Está en la página 1de 23

ABSTRAK

Penafsiran Al-Qur’an yang terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw. dan
masih tetap berlangsung hingga sekarang bahkan di masa-masa mendatang, sungguh
telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi
pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur’an khususnya tafsir. Menelusuri
sejarah penafsiran Al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar luas di segenap
penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk
menguraikannya secara panjang lebar dan detail. Sebab penelusuran sejarah tafsir Al-
Qur’an selain perlu merujuk ke berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para
pelaku penafsiran itu sendiri yang lazim di kenal dengan sebutan al-mufassirin (para
mufassir). Perkembangan tafsir dimulai dari masa Nabi Muhammad saw., para sahabat,
hingga masa tab’in. Serta macam-macam tafsir yang terbagi menjadi tafsir bi al-
Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telah menjadi Sunnatullah bahwa dalam menurunkan kitab, Allah SWT
megutus seorang Nabi dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini dijelaskan dalam
ayat berikut.
    
    
     
    

Artinya: ‘Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia
kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS.Ibrahim:4)
Nabi Muhammad Saw. hidup di jazirah Arab dan Al-Qur’an di turunkan
kepadanya dengan menggunakan bahasa mereka, sebagaimana terdapat dalam firman
Allah SWT berikut.
   
  
Artinya: “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya.”(QS.Yusuf:2)
Kelebihan bahasa Al-Qur’an jauh diatas bahas mereka, baik dari segi kosakata
maupun maknanya. Dengan demikian. Meskipun mereka bertutur dengan bahasa Arab,
mereka tidak memiliki pemahaman yang sama akan Al-Qur’an. Menurut M.Nur Kholis
Setiawan dalam Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Kenyataan itu menunjukkan bahwa
Al-Qur’an bukanlah teks yang dibuat oleh manusia melainkan teks Ilahi.
Sehubungan dengan pemahaman yang berbeda terhadapa Al-Qur’an, para
sahabat pun memiliki pemahaman dan kemampuan menafsirkan yang berbeda pula,
meskipun mereka hidup semasa dengan Nabi.

2
Menelusuri sejarah penafsiran Al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar
luas di segenap penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi
untuk menguraikannya secara panjang lebar dan detail. Apalagi di zaman yang serba
cepat dan instan ini. Sebab penelusuran sejarah tafsir Al-Qur’an selain perlu merujuk
ke berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu sendiri
yang lazim di kenal dengan sebuh thabaqat al-mufassirin (penjenjangan para mufassir).
Oleh karena itu, makalah ini akan menguraikan sejarah lahirnya tafsir dan
urgensinya, perkembangan tafsir di masa Nabi, sahabat, dan tabi’in, serta macam-
macam tafsir yaitu tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Bagaimana sejarah lahirnya tafsir dan urgensinya?
2. Bagaimana tafsir di masa Nabi, sahabat, dan tabi’in, serta tokoh di kalangan
sahabat dan tabi’in?
3. Apa yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui sejarah lahirnya tafsir dan urgensinya.
2. Untuk mengetahui tafsir di masa Nabi, sahabat, dan tabi’in, serta tokoh di
kalangan sahabat dan tabi’in.
3. Untuk mengetahui tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Lahirnya Tafsir dan Urgensinya


1. Sejarah Lahirnya Tafsir
Sebagai pembawa risalah, Nabi Muhammad Saw. memiliki otoritas
penuh terhadap penafsiran Al-Qur’an. Keberadaannya sebagai penjelas dan
penafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, dan menjadi referensi sentral dalam
berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat pada zaman tersebut. Apabila
sahabat mendapatkan suatu kesulitan di dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
maka mereka bisa langsung menanyakannya kepada Rasulullah Saw, lalu beliau
menjelaskan apa yang masih samar pengertiannya bagi para sahabat, sehingga
tidak ada lagi keraguan dan kerancuan di benak para sahabat.
Banyak riwayat lain yang datang dari Rasulullah Saw, adakalanya
berupa sunnah qauliyah, fi’liyah dan taqririyah dijadikan rujukan penting dalam
memahami isi kandungan Al-Qur’an. Meskipun Rasulullah Saw tidak
mengarahkan suatu metode yang baku untuk menjelaskan terhadap apa yang
ditanyakan para sahabat, namun upaya yang dilakukannya dinilai sebagai suatu
penafsiran. Dengan demikian ada yang menyebut diri Rasulullah Saw, sebagai
al-Mufassir al-awwal (penafsir pertama). Hal demikian ditegaskan Allah Swt
dalam firman-Nya:
    
   
     


Artinya: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”

2. Urgensi Tafsir

4
Berikut ini merupaan fungsi dan urgensi tafsir:1
a) Adanya tafsir memudahkan manusia untuk memahami ayat-ayat
Al-Qur’an, karena manusia tidak sama dalam memahami ayat-
ayat Al-Quran, kata-katanya, dan ungkapan-ungkapannya,
meski jelasnya uraiannya dan kokohnya ayat-ayatnya.
b) Tafsir adalah ilmu syari’at paling agung dan paling tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek
pembahasan dan tujuannya serta dibutuhkan. Obyek
pembahasannya adalah kalamullah yang merupakan sumber
segala hikmah dan segala keutamaan.

B. Tafsir di Masa Nabi, Masa Sahabat, dan Masa Tabi’in, serta Tokoh Tafsir di Kalangan
Sahabat dan Tabi’in
1. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Seperti di tegaskan Al-Qur’an, tugas utama dan pertama dari kenabian
/kerasulan dari Nabi Muhammad Saw. adalah untuk menyampaikan Al-Qur’an.
Namun, berbarengan dengan itu, berdasarkan Al-Qur’an pula Nabi Saw. diberi
otoritas untuk meneragkan atau tepatnya menafsirkan Al-Qur’an. Sehubungan
dengan itu, maka memang sungguh amat tepat penobatan Nabi Saw. oleh para
ahli tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an sebagai qari’, hafizh dan terutama mufassir
pertama (al-mufassir al-awwal) dalam sejarah tafsir Al-Qur’an.
Tugas-tugas penyampaian, penghafalan, pembacaan, dan penafsiran Al-
Qur’an yang di bebankan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. itu dapat
di simpulkan dari deretan ayat-ayat di bawah ini.
     
     
    

Artinya: “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu


Kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah
kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat
berlindung selain dari padanya.”(QS.Al-Kahfi:27)

1
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), Cet. 1, hlm. xix (Pendahuluan).

5
Nabi memahami Al-Qur’an secara global dan terperinci. Dan adalah
kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya:2

  
  
    
  

Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami


turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang Telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka
memikirkan.”(QS. Al-Nahl: 44)

    


   
     


Artinya: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran)


ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.”(QS. Al-Nahl: 64)

Ayat-ayat diatas jelas memerintahkan Nabi Muhammad Saw. supaya


menyampaikan, membaca, menghafal, dan menafsirkan Al-Qur’an. Nabi telah
melaksanakan tugas-tugas Qur’aniyyah itu dengan prima. Baik sebagai
pembaca dan penghafal Al-Qur’an (qari’ dan hafiz), maupun sebagai
penyampai risalah (mubaligh al-risalah) dan penjelas (mubayyin) Al-Qur’an.
Bahkan lebih dari itu, beliau telah menyelesaikan tugas sucinya mengamalkan
dan mempraktikkan ajaran-ajaran Al-Qur’an selama lebih kurang 23 tahun.

Penafsiran Al-Qur’an yang dibangun Rasulullah Saw. ialah menafsirkan


Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan menafsirkan Al-Qur’an dengan pemahaman
beliau sendiri yang kemudian populer dengan sebutan dengan al-Sunnah atau
al-Hadist, jika Al-Qur’an bersifat murni semata-mata wahyu Allah, baik

2
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2012), hlm. 469.

6
teks/naskah lafal ataupun maknanya, maka al-Hadist kecuali Hadis Qudsi- pada
hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat Al-Qur’an.

Selanjutnya, timbul perbedaan pendapat dikalangan ulama berkaitan


dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang di tafsirkan oleh Rasulullah Saw. perbedaan
tersebut di kelompokkan menjadi dua:

a. Rasulullah menjelaskan tentang makna Al-Qur’an sebagaimana


beliau menjelaskan kosakata Al-Qur’an. Demikian pendapat Ibnu
Taimiyah dalam muqaddimah berdasarkan Surah Al-Nahl:44.
b. Rasulullah hanya sedikit menjelaskan makna Al-Qur’an kepada para
sahabat. Demikian pendapat al-Khuwayyi dan as-Suyuthi.
Mendapatkan perbedaan pendapat dua kubu tersebut, kita dapat pastikan
bahwa Rasulullah Saw. tidak menafsirkan seluruh makna ayat Al-Qur’an.
Rasulullah tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan hingga
akhirnya cendrung tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan
penjelasan mengenai sesuatu yang global, menerangkan perkara yang sulit,
mengkhususkan yang umum, memberikan batasan untuk hal-hal yang muthlak,
dan menjelaskan makna kata.

Nabi sebagai pembawa risalah banyak memberikan kesempatan untuk


menjelaskan makna-makna Al-Qur’an yang belum dipahami secara memadai
oleh sahabat dalam berbagai kondisi. Sementara itu, tafsir pada masa beliau
belum di bukukan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, tetapi baru
disampaikan melalui riwayat.

2. Tafsir Pada Masa Sahabat


a. Perbedaan Pemahaman Para Sahabat Mengenai Al-Qur’an
Kenyataan menjelaskan bahwa Nabi Saw. tidak menjelaskan
seluruh ayat Al-Qur’an. Oleh sebab itu, ijtihad para sahabat memegang
peran yang sangat penting. Meskipun demikian, tingkatan tafsir mereka
berbeda-beda. Berkaitan dengan peristiwa turunnya ayat, tidak semua
sahabat menyaksikannya. Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan
perbedaan tersebut.
1) Perbedaan tingkat pemahaman dan kemampuan dalam
menguasai bahasa.

7
2) Perbedaan dalam intensitas dalam menyertai Nabi Saw.
3) Perbedaan pemahaman tentang asbab an-nuzul yang
membantu dalam memahami makna ayat.
4) Perbedaan pengetahuan mengenai syariat.
5) Perbedaan tingkat kecerdasan karena mereka seperti
manusia lain pada umumnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun
banyak terdapat perbedaan pendapat dikalangan sahabat, Al-Qur’an
tetap dapat dipahami secara selaras seiring dengan tingkat
perkembangan pengetahuan.

b. Ciri Khusus Tafsir Sahabat


1) Hanya sedikit dimasuki riwayat israiliyat karena Nabi merasa
cukup dengan sumber Islam yang murni. Oleh sebab itu, tafsir
sahabat tidak dikeruhkan oleh hawa nafsu serta terhindar dari
perselisihan dan kedustaan.
2) Belum mencakup keseluruhan Al-Qur’an karena banyak ayat
yang telah jelas bagi mereka.
3) Hanya sedikit perbedaan pendapat dalam penafsiran karena
mereka hidup semasa dengan turunnya wahyu dan memahami
bahasa Arab.
4) Tidak memaksakan untuk menjelaskan makna secara detail
sehingga menjadi berlebihan dan tidak bermanfaat.
5) Kebanyakan masih berkisar tentang kebahasaan yang dipahami
sesuai kalimat yang terpendek.
6) Belum terpengaruh mazhab manapun, tetapi tafsir mereka
merupakan hasil istinbath hukum fiqh.
7) Tafsir belum dibukukan sehingga penyampaian dilakukan
melaui riwayat dari mulut ke mulut.
8) Tafsir belum dipisahkan dari Hadis dan masih terpencar.

c. Sumber Rujukan Tafsir Sahabat

8
Pada masa Nabi Saw. sumber penafsiran adalah Al-Qur’an dan
ijtihad beliau. Sementara itu, sumber rujukan tafsir pada masa sahabat
adalah sebagai berikut:3
1) Al-Qur’an dengan mencakup kalimat yang panjang dan
pendek, global dan terperinci, muthlaq dan muqayyad,
serta umum dan khusus. Oleh sebab itu, bagi orang yang
hendak menafsirkan Al-Qur’an, sebelumnya harus
meneliti lalu mengumpulkan ayat-ayat berdasarkan
kesamaan topik dan membandingkannya.
2) Penjelasan Nabi Saw. ketika beliau masih hidup, sahabat
langsung menanyakan segala persoalan kepada beliau.
3) Ijtihad dan kemampuan untuk ber-istinbath. Hal ini
dilakukan apabila didalam dua sumber diatas tidak
ditemukan jawaban.

d. Sahabat yang Terkenal dalam Bidang Ilmu Tafsir


Dari kalangan para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan
Al-qur’an yaitu:4 Abu Bakar al – Shiddiq; Umar Ibn Al – Khathtab;
Utsman bin Affan; Ali bin Abi Thalib; Ibn Mas’ud; Abdullah bin Abbas;
Ubay bin Ka’ab; Zaid bin Tsabit; Abu Musa al – asy’ari; Abdullah bin
Zubair; Anas bin Malik; Abdullah bin Umar; jabir bin Abdullah;
Abdullah bin ‘Amar bin ‘As; dan Aisyah.
Dari kalangan khulafa’ al – Rasyidin, Ali bin Thalib-lah yang
dikenal paling banyak menafsirkan Al – qur’an. Sedangkan tiga lainnya,
terutama Abu Bakar, di samping Umar dan Utsman, relatif tidak banyak
dengan kegiatan menafsirkan Al – Qur’an. Selain karena Utsman, Umar
dan terutama Abu Bakar yang secara berturut – turut terlihat langsung
dengan kegiatan dunia politik praktis denga jabatannya sebagai khalifah
(kepala negara); juga terutama disebabkan usia mereka terutama Abu

3
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2012), hlm. 470.
4
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2012), hlm. 472.

9
Bakar yang tidak lama masa hidupnya dari kematian Nabi Muhammad
saw.

e. Madrasah Tafsir pada Masa Sahabat


Sebelumnya telah dijelaskan bahwa adanya tingkat pengetahuan
yang berbeda dikalangan sahabat berimbas pada hasil penafsiran. Hal
ini kemudian secara otomatis diikuti oleh para muridnya. Dari sinilah
muncul tiga madrasah tafsir yaitu, Mekah, Madinah dan Kufah.
1) Mekah
Madrasah tafsir Mekah dipelopori oleh Abdullah
bin Abbas yang dikenal dengan Ibnu Abbas. Ia sangat
pandai dan memiliki ilmu yang melimpah tentang kitab
Allah. Oleh sebab itu, Ibnu Abbas disebut sebagai
sebaik-baik penerjemah Al-Qur’an. Sementara itu, Ibnu
Umar menyatakan bahwa Ibnu Abbas adalah seorang
yang paling alim mengenai kitab yang diturunkan kepada
Nabi Saw.
2) Madinah
Madrasah tafsir Madinah dipelopori oleh Ubay
bin Ka’ab, seseorang ahli qira’ah serta salah satu penulis
wahyu. Pada suatu hari, ia diminta untuk membacakan
Al-Qur’an kepada Nabi Saw. dan hal itu menjadi
keistimewaan tersendiri baginya. Pada masa sahabat, ia
menjadi pelopor madrasah tafsir Madinah. Penafsirannya
menggunakan riwayat karena ia mendengarnya langsung
dari Rasulullah dan menyaksikan proses turunnya ayat.
3) Kufah
Madrasah tafsir Kufah dipelopori oleh Abdullah
bin Mas’ud. Ia adalah orang kedua yang membacakan
Al-Qur’an secara terang-terangan di Mekah setelah Nabi.
Ibnu Mas’ud pindah ke Kufah pada masa kekhalifahan
Umar karena diminta untuk berdakwah dan mengajar
disana. Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang paling hafal

10
Al-Qur’an hingga Nabi sendiri senang mendengarkan
bacaan Al-Qur’an darinya.

f. Nilai Tafsir Sahabat


Berkaitan dengan hasil interpretasi sahabat terhadap Al-Qur’an,
ulama mengelompokkannya sebagai berikut:
1) apabila berkaitan dengan hal-hal yang ghaib dan sebab
turun ayat, di hukumi marfu kepada Nabi dan termasuk
Hadis Nabi yang memiliki kekuatan hukum seperti hadis
lain selama sanadnya sahih.
2) Apabila berkaitan dengan hal-hal yang ghaib dan sebab
turun ayat lalu dikembalikan kepada ijtihad sahabat,
hukumnya mauquf selama tidak disandarkan kepada
Nabi Saw. akan tetapi, sebagian ulama wajib berpegang
dengan hadis mauquf sahabat karena mereka lebih tahu.
Hadis ini dapat menjadi hujjah, jika sanadnya sahih.
3) Ibnu Taymiyah dalam muqaddimah berpendapat,
“Apabila tidak ditemukan jawaban di dalam Al-Qur’an
dan Hadis, dapat merujuk tafsir sahabat karena mereka
lebih mengetahuinya. Akan tetapi, apabila tafsir sahabat
tidak berkaitan dengan hal dimaksudkan, kekuatan
hukumnya sama seperti tafsir-tafsir generasi setelahnya.

3. Tafsir Masa Tabi’in


Ketika penaklukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong
berpindah ke daerah-daerah taklukan. Dari tangan mereka inilah tabi’in, murid
mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah
berbagai madzhab dan perguruan tafsir. Meluasnya wilayah kekuasaan Islam
dan banyaknya masyarakat non-Arab yang masuk Islam menyebabkan
kebutuhan akan tafsir menungkat. Di sisi lain, generasi yang menerima
penjelasan langsung dari Nabi semakin sedikit dan mereka terpencar-pencar di
sejumlah wilayah kekuasaan Islam yang baru.
a. Metode yang Digunakan Tabi’in

11
Tidak banyak perbedaan antara metode yang digunakan
sahabat dan tabi’in. Mereka cendrung sama dalam menggunakan
metode yang fundamental. Metode yang digunakan tabi’in
adalah sebagai berikut:
1) Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2) Menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadis Nabi Saw.
3) Menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir sahabat.
4) Ijtihad. Jika mereka tidak menemukan jawaban di
dalam Al-Qur’an, Hadis, dan tafsir sahabat,
mereka berijtihad.
Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan
metode talaqqi wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Tetapi
setelah benyak Ahli Kitab masuk Islam, para tabi’in banyak
menukil dari mereka cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian
dimasukkan kedalam tafsir. Di samping itu, pada masa ini, mulai
timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan
dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka.
namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya
bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang
lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan
perbedaan yang bersifat kontradiktif.5

b. Mufassir yang Terkenal pada masa Tabi’in.6


Di Mekah, misalnya, berdiri perguruan tinggi Ibnu
Abbas. Diantara muridnya yang terkenal adalah Mujahid ibn
Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi
Rabah, danThawus bin Kisan Al-Yamani.
Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal di bidang
tafsir dari orang lain. Pendapat-pendapatannya tentang tafsir
banyak di nukil generasi sesudahnya. Diantara muridnya

5
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2012), hlm. 476.
6
Ibid., Hlm. 474-475.

12
dikalangan tabi’in, ialah Abu ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’ab Al-
Qurazhi, Zaid bin Aslam.
Di Kufah (Irak) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud yang
dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli
ra’yi. Dan banyak pula tabi’in di Irak dikenal dalam bidang
tafsir. Yang masyhur diantaranya adalah ‘Alqamah bin Qais,
Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamadzani, ‘Amir
Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah As-
Sadusi.

c. Nilai dari Tafsir Tabi’in


Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal
dari tabi’in. Segologan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak
(harus) dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan
peristiwa-peristiwa atau situasi dan kondisi yang berkenaan
dengan turunya ayat Al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja
berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya,
banyak mufasir berpendapat, tafsir mereka yang dipegangi,
sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.
Pendapat yang kuat ialah jika para tabi’in sepakat atas sesuatu
pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh
meninggalkannya untuk mengambil yang lain.7

C. Macam-macam Tafsir: Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi


1. Tafsir bi Al-ma’tsur
Sebagaimana dijelaskan Al-Farmawy, tafsir bi Al-ma’tsur (disebut
dengan bi Ar-riwayah dan An-naql) adalah penafsiran Al-Qur’an yang
mendasarkan pada penjelasan Al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan
para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in. Jadi bila merujuk pada
definisi diatas, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi Al-
ma’tsur.8 Pertama, Al-Qur’an yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap

7
Ibid., hlm. 475.
8
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), Cet. 1, hlm: 4.

13
Al-Qur’an sendiri. Misalnya, penafsiran kata muttaqin pada surah Ali-Imran
(33): 1 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang menjelaskan
bahwa yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya, baik diwaktu lapang
maupun sempit dan seterusnya. Kedua, otoritas hadis Nabi yang memang
berfungsi sebagai penjelasan (mubayyin) Al-Qur’an. Misalnya, penafsiran Nabi
terhadap kata ‘Az-Zulm pada surah Al-An’am (6) dengan pengertian syirik.
Dan pengertian ungkapan ‘Al-quwwal dengan Ar-ramy (panah) pada firman
Allah: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda – kuda.’’ (Q.S Al-Anfal(8): 60). Ketiga, otoritas
penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-
Qur’an. Misalnya, penafsiran Ibnu Abbas (w.68/687) terhadap kandungan surat
An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan nabi. Keempat, otoritas
penjelasan tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat.
Misalnya, penafsiran tabi’in terhadap surat Ash-Shaffat (37) : 65 dengan sya’ir
Imr Al-Qays.
Tidak diperoleh alasan yang memadai mengapa penafsiran tabi’in
dijadikan sebagai salah satu sumber tafsir bi Al-ma’tsur. Padahal, dalam
menafsirkan Al-Qur’an, mereka tidak hanya mendasarkan pada riwayat yang
diterimanya dari sahabat, tetapi juga terkadang memasukkan ide – ide mereka.
Dengan kata lain, terkadang mereka pun melakukan ijtihad dan memberi
interpretasi sendiri terhadap Al-Qur’an. Disamping itu, mereka berbeda dengan
sahabat tidak mendengar langsung dari Nabi, dan tidak menyaksikan langsung
situasi dan kondisi ketika Al-Qur’an turun. Oleh sebab itu, otoritas mereka
sebagai sumber penafsiran Al-Qur’an bi Al-ma’tsur masih diperdebatkan oleh
para ulama. Diantara ulama yang menolak otoritas mereka adalah Ibnu Syaibah
dari Ibnu ‘Aqli. Namun, mayoritas ulama seperti Ad-Dahhak bin Al-Mujahim
(w.118/736), Abi Al- ‘Aliyyah Ar-Rayyah Hasan Basri (w.110/728) dan
‘Ikrimah menerima otoritas mereka karena umumnya mendengar langsung dari
sahabat.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bi Al-ma’tsur menempuh tiga periode
yaitu periode I yaitu masa Nabi, sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika
tafsir belum tertulis dari secara umum periwayatannya tersebut dengan secara

14
lisan (musyafahah). Periode II bermula dengan pengodifikasikasian hadis
secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin ‘Abd Al-‘Aziz (95-101).
Diantara kitab yang dipandang menempuh corak bi Al-ma’tsur adalah:9
a) Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karya Ibn Jarir Ath –
Thabari (w.310)
b) Bahrul Ulum, karya Abu al-Laits al-Samarqandi (w. 373 H)
c) Ma’alim al-Tanzil, karya Abu Muhammad al-Husain al-
Baghawi
d) Al-Kasyf wa al-bayan An-Tafsir al-Qur’an, karya Abu Ishaq al-
Tsa’labi
e) Al-Muharrar al-Wajiz Fi Tafsir al-Kitab al-Aziz karya Ibn
Athiyyah al-Andalusi
f) Anwar At-Tanzil karya Al Badhawi
g) Al-Durr Al-ma’tsur fi At-Tafsir bi Al-ma’tsur karya Jalal Ad –
Din As-Suyuthi
h) Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi
(w.817/1414)
i) Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim karya Ibnu Katsir
j) Al-Jawahir al-Hisan Fi Tafsir al-Qur’an, karya Abdurrahman al-
Tsa’labi
k) Tafsir Baqiy ibn Makhlad al-Andalusi al-Quradhi
l) Asbab al-Nuzuli Li al-Wahidi, karya al-Imam al-Wahidi al-
Naisaburi
m) Al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu Ja’far al-Nahhs
Pengkategorian kitab – kitab diatas dengan pertimbangan bahwa isinya
mengandung tafsir bi Al-ma’tsur secara umum. Ini mengingat sulitnya mencari
sebuah kitab yang murni menggunakan corak bi Al-ma’tsur. pada praktiknya,
kitab – kitab tafsir diatas juga menggunakan corak bi Ar-ra’yi meskipun tidak
begitu dominan. Tafsir Ath – Thabari yang disebut Al- Hufi sebagai kitab yang
menjauhi corak bi Ar-ra’yi. Misalnya ternyata juga menggunakan ijtihad

9
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), Cet. 1, hlm: 67.

15
mengarangnya, terutama ketika menyelesaikan periwayatan – periwayatan yang
kontradiktif.
Satu-satunya kitab tafsir bi Al-ma’tsur yang barangkali murni adalah
tafsir Ad-Durr Al-ma’tsur, karya As-Suyuthi. Mengingat merupakan corak
tafsir yang merujuk diantaranya kepada Al-Qur’an dan hadist, dua sumber
kehidupan umat islam, dapat dipastikan tafsir bi Al-ma’tsur memeliki
keistimewaan tertentu dibandingkan dengan corak penafsiran lainnya. Diantara
keistimewaan itu, sebagaimana dicatat Quraish Shihab adalah sebagai berikut:10
a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an
b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan –
pesannya
c) Mengikat mufassir dalam bingkai ayat – ayat sehingga membatasinya
untuk tidak terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.

Sementara itu, Adz – Dzahabi mencatat kelemahan – kelemahan tafsir


bi Al-ma’tsur sebagai berikut:11
a) Terjadinya pemalsuan (wadh’) dalam tafsir. Dicatat oleh Adz – Dzahabi
bahwa pemalsuan itu terjadi pada tahun – tahun ketika terjadi
perpecahan dikalangan umat islam yang menimbulkan berbagai aliran
seperti syia’ah. Khawarij, dan murjia’ah.
b) Masuknya unsur israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur – unsur
Yahudi dan Nasrani yang masuk kedalam penafsiran Al-Qur’an.
c) Penghilangan sanad
d) Terjerumusnya sang mufassir kedalam uraian kebahasaan dari
kesastraan yang bertele – tele sehingga pesan pokok Al-Qur’an menjadi
kabur
e) Sering konteks turunnya ayat (asbabun an-nuzul) atau sisi kronologis
turunnya ayat – ayat hukum yang dipahami dari uraian (nasikh –
mansukh) hampir dapat dikatakan sama sekali sehingga ayat – ayat
tersebut bagaikan turun ditengah – tengah masyarakat yang hampa
budaya.

10
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. 1, hlm. 147.
11
Ibid., hlm. 147.

16
2. Tafsir bi Al-Ra’yi
Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti keyakinan (i’tiqad),
analogi (qiyas), dan ijtihad, sedangkan dalam terminologi tafsir adalah ijtihad.12
Dengan demikian, tafsir bi ar-ra’yi juga disebut dengan tafsir dirayah.
Sebagaimana didefinisikan Adz–Dzahabi yaitu tafsir yang penjelasannya
diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa
arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta masalah penafsiran
seperti asbabun nuzul dan nasikh-mansukh. Selain itu, Al-Farmawi juga
mendefinisikannya sebagai berikut menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad
setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-
orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata-kosakata arab serta
muatan artinya. Untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, mufassir juga
dibantu oleh Syi’ir Jahiliyah, asbabun an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lainnya
yang dibutuhkan oleh seorang mufassir. Sebagaimana diutarakan pada
penjelasan tentang syarat-syarat menjadi mufassir.
Tafsir bi ar-ra’yi muncul sebagai sebuah corak penafsiran belakangan
setelah munculnya tafsir bi al-matsur walaupun sebelumnya ra’yi dalam
pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur’an.
Apalagi kalau salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Diantara penyebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi ar- ra’yi
adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan
kemunculan keberagaman disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka wana
metode penafsiran, dan pakar-pakar yang ada pada bidang nya masing-masing.
Pada akhirnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang
displin ilmu yang dikuasainya. Diantara mereka ada yang lebih menekan kan
balaghah, seperti az-zamakhsyari atau telaah hukum seperti Al-Qurthubi atau
telaah keistimewaan bahasa seperti Abi As Su’ud atau telaah qira’ah seperti An-
Naisaburi dan An-Nasafi, atau telaah mazhab-mazhab kalam dan filsafat seperti
Ar-Razi. Hal ini tampaknya dapat dipahami sebab disamping sebagai seorang
mufassir, seseorang dapat saja ahli dalam bidang fiqih, bahasa, filsafat,
astronomi ataupun kalam. Tatkala ada Al-Qur’an yang berkaitan dengan

12
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. 1, hlm. 152.

17
disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka mengeluarkan sebuah pengetahuan
tentangnya sehingga terkadang mereka lupa akan inti ayat yang bersangkutan.
Kemunculan tafsir bi ar-ra’yi dipicu pula oleh hasil interaksi umat islam
dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu,
dalam tafsir bi ar-ra’yi ditemukan peranan akal yang sangat dominan. Dari sana
muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagaimana yang kita lihat
saat ini.
Mengenai keabsahan tafsir bi ar-ra’yi, pendapat para ulama terbagi
kedalam dua kelompok yaitu:13
a) Kelompok yang melarang. Bahkan menjelang abad II H, corak
penafsiran ini belum mendapatkan legitiminasi yang luas dari ulama
yang menolaknya. Ulama yang menolak penggunaan corak tafsir ini
mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1) Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan
firman Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil
penafsirannya bersifat perkiraan semata.
2) Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an hanya Nabi
3) Rasulullah SAW bersabda
‘’siapa saja yang menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pikirannya
semata, atau atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya maka
persiapkanlah mengambil tempat neraka.”
4) Sudah merupakan tradisi dikalangan sahabat dan tabi’in untuk
berhati – hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an.
b) Kelompok yang mengizinkannya untuk mereka mengemukakan
argumentasi berikut ini:
1) Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat yang menyerukan
untuk mendalami kandungan – kandungan Al-Qur’an.
2) Seandainya tafsir bi ar-ra’yi dilarang, mengapa ijtihad
diperbolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-
Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihaad
terhadap ayat – ayat yang belum dijelaskan oleh Nabi.

13
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. 1, hlm. 152.

18
3) Para sahabat Nabi biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran
suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al-
Qur’an dengan ra’yi nya. Seandainya tafsir bi ar-ra’yi dilarang,
tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
4) Rasulullah SAW pernah berdoa untuk Ibnu Abbas. Doa itu
berbunyi :‘’Ya Allah, berilah pemahaman agama kepada Ibnu
Abbas dan ajarkan ia takwil.”
Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menukil
riwayat saja, tentunya pengkhususan doa diatas untuk Ibn Abbas
tidak bermakna apa – apa. Dengan demikian, maka takwil yang
dimaksud dalam doa itu adalah sesuatu diluar penukilan yaitu
ijtihad dan pemikiran.

Selanjutnya, para ulama membagi corak tafsir bi ar-ra’yi menjadi dua


bagian yaitu tafsir bi ar-ra’yi yang dapat diterima atau terpuji
(maqbul/mahmudah) tafsir bi ar-ra’yi dan yang ditolak/tercela
(marmud/madzmum) tafsir bi ar-ra’yi dapat digunakan selama menghindari hal-
hal berikut ini:
a) Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah
pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
b) Mencoba menafsirkan ayat – ayat yang maknanya hanya diketahui Allah
(otoritas Allah semata).
c) Menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan
(menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
d) Menafsirkan ayat – ayat untuk mendukung suatu madzhab sebagai
dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
e) Menfasirkan Al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang
dikehendaki Allah adalah demikian tanpa didukung dalil.

Selama mufassir bi ar-ra’yi menghindari kelima hal diatas dengan


disertai niat ikhlas semata – mata karena Allah, penafsirannya dapat diterima
dan pendapatnya dapat dikatakan rasional. Jika tidak demikian, berarti ia

19
menyimpang dari cara yang dibenarkan sehingga, penafsirannya ditolak, tidak
dapat diterima.
Diantara contoh bi ar-ra’yi yang tidak dapat diterima adalah sebagai
berikut:14
a) Penafsiran golongan syi’ah terhadap kata Al-baqarah (Q.S Al-Baqarah
(2) ayat 67) dengan Aisyah r.a
b) Penafsiran sebagai mufassir terdapat surat Al-Baqarah (2) ayat 74.
“Padahal diantara batu – batu itu sugguh ada yang mengalir sungai –
sungai darinya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air darinya dan diantarany sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada Allah.” (Q.S Al-Baqarah (2) 74 )
Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara, dan jatuh
karena takut kepada Allah.
c) Penafsiran sebagai mufassir terhadap surat An – Nahl (16) ayat 68:
‘’Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘’buatlah sarang – sarang
dibukit – bukit, dipohon – pohon kayu, dan ditempat – tempat yang
dibuat manusia.’’ (Q.S An- Nahl (16) 68)
Mereka berpendapat bahwa diantara lebah – lebah itu, ada yang diangkat
sebagai nabi yang diberi wahyu oleh Allah. Kemudian mereka
mengemukakan cerita–cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara
itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh
kepohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah kemudian lebah
tersebut menggunakan tetesan lilin itu untuk membuat sarang-sarang
dan madu.

Diantara karya tafsir bi ar-ra’yi yang dapat dipercaya adalah:15


a) Mafatih Al-Ghalib, karya al-Fakhr Ar-Razi
b) Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Takwil karya Al-Baidhawi
c) Madarik, At-Tanzil wa Haqa’iq At-Takwil karya An-Nasafi
d) Lubab At-Takwil fi Ma’ani At-Takwil, karya Al-Khazim
e) Al-Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan

14
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. 1, hlm. 156
15
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), Cet. 1, hlm: 105.

20
f) Irasyad al-‘Aql al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya Abu al-
Su’ud
g) Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan
h) Al-Siraj al-Munir Fi al-I’anah Ala Ma’rifah Kalam Rabbina al-Khabir
karya al-Khathib al-Khathib al-Syarbini
i) Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi
j) Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi
k) Ruh al-Ma’mi Fi Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim wa al-Sab’ al-Matsami
karya al-Alusi
l) Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fannai al-Riwayah wa al-Dirayah Min Ilm
al-tafsir karya al-Syaukani
m) Zad al-masir Fi Ilm al-Tafsir karya Imam Abu al-faraj Abdurrahman
ibnu al-Jauzi

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sejarah tafsir dan urgensinya, bermula dari minimnya pemahaman tentang ayat-
ayat Al-qur’an.
2. Perkembangan tafsir di masa Nabi, sahabat, dan tabi’in
a) Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan penjelasan mengenai sesuatu
yang global, menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum,
memberikan batasan untuk hal-hal yang muthlak, dan menjelaskan makna kata.
b) Tafsir Pada Masa Sahabat, meliputi:
1) Perbedaan Pemahaman Para Sahabat Mengenai Al-Qur’an
2) Ciri Khusus Tafsir Sahabat
3) Sumber Rujukan Tafsir Sahabat
4) Sahabat yang Terkenal dalam Bidang Ilmu Tafsir
5) Madrasah Tafsir pada Masa Sahabat
6) Nilai Tafsir Sahabat
c) Tafsir Masa Tabi’in, meliputi:
1) Metode yang Digunakan Tabi’in
2) Mufassir yang Terkenal pada masa Tabi’in.
3) Nilai dari Tafsir Tabi’in
3. Macam-macam tafsir meliputi:
a) Tafsir bi Al-ma’tsur, adalah penafsiran Al-Qur’an yang mendasarkan
pada penjelasan Al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para
sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.

22
b) Tafsir bi Al-Ra’yi, yaitu tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan
ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa arab dan
metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta masalah penafsiran
seperti asbabun nuzul dan nasikh-mansukh.

DAFTAR PUSTAKA

Abidu, Yunus Hasan. 2007. Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir.
Jakarta: Gaya Media Pratama.

Al-Qaththan, Manna Khalil. 2012. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Diterjemahkan oleh: Mudzakir.
Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.

Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.

23

También podría gustarte