Está en la página 1de 3

Sastra Melayu-Rendah: Thesis Sastra I

Sastra Indonesia Modern adalah sastra yang keluar dari budaya Indonesia yang berproses akultur
asi dengan budaya Barat. Landasan budaya Barat di Indonesialah yang menjadi titik tolak kehidu
pan sastra Indonesia sejak akhir abad ke 19. Lenyapnya kekuasaan raja-raja di Indonesia dalam a
bad ke 19 mengakibatkan pula lenyapnya sastra istana. Di pusat-pusat kekuasaan di Jawa, pujan
gga Ronggowarsito, dianggap sebagai pujangga terakhir atau penutup dalam sejarah sastra lama
, yakni sekitar tahun 1870-an. Setelah Ronggowarsito tak ada lagi pujangga di Jawa, tak ada lagi
sastra istana. Kekuasaan telah beralih pada tangan kolonial Belanda, yang benar memakai tenag
a-tenaga raja yang ada. tetapi praktis hanya sebagai pegawai kolonial belaka. Peranan mereka te
lah selesai dalam tata sosial, politik dan budaya di Indonesia. Pengayompengayom sastra ini tak
perlu lagi "memelihara“ para pujangga atau para sastrawan, karena fungsi sastrawan memang ta
k ada lagi. Tugas para sastrawan yang' ”menyuarakan" kepentingan istana demi kekukuhan sosial
, politik dan budaya, sudah tak ada lagi. Kekuasaan telah berpindah tangan, dan tak mungkin ra
ja-raja ini menggunakan sastrawan istana untuk menyuarakan kepentingan politik dan sosial dan
istana lagi.

Pemerintah kolonial sendiri tidak menggunakan: kaum sastrawan untuk kepentingan sosial politik-
: nya, lantaran tata budaya Bent ini berbeda dengan tata budaya istana. Dalam tradisi budaya B
arat yang modern kaum borjuislah yang memelihara pata sastrawan. Dan sifat pengayoman dari
kaum borjuis ini juga bersifat bebas. Sastrawan menciptakan karya sastra yang menggambarkan
kehidupan golongan itu.dan merekalah yang membelinya. Di Indonesia. setelah kekuasaan koloni
al kuat. maka golongan borjuis ini' pulalah yang memegang peranan penting dalmr menghidupk
an sastra. sesuai dengan kepentingan budaya mereka. Dan kaum borjuis Indonesia yang mula-m
ula ini terdiri dari golongan kaum terpelajar. baik yang berasal dari kalangan bangsawan maupu
n dari rakyat. Kaum bangsawanlah yang mula-mula menikmati pendidikan Belanda. sehingga seki
tar tahu: 1850-an mereka telah mampu menggunakan sarana Barat modern dalam komunikasi, y
akni media massa surat kabar. untuk menyalurkan aspirasi bu daya mereka. Golongan terpelajar
ini ( yang memperolehnya se cara Barat ) membutuhkan bacaan-bacaan,sepert halnya para bang
sawan lama yang terpelajar mem butuhkan bacaan-bacaan ( yang memperoleh pen didikannya s
ecara Indonesia ). Mula-mula memam' bacaan-bacaan dalam bahasa Belanda, tetapi kemu dian
muncul juga bacaan-bacaan dalam bahasa me nurut kelompok sosialnya.

Sekitar tahun 1850an. yakni bersamaan dengan munculnya surat-kabar yang dikelola oleh bangsa
Indonesia. muncul pula ”percobaan" sastra pertama dalam bahasa daerah masing-masing. Ta. h
un 1844 muncul buku Radja Piyungan ( 197 hal) yang dikerjakan oleh T. Roorda. dalam bahasa
Jawa kemudian disusul dengan "penceritaan kembali" ceritacerita lama oleh Raden Samwidja ( Po
erwa Tjarita Bali ) setebal 106 halaman. makartasoebrata ( Adji Saka ) dan Ki Soradoemi ( Mane
ka Tjarita. Toenggal Ati ) yang masing-m sing terbit pada tahun 1875. 1886 dan 1902 1904.

Dalam bahasa Sunda pun juga terbit percobaan

sastra modern ini dengan gaya penceritaan kembali kisah-kisah lama seperti Tjarita Abdurachman
djeung A bdumchim, Dongeng-dongeng Nu Amneh. keduanya oleh R.H. Muhamad Musa pada
tahun 1884. Sedang sebelum itu Raden Aju Lasminingrat menulis Harita Erman tahun 1875.

Dan kalangan masyarakat Tionghoa pun pada tahun-tahun 1870-an telah menulis "penceritaan ke
mbali" kisah-kisah lama Cina semacam Si Djin Kui. Sun Go Kong dan Ong Tjiau Kun. dalam bah
asa Melayu Rendah. Bukan hanya penceritaan kembali. tetapi juga novel pertama justru keluar d
ari kalangan masyarakat ini. yakni Lawah-Lawah Merah, sebuah saduran novel yang terjadi di dat
aran Cina.

Tahun terbitnya 187 5.

Jelas terlihat bahwa sekitar tahun-tahun 1870an, ketika pujangga Jawa terakhir berkarya, telah mu
ncul "sastra baru" yang dikehendaki oleh masyarakatnya. Sastra baru itu belum merupakan rumu
san sastra yang dikehendakinya, tapi baru melupakan usaha-usaha perintisan. Inilah sebabnya cor
aknya masih ”penceritaan kembali" kisah-kisah lama yang termashur tetapi belum dibukukan seca
ra baru. ditulis dalam lingkungan bahasa sedaerah, ditulis oleh kaum bangsawan bawahan yang
hidupnya dekat dengan rakyat serta golongan Tionghoa dan Belanda.

Ketiga jalur sastra ini akan menempuh jalannya sendiri-aendiri dan berkembang menurut iramany
a sendiri pula. Jalur sastra yang tumbuh cepat dewasa adalah sastra dalam bahasa Melayu-Rend
ah ini yang oleh Armijn Pane disebut pula sebagai ”bahasa daerah" golongan Tionghoa di Indo
nesia, sejajar dengan bahasa Melayu Tinggi, Jawa dan Sunda. Sekitar tahun 1900 sastra "daerah"
Melayu Rendah telah menghasilkan novel-novelnya yang pertama. sedang sastra Sunda baru pad
a tahun 1914 dengan roman Beruang Ka Nu Ngarora oleh U.K. Ardiwinata, sedang sastra Jawa b
aru tahun 1920 dengan Serut Riyanto. karangan Raden Mas Sulardi. Novel-novel pertama tersebu
t merupakan thesis baru sastra Indonesia yang selama itu berki~ lat di sekitar para penguasa. N
ovel Baruang Ka Nu Ngarora sudah meler ' " ' dari dunia pesantren dan kabupaten Z/ 52 uund
an yang me

También podría gustarte