Está en la página 1de 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam tubuh manusia terdapat berbagai sistem organ. Semua sistem
organ ini bekerjasama untuk mempertahankan hidup manusia. Salah satu sistem
organ yang paling penting dalam tubuh manusia adalah sistem saraf (nervous
system). Sistem saraf memungkinkan manusia untuk menerima dan mengolah
rangsang dari luar serta melakukan fungsi tubuh sebagai bentuk tanggapan dari
rangsangan tersebut. Selain itu, sistem saraf memungkinkan manusia untuk
berpikir, mengambil keputusan, dan merasakan emosi (Waxman, 2017).
Secara garis besar, sistem saraf dibentuk oleh dua bagian, yaitu sistem
saraf pusat (central nervous system) dan sistem saraf perifer (peripheral nervous
system). Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang,
sementara sistem saraf perifer terdiri dari saraf-saraf yang berada di luar sistem
saraf pusat. Sistem saraf perifer bertugas menghubungkan sistem-sistem organ
manusia dengan sistem saraf pusat. (Hansen, 2014). Seperti sistem organ lainnya,
sistem saraf juga memiliki risiko terserang penyakit-penyakit tertentu. Faktor-
faktor yang dapat menyebabkan penyakit pada sistem saraf antara lain trauma
fisik, infeksi, zat-zat kimia berbahaya, dan kelainan genetik. Salah satu kelainan
genetik yang dapat timbul pada sistem saraf adalah penyakit Huntington atau
disebut juga sebagai Huntington’s chorea.
Penyakit Huntington adalah penyakit degeneratif yang menyerang sistem
saraf. Penyakit Huntington disebabkan oleh adanya mutasi pada gen huntingtin
(Htt). Mutasi ini diturunkan secara autosomal dominan. Penyakit ini ditandai
dengan adanya gerakan otot abnormal yang involunter (chorea), gejala psikiatri,
dan dementia. (Simon, et al., 2018). Penyakit Huntington biasanya terjadi pada
orang berusia 35-44 tahun. Penyakit ini semakin lama semakin memburuk,
dimana penderita meninggal dunia 10-25 tahun sejak gejala pertama kali muncul.
Selain itu, penyakit ini tidak dapat diobati maupun dihambat perjalanannya. Obat-
obatan yang diberikan pada penderita hanya bersifat simptomatik dan hanya
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita serta mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi. (Revilla, et al., 2017).
Karena penyakit Huntington bersifat penyakit keturunan, prognosis
penyakit buruk, dan tidak adanya terapi yang dapat mengobati penyakit ini, maka
kami tertarik untuk membahas penyakit Huntington pada student project ini.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang kami bahas dalam student project ini
adalah:
1. Apakah definisi dari Huntington Chorea?

2. Bagaimana etiologi dari Huntington Chorea?

3. Bagaimana epidemiologi dari Huntington Chorea?

4. Bagaimana patofisiologi dari Huntington Chorea?

5. Bagaimana manifestasi klinis dari Huntington Chorea?

6. Apa faktor risiko dari Huntington Chorea?

7. Bagaimana diagnosis dari Huntington Chorea?

8. Bagaimana penatalaksanaan dari Huntington Chorea?

9. Bagaimana prognosis dari Huntington Chorea?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan student project ini adalah:
1. Mengetahui definisi dari Huntington Chorea

2. Mengetahui epidemiologi dari Huntington Chorea

3. Mengetahui etiologi dari Huntington Chorea

4. Mengetahui patofisiologi dari Huntington Chorea

5. Mengetahui manifestasi klinis dari Huntington Chorea

6. Mengetahui apa saja faktor risiko dari Huntington Chorea

7. Mengetahui diagnosis dari Huntington Chorea

8. Mengetahui penatalaksanakan dari Huntington Chorea


9. Mengetahui prognosis dari Huntington Chorea

1.3 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan student project ini adalah:
Bagi pembaca dapat memahami dan mengetahui definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, manisfestasi klinis, faktor risko, cara mendiagnosis,
penatalaksanaan, dan prognosis dari Huntington Chorea.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Huntington’s chorea dikenal pertama kali pada tahun 1872 penjelasan dan
kuliah penyakit oleh George Huntington. Penyakit ini merupakan gangguan
neurodegeneratif yang terjadi di dalam keluarga secara turun-temurun dengan
onset kejadian di usia pertengahan dan memiliki gejala khas berupa gerakan-
gerakan choreatic yang tidak diinginkan, gangguan perilaku, kejiwaan dan
dementia (Roos, Raymund AC, 2010). Selama beberapa dekade nama
Huntington’s chorea tidak berubah, sampai tahun 1980an namanya diubah
menjadi Huntington’s disease karena terdapat tanda dan gejala non-motorik yang
luas.
Huntington disease adalah penyakit yang diturunkan secara dominan
autosomal, onset biasanya di usia dewasa, bersifat progresif, dan kombinasi
gangguan motorik, kognitif, dan perilaku. Penyakit ini disebabkan oleh
pengulangan trinukleotida CAG di HTT, gen yang mengkode protein huntingtin.
Pada pembawa mutasi (carriers), huntingtin diproduksi dengan panjang sekuens
polyglutamine yang tidak normal yang memberi efek toksik pada fungsi dan
memicu protein menjadi terfragmentasi sehingga mengakibatkan disfungsi
neuronal dan kematian. (Bates, Gillian P., dkk, 2015)

2.2 Etiologi
Penyakit Huntington adalah penyakit autosomal yang diwariskan dominan
yang disebabkan oleh pengulangan CAG yang memanjang pada lengan pendek
kromosom 4p16.3 dalam gen Huntingtin. Kode gen ini untuk protein huntingtin
dan, pada ekson 1, mengandung saluran CAG. Segmen ini terdiri dari serangkaian
tiga blok bangunan DNA (sitosin, adenin, dan guanin) yang muncul beberapa kali
berturut-turut. Meskipun fungsi protein ini tidak diketahui, tampaknya memainkan
peran penting dalam sel-sel saraf (neuron) di otak. Wild-type berisi pengulangan
CAG, yang mengkode peregangan polyglutamine pada protein di lokasi tersebut
dalam kisaran 6 hingga 26. Penyakit Huntington dikaitkan dengan 36
pengulangan atau lebih. Proses penyalinan gen dapat menyebabkan kesalahan dan
sangat sering menyebabkan pemanjangan dan jarang memendek. Fenomena ini
terutama terlihat pada garis reproduksi laki-laki. (Raymund AC, 2010)
Korelasi terbalik telah dijelaskan antara panjang pengulangan dan usia saat
onset, ditentukan oleh manifestasi motorik pertama. Semakin lama pengulangan
CAG, semakin awal onset. Ketika penyakit ini dimulai sebelum usia 20 tahun,
yang disebut penyakit remaja Huntington (JHD), pengulangan sering melebihi 55.
Panjang ulangan menentukan sekitar 70% dari varians dalam usia saat onset dan
tidak memberikan indikasi sama sekali tentang gejala awal, perjalanan, atau durasi
penyakit. Satu-satunya korelasi yang sekarang dijelaskan adalah penurunan berat
badan yang lebih cepat terkait dengan pengulangan CAG yang lebih lama.
(Raymund AC, 2010)

2.3 Epidemiologi
Huntington Chorea atau Huntington Disease (HD) adalah penyakit
neurodegeneratif yang disebabkan oleh adanya ekspansi sekuen trinukleotida
Sianin-Adenin-Guanin (CAG) yang menyebabkan mutasi gen hunting pada
kromosom 4. HD diwariskan secara autosomal dominan yang bergantung pada
jenis kelamin. Keturunan dari individu yang menderita HD memiliki resiko
sebanyak 50% terkena HD (Tjan A, et al, 2016).
Penyakit ini pada umumnya ditemukan pada orang keturunan Eropa
daripada orang dengan keturunan Asia atau Afrika. Di Eropa Barat pada bagian
wilayah terpencil memiliki prevalensi HD yang sangat tinggi, hal ini dikarenakan
dari “founder effect”, wilayah yang terisolasi, dan faktor genetik atau keturunan
dimana penyakit ini diturunkan dari generasi ke generasi. Prevalensi di sebagian
besar negara-negara Eropa berkisar 1,63-9,95 per 100.000 orang. Prevalensi HD
di Finlandia dan Jepang kurang dari 1 per 100.000 orang. Pada penelitian yang
dilakukan di wilayah Amerika seperti di Venezuela pada kawasan Lake
Maracaibo angka kejadian HD mencapai 700 per 100.000 orang, di Afrika Selatan
pada kawasan Ipulau Mauritius sebanyak 46 per 100.000 orang, di Tasmania 17,4
per 100.000 orang (Wexler, et al, 2004).
2.4 Faktor Risiko
Huntington’s Chorea atau Huntington’s Disease (HD) adalah kelainan
autosomal dominant, maka faktor risiko dari penyakit Huntington’s adalah
seseorang yang telah memiliki riwayat penyakit Huntington’s dalam keluarga.
Faktor keturunan dari orang tua memiliki kemungkinan 50% untuk menderita
penyakit ini. Mutasi genetik yang terjadi pada gen IT-15, yang terletak di
kromosom 4, mengubah protein huntington, yang ada di semua manusia, dan
menyebabkan penyakit Huntington (Roos, 2010)

2.5 Manifestasi Klinis


Huntington chorea adalah gangguan progresif pada kelainan motorik,
kognitif dan psikiatri. Onset rata-ratan Huntington chorea adalah 35-44 tahun dan
waktu kelangsungan hidup rata-rata adalah 15-18 tahun setelah onset. (Caron
NS,dkk, 2018) Trias gejala yang menjadi karakteristik dari penyakit tersebut
adalah disfungsi motorik (paling sering chorea), gangguan kognitif (misalnya
masalah pada atensi dan pengendalian emosi), dan gangguan neuropsikiatri
(seperti apatis dan afek tumpul) (Bates, Gillian P., dkk, 2015)

2.5.1 Disfungsi Motorik


Gangguan motorik involunter dan volunter terjadi pada penderita HC.
Gangguan yang paling sering terjadi dan menjadi tanda utama yaitu chorea,
berupa gangguan gerakan involunter kaki, wajah, atau batang tubuh yang tidak
berulang dan non-periodik. Gejala chorea terdapat pada 90% individu dengan
HC dan biasanya bertambah parah selama 10 tahun pertama. Gerakan chorea
terus muncul saat bangun tidur, tidak dapat ditekan secara sadar, dan
diperburuk ketika stres. (Caron NS,dkk, 2018)
Semakin lama durasi penyakit HC, gerakan involunter lainnya seperti
bradikinesia, kekakuan, dan dystonia terjadi. Penurunan fungsi motorik
volunter adalah gejala awal. Individu yang terkena HC dan keluarganya
menggambarkan kejanggalan dalam kegiatan sehari-hari seperti kecepatan
motorik, kontrol motorik halus dan perubahan gaya berjalan. Gangguan
okulomotor terjadi lebih awal dan memburuk secara progresif seperti masalah
dalam fiksasi tatapan pada hampir 75% dari individu dengan HC. Disartria
terjadi lebih awal, sedangkan disfagia terjadi pada tahap akhir. Hyperreflexia
terjadi pada awal dari 90% individu dengan HC, sementara respon plantar
klonus dan ekstensor terjadi lebih lambat dan jarang. (Caron NS,dkk, 2018)

2.5.2 Gangguan Kognitif


Penurunan kemampuan kognitif global dan progresif terjadi pada semua
individu dengan HC. Penurunan kemampuan kognitif termasuk mudah lupa,
proses berpikir lambat, gangguan kemampuan visuospasial, dan gangguan
memproses pengetahuan yang diperoleh. Perubahan awal sering terjadi gangguan
fungsi eksekutif seperti perencanaan organisasi kegiatan berurutan. (Caron
NS,dkk, 2018)
Pada awal penyakit, defisit memori pada HC biasanya jauh lebih ringan
daripada penyakit Alzheimer. Sindrom kognitif dan perilaku secara keseluruhan
pada individu dengan HC lebih mirip dengan demensia frontotemporal daripada
penyakit Alzheimer. Fungsi bahasa relatif baik, tetapi tingkat kompleksitas
sintaksis yang berkurang, abnormalitas dalam pengucapan, kesalahan paraphasic,
dan kesulitan pencarian kata biasa terjadi pada tahap akhir penyakit. (Caron
NS,dkk, 2018)

2.5.3 Gangguan Neuropsikiatri


Gambaran neuropsikiatrik penyakit Huntington tidak sekonsisten dengan
gangguan motorik atau kognitif, tetapi dapat menyebabkan cacat substansial,
menjadi menonjol di awal perjalanan penyakit dan bahkan dapat menjadi tanda
awal HC. Depresi sangat umum terjadi dan dilaporkan hingga 50% pasien
menunjukkan gejala depresi selama masa sakit. (Thompson, J. C., dkk, 2012)
Sebagian besar depresi pada penyakit HC secara klinis mirip dengan depresi pada
individu tanpa HC, sehingga manajemen juga hampir serupa. (Killoran,
A. & Biglan, K. M., 2014) Iritabilitas juga sering terjadi dan bisa menjadi salah
satu gejala gangguan neuropsikiatri pada HC (Van Duijn, E., dkk, 2014)
Walaupun jarang terjadi, namun termasuk gejala neuropsikiatri yang penting yaitu
depresi delusional atau schizophrenia-like psychosis. Kondisi ini memerlukan
manajemen akut berupa terapi psikiatri.

2.5.4 Gejala Lainnya


Individu dengan HC cenderung memiliki indeks masa tubuh lebih rendah
daripada individu tanpa HC (pubmed), yang mungkin terkait dengan perubahan
metabolisme (Duan et al 2014) dan dapat mewakili biomarker dari progresivitas
klinis perjalanan penyakit (van der Burg et al 2017). Individu dengan HC juga
menunjukkan metabolisme kolesterol terganggu (Wang et al 2014), peningkatan
nafsu makan dan pengeluaran energi lebih besar (Caron NS,dkk, 2018).
Tidur dan irama sirkadian terganggu pada individu dengan HD (Goodman
& Barker 2010, Morton 2013), hal ini mungkin sebagai akibat dari disfungsi
hipotalamus (Petersen & Björkqvist 2006) dan/atau perubahan dalam sekresi
melatonin (Kalliolia et al 2014). Insomnia dan somnolen siang hari mungkin juga
bisa ditemukan, meskipun ini lebih sering karena perubahan psikiatri, depresi,
atau chorea (Videnovic et al 2009).

2.6 Patofisiologi
Gambar : (Kim et al., 2009)

Penyakit hungtington diturunkan secara autosomal dominan, yang


disebabkan oleh mutasi dari protein huntingtin yang terletak di lengan pendek
kromosom 4. Mutasi huntingtin menyebabkan sintesis suatu bentuk protein
huntingtin yang mengandung residu glutamin dalam jumlah abnormal pada exon-
1 sehingga menyebabkan pemanjangan daerah polyglutamine (poly Q) pada
protein Huntingtin (Wieland and Allen, 2016). Pada protein huntingtin normal
seharusnya mengandung antara 6 hingga 34 salinan sekuesi sitosin-adenin-guanin
(CAG), namun jumlah pengulangan CAG akan meningkat pada pasien-pasien
yang mengidap penyakit huntington oleh karena terjadi neurodegeneratif dini
(Humbert, 2016).

Semakin besar jumlah pengulangan trinukleotida, maka semakin dini juga


onset penyakit yang muncul. Pada sebagian besar pasien HD dewasa memiliki
antara 40 sampai 55 salinan CAG dan pada anak- anak biasanya memiliki
pengulangan CAG lebih dari 70 (Ross and Tabrizi, 2011).
Gambar : (Jimenez-sanchez et al., 2017)
Neurodegenerasi akibat mutasi protein Huntingtin dapat terjadi akibat hal-hal
berikut:
1. Adanya agregasi protein dalam sel
Agregasi protein ini akan menumpuk pada nucleus, sitoplasma, dan
organel sel pada neuron di CNS. Biasanya agregasi pada pasien dewasa
terjadi di sitoplasma, sedangkan mereka yang onset-juvenil/ anak-anak sering
terjadi pada nukleus. Akibat agregasi protein ini sel neuron akan menjadi
toksik dan adanya aktivasi proliferasi sel yang tidak normal secara terus-
menerus (Kim et al., 2009; Wieland and Allen, 2016; Jimenez-sanchez et al.,
2017).

2. Disregulasi transcripsi sel


Gambar : (Wieland and Allen, 2016)

Mutasi protein Huntingtin akan mengganggu transkripsi BDNF dan


ikatan BDNF dengan TrkB sehingga mengakibatkan neurodegeneratif. BDNF
(Brain Derived Neuriotrophic Factor) adalah neurotropin yang melindungi
saraf-saraf pada striatal neuron (Plotkin et al. 2014). BDNF disintesis di
korteks cerebri dan diangkut menuju ke MSN (Medium spiny neurons)
melalui tractus cortico-striatal. Untuk teraktivasi, BDNF harus berikatan
dengan tropomyosin-related kinase B receptors (TrkB) sehingga dapat
mengaktifkan beberapa kaskade sinyal seperti produksi enzim anti-apoptosis,
reseptor glutamat transkripsi dan ekspresi protein pengikat kalsium yang
bersifat neuroprotektif (Brito et al. 2013, Jiang et al 2013. Simmons et al
2013.).

3. Menganggu homeostasis protein


Mutasi protein huntingtin menganggu sistem degradasi protein. Ada dua
jalur degradasi protein intraseluler utama yaitu ubiquitin– proteasome system
(UPS), dan autophagy–lysosome system. Apabila kedua sistem utama ini
dihambat, maka akan terjadi akumulasi toksik akibat agregasi protein dari
mutasi gen sehingga menginduksi kematian sel (Jimenez-sanchez et al.,
2017).

4. Disfungsi Mitochondria
Gangguan fungsi dan morfologi mitokondria diakibatkan karena aktivitas
mutasi protein huntingtin baik yang berikatan secara langsung maupun tidak
langsung oleh karena adanya gangguan transkripsi protein. Hal ini
menyebabkan penurunan potensial membran mitokondria yang berakibat
pada penurunan produksi ATP dan peningkatan ROS sehingga menginduksi
kematian sel (Landles and Bates, 2004).

5. Mengubah plasticitas dari sinaps


Glutamat adalah salah satu neurotransmiter rangsang utama di sistem saraf
pusat, bertindak melalui aktivasi reseptor glutamat metabotropik atau
ionotropik. Pada pasien penyakit Huntington, reseptor NMDA glutamat
ionotropik terlalu terangsang menjadi hipersensitivitas, hal ini disebabkan
karena peningkatan glutamat yang dilepaskan oleh cortex aferen dan
penurunan uptake glutamat oleh sel glial (Wieland and Allen, 2016).
Aktivasi reseptor NMDA yang persisten juga menyebabkan masuknya Ca2
+ yang berkepanjangan, yang selanjutnya menghasilkan peningkatan Ca2 +
intraseluler. Hal ini menyebabkan aktivasi caspase dan terganggunya buffer
CA2+ pada mitokondria sehingga menyebabkan neurotransmissi yang
berlebihan, terutama melalui stimulasi reseptor NMDA glutamat, sehingga
terjadi kematian sel saraf. Proses yang disebut sebagai eksitoksisitas
(Humbert, 2016). Fungsi reseptor NMDA yang meningkat merupakan hasil
dari interaksi terdistorsi dengan postsynaptic density protein 95 (PSD95),
selain itu HAP1 yang merupakan protein yang menfasilitasi hubungan GABA
dan AMPA reseptor dengan motor kinesin KIF5, diikat oleh protein huntingtin
yang bermutasi. Hal ini menyebabkan menyebabkan eksitoksisitas dari Ca2+
karena adanya peningkatan aktivitas reseptor IP3 (Biology, Krobitsch and
Kazantsev, 2011).

6. Merusak axonal transport


Protein huntingtin normal memfasilitasi aksonal transport dengan bersifat
sebagai penyangga antara muatan, mikrotubulus, dan motor protein seperti
dinein atau kinesin (Wieland and Allen, 2016). Polyglutamine (PolyQ) yang
terjadi akibat peningkatan trinukleotida CAG, juga memiliki efek tidak
langsung terhadap peningkatan fosforilasi JNK3 rantai berat kinesin, yang
dapat mengganggu ikatannya kinesin dengan mikrotubulus, sehingga
mengganggu transportasi aksonal transport (Ross and Tabrizi, 2011).

7. Disfungsi Neuroglia
Astrosit merupakan salah neuroglia yang berfungsi untuk menguptake
neurotransmitter glutamat ekstraseluler sehingga dapat mencegah terjadinya
eksitotoksisitas. Pada pasien yang mengidap penyakit Huntington jumlah
astrosit akan menurun karena mutasi protein huntingtin yang merusak fenotip
relatif terhadap ekspresi dari sel neuron (Tra¨ger et al. 2014).
Selain itu inflamasi yang terjadi pada pasien yang mengidap penyakit
Huntington disebabkan oleh pengaruh mutasi protein Huntingtin yang
mengaktivasi mikroglial sel-otonom, sehingga menyebabkan sekresi sitokin
proinflamasi dan menghambat NF-kB signaling (Crotti et al. 2014).

2.7 Diagnosis
Diagnosis medis dari timbulnya penyakit Huntington dapat dibuat setelah
munculnya gejala fisik yang khas. Dalam menegakkan diagnosis dibutuhkan
anamnesis untuk mengetahui kondisi, riwayat penyakit, dan riwayat keluarga
pasien (Walker, 2012). Jika tidak ada riwayat keluarga, bisa dilakukan tes genetik
untuk mengkonfirmasi diagnosis fisik. Bahkan, sebelum timbulnya gejala, tes
genetik dapat mengkonfirmasi jika seorang individu atau embrio mewarisi
penyakit ini (Myers, 2013). Selain itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan fisik kadang-kadang dikombinasikan
dengan pemeriksaan psikologis untuk menentukan apakah onset penyakit telah
dimulai. Adanya gerakan berlebihan yang tidak disadari dari setiap bagian tubuh
sering menjadi alasan pasien mencari konsultasi medis. Sedangkan untuk kognitif
atau gejala psikiatris jarang terdiagnosa di awal. Pada perjalanan penyakit yang
telah lanjut dapat diukur menggunakan skala rating penyakit Huntington yang
menilai keseluruhan sistem berdasarkan pada kelainan motor, perilaku, kognitif,
dan penilaian fungsional. Pemeriksaan penunjang CT-Scan dan MRI hanya
menunjukkan atrofi otak yang terlihat pada stadium lanjut (Walker, 2012).
2.8 Penatalaksanaan
Penyakit Huntington’s Chorea merupakan suatu penyakit neurodegeneratif
herediter dan progresif secara klinis ditandai dengan gerakan tidak sadar yang
abnormal, gangguan perilaku, disfungsi kognitif, dan penyakit psikiatri. Belum
ada pengobatan untuk menyembuhkan penyakit Huntington’s Chorea namun
edukasi dan terapi simptomatik dapat membantu mengobati penyakit
Huntington’s Chorea (Frank, 2013).
Dopamin, glutamat, dan asam γ-aminobutyric dianggap sebagai
neurotransmitter yang mempengaruhi Huntington’s Chorea. Tetrabenazine dan
deuterabenazine dapat mengobati chorea yang berhubungan dengan penyakit
Huntington. Obat antipsikotik dapat meredakan chorea dan membantu
mengendalikan halusinasi, delusi, dan emosi yang tidak stabil (NIH, 2018).

American Academy of Neurology merekomendasikan tetrabenazine (TBZ),


amantadine, atau riluzole jika chorea memerlukan perawatan. Dengan
menghambat secara reversibel transporter vesicularmonoamine tipe 2,
tetrabenazine lebih selektif menghabiskan dopamin dari norepinefrin. Kepadatan
tertinggi untuk mengikat tetrabenazine adalah di nukleus caudatus, putamen, dan
nucleus accumbens merupakan daerah yang diketahui paling terpengaruh dalam
penyakit huntington’s. Vesicularmonoamine transporter tipe 2 pengikatan dan
penipisan monoamin oleh tetrabenazine bersifat reversibel dan tidak dimodifikasi
oleh pengobatan jangka panjan (Frank, 2013).

2.9 Prognosis
Huntington Chorea merupakan penyakit autosomal dominan yang bersifat
progresif dan fatal dimana gejala dan penurunan fungsi kognitif secara bertahap
akan menjadi lebih buruk hingga dapat menyebabkan kecacatan dan kematian.
Adapun prognosis dari Huntington Chorea tergantung kepada repetisi atau
pengulangan frequency CAG (polyglutamine). Lebih banyak jumlah repetisi
polyglutamine maka progresivitas penyakit akan lebih cepat (Revilla et al, 2013).
Penderita Huntington Chorea rata-rata dapat bertahan hidup selama 10
hingga 25 tahun setelah timbulnya penyakit (Roos, 2010). Kecacatan dan
kematian pada penderita Huntington Chorea lebih cepat terjadi apabila dikaitkan
dengan gejala depresi yang menimbulkan keinginan bunuh diri pada penderita.
Namun, kecacatan dan kematian pada penderita Huntington Chorea umumnya
disebabkan oleh intercurrent disease seperti penyakit infeksi yakni pneumonia
dan penyakit kardiovaskular sebagai penyebab utama kematian yang paling umum
(Revilla et al, 2013).
Selain itu, efek dari Huntington Chorea itu sendiri kepada tubuh penderita
dapat meningkatkan resiko kematian. Hal ini disebabkan oleh menurunnya
kemampuan koordinasi otot pada penderita sehingga meningkatkan resiko aspirasi
makanan atau minuman dan kesulitan menelan. Terjadinya pergerakan involunter
juga dapat membahayakan penderita sehingga dapat meningkatkan resiko
kecacatan dan kematian akibat trauma.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Huntington’s chorea adalah penyakit yang gangguan neurodegeneratif
yang terjadi di dalam keluarga secara turun-temurun dengan onset kejadian di usia
pertengahan dan memiliki gejala khas berupa gerakan-gerakan choreatic yang
tidak diinginkan, gangguan perilaku, kejiwaan dan dementia. Huntington’s chorea
merupakan penyakit autosomal yang diwariskan dominan yang disebabkan oleh
pengulangan CAG yang memanjang pada lengan pendek kromosom 4p16.3 dalam
gen Huntingtin. Penyakit ini umumnya ditemukan pada orang keturunan Eropa
dibandingkan dengan orang keturunan Asia atau Afrika. Prevalensi di sebagian
besar negara-negara Eropa berkisar 1,63-9,95 per 100.000 orang. Pada protein
huntingtin normal seharusnya mengandung antara 6 hingga 34 salinan sekuesi
sitosin-adenin-guanin (CAG), namun pada sebagian besar pasien HC dewasa
memiliki antara 40 sampai 55 salinan CAG dan pada anak- anak biasanya
memiliki pengulangan CAG lebih dari 70. Penyakit HC menyebabkan terjadinya
beberapa gangguan pada pasien antara lain gangguan kognitif, disfungsi motorik,
gangguan neuropsikiatri, dan gejala lainnya. Faktor risiko terbesar pada pasien
HC adalah terdapatnya anggota keluarga yang juga mengalami penyakit yang
sama, karena penyakit ini merupakan penyakit yang diwariskan secara genetik.
Diagnosis medis dari timbulnya penyakit Huntington dapat dibuat setelah
munculnya gejala fisik yang khas, dalam menegakkan diagnosis dibutuhkan
anamnesis untuk mengetahui kondisi, riwayat penyakit, dan riwayat keluarga
pasien. Belum ada pengobatan untuk menyembuhkan penyakit Huntington’s
Chorea namun edukasi dan terapi simptomatik dapat membantu mengobati
penyakit Huntington’s Chorea. Prognosis dari Huntington Chorea tergantung
kepada repetisi atau pengulangan frequency CAG (polyglutamine). Lebih banyak
jumlah repetisi polyglutamine maka progresivitas penyakit akan lebih cepat.

3.2 Saran
1. Untuk pasien bila sudah mengetahui ada riwayat keluarga yang pernah
mengalami penyakit ini dan sudah mulai mengalami gejalanya. Agar segera
memeriksakan diri ke dokter untuk mendapatkan perawatan guna meningkatkan
kualitas hidup pasien.

2. Untuk dokter agar memerhatikan bahwa penting untuk mengedukasi


pasien disamping memberikan terapi simptomatik guna meningkatkan kualitas
hidup pasien.

También podría gustarte