Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syariah berkembang dalam skala
besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-
istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-
istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-
benar jauh dari pelanggaran syariat Islam ataukah hanya rekayasa semata. Melihat
banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam makalah ini penulis akan membahas
salah satu produk tersebut dalam konsep perbankan syariah. Salah satu dari produk
tersebut adalah Murabahah.
Murabahah adalah salah satu dari bentuk akad jual beli yang telah banyak
dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam perbankan syariah yang memiliki prospek keuntungan yang cukup
menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah Sehingga semua atau
hampir semua lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai produk financing
dalam pengembangan modal mereka.
BAB II
KAIDAH FIQH MUAMALAH DAN PENERAPAN
MURABAHAH DI PERBANKAN SYARIAH
A. Pengertian Kaidah
Dari sisi sifat dan muatannya, kaidah itu ada yang kully, juz’i, far’i, dhâbit, dan
lâhiq. Kaidah kully adalah kaidah induk yang bersifat general/umum. Ia adalah
kaidah besar yang mencakup hampir keseluruhan cabang. Ia semisal pohon yang
meliputi cabang dan rantingnya. Kaidah juz’i merupakan turunan dari kaidah kully.
1 Atang Abd. Hakim, Fiqh Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011),
hlm.184
2 Fathi Ridwan, Min Falsafah At-Tasyri’Al-Islam, (Kairo: Dar al-Katib Al-‘Arabi, 1969),
hlm. 171-172
3 T.M Hasbi Ash-Siddieqy, Falsafah Hukum Islam, op.cit., hlm. 442-443
4 Abdul Mujid, Kaidah-Kaidah Ilu Fikih, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), hlm. 7
5 Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo)
Ia adalah cabang atau bagian dari kully, dengan demikian, dalam kully terdapat
beberapa juz’i. Kaidah dalam bentuk dhâbit (jamaknya dhawâbit) adalah kaidah
lebih khusus dibandingkan dengan kaidah kully. Ia merupakan ranting (far’i) dari
cabang (juz’i). Adapun kaidah bentuk lâhiq jamaknya lawâhiq adalah kaidah yang
ُ )أَخ. Kiadah ini lebih spesipik yang mengurai
َ َص ِمنَ ال
lebih khusus dari dhâbit (ظا ِب ِط
kaidah bentuk dhâbit.
Dilihat dari asal-usulnya, secara garis besarnya kaidah fiqih dapat dibedakan
menjadi empat macam:
1. Berasal dari teks hadits Nabi Muhammad SAW seperti
َ الَض ََر َر َوالَ ِض َر
ار
“Dilarang menimbulkan kemudharatan dan dilarang membalas kemudharatan
sejenis’.
Kaidah ini adalah teks hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik
di dalam kitab “al-Muwatha”, Ibn Majah dan Imam Ahmad di dalam kitab “al-
Musnad”.
7 Juhaya S.Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Lathifah Press, 1995), hlm. 125-131
اجب َ ِب الَُيُتْ َركُ إالَّ ب
ِ الو ُ اج
ِ الو
َ
"Sesutu yang wajib hukumnya tidak boleh ditinggalkan kecuali ada yang wajib
lagi”.
ِ ب إالَّ ِب ِه فَ ُه َو َو
اجب ُ اج َ َما الَ ُيَتِ ْي ُم
ِ الو
“Penyempurna suatu kewajiban itu wajib adanya.
اإلجْ ِتهَا َد
ِ ض ُ َاإلجْ تَهَا ُد ال َُي ْنق
" Ijtihad itu tidak menggugurkan ijtihad lainnya”.
ض بِ ِمثْ ِل ِه
ُ َاإلجْ تَهَا ُد الَُيُ ْنق
“Ijtihad itu tidak bisa digugurkan dengan ijtihad lain yang serupa”.
التَّا ِب ُع تَا ِبع
"Hukum yang mengikuti sama dengan hukum yang diikuti”.
ِسقُ ْو ِط ال َم ْطبُ ْوع ُ ُسق
ُ ِط ب ْ َالتَّابِ ُع ُي
" Hukum pengikut menjadi gugur dengan gugurnya hukum yang diikuti”.
التَّابِ ُع الَ ُيَ ْف ُر ُد بِال ُحك ِْم
“Pengikut tidak memiliki hukum tersendiri”.
األَقَ ُل تَا ِبع ِلألَ ْكثَ ِر
“Yang jumlahnya sedikit mengikuti hukum yang jumlahnya banyak”.
“Jual beli barang yang tidak diketahui itu rusak (batal)”. (salah satu saratnya tidak
terpenuhi, contoh kadarnya tidak jelas).
البَ ْي ُع ُيَ ِص ُح فِى ال َمجْ ُه ْو ِل ِع ْن َد الحَا َج ِة
“Jual beli yang barangnya tidak diketahui adalah syah jika ada kebutuhan yang
mendesak”.8
B. Akad Murabahah
1. Pengertian Murabahah
Kata Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna: saling) yang
diambil dari bahasa Arab, yaitu ar-ribhu ()الربْح
ِ yang berarti kelebihan dan
tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan saling menambah
(menguntungkan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli
dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual
barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua penjual dan pembeli dengan
tambahan keuntungan yang jelas.9
2. Rukun dan Syarat Murabahah
Rukun murabahah dalam perbankan (sama dengan fiqih dan dianalogikan
dalam praktek perbankan):
a. Penjual (ba'i);
b. Pembeli (musytari)
c. Barang yang diperjualbelikan (mabi'), yaitu jenis pembiayaan seperti
pembiayaan investasi.
d. Harga (tsaman) dianalogikan sebagai pricing atau plafond pembiayaan.
e. Ijab Qabul dianalogikan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan
persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.10
12 ibd, hlm. 90
Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang
dan dalam murabahah menggunakan transaksi jual beli.
c. Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)
Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme
jual beli murabahah. Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala
bentuk barang yang dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah,
genteng, cat, kayu dan lainlain. Transaksi dalam pembiayaan ini hanya
berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang.13
13 Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di
Indonesia (jurnal), hlm.16-18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penerapan konsep murabahah pada Bank Syariah dihubungkan dengan
pandangan ulama mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang dipraktikkan pada
LKS dikenal dengan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ , yaitu transaksi jual beli di mana
seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas dengan
kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut secara
murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan
yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara
installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki. Mengenai
kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira’ ulama kontemporer berbeda
pendapat. Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan.
Penerapan murabahah dalam praktik bank syariah terbagi kedalam beberapa tipe
yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu tipe konsisten terhadap
fiqih muamalah, Tipe Kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan
kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan
bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima
barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank, dan Tipe Ketiga
ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan perjajian
murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada
nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abd. Hakim, 2011, Fiqh Perbankan Syariah, Bandung: PT Refika Aditama
Al ‘Arabi
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Islam”, Jakarta:
Institute
Ascarya, 2006, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Bank Indonesia