Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
STATUS PASIEN
Pasien datang ke rumah sakit dibawa orang tuanya pada pukul 09.20 WIB
dengan keluhan kejang sebanyak 2 kali, kejang yang pertama dialami 1 jam sebelum
pasien di bawa ke RS, kejang yang kedua dialami pasien 15 menit sebelum masuk
RS. Pasien mengalami kejang dua kali yang lamanya kurang lebih selama 5 menit,
pada saat kejang yang pertama tangan pasien . Pada saat kejang pertama dan kedua,
kedua tangan mengepal dan menyentak-nyentak dan kaki pasien menye, mata
terbelalak ke atas. Sesaat setelah kejang yang pertama pasien kembali sadar dan
tampak lemas dan sesaat setelah kejang yang kedua pasien kembali sadar dan tampak
sangat lemas.
Pasien juga mengalami demam, demam dirasakan sudah dua hari, demam
perlahan-lahan tinggi dan turun ketika minum obat. Pasien juga mengeluhkan flu dan
pilek 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
LOKALISASI
Kulit
Warna : Sawo matang
Sianosis : Tidak ada
Hemangioma : Tidak ada
Turgor : Cepat kembali
Kelembapan : Cukup
Pucat : Tidak ada
Kepala
Bentuk : Normochepal
UUB : Datar
Rambut
Warna : Hitam
Tebal/tipis : Tipis
Jarang / Tidak (Distribusi) : agak jarang
Mata
Palpebra : Edem (-), Cekung (+)
Alis dan bulu mata : Tidak mudah di cabut
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Produksi air mata : Cukup
Pupil : Reflek cahaya (+/+)
Kornea : Jernih
Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada
Hidung
Bentuk : Simetris
Pernafasan Cuping Hidung : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
Mulut
Bentuk : Simetris
Bibir : Mukosa basah, berwarna merah muda
Gusi : Tidak ada pembengkakan dan tidak mudah berdarah
Lidah
Bentuk : Simetris
Pucat : (-)
Tremor : (-)
Kotor : (-)
Warna : Merah muda
Faring
Hiperemis : (-)
Edem : (-)
Tonsil
Warna : Merah muda
Pembesaran : Tidak ada
Leher
Pembesaran KGB : (-)
Massa : (-)
Thoraks
-Perkusi : Sonor/Sonor
Jantung
-Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat
-Palpasi : Apeks : Tidak teraba
-Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea
parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea
midclavicula sinistra
Batas atas : ICS II linea
parasternalis dextra
-Auskultasi : BJ I lebih besar dari BJ II
Abdomen
-Inspeksi : Bentuk : Simetris, seopel
-Palpasi : Hati : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Massa : Tidak teraba
-Perkusi : Timpani (+)
-Auskultasi : Peristaltik meningkat
-Turgor : Kembali cepat
b. Rangsangan Meningeal
- Kaku Kuduk : Kanan (-), Kiri (-)
- Kernig Sign : Kanan (-), Kiri (-)
- Brudzinski 1 : Kanan (-), Kiri (-)
- Brudzinski 2 : Kanan (-), Kiri (-)
- Brudzinski 3 : Kanan (-), Kiri (-)
- Brudzinski 4 : Kanan (-), Kiri (-)
c. Ektremitas
- Gerakan
Tangan : tremor (-) gerakan lambat (-)
Kaki : tremor (-) gerakan lambat (-)
- Kekuatan Otot
Tangan : Kanan (5,5,5,5,5), kiri (5,5,5,5,5)
Kaki : Kanan (5,5,5,5,5), kiri (5,5,5,5,5)
- Tonus
Tangan : Kanan (normal), kiri (normal)
Kaki : Kanan (normal), kiri (normal)
- Trofi
Tangan : Kanan (normotrofi), kiri (normotrofi)
Kaki : Kanan (normotrofi), kiri (normotrofi)
d. Reflek Fisiologis
- Bisep : Kanan (+2), Kiri (+2)
- Trisep : Kanan (+2), Kiri (+2)
- Patella : Kanan (+2), Kiri (+2)
- Achilles : Kanan (+2), Kiri (+2)
e. Reflek Patologis
- Hofman : Kanan (-), Kiri (-)
- Tromner : Kanan (-), Kiri (-)
- Babinski : Kanan (+), Kiri (-)
- Chaddock : Kanan (-), Kiri (-)
- Openhim : Kanan (-), Kiri (-)
f. Saraf Otonom
- Miksi : Dalam Batas Normal
- Defekasi : Dalam Batas Normal
g. Sensibilitas
- Sensasi rasa : Normal
- Sensasi nyeri : Normal
FOLLOW UP
S/ Demam (-)
Kejang (-)
Flu (-)
O/ Sensorium : Kompos Mentis
Temperature : 36,2 °C
HR : 78 x/menit
RR : 20 x/menit
Thoraks : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
Abdomen : Peristaltik (normal)
Status Neurologis :
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Brudzinski IV (-)
- Refleks fisiologis :
Biseps (+)
triseps (+)
patella (+)
achilles (+)
- Refleks patologis :
oppenheim (-)
Gordon (-)
Schaefer (-)
Babinski (-)
Chaddok (-)
A/ KDK
P/ -IVFD RL 10 gtt/i
-Luminal 3x20 mg
S/ Demam (-)
Kejang (-)
Flu (-)
O/ Sensorium : Kompos Mentis
Temperature : 36,7 °C
HR : 104 x/menit
RR : 24 x/menit
Thoraks : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
Abdomen : Peristaltik (normal)
Status Neurologis :
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Brudzinski IV (-)
- Refleks fisiologis :
Biseps (+)
triseps (+)
patella (+)
achilles (+)
- Refleks patologis :
oppenheim (-)
Gordon (-)
Schaefer (-)
Babinski (-)
Chaddok (-)
A/ KDK
P/ -IVFD RL 10 gtt/i
-Luminal 3x20 mg
S/ Demam (-)
Kejang (-)
Flu (-)
O/ Sensorium : Kompos Mentis
Temperature : 36,7 °C
HR : 104 x/menit
RR : 24 x/menit
Thoraks : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
Abdomen : Peristaltik (normal)
Status Neurologis :
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
- Refleks fisiologis :
Biseps (+)
triseps (+)
patella (+)
achilles (+)
- Refleks patologis :
oppenheim (-)
Gordon (-)
Schaefer (-)
Babinski (-)
Chaddok (-)
A/ KDK
P/ -IVFD RL 10 gtt/i
-Luminal 3x20 mg
PBJ
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial. Dengan syarat kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena
gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Anak berumur antara 1-6
bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. Batasan usia lebih
dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. Bayi
berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan
termasuk dalam kejang neonatus.(1)
3.2 EPIDEMIOLOGI
Kejang demam bukan merupakan suatu kelainan neurologis tapi paling sering
dijumpai pada anak. Berdasarkan kriteria Livingstone kejang demam terjadi terutama
pada golongan usia 6 bulan dan 4 tahun. Angka kejadian kejang demam di Indonesia
sendiri mencapai 2-4 % tahun 2008 dan terjadi pada anak antara usia 6 bulan dan 7
tahun, dan setengahnya yang terjadi antara usia 1 dan 2 tahun 80% disebabkan oleh
infeksi saluran pernafasan. Bila terjadi pada usia kurang dari 6 bulan harus dipikirkan
penyebab lain seperti infeksi susunan saraf pusat maupun epilepsi yang terjadi
bersama demam.(4)
Data kejadian kejang demam di Indonesia masih terbatas. Insiden dan faktor
predileksi kejang demam di Indonesia sama dengan negara lain. Kira-kira satu sampai
tiga anak dengan kejang demam pernah mempunyai riwayat kejang demam
sebelumnya, dengan sekitar 75% terjadi pada tahun yang sama dengan kejang demam
pertama, dan sekitar 90% terjadi pada tahun berikutnya dengan kejang demam
pertama.12,13 Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi
kejang demam pada anak di Indonesia cukup banyak, mengingat banyak faktor
predileksi yang dapat menyebabkan kejang demam.(5)
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial.
Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, faktor prenatal (usia ibu
saat hamil, riwayat pre-eklampsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan
toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus
lama, cara lahir), faktor pasca natal (trauma kepala), jenis kelamin, dan kadar natrium
rendah (Staff Pengajar IKA FKUI, 2005). Setelah kejang demam pertama kira-kira
33% anak akan mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak
mengalami rekurensi 3 kali atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini,
cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat
kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsy
Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum
berumur 4 tahun, terbanyak di antara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami
kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun.
Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada
beberapa pasien masih dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang
demam diturunkan secara autosomal dominan sederhana.
3.5 ETIOLOGI
Morbili (campak) 12
Tidak diketahui 66
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai kejang demam
daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8%-45% penderita gastroenteritis oleh kuman
Shigella mempunyai risiko mengalami kejang demam yang lebih tinggi dibanding
penderita gastroenteritis oleh kuman penyebab lainnya. (6)
Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-
ion keluar masuk sel.
3.7 DIAGNOSA
A. Anamnesis (6)
Adanya kejang, sifat kejang, bentuk kejang, kesadaran selama dan setelah
kejang, durasi kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval antara 2
serangan kejang, penyebab demam di luar susunan saraf pusat.
Riwayat demam sebelumnya (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun).
Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai
demam atau epilepsi).
Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi).
Riwayat trauma kepala.
Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, dan
lain-lain).
Singkirkan penyebab kejang lainnya.
B. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis(6)
Tingkat kesadaran
Tanda rangsang meningeal
Tanda refleks patologis
C. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium(6)
Pemeriksaan darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum,
urinalisis, biakan darah, urin atau feses.
b) Pungsi lumbal(6)
Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika
tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan
kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah
menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu
pada kasus seperti itu lumbal pungsi sangat dianjurkan untuk dilakukan (American
Academy of Pediatrics, 1999).
Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
Bila secara klinis yakin bukan meningitis, maka tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.
c) EEG(1)
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali
apabila bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal
untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi
lebih lanjut.
d) Pencitraan(1)
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2,
derajat rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi,
seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau
paresis nervus kranialis.
3.8 PENATALAKSANAAN(1)
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila
kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis.
a) Antipiretik
Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor
risiko di bawah ini:
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,
iritabilitas, serta sedasi.
a) Pemberian obat antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan
rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of
evidence 3, derajat rekomendasi D).
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis
Keterangan:
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (level of evidence 1, derajat rekomendasi B).
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.
Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
3.9 PROGNOSIS(1)