Está en la página 1de 14

ISLAM PROGRESIF DAN IJTIHADI PROGRESIF

DALAM PANDANGAN ABDULLAH SAEED:


Potret Kegelisahan Islam menghadapi Modernitas

Ahmad Imam Mawardi

Prolog
Hukum Islam seringkali digugat sebagi penyebab munculnya image Islam sebagai
agama normatif dan tradisional. Lambannya, kalau tidak mandegnya, perkembangan
hukum Islam paska fase kodifikasi1 telah memposisikan ketertinggalan Islam jauh di
belakang perkembangan peradaban manusia secara umum. Isu tertutupnya pintu ijtihad
yang sangat mendominasi selama berabad-abad benar-benar menjadikan umat Islam
bergantung kepada referensi intelektual abad pertengahan yang dibarengi oleh
ketidakmanpuan berdialog dengan realitas yang senantiasa berkembang.
Adalah Wael B. Hallaq, seorang guru besar hukum Islam McGill University, yang
mencoba membongkar secara akademik tidak matinya tradisi ijtihad di kalangan fuqaha.2
Hallaq memaparkan betapa ijtihad masih bekerja di dalam perkembangan diskursus hukum
Islam, tidak tertutup sebagaimana yang disimpulkan oleh Joseph Schacht. Pandangan
Hallaq ini dibantah oleh Sherman Jackson3 dan Michel Hoebink4 yang membuktikan
bahwa memang hampir tidak ada perkembangan baru lagi setelah pembakuan hukum Islam
oleh empat madzhab yang terkenal itu yang disebabkan oleh terbuka lebarnya pintu taqlid.
Bagi mereka, Hallaq exagerated, karena, meminjam istilah Jackson, "regime of taqlid"
menjadi fenomena global.5 Hallaqpun akhirnya secara halus mengakui bahwa secara
1
Lihat bahasan Muhammad 'Abid al-Jabiri, Takwin al-'Aql al-'Araby (Beirut: Markaz Dirasat al-
Wihdah al-'Arabiyah, 1989), terutama pada bab 11; baca pula Wael B. Hallaq, A History of Islamic
Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press,
1997) 1-36. Menurut Hallaq, dominasi empat madhhab pada masa formatif ini disebabkan oleh
kemampuan pendiri madhhab ini menawarkan sebuat tatanan yang jelas yang menggantikan sistem
yang sebelumnya tidak tertata bagus. Pandangan semacam ini sebenarnya dibangun oleh Joseph
Schacht dalam bukunya An Introduction to Islamic Law yang pertama kali diterbitkan pada tahun
1964. Pendapat inilah yang nantinya dikriktik oleh Hallaq dalam disertasinya yang menyatakan
bahwa pintu ijtihad tidak tertutup.
2
Lihat Wael B. Hallaq, "Was the Gate of Ijtihad Closed?" dalam International Journal of Middle
East Studies 16 (1984), 3-41. Artikel ini adalah bagian dari disertasi Ph.Dnya pada Washington
University tahun 1983.
3
Lihat Sherman A. Jackson, Islamic Law and The State: The Constitutional Jurisprudence of
Shihab al-Din al-Qarafi(Leiden: E. J. Brill, 1996), 96.
4
Michel Hoebink, Two Half of the Same Truth: Schacht, Hallaq, and the Gate of Ijtihad
(Amsterdam: Middle East Research Associates, 1994)
5
Jackson, Islamic Law, 79-96. Bandingkan dengan Taha Jabir al-Alwani, Ijtihad (Herdon,
Virginia: IIIT, 1993) 17-18.
dominan, hukum Islam memang sudah kehilangan spirit ijtihad ini, tetapi di sana-sini
masih ada orang yang ijtihad.
Jelas sudah, bahwa dominasi stagnasi fenomena pemikiran keislaman adalah realita
yang tak terbantahkan. Inilah yang mengantarkan Islam pada posisi yang seringkali
bertentangan dengan kenyataan modernitas. Hukum yang seharusnya, menurut pendekatan
sosiologi hukum, bergerak bersama dengan perkembangan masyarakat, tidak berlaku pada
hukum Islam. Piranti usuli yang sebenarnya membuka peluang pembaharuan hukum Islam
harus tunduk patuh di bawah dominasi "kesakralan" teks yang diinterpresi oleh muslim
generasi awal. Adalah tepat apa yang disimpulkan oleh Khaled Abou El Fadl bahwa
hukum Islam sesungguhnya masih hidup, tetapi piranti metodologis dan landasan
epistemologinya telah mati. Inilah yang menjadikan hukum Islam stagnan dan tidak
berdaya berdialog dengan realitas yang semakin berkembang.6
Ketika modernitas dengan globalisasi dan kecanggihan ITnya memunculkan pola
hidup dan pola hubungan kemanusiaan yang berbeda dengan masa lalu, maka dirasalah
semakin lebar gap Islam dan realitas. Islam menjadi agama langit yang tidak membumi dan
kehilangan tenaga untuk menjawab permasalahan-permasalahan zaman. Kenyataan inilah
yang mengetuk kesadaran pemikir-pemikir muslim komtemporer untuk merubuhkan
stagnasi dan membangun kembali wajah Islam yang responsif atas kemajuan zaman. Maka
muncullah istilah Islam Progresif, Muslim Progresif dan Ijtihadi Progresif. Hal ini sejalan
dengan apa yang diserukan oleh Farid Esack dalam bukunya Qur'an, Liberation &
Pluralism:7
The Present generation of Muslims, like the many preceding ones, faces the option of
reproducing meaning intended for earlier generations or of critically and selectively
appropiating traditional understandings to reinterpret the Qur'an as a part of the task of
reconstructing society."

Islam Progresif, Muslim Progresif, Ijtihadi Progresif


Pada tanggal 7-8 Maret 2006, The Institute of Defence and Strategic Studies
(IDSS) menyelenggarakan seminar dengan tema "Progressive Islam and The State in
6
Khaled Abou El Fadl, Speking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women (Oxford:
Oneworld, 2001), 171
7
Farid Esack, Qur'an, Liberation & Pluralism (Oxford: Oneworld, 1997), 50.
Contemporary Muslim Societies" di Marina Mandarin Singapore. Narasumber pada
seminar tersebut adalah Syed Hussein Alatas, Abdullah Saeed, Ashgar Ali Engineer,
Alparsalan Acikgence Syafi'i Anwar, Julkipli Wadi, Ibrahim Abu-Rabi, Chandra Muzaffar
dan Syed Farid Alatas. Tema tersebut diangkat berdasarkan rasa butuh atas kajian dimensi
progresif dari kebangkitan umat Islam. Kebangkitan Islam itu sendiri yang biasa ditarik ke
belakang sejak abad 19 memiliki karakter rational and cosmopolitan approach dalam
mengkaji problematika masyarakat Islam.8
Kajian tentang dimensi progresif ini saat ini mulai marak dengan dasar suatu
kesadaran akan dua hal: pertama adalah untuk merespons secara positif anggapan negatif
press dunia yang menilai Islam senantiasa lamban dalam merespon laju zaman sehingga
ada gap yang sangat lebar antara dunia Islam dan dunia barat; kedua adalah kesadaran
bahwa salah satu strategi untuk melawan ekstrimisme yang senantiasa dituduhkan pada
Islam adalah dengan memberdayakan elemen-elemen progresif pada masyarakat muslim
dan menjembatani gulf antara dunia Islam dengan lainnya. Dua hal inilah yang menjadi
dasar urgensi edukasi dan soialisasi Islam progresif.9
Barry Desker, direktur IDSS, dan Zainul Abidin Rasheed, Menteri Luar Negeri
Malaysia, sepakat bahwa mengangkat dimensi progresif Islam ini menjadi suatu keharusan.
Bagi Desker, dimensi progresif ini sebenarnya bukan barang baru karena sesungguhnya
dalam dunia Islam ada suatu tradisi yang tidak pernah pudar, yang disebutnya dengan
istilah ongoing drive to reform yang mentradisi sejak runtuhnya dinasti Ottoman tahun
1924. Kajian dimensi progresif semacam ini, menurut Rasheed akan menawarkan sebuah
pendekatan rasional dan moderat dalam memanaje pola hubungan dunia luas. Sementara
Desker menawarkan strategi reliving the progressive spirit of the pioneering Muslims,
Rasheed menawarkan konsep re-imagine Islam as a civilizational project that carries a
cultural heritage of both progress and reform. 10
Meskipun demikian, para pakar memiliki perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan Islam progresif ini, yang nantinya juga berimplikasi pada definisi ijtihadi
progresif. Syed Hussein Alatas menjelaskan bahwa terma Islam Progresif tidak
menyiratkan abstraksi ataupun reduksi dari totalitas Islam, melainkan sebuah istilah yang
mengindikasikan bahwa Islam itu memang sejatinya bersifat progresif. Watak asli Islam
8
IDSS, "Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies," Laporan Seminar
yang diadakan di Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Maret 2006.
9
Ibid, 2
10
Ibid, 2-3
seperti inilah sesungguhnya yang akan diangkat ke permukaan. Sementara itu, Alparsalan
Acikgenc, Dekan Fakultas Seni dan Ilmu-ilmu Sosial Fatih University Turkey, menyatakan
bahwa Islam progresif adalah Islam yang menawarkan keseimbangan antara mysterious
and the rational aspects of human nature.11 Definisi lainnya adalah yang dikemukakan
oleh Abdullah Saeed bahwa Islam progresif merupakan salah satu dari sekian banyak
aliran pemikiran Islam kontemporer yang berupaya untuk incorporate the contexts and the
needs of modern Muslims 12 yang pada akhirnya sesungguhnya menuju "want to act to
preserve the vibrancy and variety of the Islamic tradition."13
Betapapun bagusnya definisi di atas, istilah Islam Progresif ini masih menuai
kritik. Chandra Muzaffar dan Ashgar Ali Engineer adalah salah satu yang keberatan.
Mudzaffar tidak setuju dengan labelisasi Islam dengan label progresif, konserfatif atau
liberal karena label-label ini cenderung membatasi kemampuan seorang pembicara (juru
dakwah) untuk berhubungan dengan audiennya yang disebabkan oleh pembedaan dan
penggolongan masyarakat muslim. Sementara itu, ketidaksetujuan Ashgar adalah karena
Islam itu secara inherent sudah bersifat progresif, membebaskan dan revolusioner.
Baginya, lebih baik mengkatagorikan Islam secara periodik seperti kajian Islam pada masa
modern ketimbang berbicara tentang Islam modern.14 Hampir sama dengan Ashgar, Syed
Farid Alatas menyoal keras istilah Islam Progresif ini dengan menyatakan bahwa istilah ini
tidak perlu karena menyiratkan ada Islam yang tidak progresif. Lebih jauh lagi, istilah ini
berkonotasi hubungan intim dengan apa yang disebut dengan Islam Liberal, mengaca
kepada pengalaman cendikiawan-cendikiawan yang ada di Mesir dan Indonesia.15
Meskipun mereka tidak setuju dengan penggunaan istilah Islam Progresif, mereka sepakat
bahwa dimensi progresif Islam menjadi krusial untuk diangkat dan disosialisasikan.
Sosialisasi dan diseminasi ide Islam Progresif ini mengalami beberapa kendala.
Antara lain adalah, menurut Abdullah Saeed, anggapan bahwa hanya ada satu set hukum
Islam yang bisa diterima sebagai kebenaran tunggal dan lainnya dianggap salah. Penyakit
truth claim ini masih major di kalangan umat Islam. Dalam bahasa lain Engineer
menyatakan bahwa key obstacle terletak pada internal umat, yaitu hilangnya kebebasan dan

11
Ibid, 7
12
Ibid, 14
13
Omid Safi, (ed) "Introduction," dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism
(Oxford: Oneworld, 2003), 2.
14
IDSS, "Progressive Islam," 14-15.
15
Ibid, 16.
tiadanya demokrasi. Sementara itu, Chandra Muzaffar menyebutkan empat kendala
penyebaran ide-ide Islam progresif: pertama adalah yang direpresentasikan oleh kelompok
muslim konservatif yang menebarkan ide-idenya dengan menggunakan kekerasan; kedua
adalah yang ditunjukkan oleh karya intelektual muslim yang menklaim peduli pada masa
depan Islam tetapi yang dilakukan adalah membungkus ide lama dengan pakaian baru
(refashioning Islam); ketiga adalah perilaku atau tindakan negara-bangsa yang represif;
keempat adalah apa yang ditunjukkan oleh global system of power yang tidak memberi
peluang perbedaan pendapat dalam mendiskusikan isu-isu sosial ekonomi.16
Lepas dari kendala-kendala tersebut, ide-ide Islam Progresif terus berjalan
menciptakan equilibrium pemikiran keislaman. Bahkan, ide Islam Progesif ini bukan hanya
bersentuhan dengan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kebebasan yang menjadi
wacana unggulan modernitas, melainkan masuk pada wilayah-wilayah hukum Islam. Maka
muncullah istilah progressive ijtihadi yang meniscayakan penafsiran ulang nash-nash
hukum dan pembingkaian ulang metode penetapan hukum sehingga sifat fleksibelitas dan
elastisitas hukum Islam yang dicanangkan oleh para mujtahid masa lalu tidak hanya tertulis
di kitab-kitab kuning melainkan menjadi kenyataan sehari-hari. Abdullah Saeed adalah
salah satu dari sekian cendekiawan yang peduli dengan proyek ini.

Abdullah Saeed dan Ijtihadi Progresif


Abdullah Saeed17 adalah cendekiawan yang berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra
Arab serta studi Timur Tengah yang sangat baik. Kombinasi institusi pendidikan yang
diikuti, yaitu pendidikan di Saudi Arabia dan Australia18 menjadikannya kompeten untuk
menilai dua dunia, Barat dan Timur, secara obyektif.19
16
Ibid, 15.
17
Jabatan yang dipegang saat ini adalah Direktur pada Asia Institute, University of Melbourne,
Direktur Centre for the Study of Contemporary Islam, University of Melbourne, Sultan of Oman
Professor of Arab and Islamic Studies, University of Melbourne, Adjunct Professor pada Faculty
of Law, University of Melbourne
18
Riwayat pendidikan Abdullah Saeed adalah sebagai berikut: Arabic language study, Institute of
Arabic Language, Saudi Arabia, 1977–79, High School Certificate, Secondary Institute, Saudi
Arabia, 1979–82, Bachelor of Arts, Arabic literature and Islamic Studies, Islamic University, Saudi
Arabia, 1982–86, Master of Arts Preliminary, Middle Eastern Studies, University of Melbourne,
Australia, Master of Arts, Applied Linguistics, University of Melbourne, Australia (1992–94),
Doctor of Philosophy, Islamic Studies, University of Melbourne, Australia (1988–92)
19
Karya tulis baik yang berupa buku, makalah ataupun tulisan lepas banyak sekali dalam berbagai
bidang yang bervariasi. Kecenderungan tema yang ditulis adalah tentang Islam dan Barat, al-Qur'an
dan Tafsir, serta tentang Tren Kontemporer Dunia Islam termasuk ekonomi Islam dan
Jihad/Terorisme. Selengkapnya bisa dilihat di lampiran.
Abdullah Saeed sangat concern dengan dunia Islam kontemporer. Pada dirinya ada
spirit bagaimana ajaran-ajaran Islam itu bisa shalih li kulli zaman wa makan.20 Spirit
semacam inilah yang ia sebut dengan Islam Progresif, subyeknya dikenal dengan Muslim
Progresif, upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi progresif Islam yang dalam kurun
waktu cukup lama mati suri ditindas oleh dominasi teks.21 Metode berfikir yang digunakan
oleh muslim progresif inilah yang disebutnya dengan istilah progressive ijtihadi.
Sebelum dipaparkan bagaimana kerangka kerja ijtihadi progresif ini, ada baiknya
dilihat posisi muslim progresif dalam trend pemikiran muslim yang ada saat ini. Menurut
Abdullah Saeed, ada enam kelompok pemikir: 1) the legalist-traditionalist, yang titik
tekannya adalah pada hukum-hukum yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para ulama
periode pra modern; 2) the theological puritans, yang fokus pemikirannya adalah pada
dimesi etika dan doktrin Islam; 3) the political Islamists, yang kecenderungan
pemikirannya adalah pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara
Islam; 4) the Islamist Extremists, yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan
untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan baik
muslim ataupun non-muslim; 5)the Secular Muslims, yang beranggapan bahwa agama
merupakan urusan pribadi (private matter); 6) the progressive ijtihadists, yaitu para
pemikir modern atas agama yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar bisa
menjawab kebutuhan masyarakat modern. Pada katagori yang terakhir inilah posisi muslim
progresif.22
Katogorisasi tersebut di atas hampir sama dengan katagorisasi Tariq Ramadan yang
juga membaginya menjadi enam kelompok yang merepresentasikan perspektif Muslim

20
Lihat karyanya, di antaranya Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach.
(London: Routledge, 2006); 'Muslims in the West and their Attitudes to Full Participating in
Western Societies: Some Reflections' dalam Geoffrey Levey (ed). Religion and Multicultural
Citizenship.(Cambridge: Cambridge University Press, 2006); 'Muslims in the West Choose
Between Isolationism and Participation' dalam Sang Seng vol 16. Seoul: Asia-Pacific Centre for
Education and International Understanding / UNESCO, 2006; ). ‘Jihad and Violence: Changing
Understanding of Jihad among Muslims’ dalam Tony Coady and Michael O’Keefe (eds).
Terrorism and Violence. Melbourne: Melbourne University Press, 2002; dan risetnya yang berjudul
Reconfiguration of Islam among Muslims in Australia (2004-2006)
21
Baca komentar N. J. Coulson yang menyatakan bahwa apa yang disebut dengan ijtihad modern
pun masih tertatih-tatih bersentuhan dengan permasalahan yang ada karena memang belum
ditatanya pendekatan yang sistematis. Lihat N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1964), 75, 80-81, 152-154 dan 220-223; lihat pula Majid Khadduri,
"From Religion to National Law," dalam J. Thompson dan R. Reischauer (Eds), Modernization of
the Arab World (New York: Van Nostrand, 1966), 41.
22
Abdullah Saeed, Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge, 2006),
142-150.
yang terkenal pada abad 20 dan 21, yaitu: "Scholastic Traditionalism," "Salafi Literalism,"
"Salafi Reformism," Political Literalist Salafism," "Liberal or Rational Reformism,"
"Sufism."23 Menurutnya, muslim progresif ada pada kelompok Liberal or Rational
Reformism.
Dalam bukunya, Islamic Thought, Abdullah Saeed menyebutkan enam karakteristik
yang paling penting yang dimiliki oleh mereka yang menklaim dirinya sebagai muslim
progresif, yaitu:
1. Mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam
tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat muslim saat ini.
2. Mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru
dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer.
3. Beberapa diantara mereka juga mengkombinasikan kesarjanaan Islam
tradisional dengan pemikiran dan pendidikan Barat modern.
4. Mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah
intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus direfleksikan dalam
hukum Islam.
5. Mereka tidak mengikatkan dirinya pada dogmatisme atau madhhab hukum
dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya.
6. Mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan
gender, HAM dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.24

Pada kesempatan yang lain, yaitu pada seminar "Progressive Islam and The State in
Contemporary Muslim Societies" di Marina Mandarin Singapore, Abdullah Saeed
memberikan kreteria yang agak berbeda dengan kretia diatas, yakni sepuluh kriteria yang
lebih bersifat teknis gerakan yang membedakan muslim progresif dengan lainnya.
Menurutnya, muslim progresif (a) menunjukkan rasa nyaman (comfort) ketika menafsir
ulang atau menerapkan kembali hukum dan prinsip-prinsip Islam, (b) berkeyakinan bahwa
keadilan gender adalah ditegaskan dalam Islam, (c) berpandangan bahwa semua agama
secara inheren adalah sama dan harus dilindungi secara konstitusional, (d) berpandangan
bahwa semua manusia juga equal, (e) berpandangan bahwa keindahan (beauty)
23
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (New York: Oxford University Press,
2004), 24-28.
24
Ibid, 150-151.
merupakan bagian inheren dari tradisi Islam baik yang ditemukan dalam seni, arsitektur,
puisi atau musik, (f) mendukung kebebasan berbicara, berkeyakinan dan berserikat, (g)
menunjukkan kasih sayang pada semua makhluk, (h) menganggap bahwa hak "orang lain"
itu ada dan perlu dihargai, (i) memilih sikap moderat dan anti-kekerasan dalam
menyelesaikan permasalahan masyarakatnya, (j) menunjukkan kesukaan dan antusiasnya
ketika mendiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan peran agama dalam tataran publik.25
Dari kriteria-kriteria di atas jelaslah bahwa muslim progresif dituntut
penguasaannya pada dasar-dasar Islam dan permasalahan-permasalahan kontemporer
untuk kemudian melalui proses berfikir metodologis menemukan jawabannya. Karena
itulah maka Abdullah Saeed juga menyebutnya dengan progressive ijtihadist. Mereka
dituntut melompat jauh melampaui apologia yang sering dikumandangkan oleh kaum
tradisionalis ataupun modernist dan juga melampaui batasan-batasan yang dicanangkan
oleh kaum neo-modernis.26
Keadilan, kebaikan dan keindahan adalah nilai-nilai universal Islam yang menjadi
jiwa semua ketentuan-ketentuan hukum. Segenap ketentuan dan status hukum tradisional
yang tidak berpihak pada keadilan, kebaikan dan keindahan haruslah ditinggalkan untuk
kemudian diganti dengan ketentuan dan status hukum yang sesuai dengan prinsip universal
Islam dengan menggunakan pendekatan progressive ijtihadi. Dengan cara seperti inilah
Islam akan mampu eksis di percaturan dunia dan mampu menjawab persoalan-persoalan
kontemporer seperti masalah hak-hak asasi manusia, gender, pluralisme dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa progressive ijtihadists tidaklah berkehendak
untuk menciptakan sebuah agama atau ajaran baru melainkan mencoba mere-interpretasi
fondasi religius tradisional untuk mengakomodasi kehidupan kontemporer. Dalam bahasa
Omid Safi, apa yang dilakukan oleh muslim progresif adalah "is not so much an

25
IDSS, "Progressive Islam," 5; Bandingkan dengan lima kriteria yang dikemukakan oleh Omid
Safi, yaitu: berkehendak untuk melawan ketidakadilan pada masyarakat dimana muslim berada,
menyadari bahwa tidak semua yang datang dari Barat itu pasti benar dan menguntungkan,
mendukung pluralisme, memiliki keinginan untuk berhubungan dengan apa yang sifatnya
tradisional dalam Islam, dan yang terakhir adalah mendukung kesetaraan gender. Lihat, Omid Safi,
Progressive Muslims, 9-15; lihat pula Omid Safi, "What is Progressive Islam," dalam The
International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) News Letter, No.13,
Desember 2003, 10.
26
IDSS, "Progressive Islam," 15.
epistemological rupture from what has come before as a fine-tuning, a polishing, a
grooming, an editing, a re-emphasizing of this and a correction of that."27
Berkaitan dengan operasionalisasi ijtihad yang dilakukan oleh muslim progresif ini,
perlu dikemukakan bentuk-bentuk ijtihad yang sangat popular digunakan pada periode
modern ini. Abdullah Saeed mengidentifikasi tiga model ijtihad yang menurutnya sangat
berpengaruh pada masanya masing-masing sepanjang sejarah hukum Islam: pertama
adalah text-based ijtihad, yakni metode ijtihad yang lazim dilakukan oleh fuqaha klasik
dan masih memiliki banyak pengaruh di kalangan pemikir tradisionalis. Pada model ini
text berkuasa penuh, baik itu nash Qur'any, hadits ataupun pendapat ulama sebelumnya
baik yang berupa ijma' ataupun qiyas; kedua adalah eclectic ijtihad, yakni upaya memilihi
nash atau pendapat ulama sebelumnya yang paling mendukung pendapat dan posisi yang
diyakininya. Yang ada adalah upaya justifikasi bukan pencarian kebenaran; ketiga adalah
context-based ijtihad, sebuah fenomena baru yang mencoba memahami masalah-masalah
hukum dalam konteks kesejarahan dan konteks kekiniannya (modern). Pada biasanya,
pendapat akhirnya akan mengacu pada kemaslahatan umum sebagai maqasid al-shari'ah.28
Ijtihad model ketiga inilah yang dilakukan oleh para progressive ijtihadists. Kalau
metodologi klasik biasanya memecahkan permasalahan hukum dengan mendasarkannya
pada teks al-Qur'an, kemudian memahami apa yang dikatakan teks tentang permasalahan
tersebut, dan paling jauhnya kemudian menghubungkan teks itu dengan konteks sosio-
historisnya,29 maka progressive ijtihadists mencoba lebih jauh lagi menghubungkannya
dengan konteks kekinian sehingga tetap up to date dan bisa diterapkan. Inilah
sesungguhnya yang dilakukan oleh, antara lain Muqtader Khan, Thariq Ramadlan, Bassam
Tibi, Aminah Wadud, Farid Esack, Irshad Manji, Ebrahim Moosa dan lain sebagainya.

27
Omid Safi, Progressive Muslim, 16.
28
Abdullah Saeed, Islamic Thought, 55. Katagorisasi ijtihad seperti di atas memiliki kelemahan
mendasar pada poin yang kedua, yaitu eclectic ijtihad. Ketika dinyatakan bahwa ijtihad model ini
adalah upaya untuk justifikasi "kepentingan" maka sesungguhnya sudah keluar dari definisi ijtihad
yang disepakati oleh jumhur ushuliyyin, yaitu upaya sungguh-sungguh untuk menemukan status
hukum shara' dari dalil-dalil yang ada. Menegasikan teks dan sejarah yang berposisi berbeda
dengan kepentingannya adalah bukti tiadanya kesungguhan dalam pencarian kebenaran, melainkan
emosi mencari pembenaran.
29
Abdul Hamid A. Sulayman mengkritik metode berfikir fuqaha klasik pada dua hal yang sangat
substansial: pertama adalah lack empiricism (tiadanya empirisisme) sebagai akibat tidak
digunakannya multi-disciplinary approach, sperti sosiologi, psikologi, ekonomi dan lainnya dalam
proses penetapan hukum; kedua adalah lack of overall systemization sebagaimana yang juga
dinyatakan oleh Ismail R. al-Faruqi dan Fazlur Rahman. Lihat bukunya yang berjudul Towards an
Islamic Theory of International Relations: New Direction for Methodology and Thought (Herdon,
Virginia: IIT, 1993), 87-94.
Berkaitan dengan bagaimana metodologi progressive ijtihadists menafsir ulang
teks-teks al-Qur'an, Abdullah Saeed memaparkan tujuh pendekatan utama: (1) atensi pada
konteks dan dinamika sosio-historis; (2) menyadari bahwa ada beberapa topik yang tidak
dicakup oleh al-Qur'an karena waktunya belum tiba pada waktu diturunkannya al-Qur'an;
(3) menyadari bahwa setiap pembacaan atas teks kitab suci harus dipandu oleh prinsip
kasih sayang, justice dan fairness; (4) mengetahui bahwa al-Qur'an mengenal hirarki nilai-
nilai dan prinsip; (5) mengetahui bahwa dibolehkan berpindah dari satu contoh yang
kongkret pada generalisasi atau sebaliknya; (6) kehati-hatian harus dilakukan ketika
menggunakan teks lain dari tradisi klasik, khususnya yang berkaitan dengan otentisitasnya;
(7) fokus utama pada kebutuhan muslim kontemporer.30
Pendekatan terhadap teks seperti inilah yang menurut Saeed akan mampu
memberikan jawaban atas permaslahan kontemporer. Contoh konkretnya adalah kasus
murtad (riddah/apostasy) yang menurut UDHR pasal 18 dinyatakan sebagai hak asasi
manusia,31 sementara dalam hukum Islam klasik, seorang murtad harus dihukum bunuh.
Apakah Islam bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang disepakati oleh PBB itu?
Apakah Islam memang tidak memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk
memilih agama lain? Abdullah Saeed dalam seminar tentang Civil and Political Rights
(Fundamental Liberties)32 menjawab permasalahan ini dalam artikelnya yang berjudul
"Article 18 of UDHR and the Need for Rethinking Muslim Conception of Religious
Freedom."
Riddah dalam hukum Islam klasik didefinisikan sebagai perpindahan agama kepada
selain Islam setelah ia dengan suka rela memeluk agama Islam. Mayoritas ulama klasik
menyatakan bahwa sekali seorang memeluk Islam maka ia terlarang untuk pindah ke
agama lain. Riddah adalah termasuk pelanggaran pidana (hudud) yang sanksi hukumnya
adalah hukuman mati. Pada masa itu riddah diasosiasikan dengan pemberontakan pada
familiy/tribe kaum mukminin.

30
IDSS, "Progressive Islam, " 5.
31
Pasal 18 UDHR berbunyi: "Everyone has the right to freedom of thought, conscience and
religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or
in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching,
practice, worship and observance." Senada dengan pasal ini adalah pasal 18 ayat 2 ICCPR
(International Covenant on Civil and Political Right) yang berbunyi: "No one shall be subject to
coercion, which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice."
ICCPR ini berlaku sejak tanggal 23 Maret 1976.
32
Seminar ini di adalakan oleh MIEHRI, pada tanggal 16 Mei 2006 di Hotel Hilton Malaysia.
Abdullah Saeed kemudian mencoba untuk mengeksplorasi perkembangan idea
riddah ini dengan menelusuri aspek sejarahnya. Ternyata pada fase Mekah, "makna" dasar
kebebasan beragama adalah bahwa ia merupakan urusan antara Tuhan dan manusia.
Karena ia adalah urusan individual, maka sesungguhnya riddah itu adalah dosa (sin) antara
hamba dengan Tuhannya, dan bukan tindakan pidana (crime). Pemaknaan baru atas riddah
ini baru muncul pada fase Madinah Meskipun demikian masyarakat beragama pada
tahapan ini masih berfungsi side by side tanpa adanya penekanan yang keterlaluan pada
superioritas Islam. Baru pada masa khlaifahlah "pemaknaan" atas riddah dihiasi oleh
superioritas Islam. Komunitas Islam diasosiasikan dengan kekuatan politik. Peenaklukan-
penaklukan daerah baru akhirnya memetakan komunitas secara hitam putih, termasuk
dalam hal agama. Selanjutnya, mada masa dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiah,
pemaknaan kehorrnatan politik bertemu dengan superioritas Islam itu. Pada masa inilah
setiap yang berbeda dianggap sebagai sebuah tindakan subversif, tindakan pidana yang
harus mendapatkan hukuman.
Menurut Abdullah Saeed, menyadari perkembangan historis seperti tersebut
di atas, sudah selayaknya mendudukkan riddah ini pada posisi yang sebenarnya, yakni
sebagai sebuah dosa dan bukan pidana. Apalagi kondisi saat ini berbeda dengan masa lalu.
Hal ini terlihat dari kritik dan gugatan atas pandangan hukum Islam klasik tersebut tentang
riddah dengan argumen sebagai berikut: hampir 150-200 ayat al-Qur'an mendukung
kebebasan beragama, berkeyakinan, memilih dan lain-lain; tidak ada satu ayatpun dalam
al-Qur'an yang menyebutkan hukuman di dunia atas orang yang murtad, adanya adalah
dalam hadith; hukum riddah mayoritas adalah berdasarkan ijtihad, bukan langsung dari
Tuhan, karena itu boleh dan bisa diditantang dan dinegosiasikan; keimanan adalah urusan
antara seorang hamba dengan Tuhannya, negara tidak punya urusan dengan hal ini; hukum
riddah berbahaya bagi ummah karena membunuh kreatifitas dan inovasi pemikiran yang
merupakan hak manusia; riddah adalah dosa bukan tindakan pidana.33
Dengan demikian maka apa yang dinyatakan oleh pasal 18 UDHR itu adalah tidak
bertentangan dengan prinsip hukum Islam. Untuk menguatkan pendapatnya, Abdullah
Saeed mengutip pendapat mantan Kepala Pengadilan Pakistan, Rahman, yang mengatakan:
"The position that emerges, after a survey of the relevant verses of the Qur'an, may be
summed up by saying that not only is there no punishment for apostasy provided in the

33
Laporan Seminar sengan tema Civil and Political Rights (Fundamental Liberties), MIEHRI,
Hotel Hilton Malaysia tanggal 16 Mei 2006, hal. 74
Book but that the Word of Gog clearly envisages the natural death of the apostate. He will
be punished only in the Hereafter."34

Pendapat yang lebih akademis yang dikutip Abdullah Saeed adalah pendapat
Muhammad Hashim kamali yang menyatakan:
"It may be said by way of conclusion that apostasy was a punishable offence in the early
years of the advent of Islam due to its subversive effects on the nascent Muslim community
and state. Evidence in the Qur'an is, on the other hand, clearly supportive of the freedom
of belief, which naturally includes freedom to convert…The Qur'an prescribes absolutely
no temporal punishment for apostasy, nor has the Prophet, peace be upon him, sentenced
anyone to death for it."35

Kesimpulan ini ternyata selaras dengan kebanyakan suara negara Muslim yang
menjadi anggota PBB. Mayoritas negara Muslim adalah anggota PBB, dan hanya 11 dari
57 negara Muslim di PBB yang tidak menandatangani UDHR tersebut. Dan menurut
penelitian dari PBB sendiri, kebanyakan negara Muslim menganggap UDHR sebagai suatu
dokumen yang penting dan relevan. Dan pada biasanya hal ini akan diikuti oleh
impementasi domestik.

Epilog
Diakui oleh Abdullah Saeed bahwa pola pikir progressive ijtihadi ini masih
menghadapi banyak kendala. Kendala yang paling besar adalah kendala internal, seperti
ketidaksiapan umat Islam sendiri untuk berbeda pendapat yang disertai kesenangannya
pada budaya takfir yang bermula dari truth claim. Tidak sedikit sarjana muslim yang
memandangnya secara sinis ataupun bahkan dianggap sebagai sebuah penyimpangan dari
Islam yang asli.
Sesungguhnya, menurut Abdullah Saeed, muslim progresif ini merupakan
perkembangan lanjutan dari trend modernis, yang kemudian berkembang menjadi neo-
modernis dan kemudian menjadi progresif. Sebagai trend, bukan gerakan, muslim
progresif ini menampung semua kelompok dan kalangan yang memiliki keberpihakan pada
nilai-nilai universal Islam sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern.
Omid Safi menyebutkan beberapa issue penting yang harus dijawab oleh muslim progresif,
antara lain adalah ketidakadilan gender, deskriminsasi terhadap kelompok minoritas baik
minoritas agama ataupun etnis, pelanggaran hak asasi manusia, tiadanya kebebasan

34
Ibid, 75.
35
Idem
berbicara, berkeyakinan dan mempraktekkan agama sendiri, pembagian kekayaan yang
tidak merata, dan pemerintahan yang otoriter.36
Ketika Abdullah Saeed ditanya siapakah yang paling berhak untuk menafsirkan
Islam, yang paling berperan menyalurkan warna interpretasi Islam, dia menjawab:
"although Islam does not have a clergy or a centralized church structure, Muslim
religious establishments exert considerable influence in terms of how Muslims view and
practice their religion. If they are antithetical to progressive Islam, their constituences
would be averse to it as well."37

36
Omid Safi, Progressve Muslims, 2-3.
37
IDSS, "Progressive Islam," 14.
BIBLIOGRAFI

al-Alwani, Taha Jabir, Ijtihad (Herdon, Virginia: IIIT, 1993)


Coulson, N. J., A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964)
Esack, Farid, Qur'an, Liberation & Pluralism (Oxford: Oneworld, 1997),
El Fadl, Khaled Abou, Speking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women
(Oxford: Oneworld, 2001)
Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-
Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997)
………., "Was the Gate of Ijtihad Closed?" dalam International Journal of Middle East
Studies 16 (1984),
Hoebink, Miche, Two Half of the Same Truth: Schacht, Hallaq, and the Gate of Ijtihad
(Amsterdam: Middle East Research Associates, 1994)
IDSS, "Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies," Laporan
Seminar yang diadakan di Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Maret 2006.
al-Jabiri, Muhammad 'Abid Takwin al-'Aql al-'Araby (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah
al-'Arabiyah, 1989),
Jackson, Sherman A., Islamic Law and The State: The Constitutional Jurisprudence of
Shihab al-Din al-Qarafi (Leiden: E. J. Brill, 1996)
Khadduri, Majid, "From Religion to National Law," dalam J. Thompson dan R. Reischauer
(Eds), Modernization of the Arab World (New York: Van Nostrand, 1966)
MIEHRI, Civil and Political Rights (Fundamental Liberties), Laporan Seminar, Hotel
Hilton Malaysia tanggal 16 Mei 2006
Ramadan, Tariq, Western Muslims and the Future of Islam (New York: Oxford University
Press, 2004)
Saeed, Abdullah. Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge,
2006)
………., Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach.(London:
Routledge, 2006)
………., ‘Jihad and Violence: Changing Understanding of Jihad among Muslims’ dalam
Tony Coady and Michael O’Keefe (eds). Terrorism and Justice (Melbourne:
Melbourne University Press, 2002)
Safi, Omid (ed), "Introduction," dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and
Pluralism (Oxford: Oneworld, 2003)
………., "What is Progressive Islam," dalam The International Institute for the Study of
Islam in the Modern World (ISIM) News Letter, No.13, Desember 2003
Sulayman, Abdul Hamid A., Towards an Islamic Theory of International Relations: New
Direction for Methodology and Thought (Herdon, Virginia: IIT, 1993)

También podría gustarte