Está en la página 1de 6

TUGAS

TEORI HUKUM
Resume Buku Filsafat Hukum
Tema-Tema Fundamental dari Sisi ajaran Fiat Justitia Ruat Caelum

Oleh :

ARIEF SURYADI
1833027

Dosen Pengampu :
Dr.Herman Bakir, SH,MH

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PASCASARJANA


UNIVERSITAS EKASAKTI
PADANG
2018
BAB I
STRUKTUR KEADILAN:
Konteks, Relasi & Line Of Attack

A. Infeksi-Infeksi Emblematis Tatanan Dunia Artifisial

Ungkapan metaforis dari Roxanne Varzi, seorang antropolog perempuan berdarah Amerika –
Iran yang cukup memiliki reputasi mengatakan “ Justice is a ghost that haunts every bloody
conflict or crime…” yang artinya dalam bahasa Indonesia dapat dibaca : keadilan adalah hantu
yang menyelinap secara ghaib dibelakang gelap pekatnya setiap tindak kejahatan serta konflik-
konflik berdarah. Untuk menggambarkan sebuah reputasi yang terkesan mengerikan dari elemen
keadilan.

Saat menamai keadilan sebagai poros kekuatan moral elementer dari tatanan hukum, yang
secara ghaib mengintai seperti hantu dibelakang setiap tindak kejahatan dan konflik-konflik
berdarah, Varzi tentu saja memiliki pertimbangan kuat dengan pernyataan itu. Kita sedikit
banyak dapat membaca dari pertimbangan ini, bahwa Varzi dengan ini sebenarnya boleh dibilang
tengah menyingkapkan untuk kita sebuah faset yang paling otentik dari keadilan.

Persisnya yang ingin dikatakan Varzi dengan itu adalah berkenaan dengan watak, kepribadian
dan tabiat yang paling mendasar dari keadilan, yakni sebagai “sebilah pedang” yang akan
diayunkan dan dihujamkan oleh setiap pencari keadilan dalam sebuah “mekanisme penuntutan
balas”.

Hominum causa jus constitum est, hukum diciptakan demi kesejahteraan manusia.
Kesejahteran tidak luput dari idealism manusia, hingga hukum senatiasa dituntut atas nama
kesejahteraan. Idealisme manusia menciptakan gambaran ruang social dimana tertibnya
masyarakat yang diatur sedemikian rupa oleh hukum, bukan hanya oase semata, melainkan
kondisi nyata yang dapat selalu diterawang kasat mata lewat berbagai macam sudut pandang
ideology yang menyertakan gagasan “masyarakat hukum:. Pertentangan terjadi ketika penegakan
hukum mulai menjauh dari aturan yang sudah ditetapkan, atau dalam berbagai kasus, penegakan
hukum tersebut oleh laku dua kubu yang berbeda, dengan dalih masing-masing, menarik ulur
kepastian hukum itu sendiri.

Ide awal untuk menjadikan hukum tonggak berdirinya keadilan tapi menemui hambatan.
Masalahnya, manusia sepetri melupakan begitu saja intisari terbitnya hukum, gagasan awal
mereka mengenai tuntutan kesejahteraan ini sering bertolak belakang dengan laku mereka sehari-
hari. Hukum layaknya mitologi yang masih di percayai beberapa kalangan, sebagian tidak ragu
melanggarnya mengingat itu tidak lebih dari cerita yang terus di dengung-dengungkan tampa
laku nyata, sebagian berpicing mata memilih bungkam seakan mitologi itu benar-benar punah
Setiap pundamentalis juga dapat mengingat benar di benak mereka, bahwa keadilan adalah
bintang venus yang selalu memabukkan dengan janji muluk kebahagian yang ia kumandangkan
di bahwa cahaya-nya yang timbul tenggealam, yang sering sekali sirna sama sekali selagi orang-
orang remuk dan tertindas mulai memasuki episode terakhir dari perjuangan mereka untuk
meraihnya

Hukum tidak pernah benar-benar runcing kebawah dan tumpul ke atas, tak menumui
kuasanya di lavel masyarakat kelas atas yang memegang kuasa tapi menurut kabanyakan teori
juga keadilan belum lagi tercapai “Kita tidak hidup di dunia yang adil” kebanyakan orang
percaya bahwa ketidak adilan harus di lawan dan di hukum, dan banyak gerakan social dan
politis di seluruh dunia yang berjuang menegakan keadilan. Tapi , banyaknya jumlah dan variasi
teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang di tuntut dari keadilan dan
realita ke tidak adilan, karena devinisi keadilan itu sendiri tidak jelas. Keadilan intinya adalah
melatkan segala sesuatunya pada tempatnya

BAB II
PISO’S JUSTICE
ASUMSI-ASUMSI PERTAMA

Ungkapan Fiat Justia Ruat Caelum pertama kali di serukan oleh seorang konsul romawi
yaitu Lucius Calpurnius Piso Caesonius atau yang lebih populer di panggil dengan panggilan
Piso. Ungkapan Fiat Justia Ruat Caelu yang berarti bahwa tegakkan hukum walaupun langit
runtuh menjadi populer bagi setiap individu yang sedang berkaitan dengan hukum. Judul esai
yang berjudul “De Ira” bisa di artikan sebagai kemarahan atau amukan. Seneca membuat istilah
De Ira tersebut untuk menggambarkan kemarahan kaisar Romawi yaitu Gaius Julius Caesar
Agustus Germanicus yang wafatnya pada 24 Januari 41 Masehi.
Ungkapan Fiat Justia Ruat Caelum lahir dan di orasikan oleh Piso untuk memberikan
nilai moral atau menguatkan kedudukan moral dalam menghukum tiga orang serdadu Romwai
yang terlibat tindakkan tidak disiplinan. Ungkapan Piso tersebut disebutkan juga terpengaruh
dari ajaran Aristoteles tentang keadilan yaitu doktrin convensional justice atau keadilan
konvvensional, dimana berdasarkan doktrintersebut keadilan sebagai apa pun yang diputuskan
serta di tetapkan oleh pejabat hukum. Piso berpaling dari ajaran berpaling dari ajaran lanjutan
mengenai keadilan yang di usung oleh Aristoteles yaitu Distributiv Justice/keadilan distributif
atau keadilan commutative justice/keadilan komutatif.
Orasi piso seperti yang di ungkapkan oleh Senca tersebut diperkirakan terjadi pada masa
akhir masa republik Romawi menjelang keruntuhannya dan berdirinya kekaisaran Romawi.
Consul sebagai seubuh jabatan dalam sistem ketatanegaraan Romawi adalah jabatan yang sangat
pestisius terlebih kitika masa perang. Piso sebagai seorang consul dari Romawi mempunyai tiga
kekuasaan sekaligus yaitu kekuasaan dalam bidang administrasi pemerintahan, kekuasaan dalam
menerbitkan peraturan dan kekuasaan dalam mengadili perkara di persidangan.
Piso diindetifikasi sebagai seorang yang berasala dari kalangan rakyat jelata. Namun
terdapat tidak sepakatan oleh sarjana barat mengenai siapa sebenarnya seorang Piso tersebut.
Pendapat yang pertama menyebutkan bahwa Piso mempunyai nama panjang Gnaesus Piso atau
lenkapnya yaitu Lucius Calpurnius Piso Caesoninus yang merupakan mertua dari Julius Caesar
melalui anak perempuanya Calpurina Pisonis. Pendapat yang kedua lebih banyak pengikutnya
dibandingkan dengan pendapat yang pertama.
Ungakapan Fiat Justia Ruat Caelum lahir dari “Vos Luris Civilis” atau Viva Vox Est Luris
Civilis” yang bisa di artikan sebagai ekspresi hukum masyarakat. Oleh Piso putusan hukum tidak
melulu tentang paradigma dan wibawa, juga membawa kharisma.
Mengenai kharisma dalam putusan hakim, oleh Herman Bakir, dibahas sebagai berikut :
1. Kharisma adalah x-element bagi setiap keputusan
Keputusan yang diputuskan dengan kharisma akan menyejarah dan akan diingatkan
sebagai sebuah keputusan penting, menjadi rujukan banyak hakim. Keputusan tersebut
kemudian dinilai sebagai keputusan cerdas, atraktif serta mengusung vitalitas etis dan
setetis.
2. Kharisma adalah “ jalan purifikatif” merasionalkan setiap keputusan
Kharisma juga dipandang sebagai alat untuk membersihkan setiap produk keputusan
yang oleh sebagaian masyarakat bisa saja putusan tersebut dipandang sebagai keputusan
kotor atau tidak tepat. Namun tragedi perkara indisipliner yang menimpa tiga orang
serdadu Romawi yang diputuskan bersalah memuat beberapa masalah seperti tergambar
sebagai berikut :
- Orang yang terbukti tidak bersalah namun terlanjur ditetapkan bersalah
- Orang kedua yang dihukum mati adalah orang yang dinyatakan bersalah karena telah
secara sepihak memaksa ditundanya proses eksekusi hukuman mati atas seseorang
yang secara meyakinkan terbukti tidak bersalah.
- Orang ketida yang dihukum mati serdadu kedua adalah orang yang dinyatakan
bersalah lantaran telah mengakibatkan dihukum matinya dua orang tersebut diatas.
Keputusan-keputusan yang di anggap melukai/mencederai perasaan akan selamanya
tersimpan direlung terdalam dari sanubari masyarakat manusia. Ungkapan Fiat Justitia Ruat
Caelum secara verbal tidak ada yang salah. Namun dipandang dari sudut moral hal tersebut
memuat permasalahan. Hukum dipandang sebagai penjagalan bagi subjek-subjek hukum. Nyawa
seorang manusia di pandang tidak berarti.
Bahwa pemikiran Piso tersebut bertentangan dengan cara berpikir sistem hukum
kontinental yang banyak diterapkan seperti di Indonesia seperti bertentangan dengan asas
Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali, bahwa segala sesuatunya harus
tampak dan jelas bukan seperti Piso yang menyusun dakwaan dan putusannya berdasarkan logika
dan moralnya sendiri. Seharusnya berdasarkan asas ini, putusan Piso harus terdapat setidak-
tidaknya dua peluang bentuk putusan yaitu bawha terdakwa dinyatakan dipidana karena terbukti
bersalah atau dinyatakan bebas karena tidak terbukti bersalah.
Disamping bertentangan dengan asa asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia
Lega Poenali, tindakan Piso yang menghukum tiga orang serdadu Romawi dengan menguatkan
putusannya secara kharismatik dalam ungkapan Fiat Justia Ruat Caelum, tindakan Piso juga
dianggap bertentangan dengan asas Culpabilitas. Bahwa suatu hukuman dijatuhkan berdasarkan
dengan adanya kesalahan. Tidak ada hukuman bagi yang tidak bersalah, oleh karena itu suatu
perlu diuji terlebih dahulu.
Cara pikir seorang Piso yang seorang Romawi tersebut diulas oleh Arief Sidharta bahwa
cara pikir bangsa Romawi tidak seperti Yunani yang sangat memuja tradisi berpikir reflektif
untuk pengembangan ide-ide yang abstrak. Bangsa Romawi justru sangat mengandalkan cara-
cara pragmatis dan praktis untuk penyelesaian isu-isu konkret problematis keseharian.
Menurut Herman Bakir, keadilan dipandang hanyalah sebagai ketegasan seorang
pengambil keputusan. Seberapa jauh ia harus berjalan untuk meninggalkan dan berpaling dari
klaim-kalim objektif apapun yang dalam apresiasi hukum khalayak dapat di anggap sebagai
kebenaran dalam sudut moral. Keadilan tidak boleh terlibat dalam hal populasi atau tidak
populis. Kejujuran adalah keutamaan, walaupun pahit dia harus disampaikan.

BAB III
PARADIGMA
WIBAWA DAN KHARISMA PENEGAKAN HUKUM

Sejarah akan terus berulang, akan ada siklus kebangkitan, siklus kejatuhan, kekalahan,
kemenangan dan sebagainya. Hal tersebut didasari dengan pandangan bahwa:

1. Dalam ilmu astronomi terdapat paham siklial bahwa sejauh mana kondisi berubah akan
tetap kembali ke kondisi awal. Hal tersebut didasari akan pengamatan terhadap
perputaran bumi terhadap matahari yang setelah berputar akan kembali kepada kondisi
awal sebagaimana dimulainya awal tahun pada setiap tanggal 1 januari.
2. Siklus ini bisa juga terus terpelihara dibawah pengaruh kekuatan-kekuatan eksternal yang
dominan yang seringkali memotivasi setiap sikap, tindakan, perilaku, pertimbangan serta
keputusan masyarakat manusia agar senantiasa kembali kedalam siklus sedemikian.
Mengenai fenomena ini dapat kita lihat dalam beberapa kali rentetan revolusi yang terjadi
dalam sejarah umat manusia seperti Revolusi Prancis, Revolusi Rusia, Revolusi Kuba
dan seperti juga halnya Reformasi Mei 1998 di Jakarta.
Karl Marx dalam sebuah kalimatnya menyebutkan bahwa History Repeats it self twice,
First as tragedy, Second as farce, atau bisa diartikan bahwa menurut Marx sejarah sejarah
itu akan terjadi kedua kalinya, sejarah pertama adalah tragedi, sedangkan sejarah kedua
seperti lelucon atau dagelan.
Makna yang tersirat dibelakang konsep Piso’s juctice dalam bacaan sebagian besar
dipengaruhi oleh dalil-dalil sentimental yang diperjuangkan oleh filsuf hukum alam
seperti Plato, Zeno, Henry De Bracton, Jhon Fortescue, Thomas Hobbes, Richard
Cumberland, Abu Rayhan Al-Biruni, Jhon Finnis dan lainnya. Usaha-usaha reflektif-
kontemplatif dari pada pengusungnya terhadap hukum dan sistem yang menunjangnya
bertolak dari dalil berusia rbuan tahun, bahwa aturan-aturan hukum positif, sebagai hasil
manipulasi atau rekayasa intelektual masyarakat manusia, mesti selaras/ senafas dengan
kaidah-kaidah hukum alam yang ghaib dan universal.
Penganut filsafat hukum alam menjunjung tinggi dua bentuk harmoni yaitu harmoni
semesta dan harmoni sosial. Harmoni semesta menyatakan kondisi dimana interaksi yang
terjalin antara masing-masing anasir alam telah berjalan secara seimbang atau telah
berfungsi sebagaimana seharusnya. Begitu pula haylan harmoni sosial yang menyatakan
terjalinnya interaksi sosial yang seimbang antara berbagai elemen yang membentuk suatu
tatanan kemasyarakatan.
Pembentukan dan penerapan materi-materi hukum positif kedalam pemecahan masalah-
masalah konkret dalam konteks ada-dalam kebersamaan sosial masyrakat manusia,
seharusnya hanya akan melihat sebuah tujuan akhir, yakni menegakkan keadilan di bumi,
dan bukan atau tidak boleh untuk tujuan lainnya. Hanya inilah satu-satunya jalan atau
pilihan yang mesti ditempuh jika masyarakat manusia menginginkan hidup berbahagia
dibawah kontrol sebuah tatanan hukum positif “diberkahi” (oleh alam) serta diselamatka
(dari murka alam).
Sentimen emosional telah menjadi energi untuk mengekspresikan keadilan. Justru,
keadilan yang tanpa sentimen emosional akan jauh lebih menakutkan dibanding yang
dengan emosi, sebab pada saat tanpa emosi, dipastikan bahwa unsur keadilannya telah
samasekali dikorbankan, tidak lagi ada keadilan. Ini tentu akan bertolak belakang halnya
dengan sifat otentik yang orang bisa jelaskan dari unsur legal certanty atau kepastian
hukum. Kepastian hukum adalah salah satu nilai moral yang berjalan tanpa rasa emosi
atau hanya dengan secuil emosi. Dengan demikian keadilan itu sendiri bisa jadi
bertentangan dengan kepastian hukum itu sendiri. Tanpa kepastian, keadilan tidak pernah
benar-benar hadir dengan jati dirinya dan keadilan tidak pernah benar-benar secara
meyakinkan tegak di bumi tanpa memperoleh dukungan/ landasan pijak dari kepastian.
Hanya ada satu jalan dalam mendekati keadilan untuk sebuah klaim dan keputusan,
terutama dalam konteks penerapan aturan-aturan hukum ke dalam konteks kenyataan
(kemasyarakatan), yakni appeal to emotion. Dengan jalan pikiran itu kita mulai dapat
melihat dua konsep umum yang memisahkan pemahaman kita tentang keadilan, yakni:
a. The emotionally expressive justice (keadilan yang ekspresif secara emosional)
b. The emotionally ornamental justice (keadilan yang ornamental secara emosional).

También podría gustarte