Está en la página 1de 21

Tugas : KEPERAWATAN MENJELANG AJAL

Dosen Pembimbing : Wahyuni Maria Prasetyo Hutomo, S.Kep, Ns. M.Kes

AIDS

KELOMPOK 4 :

1. Sintya Yolastri Lubuk ( NH0116165)


2. Siti Nazhomiah (NH0116166)
3. Siti Regita Cahyani (NH0116167)
4. Soniaty (NH0116168)
5. Sri Mulyan (NH0116169)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena
berkatNya Sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik .Dalam
makalah ini kami membahas topik mengenai “AIDS “. Makalah Ini dibuat dari
beberapa sumber. Oleh Karena Itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah yang


kami susun ini . Oleh Karena Itu, kami membutuhkan saran atau kritik yang
membangun dari pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Makassar, 29 Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................ 1
C. TUJUAN ......................................................................................... 1
D. MANFAAT ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Patofisiologi Proses ......................................................................... 3
B. Peran Sistem Imun ........................................................................... 5
C. Deteksi Dan Pencegahan ................................................................. 4
D. Diagnosis ......................................................................................... 10
E. Penatalaksanaan ............................................................................... 11
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 16
A. KESIMPULAN ............................................................................... 16
B. SARAN............................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama, AIDS adalah suatu penyakit yang
belum ada obatnya dan belum ada vaksin yang bisa mencegah serangan virus
HIV, sehingga penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang sangat
berbahaya bagi kehidupan manusia baik sekarang maupun waktu yang datang.
Selain itu AIDS juga dapat menimbulkan penderitaan, baik dari segi fisik
maupun dari segi mental. Mungkin kita sering mendapat informasi melalui
media cetak, elektronik, ataupun seminar-seminar, tentang betapa
menderitanya seseorang yang mengidap penyakit AIDS. Dari segi fisik,
penderitaan itu mungkin, tidak terlihat secara langsung karena gejalanya baru
dapat kita lihat setelah beberapa bulan. Tapi dari segi mental, orang yang
mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS akan merasakan penderitaan
batin yang berkepanjangan. Semua itu menunjukkan bahwa masalah AIDS
adalah suatu masalah besar dari kehidupan kita semua. Dengan pertimbangan-
pertimbangan dan alasan itulah kami sebagai pelajar, sebagai bagian dari
anggota masyarakat dan sebagai generasi penerus bangsa, merasa perlu
memperhatikan hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana patofisiologi dari AIDS
2. Bagaimana peran sistem imun dalam AIDS
3. Bagaimana deteksi dan pencegahan AIDS
4. Bagaiamana diagnosis dari AIDS
5. Bagaimana penatalaksanaan dari AIDS
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui patofisiologi AIDS
2. Untuk mengetahui peran sistem imune dalam AIDS

1
3. Untuk mengetahui deteksi dan pencegahan AIDS
4. Untuk mengetahui diagnosis AIDS
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan AIDS
D. Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan
informasi kepada para pembaca, utamanya bagi sesama pelajar dan generasi
muda tentang AIDS, sehingga dengan demikian kita semua berusaha untuk
menghindarkan diri dari segala sesuatu yang bisa saja menyebabkan penyakit
AIDS.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Patofisiologi Proses
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50%
orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun
pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS.
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIVmenyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang
disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus
yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein
yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah
marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia,
terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut
sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi
mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya
limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu
menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan
hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh
dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T
penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang
sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa
bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%.
Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain
karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh

3
berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi. Setelah
sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang
stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan
penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus
yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam
menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun
sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis.
Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan
terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi
antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV
dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu
dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang
bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali
organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-
6 bulan sebelum titer antibodi terhadap HIV positif. Fase ini disebut “periode
jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang
selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya
terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun
kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan
sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIV sampai menjadi
AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari
10 tahun setelah diketahui HIV positif.
Peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit dan
makrofag, membuat sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama”
sistem imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong,
menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian
besar respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang semakin

4
melumpuhkan sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak,
sehingga timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang
dijumpai pada sebagian pasien AIDS.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan
tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi
HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik
(tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10
tahun.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10
partikel setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi
dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.
Manifes
B. Peran Sistem Imun
Sesaat setelah infeksi virus HIV, viral load (kadar virus) individu yang
terinfeksi akan mengalami pertumbuhan secara ekponensial. Puncak dari
kurva pertumbuhan tersebut berkaitan dengan respon imun terhadap HIV.
Respon imun terhadap HIV melibatkan antibody maupun sel T mampu
mengontrol jumlah virus HIV, tetapi tidak mengeliminasinya.
Sesaat setelah infeksi, antigen p24 terdeteksi di dalam serum. Antigen
yang bersirkulasi tersebut tiba-tiba menghilang setelah si individu
seroconvert, mengembangkan respon antibodi terhadap envelope dan core
antigen. Sebagian besar respon antibodi humoral tidak menargetkan envelope
virus dan tidak memiliki efek netralisasi. Antibodi netralisasi menargetkan
epitop tertentu di dalam region loop gp120 dan kompleks prefusi gp4120.

5
Sejumlah kecil antibodi baru muncul setelah tiga hingga enam bulan setelah
infeksi dan dalam titer yang rendah.
1. Sel T CD8+ (Sitotoksik)
Kelanjutan dari pengenalan antigen virus yang dipresentasikan
oleh molekul MHC kelas I, sel T CD8+ berubah menjadi sel CTL yang
membunuh sel yang mempresentasikan antigen virus. Kerja CTL
dilakukan dengan cara induksi apoptosisdengan melepaskan molekul
sitotoksik perforin dan granzyme A/B atau dengan mengaktifkan jalur fast-
ligand. Respon CTL yang terdeteksi selama terjadiya infeksi kebanyakan
hilang saat peyakit mencapai fase akhir. Respon CTL menghambat
replikasi virus dan berperan penting dalam kontrol awal infeksi HIV dan
mengendalikan setpoint virus.
Sifat kualitatif respon sel T CD8+ oleh setiap individu ditentukan
oleh tipe MHC yang dimilikinya. Secara umum respon terfokus pada
minggu pertama hingga sebulan setelah infeksi, dan kemudian meluas
selama fase asymptomatic, dan akhirnya menurun. Pada sejumlah
individu mampu mengenali berbagai macam epitop. Epitop-epitop tersebut
terdapat pada sebagian besar protein yang diekspresikan oleh virus. Tidak
semua CD8+ CTL memiliki keefektifan yang sama. Pada individu
terinfeksi HIV khususnya yang memiliki kadar virus yang tinggi, CD8+
CTL tidak didominasi oleh sel memori tetapi oleh sel efektor yang
memiliki kemampuan replikasi terbatas.
2. Sel T CD8+ (Non Sitotoksik)
CD8 anti viral factor (CAF) non sitotoksik adalah mekanisme lain
dari Sel T CD8+ untuk mengendalikan replikasi virus pada sel CD4+ yang
terinfeksi. Hasilnya bukan berupa matinya sel CD4+. Chemokin β MIP-
1α, MIP-1β dan RANTES yang ligand alaminya adalah reseptor CCR5,
membentuk komponen CAF. Komponen tersebut menghambat masuknya
virus, dengan mengganggu pengikatan gp120 ke HIV-coreceptor CCR5.
Terdapat juga komponen lain dari CAF yang berperan setelah virus

6
masuk, yaitu dengan cara menghambat transkripsi virus. Aktifitas CAF
tertinggi terjadi pada saat awal proses penyakit.
3. Sel T CD4+
Pada infeksi virus selain HIV, bersamaan dengan Sel T CD8+,
pengenalan peptida antigenik virus mengaktifkan respon Sel T helper (Th)
CD4+, mendorong ekspresi berbagai macam sitokin termasuk IL-2, IFN-y
dan tumor necrosis factor (TNF)-β) yang mengkoordinasi respon
multiseluler yang dimediasi sel untuk menghadapi masuknya virus.
Pada kasus infeksi HIV Sel T CD4+ distimulasi dengan cara yang
sama. Sel T CD4+ spesifik terhadap HIV terdeteksi di awal munculnya
penyakit. Virus HIV lebih mudah menginfeksi sel yang teraktifasi karena
sel teraktivasi mengekspresikan co-receptor CCR5 pada level tinggi. HIV
juga lebih mudah bereplikasi pada sel yang sedang memperbanyak diri.
Sel T CD4+ sering terinfeksi pada tahap awal penyakit dan
kemudian sukar untuk dideteksi. Antigen spesifik Sel T CD4+ terdeteksi
pada level rendah pada tahap infeksi berikutnya, kecuali pada subpopulasi
individu yang mampu mengendalikan infeksi secara alami (long-term non-
progressor). Sebagian besar Sel T CD4+ spesifik terhadap HIV mampu
memproduksi IFN-y tetapi bukan IL-2. Tanpa adanya bantuan CD4
membuat respon sel T CD8+ dan respon antibodi netralisasi melemah,
terutama respon terhadap variasi.
Baru virus. Pada tahap berikutnya CD4 kehilangan kemampuan
untuk merespon patogen lain, sehingga bila terjadi infeksi oleh patogen
lain tubuh tidak akan memberikan respon imun yang memadai.
4. Antibodi
Envelope HIV adalah target utama respon imun humoral, antibodi
netralisasi mentargetkan epitop protein envelope. Virus mengembangkan
berbagai macam mekanisme untuk menghindari efek antibodi netralisasi.
Beberapa epitop netralisasi bersifat cryptic, tersembunyi di dalam struktur
protein molekul dan terekspos hanya sementara pada saat perubahan

7
konformasional glikoprotein selama masuknya virus ke dalam sel atau
persentuhan dengan antibodi netralisasi sekunder.
Antibodi harus memiliki afinitas yang kuat dan cepat sehingga
dapat berkompetisi dengan ligand alaminya.Virus juga bisa melindungi
epitop netralisasi utama dengan protein glikan yang membentuk tameng
yang memiliki habatan sterik terhadap interaksi anti-gp120. Cara
penghindaran lain adalah sifat glikoprotein yang mudah bermutasi yang
membuat virus terhindar dari antibodi netralisasi.
C. Deteksi Dan Pencegahan
Deteksi aids dapat dilihat dari gejala awal AIDS. Jika seseorang
menderita infeksi HIV dan tidak mendapat pengobatan, lama kelamaan virus
akan melemahkan sistem imun dan HIV berkembang menjadi AIDS yang
merupakan fase akhir dari HIV. Gejala yang muncul pada HIV dapat berbeda-
beda pada masing-masing individu penderita, karena biasanya pada fase
AIDS, berbagai macam infeksi mulai menyerang penderita. Beberapa gejala
umum dari fase AIDS yaitu:
1. Penurunan berat badan yang cepat dan tidak direncanakan
2. Demam yang turun naik atau hilang timbul
3. Berkeringat berlebihan terutama di malam hari
4. Merasa sangat lelah padahal tidak melakukan aktivitas berat
5. Pembengkakan kelenjar getah bening yang berkepanjangan (biasanya
kelenjar di ketiak, selangkangan, atau leher)
6. Diare yang berlangsung selama lebih dari seminggu
7. Timbul luka-luka di mulut, anus, dan organ genital
8. Mengalami pneumonia
9. Timbul ruam atau bisul berwarna kemerahan, cokelat, atau keunguan di
bawah kulit atau di dalam mulut, hidung, bahkan kelopak mata
10. Gangguan saraf seperti kehilangan ingatan, depresi, dan lain-lain
Masing-masing gejala ini bisa berbeda, berkaitan dengan gejala
penyakit infeksi yang diderita oleh penderita AIDS. Jenis penyakit infeksi

8
yang merupakan komplikasi HIV misalnya TBC, herpes simplex, kanker
serviks invasif, hingga ensefalop
Pencegahan penyebaran infeksi dapat diupayakan melalui
peningkatan akses perawatan dan dukungan pada penderita dan keluarganya.
Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah salah satu bentuk upaya
tersebut. VCT adalah proses konseling pra testing, konseling post testing, dan
testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini
membantu orang mengetahui status HIV.
Setelah tahap pre konseling, klien akan melakukan tes HIV. Pada saat
melakukan tes, darah akan diambil secukupnya dan pemeriksaan darah ini bisa
memakan waktu antara setengah jam sampai satu minggu tergantung metode
tes darahnya. Dalam tes HIV, diagnosis didasarkan pada antibodi HIV yang
ditemukan dalam darah. Tes antibodi HIV dapat dilakukan dengan tes ELISA,
Westren Blot ataupun Rapid.
Setelah klien mengambil hasil tesnya, maka klien akan menjalani
tahapan post konseling. Apabila hasil tes adalah negatif (tidak reaktif) klien
belum tentu tidak memiliki HIV karena bisa saja klien masih dalam periode
jendela, yaitu periode dimana orang yang bersangkutan sudah tertular HIV
tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan terhadap HIV. Klien
dengan periode jendela ini sudah bisa menularkan HIV. Kewaspadaan akan
periode jendela itu tergantung pada penilaian resiko pada pre konseling.
Apabila klien mempunyai faktor resiko terkena HIV maka dianjurkan untuk
melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya. Selain itu, bersama dengan
klien, konselor akan membantu merencanakan program perubahan perilaku.
Apabila pemeriksaan pertama hasil tesnya positif (reaktif) maka
dilakukan pemeriksaan kedua dan ketiga dengan ketentuan beda sensitifitas
dan spesifisitas pada reagen yang digunakan. Apabila tetap reaktif klien bebas
mendiskusikan perasaannya dengan konselor. Konselor juga akan
menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan. Misalnya, jika
klien membutuhkan terapi ARV ataupun dukungan dari kelompok sebaya.

9
Selain itu, konselor juga akan memberikan informasi tentang cara hidup sehat
dan bagaimana agar tidak menularkannya ke orang lain.
VCT LPPSLH 2Pemeriksaan dini terhadap HIV/AIDS perlu
dilakukan untuk segera mendapat pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan
bagi mereka yang diidentifikasi terinfeksi karena HIV/AIDS belum ditemukan
obatnya, dan cara penularannya pun sangat cepat. Memulai menjalani VCT
tidaklah perlu merasa takut karena konseling dalam VCT dijamin
kerahasiaannya dan tes ini merupakan suatu dialog antara klien dengan
petugas kesehatan yang bertujuan agar orang tersebut mampu untuk
menghadapi stress dan membuat keputusan sendiri .
D. Diagnosis
Pemeriksaan diagnostic untuk penderita AIDS (Arif Mansjoer, 2000) adalah
1. Lakukan anamnesa gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait
dengan AIDS.
2. Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker
terkait. Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit, dan
funduskopi.
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total, antibodi HIV,
dan pemeriksaan Rontgen.
Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan
jumlah CD4, protein purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma,
serologi sitomegalovirus, serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.
Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila >500
maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-
500 maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila <200 diberikan profilaksi
pneumonia pneumocystis carinii. Pemberian profilaksi INH tidak
tergantung pada jumlah CD4.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal
pemberian obat antiretroviral dan memantau hasil pengobatan.

10
Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan CD4 (mikroskop
fluoresensi atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus
CD4 = (1/3 x jumlah limfosit total)-8.
E. Penatalaksanaan
1. Medis
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya
yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan
infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian
infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan
komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT
yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim
pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah
sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500
mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system
imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
1. Didanosine
2. Ribavirin
3. Diedoxycytidine
4. Recombinant CD 4 dapat larut

11
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
2. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah
a. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
1) Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan
mempertimbangkan seluruh aspek dukungan gizi pada semua
tahap dini penyakit infeksi HIV.
2) Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi
tubuh yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).
3) Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
4) Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan
relaksasi.
b. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
1) Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
2) Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang
terlihat pada: pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia,
perasaan kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan
menelan.
3) Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
4) Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama
jaringan otot).
5) Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang
adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang
diberikan.
c. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
1) Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan
faktor stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan
energi sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu 1°C.

12
2) Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan
mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein
disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.
3) Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis
lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada
malabsorpsi lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang
(Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak
omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki
fungsi kekebalan.
4) Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka
Kecukupan Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A,
B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium. Bila
perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis
harus dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.
5) Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
6) Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan
gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan
diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi
cairan dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental (semi
thick fluid) dan cair (thin fluid).
7) Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu
diganti (natrium, kalium dan klorida).
8) Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal
ini sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan,
dengan melihat kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi
penurunan berat badan yang cepat, maka dianjurkan pemberian
makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau
makanan selingan.
9) Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.
10) Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara
mekanik, termik, maupun kimia.

13
d. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV,
yaitu kepada pasien dengan:
1) Infeksi HIV positif tanpa gejala.
2) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare,
kesulitan menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah
bening).
3) Infeksi HIV dengan gangguan saraf.
4) Infeksi HIV dengan TBC.
5) Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara,
yaitu secara oral, enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan
secara oral sebaiknya dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi,
dianjurkan pemberian makanan enteral atau parental sebagai tambahan
atau sebagai makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet
AIDS I, II dan III.
1) Diet AIDS I
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut,
dengangejala panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak
nafas berat, diare akut, kesadaran menurun, atau segera setelah
pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu,
diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien,
dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan,
makanan diberikan dalam bentuk sonde atau dalam bentuk
kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan sonde
dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral komersial
energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi,
tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat
ditambahkan glukosa polimer (misalnya polyjoule).

14
2) Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I
setelah tahap akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring
atau cincang setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan
membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zat
gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde sebagai tambahan
atau sebagai makanan utama.
3) Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet
AIDS II atau kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala.
Bentuk makanan lunak atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan
sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin dan mineral.
Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih
terjadi penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian
makanan sonde sebagai makanan tambahan atau makanan utam

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
AIDS diawali oleh virus HIV yang menjangkit tubuh. Seseorang yang
terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap
selama beberapa bulan atau tahun. Peran sistem imun dalam tubuh seseorang
yang terjangkit AIDS terdiri dari antibody maupun sel T yang berfungsi
mengontrol jumlah virus HIV, tetapi tidak mengiliminasi. Deteksi dini AIDS
dapat dilihat dari gejala awal .Pencegahan penyebaran infeksi dapat
diupayakan melalui peningkatan akses perawatan dan dukungan pada
penderita dan keluarganya.
B. Saran
Adapun saran-saran dari kami yang mungkin akan berguna bagi kita
semua, yaitu:
1. Bagi kita sebagai manusia, hendaknya selalu mendekatkan diri kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dan berusaha menghindarkan diri dari hal-hal
yang bisa menyebabkan AIDS.
2. Jangan melakukan hubungan seksual diluar nikah (berzinah), dan jangan
berganti-ganti pasangan seksual.
3. Apabila berobat dengan menggunakan alat suntik, maka pastikan dulu
apakah alat suntik itu steril atau tidak.
4. Apabila melakukan tranfusi darah, terlebih dahulu perikasakan apakah
tranfusi darah itu bebas dari virus HIV.
5. Bagi kita sebagai generasi muda, jauhilah obat-obatan terlarang terutama
narkotika melalui alat suntik, alat-alat tato, anting tindik, dan semacamnya
yang bisa saja menularkan AIDS, karena alat-alat seperti itu tidak ada
gunanya. Dan selalu hindarkan diri dari pergaulan bebas yang bersifat
negatif.
6. Apabila ada seminar-seminar, penyuluhan-penyuluhan, iklan ataupun
brosur-brosur, yang mengimpormasikan tentang AIDS, sebaiknya kita

16
memperhatikan dengan baik, agar segala sesuatu tentang AIDS dapat
diketahui, sehingga kita bisa menghindarkan diri sejak dini dari AIDS.
7. Bagi orang yang mengetahui dirinya telah terinfeksi virus AIDS
hendaknya menggunakan kondom apabila melakukan hubungan seksual,
agar virus AIDS tidak menular pada pasangan seksualnya.
8. Bagi pemerintah, hendaknya terus gencar dalam memerangi AIDS
misalnya dengan memberikan penyuluhan, dan penutupan tempat-tempat
prostitusi untuk mengurangi penyakit masyarakat. Selain itu, pemerintah
juga seharusnya menjamin penderita AIDS agar tidak mendapatkan
tekanan mental ataupun tindakan diskriminatif.
Itulah saran-saran dari kami, dengan saran-saran kami diatas kami
harapkan kasus penyakit AIDS khususnya di Indonesia dapat berkurang atau
bahkan tidak ada lagi kasus yang menyangkut AIDS. Apalagi penyakit AIDS
belum ada obatnya, jadi pencegahan lah hal terbaik yang dapat kita lakukan
agar tidak terjangkit penyakit tersebut.

17
DAFTAR PUSTAKA

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan


pemberantasannya.. Jakarta: Erlangga Medical Series

Mandal,dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series

18

También podría gustarte