Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Agung
Adiguna Dosen pada STIKES Mataram Abstrak: Kesehatan anak mencakup pertumbuhan dan
perkembangan anak, pengaruh bermain terhadap tumbuh kembang anak, komunikasi pada anak dan
orang tua, anticipatory guidance dan toilet training, imunisasi pada anak, kebutuhan nutrisi pada anak,
serta dampak hospitalisasi pada anak dan orang tua (Supartini, 2010). Di Indonesia diperkirakan jumlah
balita mencapai 30 % dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) nasional diperkirakan jumlah balita yang mengontrol BAB dan BAK di usia toddler
mencapai 75 juta anak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kesiapan psikologis dengan
kejadian enuresis pada anak usia toddler (1-3 tahun di Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan
Sambelia. Desain penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini dengan Total Sampling yaitu sebanyak 34 anak. Instrument yang
digunakan adalah kuesioner untuk mendapatkan kesiapan psikologis dengan kejadian enuresis pada
anak usia Toddler (1-3tahun) di Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesiapan anak lebih banyak dengan kategori baik yaitu 12 orang (35,29%)
sedangkan kesiapan orang tua lebih banyak dengan kategori tidak baik yaitu 22 orang (64,70%)) dengan
uji statistic didapatkan p value 0,007 untuk kesiapan psikologi anak maka ada hubungan yang signifikan
antara kesiapan psikologi anak dengan kejadian enuresis pada anak usia Toddler (1-3tahun) di Dusun
Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia Kata kunci : kesiapan psikologis anak, enuresis, toddler
PENDAHULUAN Kesehatan anak adalah hal yang sangat penting diperhatikan oleh pemerintah untuk
tercapainya kualitas sumber daya manusia yang lebih utuh, tangguh dan maju dimasa mendatang,
karena seperti diketahui bahwa anak adalah harapan masa depan bangsa.Kesehatan anak mencakup
pertumbuhan dan perkembangan anak, pengaruh bermain terhadap tumbuh kembang anak, komunikasi
pada anak dan orang tua, anticipatory guidance dan toilet training, imunisasi pada anak, kebutuhan
nutrisi pada anak, serta dampak hospitalisasi pada anak dan orang tua (Supartini, 2010). Anak sebagai
generasi unggul pada dasarnya tidak akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Suatu
perjalanan yang harus dilalui seorang anak adalah tumbuh kembang. Pertumbuhan mempunyai dampak
terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan merupakan segala perubahan yang terjadi pada anak
baik secara kognitif, emosi maupun psikososial, untuk dapat berkembang dengan optimal anak
memerlukan lingkungan yang kondusif dan orang tua juga mempunyai peranan penting (Mulyadi, 2004).
Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebaiknya direncanakan sejak awal kehidupan
seseorang dan berlanjut pada usia balita. Pada masa itu sangat penting untuk meletakkan dasar-dasar
pertumbuhan dan perkembangan anak. Menghasilkan suatu generasi yang dapat tumbuh dan
berkembang secara baik perlu diupayakan melalui berbagai cara agar mendukung perkembangan sehat
dan dapat tercapai secara sempurna. Pada masa toddler (1-3 tahun) biasanya akan muncul masalah
utama yang akan dihadapi orang tua adalah; sibling rivalry (persaingan antar saudara kandung), temper
tantrum (perasaan marah pada anak), negativistik, toilet training, enuresis (ngompol).Adapun dari
kelima permasalahan di atas, permasalahan yang paling sering terjadi adalah ngompol (enuresis) karena
sejalan dengan anak mampu berjalan maka kemampuan sfingter uretra dan sfingter ani sudah mulai
berkembang untuk mengontrol rasa ingin berkemih dan defekasi (Wong, 2008). Di Indonesia
diperkirakan jumlah balita mencapai 30 % dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, dan menurut Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional diperkirakan jumlah balita yang mengontrol BAB dan BAK di
usia toddler mencapai 75 juta anak. Fenomena ini
48 |Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No. 2355-9292 Volume 2, No. 1, Maret 2016
http://www.untb.ac.id
dipicu karena banyak hal seperti, pengetahuan ibu yang kurang tentang cara melatih BAB dan BAK,
pemakaian popok sekali pakai(PEMPRES), hadirnya saudara baru dan masih banyak lainnya (Riblat,
2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Dusun Sandongan Desa Dara
Kunci Kecamatan Sambelia pada tanggal 10 Mei 2015, didapatkan data jumlah total anak usia 0-5 tahun
adalah 139 anak, dalam jumlah tersebut ibu yang memiliki anak usia toddler 1-3 tahun sebanyak 34
anak. Dimana dari hasil wawancara kepada beberapa orang tua yang memiliki anak usia toddler di
Dusun Sandongan ternyata masih banyak yang mengalami enuresis (ngompol). Dimana dari 34 orang
anak yang mengalami enuresis sebanyak 18 orang yaitu 52,94%, dengan frekuensi enuresis yang
berbeda-beda terkadang enuresis terjadi pada malam hari dan ada juga di siang hari dan masih banyak
juga yang menggunakan benda penampung kotoran, dan 16 orang yaitu 47,05% anak yang mengalami
enuresis sekunder atau anak yang pernah ngompol 6 bulan sebelumnya kemudian ngompol lagi. Orang
tua tidak memahami kapan harus mulai mengajarkan anaknya buang air kecil atau buang air besar
(toilet training) ataupun apa saja yang mendukung. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
hubungan kesiapan psikologis dengan kejadian enuresis pada anak usia toddler (1-3 tahun di Dusun
Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia. Mengetahui kesiapan psikologis pada anak usia
Toddler (1-3tahun) di Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia. Mengetahui kejadian
enuresis pada anak usia Toddler (1-3tahun) di Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia.
Menganalisa hubungan kesiapan psikologis dan kesiapan orang tua dengan kejadian enuresis pada anak
usia Toddler (1-3tahun) di Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia. METODOLOGI
PENELITIAN Desain penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini dengan Total Sampling yaitu sebanyak 34 anak. Instrument yang
digunakan adalah kuesioner untuk mendapatkan kesiapan psikologis dengan kejadian enuresis pada
anak usia Toddler (1-3tahun) di Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia. HASIL DAN
PEMBAHASAN a. Hasil Jumlah sampel sebanyak 34 orang dengan karakteristik responden adalah sebagai
berikut : Table 1. Karakteristik responden No Karakteristik Frekuensi (orang) Persentase (%) 1 Pendidikan
Tidak sekolah 6 17,7 SD 13 38,2 SMP 8 23,5 SMA 6 17,7 Perguruan Tinggi 1 2,9 34 100 2 Pekerjaan Petani
16 47,1 IRT/Tidak Bekerja 15 44,1 Guru 3 8,8 34 100 Berdasarkan tabel di atas bahwa sebagian besar
responden tamatan SD sebanyak 13 responden (38%) dan yang paling kecil adalah responden tamatan
Perguruan Tinggi sebanyak 1 responden (2,9%). responden bekerja sebagai Petani sebanyak 16
responden (47,0%) dan yang paling kecil adalah bekerja sebagai Guru sebanyak 3 responden (8,8%).
Table 2. Distribusi responden berdasarkan kesiapan psikologis Variable Frekuensi (orang) Persentase (%)
Kesiapan psikologi anak 12 35,3 Baik 22 64,7 Tidak Baik 12 35,3 34 100 Tabel 3. Hubungan kesiapan
psikologis dengan kejadian enuresis pada anak usia toddler di dusun sandongan desa dara kunci
kecamatan sambelia. N o Factor-faktor yang mendukung toilet training Kejadian Enuresis Total P- Val ue
Enuresis Tidak Enuresis F % F % F % 1 . Kesiapan psikologi anak Baik 3 25,0 9 75,0 12 100 0,007 Tidak
Baik 16 72,7 6 27,3 22 100 Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
variabel bebas dan variabel terikat. dengan analisis statistik chi square dengan tingkat kemaknaan
statistik α = 0,05. Uji statistic mendapatkan p value 0,007 untuk kesiapan psikologi anak dan maka ada
hubungan yang signifikan antara kesiapan psikologi anak dan kesiapan orang tua dengan kejadian
enuresis pada anak usia Toddler (1-3tahun) di Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia
b. Pembahasan Notoatmodjo (2007) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan faktor penting
terbentuknya
ISSN No. 2355-9292 Jurnal Sangkareang Mataram|49 http://www.untb.ac.id Volume 2, No. 1, Maret
2016
pengetahuan seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah pula untuk
memahami dan menyerap pengetahuan. Pernyataan tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Gilbert (2011) bahwa Tingkat pendidikan orang tua turut menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Dari pendidikan itu sendiri amat
diperlukan seseorang lebih tanggap adanya masalah perkembangan anak salah satunya penerapan toilet
training di dalam keluarganya. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa tingkat pendidikan yang paling
besar adalah orang tua yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 13 responden (38,2%), data
tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Gilbert (2011) bahwa tingkat pendidikan
berpengaruh pada pengetahuan orang tua tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu
rendah akan berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh
pada cara melatih secara dini penerapan toilet training. pekerjaan orang tua yang paling besar adalah
petani sebanyak 16 responden (47,1%) dan yang paling sedikit 3 responden (8,8%). Menurut
Mackonochief (2009) kemampuan psikologi anak mampu melakukan toilet training sebagai berikut ;
anak tampak kooperatif, anak memiliki waktu kering periode 3-4 jam, anak buang air dalam jumlah yang
banyak, anak sudah menunjukkan keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil dan waktu untuk
buang air sudah dapat diperkirakan dan teratur. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dari total 34
didapatkan responden dengan kesiapan psikologis dengan kategori baik sebanyak 12 responden, dengan
kejadian enuresis sebanyak 3 (25%) dan tidak enuresis sebanyak 9 responden (64,3%), sedangkan
kesiapan orang tua dengan kategori tidak baik sebanyak 22 responden dengan kejadian enuresis
sebanyak 16 responden (72,7%), dan tidak enuresis sebanyak 6 responden (27,3%). Dari hasil uji statistic
dengan chi square didapatkan mendapatkan p value 0,007 untuk kesiapan psikologi anak maka ada
hubungan yang signifikan antara kesiapan psikologi anak dengan kejadian enuresis pada anak usia
Toddler (1- 3tahun) di Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kecamatan Sambelia. Kejadian Enuresis pada
anak tidak lepas dari peran orang tua, hal ini dapat dilihat dari faktor pemicu enuresis yaitu faktor
genetik,dimana keterlambatan matangnya susunan syaraf pusat. faktor-yang mendukung toilet training
dimana kesiapan orang tua dapat dilihat apabila orang tua sudah dapat mengenal tingkat kesiapan anak
dalam berkemih, orang tua mempunyai waktu untuk mengajarkan toilet training pada anak, tidak
mengalami konflik tertentu atau stress keluarga yang berarti (perceraian. Dampak yang paling umum
dalam kegagalan toilet training seperti adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada
anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak atau cendrung bersifat retentive dimana anak
cendrung bersikap retentife dimana anak cendrung bersikap keras kepala bahkan kikir. Indikator-
indikator yang mendukung toilet training pada faktor psikologi antara lain; dapat jongkok dan berdiri di
toilet selama 5-10 menit tanpa berdiri dulu, mempunyai rasa ingin tahu dan rasa penasaran terhadap
kebiasaan orang dewasa dalam buang air kecil dan buang air besar, dan merasa tidak betah dengan
kondisi basah dan adanya benda padat dicelana dan ingin segera ganti (Mackonochi, 2009). Pengkajian
psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika akan melakukan buang air
seperti anak tidak rewel dan tidak menangis sewaktu buang air, ekspresi wajah menunjukkan
kegembiraan dan ingin melakukan secara sendiri, anak sabar dan sudah mau ke toilet selama 5 sampai
10 menit tanpa rewel saat meninggalkannya, adanya keingintahuan kebiasaan toilet training pada orang
dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk menyenangkan pada orang tuanya (Hidayat, 2012). Hal
ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar atau kecil,
atau melarang anak saat bepergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet
training maka anak akan dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cendrung
ceroboh , suka membuat gara-gara, emosional, dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari
. PENUTUP
a. Simpulan
Ada hubungan yang signifikan antara kesiapan psikologi dengan kejadian enuresis pada anak usia
toddler di Dusun Sandongan Desa Dara Kunci Kec. Sambelia dengan nilai p-value 0,034 < 0,05
B. Saran
Diharapkan orang tua adapat memberikan dukungan kepada anak untuk mengajarkan cara buang air
yang baik sehingga dapat mengurangi atau menghentikan kebiasaan mengompol pada anak toddler. Hal
ini dapat dilakukan dengan memberikan contoh ataupun dengan menmberikan pujian sehingga anak
termotivasi untuk melakukan buang air yang baik dan pada tempatnya.
MODUL ANTICIPATORY GUIDANCE MERUBAH POLA ASUH ORANG TUA YANG OTORITER SERI STIMULASI
PERKEMBANGAN ANAK
ABSTRAK
Pendahuluan: Panduan antisipatif adalah metode yang digunakan oleh perawat untuk membantu orang
tua menyediakan pengembangan perubahan perilaku menuju pemahaman yang lebih baik tentang
anak-anak mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis modul penyediaan bimbingan
antisipatif bagi orang tua dan pengaruhnya terhadap pola pola asuh otoriter dalam menstimulasi
perkembangan di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan.
Metode: Rancangan dalam penelitian ini adalah eksperimental pre post test dengan kelompok kontrol.
Populasi adalah orang tua siswa di TK Dharmawanita Bangkalan pada tahun 2010. Responden adalah 15
orang dalam kelompok perlakuan dan 15 orang dalam kelompok kontrol yang memenuhi kriteria inklusi.
Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Data kemudian dianalisis menggunakan uji
Wilcoxon dan Mann Whitney.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan dalam pengasuhan orang tua sebelum dan
sesudah bimbingan antisipatif diberikan nilai p 0,001, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada
perbedaan dengan nilai p 0,083. Untuk mengetahui perbedaan konseling antara perlakuan dan
kelompok kontrol dilakukan dengan uji mann whitney dengan p-value (0,004) <α (0,05). Kesimpulan:
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa modul bimbingan antisipatif berdampak pada pola
asuh orang tua dalam menstimulasi pertumbuhan anak di TK Dharmawanita Bangkalan. Penelitian
tentang pengaruh bimbingan antisipatif oleh perawat untuk perkembangan anak diperlukan sebagai
tindak lanjut dari penelitian ini dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan anak itu sendiri.
KATA KUNCI
modul panduan antisipatif; anak-anak perkembangan
270 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 2, Nomor 3, Desember 2015, hlm. 270–275 270
MODUL ANTICIPATORY GUIDANCE MERUBAH POLA ASUH ORANG TUA YANG OTORITER DALAM
STIMULASI PERKEMBANGAN ANAK (Anticipatory Guidance Module Changes the Authoritaritative
Parenting of Parents in Stimulating Children Development) M. Hasinuddin*, Fitriah ** * STIKES Ngudia
Husada Madura, Jl RE Martadinata Bangkalan Telp/Fax: (031) 3091871, E-mail: hasin_nhm@yahoo.com
** Poltekkes Surabaya Prodi Kebidanan Bangkalan
ABSTRACT Introduction: Anticipatory guidance is a method used by nurses to help parents provide the
development of behavior change towards a better understanding of their children. The purpose of this
study was to analyze the provision modul of anticipatory guidance to parents and their effects on
patterns of authoritarian parenting in stimulating development in kindergarten Dharmawanita
Bangkalan Regency. Method: The design in this study was experimental pre post test with control group.
The population was the parents of students in Dharmawanita Bangkalan kindergarten in 2010.
Respondents were 15 people in the treatment group and 15 people in control group who meet the
inclusion criteria. Data collected by using a questionnaire. Data then analyzed using Wilcoxon and Mann
Whitney test. Result: The result showed that the differences in upbringing the parents before and after
the anticipatory guidance given p value of 0.001, whereas in the control group there was no difference
with a p value of 0.083. To fi nd out the difference of counselling terms between treatment and control
groups were performed by mann whitney test with p-value (0,004) < α (0. < α (0.05). Discussion: Based
on these results we can conclude that modul of anticipatory guidance has an impact on the upbringing
of parents in stimulating growth in children in kindergarten Dharmawanita Bangkalan. Research on the
effect of anticipatory guidance by the nurse to child development is necessary as a follow up of this
research by considering the factors that infl uence the development of the child itself
ABSTRAK Pendahuluan: Panduan antisipatif adalah metode yang digunakan oleh perawat untuk
membantu orang tua menyediakan pengembangan perubahan perilaku menuju pemahaman yang lebih
baik tentang anak-anak mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis modul penyediaan
bimbingan antisipatif bagi orang tua dan pengaruhnya terhadap pola pola asuh otoriter dalam
menstimulasi perkembangan di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan. Metode: Rancangan dalam
penelitian ini adalah eksperimental pre post test dengan kelompok kontrol. Populasi adalah orang tua
siswa di TK Dharmawanita Bangkalan pada tahun 2010. Responden adalah 15 orang dalam kelompok
perlakuan dan 15 orang dalam kelompok kontrol yang memenuhi kriteria inklusi. Data dikumpulkan
dengan menggunakan kuesioner. Data kemudian dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan Mann
Whitney. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan dalam pengasuhan orang tua sebelum
dan sesudah bimbingan antisipatif diberikan nilai p 0,001, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada
perbedaan dengan nilai p 0,083. Untuk mengetahui perbedaan dari konseling antara perlakuan dan
kelompok kontrol dilakukan dengan tes mann whitney dengan p-value (0,004) <α (0,05). Diskusi:
Berdasarkan hasil ini
kita dapat menyimpulkan bahwa modul bimbingan antisipatif berdampak pada pengasuhan orang tua di
Indonesia
bimbingan antisipatif oleh perawat untuk perkembangan anak diperlukan sebagai tindak lanjut dari
penelitian ini
PENDAHULUAN
Orang tua memegang peranan utama dan pertama bagi pendidikan anak. Mengasuh, membesarkan dan
mendidik anak merupakan tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan,
sedangkan guru di sekolah merupakan pendidik yang kedua setelah orang tua di rumah. Pada umumnya
murid atau siswa adalah merupakan insan yang masih perlu dididik atau diasuh oleh orang yang lebih
dewasa dalam hal ini adalah ayah dan ibu, jika orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama ini
tidak berhasil meletakkan dasar kemandirian maka akan sangat berat untuk berharap sekolah mampu
membentuk siswa atau anak menjadi mandiri. Pengasuhan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar
anak dalam rangka 'membesarkan' mereka, sangat besar perannya terhadap tumbuh kembang anak.
Upaya ini meliputi upaya pemenuhan kebutuhan biomedis, kasih sayang, dan stimulasi, di lain pihak,
lingkungan merupakan faktor penentu proses tumbuh-kembang anak dan corak asuhnya. Secara garis
besar lingkungan terdiri dari, faktor ibu sebagai tokoh utama ekosistem mikro, faktor sosial ekonomi,
dan faktor pemukiman. Laporan dari UNICEF, setiap anak harus mendapatkan haknya untuk hidup layak
untuk masa depan mereka, karena masa depan dunia tergantung pada mereka. Setiap tahun, 10 juta
bayi dilahirkan ke dunia ini dan mereka akan menjadi anak yang dewasa nantinya. Setiap tahun, banyak
dari mereka yang tidak mendapatkan haknya dalam hal kasih sayang, gizi, perlindungan dan keamanan,
kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang. Hampir 10 juta anak meninggal sebelum usia 10 tahun dan
lebih dari 200 juta anak tidak berkembang sesuai potensi mereka karena adanya kesalahan dalam
pengasuhan yang merupakan kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal
(UNICEF, 2010). Di negara sedang berkembang, 45% dari populasi adalah anak berumur kurang dari 15
tahun dan di antaranya 20% adalah balita. Hasil riset tentang perkembangan anak di Indonesia
menunjukkan bahwa sebanyak 17–20% anak menderita masalah perkembangan, emosi dan perilaku
(Basoeki, 2009). Berdasarkan observasi yang dilakukan dengan menggunakan check list pola asuh pada
bulan Februari tahun 2010 di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan, dari 10 orang tua, peneliti
menemukan adanya bentuk pola pengasuhan orang tua yang cenderung otoriter dalam mendidik
anaknya. Sebanyak 37% orang tua menganggap bahwa anak harus selalu menuruti kemauan orang tua,
30% orang tua yang masih memberikan hukuman fi sik kepada anak, dan anak ditakuti dengan
hukuman, padahal pola asuh orang tua yang paling baik untuk perkembangan anak adalah pola asuh
demokratis (Augustine, 2010). Hasil observasi tentang karakteritik anak di TK Dharmawanita Kabupaten
Bangkalan pada 10 orang anak ditemukan sebanyak 27% anak cenderung penakut, 17% anak pendiam,
dan 23% anak kurang berinisiatif terutama dalam mencoba hal-hal yang baru. Orang tua seringkali keliru
dalam memperlakukan anak karena ketidaktahuan mereka akan cara membimbing dan mengasuh yang
benar. Apabila hal ini terus berlanjut, maka pertumbuhan dan perkembangan anak dapat terhambat.
Pakar emotional intelligence dari Radani Edutainment, Hanny Muchtar Darta, mengatakan bahwa
pengaruh pola asuh orang tua mempunyai dampak besar pada kehidupan anak di kemudian hari.
Biasanya terjadi ketika anak di bawah lima atau enam tahun dan di bawah 11 tahun. Semua orang tua
mempunyai tujuan yang sangat baik untuk anaknya, namun, kebanyakan orang tua tidak memahami
dampak jangka panjang akibat dari pola asuh yang tidak tepat. Pola asuh terdiri dari pola asuh otoriter,
demokratis, dan permisif. Pola asuh yang tepat dan efektif sangat penting peranannya dalam
pengembangan psikologi anak karena bisa membentuk kepribadian anak di masa depan. Kehidupan
awal anak dimulai dari orang tua dan rumahnya, sehingga orang tua bertanggung jawab terhadap masa
depan anak karena semua tergantung orang tua saat pertama kali menetapkan tujuan dan harapan
terhadap anaknya di masa depan. Jika sampai terjadi kesalahan dalam pola asuh, efeknya tidak hanya
akan dirasakan oleh anak, tetapi orang tua juga pasti akan ikut merasakannya. Orang tua pasti akan
kecewa jika anaknya tidak bisa memenuhi harapannya hanya karena kepribadian anaknya tidak
berkembang dengan baik karena salah pola asuh. Untuk jangka panjang, efek yang akan dirasakan anak
akibat salah pola asuh antara lain adalah anak akan kehilangan arah dan pegangan dalam menapaki
kehidupannya. Anak akan bingung kepada siapa dia akan berpegang, pada ayahnya atau ibunya, karena
mereka berdua adalah orang tuanya. Anak juga bisa kehilangan kesempatan untuk menerima,
menerapkan dan mengadaptasi nilai-nilai yang diturunkan orang tuanya secara maksimal dan mantap.
Pada akhirnya, anak bisa menjadi orang yang tidak jujur pada dirinya sendiri, lebih suka mencari aman
daripada menyelesaikan masalah, tidak kreatif, dan lain sebagainya. Kesenjangan generasi juga bisa
terjadi jika orang tua salah menerapkan pola asuh pada anaknya. Perasaan dendam, tidak menghormati
atau menghargai orang tua, juga bisa terjadi karena hal ini. Dampak lain dari pola asuh orang tua dalam
mendidik anak yang tidak tepat adalah gangguan perkembangan pada anak yang dapat meliputi
perkembangan motorik kasar, motorik halus, perkembangan bahasa dan sosialisasi anak. Meski begitu
semua itu tidak bisa digeneralisasi pasti akan terjadi pada setiap orang tua yang salah menerapkan pola
asuh pada anaknya, karena banyak juga yang terjadi justru sebaliknya. Semua kembali pada karakter dan
lingkungan di mana anak tersebut tumbuh dan berkembang. Bisa saja anak itu
malah tumbuh menjadi anak yang lebih arif dan bijaksana dalam menghadapi orang tuanya. Namun
menurut Augustine, hasil penelitian ilmu psiko dinamika keluarga mengungkapkan bahwa salah satu
faktor yang membuat orang menjadi terganggu kesehatan mentalnya adalah salah pola asuh. Karena itu,
sedini mungkin, orang tua harus bisa lebih bijaksana dalam menerapkan pola asuh. Oleh karena itu
dalam penelitian ini. Peneliti menekankan pada pola asuh orang tua yang otoriter karena dampaknya
yang dapat menghambat perkembangan optimal pada anak. Sebagai bagian dari tenaga kesehatan
profesional, perawat mempunyai peran yang penting dalam membantu memberikan bimbingan dan
pengarahan pada orang tua (anticipatory guidance), sehingga setiap fase dari kehidupan anak yang
kemungkinan mengalami trauma dan ketakutan yang abstrak pada usia prasekolah dapat dibimbing
secara bijaksana. Pemberian anticipatory guidance akan efektif apabila diberikan dalam bentuk
pelatihan menggunakan modul. Modul merupakan uraian terkecil bahan belajar yang akan memandu
fasilitator atau pelatih menyampaikan bahan belajar dalam proses pembelajaran yang sesuai secara
terperinci. Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh
pemberian modul pelatihan anticipatory guidance terhadap pola asuh orang tua dalam memberikan
stimulasi perkembangan anak di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan. BAHAN DAN METODE Jenis
penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan pendekatan menggunakan pre post test with control
group design. Jumlah anak di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan pada tahun 2010 adalah 98 orang.
Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah responden yang mempunyai pola asuh otoriter dalam
memberikan stimulasi perkembangan pada anak di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan. Karena
jumlah sampel ≤ 15, maka diambil sampel minimal sebesar 15 orang pada masing-masing kelompok
(kelompok kontrol dan kelompok perlakuan). Pada penelitian ini peneliti menggunakan pengumpulan
data dengan simple random sampling. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan modul pelatihan,
kuesioner dan format wawancara untuk mengumpulkan data tentang pola asuh orang tua. Untuk
menjaga validitas dan reliabilitas dari kuesioner pola asuh orang tua yang dibuat oleh peneliti, diadakan
uji validitas terlebih dahulu menggunakan korelasi pearson product moment dan uji reliabilitas
menggunakan alfa cronbach yang dilaksanakan di TK Dharmawanita Kecamatan Burneh sebanyak 15
orang responden. Hasil uji validitas menunjukkan bahwa r hitung terkecil 0,8286 > r tabel (0,514)
sehingga semua item pertanyaan dinyatakan valid, sedangkan nilai alpha (0,8476) > r tabel (0,514)
sehingga semua item pertanyaan dinyatakan reliabel. Penelitian ini dilakukan di TK Dharmawanita
Kabupaten Bangkalan pada bulan Juni – Juli tahun 2010. Intervensi berupa pendampingan keluarga
dengan menggunakan modul dilakukan di rumah masing-masing keluarga sesuai dengan konrak yang
sudah disepakati. Uji statistik: Perubahan pola asuh sebelum dan sesudah dilakukan intervensi dan
perubahan pola asuh pada kelompok kontrol digunakan uji wilcoxon, sedangkan untuk menganalisis
perbedaan menggunakan uji mann withney dengan tingkat kepercayaan yang diinginkan 0,01, dan
kriteria pengujiannya apabila p-value lebih kecil atau sama dengan α maka Ho di tolak dan Ha diterima
artinya ada perbedaan antara pola asuh orang tua dalam memberikan stimulasi perkembangan anak
antara yang diberikan modul pelatihan anticipatory guidance dengan yang tidak diberi. HASIL Mayoritas
responden yang diberikan bimbingan antisipasi (anticipatory guidance) mengalami perubahan pola asuh
dalam memberikan stimulasi perkembangan pada anak usia pra sekolah di TK Dharmawanita Kabupaten
Bangkalan yaitu sebanyak 11 orang (73,3%). Dari kelompok perlakuan tersebut, Modul Anticipatory
Guidance (Hasinuddin) 53 masih terdapat 4 orang (11%) responden yang tidak mengalami perubahan
pola asuh. Hasil uji statistik menunjukkan nilai rata-rata kelompok perlakuan sebelum intervensi (33,20)
setelah diintervensi menjadi 2,274. Hasil uji wilcoxon menunjukkan α (0,01) > p-value (0,001) yang
berarti terdapat perbedaan pola asuh sebelum dan sesudah dilakukan intervensi berupa bimbingan
antisipasi oleh perawat. Responden yang tidak diberikan bimbingan antisipasi (anticipatory guidance)
yaitu sebanyak 15 responden, 12 orang (80%) tidak mengalami perubahan pola asuh dalam memberikan
stimulasi perkembangan pada anak usia pra sekolah di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan. Pada
kelompok kontrol, terdapat 3 (20%) orang tua yang mengalami perubahan pola asuh yang awalnya
otoriter menjadi non otoriter. Berdasarkan uji statistik, nilai rata-rata kelompok perlakuan pada
observasi I (33,27) setelah observasi II menjadi 32,00. Hasil uji wilcoxon menunjukkan α (0,01) > p-value
(0,098) yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan pola asuh pada kelompok yang tidak diberikan
bimbingan antisipasi oleh perawat. Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan,
responden mayoritas mengalami perubahan pola asuh yaitu sebanyak 11 orang (73,3%), sedangkan
pada kelompok kontrol mayoritas tidak ada perubahan pola asuh yaitu sebanyak 12 orang (80%). Hasil
uji statistik menggunakan uji mann whitney didapatkan α (0,05) > p-value = 0,004. Hal ini berarti
terdapat perbedaan pola asuh antara kelompok yang diberikan bimbingan antisipasi (anticipatory
guidance) dengan kelompok yang tidak diberikan bimbingan antisipasi (anticipatory guidance). Tabel 1.
Perubahan pola asuh orang tua dalam memberikan stimulasi perkembangan pada anak di TK
Dharmawanita Kabupaten Bangkalan pada kelompok yang diberikan bimbingan antisipasi. No Pola Asuh
Orang Tua Selisih nilai Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi X = 33,20 SD = 2,274 X = 28,60 SD = 2,667
Hasil uji wilcoxon: p-value = 0,001 Tabel 2. Perubahan pola asuh orang tua dalam memberikan stimulasi
perkembangan pada anak di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan yang tidak diberikan bimbingan
antisipasi No Pola Asuh Orang Tua Selisih nilai Observasi I Observasi II X = 33,27 SD = 1,831 X = 32,00 SD
= 2,591 Hasil uji wilcoxon: p-Value = 0,098 Tabel 3. Tabulasi Silang Perubahan pola asuh orang tua dalam
memberikan stimulasi perkembangan pada anak di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan Ada
perubahan pola asuh Tidak ada perubahan pola asuh Total (%) f%F% Kelompok Perlakuan 11 73,3 4 26,7
100 Kelompok Kontrol 3 20 12 80 100 Total 14 46,7 16 53,3 100 α = 0,01 uji mann whitney: p-value =
0,004
PEMBAHASAN Hasil penelitian didapatkan data bahwa dari 15 responden yang diberikan modul
pelatihan bimbingan antisipasi (anticipatory guidance) sebanyak 11 orang (73,3%) mengalami
perubahan pola asuh yang sebelumnya otoriter menjadi nonotoriter. Tetapi masih ada 4 orang
responden (26,7%) yang tidak mengalami perubahan pola asuh. Hal ini dapat disebabkan karena faktor
persepsi orang tua yang beranggapan bahwa pola asuh otoriter adalah bentuk yang paling baik dalam
mendidik anak untuk menjadi disiplin. Pola pengasuhan ini juga mereka terapkan seperti yang pernah
diterima waktu mereka dididik oleh orang tuanya dulu. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosa dan Agustin
(2010) bahwa latar belakang keluarga orang tua akan memengaruhi pola asuh yang diberikan, orang tua
akan menyamakan diri mereka dengan pola asuh yang dipergunakan oleh orang tua atau keluarga besar
mereka dulu. Orang tua menganggap bahwa pola asuh orang tua mereka yang terbaik, maka ketika
mempunyai anak mereka kembali memakai pola asuh yang mereka terima. Responden yang tetap
memberikan pola asuh otoriter meskipun telah diberikan modul pelatihan anticipatory guidance, jenis
kelamin anaknya adalah perempuan semua. Dalam menerapkan pola pengasuhan kepada anak
perempuan mereka berpandangan bahwa anak perempuan harus dijaga lebih ketat sehingga cenderung
menggunakan pola asuh yang otoriter. Responden yang mengalami perubahan pola asuh setelah
diberikan modul pelatihan anticipatory guidance, perubahan pola asuh yang diberikan pada umumnya
adalah pola asuh demokratis. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor
pendidikan orang tua. Hasil penelitian tentang tingkat pendidikan ibu yang memiliki anak di TK
Dharmawanita Kabupaten Bangkalan sebagian besar adalah pendidikan SMA. Pendidikan ini nampaknya
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan adanya perubahan pola asuh pada orang tua yang
diberikan modul pelatihan anticipatory guidance oleh perawat. Hal ini sesuai dengan pendapat Joko,
(2009) yang menyatakan bahwa keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama anak. Cara mendidik
dalam keluarga, memengaruhi reaksi anak terhadap lingkungan. Tingkat pendidikan orang tua akan
berpengaruh pada pola pikir dan orientasi pendidikan anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua akan
melengkapi pola pikir dalam mendidik anaknya. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang cenderung
rendah lebih memilih pola asuh tipe Laissez Faire atau pola asuh otoriter. Sedangkan orang tua dengan
tingkat pendidikan yang cenderung tinggi lebih memilih pola asuh tipe demokratis. Usia dari orang tua
dan anak juga bisa mempengaruhi orang tua dalam memilih suatu bentuk pola asuh bagi anaknya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usia ibu yang memiliki anak usia 4–6 tahun di TK Dharmawanita
Kabupaten Bangkalan sebagian besar adalah usia dewasa muda. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosa
dan Agustin (2010) yang menyatakan bahwa orang tua yang usianya masih muda cenderung untuk
memilih pola sosialisasi yang demokratis atau permisif dibanding dengan mereka yang sudah lanjut usia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang diberikan modul pelatihan anticipatory guidance
dapat memberikan pola asuh yang positif dalam memberikan stimulasi perkembangan bahasa pada
anak. Pola asuh yang kreatif, inovatif, seimbang, dan sesuai dengan tahap perkembangan anak akan
menciptakan interaksi dan situasi komunikasi yang memberi kontribusi positif terhadap keterampilan
berbahasa anak. Dengan kata lain, kealamian pemerolehan bahasa tidak dibiarkan mengalir begitu saja,
tetapi direkayasa sedemikian rupa agar anak mendapat stimulus positif sebanyak dan sevariatif
mungkin. Dengan demikian, diharapkan anak tidak akan mengalami kesulitan ketika memasuki tahap
pembelajaran bahasa untuk kemudian menjadi sosok yang terampil berbahasa (Fithriani, 2008). Hasil
penelitian berdasarkan kuesioner dan wawancara menunjukkan terdapat perubahan pola asuh orang
tua dalam memberikan stimulasi perkembangan personal sosial dan kemandirian anak. Kemandirian
pada anak berawal dari keluarga yang sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Di Modul
Anticipatory Guidance (Hasinuddin) 55 dalam keluarga, orang tualah yang berperan dalam mengasuh,
membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Mengingat masa anak-anak
dan remaja merupakan masa yang penting dalam proses perkembangan kemandirian, maka
pemahaman dan kesempatan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan
kemandirian amatlah krusial. Keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak
untuk mandiri. Orang tua yang tetap menerapkan pola asuh otoriter meskipun sudah diberikan
bimbingan antisipasi menyatakan bahwa mereka cenderung takut untuk membiarkan anak mereka
melakukan aktivitas yang berisiko misalnya mencoba permainan baru yang sifatnya menantang. Orang
tua masih beranggapan bahwa aktivitas tersebut lebih cocok untuk anak laki-laki saja. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol, cenderung tidak terdapat perubahan pola asuh. Tetapi
dari 15 responden masih terdapat 3 orang (20%) yang mengalami perubahan pola asuh meskipun
mereka tidak modul pelatihan anticipatory guidance. Masih adanya responden yang mengalami
perubahan pola asuh meskipun tidak diberikan bimbingan antisipasi dapat disebabkan karena mereka
mendapatkan informasi dari orang lain dalam hal ini adalah orang tua yang mendapatkan bimbingan
antisipasi dari perawat (kelompok perlakuan). Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 orang responden
yang mengalami perubahan pola asuh tanpa diberi modul pelatihan anticipatory guidance menyatakan
bahwa mereka mulai menyadari pola asuh yang mereka terapkan selama ini kurang sesuai untuk
perkembangan anak mereka, sedangkan 1 orang responden lainnya yang juga mengalami perubahan
pola asuh tanpa diberi bimbingan antisipasi menyatakan banyak mendapat informasi tentang pola asuh
dari teman kerjanya dan dari buku/majalah. Hal ini juga berhubungan dengan pekerjaan orang tua
sebagai Pegawai Negeri Sipil di mana cenderung mudah untuk mendapatkan informasi-informasi yang
berhubungan dengan pola asuh dan perkembangan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden yang tidak diberi perlakuan tidak mengalami perubahan pola asuh. Hal ini dapat
disebabkan oleh faktor tingkat pendidikan orang tua di mana sebagian besar adalah pendidikan
menengah. Tinggi rendahnya jenjang pendidikan yang dikecap orang tua juga menentukan pola asuh
dalam sebuah keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosa dan Agustin (2010) bahwa semakin tinggi
dan maju pendidikan orang tua, biasanya semakin baik pula keputusan mereka dalam menerapkan
suatu pola asuh pada anak-anaknya. Orang dewasa yang telah mengikuti kursus persiapan perkawinan,
kursus kesejahteraan keluarga, atau kursus pemeliharaan anak, cenderung untuk menggunakan pola
yang demokratis. Ini terjadi karena mereka menjadi lebih mengerti tentang anak dan kebutuhan-
kebutuhannya. Orang tua yang tradisional cenderung lebih menggunakan pola yang otoriter
dibandingkan orang tua yang lebih modern. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok
kontrol, jenis kelamin anak di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan sebagian besar adalah
perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosa dan Agustin (2010) bahwa orang tua juga biasanya
memperlakukan anak-anak mereka sesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya terhadap anak perempuan
mereka harus menjaga lebih ketat sehingga menggunakan pola yang otoriter. Sedang terhadap anak
laki-laki cenderung lebih permisif atau demokratis. Pada orang tua yang memiliki anak laki-laki, mereka
cenderung tetap menerapkan pola asuh otoriter karena beranggapan bahwa anak laki-laki harus
mendapatkan pengasuhan yang lebih ketat supaya nanti kalau sudah besar tidak menjadi orang yang
nakal. Status sosial ekonomi juga mempengaruhi orang tua dalam menggunakan pola sosialisasi mereka
bagi anak-anaknya, misalnya jika orang tuanya adalah orang yang terpandang di suatu lingkungan, maka
biasanya orang tua akan menerapkan pola otoriter karena ingin anak-anaknya menurut padanya,
sehingga pandangan orang lain pada orang tuanya tetap baik (Rosa dan Augustine, 2010). Berdasarkan
hasil pengamatan dan wawancara pada
saat penelitian, orang tua yang cenderung mempertahankan pola pengasuhan yang otoriter adalah
mereka yang dianggap terpandang di daerah tersebut. Selain hal tersebut, pekerjaan orang tua sebagai
perangkat desa dan tokoh masyarakat juga menyebabkan orang tua cenderung memiliki pola asuh yang
otoriter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian modul pelatihan anticipatory guidance oleh
perawat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan pola asuh orang tua dalam
memberikan stimulasi perkembangan pada anak usia 4–6 tahun di TK Dharmawanita Kabupaten
Bangkalan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan pola asuh pada kelompok yang mendapatkan
modul pelatihan, sedangkan kelompok yang tidak mendapatkan modul pelatihan cenderung tidak
mengalami perubahan pola asuh. Konsep anticipatory guidance menjelaskan bahwa usia anak-anak
dapat mengalami trauma di setiap tahap perkembangan mereka, misalnya ketakutan yang tidak jelas
pada anak-anak pra sekolah yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak.
Syahreni (2009) mendefinisikan anticipatory guidance sebagai metode yang digunakan perawat untuk
membantu orang tua menyediakan pengembangan perubahan perilaku ke arah lebih baik untuk
memahami anak-anak mereka. Orang tua mempunyai tantangan untuk memberikan pembinaan,
kedisiplinan, kemandirian, meningkatkan mobilitas, dan keamanan. Dalam hal ini peran perawat
dibutuhkan untuk memberikan bimbingan antisipasi kepada orang tua. Petunjuk antisipasi bisa diartikan
petunjuk-petunjuk yang perlu diketahui terlebih dahulu agar orang tua dapat mengarahkan dan
membimbing anaknya secara bijaksana, sehingga anak dapat bertumbuh dan berkembang secara
normal (Nursalam, 2005). Dalam upaya untuk memberikan bimbingan dan arahan pada masalah-
masalah yang kemungkinan timbul pada setiap fase pertumbuhan dan perkembangan anak, ada
petunjukpetunjuk yang perlu dipahami oleh orang tua. Orang tua dapat membantu untuk mengatasi
masalah anak pada setiap fase pertumbuhan dan perkembangannya dengan cara yang benar dan wajar.
Pemberian modul pelatihan anticipatory guidance ini, peneliti melibatkan peran serta aktif dari ibu
karena sesuai dengan pendapat Rosa dan Agustin (2010) bahwa ibu lebih berperan sebagai orang yang
bisa memenuhi kebutuhan anak, merawat keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten, mendidik,
mengatur dan mengendalikan anak, sehingga diharapkan ibu bisa menjadi contoh dan teladan bagi
anak. Tapi, semua itu tidak bisa digeneralisasi atau bersifat konstekstual, semua itu harus disesuaikan
kembali kepada karakter, komitmen dan tujuan ayah dan ibu dalam membentuk keluarga dan anak-
anaknya di masa depan. Pendampingan oleh perawat (anticipatory guidance),peran orang tua sangat
penting karena pengasuhan mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan perkembangan
anak nanti ke depannya. Orang tua perlu memahami prinsip-pinsip pengasuhan yang baik agar anak
menjadi pribadi yang memiliki perkembangan yang baik sesuai dengan harapan orang tua. Disini peran
perawat sangat penting untuk mendampingi orang tua dalam menentukan pola pengasuhan yang baik.
Perawat perlu memperhatikan karakteristik keluarga dan tipe keluarga karena hal itu akan banyak
memengaruhi keberhasilan dalam pemberian anticipatory guidance oleh perawat. Anak sebagai objek
asuhan orang tua dan indikator yang utama dalam menilai keberhasilan perawat memberikan
anticipatory guidance dalam keluarga merupakan fokus utama karena keberhasilan dalam
pendampingan ini akan ditunjukkan melalui perubahan perkembangan menjadi ke arah yang lebih baik.
Perawat perlu memperhatikan karakteristik anak dan kemampuan anak saat ini karena hal ini juga ikut
menentukan perkembangan anak kedepannya nanti. Selain keluarga dan anak yang menjadi dasar
dalam pemberian anticipatory guidance, lingkungan juga memiliki pengaruh yang besar dalam
keberhasilan perawat memberikan anticipatory guidance dalam suatu keluarga. Lingkungan Modul
Anticipatory Guidance (Hasinuddin) 57 yang kondusif dan mendukung anak menuju perkembangan yang
optimal akan sangat baik bagi perkembangan anak untuk kedepannya nanti. Sebaliknya lingkungan yang
cenderung kurang memberikan pengasuhan atau role model yang baik akan sangat berbahaya dalam
perkembangan anak nanti terutama bagi anakanak usia prasekolah. Lingkungan sosial dari luar keluarga
dapat memengaruhi perkembangan anak seperti televisi, day care centre, perwakilan pemerintah,
perubahan sekolah, dan institusi agama. Orang tua kebingungan menentukan kapan memberi semangat
atau mengendalikan partisipasi mereka. Perawat mengatur rencana bertemu orang tua untuk
mempercepat mempelajari dan memperbesar harga diri orang tua melalui bimbingan antisipasi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pola asuh orang tua dalam memberikan stimulasi perkembangan pada
anak di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan yang diberikan modul pelatihan anticipatory guidance
oleh perawat mayoritas mengalami perubahan dari pola asuh otoriter menjadi pola asuh non otoriter.
Pola asuh orang tua dalam memberikan stimulasi perkembangan pada anak di TK Dharmawanita
Kabupaten Bangkalan yang tidak diberikan modul pelatihan anticipatory guidance oleh perawat
mayoritas tidak mengalami perubahan pola asuh otoriter. Modul Pelatihan anticipatory guidance
mempunyai pengaruh terhadap perubahan pola asuh orang tua dalam memberikan stimulasi
perkembangan anak di TK Dharmawanita Kabupaten Bangkalan. Saran Institusi pendidikan di tingkat
pendidikan tinggi keperawatan hendaknya dapat memperluas kajian tentang pentingnya upaya-upaya
peningkatan tumbuh kembang anak terutama sebagai upaya preventif dalam peningkatan derajat
kesehatan di masyarakat. Bagi pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas perlunya peningkatan
bimbingan antisipasi bagi keluarga yang mempunyai masalah dalam hal pengasuhan anak sebagai
bagian dari progam kesehatan Ibu Anak (KIA) melalui pelatihan dengan menggunakan modul yang telah
di standarisasi. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh bimbingan antisipasi oleh
perawat bagi perkembangan anak sebagai tindak lanjut dari penelitian ini dengan memperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak itu sendiri dan dalam jumlah sampel yang lebih
besar.
PEMBERDAYAAN KADER DALAM APLIKASI, SOSIALISASI DDTK (DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG) DAN
ANTICIPATORY GUIDANCE DI KECAMATAN WONODADI
(Cadres Empowerment in the Application, Socialization Early Detection of Development Children and
Anticipatory Guidance in Wonodadi District) Erni Setiyorini, Yeni Kartika Sari Program Studi Pendidikan,
Ners STIKes Patria Husada Blitar email: nerserni@gmail.com Abstract: In Indonesia, the number of
infants reach 10% of the population, in which the prevalence of development disorder 12,8%–16% and
we need to screening development of children. The mortality of childrens high due to accident,
poisoning and trauma recorded 7,3% and one of top five lead child deaths in 1992. Based on interviews
with some kader posyandu, we know that the kader had never received training related to early
detection growth and development and anticipatory guidance in children. The purpose of this science
and technology activity for society was to empower kader in the application, the socialization of
children’s early detection growing and development Method for this activity was to team up with 2
partners i.e. Midwife of Kebonagung Village with number of kader of 25 people and the midwife of
Wonodadi village with number of cadres of as many as 30 people. The method of this activity was to
provide a pre test training before, children’s early detection growth and development with method of
lecture, discussion, simulation and applications of valuation DDTK in kindergarten, mentoring and
evaluation of training activities and the activities of the posyandu. The results of the evaluation of the
training process showed improved knowledge on average level of good on both of kader and partner,
most cadres is skilled, whereas the evaluation of the activities of mentoring at posyandu activities, most
of posyandu already documenting the measurement of height, weight, nutritional status, while for
childrens’s early detection growing and development with developmental screening assessment card
but not complete. In order for the assessment, documentation, socialization of childrens’s early
detection growing and development activities and anticipatory guidance fluently, then the expected
partner, the Councilor and head of the Clinic Wonodadi made a commitment in the monitoring
activities. Keywords: early detection growth and development, anticipatory guidance, cadres, Children
Abstrak: Di Indonesia, jumlah balita 10% dari jumlah penduduk, di mana prevalensi gangguan
perkembangan 12,8% s/d 16% , sehingga dianjurkan melakukan skrining tumbuh kembang pada setiap
anak, sedangkan angka kematian anak akibat kecelakaan, keracunan dan trauma tercatat 7,3 % dan
merupakan salah satu dari lima penyebab kematian anak tertinggi pada tahun 1992. Dari hasil
wawancara dengan beberapa kader posyandu diketahui bahwa kader belum pernah mendapatkan
pelatihan terkait dengan DDTK dan anticipatory guidance. Tujuan kegiatan ipteks bagi masyarakat ini
adalah untuk memberdayakan kader dalam aplikasi, sosialisasi deteksi dini tumbuh kembang anak
Metode ipteks bagi masyarakat ini adalah dengan bekerjasama dengan 2 orang mitra yaitu Bidan Desa
Kebonagung dengan jumlah kader 25 orang dan bidan Desa Wonodadi dengan jumlah kader sebanyak
30 orang . Metode kegiatan ini adalah dengan memberikan pre test terlebih dahulu, pelatihan DDTK
dengan metode ceramah, diskusi, simulasi dan aplikasi penilaian DDTK di TK, pendampingan dan
evaluasi kegiatan pelatihan dan kegiatan posyandu. Hasil evaluasi proses pelatihan menunjukkan
peningkatan pengetahuan sebagian besar baik pada kader kedua mitra, keterampilan sebagian besar
kader terampil sedangkan evaluasi kegiatan pendampingan pada kegiatan Setiyorini dan Sari,
Pemberdayaan Kader dalam ... 271 posyandu, sebagian besar posyandu sudah mendokumentasikan
pengukuran tinggi badan, berat badan, status nutrisi, sedangkan untuk DDTK dengan KPSP
terdokuemntasi tapi tidak lengkap. Agar kegiatan penilaian dan dokumentasi penilaian DDTK dan
sosialisasi anticipatory guidance dapat berjalan lancar, maka diharapkan mitra, perangkat desa dan
kepala Puskesmas Wonodadi membuat komitmen dalam pemantauan kegiatan. Kata Kunci: DDTK,
anticipatory guidance, kader, Anak Posyandu adalah wadah pemeliharaan kesehatan yang dilakukan
dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibimbing petugas kesehatan (perawat), (Departemen Kesehatan
RI, 2006). Salah satu kegiatan pokok posyandu adalah kesehatan ibu dan anak. Pelayanan minimal
diberikan kepada anak meluputi penimbangan, pertumbuhan, pemberian makanan pendamping ASI dan
Vitamin A, pemberian PMT, memantau atau melakukan pelayanan imunisasi dan tanda-tanda lumpuh
layu, memantau kejadian ISPA dan diare, serta melakukan rujukan bila perlu. Dalam kegiatan posyandu
peran serta dan keikutsertaan kader posyandu sangat penting dalam mewujudkan dan meningkatkan
pembangunan kesehatan masyarakat desa. World Health Organization (1995) menyebutkan bahwa
kader posyandu merupakan bagian dari sebuah sistem kesehatan sehingga mereka harus dibina,
dituntun serta didukung oleh para pembimbing yang lebih terampil dan berpengalaman. Hal ini
didukung oleh Azwar (1996) bahwa keterampilan petugas Posyandu merupakan salah satu kunci
keberhasilan dalam sistem pelayanan di posyandu, karena dengan pelayanan kader yang terampil akan
mendapat respon positif dari Ibuibu balita sehingga terkesan ramah, baik, pelayanannya teratur hal ini
yang mendorong Ibu-ibu rajin ke posyandu. Di Indonesia, jumlah balita 10% dari jumlah penduduk, di
mana prevalensi (rata-rata) gangguan perkembangan bervariasi 12.8% s/d 16% sehingga dianjurkan
melakukan observasi/skrining tumbuh kembang pada setiap anak (Afif, 2012). Periode perkembangan
bayi dan anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan ini menentukan
perkembangan selanjutnya. Roesli (2009) dalam penelitiannya didapatkan bahwa balita mengalami
gangguan motorik kasar sebanyak 31,2%, motorik halus 14,3%, sedangkan yang mengalami gangguan
bahasa 19,1% dan yang mengalami gangguan personal sosial 11,5%.pada periode perkembangan ini
sangat diperlukan pemantauan untuk mendeteksi dini penyimpangan perkembangan anak sejak dini,
sehingga upaya pencegahan, upaya stimulasi dan upaya penyembuhan serta upaya pemulihan dapat
diberikan dengan indikasi yang jelas. Di Indonesia tahun 1992 angka kematian anak akibat kecelakaan,
keracunan dan trauma tercatat 7,3 % dan merupakan salah satu dari lima penyebab kematian anak
tertinggi. Data dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes POLRI) tahun 2009 adalah
sebesar 8.601 anak (8,8%) mengalami kecelakaan lalu lintas jalan raya. Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Departemen Kesehatan (2007) sebesar 19,2% sedangkan. Kecelakaan menjadi penyebab
utama kematian dan kecacatan pada anak-anak (Promkes). Oleh karena itu, orang tua juga perlu dibekali
dengan panduan memberikan keamanan pada anak berupa anticipatory guidance. Sehingga mereka
dapat mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan pada anak. Anticipatory guidance adalah komponen
kunci dari perawatan primer pediatrik yang merupakan bimbingan
272 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 2, Nomor 3, Desember 2015, hlm. 270–275
diukur berat badan tetapi tidak dilakukan interpretasi antropometri termasuk kategori kurus, normal
atau gemuk. Di posyandu juga tidak dilakukan penilaian tumbuh kembang anak untuk mengetahui
apakah perkembangannya sesuai, meragukan atau menyimpang. Selain itu, pada kegiatan posyandu
belum pernah dilakukan penyuluhan oleh kader posyandu. Masalah yang dihadapi adalah bahwa kader
posyandu di bawah binaan mitra: (1) Belum mengetahui pedoman penilaian DDTK dan anticipatory
guidance. (2) Belum mengetahui teknik promosi kesehatan yang tepat. (3) Belum tersedianya kartu
pemantauan perkembangan anak. (4) Belum mengetahui teknik dokumentasi dan interpretasi hasil
pemeriksaan DDTK. (5) Belum mengetahui format dokumentasi penilaian DDTK untuk pelaporan. Hal ini
dikarenakan sebagian besar kader posyandu belum pernah mendapatkan pelatihan terkait dengan
kompetensi tersebut. Menyadari permasalahan tersebut, maka sangat penting dilakukan upaya dalam
peningkatan kemampuan kader posyandu dalam penilaian tumbuh kembang anak dan anticipatory
guidance dalam kehidupan sehari- hari agar dalam kegiatan posyandu, kader dapat mengajarkan kepada
ibu keterampilan tersebut. Sehingga melalui kegiatan ini tercapainya tujuan, yaitu anak dapat tumbuh
dan berkembang secara optimal dan terhindar dari kejadian buruk yang dapat diantisipasi melalui
anticipatory guidance pada anak sesuai tahap tumbuh kembangnya. Tujuan dari kegiatan IbM ini adalah:
(1) Kader posyandu mengetahui tentang teori DDTK dan anticipatory guidance. (2) Kader posyandu
dapat mengaplikasikan DDTK (3) Kader posyandu dapat melakukan sosialisasi tentang DDTK dan
anticipatory guidance kepada ibu-ibu. (4) Kader posyandu dapat memotivasi ibu untuk memeriksa DDTK
pada anaknya. (5) Kader posyandu dapat mendokumentasikan dan menginterpretasikan hasil
pemeriksaan DDTK. (6) Kader posyandu dapat melaksanakan pemeriksaan DDTK pada kegiatan
posyandu. BAHAN DAN METODE Dalam pelatihan ini akan dilakukan pendekatan belajar dengan
pembelajaran teori dan praktik langsung ke lahan. Rancangan bentuk kegiatan, operasional dan tujuan
kegiatan yang akan dilaksanakan. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah (1) Sosialisasi rencana kegiatan
IbM kepada kepala puskesmas, bidan dan perawat di puskesmas. (2) Koordinasi tim IbM dan mitra
dalam persiapan kegiatan pelatihan. (3) Pengumpulan bahan media pembelajaran. (4) Pembuatan
modul dan kartu pemantauan perkembangan anak (5) Belanja bahan (6) Penyusunan jadwal kegiatan
pelatihan (7) Penyusunan jadwal kegiatan pelatihan secara langsung di lapangan. (8) Pelaksanaan
pelatihan (9) Pelaksanaan praktik lapangan (10) Pendampingan kader pada kegiatan posyandu dalam
pemantauan tumbuh kembang anak. (11) Pendampingan penyuluhan pada kader posyandu (12)
Observasi keterampilan kader (13) Observasi motivasi ibu dalam memeriksa tumbuh kembang anak (14)
Observasi kader dalam sosialisasi DDTK dan anticipatory guidance (15) Observasi pelaksanaan DDTK
pada kegiatan posyandu (16) Observasi laporan hasil pemantauan perkembangan anak. HASIL KEGIATAN
IPTEKS BAGI MASYARAKAT Tabel 1. Distribusi frekuensi karakteristik kader Posyandu Desa Kebonagung
dan Desa Wonodadi Karakteristik Responden Desa Keboagung Desa Wonodadi f % f % Usia 21-30 tahun
31-40 tahun 41-50 tahun >50 tahun 5 10 6 4 20 40 24 16 8 12 5 5 26,6 40 16,6 16,6 Jenis Kelamin
Perempuan 25 100 30 100 Pendidikan SD SMP SMA DIII SARJANA 2 6 10 2 5 8 24 40 8 20 5 13 5 2 5 16,6
43,3 16,6 6,6 16,6 Berdasarkan informasi yang pernah didengar tentang DDTK dan anticipatory guidance
Belum Pernah 25 100 30 100 Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa karakteristik kader posyandu di
Desa Kebonagung terbanyak berusia 31–40 tahun yaitu 40%, jenis kelamin 100% perempuan,
pendidikan terbanyak SMA 40% dan semua belum pernah mendapatkan Setiyorini dan Sari,
Pemberdayaan Kader dalam ... 273 informasi tentang DDTK dan anticipatory guidance. Sedangkan di
desa Wonodadi kader posyandu terbanyak berusia 31–40 tahun yaitu 40%, 100% perempuan dan
pendidikan terbanyak SMP yaitu 43,3%. Pelaksanaan Penyampaian Materi, Pelaksanaan Praktik
Penilaian Tumbuh Kembang Anak (DDTK) dan evaluasi Teknis kegiatan yang sudah dilaksanakan meliputi
persiapan yaitu belanja bahan dan menyiapkan media, penyampaian materi pada kader di desa
Kebonagung dilaksanakan tanggal 7–26 Mei 2015, praktik di TK Tunas bangsa dalam aplikasi DDTK pada
tanggal 28 Mei–11 Juni 2015. Sedangkan di Desa Wonodadi, penyampaian materi dilaksanakan pada
tanggal 2 Juli–4 Agustus 2015 dan aplikasi ke TK Abunajja pada tanggal 5–7 Agustus 2015. Pada setiap
penyampaian materi didahului dengan pre test dan setelah kegiatan praktik dilakukan post test.
Kegiatan pendampingan penilaian DDTK di Desa Kebonagung dan Wonodadi dilaksanakan 10 Agustus–
17 Agustus 2015, sedangkan pendampingan penyuluhan dilaksanakan tanggal 7 September– 14
September 2015. Evaluasi dilaksanakan tanggal 12–19 Oktober 2015. Evaluasi kehadiran pada saat
kegiatan pelatihan pada kedua mitra adalah 100%. Kepuasan dan Tingkat Kemandirian Mitra Hasil
evaluasi kepuasan menunjukkan bahwa mitra dan kader posyandu sangat puas dengan kegiatan ini.
Kegiatan ini memberikan pengetahuan dan pengalaman nyata pada kader. Bekal ilmu yang telah mereka
kuasai dapat diterapkan, baik dalam penilaian ataupun sebagai bahan penyuluhan kepada ibu balita.
Terjadi peningkatan pengetahuan pada kader posyandu. Untuk kemandirian dalam pelaksanaan
dokumentasi di setiap posyandu perlu adanya pemantauan yang intensif. Sebagaimana kita ketahui
bahwa kader merupakan tenaga sukarela dengan beban kerja yang berat, sehingga setiap ada
perubahan baru yang akan menambah beban kinerja kader, maka sangat sulit diharapkan keajegannya
dan perlu pemantauan yang melibatkan pengambil kebijakan. Kendala Penilaian DDTK dengan KPSP
masih menemui kendala yaitu: ibu yang membawa balita terburu-buru, jumlah kader yang aktif masih
kurang sehingga tidak mampu melayani semua pengunjung. Solusi Solusi yang diberikan oleh tim IbM
yaitu dengan membuatkan leaflet agar dapat dibaca ibu dan meTabel 2. Distribusi tingkat pengetahuan
sebelum dan sesudah dilaksanakan pelatihan DDTK dan anticipatory guidance Pengetahu an Desa
Kebonagung Desa Wonodadi Pre Post Pre Post f % f % f % f % Baik Cukup Kurang 0 5 20 0 20 80 15 10 0
60 40 0 0 12 18 0 40 60 22 6 2 73 20 6 Uji Wilcoxon Signed Rank Test p value=0,000 Berdasarkan tabel 2
dapat diketahui bahwa ada pengaruh pemberian pelatihan terhadap kemampuan kognitif kader. Tabel
3. Distribusi frekuensi keterampilan dalam menentukan status nutrisi dan penilaian DDTK dengan
menggunakan KPSP Keterampilan Desa Kebonagung Desa Wonodadi f % f % Terampil Cukup terampil
Kurang terampil 15 8 2 60 32 8 24 2 4 80 6,6 13,3 Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa
keterampilan kader dalam penilaian status nutrisi dan DDTK dengan KPSP yang terbanyak adalah
terampil, kader Desa Kebonagung 60% dan kader Desa Wonodadi 80%. Tabel 4. Distribusi frekuensi
evaluasi pelaksanaan dan dokumentasi hasil penilaian status nutrisi dan DDTK dengan KPSP di posyandu
Dokumentasi Posyandu Desa Kebonagung Posyandu Desa Wonodadi f % f
274 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 2, Nomor 3, Desember 2015, hlm. 270–275
motivasi untuk memeriksakan anak dan berkonsultasi tentang tumbuh kembang anak dan anticipatory
guidance yang sesuai usia anak dengan kader. Luaran Kegiatan Luaran dari kegiatan IbM ini adalah
media interaktif tentang DDTK dan anticipatory guidance, modul tentang DDTK dan anticipatory
guidance, TTG berupa SOP (Standart Operating Procedure) DDTK, kartu pemantauan perkembangan
anak usia 3 – 72 bulan, publikasi ilmiah pada jurnal lokal yang memiliki ISSN dan seminar hasil kegiatan
di Puskesmas Wonodadi. PEMBAHASAN Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan terhadap
suatu objek. Hersey & Blanchard, 1997 dalam Endah, 2003 menyatakan bahwa dalam teori berubah
perubahan yang paling mudah adalah pengetahuan. Strategi yang menekankan pada pengetahuan dan
pendalaman pengetahuan adalah strategi perubahan akademis yang memberikan pengaruh primer.
Anggapan dasarnya adalah logis dan rasional, objektif bahwa keputusan yang didasarkan pada yang
dianjurkan adalah jalan terbaik untuk diikuti. Pengetahuan yang meningkat setelah dilakukan intervensi
secara teori dapat dikaitkan dengan pendidikan. Notoatmodjo (2007) berpendapat bahwa semakin
tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menerima atau menyesuaikan dengan hal baru.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar seseorang, maka seseorang dengan pendidikan tinggi akan
cenderung lebih mudah memperoleh banyak informasi. Sebagian kader yang terbanyak adalah SMP dan
SMA, semakin banyak informasi yang didapatkan semakin banyak pengetahuan yang diperoleh.
Pendidikan rendah bukan berarti mutlak berpengatahuan rendah, karena pengetahuan tidak multak
diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh dari pendidikan non formal, salah
satunya dengan melalui pendidikan kesehatan, paparan informasi dari berbagai media. Pengalaman,
usia, kepercayaan, persepsi individu juga mempengaruhi pengetahuan seseorang. Semakin tua umur
seseorang, pengalamannya akan semakin banyak dan mempengaruhi daya tangkap dan pola pikirnya.
Erfandi (2009) berpendapat bahwa pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus menerus oleh
seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena ada pemahaman-pemahaman baru.
Peningkatan pengetahuan pada keluarga dapat dipengaruhi karena setiap anggota keluarga selalu
berinteraksi dengan orang lain, sehingga dimungkinkan melalui interaksi tersebut keluarga
mendapatkan pemahaman-pemahaman baru. Gagne (1988) dalam information processing learning
theory berpendapat bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian
diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Pemrosesan informasi melalui
interaksi antara kondisi internal dan kondisi eksternal individu. Untuk mengingat sesuatu manusia harus
melakukan 3 hal yaitu mendapatkan informasi, menyimpannya dan mengeluarkan kembali. Nasrun
(2007) menyatakan bahwa ingatan seseorang dipengaruhi oleh tingkat perhatian, minat, daya
konsentrasi, emosi dan kelelahan. Hal ini sejalan dengan Jensen & Markowitz (2002) bahwa kinerja
ingatan secara keseluruhan bisa berada dalam retang kondisi baik ataupun buruk, tergantung pada
keadaan fisik dan emosi. Beberapa faktor turut berkontribusi terhadap kinerja kader posyandu,
terutama terhadap program kerja yang baru. Dari hasil pemantauan dokumentasi hasil penilaian DDTK
dengan KPSP sebagian besar posyandu sudah mendokumentasikan tetapi kurang lengkap. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh kendala yang ditemukan saat kegiatan posyandu. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Pelaksanaan pelatihan deteksi tumbuh kembang anak dan anticipatory guidance di Desa Kebonagung
dan Desa Wonodadi berjalan dengan baik dan lancar. Hasil evaluasi pengetahuan, kader desa
Kebonagung sebagian besar baik 60%, dan Desa Wonodadi sebagian besar baik 73%. Kepuasan kedua
mitra puas 100%, keterampilan dalam penilaian status gizi dan DDTK dengan KPSP kader di Desa
Kebonagung sebagian besar terampil 60% dan di Desa Wonodadi terampil 80%, sedangkan untuk
dokumentasi sebagian besar sudah didokumentasikan tetapi masih kurang lengkap. Saran Perlu
memberikan motivasi dan memfasilitasi kader posyandu sehingga kader memiliki komitmen yang kuat
untuk terus melanjutkan kegiatan penilaian Setiyorini dan Sari, Pemberdayaan Kader dalam ... 275
tumbuh kembang anak dan mengajarkannya kepada orang tua balita. Perlunya kerjasama dengan kepala
Puskesmas Wonodadi untuk memantau hasil kegiatan penilaian tumbuh kembang anak dan
memberikan tanggungjawab kepada mitra untuk melaporkan hasil penilaian tumbuh kembang anak di
wilayah kerjanya.
Wati, Armia Fajar and Warsiti, Warsiti (2013) Pengaruh Anticipatory Guidance terhadap Praktik
Toilet Training pada Orang Tua dengan Anak Usia 24-30 Bulan di Desa Pandowoharjo Sleman
Yogyakarta. Skripsi thesis, STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta.
Abstract
Latar belakang: Toilet training adalah usaha melatih anak mengontrol dan melakukan buang air
besar dan buang air kecil. Toilet training ini perlu bimbingan orang tua. Toilet training yang tidak
tepat dapat mengakibatkan kepribadian ekspresif yaitu anak lebih tega, cenderung ceroboh,
emosional, dan sering membuat masalah, termasuk mengompol pada usia lebih tua. Anak yang
mengompol merasa sedih, bingung, gelisah, dan rendah diri sehingga orang tua juga bisa
mengalami frustasi. Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
anticipatory guidance terhadap praktik toilet training pada orang tua dengan anak usia 24-30
bulan di Desa Pandowoharjo Sleman Yogyakarta. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan
penelitian pre-eksperimen dengan desain one group prettest-posttest. Sampel dengan teknik
total sampling sebanyak 38 responden. Analisa data menggunakan uji paired t- test. Hasil
Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan praktik toilet training
setelah diberikan anticipatory guidance tentang toilet training, dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05).
Simpulan: Ada pengaruh signifikan anticipatory guidance terhadap praktik toilet training pada
orang tua dengan anak usia 24-30 bulan di Desa Pandowoharjo Sleman Yogyakarta. Saran:
Orang tua diharapkan dapat melakukan praktik toilet training secara tepat dan benar kepada
anak, sehingga anak dapat mandiri, mampu melakukan toileting dengan tepat dan dapat
membiasakan diri untuk hidup bersih. Kata Kunci : Toilet training , Anticipatory Guidance,
Praktik Orang Tua
ABSTRACT
Toilet training adalah langkah penting menuju otonomi dan pengendalian diri pada anak
usia toddler. Salah satu peran orang tua membentuk kemandirian pada anak dengan
melakukan toilet training. Kegagalan saat toilet training dapat menimbulkan kebiasaan seperti
mengompol, eneuresis dan ISK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peran
orang tua dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler di TPA Kelurahan Guntung
Paikat Banjarbaru. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan uji Spearman. Sampel
sebanyak 30 responden dengan purposive sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner
peran orang tua dan keberhasilan toilet training. Hasil analisis menunjukkan nilai signifikan p=
0,000 < 0,05 r=0,492 sehingga H0 ditolak, artinya ada hubungan antara peran orang tua dan
keberhasilan toilet training pada anak usia toddler. Hal ini menunjukan bahwa semakin
mendukungnya peran orang tua maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang di capai anak.