Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera kepala adalah kondisi yang umum secara
neurologi dan bedah saraf dan merupakan salah satu penyebab kematian
utama di kalangan usia produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping
penanganan pertama yang belum benar serta rujukan yang terlambat. 1
Berdasarkan data demografi, angka kematian penduduk Amerika yang
disebabkan oleh cedera kepala sebesar 20/100.000 penduduk. Insidensi cedera
kepala berat 100/100.000 penduduk sedangkan prevalensi mencapai 2,5- 5,6
juta penduduk. Frekuensi cedera kepala semakin meningkat seiring
meningkatnya jumlah dan padatnya kendaraan bermotor yang mengakibatkan
semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Data dari kepolisian RI tahun
2009 menyebutkan bahwa terjadi 57.726 kasus kecelakaan lalu lintas dan
sekitar 70% dari angka tersebut mengalami cedera kepala dalam berbagai
derajat keparahan. Penelitian Suparnadi (2002), menunjukkan bahwa 60%
penderita cedera kepala berusia 20-39 tahun, dengan komposisi laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan 3:1. Penelitian Wijanarka (2005),
menunjukkan dari 100 penderita cedera kepala, 76% cedera kepala ringan,
15% cedera kepala sedang dan 9% cedera kepala berat. 2
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan
hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara
Internasional frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan
angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH
adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. 2
Cedera kepala merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai
penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera
primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan
2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Meninjau manajemen tindakan anestesi pada cedera kepala
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tentang cedera kepala
b. Menjelaskan tentang penanganan kegawatdaruratan cedera kepala
c. Menjelaskan tentang tindakan anestesi pada cedera kepala
(preoperatif, durante op, dan post operatif)
C. Manfaat
Menambah khasanah pengetahuan kedokteran tentang anestesiologi
khususnya yang berkaitan dengan anestesi pada tindakan penanganan cedera
kepala.
3
A. Epidural Hematom
1. Definisi
Epidural hematoma merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematom
jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier
yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens
(artei meningea media). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena
lebih jarang terjadi.3
2. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi
akut, subakut, dan kronis4
a. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma.
Perdarahan berasal dari arteri, terjadi pada 58% kasus.
b. Subakut: ditentukan diagnosisnya antara 24 jam–7 hari. Terjadi pada
31% kasus.
c. Kronis: ditentukan diagnosisnya hari ke 7. Perdarahan berasal dari vena,
terjadi pada 11% kasus.
3. Patofisiologi
Apabila salah satu cabang arteria meningea media robek dapat
menyebabkan epidural hematoma yang sering terjadi di daerah temporal.
Robekan ini dapat terjadi bila ada benturan keras pada tulang tengkorak di
daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau
oksipital.5
Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan berjalan di antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Apabila terjadi epidural hematom dapat mendesak rongga kepala
dan lebih lanjut akan melepaskan durameter dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar. 5
4
Darah terkumpul
Menekan otak
Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah
terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi
karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Pada subdural
hematoma yang cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma
dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung
tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. 5
6
Sumber perdarahan : 6
a. Arteri meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
b. Sinus duramatis
c. Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica
dan vena diploica
4. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis7
1) Riwayat cedera kepala
2) Gangguan kesadaran (bisa dalam keadaan tidak sadar, hilang
kesadaran singkat atau tidak mengalami kehilangan kesadaran).
3) Adanya lucid interval diikuti adanya penurunan kesadaran secara
perlahan sebagaimana peningkatan TIK. Pada kasus lainnya, lucid
interval tidak dijumpai, dan penurunan kesadaran berlangsung
diikuti oleh detoriasi progresif.
b. Pemeriksaan Fisik3,8
1) Pasien mungkin cedera kepala seperti laserasi kulit
kepala, cephalohematoma, atau kontusio.
2) Cedera sistemik juga dapat muncul sebagai tanda adanya trauma
3) Trias Cushing klasik mungkin terjadi melibatkan hipertensi
sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan.
4) Penilaian neurologis
a) Tingkat kesadaran, GCS penting dalam menilai kondisi klinis
terkini. GCS positif berhubungan dengan hasil akhir
b) Tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia.
c) Reflek fisiologis dan patologis
d) Respon verbal
e) Reaktivitas dan ukuran pupil
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P),
lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk
7
Chin lift dan jaw thrust adalah metode awal menyokong patensi
jalan napas yang secara otomatis melindungi vertebra servikal.11
2) Pernapasan (breathing) dan ventilasi
Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien
bernapas segera dinilai. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan
penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. PCO2 harus dipertahankan
antara 25-35 mmHg.11
3) Nadi dan tekanan darah (circulation) serta kontrol perdarahan
Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak
jelas. Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala
karena membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan dalam
timbulnya edema dan iskemia otak. Jarang hipotensi disebabkan
oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial
yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks
dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang
hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.11
b. Konservatif
1) Manitol 20%
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan
otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20
menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48
jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.2
2) Loop diuretic (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial
pada edema serebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai
9
3) Ventilasi mekanik
Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi
diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm.
Hiperventilasi agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan
kecuali herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia,
harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction
bronkus dapat dilakukan.
c. Stabilisasi kardiovaskuler14
1) Resusitasi cairan.
a) Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan
hipertonik dan larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga
volume intravaskular yang adekuat.
b) Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai
hematokrit yang rendah membutuhkan tranfusi untuk
mengoptimalkan oxygen delivery. Hematokrit idealnya
dipertahankan diatas 30%.
c) Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang
mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena
hiperglikemia dihubungkan dengan perburukan neurologis.
Glukosa sebaiknya digunakan hanya untuk menangani
hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya
dicapai. Kadar plasma diatas 200 mg/dL
2) Inotropik dan vasopresor.
Jika tekanan darah dan cardiac output tidak dapat diperbaiki
melalui resusitasi cairan, pemberian inotropik dan vasopresor
secara intravena mungkin diperlukan. Infus fenilefrin atau dopamin
direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion Pressure
diatas 60 mmHg.
d. Penanganan peningkatan TIK14
1) Hiperventilasi
Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada pasien
dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2
13
A. Identitas Pasien
Nama : An. T
Umur : 3 tahun
Berat badan : 11 Kg
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Cimanggu 29 Cilacap
Agama : Islam
Tanggal masuk RSMS : 24 Oktober 2013
No. CM : 299557
B. Primary Survey
1. A: clear, gigi ompong (-), gigi palsu (-), Malapati (1)
2. B: Spontan, RR : 28x/menit, suara dasar vesikuler +/+, Wh (-/-), Rbk (-/-),
Rbh (-/-)
3. C: Nadi 120 kali/menit, reguler, tegangan dan isi cukup, S1>S2, G (-), M
(-)
4. D: GCS E4M6V5, BB 11 kg, Suhu 35,9°C
C. Secondary Survey
1. Anamnesis
a. Keluhan utama : Muntah
b. Keluhan tambahan : Demam, mual, batuk, pilek, tampak lemah
dan kurang aktif
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada tanggal 17 Oktober 2013 pasien terjatuh dari kursi
dengan posisi jatuh kepala terbentur terlebih dahulu, pasien langsung
dibawa ke bidan desa setempat dan mendapatkan pengobatan. Dua
hari setelah jatuh, pasien dibawa ke klinik Raffa karena pasien
mengalami demam, mual, muntah, batuk, pilek, dan tampak lebih
21
2) Jantung
Auskultasi: S1>S2 Tidak ada suara tambahan
3) Abdomen
Inspeksi : cembung, tidak terdapat massa, tidak terdapat jejas
Auskultasi : bising usus (+) N
Palpasi : supel, test undulasi (-)
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Hepar : 1/3 , 1/3 BH
Lien : tak teraba
h. Ekstremitas:
Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Pemeriksaan Darah Tanggal 25 Oktober 2013
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Darah Lengkap
Hemoglobin L 6.8 Gr/dl 11.5-13.5
Leukosit H 15.290 /µL 6000- 17000
Hematokrit L 21 % 35-45
Eritrosit L 2.7 106 /µL 3,9 – 5,9
Trombosit H 471.000 /µL 150.000 – 450.000
MCV 79 Fl 79,0 – 99,0
MCH L 25.1,8 Pg 27,0 – 31,0
MCHC L 31.8 % 33 – 37
RDW 14.1 11,5 – 14,5
MPV 10.1 fL 7,2 – 11,1
24
Hitung Jenis
Basofil 0,2 0–1
Eosinofil H 7,9 2–4
Batang L 1,0 2–5
Segmen 42,7 40 – 70
Limfosit H 43,0 25 – 40
Monosit 5,2 2–8
Kimia Klinik
Ureum 15,2 mg/dl 14,98- 38,52
Kreatinin L 0.36 mg/dl 0,60-1,00
Glukosa sewaktu 100 mg/dl < = 200
Natrium L 134 mmol/L 136-145
Kalium L 2,8 mmol/L 3,5-5,1
Klorida L 97 mmol/L 98-107
D. Diagnosis Klinis
Diagnosis pra bedah : Hematom ekstrakranial, EDH emporal dextra, dan
fraktur os parietotemporal dextra
Diagnosis pasca bedah : Hematom ekstrakranial, EDH temporal, dan
fraktur os parietotemporal dextra
Jenis pembedahan : Craniotomi evakuasi EDH
F. Tindakan
Dilakukan : Craniotomi evakuasi EDH
Tanggal : 25 Oktober 2013
G. Laporan Anestesi
1. Persiapan Anestesi
a. Informed concent + Death on Table
b. Pasang IV line 1 jalur NaCl tetes cepat
c. Challange Test untuk mengetahui status pasien
hipovolemik/euvolemik dengan pemberian kristaloid 10-20 cc per
KgBB yakni 100 cc selama 15-30 menit kemudian lihat hemodinamik
pasien.
d. Pemasangan kateter
e. Mulai puasa sebelum operasi
2. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
b. Premedikasi : Sulfas Atrofin 0,1 mg, midazolam 1 mg
c. Co-induksi : Fentanyl 25 µgram
d. Induksi : Propofol 10 mg
e. Fasilitas intubasi : Atracurium 5 mg
f. Pemeliharaan : O2 50 cc dan Isofluran 1 MAC, dan pemberian
fentanyl secara intermitten
3. Teknik anestesi
a. Pasien dalam posisi telentang
b. Dilakukan intubasi dengan pemasangan ET ukuran 4
c. Respirasi : Ventilasi kendali
d. Jumlah cairan yang masuk selama operasi: kristaloid 500 cc (RL
500) dan PRC 60 cc.
4. Pemantauan selama anestesi :
a. Mulai anestesi : 23.00 WIB
b. Mulai pembedahan : 23.40 WIB
c. Selesai operasi : 00.30 WIB
26
Limfosit L 20,4 25 – 40
Monosit 5,6 2–8
Kimia Klinik
Ureum L 13,7 mg/dl 14,98- 38,52
Kreatinin L 0.38 mg/dl 0,60-1,00
Glukosa sewaktu 131 mg/dl < = 200
Natrium 138 mmol/L 136-145
Kalium 4,2 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 99 mmol/L 98-107
Kalsium 9,0 Mg/dL 8,4-10,2
H. Prognosa
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
29
IV. PEMBAHASAN
Cedera Kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) adalah salah satu dari
trauma yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat
diperlukan untuk mendapatkan outcome yang baik. Anestetist mengelola pasien
ini sepanjang periode perioperatif, dari ruang gawat darurat sampai ke tempat
pemeriksaan radiologi, kamar bedah, dan neuroICU.
Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah
optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari cedera sekunder dan
memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah saraf. Anestesi umum
dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan sirkulasi.
Penanganan darurat pada trauma kepala sama dengan trauma lainnya tetapi
pada trauma kepala juga perlu diperhatikan peninggian tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan tekanan intrakranial sangat penting karena tekanan intrakranial
yang tinggi dapat memperburuk prognosis. Kemudian setelah keadaan stabil
pasien baru dievaluasi lebih lanjut dan diberikan terapi defenitif yaitu perlu atau
tidaknya tindakan bedah. Tindakan operatif yang segera ini harus diperhatikan
untuk melakukan tindakan anestesia. Berbeda tindakan anestesia pada pasien
emergensi dengan pasien elektif yang sudah melakukan persiapan operasi berupa
pre-operatif dan pre-medikasi. Sehingga perlu perhatian khusus pada teknik
anestesi yang akan dilakukan
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat
ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi
berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya
multiple trauma.
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan
anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan
sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi,
menentukan jenis operasi yang akan di gunakan serta melihat kelainan yang
30
efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan konsenterasi >1 dari
minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena dapat menimbulkan
peningkatan substansial pada tekanan intrakranial.
Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif yang diberikan pada pasien
diantaranya adalah:
1. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg.
Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 > 100
mmHg. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) yang berlebihan sebaiknya
dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat menekan
drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.
2. Penanganan sirkulasi.
Pemberian cairan pada trauma kepala harus hati-hati. Hal ini ditujukan
untuk menjaga dan menjamin perfusi otak yang adekuat dan kardiovaskular
yang stabil. Pemberian cairan yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan odema otak bila ada kerusakan sawar darah-otak. Dengan
pilihan adalah cairan kristaloid yang bersifat isoosmolar. Pada pasien ini
diberikan RL yaitu cairan kristaloid untuk mencukupi kebutuhan perhari
dengan bukti hemodinamik dalam keadaan stabil dengan memantau nadi
Persiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah depresi
nafas pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang bersifat middle
atau long acting 60 menit sebelum opersi selesai, obat anastesi dihentikan saat
menjahit kulit. Kadar PaCO2 dianaikkan ke arah normoventilasi. Hindari
rangsangan nyeri yang tidak perlu, misalnya : lepas head pin sesegera mungkin,
ambil pak di mulut/faring, pengisapan faring dilakukan sebelum pasien betul-betul
bangun. Saat transfer ke PACU atau ICU berikan O2 dan monitoring EKG,
tekanan darah, SpO2 terus dilakukan.
Penanganan post operatif yang diberikan pada pasien diantaranya adalah:
posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri atau
ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi, bila perlu diventilasi, pertahankan
normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah
cedera kepala. Infus dengan Kaen 1B 1200cc/24 jam, puasa sampai dengan bising
34
usus kembali normal. Hematokrit pertahankan 33%. Bila Hb < 10 gr% beri darah.
Biasanya pada pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfusi diberikan bila Hb
< 8 gr%. Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb
dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang
berikan diazepam 3,3 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan –lahan selama 1-2
menit.
Terapi lain yang diberikan adalah pemberian antibiotik spektrum luas
cefotaxim 3x250 mg, Awal masuk rumah sakit, pasien ini mengalami leukositosis
dengan hitung jenis sel darah putih hingga sehingga dicurigai adanya infeksi. Oleh
sebab itu pasien diberikan antibiotik spektrum luas secara intravena yaitu injeksi
cefotaxim.
Pasien juga diberikan antrain 150 mg sebagai analgetik post op, Metamezole
Na (antrain) adalah devirat metansulfanot dari aminoprin yang mempunyai khasiat
analgesik. Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi rasa sakit ke
susunan saraf pusat dan perifer. Metamizole Na bekerja sebagai analgesik,
diabsorpsi dari saluran pencernaan mempunyai waktu paruh 1 - 4 jam.
Vit K 3x1 mg dan asam tranexamat 3 x 500 mg diberikan untuk membantu
fungsi koagulasi darah. Vit K sebagai hemostatik berfungsi untuk merangsang
faktor-faktor pembekuan darah. Asam tranexamat merupakan penghambat yang
bersaing dengan aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin
berperan untuk menghancurkan fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan lain.
35
V. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA