Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Penafsiran Al-Qur’an yang terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw. dan
masih tetap berlangsung hingga sekarang bahkan di masa-masa mendatang, sungguh
telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi
pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur’an khususnya tafsir. Menelusuri
sejarah penafsiran Al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar luas di segenap
penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk
menguraikannya secara panjang lebar dan detail. Sebab penelusuran sejarah tafsir Al-
Qur’an selain perlu merujuk ke berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para
pelaku penafsiran itu sendiri yang lazim di kenal dengan sebutan al-mufassirin (para
mufassir). Perkembangan tafsir dimulai dari masa Nabi Muhammad saw., para sahabat,
hingga masa tab’in. Serta macam-macam tafsir yang terbagi menjadi tafsir bi al-
Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Telah menjadi Sunnatullah bahwa dalam menurunkan kitab, Allah SWT
megutus seorang Nabi dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini dijelaskan dalam
ayat berikut.
Artinya: ‘Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia
kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS.Ibrahim:4)
Nabi Muhammad Saw. hidup di jazirah Arab dan Al-Qur’an di turunkan
kepadanya dengan menggunakan bahasa mereka, sebagaimana terdapat dalam firman
Allah SWT berikut.
Artinya: “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya.”(QS.Yusuf:2)
Kelebihan bahasa Al-Qur’an jauh diatas bahas mereka, baik dari segi kosakata
maupun maknanya. Dengan demikian. Meskipun mereka bertutur dengan bahasa Arab,
mereka tidak memiliki pemahaman yang sama akan Al-Qur’an. Menurut M.Nur Kholis
Setiawan dalam Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Kenyataan itu menunjukkan bahwa
Al-Qur’an bukanlah teks yang dibuat oleh manusia melainkan teks Ilahi.
Sehubungan dengan pemahaman yang berbeda terhadapa Al-Qur’an, para
sahabat pun memiliki pemahaman dan kemampuan menafsirkan yang berbeda pula,
meskipun mereka hidup semasa dengan Nabi.
2
Menelusuri sejarah penafsiran Al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar
luas di segenap penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi
untuk menguraikannya secara panjang lebar dan detail. Apalagi di zaman yang serba
cepat dan instan ini. Sebab penelusuran sejarah tafsir Al-Qur’an selain perlu merujuk
ke berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu sendiri
yang lazim di kenal dengan sebuh thabaqat al-mufassirin (penjenjangan para mufassir).
Oleh karena itu, makalah ini akan menguraikan sejarah lahirnya tafsir dan
urgensinya, perkembangan tafsir di masa Nabi, sahabat, dan tabi’in, serta macam-
macam tafsir yaitu tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Bagaimana sejarah lahirnya tafsir dan urgensinya?
2. Bagaimana tafsir di masa Nabi, sahabat, dan tabi’in, serta tokoh di kalangan
sahabat dan tabi’in?
3. Apa yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui sejarah lahirnya tafsir dan urgensinya.
2. Untuk mengetahui tafsir di masa Nabi, sahabat, dan tabi’in, serta tokoh di
kalangan sahabat dan tabi’in.
3. Untuk mengetahui tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”
2. Urgensi Tafsir
4
Berikut ini merupaan fungsi dan urgensi tafsir:1
a) Adanya tafsir memudahkan manusia untuk memahami ayat-ayat
Al-Qur’an, karena manusia tidak sama dalam memahami ayat-
ayat Al-Quran, kata-katanya, dan ungkapan-ungkapannya,
meski jelasnya uraiannya dan kokohnya ayat-ayatnya.
b) Tafsir adalah ilmu syari’at paling agung dan paling tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek
pembahasan dan tujuannya serta dibutuhkan. Obyek
pembahasannya adalah kalamullah yang merupakan sumber
segala hikmah dan segala keutamaan.
B. Tafsir di Masa Nabi, Masa Sahabat, dan Masa Tabi’in, serta Tokoh Tafsir di Kalangan
Sahabat dan Tabi’in
1. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Seperti di tegaskan Al-Qur’an, tugas utama dan pertama dari kenabian
/kerasulan dari Nabi Muhammad Saw. adalah untuk menyampaikan Al-Qur’an.
Namun, berbarengan dengan itu, berdasarkan Al-Qur’an pula Nabi Saw. diberi
otoritas untuk meneragkan atau tepatnya menafsirkan Al-Qur’an. Sehubungan
dengan itu, maka memang sungguh amat tepat penobatan Nabi Saw. oleh para
ahli tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an sebagai qari’, hafizh dan terutama mufassir
pertama (al-mufassir al-awwal) dalam sejarah tafsir Al-Qur’an.
Tugas-tugas penyampaian, penghafalan, pembacaan, dan penafsiran Al-
Qur’an yang di bebankan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. itu dapat
di simpulkan dari deretan ayat-ayat di bawah ini.
1
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), Cet. 1, hlm. xix (Pendahuluan).
5
Nabi memahami Al-Qur’an secara global dan terperinci. Dan adalah
kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya:2
2
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2012), hlm. 469.
6
teks/naskah lafal ataupun maknanya, maka al-Hadist kecuali Hadis Qudsi- pada
hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat Al-Qur’an.
7
2) Perbedaan dalam intensitas dalam menyertai Nabi Saw.
3) Perbedaan pemahaman tentang asbab an-nuzul yang
membantu dalam memahami makna ayat.
4) Perbedaan pengetahuan mengenai syariat.
5) Perbedaan tingkat kecerdasan karena mereka seperti
manusia lain pada umumnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun
banyak terdapat perbedaan pendapat dikalangan sahabat, Al-Qur’an
tetap dapat dipahami secara selaras seiring dengan tingkat
perkembangan pengetahuan.
8
Pada masa Nabi Saw. sumber penafsiran adalah Al-Qur’an dan
ijtihad beliau. Sementara itu, sumber rujukan tafsir pada masa sahabat
adalah sebagai berikut:3
1) Al-Qur’an dengan mencakup kalimat yang panjang dan
pendek, global dan terperinci, muthlaq dan muqayyad,
serta umum dan khusus. Oleh sebab itu, bagi orang yang
hendak menafsirkan Al-Qur’an, sebelumnya harus
meneliti lalu mengumpulkan ayat-ayat berdasarkan
kesamaan topik dan membandingkannya.
2) Penjelasan Nabi Saw. ketika beliau masih hidup, sahabat
langsung menanyakan segala persoalan kepada beliau.
3) Ijtihad dan kemampuan untuk ber-istinbath. Hal ini
dilakukan apabila didalam dua sumber diatas tidak
ditemukan jawaban.
3
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2012), hlm. 470.
4
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2012), hlm. 472.
9
Bakar yang tidak lama masa hidupnya dari kematian Nabi Muhammad
saw.
10
Al-Qur’an hingga Nabi sendiri senang mendengarkan
bacaan Al-Qur’an darinya.
11
Tidak banyak perbedaan antara metode yang digunakan
sahabat dan tabi’in. Mereka cendrung sama dalam menggunakan
metode yang fundamental. Metode yang digunakan tabi’in
adalah sebagai berikut:
1) Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2) Menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadis Nabi Saw.
3) Menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir sahabat.
4) Ijtihad. Jika mereka tidak menemukan jawaban di
dalam Al-Qur’an, Hadis, dan tafsir sahabat,
mereka berijtihad.
Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan
metode talaqqi wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Tetapi
setelah benyak Ahli Kitab masuk Islam, para tabi’in banyak
menukil dari mereka cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian
dimasukkan kedalam tafsir. Di samping itu, pada masa ini, mulai
timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan
dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka.
namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya
bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang
lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan
perbedaan yang bersifat kontradiktif.5
5
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2012), hlm. 476.
6
Ibid., Hlm. 474-475.
12
dikalangan tabi’in, ialah Abu ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’ab Al-
Qurazhi, Zaid bin Aslam.
Di Kufah (Irak) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud yang
dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli
ra’yi. Dan banyak pula tabi’in di Irak dikenal dalam bidang
tafsir. Yang masyhur diantaranya adalah ‘Alqamah bin Qais,
Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamadzani, ‘Amir
Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah As-
Sadusi.
7
Ibid., hlm. 475.
8
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), Cet. 1, hlm: 4.
13
Al-Qur’an sendiri. Misalnya, penafsiran kata muttaqin pada surah Ali-Imran
(33): 1 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang menjelaskan
bahwa yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya, baik diwaktu lapang
maupun sempit dan seterusnya. Kedua, otoritas hadis Nabi yang memang
berfungsi sebagai penjelasan (mubayyin) Al-Qur’an. Misalnya, penafsiran Nabi
terhadap kata ‘Az-Zulm pada surah Al-An’am (6) dengan pengertian syirik.
Dan pengertian ungkapan ‘Al-quwwal dengan Ar-ramy (panah) pada firman
Allah: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda – kuda.’’ (Q.S Al-Anfal(8): 60). Ketiga, otoritas
penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-
Qur’an. Misalnya, penafsiran Ibnu Abbas (w.68/687) terhadap kandungan surat
An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan nabi. Keempat, otoritas
penjelasan tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat.
Misalnya, penafsiran tabi’in terhadap surat Ash-Shaffat (37) : 65 dengan sya’ir
Imr Al-Qays.
Tidak diperoleh alasan yang memadai mengapa penafsiran tabi’in
dijadikan sebagai salah satu sumber tafsir bi Al-ma’tsur. Padahal, dalam
menafsirkan Al-Qur’an, mereka tidak hanya mendasarkan pada riwayat yang
diterimanya dari sahabat, tetapi juga terkadang memasukkan ide – ide mereka.
Dengan kata lain, terkadang mereka pun melakukan ijtihad dan memberi
interpretasi sendiri terhadap Al-Qur’an. Disamping itu, mereka berbeda dengan
sahabat tidak mendengar langsung dari Nabi, dan tidak menyaksikan langsung
situasi dan kondisi ketika Al-Qur’an turun. Oleh sebab itu, otoritas mereka
sebagai sumber penafsiran Al-Qur’an bi Al-ma’tsur masih diperdebatkan oleh
para ulama. Diantara ulama yang menolak otoritas mereka adalah Ibnu Syaibah
dari Ibnu ‘Aqli. Namun, mayoritas ulama seperti Ad-Dahhak bin Al-Mujahim
(w.118/736), Abi Al- ‘Aliyyah Ar-Rayyah Hasan Basri (w.110/728) dan
‘Ikrimah menerima otoritas mereka karena umumnya mendengar langsung dari
sahabat.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bi Al-ma’tsur menempuh tiga periode
yaitu periode I yaitu masa Nabi, sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika
tafsir belum tertulis dari secara umum periwayatannya tersebut dengan secara
14
lisan (musyafahah). Periode II bermula dengan pengodifikasikasian hadis
secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin ‘Abd Al-‘Aziz (95-101).
Diantara kitab yang dipandang menempuh corak bi Al-ma’tsur adalah:9
a) Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karya Ibn Jarir Ath –
Thabari (w.310)
b) Bahrul Ulum, karya Abu al-Laits al-Samarqandi (w. 373 H)
c) Ma’alim al-Tanzil, karya Abu Muhammad al-Husain al-
Baghawi
d) Al-Kasyf wa al-bayan An-Tafsir al-Qur’an, karya Abu Ishaq al-
Tsa’labi
e) Al-Muharrar al-Wajiz Fi Tafsir al-Kitab al-Aziz karya Ibn
Athiyyah al-Andalusi
f) Anwar At-Tanzil karya Al Badhawi
g) Al-Durr Al-ma’tsur fi At-Tafsir bi Al-ma’tsur karya Jalal Ad –
Din As-Suyuthi
h) Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi
(w.817/1414)
i) Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim karya Ibnu Katsir
j) Al-Jawahir al-Hisan Fi Tafsir al-Qur’an, karya Abdurrahman al-
Tsa’labi
k) Tafsir Baqiy ibn Makhlad al-Andalusi al-Quradhi
l) Asbab al-Nuzuli Li al-Wahidi, karya al-Imam al-Wahidi al-
Naisaburi
m) Al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu Ja’far al-Nahhs
Pengkategorian kitab – kitab diatas dengan pertimbangan bahwa isinya
mengandung tafsir bi Al-ma’tsur secara umum. Ini mengingat sulitnya mencari
sebuah kitab yang murni menggunakan corak bi Al-ma’tsur. pada praktiknya,
kitab – kitab tafsir diatas juga menggunakan corak bi Ar-ra’yi meskipun tidak
begitu dominan. Tafsir Ath – Thabari yang disebut Al- Hufi sebagai kitab yang
menjauhi corak bi Ar-ra’yi. Misalnya ternyata juga menggunakan ijtihad
9
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), Cet. 1, hlm: 67.
15
mengarangnya, terutama ketika menyelesaikan periwayatan – periwayatan yang
kontradiktif.
Satu-satunya kitab tafsir bi Al-ma’tsur yang barangkali murni adalah
tafsir Ad-Durr Al-ma’tsur, karya As-Suyuthi. Mengingat merupakan corak
tafsir yang merujuk diantaranya kepada Al-Qur’an dan hadist, dua sumber
kehidupan umat islam, dapat dipastikan tafsir bi Al-ma’tsur memeliki
keistimewaan tertentu dibandingkan dengan corak penafsiran lainnya. Diantara
keistimewaan itu, sebagaimana dicatat Quraish Shihab adalah sebagai berikut:10
a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an
b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan –
pesannya
c) Mengikat mufassir dalam bingkai ayat – ayat sehingga membatasinya
untuk tidak terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.
10
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. 1, hlm. 147.
11
Ibid., hlm. 147.
16
2. Tafsir bi Al-Ra’yi
Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti keyakinan (i’tiqad),
analogi (qiyas), dan ijtihad, sedangkan dalam terminologi tafsir adalah ijtihad.12
Dengan demikian, tafsir bi ar-ra’yi juga disebut dengan tafsir dirayah.
Sebagaimana didefinisikan Adz–Dzahabi yaitu tafsir yang penjelasannya
diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa
arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta masalah penafsiran
seperti asbabun nuzul dan nasikh-mansukh. Selain itu, Al-Farmawi juga
mendefinisikannya sebagai berikut menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad
setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-
orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata-kosakata arab serta
muatan artinya. Untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, mufassir juga
dibantu oleh Syi’ir Jahiliyah, asbabun an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lainnya
yang dibutuhkan oleh seorang mufassir. Sebagaimana diutarakan pada
penjelasan tentang syarat-syarat menjadi mufassir.
Tafsir bi ar-ra’yi muncul sebagai sebuah corak penafsiran belakangan
setelah munculnya tafsir bi al-matsur walaupun sebelumnya ra’yi dalam
pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur’an.
Apalagi kalau salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Diantara penyebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi ar- ra’yi
adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan
kemunculan keberagaman disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka wana
metode penafsiran, dan pakar-pakar yang ada pada bidang nya masing-masing.
Pada akhirnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang
displin ilmu yang dikuasainya. Diantara mereka ada yang lebih menekan kan
balaghah, seperti az-zamakhsyari atau telaah hukum seperti Al-Qurthubi atau
telaah keistimewaan bahasa seperti Abi As Su’ud atau telaah qira’ah seperti An-
Naisaburi dan An-Nasafi, atau telaah mazhab-mazhab kalam dan filsafat seperti
Ar-Razi. Hal ini tampaknya dapat dipahami sebab disamping sebagai seorang
mufassir, seseorang dapat saja ahli dalam bidang fiqih, bahasa, filsafat,
astronomi ataupun kalam. Tatkala ada Al-Qur’an yang berkaitan dengan
12
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. 1, hlm. 152.
17
disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka mengeluarkan sebuah pengetahuan
tentangnya sehingga terkadang mereka lupa akan inti ayat yang bersangkutan.
Kemunculan tafsir bi ar-ra’yi dipicu pula oleh hasil interaksi umat islam
dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu,
dalam tafsir bi ar-ra’yi ditemukan peranan akal yang sangat dominan. Dari sana
muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagaimana yang kita lihat
saat ini.
Mengenai keabsahan tafsir bi ar-ra’yi, pendapat para ulama terbagi
kedalam dua kelompok yaitu:13
a) Kelompok yang melarang. Bahkan menjelang abad II H, corak
penafsiran ini belum mendapatkan legitiminasi yang luas dari ulama
yang menolaknya. Ulama yang menolak penggunaan corak tafsir ini
mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1) Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan
firman Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil
penafsirannya bersifat perkiraan semata.
2) Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an hanya Nabi
3) Rasulullah SAW bersabda
‘’siapa saja yang menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pikirannya
semata, atau atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya maka
persiapkanlah mengambil tempat neraka.”
4) Sudah merupakan tradisi dikalangan sahabat dan tabi’in untuk
berhati – hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an.
b) Kelompok yang mengizinkannya untuk mereka mengemukakan
argumentasi berikut ini:
1) Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat yang menyerukan
untuk mendalami kandungan – kandungan Al-Qur’an.
2) Seandainya tafsir bi ar-ra’yi dilarang, mengapa ijtihad
diperbolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-
Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihaad
terhadap ayat – ayat yang belum dijelaskan oleh Nabi.
13
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. 1, hlm. 152.
18
3) Para sahabat Nabi biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran
suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al-
Qur’an dengan ra’yi nya. Seandainya tafsir bi ar-ra’yi dilarang,
tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
4) Rasulullah SAW pernah berdoa untuk Ibnu Abbas. Doa itu
berbunyi :‘’Ya Allah, berilah pemahaman agama kepada Ibnu
Abbas dan ajarkan ia takwil.”
Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menukil
riwayat saja, tentunya pengkhususan doa diatas untuk Ibn Abbas
tidak bermakna apa – apa. Dengan demikian, maka takwil yang
dimaksud dalam doa itu adalah sesuatu diluar penukilan yaitu
ijtihad dan pemikiran.
19
menyimpang dari cara yang dibenarkan sehingga, penafsirannya ditolak, tidak
dapat diterima.
Diantara contoh bi ar-ra’yi yang tidak dapat diterima adalah sebagai
berikut:14
a) Penafsiran golongan syi’ah terhadap kata Al-baqarah (Q.S Al-Baqarah
(2) ayat 67) dengan Aisyah r.a
b) Penafsiran sebagai mufassir terdapat surat Al-Baqarah (2) ayat 74.
“Padahal diantara batu – batu itu sugguh ada yang mengalir sungai –
sungai darinya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air darinya dan diantarany sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada Allah.” (Q.S Al-Baqarah (2) 74 )
Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara, dan jatuh
karena takut kepada Allah.
c) Penafsiran sebagai mufassir terhadap surat An – Nahl (16) ayat 68:
‘’Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘’buatlah sarang – sarang
dibukit – bukit, dipohon – pohon kayu, dan ditempat – tempat yang
dibuat manusia.’’ (Q.S An- Nahl (16) 68)
Mereka berpendapat bahwa diantara lebah – lebah itu, ada yang diangkat
sebagai nabi yang diberi wahyu oleh Allah. Kemudian mereka
mengemukakan cerita–cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara
itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh
kepohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah kemudian lebah
tersebut menggunakan tetesan lilin itu untuk membuat sarang-sarang
dan madu.
14
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. 1, hlm. 156
15
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), Cet. 1, hlm: 105.
20
f) Irasyad al-‘Aql al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya Abu al-
Su’ud
g) Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan
h) Al-Siraj al-Munir Fi al-I’anah Ala Ma’rifah Kalam Rabbina al-Khabir
karya al-Khathib al-Khathib al-Syarbini
i) Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi
j) Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi
k) Ruh al-Ma’mi Fi Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim wa al-Sab’ al-Matsami
karya al-Alusi
l) Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fannai al-Riwayah wa al-Dirayah Min Ilm
al-tafsir karya al-Syaukani
m) Zad al-masir Fi Ilm al-Tafsir karya Imam Abu al-faraj Abdurrahman
ibnu al-Jauzi
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sejarah tafsir dan urgensinya, bermula dari minimnya pemahaman tentang ayat-
ayat Al-qur’an.
2. Perkembangan tafsir di masa Nabi, sahabat, dan tabi’in
a) Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan penjelasan mengenai sesuatu
yang global, menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum,
memberikan batasan untuk hal-hal yang muthlak, dan menjelaskan makna kata.
b) Tafsir Pada Masa Sahabat, meliputi:
1) Perbedaan Pemahaman Para Sahabat Mengenai Al-Qur’an
2) Ciri Khusus Tafsir Sahabat
3) Sumber Rujukan Tafsir Sahabat
4) Sahabat yang Terkenal dalam Bidang Ilmu Tafsir
5) Madrasah Tafsir pada Masa Sahabat
6) Nilai Tafsir Sahabat
c) Tafsir Masa Tabi’in, meliputi:
1) Metode yang Digunakan Tabi’in
2) Mufassir yang Terkenal pada masa Tabi’in.
3) Nilai dari Tafsir Tabi’in
3. Macam-macam tafsir meliputi:
a) Tafsir bi Al-ma’tsur, adalah penafsiran Al-Qur’an yang mendasarkan
pada penjelasan Al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para
sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.
22
b) Tafsir bi Al-Ra’yi, yaitu tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan
ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa arab dan
metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta masalah penafsiran
seperti asbabun nuzul dan nasikh-mansukh.
DAFTAR PUSTAKA
Abidu, Yunus Hasan. 2007. Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Al-Qaththan, Manna Khalil. 2012. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Diterjemahkan oleh: Mudzakir.
Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
23