Está en la página 1de 1

Barang-barang tergeletak begitu saja di halaman menunggu diangkut.

Memasuki pintu,
gundukan baju-baju bekas menyambut di hadapan. Sudut lainnya dipenuhi tumpukan kardus
dan kertas, tidak terkecuali gelas dan botol plastik bekas minuman. Tidak ada aroma pewangi
ruangan di bangunan ini selain aroma barang-barang bekas yang menguar di udara.
Bolong-bolong pada dinding yang terbuat dari bilik tak dihiraukan. Sarang laba-laba
menghiasi atap serupa arumanis menggumpal yang biasa anak-anak beli di pasar malam. Tanah
yang berubah menjadi lumpur saat hujan turun menjadi saksi atas kakinya yang tak henti
menjalani hidup.
Abah Olih. Orang-orang di kampung Handapherang menyebutnya –meski tidak satupun
yang tahu pasti keaslian namanya–. Abah tersuruk-suruk memasuki halaman, mendorong
gerobak penuh barang bekas yang belum dipilah. Menyeret sisa tenaganya sepulang memulung
barang bekas. Abah memasuki rumah, dengan nafas berat ia duduk di atas dipan multifungsi
tempat tidur dan makan sekaligus.
Hidup sebatang kara, ditinggal istri satu-satunya beberapa tahun silam mengharuskannya
mengerjakan segalanya sendiri.

También podría gustarte