Está en la página 1de 7

Analisa Hukum Kerjasama Dokter dengan Perusahaan Farmasi Terkait Pemberian Resep

Obat oleh Dokter Kepada Pasien

Dokter merupakan profesi mulia karena menyembuhkan orang-orang yang sakit. Orang
(pasien) yang datang ke dokter berharap mendapatkan diagnosa penyakit apa yang sedang
diderita dan mendapatkan resep obat apa yang harus dibeli pasien. Pasien mempercayai dokter
saat memberikan rekomendasi obat dalam resep demi kesembuhannya.

Namun ternyata ada oknum dokter yang memanfaatkan hal tersebut untuk mengadakan
kerjasama dengan perusahaan obat (farmasi), dimana dokter diberikan imbalan berupa uang atau
barang (yang sifatnya nikmat) oleh perusahaan farmasi dan oknum dokter tersebut memberikan
resep obat yang diproduksi oleh perusahaan farmasi tersebut. Hal ini juga disebabkan
kepentingan finansial dari perusahaan farmasi agar obat yang diproduksi laku terjual dipasaran.
Dampak dari adanya praktik tersebut utamanya mengakibatkan mahalnya harga obat yang harus
dibeli pasien dan muncul keraguan kualitas obat demi kesembuhan pasien karena adanya
kepentingan pribadi dokter saat memberikan resep.

Tindak Pidana Suap dan Tindak Pidana Gratifikasi Yang Dianggap Suap

Tindakan yang dilakukan dokter tersebut dapat diduga merupakan tindak pidana suap
atau tindak pidana gratifikasi yang dianggap suap. Kedua delik pidana ini tentu berbeda dan
sifatnya kontekstual. Dikatakan tindak pidana suap ketika memenuhi unsur-unsur sebagaimana
dimaksud Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yaitu:

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara


2. Menerima hadiah atau janji
3. Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya
Kemudian dikatakan tindak pidana gratifikasi yang dianggap suap ketika memenuhi
unsur-unsur sebagaimana dimaksud Pasal 12B beserta pejelasan UU Tipikor yaitu:

1. Gratifikasi (Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi
tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik).
2. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap
3. Apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya
4. Dengan ketentuan:
a. Yang nilainya sepuluh juta rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari sepuluh juta rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dilakukan oleh penuntut umum.

Perlu diketahui bahwa unsur tindak pidana suap atau tindak pidana gratifikasi dapat
terpenuhi jika dokter berstatus pegawai negeri atau penyelenggara negara. Mengingat ada dokter
yang berstatus pegawai negeri dan dokter yang bukan pegawai negeri.

Jika oknum dokter pegawai negeri memenuhi unsur tindak pidana gratifikasi yang
dianggap suap sebagaimana diatur Pasal 12B UU Tipikor, perlu dipahami seperti apa saja
kategori atau parameter gratifikasi yang dianggap suap tersebut. Permenkes No. 14 Tahun 2014
tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan mengatur:

Gratifikasi yang dianggap suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi
penerimaan namun tidak terbatas pada (Pasal 4):

1. marketing fee atau imbalan yang bersifat transaksional yang terkait dengan pemasaran
suatu produk;
2. cashback yang diterima instansi yang digunakan untuk kepentingan pribadi;
3. gratifikasi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, atau
proses lainnya; dan
4. sponsorship yang terkait dengan pemasaran atau penelitian suatu produk.

Kemudian gratifikasi yang tidak dianggap suap meliputi (Pasal 5 dan 6):

1. Gratifikasi terkait kedinasan yaitu pemberian yang diterima secara resmi oleh Aparatur
Kementerian Kesehatan sebagai wakil resmi instansi dalam suatu kegiatan dinas, sebagai
penghargaan atau keikutsertaan atau kontribusinya dalam kegiatan tersebut, yang
diperoleh dari:
a. pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar,
warkshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
b. pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti
honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan sebagaimana diatur pada
standar biaya yang berlaku di instansi pemberi, sepanjang tidak terdapat pembiayaan
ganda, nilai yang wajar, tidak terdapat konflik kepentingan dan tidak melanggar
ketentuan yang berlaku di instansi penerima
c. sponsorship yang diberikan kepada instansi terkait dengan pengembangan institusi,
perayaan tertentu yang dimanfaatkan secara transparan dan akuntabel.
2. Gratifikasi yang tidak terkait kedinasan, yang diperoleh dari:
a. orang lain yang memiliki hubungan keluarga sepanjang tidak mempunyai konflik
kepentingan dengan penerima gratifikasi;
b. orang lain terkait acara pernikahan, keagamaan, upacara adat, kelahiran, aqiqah,
baptis, khitanan, dan potong gigi tidak ada batasan nilai tertinggi, sepanjang tidak
memiliki konflik kepentingan dan dilaporkan kepada KPK dan setelah dilakukan
verifikasi dan klarifikasi dinyatakan tidak dianggap suap;
c. pemberian dari instansi atau unit kerja yang berasal dari sumbangan bersama kepada
Aparatur Kementerian Kesehatan selain upacara sebagaimana dimaksud huruf b yang
dilaporkan kepada KPK dan setelah dilakukan klarifikasi dinyatakan tidak dianggap
suap;
d. atasan kepada bawahan Aparatur Kementerian Kesehatan sepanjang tidak
menggunakan anggaran negara;
e. orang lain termasuk sesama aparatur Kementerian/Lembaga yang terkait dengan
acara perayaan menyangkut kedudukan atau jabatannya seperti pisah sambut, promosi
jabatan, memasuki masa pensiun yang dilaporkan kepada KPK dan setelah dilakukan
verifikasi dan klarifikasi dinyatakan tidak dianggap suap;
f. orang lain termasuk sesama aparatur Kementerian/Lembaga yang terkait dengan
musibah atau bencana yang dialami oleh penerima gratifikasi atau keluarganya
sepanjang tidak mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi;
g. orang lain berupa hadiah, hadiah undian, diskon/rabat. voucher, point awards atau
souvenir yang berlaku umum;
h. orang lain berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum;
i. prestasi akademis atau non akademis yang diikuti dengan menggunakan biaya sendiri
seperti kejuaraan, perlombaan atau kompetisi;
j. keutungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham
pribadi yang berlaku umum;
k. kompensasi atau penghasilan atas profesi yang dilaksanakan pada saat jam kerja, dan
mendapatkan ijin tertulis dari atasan langsung dan atau pihak lain yang berwenang.

Hanya Dokter PNS yang Dapat Memenuhi Unsur Tindak Pidana Suap atau Tindak Pidana
Gratifikasi Yang Dianggap Suap

Ketika dokter tersebut bekerja di rumah sakit milik pemerintah, dia dapat dikategorikan
pegawai negeri berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang menyatakan: Pegawai Negeri
Sipil diangkat dalam jabatan dan pangkat tertentu.

Penjelasan “jabatan” dalam Pasal 17 (1):

Yang dimaksud Jabatan adalah kedudukan yang menunjukan tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi Negara.
Jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintahan adalah Jabatan Karier. Jabatan Karier
adalah jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh
Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Negeri yang telah beralih status sebagai Pegawai
Negeri Sipil. Jabatan Karier dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis yaitu jabatan struktural
dan jabatan fungsional. Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas ada dalam
struktur organisasi. Jabatan fungsional adalah jabatan yang tidak secara tegas disebutkan
dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut fungsinya diperlukan oleh organisasi, seperti
Peneliti, Dokter, Pustakawan, dan lain-lain yang serupa dengan itu.
Berarti dokter yang merupakan pegawai negeri memiliki jabatan karier fungsional.
Sedangkan dokter yang bukan pegawai negeri jelas ia yang tidak memiliki status sebagai
Pegawai Negeri. Lalu bagaimana dengan dokter yang berstatus pegawai negeri tapi ia membuka
praktek di luar jam kerjanya sebagai pegawai negeri? Mengenai ini diperbolehkan dokter
pegawai negeri membuka praktik sendiri di luar jam kerjanya asalkan memiliki Surat Izin
Praktik sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Dikaitkan pada pembahasan tindak pidana suap atau tindak pidana gratifikasi, perlu
dipastikan bahwa dokter tersebut haruslah pegawai negeri untuk dapat dikenakan tindak pidana
tersebut beserta unsur-unsur yang telah terpenuhi. Kemudian jika dokter pegawai negeri tersebut
membuka praktik di luar jam kerjanya sebagai pegawai negeri dan lokasi praktiknya selain di
rumah sakit milik pemerintah maka ia pada saat itu tidak dapat dikatakan mempunyai tanggung
jawab pidana terkait karena pada saat itu ia tidak betindak sebagai pegawai negeri (tempus
delicti).

Sanksi Bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi

Dokter PNS penerima gratifikasi yang dianggap suap dan industri farmasi yang memberi
gratifikasi yang dianggap suap ketika memenuhi unsur-unsur gratifikasi yang dianggap suap
dalam UU Tipikor dapat diancam:

Pasal 5 UU Tipikor
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12 UU Tipikor
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.

Selain ancaman pidana dalam UU Tipikor, ada pula ancaman administratif yang diatur
dalam Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.02706
terhadap industri farmasi dan/atau pedagang besar farmasi yang melakukan pelanggaran berupa:
(Pasal 9)

a. melakukan kerjasama dengan apotik dan penulis resep


b. melakukan kerjasama dalam peresepan obat dengan apotik dan/atau penulis resep dalam
suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu
c. memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank-draft, pinjaman, voucher, tiket),
dan/atau barang kepada penulis resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang
didistribusikannya

dengan sanksi: (Pasal 10)

a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. pembekuan dan/atau pencabutan izin edar obat yang bersangkutan,
d. dan sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Dasar hukum:
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
- UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian
- Permenkes No. 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan
Kementerian Kesehatan
- Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.02706
tentang Promosi Obat

También podría gustarte