperti tidak dilakukannya pengecekan suhu secara berkala terhadap
bahan pupuk organik padat yang dibuat, padahal ini penting dilakukan agar proses fermentasi
bahan organik berjalan sempurna guna menjamin kualitas pupuk organik yang dihasilkan.
Demikian juga dengan proses aplikasi di lapangan masih terdapat beberapa tahapan yang
tidak dilaksanakan oleh sebagian petani sasaran program.

Menurut Rogers dalam Hanafi (1997), proses keputusan terhadap suatu teknologi
baru terdiri dari empat tahapan yaitu (1) tahap pengenalan, di mana seseorang mengetahui
adanya suatu inovasi baru dan memperoleh beberapa keterangan tentang bagaimana inovasi
tersebut berfungsi, (2) tahap persuasi, yaitu dimana seseorang membentuk sikap berkenan
atau tidak terhadap inovasi tersebut, (3) Tahap Keputusan yaitu dimana seseorang terlibat
dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi
dan (4) Tahap Konfirmasi yaitu di mana seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi
yang telah dibuatnya. Pada tahap ini mungkin seseorang mengubah keputuannya apabila
memperoleh informasi yang bertentangan.

Sehubungan dengan hal tersebut maka setelah suatu program kegiatan selesai
dilaksanakan sebaiknya diteruskan dengan program tindak lanjut yang sejalan dengan
program yang telah dilakukan untuk memberikan bimbingan dan pendampingan sekaligus
pencerahan sebagai upaya penyegaran guna menjamin keberlangsungan program yang telah
disampaikan.
Selanjutnya dengan berpedoman pada hasil survey pendahuluan maka pelaksanaan
Program Penerapan Ipteks 2009 hanya ditujukan pada petani atau kelompok tani tertentu saja
yang masih menghadapi kendala tertentu dalam adopsi Teknologi M-Bio. Sehubungan
dengan hal tersebut maka kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang merupakan Metode yang
digunakan dalam Program Penerapan Ipteks 2009 pun disesuaikan dengan kondisi petani atau
kelompok tani tertentu, karena ternyata permasalahan yang dihadapi oleh petani maupun
kelompok tani sangat khusus dan bersifat lokal sehingga pemecahan masalah atau solusinya
pun hanya berlaku untuk petani atau kelompok tani tertentu.

Dalam pelaksanaannya, penyuluhan dan pelatihan ini tidak selalu harus dilakukan
secara bersamaan karena seringkali hanya dengan memberikan penyuluhan saja petani sudah
mengerti atau sudah paham tentang materi yang semula ditanyakan tanpa harus diikuti
dengan kegiatan pelatihan. Meskipun pada keadaan tertentu memang kadang-kadang kedua
kegiatan tersebut harus dilakukan bersamaan karena petani merasa perlu untuk mendapat
penjelasan lebih detail lagi. Dengan demikian penyuluhan dan pelatihan yang dilaksanakan
pada kegiatan ini umumnya hanya bersifat tukar pikiran dan pendapat saja, karena sebagian
besar petani Di Desa Setiawaras sudah paham tentang Teknologi M-Bio dan hanya perlu
memberikan penekanan pada point-point tertentu saja untuk menambah keyakinan akan
keefektifan teknologi ini. Di samping itu guna menjamin keberlangsungan program
selanjutnya, sekaligus untuk membantu dalam memberikan bimbingan teknis dalam aplikasi
teknologi di lapangan telah ditunjuk kelompok tani pembina yaitu kelompok tani Kalapa
Herang yang ada di Dusun Cipigan.

Sebagai kegiatan selanjutnya dari Program Penerapan Ipteks 2009 adalah kegiatan
monitoring dan evaluasi dilakukan untuk melihat, memantau sekaligus mengkaji progam
Penerapan Ipteks yang telah dilaksanakan. Monitoring dan evaluasi disertai dengan
memberikan bimbingan dan pendampingan kepada petani di lapangan secara langsung, serta
melakukan kembali wawancara disertai dengan menyebarkan kembali daftar pertanyaan atau
kuesioner.

Hal ini dilaksanakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani
tentang kegiatan yang dilaksanakan sekaligus untuk mengetahui tingkat adopsi progam,
setelah program Penerapan Ipteks 2009 dikerjakan oleh petani sasaran program, juga
ditujukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani
dengan tingkat adopsi Program Penerapan Ipteks 2009.

Hasil penyebaran kuesioner kepada 26 petani responden di sembilan Dusun yang


ada di Desa Setiawaras yang ditetapkan secara acak dan selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan Analisis Kendall-W, dengan hasil analisis dan pembahasan sebagai berikut :

1. Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Petani


Pengetahuan petani yang dianalisis pada program Penerapan Ipteks ini meliputi
pengetahuan petani tentang pupuk organik dan tentang Teknologi M-Bio, sementara dari
keterampilan petani dianalisis meliputi keterampilan dalam menentukan sumber bahan
organik, menentukan alat dan bahan untuk proses pembuatan pupuk organik, keterampilan
dalam proses pembuatan pupuk organik pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio
termasuk melaksanakan aplikasi pupuk organik dan aplikasi Teknologi M-Bio di lapangan.

Pengukuran tingkat pengetahuan dan keterampilan petani diklasifikasikan dalam 3


kategori yaitu rendah (skor 20 – 33,3), sedang (skor 33,3 – 46,66), dan tinggi (46,66 – 60).
Hasil analisis diketahui bahwa tingkat pengetahuan dan keterampilan petani diperoleh skor
48,35 dengan skor ideal 60,00 sehingga berada pada kategori tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa petani di Desa Setiawaras telah memiliki pengetahuan
yang memadai tentang pupuk organik termasuk tentang sumber bahan organik yang dapat
digunakan untuk pembuatan pupuk organik. Demikian juga dengan pengetahuan petani
tentang maksud dan tujuan penggunaan pupuk organik serta tentang aplikasi pupuk organik
di lapangan, petani di Desa Setiawaras sudah memahaminya, sehingga pupuk organik sudah
digunakan secara umum pada usaha budidaya tanaman padi yang dilaksanakannya.

Demikian juga dalam hal pengetahuan petani tentang maksud dan tujuan aplikasi
Teknologi M-Bio, tentang aplikasi Teknologi M-Bio pada teknis pembuatan pupuk organik
padat, cair, pestisida nabati termasuk aplikasinya di lapangan, petani sudah tahu dan sudah
memahaminya. Selanjutnya dari segi keterampilannya petani sudah memiliki keterampilan
yang memadai untuk menentukan sumber bahan organik guna dipakai dalam pembuatan
pupuk organik, sudah mampu menentukan alat dan bahan yang digunakan untuk proses
pembuatan pupuk organik. Demikian juga dengan keterampilan dalam melaksanakan proses
pembuatan pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio termasuk melaksanakan aplikasi
pupuk organik dan aplikasi Teknologi M-Bio, secara umum tentang hal tersebut sudah
mampu dilaksanakan oleh petani Di Desa Setiawaras.

2. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi M-Bio


Variabel adopsi yang dianalisis meliputi variabel adopsi Teknologi M-Bio dalam
proses pembuatan pupuk organik padat/kering, pada proses pembuatan pupuk organik cair,
pada prose pembuatan pestisida nabati dan pada proses aplikasinya di lapangan. Pengukuran
tingkat adopsi terhadap Program Penerapan Ipteks 2009 diklasifikasikan dalam 3 kategori
yaitu rendah (skor 22 – 36,67), sedang (skor 36,67 – 51,34) dan tinggi (51,34 – 66).
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi M-Bio
diperoleh skor 57,57 dengan skor ideal 66,00 sehingga berada pada kategori tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa petani Di Desa Setiawaras pada umumnya sudah
menerapkan Teknologi M-Bio pada proses pembuatan pupuk organik padat/kering, pada
proses pembuatan pupuk organik cair, pada pembuatan pestisida nabati dan pada proses
aplikasi Teknologi tersebut di lapangan. Dengan sudah diadopsinya teknologi ini maka
dihasilkan pupuk organik dan pestisida berkualitas sekaligus ramah lingkungan.

Salah satu indikator keberhasilan dari aplikasi Teknologi M-Bio ini berdasarkan
hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa saat ini telah terjadi peningkatan
produktivitas tanaman padi yang mencapai 5 sampai 10 persen.
3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Petani dengan Adopsi
Teknologi M-Bio

Dalam upaya mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan


petani dengan adopsi Teknologi M-Bio yang merupakan Program pokok Penerapan Ipteks
2009, dilakukan dengan menggunakan Analisis Kendall-W.

Hasil analisis diperoleh nilai level of significant sebesar 0,005 dengan nilai korelasi
sebesar 0,415, selanjutnya apabila dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,025 maka
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pengetahuan dan keterampilan
petani dengan adopsi Teknologi M-Bio. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat
pengetahuan dan keterampilan petani maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani
terhadap Teknologi M-Bio. Dan sebaliknya semakin rendah tingkat pengetahuan dan
keterampilan petani maka semakin rendah pula tingkat adopsi Teknologi M-Bio.

Dengan demikian dalam upaya untuk meningkatkan adopsi Teknologi M-Bio di


tingkat petani diperlukan upaya untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
para petani. Karena dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani, maka akan
menjadikan petani lebih produktif dalam menerapkan penemuan-penemuan baru baik berupa
teknologi maupun manajemen usahatani pada umumnya (Mubyarto, 1989).

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani salah satunya dapat dilakukan


melalui pelaksanaan progam lanjutan dari program yang telah dilaksanakan seperti Program
Penerapan Ipteks ini. Karena suatu program yang akan dicoba untuk disosialisasikan kepada
para petani perlu dilaksanakan secara teratur dan berkelanjutan, sehubungan dengan adanya
keterbatasan kemampuan pada masing-masing individu petani untuk mengadopsi suatu
teknologi baru termasuk adanya berbagai perkembangan di lapangan yang menyebabkan
petani memerlukan bimbingan dan arahan yang lebih lanjut.

Seperti yang terjadi saat ini pada Kelompok Tani Kalapa Herang di Desa Setiawaras
yang telah berhasil mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik sehingga terdapat
permintaan dari PT. Pupuk Kujang Cikampek sebanyak 100 – 200 ton/bulan. Hal ini
memerlukan bimbingan dan arahan termasuk pendampingan untuk menjamin kualitas,
kuantitas dan kontinuitas produksi yang bisa dihasilkan guna mempertahankan kepercayaan
pasar yang telah ada bahkan untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Dengan demikian diharapkan setelah program Penerapan Ipteks ini selesai
dilaksanakan dapat diteruskan dengan program berikutnya yang sejalan dengan program yang
telah diselenggarakan sehingga program pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan
dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA

Rina Nuryati, Betty Rofatin, Tenten Tedjaningsih, Rudi Priyadi. 2008. Keragaan Usahatani Tanaman
Padi Pada

Polybag. Jurnal Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Hanafi. 1997. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya. Harian Umum Pikiran
Rakyat, Edisi tanggal 15 September 2008.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3S. Jakarta.

Rasyid. 1995. Prilaku Kepemimpinan dan Dinamika Kelompok sebagai Determinan Penting bagi
Peningkatan Produktivitas Kerja Kelompok Karyawan. Disertasi Pascasarjana UNPAD.
Bandung.

Sarwono Hardjowigeno. 1992. Ilmu Tanah. PT. Melon Putra. Jakarta.

Wiraatmadja. 1983. Penyuluhan Pertanian. Direktorat Pendidikan Menengah. Jakarta

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Inovasi


Inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru
yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan, dilaksanakan oleh
sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan
atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat
demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh
warga masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto, 1993). Inovasi adalah suatu gagasan,
metode, atau objek yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu
merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Inovasi sering berkembang dari penelitian dan
juga dari petani (Van den Ban dan H.S. Hawkins, 1999). Mosher (1978) menyebutkan
inovasi adalah cara baru dalam mengerjakan sesuatu. Sejauh dalam penyuluhan pertanian,
inovasi merupakan sesuatu yang dapat mengubah kebiasaan.
Segala sesuatu ide, cara-cara baru, ataupun obyek yang dioperasikan oleh seseorang
sebagai sesuatu yang baru adalah inovasi. Baru di sini tidaklah semata-mata dalam ukuran
waktu sejak ditemukannya atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Hal yang
penting adalah kebaruan dalam persepsi, atau kebaruan subyektif hal yang dimaksud bagi
seseorang, yang menetukan reaksinya terhadap inovasi tersebut. Dengan kata lain, jika
sesuatu dipandang baru bagi seseorang, maka hal itu merupakan inovasi (Nasution, 2004).
Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Hanafi (1987) mengartikan inovasi sebagai
gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal,
sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betul baru atau
tidak jika diukur dengan selang waktu sejak dipergunakan atau diketemukannya pertama
kali. Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan individu yang
menangkapnya. Baru dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru sama sekali.

2.2 Pengertian Adopsi


Rogers (1983) menyatakan adopsi adalah proses mental, dalam mengambil keputusan
untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan
dan penolakan ide baru tersebut. Adopsi juga dapat didefenisikan sebagai proses mental
seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Adopsi
adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide-ide dari satu pihak, disampaikan kepada
pihak kedua, sampai ide tersebut diterima oleh masyarakat sebagai pihak kedua.
Adopsi dalam penyuluhan perikanan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses
penerimaan inovasi atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap,
maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan
penyuluh pada petani atau masyarakat sasarannya.

2.3 Proses Adopsi Inovasi


Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara
bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang
mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau
menolaknya kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe
pengambilan keputusan yang khas (Suprapto dan Fahrianoor, 2004).
Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) mengartikan adopsi sebagai penerapan atau
penggunaan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan
komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau
diamati berupa tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan
dalam kegiatan komunikasinya.
Dalam model proses adopsi Bahlen ada 5 tahap yang dilalui sebelum seseorang
mengadopsi suatu inovasi yaitu sadar (awreness), minat (interest), menilai (evaluation),
mencoba (trial) dan adopsi ( adoption).
Tahap Sadar
Sasaran telah mengetahui informasi tetapi informasi tersebut dirasa kurang. Pada
tahap ini sasaran mulai sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.
Pada tahap ini sasaran sudah maklum atau menghayati sesuatu hal yang baru yang aneh
tidak biasa (kebiasaan atau cara yang mereka lakukan kurang baik atau mengandung
kekeliruan, cara baru dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatannya, cara baru dapat
mengatasi kesulitan yang sering dihadapi). Hal ini diketahuinya karena hasil
berkomunikasi dengan penyuluh. Tahapan mengetahui adanya inovasi dapat diperoleh
seseorang dari mendengar, membaca atau melihat, tetapi pengertian seseorang tersebut
belum mendalam.
Tahap Minat
Sasaran mencari informasi atau keterangan lebih lanjut mengenaiinformasi tersebut.
Pada tahap ini sasaran mulai sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh
penyuluh. Pada tahap ini sasaran mulai ingin mengetahui lebih banyak perihal yang baru
tersebut. Ia menginginkan keterangan-keterangan yang lebih terinci lagi. Sasaran mulai
bertanya-tanya.
Tahap Menilai
Sasaran sudah menilai dengan cara value/bandingkan inovasi terhadap keadaan
dirinya pada saat itu dan dimasa yang akan datang serta menentukan apakah petani
sasaran mencoba inovasi atau tidak. Pada tahap ini sasaran mulai berpikir-pikir dan
menilai keterangan-keterangan perihal yang baru itu. Juga ia menghubungkan hal baru
itu dengan keadaan sendiri (kesanggupan, resiko, modal, dll.). Pertimbangan-
pertimbangan atau penilaian terhadap inovasi dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu teknis,
ekonomis dan sosiologis.
Tahap Mencoba
Sasaran sudah mencoba meskipun dalam skala kecil untuk menentukan angka dan
kesesuaian inovasi atau tidak. Pada tahap ini sasaran sudah mulai mencoba-coba dalam
luas dan jumlah yang sedikit saja. Sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak
dilakukan sendiri, tetapi sasaran mengikuti (dalam pikiran dan percakapan-percakapan),
sepak terjang tetangga atau instansi mencoba hal baru itu (dalam pertanaman percobaan
atau demosntrasi).
Tahap Adopsi/Menerapkan
Sasaran sudah meyakini kebenaran inovasi dan inovasi tersebut dirasa bermanfaat
baginya. Pada tahap ini petani sasaran menerapkan dalam jumlah/skala yang lebih besar.
Pada tahap ini sasaran sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal baru itu, maka ia
mengetrapkan anjuran secara luas dan kontinu. Dapat saja sesuatu tahap dilampaui,
karena tahap tersebut dilaluinya secara mental. Tidak semua orang mempunyai waktu,
kesempatan, ketekunan, kesanggupan dan keuletan yang sama untuk menjalani, kadang-
kadang mengulangi proses adopsi sampai sakhir dan mendapat sukses.
Selain proses adopsi inovasi diatas, menurut Rogers dan Schoemaker (1992menyatakan
bahwa proses adopsi dapat terjadi melalui 4 (empat) tahapan yaitu : tahap mengetahui
(knowledge), persuasif (persuasive), mengambil keputusan (decision) dan konfirmasi
(confirmation) yang selanjutnya diklasifikasikan menjadi empat tahap yaitu :
Tahap mengetahui : petani sasaran sudah mengetahui adanya inovasi dan mengerti
bagaimana inovasi itu berfungsi.
Tahap Persuasi : petani sasaran sudah membentuk sikap terhadap inovasi yaitu apakah
inovasi tersebut dianggap sesuai ataukah tidak sesuai bagi dirinya.
Tahap Keputusan : petani sasaran sudah terlibat dalam pembuatan keputusan yaitu apakah
menerima atau menolak inovasi.
Tahap Konfirmasi:petani sasaran mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah
dibuatnya. Mungkin pada tahap ini petani sasaran mengubah keputusan untuk menolak
inovasi yang telah di adopsi sebelumnya.
Startegi untuk memeilih inovasi yang tepat guna adalah menggunakan kriteria-kriteria
sebagai berikut:
Inovasi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh adopter.
Banyak innovasi yang ditawarkan kepada masyarakat, namun dapat kita lihat bahwa tidak
semua inovasi tersebut menyantuh kedalam masyarakat. Karena inovasi-inovasi tersebut
hanya dibuat atas keinginan-keinginan pihak luar dari masyarakat tersebut, bukan dari
kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian terjadilah ketidak addopsian
innovasi tersebut oleh masyarakat.
Kalau mengharapkan masyarakat akan mengadopsi inovasi tersebut, para warga
masyarakat harus menyakini bahwa hal itu merupakan kebutuhan yang benar-benar
diingikan oleh mereka. Suatu inovasi akan menjadi kebutuhan apabila inovasi tersebut
dapat memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Sehingga identifikasi dari
persoalan tersebut dapat kta lihat; bahwa sesuatu yang kita anggap masalah, belum tentu
menjadi masalah pula bagi orang lain, kemudian jikapun permasalahan itu benar adanya
yang dirasakan oleh masyarakat, belum tentu penyelesaian yang ditawarkan seseuai
dengan kondisi masyarakat penerimanya.
Inovasi harus memeberikan keuntungan bagi adopternya.
Soekartawi (1988) mengatakan bhwa jika benar teknologi baru yang ditawarkan akan
memberikan keuntungan yang relative lebih besar, dari nilai yang dihasilkan oleh
teknologi lama, maka kecepatan adopsi innovasi akan berjalan lebih cepat. Untuk
menemukn innovasi kriteri seperti ini dapat dilakukan dengan cara; bandingkan teknologi
interoduksi dengan teknologi yang sudah ada, kemudian identifikasi teknologi dengan
biaya rendah atau teknologi yang produksinya tinggi.
Inovasi harus memiliki kompatibilitas atau keselarasan.
Beberapa pakar berbeda dalam memaknai kompatibilitas innovasi (teknologi), dimana:
a) Bila teknologi merupakan kelanjutan dari teknologi lama yang telah dilaksanakan,
maka kecepatan proses adopsi innovasi akan berjlan lebih cepat.
b) Teknologi harus sesuai dengan penggunaannya.
c) Kompatibilitas disini dimaksud mempunyai keterkaitan dengan sosilal budya,
kepercayaan dan gagasan yang dikenalkan sebelumnya dan keperluan yang dirasakan
oleh adopter.
d) Inovasi harus mendayagunakan sumber daya yang sudah ada.
Maksudnya disini adalah ketika adopter menggunakan inovasi tersebut, maka
sumberdaya yang ada disekitar mereka mendukung penggunaan inovasi tersebut.
Inovasi tersebut terjangkau oleh financial, sederhana, tidak rumit dan mudah diperagakan.
Jadi, semakin mudah teknologi tersebut di praktekkan, maka semakin cepat pula proses
adopsi inovasi yang dilakukan.
Inovasi harus mudah untuk diamati. Jika inovasi tersebut mudah diamati maka banayak
adopter yang mampu menggunakannya dengan meniru tata pelaksanaannya tanpa
bertanya kepada para ahlinya. Dengan demikian akan terjadi proses difusi, sehingga
jumlah adopter akan meningkat.
Faktor – Faktor yang meperngaruhi aecepatan adopsi diantaranya:
Sifat-sifat atau karakteristik inovasi.
Sifat-sifat atau karakteristik calon pengguna.
Pengambilan keputusan adopsi.
Saluran atau media yang digunakan.
Kualifikasi penyuluh.
Tipe-tipe keputusan adopsi inovasi, yaitu:
Keputusan otoritas ( Authority Decision) Keputusan ini dibuat oleh atasan atau suatu
lembaga, pemerintah, pabrik, sekolah dan sebagainya
Keputusan Individu ( Individual Decision) Keputusan ini dilaksanakan oleh individu/
seseorang terlepas dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh masyarakat (collective)
dalam sistem social
Keputusan bersama (Collective Decision) Keputusan ini disepakati dan dilaksanakan
secara bersama atau melalui consensus masyarakat dalam sistem sosial
Kenyataan bahwa sikap sasaran terhadap suatu inovasi teknologi dipengaruhi oleh faktor
internal individu (karakteristik kepribadian individu) dan faktor internal (faktor-faktor di
luar diri individu). Akan tetapi yang lebih dominan mempengaruhi sikap dan keputusan
sasaran terhadap suatu inovasi adalah faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor eksternal
meliputi norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial
individu petani dalam sistem sosial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor intemal (karakteristik individu, motivasi,
keterlibatan dalam organisasi, komunikasi impersonal, terpaan media massa, tingkat
kosmopolitan), faktor ekstemal (kebijakan pemerintah, sistem sosial dan norma-norma
sosial), dan persepsi nelayan terhadap sifat-sifat inovasi (keuntungan relatif,
kompatibilitas, kompleksitas triabilitas, dan observabilitas) berpengaruh positif terhadap
adopsi inovasi usaha pertanian.

2.4 Kategori Adopter


Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima
inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi).
Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah pengelompokan
berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961).
Innovators
Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani
mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi. Golongan ini merupakan
golongan yang paling cepat melewati proses adopsi. Orang yang termasuk golongan ini
jumlahnya tidak banyak dalam suatu daerah, satu atau dua orang saja, mungkin juga tidak
ada. Mereka merupakan orang yang maju sekali, pandai, pengetahuannya lpuas,
usahanya maju, penghasilannya tinggi, kaya dan pengalamannya luas. Tanah usahanya
luas, mempunyai kegemaran dan kesempatan untuk mencoba hal-hal baru. Sifat
istimewanya adalah selalu ingin tahu dan aktif mencari keterangan kemana-mana.
Petugas penyuluhan sering dibuat kewalahan. Biasanya mereka kurang memperdulikan
orang-orang sekitarnya, tidak aktif menyebar-luaskan innovasi atau pengetahuan dan
pengalamannya.
Early Adopters (Perintis/Pelopor)
Sekitar 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para
teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi. Golongan ini
merupakan sasaran yang cepat ikuti inovator, pendidikan diatas masyarakat sekitar, dan
mempunyai faktor produksi sehingga mudah untuk praktikkan hal-hal baru, aktif dalam
masyarakat dan supel dalam pergaulan, sumber advis dan informasi bagi masyarakat lain,
mau berbagi pengetahuan sehingga cocok untuk dijadikan teladan yang selanjutnya
menjadi kontak, bersifat “localite” dalam proses penyebaran inovasi, golongan ini paling
membantu penyuluh perikanan.

Early Majority (Pengikut Dini)


Sekitar 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi
internal tinggi. Pada golongan ini proses adopsi lebih lambat dibandingkan golongan
penerap dini, biasanya merupakan para tokoh masyarakat setempat, dimana biasanya
tidak mau usahanya gagal untuk menjaga agar citranya tidak buruk, tingkat pendidikan,
pengalaman, dan kondisi sosio ekonominya sedang.
Late Majority (Pengikut Akhir)
Sekitar 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis,
menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati. Pada
golongan ini petani ikan yang kurang mampu, pendidikan rendah bahka masih buta
huruf, sifatnya kurang giat dalam mengetrapkan inovasi baru, harus melihat contoh dari
golongan terdahulu, kurang menggunakan media massa sehingga lambat mengetahui
informasi terbaru, hubungan dengan penyuluh relatif kecil.
Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional)
Sekitar 16% adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan
terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas. Golongan ini disebut juga non
adopter, tuan-tuan tanah, masyarakat yang berpandangan kolot (tradisional), tidak senang
terhadap perubahan, kalau-pun menerima akan terjadi di akhir.
2.5 Analisis Inovasi dan Proses Adaptasi Inovasi
Berdasarkan jurnal yang dikupas Inovasi adalah sesuatu yang digunakan dalam
keseluruhan operasi perusahaan dimana sebuah produk baru diciptakan dan dipasarkan,
termasuk inovasi di segala proses fungsionil/ kegunaannya. Sedangkan Inovasi
pendidikan adalah suatu ide, gagasan, praktik atau obyek/benda yang disadari dan
diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi.
Dalam kadar tertentu, makna “inovasi” sering identic dengan “teknologi” yang
digunakan. Kata “teknologi” itu sendiri diartikan sebagai “a design for instrumental
action that reduces the uncertainty in the cause effect relationship involved in achieving
in desired outcomes”. Waktu merupakan hal yang penting dalam proses difusi inovasi.
Proses keputusan inovasi pada hahekatnya adalah suatu proses yang dilalui individu atau
kelompok, mulai dari pertama kali adanya inovasi, kemudian dilanjutkan dengan
keputusan sikap terhadap inovasi, penetapan keputusan untuk menerima atau menolak,
implementasi inovasi, dan konfirmasi atas keputusan inovasi yang dipilihnya.
Inovasi juga tidak muncul begitu saja perlu dilakukan tahapan tahapan proses
keputusan inovasi, yaitu :
1) Tahap pengetahuan (knowledge), yaitu apabila individu/kelompok, membuka diri
terhadap adanya suatu inovasi,
2) Tahap bujukan (persuation), yaitu manakala individu atau kelompok, mulai
membentuk sikap menyenangi atau bahkan tidak menyenangi terhadap inovasi;
3) Tahap pengambilan keputusan (decision making), yaitu tahap dimana
seseorang/kelompok melakukan aktifitas yang mengarah kepada keputusan untuk
menerima atau menolak inovasi
4) Tahap implementasi (implementation), yaitu ketika seseorang atau kelompok
menerapkan atau menggunakan inovasi itu, dan
5) Tahap konfirmasi (confirmation), yaitu tahap dimana seseorang atau kelompok
mencari penguatan terhadap keputusan inovasi yang dilakukannya.
Dengan demikian, proses adopsi inovasi akan dipengaruhi oleh sistem internal organisasi
kemasyarakatan atau sebuah instansi yang bersangkutan. Organisasi atau tatanan
kemasyarakatan yang baik dan stabil akan mengadopsi suatu inovasi dengan
mempertimbangkan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) memiliki tujuan yang jelas
b) memiliki pembagian tugas yang dideskripsikan secara jelas
c) memiliki kejelasan struktur otoritas atau kewenangan
d) memiliki peraturan dasar dan peraturan umum
e) memiliki pola hubungan informasi yang teruji
Tingkat percepatan adopsi suatu hasil inovasi akan sangat bergantung pada beberapa faktor.
Derajat adopsi tersebut sangat bergantung pada karakteristik atau ciri dari inovasi itu sendiri.
Karakteristik inovasi, yang sangat mempengaruhi derajat adopsi tersebut akan sangat
bergantung pada :
Adanya keuntungan relatif (relative advantages), artinya sampai sejauh mana suatu
inovasi yang diperkenalkan memberi manfaat dan keuntungan bagi perorangan atau
masyarakat yang akan mengadopsinya. Keuntungan relatif ini bisa diamati tak hanya dari
kajian atau aspek ekonomi, sosial, tetapi juga dari aspek lainnya seperti budaya, teknologi.
Suatu inovasi yang diyakini memiliki kemungkinan peluang keuntungan relatif yang semakin
tinggi, maka semakin tinggi pulalah kemungkinan percepatan adopsi tersebut oleh
masyarakat. Misal pada saat sekolah memperkenalkan program Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) dalam pembelajaran di sekolah, yang pertama dipikirkan oleh komunitas sekolah
adalah apakah pendekatan pembelajaran tersebut memiliki keuntungan relatif dibandingkan
dengan pola pembelajaran sebelumnya ? Bila jawabannya, ya maka bentuk inovasi yang
ditawarkan akan dengan cepat direspon oleh para guru ataupun orangtua.
Memiliki kekompakan dan kesepahaman (compatibility) artinya sampai sejauhmana
suatu inovasi bisa sejalan dan kompak dengan sistem nilai yang ada, ataupun sejalan dengan
pengalaman masa lalu masyarakat yang akan mengadopsinya. Misalnya manakala
kontrasepsi diperkenalkan dalam melaksanakan keluarga berencana (KB), bagaimana haln
tersebut sejalan dan dirasakan memiliki compability dengan suatu agama yang dianut oleh
masyarakat yang akan mengadopsinya. Atau dalam bidang pendidikan, pada saat sekarang ini
banyak bangunan sekolah dasar (SD) yang rusak, maka digulirkan program “peduli sekolah”
dengan melibatkan semua potensi masyarakat termasuk pemerintah dalam membangun
gedung sekolah. Apakah program tersebut sesuai dengan sisytem nilai yang ada, terutama
dengan budaya gotongroyong masyarakat kita.
Memiliki derajat kompleksitas (complexity), artinya sampai sejauhmana derajat
kompleksitas, kesukaran dan kerumitan suatu produk inovasi dirasakan oleh masyarakat.
Dengan demikian maknanya, semakin kecil derajat kerumitan atau semakin gampang dicerna
dan difahami suatu hasil inovasi tersebut, maka akan semakin besar kemungkinannya untuk
diadopsi oleh perorangan atau masyarakat. Misalnya pada waktu akan diperkenalkan
penelitian tindakan kelas-PTK (classroom action research) sebagai upaya untuk
meningkatkan mutu, apakah program tersebut memiliki tingkat kesulitan dan kompleksitas
yang tinggi atau tidak dalam pelaksanaannya di sekolah.
Dapat dicobakan (trialability), artinya sampai sejauh mana suatu inovasi dapat
diujicobakan keandalan dana manfaatnya. Suatu hasil inovasi dapat dengan gampang
diadopsi, manakala hal tersebut dapat dengan dilihat dan diujicobakan melalui pengalaman
lapangan. Misalnya, ketika jagung hybrida sebagai produk inovasi pertaninan, maka jagung
jenis unggulan ini dapat dengan mudah diadopsi karena jagung varitas unggulan ini dapat
diuji langsung oleh para petani pada lahan pertanian mereka.
Dapat diamati (observability), yaitu sampai sejauhmana suatu hasil inovasi dapat
diamati. Semakin gampang suatu hasil inovasi diamati, maka akan semakin tinggi peluang
hasil inovasi dapat diadopsi.
Selanjutnya, dalam adopsi inovasi, paling tidak ada lima kategori perbedaan individu
atau kelompok yang harus diperhatikan. Kelima kelompok tersebut adalah sebagai berikut. :
a) Para pembaharu atau pioner/perintis (inovators), yaitu mereka yang paling cepat
mengadopsi inovasi dalam masyarakat. Mereka tergolong proaktif, termasuk dalam
mencari ide-ide baru yang relevan, serta aktif untuk menerapkan metode baru itu
dalam lingkungan sosialnya. Kelompok ini prosentasenya sangat kecil, hanya sekitar
2,5 prosen saja.
b) Para adopter awal (early adopters), yaitu orang-orang yang tergolong cepat mengikuti
kelompok inovator. Mereka adalah kelompok rasional yang telah melihat beberapa
perubahan ke arah yang lebih baik. Kelompok ini kira-kira hanya 13,5 prosen saja
dari total.
c) Para kelompok mayoritas awal (early mayority). Yaitu mereka termasuk kelompok
kebanyakan yang mau meniri cara baru apabila hal tersebut telah benar benar
berhasil. Mereka tidak mau mengambil resiko, dan cenderung menghadopsinya
secara massal. Kelmpok ini berjulah kirakira 34 prosen.
d) Kelompok mayoritas akhir (late mayority) . Yaitu kelompok massal yang umumnya
ragu-ragu terhadap pengetahuan baru. Mereka cenderung skeptis, walaupun akhirnya
mereka mau menerima juga inovasi tersebut pada periode akhir. Kelompok ini kira-
kira 34 prosen.
e) Adopter akhir (late adopters). Yaitu kelompok yang sangat skeptis, dan senantiasa
resisten terhadap perubahan. Mereka sangat tradisional dalam berpikir, dan
cenderung menolak dan mengadakan “perlawanan” terhadap inovasi yang
ditawarkan. Kelompok ini kira-kira 16 prosen saja.
Proses adopsi inovasi bisa juga terhambat oleh berbagai faktor.
Ada tiga hambatan utama, yang berpotensi timbul dalam setiap adopsi inovasi.
Pertama, mental block barriers
Yaitu hambatan yang lebih disebabkan oleh sikap mental, seperti :
a) salah persepsi atau asumsi
b) cenderung berpikir negative
c) dihantui oleh kecemasan dan kegagalan
d) tidak mau mengambil resiko terlalu dalam
e) malas
f) saat ini berada pada daerah “nyaman dan aman
g) cenderung resisten/menolak terhadap setiap perubahan.
Kedua, hambatan yang sifatnya culture block (hambatan budaya). Hal ini lebih
dilatarbelakangi oleh :
adat yang sudah mengakar dan mentradisi
taat terhadap tradisi setempat
ada perasaan berdosa bila merubah “tatali karuhun”
Ketiga, hambatan social block (hambatan sosial). Yaitu hambatan inovasi sebagai akibat
dari faktor sosial dan pranata masyarakat sekitar. Hal ini antara lain :
perbedaan suku dan agama ataupun ras
perbedaan sosial ekonomi
nasionalisme yang sempit
arogansi primordial
fanatisme daerah yang kurang terkontrol.
Dengan demikian disadari ternyata pembentukan inovasi merupakan sesuatu
sistematika yang tidak mudah perlu ada latar belakang yang memprakarsai pembentukan
suatu ide atau inovasi baik dikalangan individu, kelompok maupun instansi besar yang
perlu di pertimbangkan karakteristik dari inovasi dan menghindari penghambat dari suatu
proses adaptasi inovasi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang di dapat dari analisa diatas adalah sebagai berikut :
Inovasi yang digunakan dalam keseluruhan operasi perusahaan dimana sebuah produk baru
diciptakan dan dipasarkan, termasuk inovasi di segala proses fungsionil/ kegunaannya.
Inovasi sebagai sebuah mekanisme perusahaan untuk beradaptasi dalam lingkungan yang
dinamis, oleh karena itu perusahaan dituntut untuk mampu menciptakan pemikiran-pemikiran
baru, gagasan-gagasan baru dan menawarkan produk yang inovatif serta peningkatan
pelayanan yang memuaskan pelanggan.
Inovasi juga tidak muncul begitu saja perlu dilakukan tahapan tahapan proses
keputusan inovasi, Tahap pengetahuan, Tahap bujukan , Tahap pengambilan keputusan,
Tahap implementasi, Tahap konfirmasi.
Karakteristik inovasi, yang sangat mempengaruhi derajat adopsi tersebut akan sangat
bergantung pada Adanya keuntungan relative, Memiliki kekompakan dan kesepahaman
(compatibility), Memiliki derajat kompleksitas, Dapat dicobakan (trialability), Dapat diamati
(observability),
Dalam adopsi inovasi, paling tidak ada lima kategori perbedaan individu atau
kelompok yang harusdiperhatikan Para pembaharu atau pioner/perintis, Para adopter awal
(early adopters), Para kelompok mayoritas awal, Kelompok mayoritas akhir (late
mayority),Adopter akhir (late adopters).

3.2 Saran

Ditengah era sekarang yang penduduknya terus bertambah dan lahan yang terus
berkurang pelaku usaha dan masyarakat dituntut untuk berinovasi menghasilkan produk yang
berkualitas. Selain itu, pemerintah harus selalu meningkatkan daya saing produk agar inovasi
yg dibuat bisa memenuhi selera pasar. Mahasiswa harus lebih memahami tentang inovasi
karna inovasi merupakan ciri kehidupan yang lebih baik dan berkembang. Mahasiswa juga
harus mengerti pembahasan adaptasi inovasi karna dalam perwujudan inovasi juga harus
sejalan dengan inovasi yang baik

DAFTAR PUSTAKA

Aatmandai. 2010. Sistem adopsi Inovasi. Diakses


darihttp://aatmandai.blogspot.com/ Diunduh pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 13:45 WIB
Adiwilaga, Anwas. 1982. Ilmu Usahatani. Bandung : Penerbit Alumni.
Fadholi, Hermanto. 1981. Bahan Bacaan Pengantar Ekonomi Pertanian. Bogor : Pendidikan
Guru Kejuruan Pertanian Fakultas Politeknik Pertanian Bogor
Fayya. 2013. Atualisasi Peran Penyuluh Perikanan . Diaksed
darihttp://fayyadharkanayahya.blogspot.com/ Diunduh pada tanggal 17 Maret 2014 pukul
13:30 WIB
Kasryno, Faisal. 1984. Prospek Pengembangan Ekonomi Pedesaan
Mailan A. Husni, 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi
Pada Skala Pengkajian. Makalah dalam Pelatihan Analisis Presentase dan Tabulasi Data
penelitian dan Pengkajian, Bogor, 2004.
Mardikanto, T. 1988. Komunikasi Pembangunan. UNS Press. Surakarta.
Mosher, A.T. 1970. Getting Agriculture Moving. Pyramid Book. New York.
Mundy, Paul. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PPAT3. Bogor.
Rogers, E.M. 1983. Diffusions of Innovations, Third Edition. Free Press. New York
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Perikanan. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Raja
Grafindo Persada. Jakarta

También podría gustarte