Está en la página 1de 2

Tasikmalaya, 3 Desember 2018

Kebudayaan Ilmu VS Kebudayaan Nafsu

Nampaknya sudah betapa seringnya disampaikan, bahwa ilmu memiliki peran yang
sangat besar dalam kelangsungan hidup ini. Diterangkan dalam sebuah riwayat yang sering kita
dengar pula, bahwasanya “Siapa yang menghendaki dunia, hendaklah dia berilmu. Juga siapa
yang menghendaki akhirat, maka hendaklah dia berilmu”. Kemenangan di dunia, bisa di raih
dengan ilmu. Juga kemenangan di akhirat, dapat diperoleh pula dengan ilmu. Tetapi, seringnya
pesan ini disampaikan secara berulang-ulang, tidak menjamin bagi tumbuhnya kegiatan dan
aktifitas keilmuan yang subur di tengah-tengah kita.

Kehidupan pada masa kenabian, telah menunjukan kepada kita, tentang bagaimana bekas
daripada ilmu yang nampak jelas terlihat oleh mata telanjang dan sangat terasa oleh jiwa.
Peradaban yang tinggi telah dibangun dengan dasar-dasar tradisi keilmuan. Ilmu yang hidup
pada waktu itu sungguh-sungguh telah memberikan ruh bagi tegaknya kehidupan yang Islami.
Penulis membayangkan, betapa asyiknya generasi para sahabat yang hidup sezaman dengan
Rasulullah, dalam menggauli ilmu. Kegiatan dan aktifitas keilmuan menjadi suatu yang sangat
disukai dan dicintai. Terbayang, bagaimana para sahabat bersegera dan bergerombol ketika
hendak menghadiri majlis ilmu. Betapa mereka merasakan kehampaan dan kejenuhan ketika
tidak mereka dapati sehari tanpa asupan keilmuan. Jiwa mereka telah diresapi oleh
ketergantungan dan kecintaan terhadap ilmu. Semua kecenderungan ini, telah membangun suatu
kebudayaan keilmuan dalam komunitas muslim pada waktu itu. Dengan kebudayaan inilah,
mereka mampu membawa kehidupan kepada segala kebaikan dan kebahagiaan.

Kehidupan kita saat ini, khususnya kalangan muda, sebagaimana terlihat, telah
menunjukan perbedaan yang sangat jauh dengan kebudayaan-kebudayaan yang pernah terbangun
di masa kenabian. Kita ambil salah satu contoh dari kalangan muda yang hidup di lingkungan
lembaga pendidikan tepatnya di perguruan tinggi-perguruan tinggi. Sebagaimana digambarkan
oleh Prof. AM Saefuddin ketika menerangkan budaya di kampus-kampus, “… mahasiswa lebih
senang, di satu pihak, menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya mobil,
gaya tongkrongan, sebagai cara menampilkan status, prestise, dan kelas ketimbang mengejar
pengetahuan.” Sekelas akademisi saja, budaya yang berkembang di tengah mereka sudah seperti
demikian, entah seperti apa budaya yang berkembang di luar itu. Lebih lanjut, beliau
menjelaskan bagaimana ruang-ruang kampus telah berbaur dengan budaya populis dan
pengutamaan gaya hidup.

Budaya hidup seperti ini hanya akan melanggengkan pola hidup yang konsemeris dan
materialis. Budaya konsumeris, mampu membuat suatu komunitas manusia ‘hanyut’ ke dalam
apa-apa yang ditawarkan kepadanya berupa tontonan, produk, kesenangan, gaya, dan gaya hidup.
Biasanya, budaya konsumeris juga akan melemahkan suatu kelompok atau komunitas dari
produktifitas dan kreatifitas. Sedangkan kita ketahui bersama, produktifitas dan kreatifitas
merupakan nilai-nilai yang mendukung proses-proses kemajuan. Budaya materialis, telah
berhasil menjauhkan mereka dari unsur-unsur spiritual. Jauhnya spiritualitas dari kehidupan
menjadikan nilai-nilai spiritual tidak lebih penting dan berharga daripada nilai-nilai material.
Bila sudah seperti itu, orang-orang akan berlomba-lomba untuk mencapai segala sesuatu yang
sifatnya materi dengan mengabaikan aspek spiritual dalam kehidupan. Padahal, spiritualitas
merupakan pertahanan penting bagi setiap manusia dalam menghadapi segala macam
kompleksitas persoalan hidup. Makanya tidak aneh, ketika banyak manusia-manusia hari ini
yang mengalami depresi bahkan disorientasi (kehilangan arah hidup).

Budaya-budaya seperti ini, jelas hanya mementingkan keinginan dan kepuasan semata.
Kita ketahui bersama, kecenderungan seperti itu tiada lain lahir daripada nafsu yang
mendominasi kehidupan seorang manusia. Muhammad Qutb menerangkan bahwa, kebudayaan
yang lahir dari nafsu, hanya akan membangun kehidupan jahiliyyah dan menjauhkan kita dari
kehidupan yang terbangun dari nilai-nilai Islami.

Secara sederhana dapat kita pahami, bagaimana keterhanyutan sebagian besar kalangan
muda kita dalam konsumerisme telah menghambat berlangsungnya kebudayaan-kebudayaan
yang maju. Dalam pandangan penulis, segala hal yang menghambat kepada kemajuan,
cenderung akan mengantarkan kepada kebodohan, kehinaan dan ketertinggalan.

Begitulah pertentangan antara kebudayaan Ilmu yang memperjuangkan kemajuan dan


kebahagian hakiki bagi manusia berhadapan dengan kebudayaan nafsu yang mengantarkan
manusia kepada kebinasaan. Gambaran ini mewakili pertentangan abadi antara haq dengan
bathil.

Jiwa akan senantiasa menunjukan kecenderungan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang


telah melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Apabila kebiasaan kita banyak berlangsung di
tengah-tengah kebudayaan ilmu, maka tetaplah istiqomah di jalan tersebut. Namun apabila
kebiasaan kita banyak bergaul dengan kebudayaan nafsu, maka segeralah selamatkan dirimu.
Sebelum tenggelam lebih dalam dan akhirnya hanya akan mengantarkan kepada kebinasaan.

Wallahu’alam bi shawab

También podría gustarte