Está en la página 1de 30

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH

FISIOTERAPI NEUROMUSKULAR

ATAXIA

ERVINA DEWI RAMADHANTI ( 1606868920 )

PROGRAM VOKASI

BIDANG STUDI RUMPUN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

Depok

Oktober 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dengan tepat waktu. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas
dalam mata kuliah Neuromuskular di semester V ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini. Oleh sebab itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan saya selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya dan rekan-rekan fisioterapi pada
khususnya.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, saya berharap agar makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Depok , 8 Oktober 2018

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... 4

BAB I KAJIAN TEORI ...................................................................................... 5

A.Definisi ................................................................................................................ 5

B.Anatomi Fisiologi ................................................................................................ 5

D. Etiologi ............................................................................................................... 8

E. Epidemiologi ...................................................................................................... 9

F. Patofisiologi ........................................................................................................ 9

G.Manifestasi Klinis ............................................................................................... 9

H.Prognosis ........................................................................................................... 10

I.Penatalaksaan Fisioterapi ................................................................................... 12

J. Diagnosis ........................................................................................................... 21

K. Teknologi Fisioterapi ....................................................................................... 22


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Ataxia .................................................................................................. 5


Gambar 1. 2 MRI ..................................................................................................... 5
Gambar 1. 3 Serebelum (otak kecil)......................................................................... 6

UNIVERSITAS INDONESIA | 4
BAB I
KAJIAN TEORI

A.Definisi

Ataksia merupakan suatu gejala penyakit, yang menunjukkan adanya


gangguan koordinasi gerak. Istilah ataksia umumnya digunakan untuk
menggambarkan gangguan berjalan yang tidak terkoordinasi dan tidak seimbang,
tetapi ataksia juga dapat melibatkan jari, lengan, cara bicara, dan pergerakan mata.
(Smith CO, Bennet Rl, Bird TD. Spinocerebellar Ataxia: Making an Informed
Choice about genetic testing).

Gambar 1. 1 Ataxia

Sumber : pedclerk.bsd.uchiago.edu

B.Anatomi Fisiologi

Gambar 1. 2 MRI

Kiri sesudah, kanan sebelum


Sumber : pedclerk.bsd.uchiago.edu

Otak cereblum

Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang dari sebuah


tabung yang mulanya memperhatikan tiga gejala pembesaran otak awal.
UNIVERSITAS INDONESIA | 5
a. Otak depan menjadi hemisfer serebri, korpus striatum, thalamus, serta
hipotalamus.
b. Otak tengah, tegmentum, krus serebrium, korpus kuadrigeminus.
c. Otak belakang, menjadi pons varoli, medulla oblongata, dan serebelum.

Pada kasus Ataxia ini, otak


yang terkena ialah serebelum.
Serebelum (otak kecil) terletak
pada bagian bawah dan
belakang tengkorak dipisahkan
dengan serebrum oleh fisura
transversalis dibelakangi oleh
pons varoli dan di atas medula
oblongata. Organ ini banyak
menerima serabut aferen
Gambar 1. 3 Serebelum (otak kecil)

Sumber : google.co.i.d

sensoris, merupakan pusat koordinasi dan integrasi.

Bentuknya oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan
bagian yang melebar pada lateral disebut hemisfer. Serebelum berhubungan
dengan batang otak melalui pendunkulus serebri inferior (korpus retiformi)
permukaan luar serebelum berlipat-lipat menyerupai serebelum tetapi lipatannya
lebih kecil dan lebih teratur. Permukaan serebelum ini mengandung zat kelabu.

Korteks serebelum dibentuk oleh subtansia grisea, terdiri dari tiga lapisan
yaitu granular luar, lapisan purkinye, lapisan granular dalam. Serabut saraf yang
masuk dan yang keluar dari serebrum harus melewati serebelum

Fungsi serebelum

1. Arkhioserebelum (vestibuloserebelum), serabut aferen berasal dari


telinga dalam yang diteruskan oleh nervus VIII (auditorius) untuk

UNIVERSITAS INDONESIA | 6
keseimbangan dan rangsangan pendengaran ke otak.
2. Paleaserebelum (spinoserebelum. Sebagai pusat penerima impuls dari
reseptor sensasi umum medula spinalis dan nervus vagus (N. trigeminus)
kelopak mata, rahang atas, dan bawah serta otot pengunyah.
3. Neoserebelum (pontoserebelum). Korteks serebelum menerima
informasi tentang gerakan yang sedang dan yang akan dikerjakan dan
mengaturgerakan sisi badan.

Cerebellum danggap sebagai Head Ganglion dari system proprioseptif, karenanya


dia berfungsi :

1. Mengatur tonus otot skelet


2. Mengontrol aktivitas otot sadar
3. Mengatur postur dan keseimbangan tubuh

C. Klasifikasi

1. Ataksia akuisita/Acquired: Gejala muncul setelah cedera, trauma atau


kondisi lain yang mempengaruhi otak atau sistem saraf, seperti pada pasien
yang mengalami stroke
2. Ataksia herediter: Bentuk ataksia yang diwariskan dan masalah dengan gen
menyebabkan gejala timbul selama bertahun-tahun
3. Idiopatic late onset ataksia cerebellar (ILOA): kerusakan progresif pada
otak kecil dari waktu ke waktu menyebabkan ataksia, meskipun alasan
tidak sepenuhnya dipahami
4. Ataksia serebelaris dibagi menjadi ataksia yang didapat (acquired) dan
ataksia herediter. Hal ini perlu dibedakan melalui riwayat keluarga,
pemeriksaan fisik, neuroimaging dan tes genetik, agar didapatkan suatu
diagnosis yang tepat. (Smith CO, Bennet Rl, Bird TD. Spinocerebellar
Ataxia: Making an Informed Choice about genetic testing).

UNIVERSITAS INDONESIA | 7
Kasus-kasus ataksia serebelaris herediter sangat jarang dijumpai, khususnya di
Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena belum adanya laporan mengenai data ini
serta keterbatasan dalam melakukan pemeriksaan genetika.

D. Etiologi

1. Trauma Otak dan Saraf Tulang Belakang


Setiap cedera atau kerusakan pada otak dan sistem saraf pusat dapat
menyebabkan ataksia. Kondisi ini disebut ataksia serebral akut dan dapat
terjadi karena benturan akibat kecelakaan kendaraan atau terbentur benda
keras di kepala.
2. Pasokan Darah dan Oksigen yang Terganggu
Stroke menyebabkan suplai darah dan oksigen ke otak terganggu. Hal ini
menyebabkan otak kekurangan oksigen dan kekurangan nutrisi sehingga
memicu kematian sel-sel otak.

3. Transient Ischemic Attack (TIA)


TIA melibatkan penurunan sementara pasokan darah ke otak yang
menyebabkan hilangnya koordinasi untuk sementara. TIA hanya
berlangsung beberapa menit, namun mampu memicu kerusakan sel otak.
4. Multiple Sclerosis (MS)
MS adalah penyakit yang mempengaruhi sistem saraf pusat yang bisa
memicu ataksia serebral.
5. Cerebral Palsy
Cerebral palsy adalah gangguan yang merusak otak bayi sehingga
menyebabkan hilangnya koordinasi gerakan tubuh.
6. Keracunan
Penggunaan obat dan zat tertentu bisa menyebabkan reaksi keracunan.
Reaksi ini menyebabkan kerusakan otak yang mengakibatkan ataksia.
Konsumsi barbiturat, obat-obatan terlarang, alkohol, keracunan logam
berat, dan pengencer cat bisa menyebabkan reaksi keracunan.

UNIVERSITAS INDONESIA | 8
E. Epidemiologi

Studi epidemiologis dari ataksia progresif di Inggris jarang, data dari


Inggris demikian dirangkum dengan informasi dari studi di negara lain. Di Inggris,
perkiraan terbaru berdasarkan penelitian di bawah ini menunjukkan setidaknya ada
10.000 orang dewasa dan 500 anak dengan progresif ataxia. Meskipun ataksia
progresif adalah kondisi langka, ketika diambil bersama mereka lebih umum
daripada kondisi neurologis lainnya yang lebih dikenal. Studi-studi ini
menunjukkan bahwa prevalensi yang progresif ataxias lebih tinggi daripada
kondisi yang umumnya lebih dikenal seperti penyakit Huntington dan penyakit
motor neuron.

F. .Patofisiologi

Penyebab dari ataksia tersebut belum diketahui pasti namun ataksia juga
dapat terjadi melalui factor genetic. Gangguan yang dihasilkan ataksia
menyebabakan bagian dari otak yaitu terjadi melalui factor genetic. memburuk
atau atrofi dan kemungkinan urat syaraf tulang belakang(spinal cord) sangat
berpengaruh. Ataksia disebabkan kemunduran jaringan saraf pada urat saraf tulang
belakang (spinal cord) dan saraf yang mengendalikan gerakan otot pada lengan
dan kaki. Urat saraf menjadi tipis dan sel-sel saraf kehilangan serabut myelin yang
berfungsi sebagai penghantar impuls.

Ataksia menyebabkan degenerasi pada sel cerebellum, spino sereberal dan


saraf lengan dan kaki jika cereberlum terjadi kerusakan maka akan menimbulkan
tidak adanya koordinasi gerak tangan, kaki . Juga berpengaruh pada kemampuan
berbicara selain itu juga akan memperlambat pergerakan mata. Ataksia juga tidak
hanya mempengaruhi oto-otot ekstremitas sajas juga dapat mempengaruhi kerja
jantung sehingga jantung tidak bisa bekerja dengan maksimal.

G.Manifestasi Klinis

Gejala yang terjadi pada penderita ataksia tergantung pada tipe ataksia itu
sendiri, kelainan gen umumnya menyebabkan ataksia dimulai sejak anak-anak
UNIVERSITAS INDONESIA | 9
hingga dewasa. Ataksia Friedreich juga merupakan penyakit degeneratif yang
progresif dan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Lebih dari 95%
penderita penyakit ini harus menggunakan kursi roda pada usia 45 tahun.
Kematian yang diakibatkan oleh ataksia Friedreich berkisar di usia 35-50 tahun

Gejala ataksia biasanya pertama kali terlihat pada masalah keseimbangan


dan koordinasi tungkai. Orang dengan ataksia dapat mengimbangi kondisi dan
kurangnya keseimbangan dengan cara memberi cara jarak cukup jauh di setiap
langkah. Gejala selanjutnya yang bisa muncul adalah berbicara cadel (disartria)
dan kesulitan menelan (disfagia). Selain itu, mata orang dengan ataksia bisa
bergerak tak menentu dari sisi ke sisi atau naik dan turun (oscillopsia).

Gejala lain yang harus diwaspadai ialah :

1. Tangan gemetar
2. Kehilangan sensasi dan kekuatan pada tungkai
3. Masalah kandung kemih dan usus
4. Kehilangan memori
5. Kecemasan dan depresi

Perkembangan penyakit bervariasi pada tiap orang, tapi setelah bertahun-


tahun sejak gejala pertama, pasien mungkin perlu menggunakan kursi roda.
Kebanyakan pasien meninggal pada usia dini jika memiliki penyakit jantung
kronis (penyebab kematian penyakit ini yang paling umum).

Pada penderita atkasia Friedreich stadium lanjut, kaki dan telapak kaki
akan terasa lemah sehingga menyebabkan sulit untuk berjalan. Pelemahan pada
kaki akan berlanjut menjadi kelumpuhan dan penderita harus menggunakan kursi
roda atau hanya berbaring di tempat tidur. Pelemahan anggota gerak juga akan
terjadi pada tangan, meskipun pelemahan pada tangan seringkali muncul setelah
terjadinya kelumpuhan pada kaki.

H.Prognosis

Beberapa penelitian yang sudah dilakukan dalam mengatasi ataksia adalah


dengan L-5-OH tryptophan, Amantadine, Buspirone, Physostigmine. Dari open
UNIVERSITAS INDONESIA | 10
studies dan placebo trial yang dilakukan, Amantadine dan Buspirone
menunjukkan hasil yang lebih baik. Buspirone (Busparâ)adalah suatu 5-
hydroxytryptamine (serotonin) yang bekerja dengan menginhibisi pelepasan
glutamate di serebelum. Diketahui bahwa serebelum memiliki banyak reseptor 5-
HTIA. Buspirone diberikan dengan dosis awal 20 mg/hari dan dinaikkan bertahap
sampai dosis maksimal 60 mg/hari. Selain itu penelitian tetrahyrobiopterin (open
trial)untuk SCA 3 menunjukkan hasil yang menguntungkan. Pemberian
acetazolamide untuk ataksia episodik (EA) dan SCA 6, serta isoleucine untuk
SCA 6 menunjukkan hasil yang menguntungkan.

Awalnya penderita diberikan gabapentin 300 mg/hari. Setelah 2 minggu,


terlihat perbaikan gejala klinis, batuk-batuk, nistagmus, klonus dan ataksia
berkurang. Kemudian terapi diteruskan dengan Buspirone 20 mg/hari, yang
kemudian dinaikkan menjadi 30 mg/hr. Selain itu juga dilakukan fisioterapi dan
psikoterapi pada penderita serta informasi dan edukasi kepada keluarga.

Penderita dengan degenerasi spinoserebelar herediter rata-rata dapat


bertahan lebih dari 15 tahun setelah onset. Tetapi pada progresifitas yang cepat,
kecacatan yang berat dan kematian dapat terjadi setelah 5-8 tahun setelah
onset. Hal ini biasanya terkait dengan gejala bulbar (central and obstructive sleep
apneas, stridor, aspirasi), rigiditas yang tidak diobati, gangguan otonom. Pada
kondisi ini prognosis lebih buruk.

Kematian biasanya disebabkan oleh komplikasi yang terjadi, terutama


untuk penderita bed-bound. Depresi juga banyak dijumpai pada penyakit
neurologis degeneratif. Hal ini meningkatkan kecenderungan untuk bunuh
diri. Belum ada data yang pasti mengenai angka kematian penderita karena kasus
sangat jarang dan sangat variatif jenisnya. (Perlman SL. Diagnostic dillemas in
spinocerebellar degeneration)

Pasien ini mempunyai prognosis cukup baik, dilihat dari progresifitas


penyakitnya yang tidak cepat dan fungsi serebelar masih cukup baik (clinical
rating scale menunjukkan disfungsi ringan). Penderita ini juga tidak menderita
depresi. Walaupun demikian tetap diperlukan antisipasi dan konseling dalam

UNIVERSITAS INDONESIA | 11
mengatasi dampak psikologis dan sosial di masa mendatang, terutama masalah
pekerjaan dan kehidupan sosialnya.

I.Penatalaksaan Fisioterapi

Assessment Merupakan suatu penilaian fisioterapis mengenaikondisi pasien


untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh pasien dan menentukan intervensi
apa yang dapat diberikan oleh fisioterapis. Langkah pertama dalam assesment
meliputi anamnesis. Anamnesis adalah cara pengumupulan data dengan cara tanya
jawab antara fisioterapis dengan narasumber. Dilihat dari segi pelaksanaannya
anamnesis dibagi menjadi:

1. Auto Anamnesis: Tanya jawab langsung tenaga kesehatan denganpasien.


2. Allo Anamnesis: Tanya jawab langsung fisioterapis dengan keluargapasien
atau orang terdekat pasien, karena pasien dianggap tidak mampu melakukan
tanya jawab.
Anamnesis terbagi menjadi anamnesis umum dan anamnesis khusus.
Anamnesis umum pasien meliputi pengumpulan data identitas pasien dan
anamnesis khusus meliputi pengumpulan data identitas khusus.

1. Pengumpulan data identitas pasien

Pengumpulan data identitas pasien diantaranya: nama jelas, tempat &


tanggal lahir, alamat, pendidikan terakhir, pekerjaan, hobi, dan diagnosa
medik. Pengumpulan data identitas pasien bertujuan untuk menghindari
kesalahan dalam pemberian intervensi fisioterapi, serta dapat menyesuaikan
intervensi dengan hobi dan latar belakang pasien.

2. Pengumpulan Data Riwayat Penyakit

a. Keluhan Utama (KU)

Keluhan utama adalah keluhan yang menjadi problematika


permasalahan utama yang menjadi alasan pasien datang ke Fisioterapi.

b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


UNIVERSITAS INDONESIA | 12
Berisi penjelasan riwayat perjalanan penyakit dengan bahasa
pasien secara lengkap yang berhubungan dengan diagnosa dan keluhan
pasien saat ini. Berisikan proses perjalanan penyakit, lamanya keluhan
yang dirasa, lokasi penyakit dan perluasannya, masa waktu sakit,
pengobatan yang pernah diberikan sebelumnya, termasuk kemampuan
fisik dan fungsional pasien yang terganggu.

c. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

RPD berisi tentang riwayat penyakit yang pernah dialami pasien


selama hidup, baik yang ada hubungannya dnegan keluhan
utama maupun yang tidak ada hubungannya dengan keluhan utama.

d. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

Riwayat penyakit yang sama atau yang


membawa gen seperti Hypertensi, Diabetes Melitus, Jantung dll yang
diderita oleh keluarga pasien.

e. Riwayat Psikososial (RPsi)

Kajian psikososial meliputi status emosi, kognitif, perubahan peran


pasien dalam keluarga dan masyarakat, serta pengaruh penyakit terhadap
aktivitas kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat.

3. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan Umum

1) Cara Datang

Dilihat dari keadaan pasien saat mendatangi terapis, dirawat untuk


pasien rawat inap, mandiri tanpa alat bantu, menggunakan alat bantu,
atau membutuhkan bantuan caregiver.

2) Kesadaran

UNIVERSITAS INDONESIA | 13
a) Compos Mentis adalah keadaan kesadaran penuh, pasiendapat
menjawab pertanyaan fisioterapis dengan baik.
b) Apatis adalah keadaan kesadaran yang segan dimana pasienterlihat
acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya.
c) Delirium adalah kesadaran menurun, peningkatan
aktivitaspsikomotorik abnormal, gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal.
d) Somnolen adalah kesadaran menurun, respon psikomotorlambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) dengan memberi jawaban verbal tetapi jatuh
tertidur lagi bila rangsangan berhenti.
e) Sopor adalah sudah tidak mengenali lingkungan, kantukmeningkat,
tidak berespon pada rangsangan ringan maupun sedang tetapi dapat
dibangunkan dengan rangsangan yang kuat. Refleks pupil terhadap
cahaya masih ada.
f) Koma adalah tidak bisa dibangunkan, tidak ada

responterhadap rangsangan apapun.

3) Kooperatif atau tidak kooperatif

Kooperatif berarti pasien mampu menanggapi perintah fisioterapis

4) Tensi atau tekanan darah

Tensi dilakukan untuk mengetahui tekanan darah pasien dalam keadaan


normal atau tidak sehingga dapat menentukan apakah pasien dalam
kondisi baik atau tidak untuk dilakukan pemeriksaan dan intervensi.

5) Nadi

Mengetahui denyut nadi merupakan dasar untuk melakukan latihan fisik


yang benar dan terukur atau mengetahui seberapa keras jantung
bekerja.23 Pengukuran denyut jantung dapat dilakukan dengan
meletakkan dua atau tiga jari (bukan ibu jari) tepat pada temporal,
apikal, ulnaris, femoral, radialis, brachialis, karotis, poplitea, posterior
UNIVERSITAS INDONESIA | 14
tibia, dan pedis. Pemeriksaan denyut nadi paling sering dilakukan pada
arteri radialis yaitu di pergelangan tangan sejajar dengan ibu jari.

6) Frekuensi Napas

Dalam proses ini pasien tidak diperintahkan untuk bernapas. Fisioterapis


menghitung frekuensi napas tanpa diketahui pasien dengan melihat
gerakan dada mengembang dan mengempis. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan secara simultan dengan pemeriksaan denyut nadi.

7)Status Gizi

Status gizi didapatkan dari pengukuran Indeks Masa Tubuh berdasarkan


WHO.

8) Suhu

Suhu pasien diperiksa melalui palpasi oleh terapis atau


menggunakan termometer yang dapat dipasang pada axilla, rectal, oral,
maupun telinga. Pemeriksaan setiaplokasi memiliki sedikit perbedaan pada
suhu normal; sekitar 37°C. Suhu dinyatakan dalam afebris dan febris.
Afebris adalah suhu pasien dalam keadaan tidak demam. Sedangkan febris
merupakan suhu pasien dalam keadaan demam.

b.Pemeriksaan Khusus

1) Inspeksi

Merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat:


Kondisi umum pasien yang meliputi keadaan umum penderita, ekspresi
wajah, dan kesimetrisan badan Postur, Mobilisasi, Pola jalan, Warna kulit,
Bentuk stump, Atrofi. Inspeksi dibagi menjadi dua, yaitu statis dandinamis.
Inspeksi statis adalah dengan melihat keadaan pasien saat diam seperti
bagaimana postur tubuh ketika pasien berada pada posisi maksimal yang
dapat dilakukannya, atrofi, deformitas, maupun warna kulit, sedangkan
inspeksi dinamis yaitu melihat keadaan pasien ketika bergerak

2) Palpasi
UNIVERSITAS INDONESIA | 15
Pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan bagian
tubuh pasien. Palpasi merupakan tindakan penegasan dari hasil inspeksi
untuk menemukan yang tak terlihat. Palpasi meliputi :

a) Suhu Local

Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah suhu lokal


didaerah nyeri febris atau afebris. Gunakan punggung tangan yang lebih
sensitif merasakan perubahan suhu.

b) Spasme

Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah ada otot yang


mengalami spasme atau tidaknya, berkaitan dengan intervensi yang akan
dilakukan.

c) Nyeri Tekan

Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah ada nyeri disaat


fisioterapis memberi sedikit tekanan di bagian tertentu. Teknik
pengukuran skala nyeri dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya
dengan Visual Analogue Scales.Visual Analogue Scales merupakan alat
ukur yang sederhana untuk mengukur perkiraan intensitas nyeri secara
subjektif. Teknik ini menggunakan urutan angka dari 1 sampai 10 untuk
menunjukkan nilai tingkatan nyeri. Nilai 1 untuk nyeri ringan dan 10
untuk nyeri paling berat. Fisioterapis menjelaskan terlebih dahulu
sebelum dilakukan penilaian.

3) Move

Move merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan menggerakan


ekstremitas pasien. Adapun pemeriksaan Move yaitu:

a) Lingkup gerak sendi (LGS) atau Range of Motion

Adalah luas lingkup gerakan sendi yang mampu dicapai atau


dilakukan oleh sendi. Pengukuran lingkup gerak sendi yang sering

UNIVERSITAS INDONESIA | 16
digunakan adalah pengukuran dengan goniometer, tapi untuk sendi
tertentu menggunakan pita ukur (misalnnya pada vertebra).

(1) Gerak aktif

Gerak aktif merupakan gerak otot yang dilakukan secara mandiri


oleh pasien dengan usahanya sendiri, dapat dinilai dengan
penggunaan goniometer atau alternatif dengan estimasi visual.

(2) Gerak pasif

Gerak pasif merupakan gerak yang dibantu oleh tenaga dari luar,
seperti fisoterapis atau pulleysystem, pasien dalam keadaaan diam,
dan terapissepenuhnya menggerakkan tubuh pasien

(3) Gerak resissted

Merupakan gerak melawan tahanan fisioterapis atau beban, dengan


usaha pasien sendiri

b) Manual Muscle Test (MMT)

MMT adalah penilaian kontraksi maksimal suatu otot atau kelompok


otot secara manual. Kriteria pemeriksaan MMT yaitu terdapat kontraksi
otot, melalui suatu rentang sendi (lingkup gerak sendi), dan melawan
tahanan gravitasi atau kekuatan si pemeriksa.

4) Pemeriksaan Biopsikososial

Pemeriksaan ini terdiri dari kognitif, intrapersonal dan interpersonal.


Tujuannya yaitu untuk mengetahui motivasi seerta dukungan keluarga dan
lingkungan pasien untuk menjalani fisioterapi serta motivasi untuk sembuh.

5) Test Khusus

Tes khusus dilakukan untuk menegakkan diagnosis.

a) Antropometri

UNIVERSITAS INDONESIA | 17
Pemeriksaan lingkar otot ini dilakukan untuk mengetahui lingkar otot
apakah ada atrofi atau tidak dengan membandingkan sisi sebelahnya.
Lingkaran tubuh dengan meteran gulung.

b) Tes Sensibilitas

(1) Raba Tekan

Tes ini dipersepsikan untuk reseptor pada subcutaneous dan jaringan


dalam, tes ini menggunakan ibu jari atau ujung jari tangan terapis
kemudian menekan permukaan kulit pasien pada tendon achilles.
Tekanan harus cukup untuk merangsang reseptor dalam. Pasien
ditanyakan mengenai sensasi yang diberikan apakah terasa atau tidak.

(2) Raba Ringan

Tes ini dipersepsikan untuk reseptor pada permukaan kulit,


dapat menggunakan kapas atau tissue. Caranya dengan menyentuh atau
mengusap. Pasien ditanyakan mengenai sensasi yang diberikan terasa
atau tidak.

(3) Nyeri (diskriminasi tajam – tumpul)

Tes dengan menggunakan peniti dan paper clip, tusukan ujung


tajam dan ujung tumpul secara random (tempat rangsangan jangan
terlalu dekat). Dengan tekanan yang ringan dan sama. Hati – hati pada
saat bagian yang tajam jangan sampai menusuk kulit pasien.

2. Test khusus :
a) Tes telunjuk-hidung
Penderita diminta untuk menyentuh ujung jari pemeriksa pada
jarak 20-30 cm di depannya keujung hidung penderita.
b) Tes tumit-lutut
Tumit tungkai kiri ditaruh di lutut tungkai kanan lalu tumit
menelusuri tibia ke pergelangan kaki (sebaliknya).
c) Tes Disdiadokinesis :

UNIVERSITAS INDONESIA | 18
Lengan penderita disuruh pronasi dan supinasi dengan cepat atau
Ibu jari disuruh menyentuh jari-jari lain secara berurutan dan
bolak-balik
d) Tes fungsi :
(1) Kancingkan baju
(2) Ambil beberapa uang logam di meja
(3) Menulis

4. Pengumpulan Data Tertulis Pemeriksaan Penunjang

Merupakan data–data yang dijadikan sebagai referensi untuk mengetahui


diagnosa medis dan menegakkan diagnosa fisioterapi. Misalnya dari hasil
ElektRange Of Motion iografi (EMG), Magnetic ResonanceImaging (MRI), CT
Scan, Ultrasonografi, dan tes laboratorium sepertianalisa darah, kRange Of
Motion osom dsb.

5. Urutan Masalah Fisioterapi Berdasrkan Prioritas

Urutan masalah didapatkan dari hasil pemeriksaan fisik baik pemeriksaan


umum maupun pemeriksaan khusus dan juga keluhan dari pasien itu sendiri.
Masalah tersebut diurutkan sesuai dengan prioritas mana yang akan fisioterapis
selesaikan.

6. Diagnosa Fisioterapi

Berdasarkan International Classification of Function diagnosis fisioterapi


berkaitan dengan impairment, functional limitation, dan participation restriction.

a. Impairment adalah ketidaknormalan anatomi, fisiologi dan psikologidalam


organ organ tertentu.
b. Functional limitation adalah adanya keterbatasan akibat dari impairment
yang belum menimbulkan kecacatan tetapimempengaruhi fungsi normal.
c. Participation Restriction adalah keterbatasan dalam berinteraksidengan
orang lain dan lingkungannya atau melakukan pekerjaan karena
keterbatasan fungsional.
7. Program Pelaksanaan Fisoterapi

UNIVERSITAS INDONESIA | 19
a. Pengumpulan data program fisioterapi dari dokter Rehabilitasi Medik

b. Tujuan

1) Tujuan jangka pendek

Tujuan jangka pendek dibuat berdasarkan prioritas identifikasi


problamatika fisioterapi dengan tujuan yang akan dicapai oleh pasien
setelah diberikan intervensi fisioterapi. Tujuan jangka pendek berkaitan
dengan sel, jaringan, dan organ.

2) Tujuan jangka panjang

Tujuan jangka panjang dibuat berdasarkan prioritas masalah, tetapi


bukan masalah yang utama atau segera. Biasanya mengembalikan
aktivitas fungsional tanpa menimbulkan keluhan kembali sesuai fungsi
yang masih ada dan harus realistis.

c. Teknologi Fisioterapi

Berisikan tentang semua terapi yang dapat diberikan kepada pasien


sesuai dengan identifikasi problematika fisioterapi. Teknologi fisioterapi
didalamnya menyangkut jenis intervensi, metoda intervensi, dosis
(frekuensi, durasi, dan intensitas) dan keterangan yang berisikan tujuan

d. Uraian Tindakan Fisioterapi

Berisi mengenai uraian tindakan fisioterapi yang fisioterapis


lakukan pada saat tanggal pemeriksaan tersebut. Menjelaskan bagaimana
posisi pasien, posisi fisioterapis, dan tatalaksana.

8. Evaluasi

a. Evaluasi hasil terapi

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam


pelaksanaan terapi yang diberikan. Evaluasi dilakukan sebelum, sesaat, dan
setelah terapi.

UNIVERSITAS INDONESIA | 20
S:Bersifat subjektif, keluhan apa saja yang sudah berkurang setelah dilakukan
terapi.
O:Bersifat objektif, menggambarkan hasil pemeriksaan fisioterapis kepada
pasien
A:Hasil assesment diagnosa fisioterapi sesuai dengan hasil pemeriksaan
P:Program perencanaan treatment dan Teknologi

Fisioterapi yang diterapkan untuk mentreatment pasien

b.Jadwal evaluasi ke dokter

Berisikan kapan pasien harus ke dokter kembali setelah menuntaskan


program fisioterapi

J. Diagnosis
1. Pemeriksaan konduksi saraf.
Tes ini berfungsi untuk mengukur kecepatan rangsang saraf melalui
pembuluh saraf. Tes ini dapat memberikan informasi jika terdapat
kerusakan jaringan saraf. Selama tes, kulit di bagian tertentu akan ditempeli
sepasang elektroda. Salah satu elektroda berfungsi sebagai pemberi
rangsangan, sedangkan elektroda lainnya berfungsi sebagai penangkap
rangsangan saraf.
Tes ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kondisi jantung dengan
menggunakan gelombang suara. Hasil analisis ekokardiografi pada
penderita ataksia Friedreich dapat menunjukkan adanya hipertrofi
ventrikel, hipertrofi septal, dan kardiomiopati hipertrofik.
2. Pemindaian MRI pada penderita ataksia Friedreich difokuskan pada otak
dan tulang belakang. Pada penderita ataksia Friedreich, dapat ditemukan
adanya atrofi, terutama pada saraf tulang belakang bagian leher.
3. Elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan ini berfungsi untuk menganalisa
kondisi rangsangan saraf pada jantung. Hasil EKG pada penderita ataksia
Friedreich, biasanya menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel dan inversi
gelombang T.

UNIVERSITAS INDONESIA | 21
K. Teknologi Fisioterapi

1. Intervensi untuk Keseimbangan dan Jalan


a. Pelatihan koordinasi berbasis video-game.

Pelatihan koordinasi intensif menggunakan videogame yang


dikontrol seluruh badan dapat menjadi efektif dan
terapi motivasi untuk anak-anak dengan ataksia progresif. Dalam uji coba
sepuluh anak dengan progresif ataxia (yang bisa berjalan tanpa dukungan)
penggunaan program pelatihan 8 minggu menghasilkan perbaikan dalam
berbagai tanda ataksia yang diukur dengan Skala untuk Penilaian. Program
pelatihan terdiri dari tiga Microsoft Xbox Kinect yang tersedia secara
komersial videogame (‘Tenis meja’, ‘Balapan Ringan’, dan ‘20.000
Kebocoran ’). Intervensi ini belum diuji orang dewasa atau anak-anak yang
tidak dapat berjalan tanpa bantuan. Pengawasan dari fisioterapis sangat
penting untuk memastikan gerakan yang benar sedang dilakukan dan untuk
keselamatan

b. Pelatihan treadmill
Pelatihan treadmill dapat menjadi intervensi yang efektif untuk
orang dengan ataksia karena cedera otak. Intensitas dan lamanya pelatihan
tampaknya menjadi faktor yang signifikan. Pelatihan intensif yang
konsisten terhadap banyak orang bulan dikombinasikan dengan pelatihan
di atas tanah mungkin diperlukan.
c. Visually guided stepping
Sistem kontrol oculomotor dan lokomotor berinteraksi selama
langkah yang dipandu secara visual di dalam lokomotor sistem tergantung
pada informasi dari sistem okulomotor selama mobilitas fungsional untuk
kaki yang akurat penempatan. Peningkatan yang ditandai dalam kinerja
oculomotor dan lokomotor telah terlihat berikut gerakan mata latihan
dalam sebuah penelitian kecil pada pasien dengan degenerasi cerebellar
ringan. Latihan dari langkah yang dimaksudkan melalui gerakan mata saja,
yaitu melihat penempatan target kaki untuk setiap langkah, sebelumnya
menegosiasikan ruangan yang berantakan, dapat meningkatkan kinerja dan

UNIVERSITAS INDONESIA | 22
keamanan. Strategi sederhana ini, meskipun tugas spesifik belum
menjanjikan dan relatif cepat dan mudah diterapkan secara fungsional
pengaturan.
d. Balance and mobility aids
Tidak ada penelitian yang secara khusus mengevaluasi peran alat bantu
keseimbangan dan mobilitas untuk orang dengan ataksia. Pengalaman
klinis menunjukkan bahwa alat bantu berjalan harus dipertimbangkan
berdasarkan kasus per kasus. Dalam hal kontrol postural, isyarat
somatosensori dari ujung jari - menggunakan kontak sentuhan ringan atau
Alat bantu berjalan sebagai alat keseimbangan - dapat memberikan
orientasi referensi yang kuat bahkan ketika kontak tingkat gaya tidak
memadai untuk memberikan dukungan fisik bagi tubuh. Memang,
observasi klinis menunjukkan bahwa beberapa individu dengan ataksia
menemukan kontak sentuhan ringan lebih berguna sebagai strategi
daripada bantuan berjalan konvensional. Beban berat ekstremitas atas
selama ambulasi dapat memperburuk atau memburuknya gaya berjalan.
Oleh karena itu, penting bagi orang dengan ataksia untuk
mengurangi ketergantungan berat mereka melewati ekstremitas atas
(misalnya: tidak bersandar pada perabot untuk membantu berjalan). Karena
itu penting untuk pastikan bantuan berjalan yang sesuai direkomendasikan
untuk setiap pasien
e. Lycra garments
Penggunaan lycra untuk mempengaruhi ayunan postural, usaha
berjalan dan kecepatan pada orang dewasa dengan ataksia telah dicampur
hasil yang mungkin tergantung pada individu (data tidak dipublikasikan:
M.Watson@uea.ac.uk). Tidak cukup data tersedia untuk mendukung
penggunaan pakaian lycra untuk anak-anak dengan ataksia.
f. Biofeedback untuk keseimbangan dan gaya berjalan

Beberapa bentuk biofeedback mungkin bermanfaat. Misalnya,


biofeedback posisi kepala menggunakan sistem elektro-taktil yang
ditempatkan di lidah menghasilkan perbaikan dalam ayunan postural
dengan mata tertutup dalam penelitian kecil orang dengan ataksia
UNIVERSITAS INDONESIA | 23
cerebellar. Namun, temuan bervariasi dan dari studi dengan jumlah yang
rendah.

2. Intervensi khusus untuk spastisitas

Fisioterapi memiliki peran penting dalam mendidik pasien dan perawat dalam
postur yang benar, penggunaan otot dan penghindaran pemicu spastisitas seperti
nyeri dan infeksi. Pemanjangan otot adalah fitur mendasar dari manajemen terapi
fisik kelenturan yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan
berbagai gerakan dan mencegah pembentukan kontraktur. Ini bisa Melibatkan
latihan fisik yang memusuhi otot kejang yang terlalu aktif dan juga meningkatkan
otot kekuatan; peregangan pasif oleh terapis atau pengasuh; atau teknik penentuan
posisi fisik. Latihan aktif umumnya lebih efektif daripada latihan pasif jika pasien
mampu; peningkatan kebugaran juga bisa berkurang kelelahan dan memungkinkan
latihan lebih lanjut. Pemosisian dapat melibatkan splinting, casting, orthoses,
berdiri atau penggunaan bobot, perangkat resistif, irisan, bantal atau T-roll.
Splinting yang lebih panjang dapat melibatkan material yang kuat seperti logam
atau plastik, atau bahan pendukung yang lebih lembut seperti busa atau kulit
domba. Orthoses harus berkualitas baik, pas dan disiapkan di Departemen
Orthotics spesialis.

Perangkat stimulator listrik memiliki beberapa bukti dalam pengobatan


kelenturan, termasuk Fungsional Pemicu Listrik, Stimulator Penurun Kaki, dan
Stimulator Saraf Transkutan. Namun, Tinjauan Cochrane baru-baru ini tentang
peregangan untuk mencegah kontraktur menyimpulkan bahwa ada yang sedang
sampai bukti kualitas tinggi yang meregangkan tidak memiliki efek penting secara
klinis pada mobilitas sendi, dan di sana sedikit atau tidak ada efek peregangan
pada rasa sakit, kelenturan, keterbatasan aktivitas, partisipasi, pembatasan atau
kualitas life. Tak satu pun dari studi yang dianggap secara khusus mempelajari
pasien dengan ataxia dan tidak ada penelitian yang digunakan intervensi selama
lebih dari 7 bulan, oleh karena itu sulit untuk mengomentari perawatan jangka
panjang.

3. Intervensi khusus untuk tremor ekstremitas atas


UNIVERSITAS INDONESIA | 24
Lesi yang mempengaruhi hemisfer serebelar menimbulkan gejala tungkai
ipsilateral termasuk tremor di Selain disinergia, dysdiadochokinesia dan fenomena
rebound. Suatu tremor aksi terjadi selama gerakan, yaitu dihasilkan oleh kontraksi
otot secara sukarela, dan termasuk tremor postural (terjadi ketika secara sukarela
mempertahankan posisi melawan gravitasi, mis. memegang lengan lurus dan
kinetik tremor (terjadi selama semua jenis gerakan sukarela). Trik kinetik dibagi
lagi menjadi: sederhana tremor kinetik, yang terjadi selama gerakan sukarela yang
tidak diarahkan target (misalnya fleksi / ekstensi atau pronasi / supinasi), dan
tremor niat, yang terjadi selama target yang diarahkan, secara visual gerakan yang
dipandu (mis. tes jari hidung), dan memperburuk fase terminal gerakan sebagai
target mendekati.

Selain mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari, konsekuensi psikososial


dari tremor ekstremitas atas bisa signifikan. Pengobatan tremor atas-tungkai,
melalui aksi agen farmakologis dan fisioterapi, tetap menginginkan.

a. Manipulasi informasi visual

Individu dengan tremor niat atau defisit cerebellar lain mungkin


mengalami kesulitan menggunakan informasi visual untuk mengontrol
gerakan tangan dan lengan. Tremor amplitudo dapat dikurangi jika gerakan
diarahkan target dilakukan dari memori daripada di bawah bimbingan visual
langsung atau jika saccade utama dan gerakan tangan untuk mencapai objek
dilakukan secara terpisah.

b. Cold Therapy
Tremor transien menggunakan pendinginan bisa memiliki implikasi
fungsional penting saat melakukan kegiatan fungsional diskrit seperti
intermiten self-kateterisasi, menandatangani dokumen, bekerja PC dan makan,
Pendinginan yang mendalam mungkin lebih efektif daripada moderat
pendinginan pada individu dengan tremor yang parah. Pendinginan upper-
limb secara umum mungkin tidak berguna untuk individu yang juga memiliki
tremor proksimal yang signifikan.
c. Wrist weighting

UNIVERSITAS INDONESIA | 25
Tampaknya pergelangan tangan berbobot (bobot yang berbeda) dan alat
makan berbobot mungkin berguna untuk beberapa individu dalam keadaan
tertentu dan seharusnya dinilai berdasarkan kasus per kasus. Tujuan dan
perspektif pasien harus dipertimbangkan kapan menilai nilai intervensi.
Karena beberapa individu menunjukkan tremor berlebihan untuk waktu yang
singkat pada penghapusan bobot, disarankan agar fungsi tertentu seperti
makan atau menulis ditargetkan. Efek jangka panjang tidak diketahui;
observasi klinis menunjukkan beberapa orang mengakomodasi berat.
Weighted cuffs mungkin terlalu melelahkan atau tidak praktis untuk
memberikan fungsi atau psikososial apa pun manfaat bagi beberapa individu,
sehingga tujuan dan perspektif pasien sangat penting dalam menilai nilai ini
intervensi.

d. Robotika Terapi
Robot adaptif gerakan menjangkau ekstremitas atas dapat menjadi
tambahan yang berpotensi berguna itu dapat disesuaikan dengan tingkat
kemampuan pasien, memungkinkan pelatihan intensif dan yang dapat
ditransfer ke kehidupan nyata. Namun, ini tidak tersedia secara luas dan pada
saat penulisan tidak tersedia di Inggris.

4. Wheelchair seating

Kursi roda peringkat di antara perangkat terapi yang paling penting yang
digunakan dalam rehabilitasi dan dapat dibuat perbedaan antara keselarasan aktif
dan efisien dan bencana postural. Meski kekurangan studi penelitian, pengamatan
klinis menunjukkan bahwa mobilitas kursi roda bertenaga dengan tepat Dukungan
postural adalah pilihan untuk menyediakan orang dengan ataksia dengan sarana
mobilitas independen. Kursi-kursi listrik juga dapat membantu menghemat energi
yang kemudian dapat digunakan di luar kursi roda untuk dibawa kegiatan sehari-
hari dalam postur antigravitasi. Selain itu postur yang sesuai di kursi kekuasaan
dapat memfasilitasi respirasi dan menelan pada pasien yang mungkin
berkompromi di area ini. Di tidak adanya bukti lain, pengalaman klinis dan
kebutuhan pasien harus digunakan untuk memandu klinis alas an.

UNIVERSITAS INDONESIA | 26
5. Exercise

Pada umumnya orang dengan ataksia harus didorong untuk exercise sebagai
bagian dari promosi kesehatan dan selama sebagai faktor risiko dan pertimbangan
kesehatan dan keselamatan telah dinilai. Latihan harus disesuaikan terhadap apa
yang paling menarik bagi peserta dan mungkin melibatkan mengeksplorasi
beberapa opsi yang berbeda juga membangun motivasi dan keberlanjutan dalam
latihan yang dinjurkan. Catatan hati-hati: Abnormalitas jantung adalah kejadian
umum pada orang dengan ataksia Friedreich. Jika pasien memiliki komplikasi
jantung, saran dari ahli jantung harus dicari sebelum memulai sebuah program
latihan.

a. Hidroterapi dan berenang


Bukti anekdotal mendukung nilai hidroterapi untuk orang dengan
ataksia sebagai bentuk latihan. Hidroterapi dan berenang, sebagai kegiatan
air, menawarkan risiko dan tantangan dan memberikan kebebasan
gerakan sering tidak tersedia di darat. Hidroterapi juga dianggap
menawarkan efek menguntungkan kualitas hidup terkait kesehatan.

b. General fitness training


Bukti anekdotal mendukung manfaat dari pelatihan kebugaran
umum, yoga dan Pilates untuk orang-orang dengan ataxia untuk membantu
menjaga kekuatan, fleksibilitas dan keseimbangan. Kegiatan seperti
menunggang kuda dan mendaki mungkin juga memberi manfaat serupa.
Manfaat psikososial juga telah dilaporkan. Dalam sebuah studi kasus di
seorang pasien dengan ataksia Friedreich tanpa kardiomiopati, pelatihan
aerobik terbukti memiliki beberapa manfaa, tetapi studi di bidang ini
kurang.

UNIVERSITAS INDONESIA | 27
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardle, M. & Robertson, N. Progressive late-onset cerebellar ataxia. Adv.


Clin. Neurosci. Rehabil. 7, 6–12 (2007).
2. Musselman, K. E. et al. Prevalence of ataxia in children A systematic review.
Neurology 82, 80–89 (2014)
3. Morrison, P. J., Johnston, W. P. & Nevin, N. C. The epidemiology of
Huntington’s disease in Northern Ireland. J. Med. Genet. 32, 524–530 (1995).
4. MacDonald, et al.. The incidence and lifetime prevalence of neurological
disorders in a prospective community-based study in the UK. Brain J. Neurol.
123 ( Pt 4), 665–676 (2000).
5. Dean, E. Physical therapy in the 21st century (Part II): evidence-based practice
within the context of evidence-informed practice. Physiother. Theory Pract.
25, 354–368 (2009).
6. Rhodes, R. E. & Fiala, B. Building motivation and sustainability into the
prescription and recommendations for physical activity and exercise therapy:
the evidence. Physiother. Theory Pract. 25, 424–441 (2009).
7. Cook, B. in Severe and Complex Neurological Disability. Management of the
Physical Condition 216–230 (Butterworth Heinemann Elsevier, 2007)
8. Marianne Anke, S. et al. Effect of Long-Term Climbing Training on
Cerebellar Ataxia: A Case Series, Effect of Long-Term Climbing Training on
Cerebellar Ataxia: A Case Series. Rehabil. Res. Pract. Rehabil. Res. Pract.
2011, e525879 (2011).
9. Fillyaw, M. J. & Ades, P. A. Endurance exercise training in Friedreich ataxia.
Arch. Phys. Med. Rehabil. 70, 786–788 (1989).
10. Vergaro, E. et al. Adaptive robot training for the treatment of incoordination in
Multiple Sclerosis. J. NeuroEngineering Rehabil. 7, 37 (2010).
11. Carpinella, I., et al. Robot training of upper limb in multiple sclerosis:
comparing protocols with or without manipulative task components. IEEE
Trans. Neural Syst. Rehabil. Eng. Publ. IEEE Eng. Med. Biol. Soc. 20, 351–
360 (2012).

UNIVERSITAS INDONESIA | 28
12. Huhn, K., Guarrera-Bowlby, P. & Deutsch, J. E. The clinical decision-making
process of prescribing power mobility for a child with cerebral palsy. Pediatr.
Phys. Ther. Off. Publ. Sect. Pediatr. Am. Phys. Ther. Assoc. 19, 254–260
(2007).
13. McGruder, J., et al. Weighted wrist cuffs for tremor reduction during eating in
adults with static brain lesions. Am. J. Occup. Ther. Off. Publ. Am. Occup.
Ther. Assoc. 57, 507–516 (2003).
14. Sanes, J. N., et al. Visual and mechanical control of postural and kinetic
tremor in cerebellar system disorders. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 51,
934–943 (1988). 239. Feys, P. et al. Effects of peripheral cooling on intention
tremor in multiple sclerosis. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 76, 373–379
(2005).
15. Manto, M., Godaux, E. & Jacquy, J. Cerebellar hypermetria is larger when the
inertial load is artificially increased. Ann. Neurol. 35, 45–52 (1994).
16. Morgan, M. H., Hewer, R. L. & Cooper, R. Application of an objective
method of assessing intention tremor - a further study on the use of weights to
reduce intention tremor. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 38, 259–264 (1975).
17. Aisen, M. L., et al. The effect of mechanical damping loads on disabling
action tremor. Neurology 43, 1346–1350 (1993).
18. Feys, P., et al. Intention tremor during manual aiming: a study of eye and hand
movements. Mult. Scler. Houndmills Basingstoke Engl. 9, 44–54 (2003).
19. Sanes, J. N., et al. Visual and mechanical control of postural and kinetic
tremor in cerebellar system disorders. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 51,
934–943 (1988).
20. Feys, P. et al. Effects of peripheral cooling on intention tremor in multiple
sclerosis. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 76, 373–379 (2005).
21. Deuschl, G., Bain, P. & Brin, M. Consensus statement of the Movement
Disorder Society on Tremor. Ad Hoc Scientific Committee. Mov. Disord. Off.
J. Mov. Disord. Soc. 13 Suppl 3, 2–23 (1998).
22. https://doktersehat.com/ataksia/
23. http://iloveunair.blogspot.com/2011/01/ataksia-gangguan-koordinasi-
gerak.html
UNIVERSITAS INDONESIA | 29
24. https://www.amazine.co/18253/ataksia-definisi-penyebab-gejala-
pengobatannya/

UNIVERSITAS INDONESIA | 30

También podría gustarte