Está en la página 1de 40

PLANNING

OUTLOOK 2015
Refleksi Masalah &
Masa Depan Perencanaan
Tata Ruang Indonesia
Pengantar

TIM PENYUSUN

PENASIHAT

Bernardus Djonoputro

EDITOR

Aryo Hanggono
Andy Simarmata
Djoko Muljanto
Adriadi Dimastanto

DISUSUN OLEH

IKATAN AHLI
PERENCANAAN
INDONESIA

Gedung IAP Lantai 2


Jl Tambak No 21
Pegangsaan - Jakarta Pusat

Tel +62 21 3905067


Fax +62 21 31903240
Web www.iap.or.id

Kontak Kami:

Livable City : Elkana Catur


(elkana,catur@gmail.com)
Keanggotaan : Adriadi Dimastanto
(adriadidimas@gmail.com)
Young Planners : Meyriana Kesuma
(meyrianakesuma@gmail.com)
Kerjasama : Dani Muttaqin
(dani.muttaqin@gmail.com)
Luar Negeri : Andy Simarmata
(andybanjar@yahoo.com)

Dilarang menyalin/memperbanyak sebagian


ataupun seluruh isi publikasi ini dalam bentuk
apapun tanpa mendapatkan izin dari IAP. Untuk
mengunduh publikasi ini, kunjungi website
www.iap.or.id
B
erdasarkan index kenyamanan kota, Indonesian Most Livable City Index, yang dilansir oleh
Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, hampir 50% warga kota Indonesia menganggap kota nya
tidak nyaman. Dengan lebih dari 25 kota-kota Indonesia bertumbuh menjadi lebih dari 1 juta
penduduk, kota dan desa di Indonesia mengalami tantangan yang sangat signifikan. Perencanaan
Tata Ruang di Indonesia sedang mengalami momentum perubahan lingkungan strategis pada saat
bersamaan dengan pesat nya laju urbanisasi. Produk rencana sering dianggap tidak berpihak kepada
kaum rentan dan berpenghasilan rendah, dan seringkali kontra produktif mengamini pemberian
kekuasaan besar pada pemilik modal dan pemilik hak veto!

B
anyaknya konflik di kota-kota Indonesia yang tak kunjung selesai juga merupakan isu utama.
Konflik terletak pada sektor infrastruktur, kehutanan, pertanahan dan kawasan pesisir pantai,
sebanyak 80 persen konflik berada di kawasan Jadebotabekpunjur. Proses perencanaan kota
di Indonesia berkembang sesuai dengan dinamika politik pembangunannya. Ada 5.000 lebih RDTR
(Rencana Detail Tata Ruang) dan Kawasan Khusus yang harus disusun di seluruh kota dan
kabupaten, sesuai mandat UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

K
alau Indonesia akan menata ruang masa depan menuju ruang yang layak hidup, maka
efektifitas seluruh sendi pemerintahan dan proses perencanaan yang menyeluruh sangat
penting untuk keberhasilan kita. Saya mengharapkan Planning Outlook yang akan dilakukan
berkala setiap tahun, akan menjadi kontribusi dan obligasi moral para perencana, yang bersama
semua pemangku kepentingan berjuang agar kota tumbuh memenuhi kebutuhan ruang layak hidup
seluruh warga secara “by design” untuk mencegah pembangunan sporadis “development by chance”.

Salam IAP Jaya

Bernardus Djonoputro,
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia
Refleksi
Perencanaan Tata Ruang di Indonesia
Pasca UU No 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang

S
takeholder pembangunan semakin menyebabkan pengadaan data perencanaan
menyadari pentingnya produk rencana menjadi lebih bersifat asal ada, sehingga
tata ruang (RTR) sebagai acuan ruang menimbulkan banyak masalah ketika
dalam pembangunan karena adanya sanksi diimplementasikan. Selain itu penting untuk
dan ancaman pidana apabila melanggar disadari bahwa penyediaan data tersebut tidak
peraturan tentang rencana tata ruang tersebut. dapat dikerjakan selama proses perencanaan.
Penguatan aspek hukum di dalam penataan Menurut peraturan perundang-undangan,
ruang diapresiasi oleh banyak pihak, namun proses penyusunan RTR dibagi ke dalam 3
dalam prakteknya masih ada beberapa (tiga) tahapan, yaitu teknoratis, partisipatif,
pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu pada dan legislatif. Namun belum ada aturan
basis apa, aspek legal tersebut dikenakan? bagaimana jika produk hasil teknoratis
Mengapa hal tersebut menjadi penting? mengalami perubahan ketika proses
Karena produk rencana sangat terkait dengan partisipatif dan legislatif. Distorsi tersebut
ketidakpastian masa depan (uncertainty) harus diatur sedemikian rupa untuk
sehingga memberikan sanksi atas rencana mewujudkan proses yang transparan dan
yang dibuat menjadi dilematis, khususnya bagi akuntabel. Oleh karena itu, instansi pemerintah
penyusun rencana tersebut. yang memiliki tanggung jawab dalam
penyediaan peta dan data tersebut perlu
Dalam hal kualitas produk rencana tata ruang, mendukung penyediaan peta dan data
keterbatasan biaya perencanaan perencanaan.

1 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015


Saat ini, setidaknya sudah ada 30-an produk menghasilkan biaya yang sangat mahal hanya
RTRW yang sudah perda dan siap untuk mendapakan ijin membangun. Diperlukan
diimplementasikan. Tentunya tidak mudah suatu terobosan dalam upaya percepatan
untuk bisa dilaksanakan dengan lancar (shortcut) proses perencanaan yang terkait
mengingat dalam prosesnya terjadi upaya dengan aspek keruangan (tanah) sampai
percepatan untuk memenuhi waktu transisi kepada level tapak (lot-based planning).
sebagaimana diamanatkan UUPR. Dan setelah
itu menunggu ribuan produk rencana detail
yang belum dilaksanakan. Beban kerja ini perlu
dikelola dengan baik oleh pemerintah, dengan
dukungan dari asosiasi profesi perencana.
Panjangnya proses perijinan pembangunan
kawasan apabila mengikuti sistem
perencanaan dan pertanahan saat ini. Bisa
dibayangkan dari lamanya proses tersebut,
dari perencanaan makro sampai ke fisik
pembangunan (RTRW– RDTR – RTBL – Rencana
Tapak – FS/DED - Amdal ) yang membutuhkan
waktu 5-6 tahun apabila dikerjakan secara
berturut-turut. Selain tidak efisien, juga

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 2


1-Data:
Ketersediaan dan Integritas
“Persoalan data yang dibutuhkan
dalam perencanaan tata ruang
menjadi kendala utama.”
P B
ersoalan data yang dibutuhkan dalam eberapa Pemda telah memiliki citra
perencanaan tata ruang menjadi satelit resolusi tinggi (Quickbird,
kendala utama dalam hal kualitas Geoeye, Worldview, Pleiades, Ikonos,
produk rencana tata ruang. Keterbatasan biaya dll), meskipun dilaksanakan bersamaan
perencanaan menyebabkan pengadaan data bersamaan penyusunan materi teknis bahkan
perencanaan menjadi lebih bersifat asal ada, didalam paket penyusunan. Sisanya proses
sehingga menimbulkan banyak masalah ketika pembuatan peta masih dilakukan dengan
diimplementasikan. resolusi menengah dan survey lapangan.
Pembuatan Peta Dasar dan Peta Tematik Skala

K
etersediaan data regional/ wilayah 1:5.000 untuk RDTR ini memerlukan waktu
dalam lingkup kabupaten baik data yang cukup lama 2-4 bulan, karena proses
umum maupun data sektoral sebagai pengadaan citra masuk ke dalam waktu
materi sinkronisasi pengembangan terhadap penyusunan (dalam kontrak yang rata-rata
sektor yang memiliki rencana induk/ hanya 6 bulan), tentu saja akhirnya ditempuh
masterplan. banyak cara dan modifikasi terhadap hasilnya.
Terkadang batas ekspose laporan antara sudah

K
ualitas Peta, teknologinya dan
masuk, namun survey lapangan baru saja
ketersediaan Citra Satelit Resolusi
selesai dan data belum diolah, karena faktor
Besar (SPOT, Alos, Aster, dst) untuk
pengadaan citra. Kondisi terbaru bahwa citra
pembuatan peta skala 1:1.000
satelit dan peta yang dibuat dalam RDTR harus

P
roses pembuatan peta dasar masuk ke melalui proses persetujuan peta di BIG (untuk
dalam proses penyusunan rencana, dilakukan pemeriksanaan peta dasar, tematik,
sehingga apabila pendanaan dan rencana), dimana penjelasannya cukup
sumberdaya (biaya & personil) tersedia tidak/ terlambat atau dibelakang, sehingga
kurang mencukupi maka langlah pararel untuk terkadang/ banyak proses yang diulang;
produksi/pembuatan peta ini akan menjadi pengukuran ground control point (GCP), koreksi
kendala besar dalam proses penyusunan. geometris dan orthorektifikasi citra, dan
digitasi menjadi peta garis. Penggunaan Foto

P
eta dasar kabupaten dibuat Udara dan Drone yang merupakan teknologi
berdasarkan citra resolusi rendah yang masih sangat mahal, masih belum dapat
(Landsat) dan peta rupa bumi (RBI) dari dijangkau bagi sebagain besar Pemda,
Bakosuratanal (dulu, sekarang BIG) sehingga meskipun ada Pemda yang telah memiliki.
menyulitkan proses perencanaan.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 4


2-Proses
Perencanaan yang Lemah
“Pelibatan stakeholders belum proporsional
dan representatif. Belum ada aturan
bagaimana jika produk hasil teknoratis
mengalami perubahan ketika proses
partisipatif dan legislatif.”
P A
enilaian terhadap kondisi turan mengenai vertikal ruang, yaitu
wilayah/kawasan perencanaan dan atas dan bawah tanah belum eksplisit
keberadaan data pendukung yang tidak dipertimbangkan dalam proses
dilakukan pada tahap pra penyusunan RTR penyusunan rencana. Padahal, hal ini sangat
menyebabkan target minimum output, dibutuhkan untuk mengantisipasi kemajuan
kebutuhan waktu penyusunan produk RTR dan zaman, seperti penyediaan instrastrukur
standar biaya minimum penyusunan RTR tidak bawah tanah (Pipa gas, kabel, jalur MRT, dll)
dapat dirumuskan secara akurat; Banyak dan udara, seperti BTS, menara, dll)
produk RTR disusun dengan dukungan data

F
dan analisis yang tidak standar. ormat tampilan produk rencana belum
berbentuk tiga dimensi (3D), hanya dua

P
roses penyusunan yang tidak dimensi sehingga informasi yang tersaji
melibatkan pemangku kepentingan hanya permukaan tanah saja (land surface),
secara proporsional dan transparan padahal ruang bukan hanya di tataran surface
akan menjadikan produk RTR tidak peka tapi juga menyangkut dalam dan atas tanah.
terhadap aspirasi para pemangku kepentingan. Proses perencanaan menjadikan para
penyusun RTR umumnya bekerja secara

P
roses transfer localities kurang normatif, padahal perencanaan membutuhkan
maksimal dikarenakan pemahaman kreatifitas dan inovasi mengingat setiap
pemangku kepentingan yang terbatas daerah atau kawasan memiliki keunikan
terhadap produk RTR. tersendiri yang perlu diakomodir dan
ditransformasikan menjadi keunggulan daerah

B
anyak ditemui pemimpin wilayah yang
tersebut.
memaksakan untuk melakukan revisi
terhadap produk RTR di wilayahnya

D
ijumpai produk dokumen RTR tidak
padahal baru 1 tahun bahkan belum ada 1 memiliki kualitas yang baik yang
tahun perda RTR ditetapkan oleh Dewan. digunakan di dalam pelaksanaan
pembangunan. Definisi tidak baik ini dapat

A
kibat dari proses penyusunan RTR
diartikan sebagai produk hukum yang dibuat
yang kurang baik menyebabkan
secara asal-asalan, tidak menggunakan
berbagai peluang investasi tidak dapat
metodologi analisa yang tepat dari data dan
diakomodir oleh RTR.
informasi yang dihimpun, mengasumsikan

P
rosedur penyusunan RTR dibagi ke sendiri tanpa asumsi yang dapat
dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu teknoratis, dipertanggungjawabkan sehingga produk RTR
partisipatif, dan legislatif. Namun belum yang seharusnya dapat meng”guide” para
ada aturan bagaimana jika produk hasil pemangku kepentingan di dalam melaksanakan
teknoratis mengalami perubahan ketika proses pemanfaatannya menjadi produk yang “mudah
partisipatif dan legislatif. Distorsi tersebut diselewengkan” dilapangan.
harus diatur sedemikian rupa untuk
mewujudkan proses yang transparan dan
akuntabel.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 6


3-Mazhab
Perencanaan
Orientasi Kontinen vs
Kepulauan Tropis
“pendekatan perencanaan perlu berorientasi pada
kekuatan kelautan kita, tidak hanya secara
geopolitik, tetapi juga sumber daya laut dan
konektifitas antar wilayah di Indonesia.
Pengembangan perkotaan tidak perlu dibatasi
pada batasan daratan semata, tetapi juga pada
aspek perairan lautnya. ”
S
ebagai negara kepulauan, ruang wilayah Indonesia terbentuk dari suatu kondisi khas dan
strategis yang belum dipertimbangkan dalam metode perencanaan wilayah dan kota.
Kekhasan kepulauan tropis-nya memberikan makna akan pentingnya kondisi ruang waktu
dan kebudayaan yang berakar dari ruang waktu tersebut. Perubahan zaman yang sangat cepat,
dari perubahan iklim global, globalisasi ekonomi, dan hilangnya makna jarak antar wilayah
dengan kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang pesat harus dapat
diimbangi dengan kemampuan keilmuan perencanaan untuk menghasilkan ruang yang
berkualitas.

K
eberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya bukan dijadikan alasan
untuk kemudian menyusun rencana tata ruang daratan dan lautan menjadi terpisah.
Konsep tanah air adalah kesatuan interaksi antara tanah dan air yang merupakan salah
satu upaya mengintegrasikan hal tersebut, termasuk di dalamnya dengan memfokuskan pada
gugusan pulau-pulau kecil. Perencanaan pulau-pulau kecil tidaklah sebatas pada sebidang tanah
di pulaunya saja, tetapi juga termasuk bawah laut dan sistem ekoregion dari gugusan pulau kecil
tersebut.

O
leh karena itu, pendekatan perencanaan perlu berorientasi pada kekuatan kelautan kita,
tidak hanya secara geopolitik, tetapi juga sumber daya laut dan konektifitas antar
wilayah di Indonesia. Pengembangan perkotaan tidak perlu dibatasi pada batasan
daratan semata, tetapi juga pada aspek perairan lautnya. Selain itu juga persoalan dinamika
pesisir, seperti akresi (tanah timbul), abrasi, dan lain sebagainya perlu dipertimbangkan dalam
perencanaan tata ruang yang berdimensi 20 tahun.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 8


4-Produk Rencana
Multi-interpretasi
dan Memicu Konflik
“Proses penyusunan, legalisasi, maupun
implementasi dokumen rencana tata ruang
masih ditemui banyak kendala.”
T S
idak dikenalnya Urban Regeneration ebagai suatu sistem yang saling terkait,
sebagai produk atau program yang mulai dari rencana tingkat nasional
dihasilkan oleh dan dalam proses hingga ke rencana detail. Proses
perencanaan tata ruang. penyusunan, legalisasi, maupun implementasi
dokumen rencana tata ruang masih ditemui

P
adahal apabila mau mengembangkan banyak kendala yang dihadapi.
kota-kota masa depan kita, dengan

T
segala kompleksitas persoalannya, erkait dengan pengelolaan kawasan
urban regeneration adalah aspek terpenting strategis temuan awal yang terlihat
dalam perencanaan untuk menggantikan 'sel- adalah masih banyaknya rencana
sel mati' di kota dan menghidupkan kembali kawasan strategis yang belum dijabarkan ke
lokomotif pengembangan kawasan tersebut. dalam program yang jelas dan terukur yang
bisa dilihat kinerjanya. Dalam keberjalanannya

P
endekatan asal-asalan, menyangkut sejak ditetapkan sebagai perda/perpres,
filosofi visi dan pandangan jangka banyak program yang sudah dirumuskan
panjang sebuah rencana. Contoh: RTRW namun belum dijalankan sehingga secara
Jakarta, dalam penjabaran Visi Perencanaan umum dapat disimpulkan kawasan strategis
yang mengganti istilah pemangku kepentingan belum dikelola secara sungguh sungguh
dari Stakeholder menjadi “Shareholder”. terlihat dari kondisi (outcome) yang semakin
Setelah didebat berkali-kali dalam bottom-op menurun kualitasnya.
planning sessions dan paparan publik, tetap
tidak diubah, dengan alasan “pemilik saham”
mempunyai tanggung jawab dan rasa memiliki
lebih tinggi. Padahal, bukankah kepimilikan
saham yang lebih banyak, berarti
mempertinggi bargaining position dan hak veto
pihak tertentu? Satu kata vital, yang
menegaskan keberpihakan perencana dan
pemerintah terhadap kekuatan kapital.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 10


Kasus 1:
Revisi RTR KSN Sarbagita
P
ada tahun 2011 telah dilegalkan Perpres No. 45 tentang RTR KSN Sarbagita
yang telah disusun berdasarkan prosedur yang ditetapkan berdasarkan UU
No. 26 tahun 2007 dan PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN beserta
turunan pedomannya.

Namun sejalan dengan telah dilegalkannya perpres tersebut, ada usulan untuk
dilakukan peninjauan kembali (PK) dan revisi RTR KSN Sarbagita. Hal ini dilakukan
karena ada kepentingan politik yang “mengharuskan” PK dan revisi tersebut
diwujudkan. PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang telah
menjabarkan proses dilakukannya PK dan revisi RTR, diantaranya:

a. PK RTR meliputi (Pasal 83):


1) Penetapan pelaksanaan PK RTR
2) Pelaksanaan PK RTR
3) Perumusan rekomendasi tindak lanjut hasil PK RTR

b. Untuk PK terhadap RTR KSN ditetapkan dengan Keputusan Menteri (Pasal 84)

c. PK RTR dilaksanakan oleh Tim (terdiri atas unsur Pemerintah, Pemda, Perguruan
Tinggi dan Lembaga Penelitian) yang dibentuk oleh Menteri (Pasal 85)

d. Proses PK RTR meliputi kegiatan (Pasal 86):


1) Pengkajian
2) Evaluasi
3) Penilaian terhadap RTR dan penerapannya

e. Perumusan rekomendasi tindak lanjut hasil PK RTR (Pasal 87-88):


1) Rekomendasi TIDAK PERLU dilakukan revisi
2) Rekomendasi PERLU dilakukan revisi, apabila:
- terjadi perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi penataan ruang
wilayah nasional; dan/atau
- terdapat dinamika pembangunan nasional yang menuntut perlunya PK dan
revisi RTR.

11 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015


Perubahan pola ruang yang sebelumnya ditetapkan di dalam Perpres
No. 45 tahun 2011 sbg Kawasan Cagar Budaya (L3) berubah menjadi
Kawasan Penyangga (P) di dalam Perpres No. 51 tahun 2014

Pada pelaksanaannya di dalam proses PK dan revisi Perpres No. 45 tahun 2011:
· PK belum dilakukan dan penyelenggaraan revisi didasarkan pada persetujuan 6 Menteri
terhadap kesepakatan Rapat Koordinasi BKPRN tanggal 13 januari 2014;
· Mengingat PK tidak dilakukan maka prosedur PK dengan sendirinya tidak dilakukan
· Di dalam penyusunan Materi Teknis (persiapan penyusunan, pengumpulan data,
pengolahan data dan analisis, perumusan konsepsi) belum dibahas di dalam rapat Tim
BKPRN yang lengkap
· Konsultasi publik hanya dilakukan 1 kali dari 2 kali yang disyaratkan di dalam peraturan
perundng-undangan bidang penataan ruang
· Belum dilakukan penetapan revisi perpres melalui proses harmonisasi di Kementerian
Hukum dan HAM.

Dapat disimpulkan bahwa PK dan revisi RTR KSN Sarbagita tidak dilakukan berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku, namun revisi tetap dilakukan sampai terbitnya
perpres baru yaitu Perpres No. 51 tahun 2014 tentang RTR KSN Sarbagita.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 12


5-SDM
Sebagai Kunci
“Prinsip the right man in the right place
harus diterapkan di daerah, khususnya di
bidang tata ruang.”
S M
ebagai salah satu contoh di dalam asih sangat banyak persoalan
penyusunan RDTR salah satu daerah di penempatan pejabat yang tidak
Provinsi Jawa Barat, yang saat ini sesuai dengan kemampuannya di
sedang marak dilaksanakan sebagai turunan bidang tata ruang. Pejabat di bidang tata ruang
dari RTRW Kab/Kota, di kawasan konservasi tentu sangat mentukan baik atau tidaknya
(lindung) dengan jumlah penduduk yang sedikit dokumen RTR yang disusun. Sebagai pemilik
(skala kecamatan) dan berdasarkan data ruang di daerah dengan kewenangannya untuk
memiliki kecenderungan/proyeksi jumlah menyetujui isi dokumen RTR tentu harus
penduduk yang menurun yang dapat memiliki penilaian analisa yang baik di dalam
diakibatkan oleh terjadinya migrasi dari daerah mempelajari isi dari dokumen RTR tersebut
tersebut, namun oleh pihak penyusun proyeksi sebelum ditandatangani oleh Kepala Daerah.
penduduk yang digunakan di dalam

P
merencanakan pembangunan ke depan di ejabat bidang tata ruang tentu harus
kawasan tersebut adalah jumlah penduduk menguasai persoalan dan kebutuhan
skala kabupaten. Hal ini tentu berakibat pada ruang di daerahnya sehingga tidak
menjadi sangat besarnya proyeksi penduduk di semata-mata terpedaya oleh penyusun
kecamatan tersebut sehingga dari analisa dokumen RTR yang dilakukan oleh pihak
proyeksi penduduk, penyusun membuat suatu ketiga.
analisa kebutuhan ruang untuk skala ekonomi

O
leh karena itu prinsip the right man in
yang besar yang direncanakan ada di kawasan
the right place harus diterapkan di
konservasi tersebut yang seharusnya dijaga
daerah, khususnya di bidang tata
kelestariannya.
ruang karena tata ruang harus dapat menjamin
ruang itu menjadi produktif, aman, nyaman dan

D
ampaknya apabila dokumen RDTR
tersebut dilegalkan ke depannya akan berkelanjutan.
terjadi in-efisiensi pembangunan dan
kerusakan lingkungan. Dampak negatif yang
cukup besar pada aspek ekonomi,
fisik/lingkungan dan sosial yang menyebabkan
pembangunan berkelanjutan menjadi tidak
tercapai, cenderung pada kebencanaan.

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 14


Bagaimana kualitas RTR yang disusun mampu
menjamin terwujudnya ruang hidup berkualitas
1
setidaknya pencapaian 20 th waktu perencanaan?
Apakah produk RTR dapat digunakan sebagai acuan
peningkatan Nilai Ruang pada jangka panjang yang
antisipatif terhadap minat investasi, bukan sebaliknya
dikendalikan oleh minat investasi?

Apakah proses yg dilakukan dalam penyusunan RTR 2


telah menggunakan standarisasi data dan analisa
yang cukup, telah mempertimbangkan kebutuhan
stakeholders sehingga RTR betul menjadi produk
kesepakatan yang siap diimplementasikan? Informasi
terkait status lahan merupakan informasi strategis
yang harus dikelola secara bijak dalam rangka
merumuskan arahan fungsi ruang.

Bagaimana kualitas pemahaman stakeholders 3


terhadap produk RTR yang telah disusun dan
disepakati dalam mendorong pengembangan
wilayah/kawasan dan dalam rangka perijinan
pemanfaatan ruang?
Bagaimana upaya yg harus dilakukan 4
agar stakeholders mematuhi RTR
yang telah disepakati bersama?
Bagaimana keakurasian RTR yang
dapat digunakan sebagai dasar sanksi
atas pelanggaran RTR, apakah RTRW
1:10.000 – 1:25.000 – 1:50.000 –
1:250.000 atau Rencana Rinci
1:5.000 atau bahkan sampai dengan
RTBL 1:1.000 atau berbasis pada Lot-
Based skala 1:500?

Bagaimana kelembagaan penataan 5


ruang mampu mengerakkan semua
potensi stakeholders, menjadi tempat
akses perwujudan pembangunan
ruang yang dinamis, dan menjadi
faktor penting dalam
memaduserasikan prioritas program
K/L, pemerintah daerah swasta dan
masyarakat untuk meningkatkan
kemampuan pembangunan
wilayah/kawasan secara
berkelanjutan?

Bagaimana Masa Depan


Perencanaan Tata Ruang
di Indonesia?
RUANG
PERBAIKAN
1-Penjabaran RTR
Dalam Rencana Pembangunan
Perencana memahami struktur ruang sebagai
simpul dan jaringan pembentuk ruang,
sedangkan pola ruang dipahami sebagai
kawasan lindung beserta turunannya dan
kawasan budidaya beserta turunannya.
Indikasi program utama pengembangan
wilayah/kawasan dituliskan dalam dokumen
RTR sebagai program perwujudan struktur
ruang dan perwujudan pola ruang.
S R
alah satu output RTR sebagaimana TR sebagai acuan fungsi, lokasi
diamanatkan dalam UU 26/2007 adalah investasi serta RPJP/RPJM. Dari output
arahan pemanfaatan ruang berupa yang dimaksudkan masih terdapat
indikasi program utama pembangunan. Sesuai kekosongan pada saat stakeholder akan
Ps. 20, 23, 26, dan 28, Rencana Tata Ruang menentukan kapan RTR (dibaca struktur/pola
Wilayah memuat arahan pemanfaatan ruang ruang) ini harus diwujudkan, sehingga
wilayah yang berisi indikasi program utama selanjutnya dapat dirumuskan Rencana
jangka menengah lima tahunan; Pembangunan yang berbasis Rencana Spasial.
Intepretasi selama ini terkait arahan

S
ampai saat ini belum ada mekanisme pemanfaatan ruang sebagai upaya
sinkronisasi antara RTR (arahan perwujudan struktur dan pola ruang ternyata
pemanfaatan ruang sebagai acuan tidak efektif mewadahi ketercapaian
tahapan pengembangan kawasan) dengan perwujudan RTR.
rencana pembangunan. Draft Pedoman RPI2JM

K
maupun Permendagri 72/2013, belum alau demikian bagaimana intepretasi
menjamin tercapainya perwujudan terhadap arahan pemanfaatan ruang
wilayah/kawasan sebagaimana yang tertuang yang dapat dilanjutkan sebagai dasar
dalam RTR. Arahan pemanfaatan ruang sulit penyusunan Rencana Pembangunan. Kalau
menjadi acuan sektor (K/L) maupun daerah tetap diinterpretasikan sebagai perwujudan
yang harus menyusun RPJP/RPJM, rencana struktur/pola ruang dan pada kenyataannya
strategis, maupun renja & RKA. Lebih ironis lagi sulit atau bahkan tidak bisa digunakan sebagai
K/L maupun daerah selalu sulit membaca acuan sektor (K/L) maupun daerah, apakah
arahan pemanfaatan ruang. Rencana Spasial output arahan pemanfaatan ruang
tidak sinkron dengan Rencana Pembangunan, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUPR
bahkan banyak Rencana Pembangunan di 26/2007 sebaiknya dikeluarkan saja dari
Daerah tidak menjadikan Rencana Spasial substansi RTR? Atau output apa dalam RTR
sebagai pijakan yang konkrit. Sampai-sampai di yang berfungsi sebagai interfase yang dapat
tingkat nasional Bappenas harus melakukan digunakan untuk penyusunan program
effort ekstra untuk memaduserasikan antara pembangunan dalam rangka perwujudan RTR?
RTRWN dan Rencana Pembangunan yang Apakah fungsi dari tabel Arahan Pemanfaatan
tertuang dalam Buku III RPJMN. Ruang dapat digantikan dengan menambahkan
output sasaran yang lebih spesifik sebagai

B
eberapa pertanyaan muncul; acuan pentahapan penyelesaian masalah-
Bagaimana struktur ruang dan pola masalah pengembangan wilayah/kawasan,
ruang dapat diwujudkan jika RTR tidak seperti penyelesaian masalah banjir,
memuat tahapan pengembangan pemenuhan kebutuhan penyediaan sarana dan
wilayah/kawasan secara konkrit? Apakah prasarana umum, masalah kawasan kumuh,
substansi tujuan, kebijakan, strategi dan masalah kebutuhan pengembangan kawasan
rencana struktur/pola ruang mencukupi untuk ekonomi, perlindungan kawasan konservasi
digunakan sebagai dasar perwujudan dan lain-lain.
struktur/pola ruang?

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 20


Kasus 2:
Provinsi Jawa Barat
Ps.4, Perda No. 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2009-2029, menyebutkan: Sasaran penataan ruang di Daerah adalah:
(1) tercapainya ruang untuk kawasan lindung seluas 45% dari wilayah Jawa Barat
dan tersedianya ruang untuk ketahanan pangan; (2) terwujudnya ruang investasi
melalui dukungan infrastruktur strategis; (3) terwujudnya ruang untuk kawasan
perkotaan dan perdesaan dalam sistem wilayah yang terintegrasi; dan (4)
terlaksananya prinsip mitigasi bencana dalam penataan ruang

------ terkait proses penyusunan ------


Pada kenyataannya Arahan Pemanfaatan Ruang pada dokumen RTR disusun oleh
tim dengan menggunakan waktu tersisa kira-kira 10% dari keseluruhan jangka
waktu penyusunan RTR atau sekitar 3-4 minggu dari jangka waktu perencanaan
antara 7-8 bulan. Dalam waktu yang sangat terbatas, penyusunan Arahan
Pemanfaatan Ruang sebagai salah satu output dalam RTR diragukan kesahihannya,
perwujudan struktur maupun pola ruang sangat tergantung pada proses
kesepakatan dengan sektor dan proses ini membutuhkan waktu yang relatif lama
dan pendokumentasian yang baik. Hal ini juga sudah menjadi kecemasan
Kementerian PU waktu itu yang pada akhirnya diusulkan RPI2JM (saat ini masih
draft). Dengan demikian dokumen RTR sebagai produk hukum yang didalamnya
memuat arahan pemanfaatan ruang menjadi sangat rawan, karena mengandung
ketidakpastian yang sangat lebar.

----- terkait rencana perbaikan ------


Arahan Pemanfaatan Ruang sebaiknya didefinisikan sebagai tahapan
pengembangan wilayah/kawasan yang berorientasi pada pencapaian (target)
penyelesaian permasalahan utama wilayah/kawasan. Memuat informasi lokasi
obyek perencanaan dan target pencapaian.
Produk RTR sebaiknya fokus pada tujuan, sasaran, kebijakan, strategi, rencana
struktur/pola ruang, tahapan pengembangan wilayah/kawasan, dan arahan
pengendalian. Dengan demikian, sektor yang akan menentukan program
mewujudkan struktur dan pola ruang berpedoman pada produk RTR yang didasarkan
pada tahapan pengembangan wilayah/kawasan.

21 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015


2-Implementasi
Pedoman Penyusunan RTR
“Pedoman penyusunan RTR harus mampu
menjadi acuan produk RTR yang menjawab
permasalahan wilayah secara lugas dan dapat
dipahami stakeholder terkait”.
P
roses penyusunan RTR dari tahapan RTR sebagai acuan kualitas output RTR, harus
persiapan, pengumpulan data, analisis dipahami sebagai alat pendukung perencana
data, dan konsepsi RTR akan menemui yang digunakan dengan mempertimbangkan
kondisi yang berbeda pada setiap wilayah kondisi lingkungan strategis dan data
perencanaan. Penetapan keseragaman waktu pendukung, sehingga pemanfaatan pedoman
penyusunan RTR (umumnya antara 6-8 bulan) seharusnya disepakati terhadap lingkup
akan menjadi kendala pada wilayah output, proses dan prosedur, serta data
perencanaan yang memiliki jangkauan yang pendukung. Wilayah Indonesia yang luas
relatif sulit dicapai, aspek fisiografis yang dengan keragaman kondisi fisikogeografis,
kompleks, dan keterbatasan data penunjang, sosial, ekonomi dan budaya, serta kondisi
khususnya keberadaan peta dasar dan peta dukungan menuntut perencana untuk
tematik. Kelanjutan dari keragaman kondisi tiap mengintepretasikan pedoman penyusunan RTR
wilayah perencanaan harus dilakukan secara efektif.
penyesuaian terhadap standar waktu dan
harga penyusunan rencana. Berikut ini alternatif pemikiran dalam
pemanfaatan pedoman:

D
iperlukan pra-assesment dalam setiap 1) pedoman adalah petunjuk praktis, bersifat
proses pekerjaan penyusunan RTR umum untuk menemukenali isu strategis
agar target output pekerjaan dapat (pokok pertimbangan perencanaan spesifik
ditetapkan secara akurat dengan skenario masing-masing wilayah), menjadi acuan produk
pembiayaan dan kebutuhan waktu yang RTR yang menjawab permasalahan wilayah
sesuai. Dengan demikian Produk RTR yang secara lugas dan dapat dipahami stakeholder
disusun dengan proses benar memiliki peluang terkait.
dapat diimplementasikan karena telah 2) perlu dirumuskan indikator keluaran dalam
mempertimbangkan kebutuhan wilayah KAK/TOR yang tidak bersifat umum, tetapi
perencanaan sebagaimana telah diinisiasi pada berisi uraian pencapaian keluaran yang
tahapan pra-assesment. mempertimbangkan ketersediaan data dan
dukungan sumber daya pada setiap wilayah

F
okus pengaturan dan output RTR yang direncanakan.
disesuaikan dengan kondisi spesifik 3) Pemerintah diharapkan memberikan standar
setiap wilayah termasuk keberadaan minimum harga acuan penyusunan RTR yang
data pendukung berbasis spasial. menjamin kualitas output RTR.
Pertimbangan penting untuk diperhatikan 4) proses penyediaan data dapat dilakukan
dalam menyusun RTR, yaitu prinsip-prinsip secara terpisah (proyek/kegiatan lain), sesuai
yang digunakan (proses, substansi, dan tugas dan fungsi masing-masing
keadilan), serta lingkungan strategis dari Kementerian/Lembaga penyedia data untuk
wilayah yang direncanakan (aspek fisiografis, menjamin keakurasian data dan tepat waktu
sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, penyediaan data. Kebijakan One Map terkait
keamanan, kualitas SDM, kebutuhan penyusunan RTR menjadi tuntutan
keuangan/pembiayaan pembangunan daerah, penting untuk direalisasikan.
ketersediaan data, dan faktor lainnya di dalam
wilayah bersangkutan). Pedoman Penyusunan

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 24


3-Penajaman
Produk Rencana Tata Ruang
“Bagaimana perencanaan kota kita
menumbuhkembangkan nilai unggul budaya
masyarakat yang ada, sehingga kota kita akan
tumbuh dengan karakter budaya yang kuat dan
pada akhirnya masyarakat kota kita mencintai
kotanya?”
B
agaimana kualitas RTR yang disusun sehingga kota kita akan tumbuh dengan
mampu menjamin terwujudnya ruang karakter budaya yang kuat dan pada akhirnya
hidup berkualitas, setidaknya masyarakat kota kita mencintai kotanya?
pencapaian 20 tahun waktu perencanaan?

M
Apakah produk RTR dapat digunakan sebagai asih sangat sedikit, bahkan boleh
acuan peningkatan Nilai Ruang pada jangka dibilang tidak ada, produk RTRW
panjang yang antisipatif terhadap minat kota kita yang menerapkan secara
investasi, bukan sebaliknya dikendalikan oleh konkrit strategi meningkatkan kapasitas
minat investasi? adaptif sekaligus menurunkan sensitivitas
kota, sebagai upaya menurunkan kerentanan

K
ota menjadi tujuan untuk tinggal. Saat kota terhadap perubahan iklim; pembangunan
ini lebih dari 50 persen masyarakat kota berkelanjutan seperti pembangunan RTH
Indonesia tinggal di perkotaan dengan sesuai jumlah penduduk yang tinggal di kota,
laju pertumbuhan 2,75 persen tiap tahun (rata- infrastruktur transportasi hijau, infrastruktur
rata nasional 1,17 persen per tahun). Tahun energi hijau, infrastruktur air limbah,
2025 diperkirakan 68% akan tinggal di Kota infrastruktur bangunan hijau, infrastruktur air
dan Tahun 2045 diperkirakan 82 % Penduduk bersih, dan lain-lain. Inisiatif swasta lebih
Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. menonjol bahkan mampu mengatur arah
Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kota walaupun terkadang tidak
berkembangnya kesempatan kerja di berbagai sesuai dengan RTRW (contoh arah
kegiatan di kota, Pembangunan sarana dan perkembangan Jakarta dan sekitarnya yang
prasarana yang pesat, Kurangnya lapangan memberikan tekanan ke arah selatan Jakarta
pekerjaan di desa, dan Terbatasnya sarana dan padahal semestinya diarahkan ke barat dan
prasarana di desa mendorong pertumbuhan timur).
masyarakat tinggal di kota.

P
erkembangan area terbangun kota

K
ota kita semakin tidak terpenuhi harus terukur. Batas kawasan
standar pelayanan minimumnya, terbangun dan kawasan tidak
tingginya angka kemiskinan di terbangun harus tegas dan dipatuhi. Perlu
perkotaan, rendahnya daya saing kota dan dikembangkan inovasi pembangunan vertikal
rendahnya ketahanan sosial, ekonomi dan ke atas dan ke bawah untuk menyediakan
lingkungan kota secara berkelanjutan, kebutuhan ruang perkotaan sekaligus untuk
kehancuran aset-aset pusaka kota, rendahnya meremajakan daerah-daerah kumuh;
kapasitas mitigasi bencana alam dan adaptasi meningkatkan optimasi penggunaan sumber
terhadap perubahan iklim. daya tanah perkotaan; mendorong
pembangunan permukiman berkepadatan

A
pakah produk RTR kota kita mampu tinggi. (Lahan terbangun jabodetabekpunjur
memenuhi kebutuhan ruang untuk 2420.06 Km2 (34.32%), lahan tidak terbangun
pertumbuhan penduduk kota dan 4630.62 Km2, kepadatan 4.336 jiwa/km2,
menjawab tantangan berat di atas??? penduduk 2010 28.114.260 jiwa), jangkau
Seberapa inovatif produk-produk perencanaan pelebaran kota yang tidak dibatasi memiliki
kota kita mengantisipasi sekaligus implikasi berupa kerugian ekonomi akibat
mengarahkan gairah investasi agar terbentuk inefisiensi sistem transportasi (Rp. 5,6 triliun
ruang kota yg berkualitas??? Bagaimana per tahun) dan akibat kualitas udara buruk (Rp.
perencanaan kota kita menumbuhkembangkan 2,8 per tahun).
nilai unggul budaya masyarakat yang ada,

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 26


4-Harmonisasi
Aspek Legal Penataan Ruang
“Diperlukan kepaduserasian antar regulasi
terkait penataan ruang dan tanah. Selain itu
juga dibutuhkan suatu standar yang membantu
menjaga kualitas setiap proses perencanaan.”
P
erencanaan ruang bukanlah suatu harmonisasi aspek legal penataan ruang harus
proses teknis semata yang dapat dilakukan dengan paduserasi.
bekerja sendiri tanpa didukung

D
infrastruktur legal yang sistematis. Memahami alam tataran normatif, setidaknya ada
ruang secara kesatuan (tanah-air-udara) UUPR 26/2007, UUPA 5/60,
semestinya diikuti dengan pengaturan yang UU32/2014, dan UU41/1999 yang
utuh agar mencegah ketidakseimbangan perlu dipaduserasikan untuk memperkuat
maupun ketidakharmonisasn dalam operasionalisasi dari proses perencanaan dan
pemanfaatan ruang. Rejim pemerintahan implementasi produk rencana. Karena sifatnya
sekarang ini, yang membagi kewenangan lintas sektor, maka tak jarang antar satu
pengaturan ruang ke dalam 3 (tiga) peraturan dengan peraturan yang lain memiliki
kementerian, yaitu Kementerian ATR/BPN perbedaan atau bahkan saling bertabrakan. Hal
untuk tanah dalam status area penggunaan ini tentu saja menyulitkan pada saat
lain (APL), kementerian kehutanan untuk memberikan keputusan atas penggunaan
kawasan hutan, dan kementerian Kelautan dan terhadap ruang. Oleh karena itu diperlukan
Perikanan untuk kawasan perairan laut/pesisir, kepaduserasian antar regulasi terkait penataan
ditambah kementerian perhubungan untuk ruang dan tanah. Selain itu juga dibutuhkan
kawasan perhubungan udara sedikit suatu standar yang membantu menjaga
banyaknya akan mempengaruhi upaya agar kualitas setiap proses perencanaan.
perencanaan dapat implementatif. Begitu juga

D
alam tataran praktis, stakeholder
halnya dengan perencanaan yang memiliki
pembangunan yang semakin
pedoman yang berbeda-beda walaupun dalam
menyadari pentingnya produk rencana
ruang yang sama akan menyulitkan integrasi
tata ruang (RTR) sebagai acuan ruang dalam
produk ataupun proses perencanaan itu
pembangunan memandang sanksi dan
sendiri.
ancaman pidana apabila melanggar peraturan
tentang rencana tata ruang masih

H
armonisasi pengaturan “ruang” dan
“perencanaan” kemudian menjadi menimbulkan kekhawatiran. Penguatan aspek
kebutuhan mendesak untuk hukum di dalam penataan ruang diapresiasi
memberikan kepastian kepada pelaksanaan oleh banyak pihak, namun dalam prakteknya
kegiatan pembangunan. Rencana mana yang masih ada beberapa pertanyaan yang perlu
diacu dan ruang seperti apa yang akan dijawab, yaitu pada basis apa, aspek legal
direncanakan adalah informasi yang tidak tersebut dikenakan? Mengapa hal tersebut
boleh terpisah agar tahapan pembangunannya menjadi penting? Karena produk rencana
menjadi jelas. Saat ini, terlalu banyak produk sangat terkait dengan ketidakpastian masa
rencana yang disusun dan ruang yang depan (uncertainty) sehingga memberikan
direncanakan terkadang tumpang tindih atau sanksi atas rencana yang dibuat menjadi
malah tidak terkait sama sekali dan belum dilematis, khususnya bagi penyusun rencana
diatur secara utuh, khususnya ruang bawah tersebut.
tanah dan udara. Maka, sebaiknya proses

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 28


RUANG
KKP
UU 32/2014
UU 27/2007

LAUT

Pesisir
ATR? KLHK
UUPA 5/1960 UU 41/1999
UUPR 26/2007 UU 19/2004

APL
Area Penggunaan Lain
Kawasan Hutan

29 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015


RUANG
KKP
UU 32/2014
UU 27/2007

LAUT

Pesisir
ATR? KLHK
UUPA 5/1960 UU 41/1999
UUPR 26/2007 UU 19/2004

APL Kawasan
Area Penggunaan Lain Hutan

Sumber: Simarmata, 2015

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 30


5-Penguatan
Kompetensi Perencana
“Para perencana dituntut untuk terus meng-
update pengetahuan dan ketrampilannya agar
dapat terus adaptif dengan kemajuan
perkembangan keilmuan.”
T
ingkat kompetensi seorang perencana proses pembangunan, khususnya dalam
tidak dapat dilepaskan dari transformasi membuka bottle-neck perijinan yang terkait
keilmuan perencanaan itu sendiri. Di era dengan tanah dan keruangan. Oleh karena itu,
1980an, ilmu perencanaan lebih bersifat perlu model institusi yang segera diujicobakan,
perencanaan fisik, namun sekarang juga harus termasuk didalamnya membentuk komisi
mampu mengintegrasikan aspek ekonomi dan perencanaan yang berisikan tidak hanya
sosial budaya, serta tantangan baru lainnya pemerintah daerah, tetapi juga professional
seperti kebencanaan (resiliency), perubahan planners, akademisi, dan tokoh masyarakat,
iklim (green planning), dll. Oleh karena itu, para untuk menjamin inklusifitas dan akuntabiitas
perencana dituntut untuk terus meng-update perijinan yang selama ini disangsikan oleh
pengetahuan dan ketrampilannya agar dapat masyarakat proses pengeluran ijinnya.
terus adaptif dengan kemajuan perkembangan

P
keilmuan. Namun juga perlu diperhatikan eningkatan kapasitas kelembagaan di
adalah pola pikir (mind-set) yang harus berpikir pusat, terutama untuk teknis
besar (visionary-planning) dan kepercayaan perencanaan perlu ditingkatkan
diri (confidentiality) terhadap sistem birokrasi sebagaimana kemeterian ATR ditugaskan
yang ada. Perencana dituntut untuk dapat sebagai instansi Pembina untuk urusan
menjadi 'penjahit' dari semua kepentingan penataan ruang dan pertanahan. Diperlukan
yang sifatnya lintas sektor. suatu unit kerja yang dapat mempercepat
proses tersebut secara simultan. Kementerian

K
emampuan 'penjahit' disini tentunya ATR bisa menjadi solusi institutional terhadap
membutuhkan dukungan peraturan tumpulnya Rencana Tata Ruang sebagai
terhadap ruang gerak para perencana. Panglima Pembangunan melalui integrasi
Institusi penataan ruang dan pertanahan di urusan pertanahan/agraria dan tata ruang.
daerah menjadi kunci untuk melancarkan

IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 32


FOKUS PADA DATA 1
Proses perencanaan yang berkualitas hanya dapat dilaksanakan apabila persyaratan
data keruangan dengan tingkat ketelitian tertentu sudah berhasil diperoleh. Karena
bersifat lintas sektor dan tanggung jawab penyediaan data tersebar di beberapa
instansi, misalnya peta dasar dan rupabumi (BIG), peta citra satelit (LAPAN), peta
status tanah (BPN), dll, maka diperlukan suatu pengintegrasian dalam tahapan
pengumpulan data ini. Selain juga diperlukan pengambilan data sendiri yang mungkin
tidak dilaksanakan sebelumnya, seperti peta kontur/ketinggian, peta kemampuan
tanah/geologi, peta batimetri (apabila letaknya di pesisir), dll. Dalam hal ini, maka
tingkat akurasi data benar-benar harus dijamin dengan baik sesuai dengan tingkat
kebutuhan suatu produk perencanaan.

PENINGKATAN KOMPETENSI PERENCANA 2


Tingkat kompetensi seorang perencana tidak dapat dilepaskan dari transformasi
keilmuan perencanaan itu sendiri. Di era 1980an, ilmu perencanaan lebih bersifat
perencanaan fisik, namun sekarang juga harus mampu mengintegrasikan aspek
ekonomi dan sosial budaya, serta tantangan baru lainnya seperti kebencanaan
(resiliency), perubahan iklim (green planning), dll. Oleh karena itu, para perencana
dituntut untuk terus meng-update pengetahuan dan ketrampilannya agar dapat terus
adaptif dengan kemajuan perkembangan keilmuan. Namun juga perlu diperhatikan
adalah pola pikir (mind-set) yang harus berpikir besar (visionary-planning) dan
kepercayaan diri (confidentiality) terhadap sistem birokrasi yang ada. Perencana
dituntut untuk dapat menjadi 'penjahit' dari semua kepentingan yang sifatnya lintas
sektor.

REZIM REGULASI YANG PADU SERASI 3


Karena sifatnya lintas sektor, maka tak jarang antar satu peraturan dengan peraturan
yang lain memiliki perbedaan atau bahkan saling bertabrakan. Hal ini tentu saja
menyulitkan pada saat memberikan keputusan atas penggunaan terhadap ruang.
Oleh karena itu diperlukan kepaduserasian antar regulasi terkait penataan ruang dan
tanah. Selain itu juga dibutuhkan suatu standar yang membantu menjaga kualitas
setiap proses perencanaan.

TEKNOLOGI TEPAT GUNA 4


Kemajuan teknologi penginderaan jauh maupun teknologi keruangan lainnya akan
sangat membantu mempercepat proses perencanaan. Ketepatan pemilihan teknologi
akan memudahkan para perencana untuk bisa mengeskplorasi lebih jauh potensi dan
permasalahan keruangan sehingga dalam rekomendasi perencanaannya dapat lebih
akurat.
Ke Depan, Apa yang Dibutuhkan
untuk Menghasilkan RTR
yang Berkualitas?
Pembenahan sistem penataan ruang perlu
dilakukan untuk meminimalisasi proses
penyusunan rencana tata ruang seperti biasanya
(business as usual). Dalam jangka pendek,
berbagai terobosan dan inovasi perlu dilakukan
untuk mendukung nawa cita pembangunan, dan
dalam jangka panjang membentuk sistem
perencanaan yang lebih humanis.
Fungsi dan manfaat Rencana Tata Ruang haruslah
mampu menjadi instrument perencanaan fisik
1
(physical planning), rekayasa sosial (social
engineering), pengembangan ekonomi (economic
development), keberlanjutan pembangunan
(sustainable development), sinergisitas antar wilayah
(mutualism), harmoni antar sektor (cross-sector), dan
dokumen publik (public consencus).

Re-format Instrumentasi kebijakan, baik peraturan


yang bersifat normatif dan teknis terkait dengan
2
penyelenggaraan perencanaan tata ruang.

Penguatan komisi perencanaan di daerah yang


mengawal transformasi kelembagaan penataan
3
ruang dan pertanahan dalam menjamin inklusifitas
dan akuntabiitas perijinan yang selama ini
disangsikan oleh masyarakat proses pengeluran
ijinnya.

Optimasi peran Kementerian ATR sebagai instansi


Pembina untuk urusan penataan ruang dan
4
pertanahan yang menjadikan Rencana Tata Ruang
sebagai panglima pembangunan melalui integrasi
urusan pertanahan/agraria dan tata ruang.

Penguatan peran IAP sebagai wadah pembentukan


karakter dan peningkatan kompetensi perencana
5
Indonesia untuk mewujudkan sistem penataan ruang
yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.
REKOMENDASI
AKSI
Acknowledgement

Tim editor mengucapkan terima kasih kepada


para kontributor, yakni Bapak Oswar
Mungkasa, Bapak Djoko Muljanto, Bapak
Dani Muttaqin, Bapak Dwi Hariyawan, Ibu
Teti Argo, Bapak Rais Kandar, Ibu Listra
Destriyana, Bapak Achmad Zabir, dan pihak-
pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan
satu persatu, yang telah turut serta
memberikan data, masukan, maupun
komentar atas makalah ini.

PHOTO COURTESY

http://static.panoramio.com/photos/large/9
1561769.jpg

http://www.summso.com/wp-
content/uploads/2013/06/city-planning.jpg

https://transcard.files.wordpress.com/2010/
03/rencana-pembangunan-infrastruktur-
jawa-barat-februari-2010.jpg

También podría gustarte