Está en la página 1de 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syariah berkembang dalam skala
besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-
istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-
istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-
benar jauh dari pelanggaran syariat Islam ataukah hanya rekayasa semata. Melihat
banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam makalah ini penulis akan membahas
salah satu produk tersebut dalam konsep perbankan syariah. Salah satu dari produk
tersebut adalah Murabahah.

Murabahah adalah salah satu dari bentuk akad jual beli yang telah banyak
dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam perbankan syariah yang memiliki prospek keuntungan yang cukup
menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah Sehingga semua atau
hampir semua lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai produk financing
dalam pengembangan modal mereka.
BAB II
KAIDAH FIQH MUAMALAH DAN PENERAPAN
MURABAHAH DI PERBANKAN SYARIAH

A. Pengertian Kaidah

Kaidah atau al-qa’idat (Arab) jamaknya adalah al-qawa’id. Ia secara bahasa


berarti asas, dasar, atau pondasi, QS. AL-Baqarah [2]: 127).1 Adapn secara
terminologi, kata kaidah memiliki beberapa makna yang diantaranya:

a. Menurut As-Suyuthi dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair bahwa kaidah


adalah hukum yang bersifat kulli (menyeluruh) atau general law yang
meliputi semua bagiannya.2
b. Menurut Mustafa Az-Zarqa, kaidah ialah hukum yang bersifat aghlabii
(berlaku sebagian besar) yang meliputi sebgian besar dalilnya.3
c. Ada juga yang mendefinisikan kaidah iaah pengendalian dari hukum-huum
furu’ yang bermacam-macam dengan meletakannya dalam suatu wadah
(kaidah) yang umum (kulli) yang mencakup seluruh furu’.4

Jadi menurt analisis penulis, kaidah merupakan rumusan-rumusan yang bersifat


global guna membantu para mujtahid dalam dalam penetapan hukum tentang
masalah furu’ (cabang).5

Dari sisi sifat dan muatannya, kaidah itu ada yang kully, juz’i, far’i, dhâbit, dan
lâhiq. Kaidah kully adalah kaidah induk yang bersifat general/umum. Ia adalah
kaidah besar yang mencakup hampir keseluruhan cabang. Ia semisal pohon yang
meliputi cabang dan rantingnya. Kaidah juz’i merupakan turunan dari kaidah kully.

1 Atang Abd. Hakim, Fiqh Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011),
hlm.184
2 Fathi Ridwan, Min Falsafah At-Tasyri’Al-Islam, (Kairo: Dar al-Katib Al-‘Arabi, 1969),
hlm. 171-172
3 T.M Hasbi Ash-Siddieqy, Falsafah Hukum Islam, op.cit., hlm. 442-443
4 Abdul Mujid, Kaidah-Kaidah Ilu Fikih, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), hlm. 7
5 Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo)
Ia adalah cabang atau bagian dari kully, dengan demikian, dalam kully terdapat
beberapa juz’i. Kaidah dalam bentuk dhâbit (jamaknya dhawâbit) adalah kaidah
lebih khusus dibandingkan dengan kaidah kully. Ia merupakan ranting (far’i) dari
cabang (juz’i). Adapun kaidah bentuk lâhiq jamaknya lawâhiq adalah kaidah yang
ُ ‫)أَخ‬. Kiadah ini lebih spesipik yang mengurai
َ ‫َص ِمنَ ال‬
lebih khusus dari dhâbit (‫ظا ِب ِط‬
kaidah bentuk dhâbit.
Dilihat dari asal-usulnya, secara garis besarnya kaidah fiqih dapat dibedakan
menjadi empat macam:
1. Berasal dari teks hadits Nabi Muhammad SAW seperti
َ ‫الَض ََر َر َوالَ ِض َر‬
‫ار‬
“Dilarang menimbulkan kemudharatan dan dilarang membalas kemudharatan
sejenis’.
Kaidah ini adalah teks hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik
di dalam kitab “al-Muwatha”, Ibn Majah dan Imam Ahmad di dalam kitab “al-
Musnad”.

2. Barasal dari makna dan pengertian hadits Nabi SAW, seperti;


‫األ َ َم ْو ُر بِ َمقّا ِص ِد َها‬
“Segala urusan itu tergantung kepada niatnya (tujuannya)”. Kaidah ini berasal
dari hadits Nabi SAW;
ِ ‫إِنَّ َما األ َ ْع َما ُل ِبا لنِّيَّا‬
... ‫ت‬
“Bahwasanya sahnya segala urusan itu tergantung kepada niat...”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Umar ibn
Khattab r.a

3. Kaidah yang bersumber dari makna Aquran, seperti kaidah;


‫العَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬
“Adat kebiasaan itu dapat dijadikan sebagai sumber hukum”.
Kaidah ini berasal dari makna ayat 199 dari Surat al-‘A’raf, yaitu;
ِ ‫َواْ ُم ْر بِالعُ ْر‬
... ‫ف‬
“Perintahlah dengan kebaikan (yang sudah menjadi adat)...”. Sebagian ulama,
yaitu dari kalangan madzhab Hanafi, mengatakan kaidah ini bersumber dari
hadits Nabi SAW berikut ini;
‫ّللاِ أ َ ْمر قَ ِبيْح‬
ّ ‫سن َما َرأَه ال ُمس ِل ُم ْونَ قَ ِبيْحا فَ ُه َو ِع ْن َد‬
َ ‫ّللاِ أ َ ْمر َح‬ َ ‫َما َرأَه ال ُمس ِل ُم ْونَ َح‬
ّ ‫سنا فَ ُه َو ِع ْن َد‬
“Sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin baik maka di sisi Allah SWT juga
baik dan sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin jelek maka di sisi Allah
SWT juga jelek”.

4. Kaidah yang berasal dari perkataan seorang mujtahid, seperti kaidah;


‫ٍّق َثَا ِبٍت َم ْع ُر ْوف‬
ّ ‫َشيْئا ِم ْن ُيَ ِد أحَد إالَّ ِب َح‬ ِ ُ‫ْس ِلإل َم ِام أ َ ْن ُي‬
َ ‫خر ََج‬ َ ‫لَي‬
“Imam (pemerintah) tidak boleh mengeluarkan sesuatu (benda) dari tangan
(kepemilikan) seseorang melainkan dengan alasan yang benar dan telah diketahui
(kebenaran alasan tersebut)”.6

1. Kaidah Hukum Islam


Di dalam kaidah hukum islam ada yang disebut dengan panca kaidah yaitu
kaidah-kaidah yang disepakati oleh seluruh pakar hukum islam.panca kaidh
tersebut adalah:
(1) ِ َ‫االُ ُم ْو ُر بِ َمق‬
‫اص ِد َها‬ (setiap perkara tergantung atas niatnya);
Kaidah di atas bermakna: Sesungguhnya perbutan-perbuatan seorang mukalaf
dan bentuk-bentuk hubungannya, baik dalam bentuk ucapan, maupun perbuatan,
hasil dan hukumnya itu berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuannya; apa
tujuan ia melakukan perbuatan dan atau bentuk hubungan yang ia lakukkan itu.
Dengan kata lain, hukum itu bertahap atau bertingkat sesuai dengan maksud dan
tujuan perbuatan tersebut.
Kaidah induk ini melahirkan dua kaidah besar yang kemudian di bawahnya
timbul kaidah-kaidah lainnya. Kedua kaidah tesebut berbunyi: pertama, kaidah
dalam perikatan (uqu’d); kedua, kaidah dalam persumpahan (al-aima’an).

6 Atang Abd Hakim, Silabus Perkuliahan


(2) ‫ا لض ََر ُرال ُيُ َزا ُل بِا الض ََر ِر‬ (kemadaratan/bahaya itu harus dihilangkan);
Kaidah ini diinterprestasikan sebagai berikut: Seseorang tidak boleh merusak
atau merugikan orang lain, baik dengan cara melakukan kerusakan atas orang lain
atau dengan cara melakukan pembalasan atas kerusakan yabg ditimbulkan oleh
orang lain atas dirinya. Kaidah ini menjadi landasan bagi larangan dan cegahan
perbuatan yang membahayakan serta landasan keharusan menentukan sesuatu yang
maslahat dalam bentuk mengambil manfaat.
(3) ‫ال َي ِق ْينُ الَُيُ َزا ُل بِالش َِّك‬ (keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan
keraguan);
Kaidah ini berlaku di dalam semua bidang dan bab hukum. Masalah-masalah
hukum yang berkenaan dengan kaidah ini hampir mencapai sepertiga atau
seperempat dari keseluruhan masalah hukum.
(4) ُ ‫شقَّةُ تَجْ ِل‬
‫ب الت َ ْيسِر‬ َ ‫ال َم‬ (kesulitan itu mendatangkan kemudahan);
Kaidah di atas mengandung pengertian bahwa sesungguhnya hukum-hukum
yang pelaksanaanya menyulitkan atas mukalaf dan atau memberatkan atas diri,
jiwa, atau hartanya itu diringankan sesuai dengan tingkat kemampuan si mukalaf
tersebut. Dengan kata lain pelaksanaan hukum itu disesuaikan dengan kemampuan
mukalaf sehingga dalam prakteknya tidak akan merusak diri, jiwa, atau harta si
mukalaf.
(5) ‫العَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬ (adat itu bisa dijadikan hukum).
Kaidah di atas mengandung pengertian bahwa sesungguhnya pembuatan
hukum (baca: Allah) memandang bahwa hukum-hukum itu tunduk kepada adat
dalam hubungannya deengan manusia satu dengan yang lainnya dala pelaksanaan
tidakan hukumnya (tasharruf). Oleh karena itu, ketetapan huum itu dibuat sesuai
dengan apa yang ditetapkan adat sepanjang adat itu tidak bertentangan dengan teks
hukum (nash).7
Dari panca kaidah di atas berlanjut ke kaidah yang umum yang bisa
dipergunakan dalam semua jenis ilmu fiqih. Berikut ini beberapa contoh kaidah
yang bersifat umum, yaitu:

7 Juhaya S.Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Lathifah Press, 1995), hlm. 125-131
‫اجب‬ َ ِ‫ب الَُيُتْ َركُ إالَّ ب‬
ِ ‫الو‬ ُ ‫اج‬
ِ ‫الو‬
َ
"Sesutu yang wajib hukumnya tidak boleh ditinggalkan kecuali ada yang wajib
lagi”.
ِ ‫ب إالَّ ِب ِه فَ ُه َو َو‬
‫اجب‬ ُ ‫اج‬ َ ‫َما الَ ُيَتِ ْي ُم‬
ِ ‫الو‬
“Penyempurna suatu kewajiban itu wajib adanya.
‫اإلجْ ِتهَا َد‬
ِ ‫ض‬ ُ َ‫اإلجْ تَهَا ُد ال َُي ْنق‬
" Ijtihad itu tidak menggugurkan ijtihad lainnya”.
‫ض بِ ِمثْ ِل ِه‬
ُ َ‫اإلجْ تَهَا ُد الَُيُ ْنق‬
“Ijtihad itu tidak bisa digugurkan dengan ijtihad lain yang serupa”.
‫التَّا ِب ُع تَا ِبع‬
"Hukum yang mengikuti sama dengan hukum yang diikuti”.
ِ‫سقُ ْو ِط ال َم ْطبُ ْوع‬ ُ ُ‫سق‬
ُ ِ‫ط ب‬ ْ َ‫التَّابِ ُع ُي‬
" Hukum pengikut menjadi gugur dengan gugurnya hukum yang diikuti”.
‫التَّابِ ُع الَ ُيَ ْف ُر ُد بِال ُحك ِْم‬
“Pengikut tidak memiliki hukum tersendiri”.
‫األَقَ ُل تَا ِبع ِلألَ ْكثَ ِر‬
“Yang jumlahnya sedikit mengikuti hukum yang jumlahnya banyak”.

ِ ‫علَى ال َم ْطبُ ْو‬


‫ع‬ َ ‫التَّابِ ُع الَُيَتَقَ َّد ُم‬
“Pengikut itu tidak mendahuli yang diikuti”.
َ ‫ِل ْل َو‬
‫سا ِئ ِل ُح ْك ُم ال َمقَا ِص ِد‬
“hukum perantara/sarana sama dengan hukum tujuan”.
Dari kaidah yang berlaku menyeluruh bagi semua bidang fiqih turun kepada
kaidah yang bersifat khusus, yaitu untuk bidang ilmu fiqh tertentu seperti bagi ilmu
fiqih muamalah yang pada gilirannya melahirkan kaidah ilmu fiqih muamalah.

2. Kaidah Ilmu Fiqih Muamalah


Ilmu fiqih muamalah meliputi beragam norma, di antaranya ialah:
- norma jual beli (al-ba’i) antara lain: al-murâbahah, al-salam, dan al-
istishnâ’;
- bagi hasil (al-mudhârabah/al-qiradh/al-muqâradah);
- simpanan (al-wadî’ah);
- kerja sama (al-musyârakah/al-syirkah);
- sewa menyewa (al-ijârah); peminjaman (al-qardh); pendelegasian (al-
wakâlah);
- penjaminan (al-kafâlah);
- pemindahan tanggung jawab/pengalihan utang (al-hawâlah);
- dan bercocoktanam/pertanian (al-muzâra’ah)
Dalam setiap norma ini terdapat beberapa unsur, yaitu pelaku (al-‘âqidain),
transaksi (al-‘aqd), barang (al-‘ain), harga (al-tsaman), tenggang waktu (al-wakt),
al-shighah/al-ijab wa al-qabul. Dari norma dan unsur yang terdapat dalam norma
inilah kemudian kaidah fiqh disusun.
Fiqih muamalah sebagai transaksi perpindahan hak kepemilikan memiliki
hukum asal yang jelas, yaitu al-ibahah. Artinya bahwa syara’ memperbolehkan
semua bentuk muamalah, kecuali ada faktor lain yang yang mengharamkan. Hukum
asal ini mengacu kepada kaidah;
ُ‫اإلبَاحَة‬
ِ ‫فى ال ُمعَا لَ ِة‬ ْ َ‫األ‬
ِ ‫ص ُل‬
“Hukum asal muamalah itu diperbolehkan”.
‫ع‬ ِ ‫اإل َبا َح ِة ِفى ج َِمي ِْع الم ْنتَ ِف َعا‬
ُ ‫ت إالَّ َماح ََّر َمهُ الش َّْر‬ ِ ‫َلى‬ ْ َ ‫األ‬
َ ‫َش َيا ُء ع‬
"Hukum asal sesutu yang bermanfaat itu diperbolehkan kecuali yang diharamkan
oleh syara’”.
Dalam lingkup muamalah, kaidah ini bersifat umum tetapi tidak sampai kepada
derajat keumuman kaidah hukum Islam yang diterapkan kepada semua bidang ilmu
fiqih. Ia umum tetapi, hanya berlaku dalam ilmu fiqih muamalah. Sifat keumuman
ini diturunkan kepada kaidah yang khusus (al-dhâbit/al-dhawâbit) yang
diberlakukan dalam satu norma tertentu, umpamanya dalam al-musyârakah. Dari
dhabit diturunkan lagi kepada kaidah yang lebih khusus (al-lâhiq/al-lawâhiq) yang
diterapkan dalam unsur norma yang terdapat, umpamanya dalam rukun dan syarat
al-musyarakah.
Di antara kaidah fiqih yang membicarakan jual beli adalah:
‫اطل‬
ِ َ‫بَ ْي ُع ال َّدُي ِْن بِال َّدُي ِْن ب‬
“Jual utang dengan utang itu batal”.
ِ ‫بَ ْي ُع ال َمجْ ُه ْول فَا‬
‫سد‬

“Jual beli barang yang tidak diketahui itu rusak (batal)”. (salah satu saratnya tidak
terpenuhi, contoh kadarnya tidak jelas).
‫البَ ْي ُع ُيَ ِص ُح فِى ال َمجْ ُه ْو ِل ِع ْن َد الحَا َج ِة‬
“Jual beli yang barangnya tidak diketahui adalah syah jika ada kebutuhan yang
mendesak”.8

B. Akad Murabahah
1. Pengertian Murabahah
Kata Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna: saling) yang
diambil dari bahasa Arab, yaitu ar-ribhu (‫)الربْح‬
ِ yang berarti kelebihan dan
tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan saling menambah
(menguntungkan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli
dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual
barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua penjual dan pembeli dengan
tambahan keuntungan yang jelas.9
2. Rukun dan Syarat Murabahah
Rukun murabahah dalam perbankan (sama dengan fiqih dan dianalogikan
dalam praktek perbankan):
a. Penjual (ba'i);
b. Pembeli (musytari)
c. Barang yang diperjualbelikan (mabi'), yaitu jenis pembiayaan seperti
pembiayaan investasi.
d. Harga (tsaman) dianalogikan sebagai pricing atau plafond pembiayaan.
e. Ijab Qabul dianalogikan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan
persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.10

8 Atang Abd Hakim, Silabus Perkuliahan


9 Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”, (Jakarta:
2004) hlm, 198.
10 Arison Hendry, Perbankan Syari'ah: Perspektif Praktisi, (Jakarta: Mu'amalat Institute,
1999), hlm. 43.
Beberapa syarat pokok murabahah menurut Usmani (1999), antara lain sebagai
berikut.
a. Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual secara
eksplisit menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya dan
menjual kepada orang lain dengan menambahkan tingkat keuntungan yang
diinginkan.
b. Tingkat keuntungan dalam murabahah dapat ditentukan berdasarkan
kesepakatan bersama dalam bentuk lumpsum atau persentase tertentu dari
biaya.
c. Semua biaya yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh barang,
seperti biaya pengiriman, pajak, dan sebagainya dimasukkan ke dalam biaya
perolehan untuk menentukan harga agregat dan margin keuntungan
didasarkan pada harga agregat ini. Akan tetapi, pengeluaran yang timbul
karena usaha, seperti gaji pegawai, sewa tempat usaha, dan sebagainya tidak
dapat dimasukkan ke dalam harga untuk suatu transaksi. Margin
keuntungan yang diminta itulah yang meng-cover pengeluaran-pengeluaran
tersebut.
d. Murabahah dikatakan sah hanya ketika biaya-biaya perolehan barang dapat
ditentukan secara pasti. Jika biaya-biaya tidak dapat dipastikan, barang/
komoditas tersebut tidak dapat dijual dengan prinsip murabahah.11
Bentuk-bentuk akad murabahah antara lain:
a. Murabahah Sederhana
Murabahah sederhana adalah bentuk akad murabahah ketika penjual
memasarkan barangnya kepada pembeli dengan harga sesuai harga
perolehan ditambah marjin keuntungan yang diinginkan.
b. Murabahah kepada Pemesan
Bentuk murabahah ini melibatkan tiga pihak, yaitu pemesan,
pembeli dan penjual. Bentuk murabahah ini juga melibatkan pembeli
sebagai perantara karena keahliannya atau karena kebutuhan pemesan akan

11 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, hlm. 84-85


pembiayaan. Bentuk murabahah inilah yang diterapkan perbankan syariah
dalam pembiayaan. 12
3. Penerapan Murabahah Dalam Perbankan Syariah
Mekanisme penerapan murabahah dalam perbankan syariah adalah pembiayaan
murabahah yang dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja,
pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme
pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:
a. Pengadaan Barang
Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli
murabahah, seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang
untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah
menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank
syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya.
Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan menganggap bahwa ia
layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank
kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada pemohon, yaitu
nasabah.
b. Modal Kerja (Modal Kerja Barang)
Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan
dengan prinsip jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya
berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan pembelian barang berulang-
ulang. Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat
menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal
kerja dalam bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip
mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (penyertaan modal). Karena, jika
pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang menggunakan mekanisme
murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance (pembiayaan
konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga.

12 ibd, hlm. 90
Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang
dan dalam murabahah menggunakan transaksi jual beli.
c. Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)
Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme
jual beli murabahah. Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala
bentuk barang yang dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah,
genteng, cat, kayu dan lainlain. Transaksi dalam pembiayaan ini hanya
berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang.13

13 Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di
Indonesia (jurnal), hlm.16-18
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Penerapan konsep murabahah pada Bank Syariah dihubungkan dengan
pandangan ulama mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang dipraktikkan pada
LKS dikenal dengan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ , yaitu transaksi jual beli di mana
seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas dengan
kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut secara
murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan
yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara
installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki. Mengenai
kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira’ ulama kontemporer berbeda
pendapat. Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan.
Penerapan murabahah dalam praktik bank syariah terbagi kedalam beberapa tipe
yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu tipe konsisten terhadap
fiqih muamalah, Tipe Kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan
kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan
bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima
barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank, dan Tipe Ketiga
ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan perjajian
murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada
nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abd. Hakim, 2011, Fiqh Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama

Fathi Ridwan, 1969, Min Falsafah At-Tasyri’Al-Islam, Kairo: Dar al-Katib

Al ‘Arabi

T.M Hasbi Ash-Siddieqy, Falsafah Hukum Islam, op.cit.,

Abdul Mujid, 1999, Kaidah-Kaidah Ilu Fikih, Jakarta: Kalam Mulia

Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo

Atang Abd Hakim, Silabus Perkuliahan

Juhaya S.Praja, 1995, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Lathifah Press

Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, 2004, Fikih Ekonomi Keuangan

Islam”, Jakarta:

Arison Hendry, Perbankan Syari'ah, 1999, Perspektif Praktisi, Jakarta: Mu'amalat

Institute

Ascarya, 2006, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Bank Indonesia

Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan

Syariah di Indonesia (jurnal)

También podría gustarte