Está en la página 1de 14

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………………………………….i

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………....ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….iii

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………………..1

BAB II

Definisi ….………………………………………………………………………………………...2

Epidemiologi …………………………………………………………………………………..….2

Etiologi ……………………………………………………………………………………………3

Patofisiologi………………………………………………………………………………...……..3

Manifestasi Klinik ………………………………………………………………………...............5

Penatalaksanaan ………………………………………………………………………………......6

Konservatif………………………………………………………………………………...7

Silicone Gel Sheet…………………………………………………………………………8

Pembedahan……………………………………………………………………………….8

Bedah beku………………………………………………………………………………..9

Laser……………………………………………………………………………………...10

Radioterapi……………………………………………………………………………….10

Pencegahan………………………………………………………………………………………11

BAB III

Kesimpulan………………………………………………………................................................12

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………...13

BAB I

PENDAHULUAN

i
Keloid adalah pertumbuhan jaringan ikat padat hiperproliferatif jinak akibat respon
penyembuhan luka abnormal. Keloid terjadi karena sintesis dan penumpukan kolagen yang
berlebihan dan tidak terkontrol pada kulit yang sebelumnya terjadi trauma dan mengalami
penyembuhan luka. (Robles & Berg, 2007; Harting dkk, 2008) Keloid berbeda dengan skar
hipertrofik karena keloid menyebar melewati garis batas luka awal, menginvasi kulit normal di
sekitarnya, tumbuh mirip pseudotumor dan cenderung rekuren setelah eksisi. (Urioste dkk, 1999;
Harting dkk, 2008)
Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog, terutama karena respon
terhadap pengobatan yang bervariasi. Berbagai metoda terapi telah dilakukan untuk mengobati
keloid. Metoda terapi keloid yang banyak digunakan saat ini adalah kortikosteroid, pembedahan,
radiasi, laser dan silicone gel sheets. Beberapa metoda lain, masih dalam taraf eksperimen,
seperti interferon, bleomisin dan 5-fluorouracil. (Durani & Bayat, 2007) Keloid sering timbul
kembali walaupun telah diterapi dengan berbagai teknik. (Jackson dkk, 2001) Sampai saat ini
pun, belum ada baku emas penanganan keloid. (Sridharani dkk, 2010) Oleh karena itu,
pemahaman mendasar tentang patogenesis, berbagai metoda penanganan dan pencegahan
kekambuhan keloid penting untuk dimiliki oleh dokter yang akan menangani kondisi ini.

Keloid dapat muncul pada daerah dada, bahu, punggung, leher belakang, dan daun
telinga.4 Lebih sering muncul pada orang kulit hitam, Hispanik, dan Asia, dan jarang dijumpai
pada Kaukasian. Pada wanita lebih sering dijumpai dari pada pria. Keloid lebih sering muncul
pada 2ecade ketiga. Walaupun sering muncul pada daerah yang terkena trauma, namun dapat
muncul secara spontan.4

BAB II

Definisi

ii
Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan proliferatif) diatas
permukaan kulit yang disebabkan oleh trauma atau luka dan bekas operasi karena sintesis dan
deposisi yang tidak terkontrol dari jaringan kolagen pada dermis.1, 2

Gambar. Keloid
Luka pada kulit seperti luka bakar, insisi pembedahan, ulkus dan lain-lain diperbaiki
melalui deposisi dari komponen yang akan membentuk kulit baru. Komponen tersebut meliputi
pembuluh darah, saraf, serat elastin (memberelastisitas kulit), serat kolagen (memberi
ketegangan kulit), dan gliko-saminoglikan yang membentuk matriks di mana serat-serat
struktural, saraf dan pembuluh darah berada.1,2
Pada beberapa orang, jaringan parut yang terbentuk akibat proses penyembuhan luka
tumbuh secara abnormal menghasilkan jaringan parut hipertrofik atau keloid. Jaringan parut
abnormal tersebut dapat menyebabkan gangguan psikis dan fungsional pada pasien dan
penatalaksanaannya relatif sulit.1,2.

Epidemiologi
Keloid dapat diturunkan dominan dan resesif autosom. Meskipun dapat terjadi pada
semua kelompok usia, jarang ditemukan pada bayi baru lahir atau orang tua dan memiliki
kejadian tertinggi di individu yang berusia 10-20 tahun. Pada keloid tingkat kolagen lebih tinggi
dibandingkan rata-rata jaringan parut. Keloid terletak di lokasi yang sebagian besar menjadi
perhatian kosmetik, beberapa keloid dapat menyebabkan kontraktur, yang dapat mengakibatkan
hilangnya fungsi jika diatasnya bersama atau dalam pengrusakan signifikan jika terletak di
wajah. Keloid bentuk yang lebih sering pada orang Polinesia dan Cina daripada orang India dan
Malaysia. Sebanyak 16% dari orang dalam sampling acak dari Afrika hitam dilaporkan memiliki
keloid. Orang putih setidaknya umumnya terkena. Prevalensi ini telah dilaporkan lebih tinggi
iii
pada wanita muda dari pada laki-laki muda. Keloid mempengaruhi kedua jenis kelamin sama-
sama dalam kelompok usia lainnya. Onset terjadi paling sering pada individu usia 10-30 tahun.

Etiologi
Selain trauma, faktor penyebab yang mungkin untuk terjadinya keloid masih belum bisa
dijelaskan. Keloid biasanya berhubungan dengan faktor penyembuhan luka yang tidak baik
seperti infeksi, luka bakar, inflamasi kronis, penutupan luka yang tidak adekuat, tegangan yang
berlebihan, benda asing dan trauma berulang, namun dapat muncul pada luka yang bersih. 8
Beberapa faktor lain yang diketahui berpengaruh adalah herediter dan ras, umur dan faktor
endokrin, jenis luka dan lokasi trauma seperti yang telah dijelaskan diatas.

Pathogenesis
Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada individu
yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu bulan sampai satu tahun setelah
trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada dermis retikuler atau lapisan kulit lebih dalam lagi
cenderung berpotensi menjadi skar hipertrofik dan keloid. Beberapa penyebab keloid yang sering
dilaporkan adalah: akne, folikulitis, varicella, vaksinasi, tindik telinga, luka robek dan luka
operasi. Luka kecil sekalipun, bahkan bintil bekas gigitan serangga dapatmenjadi keloid. Injeksi
menggunakan jarum ukuran kecil, seperti injeksi anestesi lokal, biasanya tidak menimbulkan keloid.

Keloid dapat terjadi pada injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti vaksinasi. Penelitian di
Taiwan mendapatkan bahwa 10% remaja mendapat keloid pada tempat bekas injeksi vaksin
Bacil Calmette Guerin (BCG). (Robles& Berg, 2007) Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka
terjadi degranulasi platelet, aktifasifaktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan
pembentukan bekuan fibrin untuk hemostasis. Bekuan ini selanjutnya berperan sebagai rangka
untuk penyembuhan luka. Degranulasi platelet menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin poten
termasuk transforming growth factor-β (TGF-β), epidermal growth factor (EGF), insulin
like growth factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived growth factor (PDGF). Growth
factor berfungsi merekrut dan mengaktifkan sel netrofil, epitel, endotel makrofag, sel mast dan
fibroblas. 2

Penelitian lain tentang patogenesis keloid mendapatkan bahwa pada keloid terjadi down-
regulation gen yang terkait apoptosis. Selain itu pada biakan fibroblas keloid didapatkan

iv
produksi kolagen dan matriks metalloproteinase lebih besar dibandingkan fibroblas dermal
normal. 8 Berikut beberapa teori yang sering dianggap sebagai patogenesis keloid:

Aktifitas Fibroblas Abnormal

Fibroblas yang terdapat pada keloid memproduksi type I procollagen secara berlebihan.
Secara in vitro, fibroblas keloid juga mengekspresikan lebih banyak vascular endothelial growth
factor (VEGF), transforming growth factor-(TGF-)β1/β2, reseptor platelet derived growth factor –
α (PDGF-α) dan mengalami penurunan kebutuhan growth factor . Ladin dkk melaporkan bahwa
fibroblas keloid mengalami penurunan frekuensi apoptosis. 9

Fibroblas keloid (FK) menghasilkan kolagen dalam jumlah banyak. Selain itu FK juga
menghasilkan elastin, fibronektin, dan proteoglikan serta chondroitin 4 sulfat (C4S)lebih banyak
dibanding fibroblas normal. Fibroblas keloid menghasilkan kolagen tipe I dan memiliki kapasitas
untuk berproliferasi 20 kali lebih besar dibandingkan dengan fibroblasnormal.

Reaksi Imunitas Abnormal

Beberapa teori menyatakan bahwa keloid disebabkan oleh reaksi imun spesifik.
Immunoglobin (Ig) yang meningkat pada keloid, adalah: IgA, IgG dan IgM. Pelepasan produk sel
mast yang dimediasi oleh IgE juga berperan pada pembentukan keloid.Histamin berhubungan dengan
sintesis kolagen karena menghambat enzim lysil oksidase kolagen yang berperan terhadap cross-
linking kolagen, sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah kolagen pada keloid. Aktifitas
metabolik sel mast juga berperan danmendasari terjadinya rasa gatal yang sering menyertai
kondisi ini. (Urioste dkk, 1999)4
Peningkatan Produksi Asam Hyaluronat

Asam hyaluronat merupakan glikosaminoglikan yang terikat pada reseptor di permukaan


fibroblas dan memiliki peranan penting dalam mempertahankan sitokin tetap terlokalisir dalam
sel. Salah satu sitokin yang dimaksud adalah TGF-α1. Produksi asam hyaluronat meningkat pada
fibroblas keloid, dan kadarnya kembali normal setelah pengobatan dengan triamsinolon.
Beberapa peneliti tidak setuju dengan teori ini, berdasarkan temuan kadar asam hyaluronat yang
lebih rendah dalam dermis keloidal dibandingkan dermis normal.5

Pengaruh Melanin terhadap Reaksi Kolagen-kolagenase


v
Peningkatan kadar melanin berpengaruh terhadap terjadinya akumulasi kolagen melalui
mekanisme penurunan pH menjadi lebih asam sehingga kemampuan enzim kolagenase
mendegradasi kolagen menjadi berkurang. Penelitian ini juga menjelaskan kejadian keloid pada
kulit berwarna disebabkan karena keberadaan melanin yang lebih banyak akan mengganggu
keseimbangan sintesis dan degradasi kolagen pada penyembuhan luka.4

Manifestasi klinik
Secara klinis keloid merupakan nodul fibrosa, papul atau plak, keras, elastis, berkilat,
tidak teratur, berbatas tegas, terdapat telangiektasis dan berwarna merah muda, merah sampai
coklat gelap.2,3 Pasien sering mengeluhkan rasa gatal dan nyeri.3,5 Keloid cenderung tumbuh
lambat lebih dari beberapa bulan sampai tahun. Secara histopatologis menunjukkan adanya
hialinisasi serabut kolagen yang tersusun melingkar. Keloid biasanya diagnosis banding dengan
skar hipertrofi, dermatofibroma dan dermatofibrosarkoma protuberans.2 Skar hipertrofi sama
dengan keloid, namun secara klinis tinggi skarnya tidak tumbuh melebihi batas dari lukanya.3
Keloid tidak mengalami resolusi spontan, tetapi dengan pengobatan yang sesuai
progresinya dapat dihambat. Keloid dapat menyebabkan terganggunya pasien secara fisik
maupun psikologis dan menyebabkan dampak negatif pada kualitas hidupnya.2
Walaupun prevalensi keloid ini tinggi pada populasi umum, namun masih menjadi
tantangan bagi dermatolog untuk menanganinya karena kekambuhan sering terjadi setelah
penanganan. Penanganan kombinasi sepertinya merupakan stategi yang optimal. 4 Terdapat
beberapa penanganan pada keloid. Namun, tidak ada penanganan keloid yang dinyatakan 100%
efektif.3 Ada beberapa penanganan keloid seperti kompresi, kortikosteroid intralesi, penggunaan
silikon, vitamin dan bahan farmakologi secara topikal, pembedahan, bedah beku, laser,
radioterapi, penanganan kombinasi dan beberapa penanganan keloid lainnya.1,3,6
Penatalaksanaan Keloid
Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog. Beberapa metoda terapi telah
digunakan dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis
keloid yang ada saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan:manipulasi
terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis
dan degradasi kolagen, dan perubahan responimun/inflamasi.2 Penanganan keloid merupakan
masalah yang sulit, karena rendahnya respon penyembuhan terhadap berbagai terapi dan
cenderung kambuh. Keloid yang hanya diterapi dengan pembedahan memiliki angka kekambuhan
vi
sampai 80%. Pada algoritma yang terdapat dalam referat ini, ukuran dan jumlah lesi keloid harus
diukur dalam merencanakan penanganan keloid. Penggolongan ini penting karena lesi yang kecil
(dini) dapat diterapi secara radikal dengan cara pembedahan dan terapi adjuvant. Terapi laser
sebagai monoterapi juga efektif untuk terapi radikal keloid dini. Terapi konservatif non bedah, tidak
efektif jika digunakan sebagai monoterapi.5 Diskusi dengan pasien untuk menentukan tujuan akhir
terapi merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam menangani keloid yang besar dan
multipel. Pasien dengan keloid berukuran besar biasanya disertai infeksi dan nyeri, sehingga
pengurangan ukuran massa keloid dan terapi simtomatik dengan berbagai modalitas terapi harus
dipertimbangkan.5
Penanganan keloid yang paling sering digunakan dan paling sering dilaporkan efikasinya
adalah injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi, 5-fluoruorasil, cryotherapy, laser, radiasi dan
silicone gel sheeting.1, 8

A. Konservatif
Kortikosteroid Intralesi
Kortikosteroid intralesi telah lama digunakan untuk terapi keloid karena memiliki respon
yang baik, mudah digunakan dan efek samping yang rendah. Kortikosteroid intralesi
menginhibisi pertumbuhan fibroblas dan produksi mediator inflamasi, mengurangi sintesis
kolagen dan mengubah sintesis glykosaminoglikan sehingga mengurangi jumlah kolagen pada
keloid. Secara klinis mengurangi rasa gatal, melembutkan dan meratakan lesi. Keloid yang besar
memiliki respon yang baik dengan penanganan triamsinolon asetonid intralesi. Dapat
dikombinasi dengan terapi lain untuk meningkatkan respon dan efikasi terapi. Kekambuhan
vii
sering dan dapat muncul dalam beberapa bulan atau tahun. Dosis triamsinolon asetonid yang
diperlukan untuk terapi keloid lebih tinggi daripada untuk penyakit lain. Robles menganjurkan
Dosis yang digunakan untuk kotikosteroid intralesi 10-40 mg/mL dengan interval 4-6 minggu
dan batas dosis perbulan dari triamsinolon asetonid adalah 20 mg, tergantung dari ukuran, lokasi
dan respons keloid. Injeksi KIL menyebabkan keloid jadi mendatar, lebih lunak dan meringankan
gejala nyeri dan gatal. Efek samping kortikosteroid intralesi yang bisa muncul termasuk hiper-
hipopigmentasi, atropi, dan telangiektasi. Sedangkan efek samping sistemik jarang muncul pada
kortikosteroid intralesi. Namun injeksi kostikosteroid ini sering tidak nyaman bagi pasien, tidak
praktis dan sulit dilakukan pada keloid yang besar dan atau keras juga multipel.3

5-Fluorouracil

5-Fluorouracil (5-FU), merupakan analog pirimidin yang banyak digunakan dalam


pengobatan kanker dan glaukoma. Dalam sel 5-FU dikonversikan menjadi substrat aktif yang
menghambat sintesis DNA dengan cara kompetitif terhadap penggabungan urasil. Penelitian
terbaru mendapatkan bahwa 5-FU memiliki efikasi yang baik untuk menangani keloid.
Kemampuan 5-FU untuk untuk mengganggu TGF-b signaling merupakan dasar penggunaan 5-
FU untuk menghambat pembentukan keloid. Teknik yang digunakan dalam penelitian efikasi 5-
FU terhadap keloid adalah dengan injeksi intralesi atau menempatkan kain yang sebelumnya
direndam dengan 5-FU selama 5 menit sebelum luka ditutup. Efek samping yang sering terjadi
adalah nyeri di lokasi injeksi, ulserasi dan rasa terbakar. 10, 11
Penelitian Kontochristopoulos dkk menggunakan injeksi 5-FU intralesi dengan interval
1 pekan, sebanyak 6 kali, mendapatkan hasil yang baik. Perbaikan secara klinis dibuktikan juga
dengan temuan histopatologi berupa; berkurangnya jumlah hyalinized collagen fibers,
berkurangnya prominent vascularity, pendataran papila dermis tanpa tanda atrofi, pigmentary
incontinence, penurunan ekspresi Ki-67 dan penurunan ekspresi TGF-b. Ki-67 adalah petanda
proliferasi sel. Fitzpatrick juga melaporkan perbaikan klinis pada keloid yang diterapi dengan
injeksi intralesi 5-FU, walaupun bukan sebagai terapi tunggal. 1, 9, 10, 12
Karena terapi 5-FU sistemik dihubungkan dengan anemia, leukopenia dan
trombositopenia, maka pasien harus dimonitor gambaran darah tepinya secara ketat. Terapi
menggunakan 5-FU juka tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau menyusui dan pada pasien
dengan bone marrow suppression.9, 10, 12

viii
B. Penggunaan Silikon gel sheeting
Pemberian silikon gel sheeting secara topikal merupakan alternatif lain untuk penanganan
keloid. Silikon ini dapat melembutkan dan menurunkan pruritus, merah dan nyeri. 4 Penggunaan
silikon sedikitnya 12 jam perhari atau dua kali sehari dalam beberapa bulan agar efektif. Dapat
digunakan sebagai terapi tambahan seperti pada terapi pembedahan, kortikosteroid intralesi dan
laser. Silokon gel sheet ini merupakan campuran dan kombinasi dari beberapa ekstrak herbal dan
derivate silicone. Oleh ahli international merekomendasikan silikon gel ini sebagai profilaksis
lini pertama setelah bedah eksisi. Namun, ada sebuah penelitian lanjutan yang dilakukan oleh
seorang ahli dari Thailand Muangman dkk tahun 2001, tentang pengunaan gel ini sebagai
penanganan keloid.4
Cybele® Scagel adalah kombinasi dari ekstrak herbal dan turunan silicon dalam bentuk
preparat gel yang terdiri dari 12% A. cepa (0nion extract), 1% allantoin, asiaticoline (ekstrak
daun gotu kola), ekstrak lidah buaya (Aloe barbadensis), Kazinol F (ekstrak paper mulberry),
ekstrak tamarind, dan nano hydroxyproline C yang dibuat untuk mengobati parut hipertrofik.
Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa penggunaan obat topkal ini dapat
mengurangi rasa nyeri dan gatal-gatal setelah epitelisasi pada luka bakar dan dapat mencegah
terbentuknya parut hipertrofik setelah luka bakar (Muangman dkk., 2011). Penelitian ini
®
dirancang untuk menilai manfaat dan potensi Cybele Scagel dalam pencegahan parut
4
hipertrofik dan keloid. Sampai saat ini tidak ditemukan ada efek samping dalam penggunaan
gel ini.
C. Pembedahan
Bedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang pertama kali dikenal. Pertama kali
dilakukan oleh Druit di tahun 1844 dan disempurnakan oleh De Costa pada tahun 1903. Secara
umum pembedahan diperlukan sebagai terapi lini kedua untuk lesi yang tidak berespon terhadap
terapi lain. Selain itu bedah eksisi juga dilakukan pada lesi keloid yang luas sehingga
membutuhkan debulking lebih dahulu sebelum terapi lain dilakukan.
Bedah eksisi merupakan lini kedua dalam penanganan keloid. Penanganan ini bukan
hanya invasif tetapi juga memiliki angka kekambuhan yang tinggi yaitu sekitar 50%. Pada keloid
yang kecil dapat langsung ditutup dan pada keloid yang besar dapat menggunakan skin graf
namun dapat menyebabkan keloid pada daerah donor. Untuk menghindarinya dapat digunakan

ix
autograf. Pada metode ini menggunakan kulit dari keloid untuk menutupi defek setelah
dilakukan pembedahan debulking. 3
Banyak teknik yang berkembang untuk debulking ini, seperti penggunaan suction-
assisted lipectomy, aspirator bedah ultrasonik dan rekonstruksi bedah mikro dengan
menggunakan arthroscopic shaver. Bedah eksisi merupakan prosedur yang sering digunakan
untuk tindakan debulking.3 Pada bedah eksisi dapat dilakukan debulking parsial untuk
mengurangi ketebalan dari tumor. Kuretase sebagai prosedur pada tindakan debulking baik untuk
mengangkat massa tumor nodular yang lembut, namun tidak efektif dilakukan untuk mengangkat
tumor apabila didapati jaringan tumor dan fibrosis bersama-sama. Kuretase jarang dilakukan
sebagai prosedur debulking sedangkan debulking eksisi dilakukan lebih dari 90% pada tumor.
Tindakan debulking digunakan pada tumor yang terlihat oleh mata. Setelah dilakukan
tindakan debulking maka penyuntikan kortikosteroid intralesi akan lebih mudah dan waktu
penyuntikan yang diperlukan pun akan lebih singkat. Tidak ada komplikasi yang terjadi seperti
nekrosis flap, infeksi, bentuk yang irregular, seroma atau hematoma pada salah satu penelitian
dengan penggunaan teknik debulking. Terapi tambahan setelah operasi seperti injeksi steroid
sebaiknya dipertimbangkan.3 Kombinasi tindakan debulking dengan injeksi kortikosteroid
intralesi beberapa waktu setelah pembedahan menjamin tidak terganggunya penutupan defek dan
resolusi yang cepat dibandingkan bila penggunaan teknik secara sendiri-sendiri. Injeksi
triamsinolon asetonid dapat dilakukan 3-4 minggu setelah operasi. Dari kebanyakan penelitian
didapati bedah eksisi dikombinasi dengan injeksi steroid menunjukkan kekambuhan kurang dari
50%.
D. Bedah Beku
Bedah beku atau cryotherapy menggunakan refrigerant, sebagai terapi tunggal atau
dikombinasi dengan injeksi KIL telah lama digunakan sebagai terapi keloid. Metoda aplikasi
cryotherapy adalah dengan cara ditempelkan, disemprotkan, dan disuntikkan intralesi.2, 3

Kelebihan dari bedah beku ini secara langsung menyebabkan stasis dan pembentukan
trombus sehingga terjadi nekrosis serta perlunakan dan pendataran keloid. Secara in vitro,
cryotherapy mampu mengubah sintesis kolagen dan differensiasi keloidal collagen menjadi
normal. Kelemahan dari bedah beku cryotherapy adalah nyeri yang ditimbulkan cukup berat
danwaktu penyembuhan yang lama, sehingga pasien sering tidak datang kembali. Metoda

x
inimemerlukan kombinasi dengan cara pengobatan lain. Pada pasien dengan warna kulitgelap
dapat terjadi efek hipopigmentasi, yang dapat menimbulkan masalah baru.4

E. Laser
Laser memiliki harapan baik untuk penanganan terhadap keloid. Pulsed-dye laser (PDL)
memberikan angka respon yang baik dan menurunkan kekambuhan. Mekanisme kerjanya masih
belum jelas. Diketahui PDL 585 nm memiliki target pembuluh darah yang menyebabkan
fototermolisis selektif. Sehingga pembuluh darah yang berlebihan pada keloid dapat
dihancurkan, selanjutnya terjadi hipoksia lokal. Hasilnya peningkatan asam laktat yang
menstimulasi kolagenase dan penghancuran kolagen.3, 9
Dapat dikombinasi dengan injeksi
kortikosteroid.4, 9
Laser karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis laser yang pertama
kalidigunakan untuk terapi keloid. Pada tahun 1982 continous wave CO2 laser sukses dalameksisi
keloid. Keuntungan laser adalah bersifat non traumatik dan memiliki efek antiinflamasi. Namun
selanjutnya didapat bahwa eksisi keloid menggunakan continous wave CO2 laser yang dilanjutkan
dengan penyembuhan luka sekunder, gagal menekan pertumbuhan dan mencegah rekurensi
keloid. Saat ini laser CO2 digunakan untuk debulking keloid berukuran besar, sebelum terapi lain
dimulai.2

F. Radioterapi
Penanganan keloid hanya menggunakan radioterapi dinyatakan tidak dapat dipercaya.
Hasil yang lebih baik didapati bila dikombinasi dengan pembedahan dengan tingkat kekambuhan
yang lebih rendah dan merupakan salah satu cara yang efektif. 4, 8, 9
Radiasi dilakukan segera
setelah pembedahan. Pada salah satu penelitian, pasien mendapat radiasi 1500-2000 rad. Hati-
hati penggunaan luas dari radiasi ini, karena ditakutkan efek karsinogenesisnya. Efek samping
yang sering terjadi adalah transient erythema dan hiperpigmentasi. Terapi radiasi memiliki
resiko karsinogenesis, sehingga walaupun resiko ini kemungkinan kecil terjadi pada keloid,
pasien harus tetap diberitahu agar waspada karena secara teori hal itu mungkin terjadi.
Terapi ini sebaiknya dilakukan pada pasien dewasa dan kecacatan yang bermakna akibat
keloid, yang gagal dengan penanganan keloid lain.9

Pencegahan
Pencegahan pembentukan keloid merupakan faktor penting yang harus diperhatikan
dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada terhadap faktor resiko keloid, termasuk riwayat
xi
keloid, riwayat keloid dalam keluarga, tension di lokasi trauma dan warna kulit gelap. Keloid
timbul jika sebelumnya terjadi cedera kulit walaupun cedera tersebut ringan sekali. Keloid juga
dapat berasal dari proses inflamasi yang lemah, termasuk akne dan injeksi. Perhatian khusus
harus diberikan ketika mengobati pasien dengan riwayat keloid. Faktor yang dapat dikelola
untuk mencegah terjadinya keloid adalah daya mekanik luka (stretching tension), pencegahan
infeksi luka dan reaksi benda asing.7 Beberapa hal penting untuk mencegah keloid adalah:5
1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka
2. Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat.
3. Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya gesekan dan garukan)
4. Gunakan gel sheeting dan plester perekat.
5. Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal ketika tidur,untuk
mencegah gesekan.
6. Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan pakaian dalam ketatuntuk
mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat payudara.
7. Untuk pasien dengan luka di supra pubik, dianjurkan untuk memakai korset.
8. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap bersih dengancara
melakukan irrigasi dan mengoleskan obat antibakteri atau antijamur.
9. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka (termasuk
lubang tindik telinga) dengan benda asing. 7

BAB III
KESIMPULAN

Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog. Beberapa metoda terapi telah
digunakan dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis
keloid yang ada saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan:manipulasi
terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis
dan degradasi kolagen, dan perubahan responimun/inflamasi. Terdapat algoritma penanganan
yang cukup baik, namun diskusi dengan pasien untuk menentukan tujuan akhir terapi merupakan
hal penting yang harus dilakukan dalam menangani keloid.

xii
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartyng M, Hicks MJ, Levy ML. Dermal hypertrophies. In: Wolff K, et al, editor.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7 Edition. New York: Mc. Graw Hill, 2008. h.
th

553-4
2. Thompson. Lester. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.

3. Butler, P.D., Longaker, M.T., Yang, G.P. Current progress in keloid research and
treatment. J Am Coll Surg. 2008 206:731-41
4. Urioste, S.S., Arndt, K.A., Dover, J.S. Keloids and hypertrophic scars: Review and
treatment strategies. Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery 1999, 18(2):159-71
5. Berman, B., Villa A.M., Ramirez, C.C. 2005. Novel opportunities in the treatment and
preventionof scarring. J Cutan Med Surg 32-6.
6. Muangman P, Aramwit P, Palapinyo S, et al. Efficacy of the combination of herbal
extracts and a silicone derivative in the treatment of hypertrophic scar formation after
xiii
burn injury. African Journal of Pharmacy and Pharmacology Vol. 5(3), pp. 442 - 446,
March 2011.
7. Ogawa R. The most current algorithms for the treatment and prevention of
hypertrophicscars and keloids. Plast Reconstr Surg.2010, 125:557-68.
8. Steifert O, Mrowietz U. 2009. Keloid scarring: bench and bedside. Arch Dermatol Res
301:259-72
9. Robles, D.T., Berg, D. 2007. Abnormal wound healing: keloids. Clinics in
Dermatology 25:26-32.
10. Robles, DT., Moore, E., Draznin M., Berg D. 2007. Keloids : Pathopysiology and
Management. Dermatology Online Journal 13 (3):9
11. Agung G. I. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; Tumor Kulit: Tumor Jinak kulit; 5 th ed, p.
230. ed: Djuanda A, Hamzah M, Aishah S. Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2009
12. Sridharani, S.M., Magarakis, M., Manson, P.N., Singh, N.K., Basdag, B., Rosson,
G.D. The emerging role of antineoplastic agents in the treatment of keloids and
hypertrophic scars. Annals of Plastic Surgery, 2010; 64:355-61

xiv

También podría gustarte