Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
(LEASING)
Pembiayaan pengadaan barang modal untuk memenuhi kebutuhan pengguna barang
modal dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti dengan pembelian tunai,
ataupun dengan sewa guna usaha (leasing). Pilihan cara mana oleh pengguna barang
tergantung pada kondisi dan preferensi masing-masing. Dalam hal pembiayaan pengadaan
dengan pembelian tunai, tentu dibutuhkan dana kas tunai sebesar harga barang modal tersebut
dari pengguna barang, sedangkan jika memilih cara sewa guna usaha (leasing), dana yang
diperlukan untuk pengadaan tidak harus sekaligus tersedia di awal pengadaan. Dalam hal
memilih cara pembiayaan dengan leasing, pengguna barang juga dapat memilih diantara 2
pilihan leasing, yaitu 1) pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal secara sewa-
guna-usaha dengan hak opsi (finance lease), dan 2) sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating lease) untuk digunakan oleh perusahaan atau perorangan yang menggunakan
barang modal (Lessee) dengan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan atau perusahaan
sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan (Lessor) selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Yang dimaksud dengan hak opsi dalam pembiayaan dengan operating lease adalah hak
Lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangka
waktu perjanjian sewa-guna-usaha. Dengan demikian keberadaan hak opsi ini memberikan
peluang kepada Lessee untuk membeli barang modal yang disewa, sehingga akhirnya
memilikinya, ataupun memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa. Lain halnya dengan
leasing tanpa hak opsi (operating lease), pihak lessee tidak otomatis memiliki hak untuk
membeli atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa, kecuali jika pihak Lessor
menawarkannya kemudian.
selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang
modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk
membeli;
setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee
melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value)
barang modal yang bersangkutan;
pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali
pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan
dalam Pasal 3 Keputusan ini;
dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal
3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya
sewa-guna-usaha.
Ditambahkan dalam KMK tersebut bahwa Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal
23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian
sewa-guna-usaha dengan hak opsi
seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh
lessor merupakan obyek Pajak Penghasilan.
lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-
usahakan tanpa hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 beserta peraturan pelaksanaannya
pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee
adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-
usaha tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.
1. Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek
pembiayaan berasal dari pemasok (supplier) :
Barang Kena Pajak tersebut dianggap diserahkan secara langsung oleh Pengusaha
Kena Pajak pemasok (supplier) kepada lessee;
Lessor tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena dianggap hanya
menyerahkan jasa pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai;
Pengusaha Kena Pajak pemasok wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada lessee
dengan menggunakan identitas lessee sebagai pembeli Barang Kena Pajak/penerima
Jasa Kena Pajak (tidak menggunakan metode qualitate qua (q.q.)).
Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
pada huruf c) adalah sebesar Harga Jual dari Pengusaha Kena Pajak pemasok.
2. Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek
pembiayaan berasal dari dari persediaan yang telah dimiliki oleh lessor :
1. Lessor pada dasarnya melakukan dua jenis penyerahan, yaitu :
2. Lessor harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan harus menerbitkan
Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut kepada lessee.
Pengukuhan lessor sebagai Pengusaha Kena Pajak ini dilakukan dengan tetap
memperhatikan batasan Pengusaha Kecil menurut ketentuan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai.
Adapun untuk penyerahan jasa kena pajak dari sewa-guna-usaha tanpa hak opsi dari lessor
kepada lessee sebagaimana diatur dalam pasal 18 KMK No. 1169/KMK.01/1991 dikenakan
PPN***
Operating Lease- Lessee- (Tanpa Hak Opsi)
Di dalam laporan keuangan lessee, adanya transaksi operating lease berdampak pada
penyajian beban sewa di dalam Laporan Rugi/Laba. Lesse juga tidak berhak mencantumkan
aset yang disewanya ke dalam neraca karena secara legal tidak ada peralihan kepemilikan
(suatu keuntungan yang akan membuat rasio keuangan lessee menjadi bagus). Mengingat
konsep operating lease yang sederhana maka tidak ada penyajian informasi terkait utang
leasing dan beban penyusutan di dalam Laporan Keuangan lessee (Neraca dan Laporan
Rugi/Laba). Dari sisi perpajakan, terkait adanya transaksi operating lease ini maka lessee
bertindak sebagai pihak pemotong PPh Pasal 23 atas sewa. Sehingga nilai sewa yang
dibayarkan lessee kepada lessor adalah nilai bersih yang sudah dipotong PPh Pasal 23.
Berikut disajikan ilustrasi operating lease sebagai penjelasan.
Pada tahun 2016 PT Bina Cita (lessee) menyewa sebuah mesin produksi dari PT Cipta Karya
(lessor) dengan kesepakatan bentuk sewa adalah operating lease. Masa manfaat mesin adalah
5 tahun dan PT Bina Cita hanya menyewa selama satu tahun saja dengan nilai sewa
Rp24.000.000,- per tahun. Uang sewa untuk setahun penuh dibayarkan kepada PT Cipta
Karya pada setiap awal tahun (Januari 2016). Maka berikanlah penjelasan dan analisis yang
komprehensif mengenai aspek akuntansi dan perpajakan yang harus dilakukan oleh PT Bina
Cita jika kedua pihak tetap melakukan pengakuan pendapatan dan beban untuk setiap bulan
di pembukuan masing – masing.
Terhadap ilustrasi diatas, maka dari sisi akuntansi dan perpajakan PT Bina Cita harus
mencatat biaya yang dibayarkan kepada PT Cipta Karya sebagai beban sewa. Tetapi disaat
yang sama ketika melakukan pembayaran, maka PT Bina Cita harus memotong PPh Pasal 23
sebesar 2% dari nilai sewa. PPh Pasal 23 yang telah dipotong ini akan menjadi utang yang
wajib disetorkan ke Kas Negara sesuai batas waktu yang ditentukan. Aspek lain yang harus
diperhatikan PT Bina Cita adalah sehubungan dengan pembayaran yang dilakukan pada awal
tahun sehingga saat dilakukan pembayaran, PT Bina Cita memperoleh hak untuk
memanfaatkan sampai dengan akhir tahun (Sewa Dibayar Dimuka) sebesar Rp24.000.000,-
atau setara dengan Rp2.000.000,- per bulan. Sehingga ayat jurnal yang perlu dicatat oleh PT
Bina Cita untuk periode Januari 2016 adalah sebagai berikut:
Kas – Rp23.520.000
Kas – Rp480.000
Di dalam Laporan keuangan lessor, transaksi operational lease terlihat dari adanya akun
Pendapatan Sewa di dalam Laporan Rugi/Laba. Lessor juga masih wajib mencantumkan
leased asset sesuai dengan nilai yang telah disusutkan secara proporsional menurut besaran
depresiasi. Hal ini dikarenakan lessor wajib setiap tahun menyusutkan leased asset sesuai
masa manfaat aset tersebut. Sehingga di dalam Laporan Rugi/Laba terdapat proporsi yang
wajar antara pendapatan yang diperoleh dengan beban penyusutan yang ditimbulkan
(matching concept). Disaat yang sama, lessor wajib menanggung beban pemeliharaan leased
asset sehingga beban tersebut wajib dibiayakan di dalam Laporan Rugi/Laba yang meliputi:
biaya penilai (appraisal fee), biaya perantara (finders fee), dan biaya suku cadang. Lessor
meneriman penghasilan melalui penyewaan leased asset kepada lessee dengan tetap
memperhatikan adanya kewajiban untuk dipotong PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut.
Contoh kasus yang dapat membantu adalah sebagai contoh kasus sebelumnya namun analisis
dan penjelasan diberikan dari sudut pandang PT Cipta Karya sebagai lessor.
Dari contoh sebelumnya, jika ternyata PT Cipta Karya telah menghitung nilai mesin produksi
tersebut sebesar Rp120.000.000,-. Maka berikanlah penjelasan dan analisis yang
komprehensif mengenai aspek akuntansi dan perpajakan yang harus dilakukan oleh PT Cipta
Karya.
Secara akuntansi aspek terpenting yang harus dipahami bahwa ketika bulan Januari 2016 PT
Cipta Karya menerima pendapatan yang belum sepenuhnya menjadi haknya sehingga disebut
Pendapatan Diterima Dimuka, yaitu pendapatan dari pembayaran sewa untuk bulan Februari
s.d. Desember 2016. Adapun untuk periode Januari 2016 sudah dapat dicatat sebagai
Pendapatan Sewa. Kemudian, terhadap aliran kas masuk yang diterima PT Cipta Karya maka
PT Cipta Karya harus mencatatnya sebagai Kas sebesar nilai bersih setelah dipotong PPh
Pasal 23 dan mencatat pemotongan tersebut sebagai PPh Pasal 23 Dibayar Dimuka. Sehingga
ayat jurnal yang disiapkan oleh PT Cipta Karya pada Januari 2016 adalah sebagai berikut:
Kas Rp23.520.000 –
Pada akhir tahun 2016, PT Cipta Karya wajib mencatat jurnal penyusutan atas mesin
produksi sebesar Rp120.000.000 dibagi secara proporsional untuk 5 tahun yaitu
Rp24.000.000,- dengan ayat jurnal sebagai berikut:
Jadi dari ilustrasi diatas dapat diketahui bahwa Operating Lease baik dipandang dari sisi
lessee maupun lessor tidak sama sekali melibatkan konsep bunga dan diperuntukkan untuk
masa sewa yang singkat (masa sewa tidak lebih dari 75% usia manfaat aset yang hendak
disewa) dan nilai sewa tidak melebihi 90% nilai wajar aset tersebut. Ciri khas utama yang
mudah dikenali dari Operating Lease ini adalah tidak adanya opsi pengalihan kepemilikan
aset. Status kepemilikan tetap yakni menjadi milik lessor sampai dengan masa sewa berakhir.
Aspek akuntansi dan perpajakan atas jenis sewa ini terbilang sederhana karena hanya
melibatkan perhitungan yang proporsional.
Didalam laporan keuangan lessee transaksi capital lease menyebabkan kepemilikan aset dari
leasing harus dilaporkan di dalam Laporan Posisi Keuangan (Neraca). Diiringi dengan
penyajian nilai utang leasing di sisi kewajiban. Ketentuan ini membawa konsekuensi
penyajian Beban Penyusutan- Aset Leasing pada Laporan Rugi/Laba dan Akumulasi
Penyusutan- Aset Leasing didalam Neraca. Namun, poin penting yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pembebanan Beban Penyusutan- Aset Leasing selama masa sewa hanya
diperkenankan untuk kepentingan komersial. Dalam rangka menghitung PPh Badan,
Beban Penyusutan- Aset Leasing selama masa sewa tidak diperkenankan dijadikan
sebagai pengurang penghasilan bruto, pembebanan diperkenankan ketika masa sewa
telah habis dan Aset Leasing telah menjadi milik lessee dengan dasar penyusutan
adalah nilai residu. Hal ini sebagaimana telah diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor KMK-1169/KMK.01/1991 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
10/PJ.47/1994 termasuk pula dalam hal ini Beban Bunga yang muncul sehubungan dengan
transaksi capital lease. Selain itu, terkait adanya transaksi capital lease ini maka lessee tidak
boleh bertindak sebagai pihak pemotong PPh Pasal 23 atas sewa. Sehingga nilai sewa yang
dibayarkan lessee kepada lessor adalah nilai bersih tanpa dipotong PPh Pasal 23. Berikut
disajikan ilustrasi capital lease sebagai penjelasan.
Pada 1 Januari 2012, PT Pelangi menyewakan peralatan kepada PT Bianglala. Peralatan
tersebut seharga 2.000.000 (Nilai wajar peralatan). Perjanjian sewa mengandung klausul –
klausul berikut ini:
Sewa dapat dibatalkan, dan PT Bianglala akan dikenakan penalti yang tidak signifikan. PT
Bianglala akan mengembalikan peralatan kepada PT Pelangi pada akhir masa sewa. Present
Value (Nilai Kini) dari pembayaran sewa minimum (dihitung dengan menggunakan tingkat
bunga implisit 11.65%) adalah Rp1.827.100
Dari kas