Está en la página 1de 17

KATA PENGANTAR

Sebelum mengawali aktivitas hendaknya kita mengucapkan Bismillah, agar


segala aktivitas yang kita lakukan berjalan dengan baik dan lancar.

Selanjutnya, mari kita panjatkan Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas
rahmat dan karuniaNya kita dapat merasakan dan menikmati hidup yang penuh
berkah, terutama penulis dapat membuat dan menyusun makalah ini. Selain itu,
Shalawat serta salam kita panjatkan kepada Junjungan Besar kita Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan juga para sahabat yang senantiasa menemani dan
mendukung Beliau, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Dalam makalah ini penulis ingin membahas tentang Hutan Mangrove, dimana
banyak pihak yang mengabaikan keberadaannya. Disamping itu, penulis menyadari
bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari khilaf dan salah, oleh
karena itu, penulis memohon maaf dan maklum serta selalu mengharapkan segala
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca yang budiman serta
para pembimbing yang bijak.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, masayarakat
umum dan khususnya bagi penulis, serta dapat menambah ilmu juga memperluas
wawasan kita.

Penulis, 27 November 2018

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar
Belakang…………………………………………………………….4
1.2. Rumusan
Masalah…………………………………………………………5
1.3. Tujuan…………………………………………………………………
…...5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Isi………………………………………………………………………
……6

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan……………………………………………………………………15
3.2 Saran………………………………………………………………………..15

Daftar Pustaka……………………………………………………………………...17

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Akhir-akhir ini semakin banyak masalah yang timbul disebabkan oleh


antropogenik, khususnya tentang lingkungan. Antropogenik adalah istilah yang
umum dipakai untuk menyatakan segala sesuatu yang terjadi di alam karena campur
tangan manusia (efek, proses,obyek dan material), kejadian tersebut sebagai lawan
kata dari kejadian alami.

Sangat disayangkan banyak pihak-pihak yang belum menyadari arti dari


keberadaan dirinya di muka bumi ini, seperti yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an
“Sesungguhnya hendak aku jadikan khlaifah di muka bumi ( Al Baqarah ayat
30)”, “Orang yang merusak lingkungan berati telah melanggar dan memerangi
perintah Allah SWT dan RasulNya dan telah berbuat kerusakan di muka bumi
yang berdampak pada kerusakan fasilitas umum (lingkungan) yang menjadikan
kebutuhan dasar hidup semua makhluk di muka bumi”. (Arie Budiman &
Ahmad Jauhar Arief, 2007, p 244).

Oleh karena itu, penulis membuat makalah ini dengan harapan bahwa
masyarakat bisa menyadari betapa pentingnya menjaga kestabilan lingkungan
(ekosistem), sebab bila manusia terus melakukan tindakan atau perbuatan yang
berdampak langsung pada keseimbangan ekosistem, maka keseimbangan ekosistem
ini akan hancur, dan secara tidak langsung juga berdampak pada kehidupan manusia
itu sendiri.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis akan membahas tentang Hutan
Mangrove atau Hutan Bakau. Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang

3
cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan
sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar,
merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria
(1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).

Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan
hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan
disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh
air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon
yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan
subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran
apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah,
perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang).

Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman


struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan
terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam
memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan,
bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan
menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi
menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan
permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak
organisme epifit (Nybakken.1986).

Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran


dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran
ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan
lumpur yang dibawanya dari hulu.

Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta

4
mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis
tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan
bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Hutan Mangrove ?
2. Apa saja fungsi dari Hutan Mangrove ?
3. Permasalahn apa saja yang terjadi pada Hutan Mangrove?
4. Apa saja dampak yang di timbulkan dari permasalahan tersebut ?

1.3. Tujuan

Untuk menjelaskan definisi dari Hutan Mangrove, fungsi dari Hutan Mangrove
tersebut, keanekaragaman yang berada dalam ekosistem Hutan Mangrove,
permasalahan yang di alami, dan dampak yang di timbulkan.

BAB II

5
PEMBAHASAN

Hutan Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis
tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan
mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan
abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Sebagian ilmuwan mendefinisikan, hutan mangrove adalah kelompok jenis


tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang
memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk
lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Sebagian lainnya mendefinisikan
bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-
tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup disepanjang areal
pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian
rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran


(polutan). Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan,
misalnya penelitian Darmiyati dkk tahun 1995 menemukan jenis Rhizophora
mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu dan penelitian
Saefullah tahun 1995 menginformasikan pada daun Avicennia marina terdapat
akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm, Ni ³ 2,4 ppm. Unsur-unsur tersebut
merupakan pulutan berupa logam berat jika berada dilingkungan akan berbahaya bagi
flora lain dan fauna, termasuk bagi manusia. Dengan demikian hutan mampu
mereduksi polutan dari lingkungan.

Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Seorang


peneliti, White (1987) melaporkan produktivitas primer ekosistem mangrove ini
sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari

6
ekosistem perairan pantai lainnya. Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu
menopang keanekaragaman jenis yang tinggi.

Vegetasi mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai


kondisi tempat tumbuhnya, (1) seperti adanya kelenjar garam pada golongan secreter,
dan kulit yang mengelupas pada golongan non-secreter sebagai tanggapan terhadap
lingkungan yang salin, (2) system perakaran yang khas, dan lentisel debagai
tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3) struktur dan posisi daun yang khas
sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi.

Hutan mangrove mempunyai tiga fungsi utama bagi kelestarian sumber daya,
yakni : (1) Fungsi fisik, hutan mangrove secara fisik menjaga dan menstabilkan garis
pantai serta tepian sungai, pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus,
mempercepat pembentukan lahan baru serta melindungi pantai dari erosi laut/abrasi
(green belt). (2) Fungsi biologis adalah sebagai tempat asuhan (nursery ground),
tempat mencari makanan (feeding ground) ) untuk berbagai organisme yang bernilai
ekonomis khususnya ikan dan udang, tempat berkembang biak (spawning ground),
sebagai penghasil serasah/zat hara yang cukup tinggi produktivitsnya, dan habitat
berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu,
hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah. (3) Fungsi ekonomi yakni
kawasan hutan mangrove berpotensi sebagai tempat rekreasi (ecotourism), lahan
pertambakan, dan penghasil devisa dengan produk bahan baku industri. ( Saparinto,
Cahyo. 2007)

Selain itu, secara khusus hutan mangrove juga berguna sebagai perangkap zat-
zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, mengolah limbah organik,
dan sebagainya. Setiap saat pantai terancam abrasi akibat arus dan gelombang laut
yang selalu bergerak. Tanpa keberadaan hutan mangrove dan hutan pantai, sangat
besar peluang pinggir pantai tergerus oleh arus dan gelombang yang terus
menerpanya.

7
Beberapa contoh hasil penelitian juga menunjukkan fungsi hutan mangrove
dan hutan pantai dalam meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari
hasil penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto dkk (2003). Pratikto melaporkan
bahwa hutan mangrove di Teluk Grajagan - Banyuwangi mampu mereduksi atau
mengurangi energi gelombang yang menerpa kawasan pantai tersebut. Istiyanto dkk
(2003) melalui pengujian laboratorium juga menyimpulkan bahwa rumpun bakau
(Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami
yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui
rumpun tersebut.

Selain itu, Hutan Mangrove juga merupakan potret ekosistem yang miliki
keanekaragaman hayati yang banyak di dalamnya. Keanekaragaman hayati tersebut
membentuk hubungan yang erat dan saling menjaga satu sama lain, layaknya
keluarga besar, serta menjadi contoh potret keluarga yang harmonis.

Mereka menghasilkan akar panggung mana proyek di atas lumpur dan air
untuk menyerap oksigen. Terendam di air asin dan sampai berlutut di lumpur,
tanaman di Rawa Mangrove memiliki cara cerdas untuk mengatasi lingkungan
mereka. Tanaman mangrove membentuk komunitas yang membantu untuk
menstabilkan bank dan garis pantai dan menjadi rumah bagi berbagai jenis hewan. .

Disamping itu Hutan Mangrove juga memiliki manfaat yang lain, yaitu
menyediakan buffer untuk negeri itu, bakau juga berinteraksi dengan laut. Sedimen
terperangkap oleh akar mencegah pendangkalan habitat laut yang berdekatan di mana
air keruh mungkin membunuh karang atau padang rumput melimpahi lamun. Selain
itu, tanaman bakau dan sedimen telah terbukti untuk menyerap polusi, termasuk
logam berat. Mangrove juga sangat efektif dalam menyimpan karbon.

Bila diamati dan dipahami dengan baik, Hutan Mangrove mempunyai banyak
manfaat yang mendukung kelangsungan kehidupan manusia. Namun, manusia selalu
merasa belum puas dan ingin mendapatkan lebih banyak keuntungan, sehingga

8
menggunakan segala upaya untuk memperoleh keuntungan yang besar walaupun
harus merusak ekosistem Hutan Mangrove.

Kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai 70% dari total potensi


mangrove yang ada seluas 9,36 juta hektare. Yaitu 48% atau seluas 4,51 juta hektare
rusak sedang dan 23% atau 2,15 juta hektare dalam kondisi rusak berat. Seperti yang
telah diutarakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam
keterangannya ketika membuka Jambore Mangrove di Pantai Depok, Kabupaten
Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (19/3), ia mengatakan bahwa kerusakan sebagian
besar hutan mangrove di Indonesia diakibatkan oleh ulah manusia, baik berupa
konversi mangrove menjadi pemanfaatan lain seperti pemukiman, industeri, rekreasi
dan lain sebagainya

Seperti contoh kasus yang terjadi di daerah Sumatera Utara yaitu adanya
pengalihan fungsi lahan hutan mangrove menjadi tambak masyarakat dan dikonversi
lagi menjadi lahan kelapa sawit. Seperti yang sudah kita ketahui Hutan mangrove
atau bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau, terletak pada
garis pantai dan dipengaruhi pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di
tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di
teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di
mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Hal-hal utama yang menjadi permasalahan dan penyebabnya antara lain, (1)
Tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan
konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk disini lebih mementingkan
kebutuhannya sendiri-sendiri dibandingkan kepentingan ekologis dan kepedulian
akan dampak lingkungan hidup. Banyaknya pihak yang tidak bertanggung jawab juga
dengan meminta untuk mengkonversi lahan mangrove tapi setelah dikonversi lahan
tersebut mereka tidak menindak lanjutinya. Mereka lebih paham bahwa manfaat
dengan dikonversinya hutan mangrove menjadi tambak dan lahan kelapa sawit akan
lebih menguntungkan padahal kalau ditinjau secara keuntungan jangka panjang hutan

9
mangrove akan lebih bermanfaat. (2) Perencanaan dan pengelolaan sumber daya
pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Dari sini kita mengetahui bahwa
pengelolaan yang sektoral ini akan mengakibatkan terjadinya perusakan hutan
mangrove berat yang akan berdampak pada masa yang akan datang. Kemudian
rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem mangrove.
(3) Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu
dianggap daerah yang yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian
dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang
semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative.
Reklamasi seperti itu telah memusnakan ekosistem mangrove dan juga
mengakibatkan efek – efek yang negatif teradap perikanan di perairan pantai
sekitarnya.

Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di


Tanjung Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut.
Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria,
ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin terbukanya
pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan kemungkinan
meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya areal-areal pertambakan
perikanan. Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, dilaporkan oleh Gunawan dan
Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan
pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove
alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (silvofishery).
Saat ini sedang diteliti, di mana kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota
dasar perairan, atau pun ikan).

Dampak ekologis secara umum akibat berkurang dan rusaknya ekosistem


mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan
ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan
ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Selain itu,
menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak
10
yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu meningkat, penurunan
tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria
dan lainnya.

Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai


makanan detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun
mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi (Romimohtarto dan Juwana
1999).

Gambar Rantai Makanan Detritus

Rantai makanan detritus dimulai dari proses penghancuran luruhan dan


ranting mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus. Hancuran
bahan organic (detritus) ini kemudian menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi
cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya (Nontji, 1993). Setyawan dkk (2002)
menyatakan nutrient di dalam ekosistem mangrove dapat juga berasal dari luar
ekosistem, dari sungai atau laut. Lalu ditambahkan oleh Romimohtarto dan Juwana
(1999) yang menyatakan bahwa bakteri dan fungi tadi dimakan oleh sebagian
protozoa dan avertebrata.

11
Kemudian protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang
selanjutnya dimakan oleh karnivor tingkat tinggi. Karena dengan adanya lahan hutan
mangrove yang dikonversi ini fauna-fauna baik itu pemangsa maupun yang dimangsa
akan berpindah ke lahan yang belum mengalami kerusakan. Contohnya saja spesies
monyet dan bangau mungkin tidak aka ada lagi karena spesies ikan yang ada akan
berkurang dan habitat mereka telah rusak. Pengaruh bahan-bahan kimia dari pupuk
pertanian juga. Secara tidak langsung akan mengubah siklus biogeokimianya karena
unsur-unsur yang ada akan berubah dan berkurang.

Ternyata dengan adanya lahan perkebunan kelapa sawit ini tentu saja akan
menurunkan tingkat kualitas tanah sebagai salah satu indikator dan pemegang
peranan penting didalam ekosistem apalagi dengan semua aspek fungsi ekologis yang
dimilikinya. Juga akan terjadi pendangkalan perairan pantai karena pengendapan
sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap dihutan mangrove.
Dengan begitu hutan mangrove yang asalnya tempat pemijahan ikan dan udang
secara alami akan beralih fungsi dan bahkan tidak berfungsi lagi sebagai tempat
pemijahan. Sebagaimana kita ketahui bahwa lahan tersebut secara struktur akan
berubah dan mungkin tercemar oleh bahan-bahan kimia yang berasal dari pupuk
pertanian untuk lahan kelapa sawit. Sehingga dengan melihat tingkat degradasi dan
konversi pada areal hutan mangrove tersebut maka harus direncanakan suatu
penelitian untuk mengetahui dan mengkaji kualitas tanah sebagai akibat dari konversi
mangrove yang telah dilakukan. (Anonim, 2009)

Dari situ kita tahu bahwa dengan adanya lahan konversi baik itu menjadi
tambak atau pun lahan perkebunan kelapa sawit. Ternyata akan merusak ekositem
mangrove dan akan mengubah struktur kimia fisika dan fungsi ekologisnya yaitu
rantai makanan, rantai energy dan siklus biogeokimianya. Seharusnya kita menyadari
dan menyadarkan masyarakat akan fungsi dan peranan masing-masing ekosistem
karena untuk ke depannya alam ini akan merugikan kita apabila kita merusaknya.
Mungkin secara waktu dekat lahan kelapa sawit akan menguntungkan tapi untuk
jangka panjang dan dampak yang ditimbulkan akan merugikan. persepsi yang
12
menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya
cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain harus
diluruskan. Karena apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan
hutan mangrove Indonesia dan juga hutan mangrove dunia akan menjadi sangat
suram.

Oleh karena itu, diperlukan solusi yang dapat menolong ekosistem Hutan
Mangrove tersebut dari segala ancaman. Berikut adalah beberapa solusinya:

Pertama, Keterlibatan/Partisipasi Masyarakat. Peran serta atau keterlibatan


masyarakat dalam upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan
mangrove sangat penting dan perlu dilakukan. Pemerintah baik pusat maupun daerah
harus memberikan kesempatan pada masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam
pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Selanjutnya masyarakat perlu diberikan
bimbingan dan penyuluhan tentang arti pentingnya hutan mangrove pada kehidupan
ini terutama kehidupan di masa yang akan datang.

Masyarakat harus tahu bahwa keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove


akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya dalam
bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Kayu
tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar,
bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan rumah tangga, obat
dan minuman, dan masih banyak lagi lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi untuk
menopang kehidupan manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi
misalnya untuk menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai
habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove
dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan
petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam.

Kedua, Supremasi Hukum Lingkungan yaitu Undang-undang no 32 Tahun 2009


tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Setelah masyarakat

13
dilibatkan dalam pengelolaan, pengembangan hutan mangrove dan diberi penyuluhan
atau wawasan mengenai arti pentingan lingkungan hutan mangrove, maka pemerintah
harus menindaklanjuti dengan menegakkan hukum sesuai dengan ketetapan undang-
undang yang berlaku. Masyarakat baik perorangan maupun berkelompok atau
perseroan harus ditindak tegas bilamana melakukan pelanggaran. Selama ini yang
terjadi adalah di samping pemerintah kurang dalam memberikan bimbingan dan
penyuluhan terhadap masyarakat, aspek penegakan hukum pun sangat lemah. Apalagi
jika yang melanggar seorang pejabat atau pengusaha kaya. Sering kali si pelanggar
dapat dengan mudah terbebas dari jeratan hukum.

Pada akhirnya banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan


hutan mangrove, dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir harus turut
diberdayakan dalam usaha pelestarian maupun rehabilitasi hutan mangrove. Baik
dengan memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat akan pentingnya ekosistem
hutan mangrove, maupun dengan turut memberdayakan masyarakat dalam usaha
rehabilitasi hutan mangrove tersebut. Di samping itu, juga supremasi hukum harus
ditegakkan agar program-program pemerintah yang telah di rencanakan dan
dilaksanakan dapat berjalan lancar dan berhasil guna. Pemerintah dan masyarakat
harus bersinergi dalam mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan hidup
khususnya kelestarian hutan mangrove yang kita punya ini. Tak ada lagi
kesalahpahaman antara pemerintah dan masyarakat, semuanya harus bersama-sama
bertanggung jawab sebagai upaya melaksanakan undang-undang no 32 tahun 2009.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Ekosistem Hutan Mangrove sangat berperan penting terhadap kehidupan


makhluk hidup. Bila keseimbangan ekosistem Hutan Mangrove terganggu ataupun
dengan sengaja dirusak, maka secara langsung hal tersebut akan berdampak pada
kelangsungan hidup makhluk hidup, baik manusia, tumbuhan maupun hewan, sebab
beberapa makhluk hidup bergantung pada ekosistem Hutan Mangrove.

Selain itu, bila Hutan Mangrove di alih fungsikan menjadi tambak, lalu dialih
fungsikan lagi menjadi perkebunan kelapa sawit, hal itu tidak dapat memberikan
investasi yang lama disebabkan salinitas diwilayah tersebut sangat tinggi, dan juga
jenis tanah yang digunakan sebagai perekebunan tersebut kurang cocok untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit,serta hal itu
hanya akan menurunkan kualitas tanah.

Dan juga, bila ekosistem Hutan Mangrove terusik, secara tidak langsung akan
berdampak pada ekosistem yang lain, karena ekosistem yang satu dengan yang lain
saling memiliki keterkaitan atau hubungan. Disamping itu, flora fauna yang hidup
dalam ekosistem tersebut dapat terganggu pertumbuhan dan perkembangannya, dan
yang paling parah flora fauna tersebut punah. Bila hal itu terjadi, maka manusia pun
akan merasakan dampaknya sendiri.

3.2 Saran

Ada beberpa saran atau solusi yang dapat membantu menjaga dan memlihara
ataupun membudidayakn Hutan Mangrove, yaitu : 1) Mengharidi pertemuan kota dan
menyambaikan suara keberatan atas pembangunan mengganggu habitat satwa liar
maupun suatu ekosistem, 2) Pelajari semua tetang pentinganya Rawa Mangrove, dan
membuat orang lain terkesan mengenai pentingnya Rawa Mangrove terhadap

15
keanekaragaman hayati di Bumi, 3) gunakan produk yang ramah lingkungan untuk
mengurangi polusi air.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Hutan Mangrove. Di akses pada tanggal 30 September 2011 di

http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ar_id=NjkxOQ

Anwar, Chairil dan Hendra Gunawan. 2011. Diakses pada tanggal 15 september 2011
di

www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf

16
FAO. Management and Utilization of mangroves in Asia Pasific. FAO Environmental
Paper 3, FAO, Rome. 1983 Hutching, P and P.Saenger. Ecology of Mangroves.
University of Queensland,London. 1987 Mann, K.H. Ecology of Coastal Waters.
Second Edition. Blackwell Science. 2000 Saenger, P. E.J, Hegerl, and J.P.S. Davie.
Global Status of Mangrove Ecosystems.

17

También podría gustarte