Está en la página 1de 36

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera kepala adalah kondisi yang umum secara
neurologi dan bedah saraf dan merupakan salah satu penyebab kematian
utama di kalangan usia produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping
penanganan pertama yang belum benar serta rujukan yang terlambat. 1
Berdasarkan data demografi, angka kematian penduduk Amerika yang
disebabkan oleh cedera kepala sebesar 20/100.000 penduduk. Insidensi cedera
kepala berat 100/100.000 penduduk sedangkan prevalensi mencapai 2,5- 5,6
juta penduduk. Frekuensi cedera kepala semakin meningkat seiring
meningkatnya jumlah dan padatnya kendaraan bermotor yang mengakibatkan
semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Data dari kepolisian RI tahun
2009 menyebutkan bahwa terjadi 57.726 kasus kecelakaan lalu lintas dan
sekitar 70% dari angka tersebut mengalami cedera kepala dalam berbagai
derajat keparahan. Penelitian Suparnadi (2002), menunjukkan bahwa 60%
penderita cedera kepala berusia 20-39 tahun, dengan komposisi laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan 3:1. Penelitian Wijanarka (2005),
menunjukkan dari 100 penderita cedera kepala, 76% cedera kepala ringan,
15% cedera kepala sedang dan 9% cedera kepala berat. 2
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan
hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara
Internasional frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan
angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH
adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. 2
Cedera kepala merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai
penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera
primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan
2

faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia,


dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan otak
lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen anestesi perioperatif yang
tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat pasien berada di
Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.3
Oleh karena itu cedera kepala membutuhkan penanganan yang cepat dan
tepat. Mengingat pentingnya hal itu, dibutuhkan pengetahuan yang
menyeluruh dalam penanganan kegawatdaruratan cedera kepala. Berdasarkan
latar belakang di atas, akan dibahas tentang cedera kepala, penanganan
kegawatdaruratan cedera kepala, serta peran bagian anestesiologi dalam
menangani kasus cedera kepala.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Meninjau manajemen tindakan anestesi pada cedera kepala
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tentang cedera kepala
b. Menjelaskan tentang penanganan kegawatdaruratan cedera kepala
c. Menjelaskan tentang tindakan anestesi pada cedera kepala
(preoperatif, durante op, dan post operatif)

C. Manfaat
Menambah khasanah pengetahuan kedokteran tentang anestesiologi
khususnya yang berkaitan dengan anestesi pada tindakan penanganan cedera
kepala.
3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidural Hematom
1. Definisi
Epidural hematoma merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematom
jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier
yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens
(artei meningea media). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena
lebih jarang terjadi.3
2. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi
akut, subakut, dan kronis4
a. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma.
Perdarahan berasal dari arteri, terjadi pada 58% kasus.
b. Subakut: ditentukan diagnosisnya antara 24 jam–7 hari. Terjadi pada
31% kasus.
c. Kronis: ditentukan diagnosisnya hari ke 7. Perdarahan berasal dari vena,
terjadi pada 11% kasus.
3. Patofisiologi
Apabila salah satu cabang arteria meningea media robek dapat
menyebabkan epidural hematoma yang sering terjadi di daerah temporal.
Robekan ini dapat terjadi bila ada benturan keras pada tulang tengkorak di
daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau
oksipital.5
Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan berjalan di antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Apabila terjadi epidural hematom dapat mendesak rongga kepala
dan lebih lanjut akan melepaskan durameter dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar. 5
4

Brief contact force

Cedera kepala berat atau fraktur


kranium

Ruptur arteri meningea media

Ruptur permukaan luar duramater

Perdarahan semakin cepat

Darah merembes diantara duramater


dan kranium

Darah terkumpul

Bekuan darah membentuk massa

Menekan otak

Peningkatan tekanan intrakranial

Cedera otak sekunder

Kerusakan Koma Pembesaran Nyeri Kematian


otak pupil kepala
permanen hebat

Gambar 1. Patofisiologi epidural hematom

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan


pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik. 5
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria di medulla oblongata
dapat menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf
5

cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi


pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang
berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik
kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. 5
Semakin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong
kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau
terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun.5

Gambar 2. Perdarahan Epidural. Os Temporale (1), Hematom Epidural (2),


Duramater (3), Otak terdorong kesisi lain (4).

Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah
terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi
karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Pada subdural
hematoma yang cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma
dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung
tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. 5
6

Sumber perdarahan : 6
a. Arteri meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
b. Sinus duramatis
c. Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica
dan vena diploica
4. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis7
1) Riwayat cedera kepala
2) Gangguan kesadaran (bisa dalam keadaan tidak sadar, hilang
kesadaran singkat atau tidak mengalami kehilangan kesadaran).
3) Adanya lucid interval diikuti adanya penurunan kesadaran secara
perlahan sebagaimana peningkatan TIK. Pada kasus lainnya, lucid
interval tidak dijumpai, dan penurunan kesadaran berlangsung
diikuti oleh detoriasi progresif.
b. Pemeriksaan Fisik3,8
1) Pasien mungkin cedera kepala seperti laserasi kulit
kepala, cephalohematoma, atau kontusio.
2) Cedera sistemik juga dapat muncul sebagai tanda adanya trauma
3) Trias Cushing klasik mungkin terjadi melibatkan hipertensi
sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan.
4) Penilaian neurologis
a) Tingkat kesadaran, GCS penting dalam menilai kondisi klinis
terkini. GCS positif berhubungan dengan hasil akhir
b) Tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia.
c) Reflek fisiologis dan patologis
d) Respon verbal
e) Reaktivitas dan ukuran pupil
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P),
lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk
7

mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus


arteriameningea media.8
2) Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek,
dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya
pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua
sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens),
berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat
pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada stage yang akut (60 – 90 HU), ditandai dengan adanya
peregangan dari pembuluh darah.1,3,10
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisiduramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang
terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih
untuk menegakkan diagnosis.9,10
5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Awal
1) Jalan napas (airway) dan stabilisasi servikal
Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan
segera identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing,
serpihan fraktur, gangguan trakea-laring, cedera tulang servikal).
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya
sering terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi
karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal
lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus
segera dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus
hati-hati, bila ada riwayat/dugaan trauma sevikal harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.
8

Chin lift dan jaw thrust adalah metode awal menyokong patensi
jalan napas yang secara otomatis melindungi vertebra servikal.11
2) Pernapasan (breathing) dan ventilasi
Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien
bernapas segera dinilai. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan
penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. PCO2 harus dipertahankan
antara 25-35 mmHg.11
3) Nadi dan tekanan darah (circulation) serta kontrol perdarahan
Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak
jelas. Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala
karena membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan dalam
timbulnya edema dan iskemia otak. Jarang hipotensi disebabkan
oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial
yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks
dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang
hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.11
b. Konservatif
1) Manitol 20%
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan
otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20
menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48
jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.2
2) Loop diuretic (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial
pada edema serebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai
9

efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh


manitol. Dosis 40 mg/hari/IV. 2
3) Terapi barbiturate (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Terapi ini
bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obatan lain. Fenobarbital bekerja dengan cara menekan
metabolisme otak sehingga kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara pemberiannya: bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5
jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan
pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam.
Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.2
4) Cairan Intravena
Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan
perfusi serebral yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan
menaikkan tekanan darah. Cairan intravena diberikan secukupnya
untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia,
jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium
serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema
otak. Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular
normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline
hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa
menyebabkan edema otak.3
5) Anti Konvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma
kepala tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca
10

trauma bukan prediksi epilepsi tetapi kejang dini bisa


memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan
hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan
ICP.11
Tatalaksana :
a) Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100
mg/hari
b) Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15
menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9%
dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru
oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil,
ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin,
bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
c) Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan
resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom
intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang.
c. Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat: 12
1) Volume hematoma > 25 ml
2) Keadaan pasien memburuk
3) Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi
sederhana (burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi
hematoma. Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life
saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan
tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya
keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi
untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume: 12
1) > 25 cc  desak ruang supra tentorial
2) > 10 cc  desak ruang infratentorial
11

3) > 5 cc  desak ruang thalamus


Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan: 12
1) Penurunan klinis.
2) Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
3) Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
B. Manajemen Anestesi pada Cedera Kepala
1. Preoperatif
a. Penilaian awal kondisi pasien13
1) Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana
dan diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan
status neurologis pasien dengan trauma kepala.
a) Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat
b) Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang
c) Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan
2) Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris
ekstremitas harus secepatnya dinilai.
3) Penilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang
berasal dari cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama
ditujukan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks
atau intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks
maupun abdomen harus dilakukan segera.
b. Jalan napas dan ventilasi 14
1) Intubasi
Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan
nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena
semua pasien trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang
penuh dan sering juga mendapat trauma servikal, tekanan pada
krikoid dan stabilisasi in-line terhadap tulang servikal dilakukan
selama digunakan laringoskop dan intubasi.
2) Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi
12

3) Ventilasi mekanik
Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi
diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm.
Hiperventilasi agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan
kecuali herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia,
harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction
bronkus dapat dilakukan.
c. Stabilisasi kardiovaskuler14
1) Resusitasi cairan.
a) Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan
hipertonik dan larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga
volume intravaskular yang adekuat.
b) Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai
hematokrit yang rendah membutuhkan tranfusi untuk
mengoptimalkan oxygen delivery. Hematokrit idealnya
dipertahankan diatas 30%.
c) Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang
mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena
hiperglikemia dihubungkan dengan perburukan neurologis.
Glukosa sebaiknya digunakan hanya untuk menangani
hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya
dicapai. Kadar plasma diatas 200 mg/dL
2) Inotropik dan vasopresor.
Jika tekanan darah dan cardiac output tidak dapat diperbaiki
melalui resusitasi cairan, pemberian inotropik dan vasopresor
secara intravena mungkin diperlukan. Infus fenilefrin atau dopamin
direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion Pressure
diatas 60 mmHg.
d. Penanganan peningkatan TIK14
1) Hiperventilasi
Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada pasien
dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2
13

sebesar 30 mmHg karena hiperventilasi dapat dengan cepat dan


efektif menurunkan TIK.
2) Terapi diuretik
Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam 10 menit
pada pasien dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas
serum dijaga dan tidak boleh melebihi 320 mOsm/L.
3) Posisi
Menaikkan posisi kepala 10-30o memfasilitasi drainase CSF dan
menurunkan TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan
dimana tekanan darah sistemik menurun.
4) Kortikosteroid
Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai manfaat
dalam mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada
pasien dengan trauma kepala. Namun, beberapa laporan terakhir
menunjukkan perburukan pada pasien yang diberikan terapi
kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid tidak berperan dalam
penanganan trauma kepala meskipun bermanfaat pada trauma
spinal.
2. Peri dan Intraoperatif
Anestesi general di rekomendasikan untuk memfasilitasi kontrol
fungsi respirasi dan sirkulasi. Induksi cepat dapat diambil pada pasien
dengan hemodinamik stabil, walaupun prosedur ini dapat menghasilkan
peningkatan tekanan darah dan peningkatan tekanan intra kranial.
Obat-obatan
a. Anestesi intravena: 15
1) Barbiturat. Tiopental dan fenobarbital mengurangi aliran darah ke
otak (CBF), volume darah otak (CBV), dan tekanan intrakranial
(ICP). Mengurangi ICP dengan obat ini juga mengurangi CBF dan
CBV dengan depresi metabolik. Tiopental dan fenobarbital
melindungi iskemi otak fokal pada percobaan binatang. Pada
cedera kepala, iskemi merupakan sekuele yang umum.
14

2) Etomidate. Bersamaan dengan barbiturat etomidat mengurangi


CBF, dan ICP. Hipoensi sitemik muncul lebih sedikit dibandingkan
dengan enggunaan barbiturat. Penggunaan yang berlama-lama dari
etomidate dapat menekan respon adrenokortikal terhadap stress.
3) Propofol. Efek hemodinamik dan metabolik pada otak dengan
penggunaan propofol menyerupai obat barbiturat.
4) Benzodiazepine. Diazepam dan midazolam mungkin dapat berguna
baink untuk sedasi maupun untuk induksi anestesia karen aboat ini
memiliki minimal efek pada hemodinamik. Diazepam, 0,1-0,2
mg/kg, dapat diberikan untuk menginduksi anestesia dan dapat
diulangi jika perlu, sampai batas 0,3-0,6 mg/kg. Midazolam, 0,2
mg/kg, dapat digunakan untuk induksi dan dapat diulangi bila
perlu.
5) Narkotik, dalam penggunaan untuk klinis menghasilkan
pengurangan yang minimal sampai sedang pada CBF. Saat
ventilasi diberikan secara adekuat, narkotik memiliki efek minimal
pada ICP. Meskipun memiliki sedikit efek meningkatkan ICP,
fentanyl memberikan efek analgesi yang memuaskan dan depat
memberikan konsenterasi dari penggunaan obat anestesi inhalasi
yang lebih sedikit
b. Anestesi inhalasi: 14,15
1) Isoflurane. Depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki
sedikit efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial
daripada halotan. Karena isofluran menekan metabolisme serebral,
obat ini mungkin memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat.
Isofluran dengan konsenterasi >1 dari minimum alveolar
konsentrasi harus dihindari karena dapat menimbulkan peningkatan
substansial pada ICP.
2) Sevoflurane. Pada model kelinci “cryogenic brain injury”,
peningkatan ICP muncul dengan kenaikan tekanan darah lebih
tinggi dibandingkan dengan penggunaan halotan. Pada studi klinis,
walaupun efek pada hemodinamik serbral sevoflurane mirip
15

dengan isoflurane. Efek yang tidak menguntungkan pada


sevoflurane yaitu metabolitnya yang bersifat racun pada
konsenterasi yang tinggi.
3) Desflurane. Desflurane pada konsenterai yang tinggi dapat
meningkatkan ICP.
4) Nitrous Oxide (N2O). N2O mendilatasi pembuluh darah otak,
karena itu dapat meningkatkan ICP. Pasien dengan hipertensi
intrakranial sebaiknya tidak menggunakan obat ini. N2O juga
dihindari pada pneumochepalus atau pneumothorax karena N2O
berdifusi ke rongga udara lebih cepat dibandingkan dengan
nitrogen, oleh karena itu dapat meningkatkan volume di dalam
rongga udara.
c. Anestesi lokal
Infiltrasi lidokain 1% maupun bupivacaine 0,25%, dengan atau tidak
dengan epinephrine, di kulit sekitar insisi skalp dan tempat insersi pin
head holder membantu mencegah hipertensi sitemik dan intrakranial
terhadap rangsangan ini dan menghindari penggunaan yang tidak perlu
dari anestesi dalam. 16
d. Muscle relaxant 16
Muscle relaxant yang adekuat memfasilitasi mekanikal ventilasi dan
mengurangi ICP.
1) Vecironium memiliki minimal ataupun tanpa efek pada ICP,
tekanan darah, atau denyut jantung dan efektif pada pasien dengan
trauma kepala. Obat ini memiliki inisial dosis yaitu 0,08-0,1 mg/kg
diikuti pemberian infus 1-1,7 mcg/kg/menit
2) Pancuronium tidak menimbulkan peningkatan ICP tapi dapat
menimbulkan hipertensi dan takikardia karena efek vagolitiknya,
oleh karena itu dapat meningkatkan resiko pada pasien.
3) Atracurium tidak memiliki efek pada ICP. Karena onsetnya yang
cepat dan durasi yang pendek, dosis bolus 0,5-0,6 mg/kg diikuti
dengan pemberian melalui infus 4-10 mcg/kg/menit diberikan
dengan monitoring dari neuromuskular blok.
16

4) Rocuronium berguna saat intubasi karena efeknya yang cepat dan


sedikit efek pada intrakranial. Untuk mempertahankan, obat
dengan durasi lebih lama dibutuhkan.
Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif 14,16
a. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35
mmHg. Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga
nilai PaO2 > 100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi,
atau edema paru neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory
Pressure (PEEP) untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang
berlebihan sebiknya dihindari, karena peningkatan peningkatan
tekanan intratoraks dapat menekan drainase vena sentral dan
meningkatkan TIK.
b. Penanganan sirkulasi
CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan
meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti
cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau
vasopresor.
Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah
dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon
dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).
Penanganan peningkatan TIK intraoperatif 15
a. Posisi pasien
Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin tidak
menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara
substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau fleksi dari kepala
dan leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return.
b. Ventilasi
Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi
dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat.
c. Sirkulasi
17

Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi (tekanan


sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.
d. Diuretik
Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK.
Furosemide juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih
berat juga pada pasien dengan penurunan fungsi jantung.
e. Drainase CSF
Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF merupakan cara
yang efektif dalam menurunkan TIK.
Monitoring 13
a. Monitoring standar termasuk heart rate dan ritme (EKG), pengukuran
noninvasif tekanan darah arteri, pulse oximetry, end-tidal CO2, suhu
badan, urine output, CVP, dan blokade neuromuskular. AGDA,
hematokrit, elektrolit, glukosa, dan osmolaritas serum harus dinilai
secara periodik.
b. Monitoring terhadap emboli udara. Deteksi emboli pada vena dengan
menggunakan USG Doppler harus dipertimbangkan pada tindakan
bedah yang mana vena tempat operasi terletak diatas jantung.
c. Monitoring otak seperti EEG, evoked potential, jugular venous bulb
oxygen saturation (SjO2), Laju aliran yang diukur menggunakan
Transcranial Doppler (TCD), brain tissue PO2 (btPO2), dan TIK dapat
digunakan.
3. Postoperatif 18
a. Umum
1) Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak
miring ke kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.
2) Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari
PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.
3) Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak
boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila
tekanan arteri rerata > 130 mmHg.
18

4) Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan


koloid. Hematokrit pertahankan 33%.
5) Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan
kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.
6) Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15
mg/kg bb dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan
phenytoin terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3
mg/kg bb) perlahan –lahan selama 1-2 menit.
b. Proteksi serebral dilakukan dengan berbagai jalan, yaitu:18
1) Basic Methods
Dapat dilakukan dengan cara jalan nafas yang bebas, oksigenasi
yang adekuat, cegah hiperkarbi (selalu dalam normokarbia ,
hiperventilasi hanya bila ada herniasi otot dan bila PaCO2 < 35
mmHg harus dipasang alat pantau SJO2), pengendalian tekanan
darah (harus normotensi, sistolik jangan < 90 mmHg),
pengendalian tekanan intraklanial (terapi bila tekanan intraklanial >
20 mmHg, herniasi otak sudah dapat terjadi pada tekanan
intraklanial < 20 – 25 mmHg), mempertahakan tekanan perfusi
otak (tekanan peruse otak harus > 70 mmHg), pengendalian kejang.
Metode dasar ini yang harus dilakukan pertama kali dalam
melakukan proteksi otak.
2) Farmakologi
Pemberian obat yang meningkatkan resistensi pembuluh darah
serebral dapat secara cepat mengurangi tekanan intracranial. Jenis-
jenisnya adalah
a) Pentotal
Menyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral, yang
menurunkan aliran darah ke otak dan karena itu menurunkan
peningkatan tekanan intrakranial.
b) Pentobarbital
Digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial apabila cara
terapi lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg selama lebih dari 30
19

menit dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat


menimbulkan koma.
c) Barbiturat
Memberikan proteksi otak dengan cara menurunkan
metabolisme otak. Masalah utama dengan barbiturate adalah
adanya penurunan arteri rerata, yang apabila tidak dapat
dikendalikan dapat menurunkan perfusi ke otak. Mekanisme
barbiturate dalam menurunkan CMR adalah karena penurunan
influks Ca, blockade terowongan Na, inhibisi pembentukan
radikal bebas, potensiasi aktivitas GABAergic. Menghambat
transfer glukosa melalui barrier darah otak. Rasisonalisasi
utama penggunaan barbiturat untuk proteksi melawan iskemi
adalah mengurangi kebutuhan energy jaringan dengan menekan
fungsi aktivitas listrik sel.
3) Hipotermi
Hipotermia ringan adalah ditujukan untuk mengurangi tekanan
intrakranial pada pasien dengan cedera kepala dengan
menurunkan metabolism otak, memperlambat depolarisasi
anoksik/iskemik, memelihara homeostasis ion, menurunkan
excitatory neurotransmisi, mencegah atau mengurangi kerusakan
sekunder terhadap perubahan biokimia. Obat yang menekan
menggigil secara sentral, pelumpuh otot, dan ventilasi mekanis
diperlukan bila dilakukan teknik hipotermi. Di dalam OK suhu
pertahankan 34-35° C, pascabedah di ICU 36°C.
20

III. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. T
Umur : 3 tahun
Berat badan : 11 Kg
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Cimanggu 29 Cilacap
Agama : Islam
Tanggal masuk RSMS : 24 Oktober 2013
No. CM : 299557

B. Primary Survey
1. A: clear, gigi ompong (-), gigi palsu (-), Malapati (1)
2. B: Spontan, RR : 28x/menit, suara dasar vesikuler +/+, Wh (-/-), Rbk (-/-),
Rbh (-/-)
3. C: Nadi 120 kali/menit, reguler, tegangan dan isi cukup, S1>S2, G (-), M
(-)
4. D: GCS E4M6V5, BB 11 kg, Suhu 35,9°C

C. Secondary Survey
1. Anamnesis
a. Keluhan utama : Muntah
b. Keluhan tambahan : Demam, mual, batuk, pilek, tampak lemah
dan kurang aktif
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada tanggal 17 Oktober 2013 pasien terjatuh dari kursi
dengan posisi jatuh kepala terbentur terlebih dahulu, pasien langsung
dibawa ke bidan desa setempat dan mendapatkan pengobatan. Dua
hari setelah jatuh, pasien dibawa ke klinik Raffa karena pasien
mengalami demam, mual, muntah, batuk, pilek, dan tampak lebih
21

lemah serta kurang aktif dari biasanya. Pasien mendapatkan terapi di


klinik Raffa selama 3 hari kemudian dirujuk ke RSMS dan tiba di
IGD RSMS pada tanggal 24 Oktober 2013.
d. Riwayat penyakit dahulu
1) Riwayat hipertensi : disangkal
2) Riwayat kencing manis: disangkal
3) Riwayat asma : disangkal
4) Riwayat jantung : disangkal
5) Riwayat alergi : disangkal
6) Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
e. Riwayat penyakit keluarga
1) Riwayat hipertensi : disangkal
2) Riwayat kencing manis: disangkal
3) Riwayat asma : disangkal
4) Riwayat jantung : disangkal
5) Riwayat alergi : disangkal
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di IGD RSMS, 24 Oktober 2013
a. Keadaan umum : Sedang
b. Kesadaran : GCS E4M6V5
c. Tanda vital
Nadi : 120x/ menit
Respirasi : 28x/ menit
Suhu : 35.9ºC
d. BB : 11 kg
e. TB : cm
f. Status Generalis
1) Kepala
Bentuk dan ukuran : normocephal
Rambut dan kulit kepala : hitam terdistribusi merata,tidak
mudah dicabut
22

Status lokalis kepala : Tampak hematom di kepala regio


temporal dextra, bentuk lingkaran tak teratur ,ukuran 3x4cm, batas
tidak tegas, tepi tidak rata, permukaan menonjol, warna sama
dengan jaringan sekitar.
2) Mata : Palpebra superior edema (-), mata cekung (-),
konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-) RC +/+ isokor
2mm/2mm
3) Telinga : Otorrhoae (-)/(-), sekret (-)
4) Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-), napas cuping hidung
(-) darah (-)
5) Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), darah (-)
6) Tenggorokan : Faring hiperemis, tonsil T1-T1, mallampati (1)
7) Leher : Simetris, trakhea di tengah, kelenjar tiroid,
submandibula, supra-infra clavicula tidak teraba
8) Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), edema (-), deformitas (-)
9) Kulit : Turgor baik, petechiae (-)
10) Genitalia : Tidak dilakukan
11) Anus Rektum: Tidak dilakukan
g. Status Lokalis
1) Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak,kelainan bentuk dada (-), eksperium
diperpanjang(-), retraksi interkostalis (-), jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus apeks kanan = kiri
Vokal fremitus basal kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi lapang paru sonor
Auskultasi: Apeks : Suara dasar vesikuler +/+
Basal : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus -/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing -/-
Stridor -/-
23

2) Jantung
Auskultasi: S1>S2 Tidak ada suara tambahan
3) Abdomen
Inspeksi : cembung, tidak terdapat massa, tidak terdapat jejas
Auskultasi : bising usus (+) N
Palpasi : supel, test undulasi (-)
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Hepar : 1/3 , 1/3 BH
Lien : tak teraba
h. Ekstremitas:
Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Pemeriksaan Darah Tanggal 25 Oktober 2013
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Darah Lengkap
Hemoglobin L 6.8 Gr/dl 11.5-13.5
Leukosit H 15.290 /µL 6000- 17000
Hematokrit L 21 % 35-45
Eritrosit L 2.7 106 /µL 3,9 – 5,9
Trombosit H 471.000 /µL 150.000 – 450.000
MCV 79 Fl 79,0 – 99,0
MCH L 25.1,8 Pg 27,0 – 31,0
MCHC L 31.8 % 33 – 37
RDW 14.1 11,5 – 14,5
MPV 10.1 fL 7,2 – 11,1
24

Hitung Jenis
Basofil 0,2 0–1
Eosinofil H 7,9 2–4
Batang L 1,0 2–5
Segmen 42,7 40 – 70
Limfosit H 43,0 25 – 40
Monosit 5,2 2–8
Kimia Klinik
Ureum 15,2 mg/dl 14,98- 38,52
Kreatinin L 0.36 mg/dl 0,60-1,00
Glukosa sewaktu 100 mg/dl < = 200
Natrium L 134 mmol/L 136-145
Kalium L 2,8 mmol/L 3,5-5,1
Klorida L 97 mmol/L 98-107

b. CT-scan Tanpa Kontras


Hematom ekstrakranial, Epidural hematom regio temporal dextra,
fraktur os parietotemporal dextra.
Perdarahan 33,45 cc

D. Diagnosis Klinis
Diagnosis pra bedah : Hematom ekstrakranial, EDH emporal dextra, dan
fraktur os parietotemporal dextra
Diagnosis pasca bedah : Hematom ekstrakranial, EDH temporal, dan
fraktur os parietotemporal dextra
Jenis pembedahan : Craniotomi evakuasi EDH

E. Kesimpulan Pemeriksaan Fisik


Status ASA II E
25

F. Tindakan
Dilakukan : Craniotomi evakuasi EDH
Tanggal : 25 Oktober 2013

G. Laporan Anestesi
1. Persiapan Anestesi
a. Informed concent + Death on Table
b. Pasang IV line 1 jalur NaCl tetes cepat
c. Challange Test untuk mengetahui status pasien
hipovolemik/euvolemik dengan pemberian kristaloid 10-20 cc per
KgBB yakni 100 cc selama 15-30 menit kemudian lihat hemodinamik
pasien.
d. Pemasangan kateter
e. Mulai puasa sebelum operasi
2. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
b. Premedikasi : Sulfas Atrofin 0,1 mg, midazolam 1 mg
c. Co-induksi : Fentanyl 25 µgram
d. Induksi : Propofol 10 mg
e. Fasilitas intubasi : Atracurium 5 mg
f. Pemeliharaan : O2 50 cc dan Isofluran 1 MAC, dan pemberian
fentanyl secara intermitten
3. Teknik anestesi
a. Pasien dalam posisi telentang
b. Dilakukan intubasi dengan pemasangan ET ukuran 4
c. Respirasi : Ventilasi kendali
d. Jumlah cairan yang masuk selama operasi: kristaloid 500 cc (RL
500) dan PRC 60 cc.
4. Pemantauan selama anestesi :
a. Mulai anestesi : 23.00 WIB
b. Mulai pembedahan : 23.40 WIB
c. Selesai operasi : 00.30 WIB
26

d. Selesai anestesi : 00.45 WIB


5. Cairan yang masuk durante operasi:
RL 500 cc
PRC 60 cc
Terapi cairan
Berat badan = 11 kg
Maintenence = 2xKgBB/jam 22 cc/jam
Pengganti Puasa = Lama puasa x kebutuhan per jam  6 x 22 cc = 132 cc
Stress operasi (operasi besar) 8 x 11 = 88 cc
a. Kebutuhan jam pertama
50% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam : 66 cc + 88 cc + 22
cc = 176 cc
b. Kebutuhan jam kedua
25% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam : 33 cc + 88 cc + 22
cc = 143 cc
Kebutuhan cairan selama 105 menit operasi : Kebutuhan jam pertama +
kebutuhan jam kedua = 176 cc + (143x0,75) cc = 283,25 cc/105 menit 
283,25 ×15
40tpm
105

Cairan yang masuk selama operasi RL 500 ml dan PRC 60 cc


6. Pemantauan tekanan darah dan frekuensi nadi selama operasi.
Jam Tindakan Nadi Saturasi
(WIB) (x/menit) O2 (%)
23.00 a. Pasien masuk ke kamar operasi, dan 132 100
dipindahkan ke meja operasi
b. Pemasangan monitoring nadi, saturasi
O2
c. Satu jalur Infus RL 500cc terpasang pada
kaki kiri pasien
d. Pemberian premedikasi
e. Pemberian Co-induksi Fentanyl 25
µgram,
f. Pemberian Induksi Propofol 10 mg
g. Fasilitas intubasi Atracurium 5 mg
h. Pemasangan ET
23.40 Operasi dimulai 130 100
23.45 Kondisi terkontrol 140 100
00.00 Kondisi terkontrol 152 100
27

00.15 PRC 60cc 152 100

00.30 Kondisi Terkontrol 155 100


00.45 a. Operasi selesai 150 100
b. Diberikan antrain 150 mg
c. Pelepasan ET
d. Pemasangan sunngkup oksigen pada pasien
e. Pelepasan alat monitoring
Persiapan ke ruangan ICU

7. Pemantauan post operasi


a. Pengawasan ketat tanda vital dalam ruang ICU dengan menggunakan
ventilator.
b. Pemantauan tanda vital setiap 1 jam selama selama 24 jam.
c. Lanjutkan infus RL

Pemeriksaan Darah Lengkap Post operasi tanggal 26 Oktober 2013


PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Darah Lengkap
Hemoglobin L 7.0 Gr/dl 11.5-13.5
Leukosit 11400 /µL 6000- 17000
Hematokrit L 22 % 35-45
Eritrosit L 2,8 106 /µL 3,9 – 5,9
Trombosit H 472.000 /µL 150.000 – 450.000
MCV L 78,2 fL 79,0 – 99,0
MCH L 25,5 Pg 27,0 – 31,0
MCHC L 32,6 % 33 – 37
RDW 14,4 11,5 – 14,5
MPV 9,6 fL 7,2 – 11,1
Hitung Jenis
Basofil 0,2 0–1
Eosinofil 3,0 2–4
Batang 2,4 2–5
Segmen 68,4 40 – 70
28

Limfosit L 20,4 25 – 40
Monosit 5,6 2–8
Kimia Klinik
Ureum L 13,7 mg/dl 14,98- 38,52
Kreatinin L 0.38 mg/dl 0,60-1,00
Glukosa sewaktu 131 mg/dl < = 200
Natrium 138 mmol/L 136-145
Kalium 4,2 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 99 mmol/L 98-107
Kalsium 9,0 Mg/dL 8,4-10,2

Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 27 Oktober 2013


PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hemoglobin L 10,9 Gr/dl 11.5-13.5
Hematokrit L 33 % 35-45

H. Prognosa
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
29

IV. PEMBAHASAN

Cedera Kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) adalah salah satu dari
trauma yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat
diperlukan untuk mendapatkan outcome yang baik. Anestetist mengelola pasien
ini sepanjang periode perioperatif, dari ruang gawat darurat sampai ke tempat
pemeriksaan radiologi, kamar bedah, dan neuroICU.
Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah
optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari cedera sekunder dan
memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah saraf. Anestesi umum
dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan sirkulasi.
Penanganan darurat pada trauma kepala sama dengan trauma lainnya tetapi
pada trauma kepala juga perlu diperhatikan peninggian tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan tekanan intrakranial sangat penting karena tekanan intrakranial
yang tinggi dapat memperburuk prognosis. Kemudian setelah keadaan stabil
pasien baru dievaluasi lebih lanjut dan diberikan terapi defenitif yaitu perlu atau
tidaknya tindakan bedah. Tindakan operatif yang segera ini harus diperhatikan
untuk melakukan tindakan anestesia. Berbeda tindakan anestesia pada pasien
emergensi dengan pasien elektif yang sudah melakukan persiapan operasi berupa
pre-operatif dan pre-medikasi. Sehingga perlu perhatian khusus pada teknik
anestesi yang akan dilakukan
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat
ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi
berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya
multiple trauma.
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan
anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan
sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi,
menentukan jenis operasi yang akan di gunakan serta melihat kelainan yang
30

berhubungan dengan anestesi. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien


secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat
yang tepat bagi pasien.
Pemeriksaan pre operatif pada cedera kepala sama seperti pemeriksaan rutin
untuk tindakan anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan
intrakranial, efek samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya
serta hasil CT-scan. Peningkatan tekanan intrakranial pada CT-scan ditunjukkan
dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus,
hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema
(adanya daerah hipodensitas).
Evaluasi awal secara cepat dengan manajemen ABCD “airway, breathing
dan circulation, disability”, dengan melihat secara keseluruhan mulai dari kepala
ke kaki, depan dan belakang, dengan melakukan mobilisasi in-line. Pemeriksaan
Glasgow Coma Scale (GCS), dapat menjadi parameter untuk evaluasi penting
terhadap kemajuan klinis. Pada pasien ini telah dilakukan evaluasi awal dan
penanganan secara cepat dimana pada pasien ini jalan nafasnya bebas (clear),
untuk sirkulasi dipasang iv line 24G serta dilakukan pemeriksaan GCS dengan
nilai 15 (E4 V5 M6) dan dikategorikan sebagai cedera kepala ringan.
Tindakan pre operatif yang dilakukan pada pasien adalah sebagai berikut:
1. Melakukan visit pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Hal ini berguna untuk menentukan
masalah yang ada pada pasien, meramalkan kemungkinan penyulit,
melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang akan terjadi,
menentukan status fisik pasien serta menentukan tindakan anestesi yang
sesuai.
2. Memberikan informasi pada keluarga pasien mengenai keadaan pasien,
tindakan operatif yang akan dilakukan, keuntungan dan kerugian tindakan
operatif serta resiko yang dapat terjadi.
3. Melakukan fluid challenge test
Fluid challenge test merupakan prosedur diagnostik yang digunakan
untuk mengidentifikasi suatu keadaan hipovolemik. Prosedur ini bertujuan
31

untuk mengetahui keadaan sistem kardiosirkulasi pasien dan sebagai panduan


dalam melakukan resusitasi cairan.
Terapi cairan kristaloid ataupun koloid menjadi masalah apabila
diberikan dalam jumlah yang tidak tepat. Apabila kehilangan cairan tidak
dikoreksi, maka pasien akan mengalami keadaan hipovolemia yang
selanjutnya menimbulkan kerusakan ginjal dan komplikasi lainnya,
sebaliknya kelebihan pemberian cairan akan menyebabkan oedem pulmo.
Oleh karena itu fluid challenge test dilakukan agar terapi cairan diberikan
secara tepat.
4. Puasa sebelum operasi
Pasien terakhir makan dan minum 6 jam sebelum operasi. Puasa
sebelum operasi dilakukan untuk mencegah terjadinya muntah dan aspirasi
saat operasi.
Pasien mengalami cedera kepala ringan dan dilakukan tindakan operatif
yaitu craniotomi. Tindakan craniotomi menggunakan anestesi umum (anestesi
general) karena tindakan ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang
tidak memungkinkan pasien untuk bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk
menjamin adekuatnya difusi CO2 ke luar tubuh, respiratory rate harus diatur
menggunakan mechanical ventilator dengan RR yang cepat (hiperventilasi) dan
volume tidal yang tidak terlalu besar.
Obat-obatan yang diberikan pada pasien selama operasi berlangsung
diantaranya adalah :
1. Premedikasi (Sulfas Atrofin 0,1 mg, midazolam 1 mg)
Sulfas atrofin dapat menghambat aksi asetilkolin pada bagian
parasimpatik otot halus, kelenjar sekresi dan SSP, meningkatkan output
jantung, mengeringkan sekresi dan merupakan antagonis histamin dan
serotonin. Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan
utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesi maupun tindakan
lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot
polos organ-organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis yang
diberikan 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak.
32

Midazolam merupakan obat penghambat susunan saraf pusat golongan


benzodiazepine. Obat ini mempotensiasi GABA (penghambat
neurotransmitter) dengan memperkuat ikatan GABA-reseptor sehingga
menyebabkan penurunan respon saraf. Midazolam memiliki efek sedasi,
menginduksi tidur yang cepat, efek anti konvulsan dan relaksasi otot. Dosis
premedikasi adalah 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan
keadaan pasien.
2. Co-induksi (Fentanyl 25 µgram)
Fentanyl 2-150 mcg/kg iv, diberikan untuk menumpulkan respon
hemodinamik saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Fentanyl adalah suatu
opioid agonis derifat phenylpiperidine sintetik yang secara struktur berkaitan
dengan meperidine, sebagai suatu analgesic, fentanyl lebih kuat 75 sampai 125
kali dibandingkan morfin. Dosis intraoperatif sebesar 2-150 µg/kgBB dengan
onset 2-3 menit dan durasi sekitar 15- 20 menit.
3. Induksi (Propofol 10 mg)
Propofol merupakan obat sedative-hipnotik yang digunakan dalam
induksi dan pemeliharaan anestesi maupun sedasi. Dosis yang digunakan
sebesar 2,5-3 mg/kgBB dengan onset 30-40 detik dan durasi 5-10 menit.
4. Fasilitas intubasi (Atracurium 5 mg)
Atracurium diindikasikan sebagai tambahan pada anestesia umum untuk
mempermudah intubasi endotrakeal serta memberikan relaksasi otot rangka
selama pembedahan. Obat ini merupakan pelumpuh otot nondepolarisasi
(inhibitor kompetitif) berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik, tetapi
tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja Atracurium tidak
memiliki efek pada tekanan intrakranial karena onsetnya yang cepat dan
durasi yang pendek, dosis bolus 0,5-0,6 mg/kg diikuti dengan pemberian
melalui infus 4-10mcg/kg/menit.
5. Pemeliharaan (O2 50 dan Isofluran 1 MAC)
Isofluran merupakan depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki
sedikit efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada halotan.
Karena isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini mungkin memiliki
33

efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan konsenterasi >1 dari
minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena dapat menimbulkan
peningkatan substansial pada tekanan intrakranial.
Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif yang diberikan pada pasien
diantaranya adalah:
1. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg.
Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 > 100
mmHg. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) yang berlebihan sebaiknya
dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat menekan
drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.
2. Penanganan sirkulasi.
Pemberian cairan pada trauma kepala harus hati-hati. Hal ini ditujukan
untuk menjaga dan menjamin perfusi otak yang adekuat dan kardiovaskular
yang stabil. Pemberian cairan yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan odema otak bila ada kerusakan sawar darah-otak. Dengan
pilihan adalah cairan kristaloid yang bersifat isoosmolar. Pada pasien ini
diberikan RL yaitu cairan kristaloid untuk mencukupi kebutuhan perhari
dengan bukti hemodinamik dalam keadaan stabil dengan memantau nadi
Persiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah depresi
nafas pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang bersifat middle
atau long acting 60 menit sebelum opersi selesai, obat anastesi dihentikan saat
menjahit kulit. Kadar PaCO2 dianaikkan ke arah normoventilasi. Hindari
rangsangan nyeri yang tidak perlu, misalnya : lepas head pin sesegera mungkin,
ambil pak di mulut/faring, pengisapan faring dilakukan sebelum pasien betul-betul
bangun. Saat transfer ke PACU atau ICU berikan O2 dan monitoring EKG,
tekanan darah, SpO2 terus dilakukan.
Penanganan post operatif yang diberikan pada pasien diantaranya adalah:
posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri atau
ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi, bila perlu diventilasi, pertahankan
normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah
cedera kepala. Infus dengan Kaen 1B 1200cc/24 jam, puasa sampai dengan bising
34

usus kembali normal. Hematokrit pertahankan 33%. Bila Hb < 10 gr% beri darah.
Biasanya pada pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfusi diberikan bila Hb
< 8 gr%. Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb
dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang
berikan diazepam 3,3 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan –lahan selama 1-2
menit.
Terapi lain yang diberikan adalah pemberian antibiotik spektrum luas
cefotaxim 3x250 mg, Awal masuk rumah sakit, pasien ini mengalami leukositosis
dengan hitung jenis sel darah putih hingga sehingga dicurigai adanya infeksi. Oleh
sebab itu pasien diberikan antibiotik spektrum luas secara intravena yaitu injeksi
cefotaxim.
Pasien juga diberikan antrain 150 mg sebagai analgetik post op, Metamezole
Na (antrain) adalah devirat metansulfanot dari aminoprin yang mempunyai khasiat
analgesik. Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi rasa sakit ke
susunan saraf pusat dan perifer. Metamizole Na bekerja sebagai analgesik,
diabsorpsi dari saluran pencernaan mempunyai waktu paruh 1 - 4 jam.
Vit K 3x1 mg dan asam tranexamat 3 x 500 mg diberikan untuk membantu
fungsi koagulasi darah. Vit K sebagai hemostatik berfungsi untuk merangsang
faktor-faktor pembekuan darah. Asam tranexamat merupakan penghambat yang
bersaing dengan aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin
berperan untuk menghancurkan fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan lain.
35

V. KESIMPULAN

1. Tanggal 25 Oktober 2013 telah dilakukan tindakan cranotomi evakuasi EDH


dengan menggunakan teknik anastesi yang dipakai adalah anastesi general
dengan menggunakan propofol.
2. Tahapan preoperative diantaranya adalah memeriksa pasien untuk
memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak,
puasa, dan dapat dilakukan premedikasi. Pada kasus ini, pasien dipuasakan
selama 6 jam.
3. Tahapan intraopratif diantaranya adalah pemberian induksi dan juga
pemasangan ET. Pada pasien ini pemasangan ET dilakukan karena waktu
operasi yang lama (1,5 jam) dan pasien dalam posisi supine.
4. Tahapan postoperative dilakukan dengan melakukan menajemen nyeri, dan
keseimbangan cairan. Diantaranya dengan pemberian obat analgesik,
kristaloid, obat antibiotik dan koagulan.
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second


edition,Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117 – 178
2. Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. (online).
Available at: library.usu.ac.id/download/fk/bedah-
iskandar%20japardi37%20.pdf. Diakses tanggal 3 November 2013.
3. Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta:
EGC
4. Snell R.S. 1996. Neurologi Klinik, Edisi ke dua. Jakarta: EGC.
5. Hafid, A. 2004. Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua,
Jong W.D. Jakarta: EGC, hal. 818-819
6. Ekayuda I. Radiologi Diagnostik edisi kedua. Jakarta: Gaya Baru, 2006. p.
359-65, 382-87
7. Gilroy J. Basic Neurology. USA: McGraw-Hill, 2000. p. 553-5
8. Mardjono M., Sidarta P., 2000. Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan,
Penerbit Dian Rakyat, Jakarta hal 255-256
9. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua,
Harsono,Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
10. Sutton D, Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging,
fifthedition, Churchill Living Stone, London,1993, 1423
11. Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. 2004. Trauma. 5th Ed. New
York: McGraw-Hill.
12. American College Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support Edisi
Ketujuh. United States of America.
13. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds. Oxford
Textbook of Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 2000
14. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In:
Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001
15. Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In:
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston
Textbook of Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2007.
16. Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship of
Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain Injury. Acta
Neurochir, 2005; 95: 13-16.
17. Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical
Strategies: Handbook of Anesthesiology. 2004-2005 ed. Current Clinical
Strategies Publishing, USA. 2004.
18. Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 2008.

También podría gustarte