Está en la página 1de 32

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan kasus tersering di bidang neurologi anak. Kejang


selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orangtua, apalagi jika kejang
tersebut baru pertama kali dialami seorang anak. Perubahan terutama mengenai
indikasi pungsi lumbal dan tatalaksana yaitu perlu tidaknya pemberian obat untuk
profilaksis intermiten maupun jangka panjang.(1)
Kejang demam adalah kejang yang di-sertai demam/terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal >38OC) yang disebabkan suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak. Kejang demam
umumnya terjadi pada anak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam
merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak-anak,
terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Setelah kejang demam pertama, 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi (kekambuhan), dan 9% anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih.(2)
Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar 30
sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang demam
berulang. Meskipun memiliki prognosis yang baik, namun kejang demam tetap
menjadi hal yang menakutkan bagi orang tua. Untuk itu diperlukan pengetahuan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi berulangnya kejang demam yang bisa
diberikan kepada orangtua untuk meredakan ketakutan yang berlebihan dan
kepentingan tatalaksana. Adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya
kejang demam berulang adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang
dari 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang, dan cepatnya kejang setelah
demam. Selain empat faktor di atas, adanya faktor jenis kelamin, riwayat epilepsi
dalam keluarga, dan kejang demam kompleks pada kejang demam pertama juga
ditambahkan sebagai faktor prediktif kejang demam berulang.(3)
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN


 Nama : Aura Medina
 Umur : 9 bulan 5 hari
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Berat Badan : 8,5 kg
 Tinggi Badan : 72 Cm
 Tanggal Masuk RS : 19 January 2019
 Nomor RM : 167652

2.2 IDENTITAS IBU PASIEN


 Nama : Asniati
 Umur : 32 Tahun
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Alamat : Kebayakan
 Penyakit Saat Hamil : Di sangkal

2.3 ALLOANAMNESIS PADA IBU PASIEN

Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke rumah sakit dibawa orang tuanya pada pukul 09.20 WIB
dengan keluhan kejang sebanyak 2 kali, kejang yang pertama dialami 1 jam sebelum
pasien di bawa ke RS, kejang yang kedua dialami pasien 15 menit sebelum masuk
RS. Pasien mengalami kejang dua kali yang lamanya kurang lebih selama 5 menit,
pada saat kejang yang pertama tangan pasien . Pada saat kejang pertama dan kedua,
kedua tangan mengepal dan menyentak-nyentak dan kaki pasien menye, mata
terbelalak ke atas. Sesaat setelah kejang yang pertama pasien kembali sadar dan
tampak lemas dan sesaat setelah kejang yang kedua pasien kembali sadar dan tampak
sangat lemas.

Pasien juga mengalami demam, demam dirasakan sudah dua hari, demam
perlahan-lahan tinggi dan turun ketika minum obat. Pasien juga mengeluhkan flu dan
pilek 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

a. Riwayat Penyakit Dahulu :

Pernah dirawat usia 7 bulan karena kejang

b. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada
c. Riwayat Pengobatan
Bidan dan diberikan obat penurun panas (paracetamol)
d. Riwayat Kehamilan :
Ibu pasien melahirkan di bidan pervaginam dengan usia kehamilan cukup
bulan.
e. Riwayat Perkembangan
Tengkurap : 6 Bulan
Merangkak : 9 Bulan
f. Riwayat Imunisasi
 Hepatitis B : Bulan ke 0,2,3,4
 Polio : Bulan ke 0,2,3,4
 BCG : Bulan ke 0
 DPT : Bulan ke 2,3,4
 Campak : Belum
2.4 PEMERIKSAAN FISIK
 GENERAL
Keadaan Umum : Sedang
Keadaan penyakit : Sedang
Keadaan gizi : BB/U = 8,5/8,5x100%= 100 %
TB/U =72/70x100%= 102 %
BB/TB =8,5/9,1x100%= 93,4 % (Gizi Baik)
Sensorium : Compos Mentis
Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 28 x/menit
Suhu : 38,2 °C

 LOKALISASI
 Kulit
Warna : Sawo matang
Sianosis : Tidak ada
Hemangioma : Tidak ada
Turgor : Cepat kembali
Kelembapan : Cukup
Pucat : Tidak ada

 Kepala
Bentuk : Normochepal
UUB : Datar
 Rambut
Warna : Hitam
Tebal/tipis : Tipis
Jarang / Tidak (Distribusi) : agak jarang
 Mata
Palpebra : Edem (-), Cekung (+)
Alis dan bulu mata : Tidak mudah di cabut
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Produksi air mata : Cukup
Pupil : Reflek cahaya (+/+)
Kornea : Jernih
 Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada
 Hidung
Bentuk : Simetris
Pernafasan Cuping Hidung : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
 Mulut
Bentuk : Simetris
Bibir : Mukosa basah, berwarna merah muda
Gusi : Tidak ada pembengkakan dan tidak mudah berdarah
 Lidah
Bentuk : Simetris
Pucat : (-)
Tremor : (-)
Kotor : (-)
Warna : Merah muda
 Faring
Hiperemis : (-)
Edem : (-)
 Tonsil
Warna : Merah muda
Pembesaran : Tidak ada
 Leher
Pembesaran KGB : (-)
Massa : (-)
 Thoraks

-Inspeksi Bentuk : Simetris

Retraksi : Tidak ada

Pernafasan : Gerakan simetris

-Palpasi Fremitus fokal : Simetris kanan-kiri

-Perkusi : Sonor/Sonor

-Auskultasi :Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)

 Jantung
-Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat
-Palpasi : Apeks : Tidak teraba
-Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea
parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea
midclavicula sinistra
Batas atas : ICS II linea
parasternalis dextra
-Auskultasi : BJ I lebih besar dari BJ II

 Abdomen
-Inspeksi : Bentuk : Simetris, seopel
-Palpasi : Hati : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Massa : Tidak teraba
-Perkusi : Timpani (+)
-Auskultasi : Peristaltik meningkat
-Turgor : Kembali cepat

 Ekstremitas : edema (-/-/-/-), sianosis (-/-/-/-), akral dingin (-


/-/-/-)
 Genetalia : Tidak ada kelainan
 Anus : Tidak ada kelainan

2.5 STATUS NEUROLOGIS


a. Status Neurologi
- Keadaan Umum : tampak baik
- Kesadaran : Somnolen
- GCS : E4 V5 M6
- Nervus Kranial
 N1 (Olfactorius) : Tidak dilakukan Pemeriksaan
 N2 (Optikus) : Tidak dilakukan Pemeriksaan
 N3 (Okulomotorius)
Bentuk : Kanan (normal), Kiri (normal)
Ukuran : Kanan (2mm), Kiri (2mm)
Gerakan Bola Mata :Atas (normal/normal)
bawah (normal/normal),
kiri dan kanan(normal)
 N4 (Trochlearis)
Gerakan Bola Mata : Atas (+/+), bawah (+/+),
 N5 (Trigeminus) : Tidak dilakukan Pemeriksaan
 N6 (Abdusen)
Gerakan Bola Mata : Lateral (+/+)
 N7 (Fasialis)
Menutup Mata : Kanan (normal), Kiri (normal)
Sudut Bibir : Kanan (abnormal), Kiri (normal)
 N8 (Vestibulokoklearis) : Tidak dilakukan Pemeriksaan
 N9 (Glosofaringeus) : Tidak dilakukan Pemeriksaan
 N10 (Vagus)
Reflek Menelan : normal
 N11 (Assesorius)
Memalingkan Kepala : normal
 N12 (Hipoglosus)
Menjulurkan Lidah : Kanan (normal), Kiri (normal)
Tremor Lidah : (+)

b. Rangsangan Meningeal
- Kaku Kuduk : Kanan (-), Kiri (-)
- Kernig Sign : Kanan (-), Kiri (-)
- Brudzinski 1 : Kanan (-), Kiri (-)
- Brudzinski 2 : Kanan (-), Kiri (-)
- Brudzinski 3 : Kanan (-), Kiri (-)
- Brudzinski 4 : Kanan (-), Kiri (-)
c. Ektremitas
- Gerakan
Tangan : tremor (-) gerakan lambat (-)
Kaki : tremor (-) gerakan lambat (-)

- Kekuatan Otot
Tangan : Kanan (5,5,5,5,5), kiri (5,5,5,5,5)
Kaki : Kanan (5,5,5,5,5), kiri (5,5,5,5,5)
- Tonus
Tangan : Kanan (normal), kiri (normal)
Kaki : Kanan (normal), kiri (normal)
- Trofi
Tangan : Kanan (normotrofi), kiri (normotrofi)
Kaki : Kanan (normotrofi), kiri (normotrofi)
d. Reflek Fisiologis
- Bisep : Kanan (+2), Kiri (+2)
- Trisep : Kanan (+2), Kiri (+2)
- Patella : Kanan (+2), Kiri (+2)
- Achilles : Kanan (+2), Kiri (+2)
e. Reflek Patologis
- Hofman : Kanan (-), Kiri (-)
- Tromner : Kanan (-), Kiri (-)
- Babinski : Kanan (+), Kiri (-)
- Chaddock : Kanan (-), Kiri (-)
- Openhim : Kanan (-), Kiri (-)
f. Saraf Otonom
- Miksi : Dalam Batas Normal
- Defekasi : Dalam Batas Normal
g. Sensibilitas
- Sensasi rasa : Normal
- Sensasi nyeri : Normal

2.6 DIAGNOSA BANDING


 Kejang Demam kompleks
 Kejang Demam Sederhana
 Meningitis

2.7 DIAGNOSA KERJA
 Kejang Demam Kompleks
2.8 PENATALAKSANAAN
 IVFD RL 35 gtt/i
 Inj. Diazepam ¼ A (KP)
 Paracetamol syr 4x1 cth
 Luminal 3 x 20 mg
 Diet
-MB
Protein (850mg-1700mg)
Kalori 850 Kkal/hari,

FOLLOW UP

 20 January 2019 (Day 2)

S/ Demam (-)
Kejang (-)
Flu (-)
O/ Sensorium : Kompos Mentis
Temperature : 36,2 °C
HR : 78 x/menit
RR : 20 x/menit
Thoraks : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
Abdomen : Peristaltik (normal)

Status Neurologis :

- Tanda rangsal meningeal

Kaku kuduk (-)

Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)

Brudzinski III (-)

Brudzinski IV (-)

Kernig Sign (-)

- Refleks fisiologis :

Biseps (+)

triseps (+)

patella (+)

achilles (+)

- Refleks patologis :
oppenheim (-)
Gordon (-)
Schaefer (-)
Babinski (-)
Chaddok (-)
A/ KDK

P/ -IVFD RL 10 gtt/i

-Inj. Diazepam ¼ A (KP)

-Paracetamol syr 4x1 cth

-Luminal 3x20 mg

 21 January 2019 (Day 3)

S/ Demam (-)
Kejang (-)
Flu (-)
O/ Sensorium : Kompos Mentis
Temperature : 36,7 °C
HR : 104 x/menit
RR : 24 x/menit
Thoraks : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
Abdomen : Peristaltik (normal)

Status Neurologis :

- Tanda rangsal meningeal

Kaku kuduk (-)

Brudzinski I (-)

Brudzinski II (-)

Brudzinski III (-)

Brudzinski IV (-)

Kernig Sign (-)

- Refleks fisiologis :

Biseps (+)

triseps (+)

patella (+)

achilles (+)

- Refleks patologis :
oppenheim (-)
Gordon (-)
Schaefer (-)
Babinski (-)
Chaddok (-)
A/ KDK

P/ -IVFD RL 10 gtt/i

-Inj. Diazepam ¼ A (KP)

-Paracetamol syr 4x1 cth

-Luminal 3x20 mg

 22 January 2019 (Day 4)

S/ Demam (-)
Kejang (-)
Flu (-)
O/ Sensorium : Kompos Mentis
Temperature : 36,7 °C
HR : 104 x/menit
RR : 24 x/menit
Thoraks : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
Abdomen : Peristaltik (normal)

Status Neurologis :

- Tanda rangsal meningeal

Kaku kuduk (-)

Brudzinski I (-)

Brudzinski II (-)

Brudzinski III (-)


Brudzinski IV (-)

Kernig Sign (-)

- Refleks fisiologis :

Biseps (+)

triseps (+)

patella (+)

achilles (+)

- Refleks patologis :
oppenheim (-)
Gordon (-)
Schaefer (-)
Babinski (-)
Chaddok (-)
A/ KDK

P/ -IVFD RL 10 gtt/i

-Inj. Diazepam ¼ A (KP)

-Paracetamol syr 4x1 cth

-Luminal 3x20 mg

PBJ
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial. Dengan syarat kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena
gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Anak berumur antara 1-6
bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. Batasan usia lebih
dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. Bayi
berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan
termasuk dalam kejang neonatus.(1)

3.2 EPIDEMIOLOGI

Kejang demam bukan merupakan suatu kelainan neurologis tapi paling sering
dijumpai pada anak. Berdasarkan kriteria Livingstone kejang demam terjadi terutama
pada golongan usia 6 bulan dan 4 tahun. Angka kejadian kejang demam di Indonesia
sendiri mencapai 2-4 % tahun 2008 dan terjadi pada anak antara usia 6 bulan dan 7
tahun, dan setengahnya yang terjadi antara usia 1 dan 2 tahun 80% disebabkan oleh
infeksi saluran pernafasan. Bila terjadi pada usia kurang dari 6 bulan harus dipikirkan
penyebab lain seperti infeksi susunan saraf pusat maupun epilepsi yang terjadi
bersama demam.(4)

Kejang demam tanpa komplikasi merupakan kejang menyeluruh yang


berlangsung kurang dari 15 menit yang terjadi hanya sekali dalam masa 24 jam. Jika
bersifat fokal, lama, atau multipel, kejang tersebut dinamakan kejang demam
kompleks.(4)
WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat lebih dari 21,65 juta
penderita kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal. Angka
kejadian kejang demam bervariasi diberbagai negara. Daerah Eropa Barat dan
Amerika tercatat 2-4% angka kejadian kejang demam per tahunnya. Sedangkan di
India sebesar 5-10% dan di Jepang 8,8%. Hampir 80% kasus kejang demam
sederhana (kejang <15 menit, umum, tonik atau klonik, akan berhenti sendiri, tanpa
gerakan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam) sedangkan 20% kasus merupakan
kejang demam komplikata (kejang >15 menit, fokal atau kejang umum didahului
kejang parsial, berulang atau lebih dari satu kali dalam 24 jam).(4)

Data kejadian kejang demam di Indonesia masih terbatas. Insiden dan faktor
predileksi kejang demam di Indonesia sama dengan negara lain. Kira-kira satu sampai
tiga anak dengan kejang demam pernah mempunyai riwayat kejang demam
sebelumnya, dengan sekitar 75% terjadi pada tahun yang sama dengan kejang demam
pertama, dan sekitar 90% terjadi pada tahun berikutnya dengan kejang demam
pertama.12,13 Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi
kejang demam pada anak di Indonesia cukup banyak, mengingat banyak faktor
predileksi yang dapat menyebabkan kejang demam.(5)

Sebagian besar kasus kejang demam sembuh sempurna tetapi 2%-7%


berkembang menjadi epilepsi dengan angka kematian 0,64% - 0,75%. Kejang demam
dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan
pencapaian tingkat akademik. Beberapa hasil penelitian tentang penurunan tingkat
intelegensi paska bangkitan kejang demam tidak sama, 4% pasien kejang demam
secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat
intelegensi.(4)
3.3 KLASIFIKASI(1)
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang
umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Keterangan:

 Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam


 Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit
dan berhenti sendiri

2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)


Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:

 Kejang lama (>15 menit).


Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak
sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.

 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial.

 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.


Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16%
anak yang mengalami kejang demam
3.4 FAKTOR RESIKO(6)

Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, faktor prenatal (usia ibu
saat hamil, riwayat pre-eklampsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan
toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus
lama, cara lahir), faktor pasca natal (trauma kepala), jenis kelamin, dan kadar natrium
rendah (Staff Pengajar IKA FKUI, 2005). Setelah kejang demam pertama kira-kira
33% anak akan mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak
mengalami rekurensi 3 kali atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini,
cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat
kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsy

Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum
berumur 4 tahun, terbanyak di antara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami
kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun.
Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada
beberapa pasien masih dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang
demam diturunkan secara autosomal dominan sederhana.

Faktor risiko berulangnya kejang demam:

 Riwayat kejang demam dalam keluarga


 Usia kurang dari 12 bulan
 Temperatur yang rendah saat kejang
 Cepatnya kejang setelah demam
 Terdapat kelainan neurologis (meskipun minimal)
 Kejang awal yang unilateral
 Kejang berhenti lebih dari 30 menit
 Kejang berulang karena penyakit yang sama
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80
%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang
demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar
adalah pada tahun pertama.

3.5 ETIOLOGI

Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demamnya sering


disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis,
pneumonia, bronkopneumonia, bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih. (6)

Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang


demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak
sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi
DTP (pertusis) dan morbili (campak). (6)

Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada


297 penderita kejang demam, 66(±22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya
(Baumann, 2002). Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat
peradangan. Ada penderita yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian
tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan otitis media akut. (6)

Tabel 1. Penyebab demam pada 297 anak penderita kejang demam(6)

Penyebab demam Jumlah penderita

Tonsilitis dan/atau faringitis 100

Otitis media akut (radang liang telinga tengah) 91

Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna) 22

Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi 44

Bronkitis (radang saiuran nafas) 17


Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas) 38

Morbili (campak) 12

Varisela (cacar air) 1

Dengue (demam berdarah) 1

Tidak diketahui 66

Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai kejang demam
daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8%-45% penderita gastroenteritis oleh kuman
Shigella mempunyai risiko mengalami kejang demam yang lebih tinggi dibanding
penderita gastroenteritis oleh kuman penyebab lainnya. (6)

Pada tahun 1984 Lahat dkk, mengemukakan bahwa tingginya angka


kejadian kejang demam pada Shigellosis dan Salmonellosis mungkin berkaitan
dengan efek toksik akibat racun yang dihasilkan kuman bersangkutan.(6)

3.6 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Patofisiologi kejang demam masih belum jelas, tetapi faktor genetik


memainkan peran utama dalam kerentanan kejang. Kejadian kejang demam
dipengaruhi oleh usia dan maturitas otak. Postulat ini didukung oleh fakta bahwa
sebagian besar (80-85%) kejang demam terjadi antara usia 6 bulan dan 5 tahun,
dengan puncak insiden pada 18 bulan. Meskipun mekanisme peningkatan kerentanan
ini tidak jelas, model hewan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan eksitabilitas
neuron selama maturasi otak normal. Studi pendahuluan pada anak menunjukkan
bahwa jaringan sitokin diaktifkan dan mungkin memiliki peran dalam patogenesis
kejang demam. Meskipun demikian, signifikansi klinis yang tepat dari penelitian ini
masih belum jelas(7)
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga
sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.(8)

Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.


Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat
potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan
tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. (8)

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu:)(8)

 Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,


misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
 Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
 Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan


bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan
menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat. (8)
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung,
otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang
bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang
lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia
sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan
mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak.(7)

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:(7)

 Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
 Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
 Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
 Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-
ion keluar masuk sel.
3.7 DIAGNOSA

Langkah diagnostik untuk kejang demam adalah :(6)

A. Anamnesis (6)
 Adanya kejang, sifat kejang, bentuk kejang, kesadaran selama dan setelah
kejang, durasi kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval antara 2
serangan kejang, penyebab demam di luar susunan saraf pusat.
 Riwayat demam sebelumnya (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun).
 Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai
demam atau epilepsi).
 Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi).
 Riwayat trauma kepala.
 Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
 Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, dan
lain-lain).
 Singkirkan penyebab kejang lainnya.
B. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis(6)

Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah:

 Tanda vital terutama suhu tubuh


 Manifestasi kejang yang terjadi
 Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau molase kepala berlebihan
 Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam
 Tanda peningkatan tekanan intracranial
 Tanda infeksi di luar SSP.

Pemeriksaan neurologis antara lain: (6)

 Tingkat kesadaran
 Tanda rangsang meningeal
 Tanda refleks patologis

Umumnya pada kejang demam tidak dijumpai adanya kelainan neurologis,


termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.

C. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium(6)
Pemeriksaan darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum,
urinalisis, biakan darah, urin atau feses.
b) Pungsi lumbal(6)

Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang


dilakukan untuk menyingkirkan meningitis, terutama pada pasien kejang
demam pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas,
sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6
bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Berdasarkan
penelitian, cairan serebrospinal yang abnormal umumnya diperoleh pada anak
dengan kejang demam yang:

 Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk)


 Mengalami komplex partial seizure
 Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit
dalam 48 jam sebelumnya)
 Kejang saat tiba di IGD
 Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan.
Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah
normal.
 Kejang pertama setelah usia 3 tahun.

Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika
tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan
kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah
menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu
pada kasus seperti itu lumbal pungsi sangat dianjurkan untuk dilakukan (American
Academy of Pediatrics, 1999).
Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Bayi < 12 bulan : diharuskan.

2. Bayi antara 12 – 18 bulan : dianjurkan.

: Tidak rutin kecuali bila ada tanda-


3. Bayi > 18 bulan tanda meningitis.

Bila secara klinis yakin bukan meningitis, maka tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.

 Jika ada kecurigaan klinis meningitis


 Kejang demam pertama
 Pasien telah mendapat antibiotic
 Adanya paresis atau paralisis

c) EEG(1)
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali
apabila bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal
untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi
lebih lanjut.
d) Pencitraan(1)
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2,
derajat rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi,
seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau
paresis nervus kranialis.
3.8 PENATALAKSANAAN(1)

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah


(prehospital)adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10
mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.

Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila
kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis.

Pemberian obat pada saat demam

a) Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko


terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A). Meskipun
demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat
diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
b) Antikonvulsan

Tabel 3. Dosis obat anti konvulsi

a) Pemberian obat antikonvulsan intermiten

Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan


yang diberikan hanya pada saat demam.

Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor
risiko di bawah ini:

• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral


• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,
iritabilitas, serta sedasi.
a) Pemberian obat antikonvulsan rumat

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan
rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of
evidence 3, derajat rekomendasi D).

Indikasi pengobatan rumat:

1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis

Keterangan:

• Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan, bukan


merupakan indikasi pengobatan rumat.
• Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik yang bersifat fokal.
• Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk
pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (level of evidence 1, derajat rekomendasi B).

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan


kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-
40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2
dosis.

Lama pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk


kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
tidak sedang demam.

Tatalaksana kejang demam dan kejang secara umum


Edukasi

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.
Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:

1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis


baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat

3.9 PROGNOSIS(1)

Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan


sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik
umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition
memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.
Daftar Pustaka

1. Ismael, S. Pusponegoro, D.H. et all. Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit


Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016
2. Dewanti, A. Tjandrajani,A. et all. Kejan Kejang Demam dan Faktor yang
Mempengaruhi Rekurensi. Kelompok Kerja Neurologi Anak, Rumah Sakit
Anak dan Bunda Harapan Kita. 2012.
3. Yunita F.E., Afdal, Syarif I, Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan
Timbulnya Kejang Demam Berulang pada Pasien yang Berobat di Poliklinik
Anak RS. DR. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 – Desember 2012
http://jurnal.fk.unand.ac.id
4. Kakalang, PJ. Masloman, H. Manoppo, JI, Ch. Profil kejang demam di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode
Januari 2014 – Juni 2016 Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-
Desember 2016
5. Udin, MAA,. Pengaruh Penyuluhan Tentang Kejang Demam Anak Terhadap
Pengetahuan Orang Tua , Jurnal Media Medika Muda 2014
6. Pradani RA,. Kejang Demam. Refarat. 2013
7. Fuadi, F., (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak,
(Tesis), Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
8. Nurindah D,. Muid M,. Retoprawiro S,. Hubungan antara Kadar Tumor
Necrosis Factor-Alpha (TNF-α) Plasma dengan Kejang Demam Sederhana
pada Anak. 2014

También podría gustarte