Está en la página 1de 20

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN

KEBUTUHAN ELIMINASI AKIBAT


PATOLOGIS SYSTEM PENCERNAAN DAN PERSYARAFAN
“CEDERA OTAK”
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah

Oleh Kelompok :

Fara Oktavia 172303101026

Tanti Indra Nur Cahyani 172303101029

Putri Ayu Rokmat Wijaya 172303101030

Ana Rifatul Hanifah 172303101032

Aprillia Tri Wulandari 172303101040

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan kasih-Nya,
penyusunan makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini berjudul Asuhan
Keperawatan Gangguan Persarafan yaitu Cedera Otak.

Makalah ini tidak akan dapat selesai tepat pada waktunya tanpa bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu pada kesempatan ini disampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Achlish Abdillah, S.ST, M.Kes. Selaku Dosen Pembimbing mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah I.
2. Orang tua yang selalu mendoakan dan memberi inspirasi.
3. Rekan-rekan kelompok yang telah bekerjasama dalam penyelasaian makalah ini.
Penyusunan makalah ini pasti masih ada kekurangan baik dari segi penyusunan,
bahasa, maupun segi lainnya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya
sehingga bisa memberikan inspirasi kepada pembaca.

Lumajang, 09 September 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

3
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf,
dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian dan biaya tinggi.
Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana cedera otak, sangat pesat
pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang didasarkan pada penelitian
laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika, bahwa kerusakan neurologis tidak
hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera, melainkan berkembang pada jam-jam dan
hari-hari berikutnya. Kerusakan sistim syaraf dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien
terhadap cedera. Perkembangan patofisiologi ini memacu berkembang metode penanganan
yang komprehensif, metode neurorestorasi dan rehabilitasi, dalam rangka meningkatkan
outcome dari pasien cedera otak.
Setengah angka kematian pada cedera otak traumatik terjadi pada 2 jam pertama
setelah trauma. Beberapa data juga menunjukkan bahwa kerusakan neurologis tidak terjadi
saat trauma (cedera primer), tetapi terjadi dalam beberapa menit, jam, dan hari. Hal ini
menunjukkan bahwa akibat sekunder dari cedera menyebabkan peningkatan angka mortalitas
dan kecacatan. Oleh karena itu, penanganan awal yang tepat merupakan hal yang sangat
penting pada cedera otak traumatik untuk mencegah cedera sekunder, sehingga dapat
menurunkan angka mortalitas dan kecacatan.
Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh karena itu
diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama tentang penanganan,
pencegahan cedera otak terutama cedera otak berat merujuk pada petugas kesehatan untuk
secepat mungkin melakukan penanganan yang cepat, tepat dan benar. Dari uraian diatas maka
penulis tertarik untuk memberikan asuhan keperawatan yang profesional pada pasien dengan
cedera otak.
1.2 RUMUSAN MASALAH

1.2.1 Bagaimanakah Tinjauan Medis dari Penyakit Cedera otak?

1.2.2 Bagaimanakah Tinjauan Keperawatan dari Penyakit Cedera otak?

1.3 TUJUAN

1.3.1 Untuk mengetahui Tinjauan Medis dari penyakit Cedera otak.

1.3.2 Untuk mengetahui Tinjauan Keperawatan dari penyakit Cedera otak.

1
BAB II. PEMBAHASAN

2.1 TINJAUAN MEDIS

2.1.1 DEFINISI

Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik tumpul maupun tajam. Cedera otak serius dapat
terjadi, dengan / tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan atau cedera kepala yang
menimbulkan kontusio, laserasi dan pendarahan otak (Batticaca, F. B. ,2008).

Cedera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan otak


sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial
(Smeltzer,2000 dalam Basmatika I.A, 2013).

Cedera otak traumatik merupakan cedera yang terjadi karena adanya tekanan
mekanik eksternal yang mengenai kranium dan komponen intrakranial, sehingga
menimbulkan kerusakan sementara atau permanen pada otak, gangguan fungsional, atau
gangguan psikososial (Basmatika I.A, 2013).

Berdasarkan akibat yang ditimbulkan pada kepala, cedera diklasifikasikan menjadi


dua mekanisme atau tahapan, yaitu cedera primer (primary insult) dan cedera sekunder
(secondary insult). Cedera primer merupakan akibat langsung trauma yang menimbulkan
kerusakan primer atau kerusakan mekanis. Sedangkan cedera sekunder merupakan proses
patologis yang dimulai pada saat cedera dengan presentasi klinis tertunda (Basmatika I.A,
2013).

Cedera otak sekunder dideskripsikan sebagai konsekuensi gangguan fisiologis,


seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa saat
setelah terjadinya cedera awal (cedera otak primer). Cedera otak sekunder sensitif terhadap
terapi dan proses terjadinya dapat dicegah (Basmatika I.A, 2013).

Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Bouma, 2003 dalam M. Clevo, 2012).

Cedera Kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau


penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan yang merupakan

2
perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak
sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (M. Clevo, 2012).

2.1.2 ETIOLOGI

Etiologi Cedera otak menurut Rosjidi, S. N. (2007), yaitu :

1. Kecelakaan lalu lintas > 50% kasus


2. Jatuh
3. Pukulan
4. Kejatuhan benda
5. Kecelakaan kerja atau industri
6. Cidera lahir
7. Luka tembak

2.1.3 KLASIFIKASI

Menurut Tarwoto (2013), Klasifikasinya yaitu :


1. Berdasarkan kerusakan jaringan otak :
a. Komosio serebri (gegar otak) : Gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya
kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau
tanpa disertai amnesia retrograd, mual, muntah, nyeri kepala.
b. Kontusio serebri (Memar): Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan
jaringan otak tanpa kontinuitas otak masih utuh, hilangnya kesadaran lebih dari
10 menit.
c. Laserasio serebri: Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang
berat dengan fraktur tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas keluar dari
rongga intrakranial.
2. Berdasarkan Berat ringannya cedera kepala
a. Cedera Kepala Ringan : Jika GCS antara 15-13, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau
hematom.
b. Cedera kepala sedang : Jika niali GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30
menit s.d 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan.
c. Cedera kepala berat : Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih 24 jam,
biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema serebral.

Klasifikasi Cedera otak menurut Ritchi Russel dalam Rosjidi, S. N. (2007),


berdasarkan lamanya amnesia yaitu :

1. Sangat Ringan : lama amnesia kurang dari 5 menit

3
2. Ringan : lama amnesia kurang dari 1 jam
3. Sedang : lama amnesia 1 hingga 24 jam
4. Berat : lama amnesia 1-7 hari
5. Sangat berat : lama amnesia lebih dari 7 hari
6. Amat sangat berat : lama amnesia lebih dari 4 minggu

2.1.4 TANDA DAN GEJALA

Tanda dan Gejala Cedera otak menurut Rosjidi, S. N. (2007), yaitu :

1. Jika klien sadar akan mengeluh sakit kepala hebat


2. Muntah
3. Papil edema
4. Kesadran makin menurun
5. Perubahan tipe pernapasan
6. Anisokor
7. Tekanan darah turun, bradikardia
8. Suhu tubuh yang sulit di kendalikan

Tanda dan Gejala Cedera otak menurut Tarwoto, (2013), yaitu :

1. Fraktur tengkorak, ada laserasi, memar.


Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf otak, merobek
duramater yang mengakibatkan perebesan cairan serebrospinalis. Jika terjadi fraktur
tengkorak kemungkinan yang terjadi adalah:
a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan
telinga (otorrhoe).
b. Kerusakan saraf kranial
c. Pendarahan di belakang membran timpani.
d. Ekimosis pada periorbital.
2. Riwayat kejadian trauma kepala
3. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada
atau tidaknya amnesia retrograt, mual dan muntah.
4. Kerusakan jaringan otak
Manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung dari cedera
kepala. Untuk melihat adanya kerusakan cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan
CT scan atau MRI.

4
2.1.5 PATOFISIOLOGIS

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang di hasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolime otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena
akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25%dari seluruh kebutuhan
glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-
gejala permulaan disfungsi serebral [ CITATION MCl12 \l 1057 ].

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat. Akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik [ CITATION
MCl12 \l 1057 ].

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas


atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan odem paru, perubahan otonom pada
fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P disritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel, takikardia [ CITATION MCl12 \l 1057 ].

5
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh pesyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar [ CITATION MCl12 \l 1057 ].

Cedera kepala menurut patofisiologi di bagi menjadi 2 cedera kepala primer dan
sekunder [ CITATION MCl12 \l 1057 ].

PATHWAY
Kecelakaan lalu lintas , Jatuh , Pukulan, Kejatuhan benda, Kecelakaan kerja atau
industri, Cidera lahir dan Luka tembak

CEDERA OTAK

Cedera Otak Primer Cedera Otak Sekunder

Komotio, Kontutio, Hipotensi, infeksi ↓ kesadaran, muntah,


Laserasi Cerebral. general, syok, papilla edema, nyeri
hipertensi, Hipoksia. kepala

Edema serebri,
dan ↑ tekanan
Kerusakan sel otak meningkat intrakranial

Gangguan ↑ rangsangan Stress


Autoregulasi simpatis Gangguan
perfusi Jaringan
↑ Katekolamin otak atau
Aliran darah ↑ tahanan
Serebral
ke otak ↓ Vaskuler
sistemik & ↑ Asam lambung
6
Tekanan
Darah ↑
O2 ↓ Gangguan
Metabolisme Mual muntah

Asam laktat ↑ ↓ tekanan PD Usus menglami


pulmonal gangguan fungsi makan
Oedem otak
↑ Tekanan Penurunan selera makan
hidrostatik
Gangguan
perfusi Jaringan Gangguan
Kebocoran Asupan Nutrisi
otak atau
cairan kapiler
Serebral

Oedema paru

Difusi O2
terhambat Gangguan Pola Napas

2.1.6 PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan pasien pada periode akut cedera kepala adalah adekuatnya
bersihan jalan napas, dimana pada umumnya 30-60 menit post cedera kepala pasien
mengalami muntah sehingga perlu disiapkan suction atau inkubasi. Keadaan pernafasan
harus diperhatikan, karena 60% pasien cedera kepala mengalami hipoksia (Barker,
2002 dalam Dosen Keperawatan medikal bedah Indonesia, 2016).
a. Monitorespirasi
Bebaskan jalan napas, monitor keadaan ventilasi, berikan oksigen jika perlu.
b. Atasi syok bila ada
Syok merupakan keadaan kedaruratan dimana tekanan darah pasien menjadi
menurun sehingga perfusi jaringan akan terganggu.
c. Kontrol tanda vital
Hipotensi pada cedera kepala akut sangat tidak menguntungkan karena akan
memperberat keadaan iskemia (Steven Deen, 2006 dalam Dosen Keperawatan
medikal bedah Indonesia, 2016).
d. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Pada awal terjadi cedera kepala terdapat kekacauan elektroliy yang
mengakibatkan adanya edema serebri.

2. Operasi

Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka, prosedur


shunting pada hidrocepalus, kraniotomi.

7
3. Pengobatan

Diuretik : Untuk mengurangi edema serebral

Antikonvulsan :Untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin,


tegretol, valium.

Kortikosteroid :Untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan


dexametason.

Antagonis histamin :Mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi


akibat trauma kepala misalnya dengan ranitidin

Antibiotik :Jika terjadi luka yang besar, untuk mencegah infeksi.

Penatalaksanaan lain menurut George Dewanto (2009) yaitu:

1. Survei primer (primery survey)

a. Jalan nafas
Memaksimalkan oksigenasi dan vertilasi. Daerah tulang servikal harus
dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffnek collar, hand block, dan ikat
pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal
b. Pernafasan
Pernafasan dinilai dengan menghitung laju pernafasan, memperhatikan
kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot pernafasan tambahan,
dan auskultasi bunyi nafas dikedua aksila
c. Sirkulasi
Resusitasi cairan intra vena yaitu cairan isotonik, seperti linger laktat atau
normal salin (20ml/kg BB) jika pasien syok, tranfusi darah 10-15ml/kg BB harus
dipertimbangkan.
d. Devisit neurologis
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil. Tingkat kesadaran dapat diklarifikasi menggunakan GCS. Anak dengan
kelainan neurologis yang berat seperti anak dengan nilai GCS <8, harus diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan pCo, dengan sasaran 35-40mmHg, sehingga terjadi
vosokontriksi pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah ke otak dan
menurunkan tekanan intrakranial. Penggunaaan monitol dapat menurunkan tekanan
intrakranial.
Kontrol pernafasan atau lingkungan, Semua pakaian harus dilepas sehingga
semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering adtang dengan keadan hipotermia

8
ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat di hangatkan
dengan alat pemancar panas, selimut hangant ,maupun pemberian cairan intravena
(yang telah di hangatkan sampai 39°c)

2. Survei sekunder

Observasi ketat penting pada jam jam pertama sejak kejadian cidera.bila telah di
pastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan nafas,, pemanasan dan
sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penangganan luka yang di alami
akibat cedera disertai observasi tanda vital dan defisit neurologis. Selainitu,
pemakaina penyangga leher di indikasikan jika :

a. Cedera kepala berat,terdapat fraktur clafikula dan jejas di leher.


b. Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher.
c. Rasa baal pada lengan .
d. Gangguan keseimbangan atau berjalan.
e. Kelemahna umum

Bila setelah 24 jam tidk di temukan kelainan neurologis berupa:

a. Penurunan kesadaran (menurut sekala koma Glasglow) dari observasi awal


b. Gangguan daya ingat
c. Nyeri kepala hebat
d. Mual dan muntah
e. Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflek patologis)
f. Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan
g. Abnomalitas anatomi otak berdasarkan CT scan

Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di


rumah. Namun, bila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama,
penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status cedera kepala yang
dialamai menjadi cedera kepala sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda.

Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu di pertimbangkan sebelum penderita
di ijinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat langsung
dibawah kembali ke rumah sakit.

2.1.7 KOMPLIKASI

Menurut Hudak dan Gallo (1996) dalam Rosjidi, S. N. (2007), yaitu :

1. Edema pulmonal
2. Kejang

9
3. Kebocoran cairan serebrospinalis
Menurut Soemarmo (1999) dalam Rosjidi, S. N. (2007), yaitu :
1. Tekanan intrakranial meninggi
2. Infeksi
3. Lesi pada tingkat sel
4. Epilepsi
5. Perubahan aliran darah dan metabolisme otak
6. Kelainan respirasi akut

2.1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

[ CITATION MCl12 \l 1057 ]

1. CT Scan ( dengan atau tanpa kontras)


Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
Catatan : untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan di lakukan pada 24-72
jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan seperti CT Scan dengan atau tanpa kontras radio aktif. Serebral
angiography : menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan
otak sekunder menjadi odema, perdarahan dan trauma.
3. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), frakmen tulang.
5. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
6. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

2.2 TINJAUAN KEPERAWATAN

2.2.1 PENGKAJIAN

2.2.1.1 IDENTITAS KLIEN

Identitas pasien seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, penanggung
jawab, status, golongan darah, pekerjaan orang tua dan penghasilan.

2.2.1.2 KELUHAN UTAMA

Keluhan utama yang di rasakan Trauma , Infeksi akut, Kejang, Nyeri.

2.2.1.3 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

10
Tingkat kesadaran, konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah
simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas,
adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang.

2.2.1.4 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

1. Trauma : Kepala, Tulang belakang, spinal cord, Trauma lahir, trauma saraf.
2. Kelainan Kongenital Deformitas / kecacatan
3. Stroke
4. Encephalitis dan menginitis
5. Gangguan Kardiovaskuler :Hipertensi, Aneurisma, Disritmia, Pembedaan
Jantung, Tromboemboli.

2.2.1.5 RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

1. Epilepsi dan kejang


2. Nyeri kepala
3. Retardasi Mental
4. Stroke
5. Gangguan Psikiatri
6. Penggunaan alkohol, rokok dan obat-obatan terlarang
7. Penyakit keturunan : DM, Muskular distropi

2.2.1.6 PENGKAJIAN POLA FUNGSI TERKAIT KASUS

1. Pola Aktifitas / Istirahat


Gejalanya merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tandanya yaitu Perubahan kesadaran, letargi, himeparese, Quadriplegi,
Ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera
(trauma), ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastic.
2. Pola Sirkulasi
Gejalanya yaitu perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi). Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang di selingi dengan bradikardia,
disritmia).
3. Pola Integritas Ego
Gejalanya yaitu perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis),
Tandanya cemas, mudah tersinggung, delirium,agitasi, bingung depresi dan
impulsive.
4. Pola Eliminasi
Gejalanya yaitu inkontinensia kandung kemih / usus atau mengalami gangguan
fungsi makanan / cairan, mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tandanya yaitu muntah (mungkin proyektil) gangguan menelan (batuk, air liur
keluar, difasgia.

11
5. Pola Neurosensori
Gejalanya yaitu kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkrope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan.
Tandanya yaitu perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi / tingkah laku, memori).
Kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam mennetukan posisi tubuh.
6. Pola nyeri / ketidaknyamanan
Gejalanya yaitu sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
Tandanya yaitu wajah menyeringai, respons menarik pada rangsang hyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa beristirahan, merintih.
7. Pola pernapasan
Tandanya yaitu perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak, ronchi, mengi pasitif
( kemungkinan karena aspirasi).
8. Pola keamanan
Gejalanya yaitu trauma baru / trauma karena kecelakaan.
Tandanya yaitu fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kuli laserasi,
perubahan warna, seperti raccoon eye, tanda batle di sekitar telinga
(merupakan tanda adanya trauma), kekuatan secara umum mengalami
paralysis, demam, ganguan regulasi suhu tubuh.
9. Pola interaksi social
Tandanya yaitu afasia motorik / sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartia, anomia.

2.2.1.7 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui kelainan dari fungsi neurologi.


Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi : Tanda vital, Status mental, pemeriksaan
kepala, leher dan punggung, saraf kranial, saraf sensorik, saraf motorik, Reflek dan
sistem saraf otonom.

2.2.2 RUMUSAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan perfusi jaringan serebral b/d Kerusakan aliran darah otak sekunder
edema serebri dan hematom.
Data pendukung : Penurunan kesadaran, Perubahan tanda vital, Perubahan
pola napas, Bradikardia, Nyeri kepala, Mual dan muntah, Kelemahan motorik,

12
Refleks patologis, Hasil pemeriksaan Ct Scan adanya edema serebri, hematom
dan Pandangan kabur.
2. Tidak efektifnya pola napas b/d kerusakan neuromuskular, kontrol mekanisme
ventilasi, komplikasi pada paru-paru.
Data pendukung : Pasien mengeluh sesak napas atau kesulitan bernapas,
Frekwensi pernapasan lebih dari 20x / menit, adanya cuping hidung.
3. Resiko injuri b/d kerusakan persepsi sensori, gelisah, gangguan fungsi
motorik, kejang.
Data pendukung : Kerusakan persepsi, orientasi pasien kurang, kesadaran
menurun, Gangguan fungsi motorik, kejang.

2.2.3 INTERVENSI / NIC

1. Gangguan perfusi jaringan serebral b/d Kerusakan aliran darah otak sekunder
edema serebri dan hematom.

RENCANA TINDAKAN RASIONAL


Kaji tingkat keasadaran Tingkat kesadaran merupakan
indikator terbaik adanya perubahan
neurologi.
2. Kaji pupil ukuran, respon terhadap Mengetahui fungsi N.II dan III.
cahaya, gerakan mata.
3. Kaji refleks kornea dan refleks gag Menurunnya refleks kornea dan
refleks gag indikasi kerusakan pada
batang otak.
4. Evaluasi keadaan motorik dan Gangguan motorik dan sensori
sensori pasien. dapat terjadi akibat edema otak.
5. Monitor TTV setiap 1 jam. Adanya perubahan TTV seperti
respirasi menunjukkan kerusakan
pada batang otak.
6. Pertahankan kepala tempat tidur Memfasilitasi drainase vena dari
30-45 derajat dengan posisi leher otak.
tidak menekuk.
7. Monitor kejang dan berikan obat Kejang dapat terjadi akibat iritasi
anti kejang. serebral dan keadaan kejang
memerlukan banyak oksigen.
8. Berikan obat sesuai program dan Mencegah komplikasi lebih dini.
monitor efek samping

2. Tidak efektifnya pola napas b/d kerusakan neuromuskular, kontrol mekanisme


ventilasi, komplikasi pada paru-paru.

RENCANA TINDAKAN RASIONAL

13
1. Kaji frekwensi napas, kedalaman, Pernapasan yang tidak teratur,
irama setiap 1-2 jam. seperti apnea, pernapasan cepat
atau lambat kemungkian adanya
gaun pada pusat pernapasan pada
otak.
2. Kaji refleks kornea dan refleks gag Mengetahui fungsi N.II dan III.
3. Evaluasi keadaan motorik dan Menurunnya refleks kornea dan
sensori pasien. refleks gag indikasi kerusakan pada
batang otak.
4. Monitor TTV setiap 1 jam. Gangguan motorik dan sensori
dapat terjadi akibat edema otak.
5. Pertahankan kepala tempat tidur Adanya perubahan TTV seperti
30-45 derajat dengan posisi leher respirasi menunjukkan kerusakan
tidak menekuk. pada batang otak.
6. Monitor kejang dan berikan obat Memfasilitasi drainase vena dari
anti kejang. otak.
7. Berikan obat sesuai program dan Kejang dapat terjadi akibat iritasi
monitor efek samping serebral dan keadaan kejang
memerlukan banyak oksigen.
Mencegah komplikasi lebih dini.
3. Resiko injuri b/d kerusakan persepsi sensori, gelisah, gangguan fungsi motorik,
kejang.

RENCANA TINDAKAN RASIONAL


1. Sediakan alat-alat yang untuk Aktivitas kejang dapat
penanganan kejang, misalnya obat- menimbulkan injuri / cedera kepala.
obatan, suction
2. Jaga kenyamanan lingkungan, Banyaknya stimulus meningkatkan
tidak berisik. rasa frustasi pasien.
3. Tempatkan barang-barang yang Menghindari trauma akibat benda-
berbahaya tidak dekat dengan benda disekelilingnya.
pasien seperti kaca, gelas, larutan
antiseptik.
4. Gunakan tempat tidur dengan Mencegah terjadinya trauma.
penghalang dan roda tempat tidur
dalam keadaan terkunci.
5. Jangan tinggalkan pasien sendirian Penanganan lebih cepat dan
dalam keadaan kejang. mencegah terjadinya trauma.

2.2.4 EVALUASI / NOC

1. Gangguan perfusi jaringan serebral b/d Kerusakan aliran darah otak sekunder
edema serebri dan hematom
Kriteria Hasil :

14
a. Tingkat kesadaran kompos mentis : orientasi orang tempat dan memori
baik.
b. Tekanan perfusi serebral . 60 mmHg, tekanan intrakranial , 15 mmHg.
c. Fungsi sensori utuh/normal.

2. Tidak efektifnya pola napas b/d kerusakan neuromuskular, kontrol mekanisme


ventilasi, komplikasi pada paru-paru.

Kriteria Hasil :

a. Pasien dapat menunjukkan pola napas yang efektif


b. Frewkensi 20/menit, irama dan kadalam normal
c. Fungsi paru-paru normal.

3. Resiko defisit volume cairan b/d terapi diuretik, pembatasan cairan,

Kriteria hasil :

a. Pasien dapat mempertahankan fungsi hemodinamik : tekanan darah sistole


dalam batas normal, denyut jantung teratur.
b. Terjadi keseimbangan cairan dan elektrolit : berat badan stabil, intake dan
output cairan seimbang, tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi.

4. Resiko injuri b/d kerusakan persepsi sensori, gelisah, gangguan fungsi motorik,
kejang.

Kriteria hasil :

a. Injury tidak terjadi


b. kejang dapat di kontrol
c. Orientasi dan persepsi pasien baik

5. Gangguan mobilitas fisik b/d penurunan neuromuskuler, terapi bedrest,


immobilisasi.

Kriteria Hasil :

a. Mempertahankan pergerakan sendi secara maksimal


b. Terbebas dari kontaktur, atropi
c. Integritas kulit utuh
d. Kekuatan otot maksimal

15
6. Kurangnya perawatan diri b/d kerusakan kognitif, sensorik, kerusakan memori,
paralisis, menurunnya neuromuskuler.

Kriteria Hasil :

a. Pasien mampu melakukan perawatan diri seperti : mandi, sikat gigi, cuci
rambut, berpakaian, ke toilet.
b. Kognitif baik, sensorik normal, tidak terjadi paralisis fan kekuatan otot
normal

BAB III. PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik tumpul maupun tajam. Cedera otak serius dapat terjadi,
dengan / tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan atau cedera kepala yang menimbulkan
kontusio, laserasi dan pendarahan otak (Batticaca, F. B. ,2008)

Cedera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan otak


sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial
(Smeltzer,2000 dalam Basmatika I.A, 2013).

3.2. SARAN

Dari pembahasan diatas Asuhan Keperawatan Cedera Otak maka saran yang dapat kami
berikan adalah tetap berhati-hati dalam melakukan aktivitas, jaga pola makan dan gaya hidup,
karena penyakit persarafan fatal apabila kita tidak mencegahnya sejak dini. Jika telah terkena
penyakit cedera otak maka segera konsultasi ke klinik atau tenaga medis.

16
DAFTAR PUSTAKA

Basmatika, I. A. (2013). Cedera otak sekunder. e-jurnal medika udayana , 1-21.

Batticaca, F. B. (2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan.


Jakarta: Salemba Medika.

George Dewanto, W. J. (2009). Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

indonesia, D. k. (2016). Rencana asuhan keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.

M. Clevo Rendi, M. (2012). Asuhan keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Rosjidi, S. N. (2007). Asuhan Keperawatan Klien dengan Cidera Kepala. Yogyakarta: ISBN.

Tarwoto. (2013). Keperawatan Medikal Bedah . Jakarta: CV. Sagung Seto.

17

También podría gustarte