Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
MAKALAH
FISIOTERAPI NEUROMUSKULAR
ATAXIA
PROGRAM VOKASI
Depok
Oktober 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dengan tepat waktu. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas
dalam mata kuliah Neuromuskular di semester V ini.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, saya berharap agar makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
A.Definisi ................................................................................................................ 5
D. Etiologi ............................................................................................................... 8
E. Epidemiologi ...................................................................................................... 9
F. Patofisiologi ........................................................................................................ 9
H.Prognosis ........................................................................................................... 10
J. Diagnosis ........................................................................................................... 21
UNIVERSITAS INDONESIA | 4
BAB I
KAJIAN TEORI
A.Definisi
Gambar 1. 1 Ataxia
Sumber : pedclerk.bsd.uchiago.edu
B.Anatomi Fisiologi
Gambar 1. 2 MRI
Otak cereblum
Sumber : google.co.i.d
Bentuknya oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan
bagian yang melebar pada lateral disebut hemisfer. Serebelum berhubungan
dengan batang otak melalui pendunkulus serebri inferior (korpus retiformi)
permukaan luar serebelum berlipat-lipat menyerupai serebelum tetapi lipatannya
lebih kecil dan lebih teratur. Permukaan serebelum ini mengandung zat kelabu.
Korteks serebelum dibentuk oleh subtansia grisea, terdiri dari tiga lapisan
yaitu granular luar, lapisan purkinye, lapisan granular dalam. Serabut saraf yang
masuk dan yang keluar dari serebrum harus melewati serebelum
Fungsi serebelum
UNIVERSITAS INDONESIA | 6
keseimbangan dan rangsangan pendengaran ke otak.
2. Paleaserebelum (spinoserebelum. Sebagai pusat penerima impuls dari
reseptor sensasi umum medula spinalis dan nervus vagus (N. trigeminus)
kelopak mata, rahang atas, dan bawah serta otot pengunyah.
3. Neoserebelum (pontoserebelum). Korteks serebelum menerima
informasi tentang gerakan yang sedang dan yang akan dikerjakan dan
mengaturgerakan sisi badan.
C. Klasifikasi
UNIVERSITAS INDONESIA | 7
Kasus-kasus ataksia serebelaris herediter sangat jarang dijumpai, khususnya di
Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena belum adanya laporan mengenai data ini
serta keterbatasan dalam melakukan pemeriksaan genetika.
D. Etiologi
UNIVERSITAS INDONESIA | 8
E. Epidemiologi
F. .Patofisiologi
Penyebab dari ataksia tersebut belum diketahui pasti namun ataksia juga
dapat terjadi melalui factor genetic. Gangguan yang dihasilkan ataksia
menyebabakan bagian dari otak yaitu terjadi melalui factor genetic. memburuk
atau atrofi dan kemungkinan urat syaraf tulang belakang(spinal cord) sangat
berpengaruh. Ataksia disebabkan kemunduran jaringan saraf pada urat saraf tulang
belakang (spinal cord) dan saraf yang mengendalikan gerakan otot pada lengan
dan kaki. Urat saraf menjadi tipis dan sel-sel saraf kehilangan serabut myelin yang
berfungsi sebagai penghantar impuls.
G.Manifestasi Klinis
Gejala yang terjadi pada penderita ataksia tergantung pada tipe ataksia itu
sendiri, kelainan gen umumnya menyebabkan ataksia dimulai sejak anak-anak
UNIVERSITAS INDONESIA | 9
hingga dewasa. Ataksia Friedreich juga merupakan penyakit degeneratif yang
progresif dan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Lebih dari 95%
penderita penyakit ini harus menggunakan kursi roda pada usia 45 tahun.
Kematian yang diakibatkan oleh ataksia Friedreich berkisar di usia 35-50 tahun
1. Tangan gemetar
2. Kehilangan sensasi dan kekuatan pada tungkai
3. Masalah kandung kemih dan usus
4. Kehilangan memori
5. Kecemasan dan depresi
Pada penderita atkasia Friedreich stadium lanjut, kaki dan telapak kaki
akan terasa lemah sehingga menyebabkan sulit untuk berjalan. Pelemahan pada
kaki akan berlanjut menjadi kelumpuhan dan penderita harus menggunakan kursi
roda atau hanya berbaring di tempat tidur. Pelemahan anggota gerak juga akan
terjadi pada tangan, meskipun pelemahan pada tangan seringkali muncul setelah
terjadinya kelumpuhan pada kaki.
H.Prognosis
UNIVERSITAS INDONESIA | 11
mengatasi dampak psikologis dan sosial di masa mendatang, terutama masalah
pekerjaan dan kehidupan sosialnya.
I.Penatalaksaan Fisioterapi
3. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Umum
1) Cara Datang
2) Kesadaran
UNIVERSITAS INDONESIA | 13
a) Compos Mentis adalah keadaan kesadaran penuh, pasiendapat
menjawab pertanyaan fisioterapis dengan baik.
b) Apatis adalah keadaan kesadaran yang segan dimana pasienterlihat
acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya.
c) Delirium adalah kesadaran menurun, peningkatan
aktivitaspsikomotorik abnormal, gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal.
d) Somnolen adalah kesadaran menurun, respon psikomotorlambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) dengan memberi jawaban verbal tetapi jatuh
tertidur lagi bila rangsangan berhenti.
e) Sopor adalah sudah tidak mengenali lingkungan, kantukmeningkat,
tidak berespon pada rangsangan ringan maupun sedang tetapi dapat
dibangunkan dengan rangsangan yang kuat. Refleks pupil terhadap
cahaya masih ada.
f) Koma adalah tidak bisa dibangunkan, tidak ada
5) Nadi
6) Frekuensi Napas
7)Status Gizi
8) Suhu
b.Pemeriksaan Khusus
1) Inspeksi
2) Palpasi
UNIVERSITAS INDONESIA | 15
Pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan bagian
tubuh pasien. Palpasi merupakan tindakan penegasan dari hasil inspeksi
untuk menemukan yang tak terlihat. Palpasi meliputi :
a) Suhu Local
b) Spasme
c) Nyeri Tekan
3) Move
UNIVERSITAS INDONESIA | 16
digunakan adalah pengukuran dengan goniometer, tapi untuk sendi
tertentu menggunakan pita ukur (misalnnya pada vertebra).
Gerak pasif merupakan gerak yang dibantu oleh tenaga dari luar,
seperti fisoterapis atau pulleysystem, pasien dalam keadaaan diam,
dan terapissepenuhnya menggerakkan tubuh pasien
4) Pemeriksaan Biopsikososial
5) Test Khusus
a) Antropometri
UNIVERSITAS INDONESIA | 17
Pemeriksaan lingkar otot ini dilakukan untuk mengetahui lingkar otot
apakah ada atrofi atau tidak dengan membandingkan sisi sebelahnya.
Lingkaran tubuh dengan meteran gulung.
b) Tes Sensibilitas
2. Test khusus :
a) Tes telunjuk-hidung
Penderita diminta untuk menyentuh ujung jari pemeriksa pada
jarak 20-30 cm di depannya keujung hidung penderita.
b) Tes tumit-lutut
Tumit tungkai kiri ditaruh di lutut tungkai kanan lalu tumit
menelusuri tibia ke pergelangan kaki (sebaliknya).
c) Tes Disdiadokinesis :
UNIVERSITAS INDONESIA | 18
Lengan penderita disuruh pronasi dan supinasi dengan cepat atau
Ibu jari disuruh menyentuh jari-jari lain secara berurutan dan
bolak-balik
d) Tes fungsi :
(1) Kancingkan baju
(2) Ambil beberapa uang logam di meja
(3) Menulis
6. Diagnosa Fisioterapi
UNIVERSITAS INDONESIA | 19
a. Pengumpulan data program fisioterapi dari dokter Rehabilitasi Medik
b. Tujuan
c. Teknologi Fisioterapi
8. Evaluasi
UNIVERSITAS INDONESIA | 20
S:Bersifat subjektif, keluhan apa saja yang sudah berkurang setelah dilakukan
terapi.
O:Bersifat objektif, menggambarkan hasil pemeriksaan fisioterapis kepada
pasien
A:Hasil assesment diagnosa fisioterapi sesuai dengan hasil pemeriksaan
P:Program perencanaan treatment dan Teknologi
J. Diagnosis
1. Pemeriksaan konduksi saraf.
Tes ini berfungsi untuk mengukur kecepatan rangsang saraf melalui
pembuluh saraf. Tes ini dapat memberikan informasi jika terdapat
kerusakan jaringan saraf. Selama tes, kulit di bagian tertentu akan ditempeli
sepasang elektroda. Salah satu elektroda berfungsi sebagai pemberi
rangsangan, sedangkan elektroda lainnya berfungsi sebagai penangkap
rangsangan saraf.
Tes ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kondisi jantung dengan
menggunakan gelombang suara. Hasil analisis ekokardiografi pada
penderita ataksia Friedreich dapat menunjukkan adanya hipertrofi
ventrikel, hipertrofi septal, dan kardiomiopati hipertrofik.
2. Pemindaian MRI pada penderita ataksia Friedreich difokuskan pada otak
dan tulang belakang. Pada penderita ataksia Friedreich, dapat ditemukan
adanya atrofi, terutama pada saraf tulang belakang bagian leher.
3. Elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan ini berfungsi untuk menganalisa
kondisi rangsangan saraf pada jantung. Hasil EKG pada penderita ataksia
Friedreich, biasanya menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel dan inversi
gelombang T.
UNIVERSITAS INDONESIA | 21
K. Teknologi Fisioterapi
b. Pelatihan treadmill
Pelatihan treadmill dapat menjadi intervensi yang efektif untuk
orang dengan ataksia karena cedera otak. Intensitas dan lamanya pelatihan
tampaknya menjadi faktor yang signifikan. Pelatihan intensif yang
konsisten terhadap banyak orang bulan dikombinasikan dengan pelatihan
di atas tanah mungkin diperlukan.
c. Visually guided stepping
Sistem kontrol oculomotor dan lokomotor berinteraksi selama
langkah yang dipandu secara visual di dalam lokomotor sistem tergantung
pada informasi dari sistem okulomotor selama mobilitas fungsional untuk
kaki yang akurat penempatan. Peningkatan yang ditandai dalam kinerja
oculomotor dan lokomotor telah terlihat berikut gerakan mata latihan
dalam sebuah penelitian kecil pada pasien dengan degenerasi cerebellar
ringan. Latihan dari langkah yang dimaksudkan melalui gerakan mata saja,
yaitu melihat penempatan target kaki untuk setiap langkah, sebelumnya
menegosiasikan ruangan yang berantakan, dapat meningkatkan kinerja dan
UNIVERSITAS INDONESIA | 22
keamanan. Strategi sederhana ini, meskipun tugas spesifik belum
menjanjikan dan relatif cepat dan mudah diterapkan secara fungsional
pengaturan.
d. Balance and mobility aids
Tidak ada penelitian yang secara khusus mengevaluasi peran alat bantu
keseimbangan dan mobilitas untuk orang dengan ataksia. Pengalaman
klinis menunjukkan bahwa alat bantu berjalan harus dipertimbangkan
berdasarkan kasus per kasus. Dalam hal kontrol postural, isyarat
somatosensori dari ujung jari - menggunakan kontak sentuhan ringan atau
Alat bantu berjalan sebagai alat keseimbangan - dapat memberikan
orientasi referensi yang kuat bahkan ketika kontak tingkat gaya tidak
memadai untuk memberikan dukungan fisik bagi tubuh. Memang,
observasi klinis menunjukkan bahwa beberapa individu dengan ataksia
menemukan kontak sentuhan ringan lebih berguna sebagai strategi
daripada bantuan berjalan konvensional. Beban berat ekstremitas atas
selama ambulasi dapat memperburuk atau memburuknya gaya berjalan.
Oleh karena itu, penting bagi orang dengan ataksia untuk
mengurangi ketergantungan berat mereka melewati ekstremitas atas
(misalnya: tidak bersandar pada perabot untuk membantu berjalan). Karena
itu penting untuk pastikan bantuan berjalan yang sesuai direkomendasikan
untuk setiap pasien
e. Lycra garments
Penggunaan lycra untuk mempengaruhi ayunan postural, usaha
berjalan dan kecepatan pada orang dewasa dengan ataksia telah dicampur
hasil yang mungkin tergantung pada individu (data tidak dipublikasikan:
M.Watson@uea.ac.uk). Tidak cukup data tersedia untuk mendukung
penggunaan pakaian lycra untuk anak-anak dengan ataksia.
f. Biofeedback untuk keseimbangan dan gaya berjalan
Fisioterapi memiliki peran penting dalam mendidik pasien dan perawat dalam
postur yang benar, penggunaan otot dan penghindaran pemicu spastisitas seperti
nyeri dan infeksi. Pemanjangan otot adalah fitur mendasar dari manajemen terapi
fisik kelenturan yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan
berbagai gerakan dan mencegah pembentukan kontraktur. Ini bisa Melibatkan
latihan fisik yang memusuhi otot kejang yang terlalu aktif dan juga meningkatkan
otot kekuatan; peregangan pasif oleh terapis atau pengasuh; atau teknik penentuan
posisi fisik. Latihan aktif umumnya lebih efektif daripada latihan pasif jika pasien
mampu; peningkatan kebugaran juga bisa berkurang kelelahan dan memungkinkan
latihan lebih lanjut. Pemosisian dapat melibatkan splinting, casting, orthoses,
berdiri atau penggunaan bobot, perangkat resistif, irisan, bantal atau T-roll.
Splinting yang lebih panjang dapat melibatkan material yang kuat seperti logam
atau plastik, atau bahan pendukung yang lebih lembut seperti busa atau kulit
domba. Orthoses harus berkualitas baik, pas dan disiapkan di Departemen
Orthotics spesialis.
b. Cold Therapy
Tremor transien menggunakan pendinginan bisa memiliki implikasi
fungsional penting saat melakukan kegiatan fungsional diskrit seperti
intermiten self-kateterisasi, menandatangani dokumen, bekerja PC dan makan,
Pendinginan yang mendalam mungkin lebih efektif daripada moderat
pendinginan pada individu dengan tremor yang parah. Pendinginan upper-
limb secara umum mungkin tidak berguna untuk individu yang juga memiliki
tremor proksimal yang signifikan.
c. Wrist weighting
UNIVERSITAS INDONESIA | 25
Tampaknya pergelangan tangan berbobot (bobot yang berbeda) dan alat
makan berbobot mungkin berguna untuk beberapa individu dalam keadaan
tertentu dan seharusnya dinilai berdasarkan kasus per kasus. Tujuan dan
perspektif pasien harus dipertimbangkan kapan menilai nilai intervensi.
Karena beberapa individu menunjukkan tremor berlebihan untuk waktu yang
singkat pada penghapusan bobot, disarankan agar fungsi tertentu seperti
makan atau menulis ditargetkan. Efek jangka panjang tidak diketahui;
observasi klinis menunjukkan beberapa orang mengakomodasi berat.
Weighted cuffs mungkin terlalu melelahkan atau tidak praktis untuk
memberikan fungsi atau psikososial apa pun manfaat bagi beberapa individu,
sehingga tujuan dan perspektif pasien sangat penting dalam menilai nilai ini
intervensi.
d. Robotika Terapi
Robot adaptif gerakan menjangkau ekstremitas atas dapat menjadi
tambahan yang berpotensi berguna itu dapat disesuaikan dengan tingkat
kemampuan pasien, memungkinkan pelatihan intensif dan yang dapat
ditransfer ke kehidupan nyata. Namun, ini tidak tersedia secara luas dan pada
saat penulisan tidak tersedia di Inggris.
4. Wheelchair seating
Kursi roda peringkat di antara perangkat terapi yang paling penting yang
digunakan dalam rehabilitasi dan dapat dibuat perbedaan antara keselarasan aktif
dan efisien dan bencana postural. Meski kekurangan studi penelitian, pengamatan
klinis menunjukkan bahwa mobilitas kursi roda bertenaga dengan tepat Dukungan
postural adalah pilihan untuk menyediakan orang dengan ataksia dengan sarana
mobilitas independen. Kursi-kursi listrik juga dapat membantu menghemat energi
yang kemudian dapat digunakan di luar kursi roda untuk dibawa kegiatan sehari-
hari dalam postur antigravitasi. Selain itu postur yang sesuai di kursi kekuasaan
dapat memfasilitasi respirasi dan menelan pada pasien yang mungkin
berkompromi di area ini. Di tidak adanya bukti lain, pengalaman klinis dan
kebutuhan pasien harus digunakan untuk memandu klinis alas an.
UNIVERSITAS INDONESIA | 26
5. Exercise
Pada umumnya orang dengan ataksia harus didorong untuk exercise sebagai
bagian dari promosi kesehatan dan selama sebagai faktor risiko dan pertimbangan
kesehatan dan keselamatan telah dinilai. Latihan harus disesuaikan terhadap apa
yang paling menarik bagi peserta dan mungkin melibatkan mengeksplorasi
beberapa opsi yang berbeda juga membangun motivasi dan keberlanjutan dalam
latihan yang dinjurkan. Catatan hati-hati: Abnormalitas jantung adalah kejadian
umum pada orang dengan ataksia Friedreich. Jika pasien memiliki komplikasi
jantung, saran dari ahli jantung harus dicari sebelum memulai sebuah program
latihan.
UNIVERSITAS INDONESIA | 27
DAFTAR PUSTAKA
UNIVERSITAS INDONESIA | 28
12. Huhn, K., Guarrera-Bowlby, P. & Deutsch, J. E. The clinical decision-making
process of prescribing power mobility for a child with cerebral palsy. Pediatr.
Phys. Ther. Off. Publ. Sect. Pediatr. Am. Phys. Ther. Assoc. 19, 254–260
(2007).
13. McGruder, J., et al. Weighted wrist cuffs for tremor reduction during eating in
adults with static brain lesions. Am. J. Occup. Ther. Off. Publ. Am. Occup.
Ther. Assoc. 57, 507–516 (2003).
14. Sanes, J. N., et al. Visual and mechanical control of postural and kinetic
tremor in cerebellar system disorders. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 51,
934–943 (1988). 239. Feys, P. et al. Effects of peripheral cooling on intention
tremor in multiple sclerosis. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 76, 373–379
(2005).
15. Manto, M., Godaux, E. & Jacquy, J. Cerebellar hypermetria is larger when the
inertial load is artificially increased. Ann. Neurol. 35, 45–52 (1994).
16. Morgan, M. H., Hewer, R. L. & Cooper, R. Application of an objective
method of assessing intention tremor - a further study on the use of weights to
reduce intention tremor. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 38, 259–264 (1975).
17. Aisen, M. L., et al. The effect of mechanical damping loads on disabling
action tremor. Neurology 43, 1346–1350 (1993).
18. Feys, P., et al. Intention tremor during manual aiming: a study of eye and hand
movements. Mult. Scler. Houndmills Basingstoke Engl. 9, 44–54 (2003).
19. Sanes, J. N., et al. Visual and mechanical control of postural and kinetic
tremor in cerebellar system disorders. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 51,
934–943 (1988).
20. Feys, P. et al. Effects of peripheral cooling on intention tremor in multiple
sclerosis. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 76, 373–379 (2005).
21. Deuschl, G., Bain, P. & Brin, M. Consensus statement of the Movement
Disorder Society on Tremor. Ad Hoc Scientific Committee. Mov. Disord. Off.
J. Mov. Disord. Soc. 13 Suppl 3, 2–23 (1998).
22. https://doktersehat.com/ataksia/
23. http://iloveunair.blogspot.com/2011/01/ataksia-gangguan-koordinasi-
gerak.html
UNIVERSITAS INDONESIA | 29
24. https://www.amazine.co/18253/ataksia-definisi-penyebab-gejala-
pengobatannya/
UNIVERSITAS INDONESIA | 30