Está en la página 1de 26

1.

Dx asma
PEMBUATAN DIAGNOSIS AWAL
Membuat diagnosis asma didasarkan pada identifikasi baik pola karakteristik
gejala pernapasan seperti mengi(wheezing), sesak napas (dyspnea), sesak dada atau
batuk, dan variable keterbatasan aliran udara ekspirasi. Pola gejala ini penting, karena
gejala pernafasan mungkin karena kondisi akut atau kronis selain asma. Jika mungkin,
bukti yang mendukung diagnosis asma harus didokumentasikan ketika pasien pertama
kali datang, karena fitur yang merupakan karakteristik asma dapat meningkat secara
spontan atau dengan pengobatan; sebagai akibatnya, seringkali lebih sulit untuk
mengkonfirmasi diagnosis asma setelah pasien telah memulai perawatan pengendali.Pola
gejala pernapasan yang merupakan karakteristik asma.
Gejala-gejala berikut khas pada asma dan, jika ada, meningkatkan kemungkinan
bahwa pasien memiliki asma:
• Lebih dari satu gejala (mengi, sesak napas, batuk, sesak dada), terutama pada orang
dewasa
• Gejala sering lebih buruk pada malam hari atau di pagi hari
• Gejala bervariasi seiring waktu dan intensitas
• Gejala dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan alergen, perubahan cuaca,
tawa, atau iritasi seperti asap knalpot mobil, asap atau bau yang kuat.
Berikut ini menurunkan kemungkinan bahwa gejala-gejala pernapasan disebabkan oleh
asma:
• Batuk terisolasi tanpa gejala pernapasan lainnya
• Produksi sputum kronis
• Sesak napas yang berhubungan dengan pusing, pusing ringan atau perifer pinggiran
(paresthesia)
• Sakit dada
• Dispnea yang dipicu oleh latihan dengan inspirasi yang bising.
Bagan Diagnosis pada Asma
1. Riwayat Penyakit :
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

 Riwayat keluarga (atopi)


 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan
2. Pemeriksaan Jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
(wheezing) pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa
sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar
pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent
chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu
napas.
3. Faal Paru
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai obstruksi jalan napas, reversibilitas
kelainan faal paru, variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif
jalan napas
a. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil
nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
 Normal >75-80%
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma Menilai derajat berat asma
 Sebaiknya dilakukan pada kunjungan awal, setelah pengobatan awal
diberikan bila gejala APE telah stabil dan pemeriksaan berkala 1-2 tahun
untuk menilai perubahan fungsi jalan nafas, atau lebih sering bergantung
berat penyakit dan respons pengobatan.
b. Menilai derajat berat asma Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif
mudah digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya
digunakan penderita di rumah seharihari untuk memantau kondisi asmanya.
Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan
koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,
atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan
variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru
lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat
obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan
dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak
diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian

Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari
untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat
diperoleh melalui 2 cara :
1. Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/
perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai
APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan
nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya
sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai
APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
2. Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai
terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan
2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai
tertinggi APE malam hari). Contoh : Selama 1 minggu setiap
hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan APE
pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka
persentase dari nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/
400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin
dilakukan untuk menilai variabiliti.
PEMERIKSAAN LAIN UNTUK DIAGNOSIS
a. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisitizrendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu
berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada
penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan
jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
b. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai
kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor
risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan. Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status
alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit
merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat
menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi
terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala
harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan
uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/
kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan
kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.

Klasifikasi asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai. Pada umumnya penderita sudah dalam
pengobatan; dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat.
Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena
itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus
mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 6 menunjukkan bagaimana
melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila
pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka
derajat berat asma naik satu tingkat.
Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang dan
gambaran klinis sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat asma
penderita tersebut adalah asma persisten berat. Demikian pula dengan asma persisten
ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten berat dan asma intemiten.
Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten berat maka jenis
pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat asma,
dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian pula
penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan sesuai
dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.
Tabel Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum
Pengobatan)
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
1. Intermitten Bulanan * ≤ 2 kali sebulan APE > 80%
* Gejala < * VEP1 ≥ 80% nilai
1x/minggu prediksi
* Tanpa gejala di APE ≥ 80% nilai terbaik
luar serangan * Variabiliti APE < 20%
* Serangan singkat
2. Persisten Mingguan * > 2x /sebulan * VEP1 ≥ 80% nilai
ringan * Gejala > prediksi
1x/minggu, APE ≥ 80% nilai terbaik
tetapi < 1x/ hari
* Serangan dapat
mengganggu aktiviti
dan tidur

3. Persisten Harian * > 1x/seminggu * Variabiliti APE 20-30%


sedang * Gejala setiap hari * VEP1 60-80% nilai
* Serangan prediksi
mengganggu APE 60-80% nilai terbaik
aktiviti dan tidur * Variabiliti APE > 30%
*Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
4. Persisten Kontinyu *sering * VEP1 ≤ 60% nilai
berat * Gejala terus prediksi
menerus APE ≤ 60% nilai terbaik
* Sering kambuh * Variabiliti APE > 30%
* Aktiviti fisik
terbatas

Tabel Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam


Tahapan Pengobatan yang digunakan saat penilaian
Gejala dan Faal paru dalam Tahap I Tahap 2 Tahap 3
Pengobatan Intermiten Persisten Persisten
Ringan sedang
Tahap I : Intermiten Intermiten Persisten Ringan Persisten Sedang
Gejala < 1x/ mgg
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/ bln
Faal paru normal di luar
serangan
Tahap II : Persisten Ringan Persisten Persisten Sedang Persisten Berat
Gejala >1x/ mgg, tetapi <1x/ Ringan
hari
Gejala malam >2x/bln, tetapi
<1x/mgg
Faal paru normal di luar
serangan
Tahap III: Persisten Sedang Persisten Persisten Berat Persisten Berat
Gejala setiap hari Sedang
Serangan mempengaruhi
aktiviti dan tidur Gejala malam
> 1x/mgg
60%<VEP1<80% nilai prediksi
60%<APE<80% nilai terbaik
Tahap IV: Persisten Berat Persisten Persisten Berat Persisten Berat
Gejala terus menerus Berat
Serangan sering
Gejala malam sering
VEP1 ≤ 60% nilai prediksi, atau
APE ≤ 60% nilai terbaik

Penatalaksaanaan pasien asma


Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktiviti seharihari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol
bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah
gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan
hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga
penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat
dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga terjangkau.
Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan :

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :


1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang
mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan “7 langkah mengatasi asma”, yaitu :
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri dengan teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga
EDUKASI
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga penderita agar
tetap
masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena berkurangnya
serangan akut
terutama bila membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit.
Edukasi
tidak hanya ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain yang
membutuhkan
seperti :
1. pemegang keputusan, pembuat perencanaan bidang kesehatan/ asma
2. profesi kesehatan (dokter, perawat, petugas farmasi, mahasiswa kedokteran dan
petugas kesehatan lain)
3. masyarakat luas (guru, karyawan, dll).
Edukasi penderita dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan
asma
Edukasi kepada penderita/ keluarga bertujuan untuk:
1. meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
2. meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)
3. meningkatkan kepuasan
4. meningkatkan rasa percaya diri meningkatkan kepatuhan (compliance) dan
penanganan mandiri.
Dengan kata lain, tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu penderita agar dapat
melakukan
penatalaksanaan dan mengontrol asma.
Komunikasi yang jelas antara dokter dan penderita dalam memenuhi kebutuhan
informasi yang diperlukan dalam penatalaksanaan, adalah kunci peningkatan
compliance/kepatuhan penderita dalam melakukan penatalaksanaan tersebut. Edukasi
penderita sebagai mitra dalam pengelolaan asma mandiri, dengan memberikan
penderita kemampuan untuk mengontrol asma melalui monitor dan menilai keadaan
asma serta melakukan penanganan mandiri dengan arahan dokter, terbukti
menurunkan morbidity. Untuk memudahkan hal tersebut digunakan alat bantu peak flow
meter dan kartu catatan harian.
Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara perorangan
maupun berkelompok dengan berbagai metode. Pada prinsipnya edukasi diberikan
pada :
1. Kunjungan awal (I)
2. Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari kunjungan pertama
3. Kunjungan berikut (III)
4. Kunjungan-kunjungan berikutnya
Edukasi sebaiknya diberikan dalam waktu khusus di ruang tertentu, dengan alat peraga
yang lengkap seperti gambar pohon bronkus, phantom rongga toraks dengan saluran
napas danm paru, gambar potongan melintang saluran napas, contoh obat inhalasi dan
sebagainya. Hal yang demikian mungkin diberikan di klinik konseling asma. Edukasi
sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama baik di gawat darurat, klinik, klub asma;
dengan bahan edukasi terutama mengenai cara dan waktu penggunaan obat,
menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur
pada pengobatan asma. Bentuk pemberian edukasi
1. Komunikasi/nasehat saat berobat.
2. Ceramah
3. Latihan/ training
4. Supervisi
5. Diskusi
6. Tukar menukar informasi (sharing of information group)
7. Film/video presentasi
8. Leaflet, brosur, buku bacaan, Dll

Bagaimana meningkatkan kepatuhan penderita


Tidak dapat dipastikan bahwa penderita melakukan semua yang disarankan bila
penderita tidak menyetujuinya atau bila hanya dijelaskan satu kali/ belum memahami.
Kepatuhan dapat ditingkatkan jika penderita :
o menerima diagnosis asma
o percaya bahwa asmanya dapat bermasalah/ berbahaya
o percaya bahwa ia berisiko untuk mendapatkan bahaya tsb
o merasakan ia dalam pengawasan/ control
o percaya bahwa ia dalam pengobatan yang aman
o Terjadi komunikasi yang baik antara dokter-penderita

PENILAIAN DAN PEMANTAUAN SECARA BERKALA


Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri
mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal tersebut disebabkan berbagai faktor
antara lain:
o Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan terapi
o Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada
asmanya
o Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview, sehingga
membantu penanganan asma terutama asma mandiri.
Frekuensi kunjungan bergantung kepada berat penyakit dan kesanggupan penderita
dalam memonitor asmanya. Umumnya tindak lanjut (follow-up) pertama dilakukan < 1
bulan ( 1-2 minggu) setelah kunjungan awal. Pada setiap kunjungan layak ditanyakan
kepada penderita; apakah keadaan asmanya membaik atau memburuk dibandingkan
kunjungan terakhir. Kemudian dilakukan penilaian pada keadaan terakhir atau 2 minggu
terakhir sebelum berkunjung dengan berbagai pertanyaan.

PENGAWASAN KONTROL AWAL

Untuk hasil yang terbaik, pengontrol an perawatan harian secara teratur harus dimulai sesegera
mungkin setelah diagnosis asma dilakukan, oleh karena:

 Perawatan dini dengan ICS (Inhaled Corticosteroid) dosis rendah mengarah ke fungsi
paru yang lebih baik daripada jika gejala telah hadir selama lebih dari 2-4 tahun
 Pasien yang tidak menggunakan ICS yang mengalami eksaserbasi berat memiliki
fungsi paru jangka panjang yang lebih rendah daripada mereka yang telah memulai
ICS
 Pada asma okupasional, menjauhkan diri dari paparan dan pengobatan dini
meningkatkan kemungkinan pemulihan.
ICS dosis rendah reguler direkomendasikan untuk pasien dengan salah satu dari berikut:
 Gejala asma lebih dari dua kali sebulan
 Bangun karena asma lebih dari sekali sebulan
 Semua gejala asma yang disertai dengan faktor risiko untuk eksaserbasi (misalnya
pernah membutuhkan OCS (oral Corticosteroid) untuk asma dalam 12 bulan terakhir,
FEV1 rendah, pernah dirawat di unit perawatan intensif untuk asma).
Pertimbangkan memulai pada “STEP” yang lebih tinggi (misalnya ICS dosis
menengah / tinggi, atau ICS / LABA) jika pasien memiliki masalah gejala asma dalam
hari2 nya; atau pernah bangun karena asma sekali atau lebih seminggu, terutama jika
ada faktor risiko untuk eksaserbasi.

Jika pasien asma datang dengan asma yang sangat tidak terkontrol, atau dengan
eksaserbasi akut, berikan OCS segera dan mulai perawatan kontrol reguler (misalnya ICS
dosis tinggi, atau ICS dosis menengah / LABA).

Sebelum memulai perawatan pengendali awal :

• Catat bukti untuk diagnosis asma

• membuat dokumen gejala dan faktor risiko


• Kaji fungsi paru

• Latih pasien untuk menggunakan inhaler dengan benar, dan periksa teknik
mereka

• Jadwalkan tindak lanjut kunjungan

Setelah memulai pengobatan pengendali awal

• Tinjau respons setelah 2-3 bulan, atau sesuai dengan urgensi klinis

• Pertimbangkan STEP DOWN ketika asma telah terkontrol dengan baik selama 3
bulan

Berikut adalah ”STEP” dari penangan Asma


Table Dosis harian rendah, sedang dan tinggi dari kortikosteroid inhalasi

Adults and adolescents (12 years and older)


Drug Daily dose (mcg)
Low Medium High
Beclometasone dipropionate (CFC)* 200–500 >500–1000 >1000
Beclometasone dipropionate (HFA) 100–200 >200–400 >400
Budesonide (DPI) 200–400 >400–800 >800
Ciclesonide (HFA) 80–160 >160–320 >320
Fluticasone furoate (DPI) 100 n.a. 200
Fluticasone propionate(DPI) 100–250 >250–500 >500
Fluticasone propionate (HFA) 100–250 >250–500 >500
Mometasone furoate 110–220 >220–440 >440
Triamcinolone acetonide 400–1000 >1000–2000 >2000
Children 6–11 years (for children 5 years and younger, see Box 6-6, p.112)
Beclometasone dipropionate (CFC)* 100–200 >200–400 >400
Beclometasone dipropionate (HFA) 50-100 >100-200 >200
Budesonide (DPI) 100–200 >200–400 >400
Budesonide (nebules) 250–500 >500–1000 >1000
Ciclesonide 80 >80-160 >160
Fluticasone furoate (DPI) n.a. n.a. n.a.
Fluticasone propionate (DPI) 100–200 >200–400 >400
Fluticasone propionate (HFA) 100–200 >200–500 >500
Mometasone furoate 110 ≥220–<440 ≥440
Triamcinolone acetonide 400–800 >800–1200 >1200

1. STEP 1: SABA seperlunya tanpa obat pengontrol


Short-acting beta2-agonist yang dihirup (SABA) Seperlunya. SABA sangat efektif untuk
menghilangkan gejala asma dengan cepat167 (Bukti A). Namun, tidak ada bukti yang cukup
tentang keamanan mengobati asma dengan SABA saja, sehingga opsi ini harus disediakan untuk
pasien dengan gejala siang hari sesekali (misalnya kurang dari dua kali sebulan) durasi pendek
(beberapa jam), tanpa bangun malam dan dengan fungsi paru-paru normal. Lebih sering gejala,
atau adanya faktor risiko eksaserbasi seperti FEV1 <80% orang normal atau perkiraan atau
eksaserbasi dalam 12 bulan sebelumnya, menunjukkan bahwa perawatan kontroler reguler
diperlukan. Pilihan lain ICS dosis rendah reguler harus dipertimbangkan, selain SABA yang
dibutuhkan, untuk mengurangi risiko eksaserbasi. Pilihan lain yang tidak disarankan untuk
penggunaan rutin Pada orang dewasa, agen antikolinergik yang dihirup seperti ipratropium, SABA
oral atau teofilin short-acting adalah alternatif potensial untuk SABA untuk meredakan gejala
asma; namun, agen ini memiliki onset kerja yang lebih lambat daripada SABA yang dihirup, dan
SABA oral dan teofilin memiliki risiko efek samping yang lebih tinggi. Onset LABA yang cepat,
formoterol, sama efektifnya dengan SABA sebagai obat pereda pada orang dewasa dan anak-
anak, tetapi penggunaan LABA reguler atau sering tanpa ICS sangat tidak disarankan karena risiko
eksaserbasi.

2. STEP 2: ICS dosis rendah reguler ditambah SABA Seperlunya


Pilihan yang paling sering: ICS dosis rendah reguler ditambah SABA seperlunya. Pengobatan
dengan ICS pada dosis rendah mengurangi gejala asma, meningkatkan fungsi paru-paru,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko eksaserbasi dan perawatan yang terkait
dengan asma atau kematia. Tabel yang mencatat dosis yang dianggap rendah, sedang dan tinggi
untuk produk ICS yang berbeda. Pilihan lain Antagonis reseptor leukotrien (LTRA) kurang efektif
dibandingkan ICS. Mereka mungkin sesuai untuk perawatan pengendali awal untuk beberapa
pasien yang tidak mampu atau tidak mau menggunakan ICS; untuk pasien yang mengalami efek
samping tak tertahankan dari ICS; atau untuk pasien dengan rhinitis alergi bersamaan.
Untuk pasien dewasa atau remaja yang sebelumnya tidak menggunakan perawatan pengontrol,
kombinasi dosis rendah ICS / LABA sebagai perawatan pengontrol pemeliharaan awal mengurangi
gejala dan meningkatkan fungsi paru-paru dibandingkan dengan ICS dosis rendah saja. Namun,
itu lebih mahal dan tidak mengurangi risiko eksaserbasi dibandingkan dengan ICS saja.
Pilihan tidak disarankan untuk penggunaan rutin: sustained-released teofilin memiliki manfaat
lemah dalam asthma dan efek samping yang umum, dan mungkin mengancam nyawa pada dosis
lebih tinggi.
3. STEP 3: Dosis rendah ICS / LABA baik sebagai penangan perawatan ditambah
SABA Seperlunya, atau ICS/formoterol sebagai terapi pemeliharaan dan pereda
Pilihan utama (dewasa / remaja): kombinasi dosis rendah ICS / LABA sebagai perawatan
pemeliharaan ditambah SABA atau kombinasi dosis rendah ICS / formoterol (budesonide atau
beclometasone) sebagai perawatan pemeliharaan dan perawatan pereda.
Pilihan utama (anak-anak 6–11 tahun): ICS dosis sedang ditambah SABA yang dibutuhkan
Sebelum mempertimbangkan peningkatan, periksa masalah umum seperti teknik inhaler yang
salah, kepatuhan yang buruk, dan paparan lingkungan, dan pastikan bahwa gejala tersebut
disebabkan oleh asma. Pilihan pada langkah ini berbeda tergantung pada usia. Untuk orang
dewasa dan remaja, ada dua pilihan 'pilihan' Langkah 3: kombinasi dosis rendah ICS / LABA
sebagai perawatan pemeliharaan dengan SABA sebagai pereda, dan dosis rendah ICS / formoterol
sebagai perawatan pemeliharaan dan perawatan pereda. Saat ini disetujui kombinasi ICS / LABA
inhaler untuk langkah 3 pengobatan asma termasuk dosis rendah fluticasone propionate /
formoterol, fluticasone furoate / vilanterol, fluticasone propionate / salmeterol, beclometasone
/ formoterol, budesonide / formoterol dan mometasone / formoterol. Regimen perawatan dan
reliever dapat diresepkan dengan beclometasone / formoterol dosis rendah atau budesonide /
formoterol. Pada pasien berisiko, rejimen ICS / formoterol dan rejimen pereda secara signifikan
mengurangi eksaserbasi dan menyediakan tingkat kontrol asma yang sama pada ICS dosis rendah,
dibandingkan dengan dosis tetap ICS / LABA sebagai perawatan pemeliharaan atau dosis ICS yang
lebih tinggi, keduanya dengan SABA yang diperlukan. Untuk perawatan dengan SABA seperlunya,
menambahkan LABA ke ICS dalam kombinasi inhaler memberikan perbaikan pada gejala dan
fungsi paru dengan penurunan risiko eksaserbasi dibandingkan dengan dosis yang sama dari ICS,
tetapi hanya ada sedikit pengurangan dengan penggunaan reliever untuk pasien dewasa dengan
rinitis alergi dan sensitif terhadap tungau debu rumah, dengan eksaserbasi meskipun ICS dosis
rendah-tinggi, pertimbangkan untuk menambahkan imunoterapi alergen sublingual (SLIT), jika
FEV1>> 70% . Pada anak-anak, pilihan yang disukai pada tingkat populasi adalah meningkatkan
ICS hingga dosis sedang dan dalam kelompok usia ini, efeknya mirip dengan menambahkan LABA
ke ICS dosis rendah. Pilihan lain untuk orang dewasa dan remaja adalah meningkatkan ICS hingga
dosis sedang, tetapi pada tingkat kelompok ini kurang efektif daripada menambahkan LABA.
Pilihan lain yang kurang berkhasiat adalah ICS dosis rendah ditambah LTRA atau dosis rendah
sustained reliever theophylline. Dalam sebuah penelitian besar pada anak-anak berusia 4-11
tahun dengan riwayat eksaserbasi pada tahun sebelumnya, kombinasi ICS / LABA tidak kalah
dengan dosis yang sama dari ICS saja untuk eksaserbasi berat, tanpa perbedaan dalam kontrol
gejala atau penggunaan pereda nyeri.
4. STEP 4: Dosis rendah ICS / formoterol pemeliharaan dan terapi pereda, atau dosis
sedang ICS / LABA sebagai pemeliharaan ditambah sesuai kebutuhan SABA
Pilihan untul dewasa / remaja: kombinasi dosis rendah ICS / formoterol sebagai perawatan
pemeliharaan dan pereda, ATAU kombinasi dosis sedang ICS / LABA ditambah SABA yang
dibutuhkan. Pilihan untuk anak-anak 6–11 tahun: rujuk untuk penilaian dan saran ahli
Pemilihan pengobatan Langkah 4 tergantung pada pemilihan sebelumnya pada Langkah 3.
Sebelum meningkatkan, periksa masalah umum seperti teknik inhaler yang salah, kepatuhan yang
buruk, dan paparan lingkungan, dan pastikan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh asma.
Untuk pasien dewasa dan remaja dengan eksaserbasi ≥1 pada tahun sebelumnya, kombinasi dosis
rendah ICS / formoterol sebagai perawatan pemeliharaan dan pereda lebih efektif dalam
mengurangi eksaserbasi daripada dosis yang sama dari ICS / LABA pemeliharaan atau dosis ICS
yang lebih tinggi. Rejimen ini dapat diresepkan dengan dosis rendah budesonide / formoterol atau
beclometasone / formoterol seperti pada Langkah 3; dosis pemeliharaan dapat ditingkatkan jika
diperlukan. Untuk pasien yang memakai ICS / LABA pemeliharaan dosis rendah dengan SABA yang
diperlukan, yang asma tidak terkontrol secara adekuat, pengobatan dapat ditingkatkan menjadi
dosis sedang ICS / LABA150; kombinasi obat ICS / LABA adalah untuk Langkah 3. Untuk pasien
yang diresepkan perawatan pemeliharaan dan SABA yang diperlukan, menambahkan LABA ke ICS
dalam inhaler kombinasi memberikan perbaikan tambahan pada fungsi paru dengan penurunan
risiko eksaserbasi dibandingkan dengan dosis yang sama dari ICS tetapi hanya pengurangan kecil
dengan penggunaan reliever. Untuk anak-anak berusia 6–11 tahun, jika asma tidak terkontrol
dengan baik pada ICS dosis sedang, rekomendasinya adalah merujuk anak untuk penilaian dan
saran ahli. Pilihan lain Tiotropium (antagonis muskarinik long-acting) oleh inhaler kabut dapat
digunakan sebagai terapi tambahan untuk pasien dewasa atau remaja dengan riwayat
eksaserbasi; itu secara sederhana meningkatkan fungsi paru dan secara sederhana meningkatkan
waktu untuk eksaserbasi yang berat. Tiotropium tidak diindikasikan pada anak-anak <12 tahun.
Untuk pasien dewasa dengan rinitis alergi dan sensitisasi terhadap tungau debu rumah, dengan
eksaserbasi meskipun ICS dosis rendah tinggi, pertimbangkan untuk menambahkan imunoterapi
alergen sublingual (SLIT), dengan FEV1>> 70% diprediksi.
Kombinasi ICS / LABA dosis tinggi dapat dipertimbangkan pada orang dewasa dan remaja, tetapi
peningkatan dosis ICS umumnya memberikan sedikit manfaat tambahan dan ada peningkatan
risiko efek samping, termasuk penindasan adrenal. dosis tinggi dianjurkan hanya pada dasar
percobaan selama 3-6 bulan ketika kontrol asma yang baik tidak dapat dicapai dengan ICS dosis
sedang ditambah LABA dan / atau pengontrol ketiga (misalnya LTRA atau sustained-released
teofilin). Teofilin sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak. Untuk dosis menengah atau tinggi
budesonide, kemanjuran dapat ditingkatkan dengan pemberian dosis empat kali sehari, tetapi
kepatuhan mungkin menjadi masalah. Untuk ICS lain, dosis dua kali sehari adalah tepat. Pilihan
lain untuk orang dewasa atau remaja yang dapat ditambahkan ke ICS dosis menengah atau tinggi
tetapi itu kurang berkhasiat daripada menambahkan LABA, termasuk LTRA, atau pil teofilin yang
berkelanjutan dosis rendah .
STEP 5: Rujuk untuk penyelidikan ahli dan pengobatan tambahan
Pilihan rujukan untuk investigasi spesialis dan pertimbangan pengobatan tambahan. Pasien
dengan gejala persisten atau eksaserbasi meskipun teknik inhaler yang benar dan kepatuhan yang
baik dengan pengobatan Langkah 4 dan di antaranya opsi pengendali lain telah dipertimbangkan,
harus dirujuk ke spesialis dengan keahlian dalam manajemen asma berat. Pilihan pengobatan
yang dapat dipertimbangkan pada Langkah 5. Mereka termasuk:
 Add-on tiotropium (antagonis muskarinik long-acting) pada pasien berusia ≥12 tahun
yang asma tidak terkontrol dengan baik dengan ICS / LABA. Add-on tiotropium
(kebanyakan 5 μg sekali sehari oleh inhaler kabut) secara sederhana meningkatkan fungsi
paru dan secara sederhana meningkatkan waktu untuk eksaserbasi berat yang
memerlukan kortikosteroid oral . Tidak ada bukti untuk persiapan LAMA lainnya.
 Pengobatan anti-imunoglobulin E (anti-IgE) (omalizumab): untuk pasien berusia ≥6 tahun
dengan asma alergi sedang atau berat yang tidak terkontrol pada Langkah 4 treatment.
 Pengobatan anti-interleukin-5 tambahan (mepolizumab subkutan untuk pasien berusia
≥12 tahun; reslizumab intravena untuk usia ≥18 tahun) atau pengobatan reseptor anti-
interleukin 5 (benralizumab subkutan untuk usia ≥12 tahun), dengan asma eosinofilik
berat yang tidak terkontrol pada Langkah 4 perawatan.
 Pengobatan dengan panduan sputum: untuk pasien dengan gejala menetap dan / atau
eksaserbasi meskipun ICS atau ICS / LABA dosis tinggi, pengobatan dapat disesuaikan
berdasarkan eosinofilia (> 3%) dalam sputum yang diinduksi. Pada asma berat, strategi ini
mengarah pada pengurangan eksaserbasi dan / atau dosis rendah ICS.
 Pengobatan tambahan dengan thermoplasty bronkus: dapat dipertimbangkan untuk
beberapa pasien dewasa dengan asma berat. Bukti terbatas dan pada pasien tertentu.
Efek jangka panjang dibandingkan dengan pasien kontrol, termasuk untuk fungsi paru-
paru, tidak diketahui.
 Kortikosteroid oral dosis rendah (≤7.5 mg / hari prednisone equivalent): mungkin efektif
untuk beberapa orang dewasa dengan asma berat; tetapi sering dikaitkan dengan efek
samping substansial. Mereka hanya harus dipertimbangkan untuk orang dewasa dengan
kontrol gejala yang buruk dan / atau eksaserbasi yang sering terjadi meskipun teknik
inhaler yang baik dan kepatuhan dengan pengobatan Langkah 4, dan setelah
pengecualian faktor penyumbang lainnya. Pasien harus diberi konseling tentang potensi
efek samping. Mereka harus dinilai dan dipantau untuk risiko osteoporosis yang diinduksi
kortikosteroid, dan mereka yang diharapkan untuk dirawat selama ≥3 bulan harus
diberikan konseling gaya hidup yang relevan dan resep terapi untuk pencegahan
osteoporosis (jika perlu) .
PENINJAUAN RESPON DAN MENYESUAIKAN PENGOBATAN

Pasien dengan asma harus ditinjau sebaiknya dilihat 1-3 bulan setelah memulai
pengobatan dan setiap 3-12 bulan setelah itu, kecuali pada kehamilan ketika mereka
harus ditinjau setiap 4-6 minggu. Setelah eksaserbasi, kunjungan ulasan dalam waktu 1
minggu harus dijadwalkan. Frekuensi peninjauan tergantung pada tingkat kontrol awal
pasien, tanggapan mereka terhadap perawatan sebelumnya, dan kemampuan serta
kemauan mereka untuk terlibat dalam manajemen diri dengan rencana tindakan.

STEPPING UP PENGOBATAN ASMA

Asma adalah kondisi variabel, dan penyesuaian secara periodik dalam perawatan
pengontrolan asma oleh dokter dan / atau pasien mungkin diperlukan.

• Peningkatan berkelanjutan (setidaknya 2–3 bulan): jika gejala dan / atau eksaserbasi
menetap meskipun 2-3 bulan pengobatan pengendali, kaji masalah umum berikut
sebelum mempertimbangkan STEP UP

o Teknik inhaler yang salah

o Ketaatan yang buruk

o Faktor risikoi, misalnya merokok

o Apakah gejala karena kondisi komorbiditas, mis. rhinitis alergika

• Peningkatan STEP jangka pendek (untuk 1-2 minggu) oleh klinisi atau oleh pasien
dengan written asma action plan, mis. selama infeksi virus atau paparan alergen

• Penyesuaian sehari-hari oleh pasien : untuk pasien yang diresepkan beclometasone /


formoterol dosis rendah atau budesonide / formoterol sebagai terapi pemeliharaan dan
pereda

STEPPING DOWN pengobatan ketika asma terkontrol dengan baik.

Pertimbangkan untuk mengundurkan diri setelah kontrol asma yang baik telah dicapai
dan dipertahankan selama 3 bulan, untuk menemukan pengobatan terendah yang
mengontrol gejala dan eksaserbasi, dan meminimalkan efek samping.
• Pilih waktu yang tepat untuk step-down (tidak ada infeksi pernafasan, pasien tidak
bepergian, tidak hamil)
• Status berdasarkan dokumen (kontrol gejala dan fungsi paru-paru), berikan
rencana tindakan asma yang tertulis, pantau secara ketat, dan lakukan kunjungan
tindak lanjut

• Turunkan dosis ICS hingga 25-50% pada interval 2–3 bulan

• Jangan sepenuhnya menarik ICS (pada orang dewasa atau remaja) kecuali
diperlukan sementara untuk mengkonfirmasi diagnosis asma.

Definisi ppok
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati
yang dicirikan oleh gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh
saluran napas dan / atau kelainan alveolar biasanya disebabkan oleh paparan yang signifikan terhadap
partikel atau gas berbahaya.

Keterbatasan aliran udara kronis yang merupakan karakteristik PPOK disebabkan oleh campuran
penyakit saluran udara kecil (misalnya, bronkusitis obstruktif) dan destruksi parenkim (emfisema),
kontribusi relatif yang bervariasi dari orang ke orang. Perubahan ini tidak selalu terjadi bersamaan,
tetapi berevolusi pada tingkat yang berbeda dari waktu ke waktu. Peradangan kronis menyebabkan
perubahan struktural, penyempitan saluran udara kecil dan perusakan parenkim paru yang
menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar ke saluran udara kecil dan penurunan elastisitas paru-paru.
Pada gilirannya, perubahan ini mengurangi kemampuan saluran udara untuk tetap terbuka selama
ekspirasi. Hilangnya saluran udara kecil juga berkontribusi pada pembatasan aliran udara dan disfungsi
mukosiliar merupakan ciri khas dari penyakit ini. Keterbatasan aliran udara biasanya diukur dengan
spirometri karena ini adalah tes fungsi paru yang paling banyak tersedia dan dapat direproduksi. Banyak
definisi COPD sebelumnya telah menekankan istilah “emphysema” dan “chronic bronchitis”, yang tidak
termasuk dalam definisi yang digunakan dalam laporan GOLD ini atau sebelumnya. Emphysema, atau
penghancuran permukaan pertukaran gas paru (alveoli), adalah istilah patologis yang sering (tetapi
salah) digunakan secara klinis dan hanya menggambarkan satu dari beberapa kelainan struktural yang
ada pada pasien dengan PPOK.

Bronkitis kronis, atau adanya produksi batuk dan sputum selama minimal 3 bulan di masing-
masing dua tahun berturut-turut, tetap merupakan istilah yang berguna secara klinis dan epidemiologis,
tetapi hanya ada sebagian kecil subjek ketika definisi ini digunakan. Namun, ketika definisi alternatif
digunakan untuk mendefinisikan bronkitis kronis, atau populasi yang lebih tua dengan tingkat paparan
asap atau paparan inhalan yang lebih tinggi dipertanyakan, prevalensi bronkitis kronis lebih besar.
Penting untuk mengenali bahwa gejala pernafasan kronis dapat mendahului pengembangan
keterbatasan aliran udara dan dapat dikaitkan dengan perkembangan kejadian pernapasan akut. Gejala
pernafasan kronis juga ada pada individu dengan spirometri normal dan sejumlah besar perokok tanpa
keterbatasan aliran udara memiliki bukti struktural penyakit paru-paru yang dimanifestasikan oleh
berbagai keberadaan emfisema, penebalan dinding saluran napas dan perangkap gas.

Gejala klinis
PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami dispnea, batuk kronis atau produksi
sputum, dan / atau riwayat paparan faktor risiko untuk penyakit. Spirometri diperlukan untuk membuat
diagnosis dalam konteks klinis ini; kehadiran post-bronkodilator FEV1 / FVC <0,70 menegaskan adanya
keterbatasan aliran udara dan dengan demikian COPD pada pasien dengan gejala yang tepat dan
eksposur signifikan terhadap stimulasi berbahaya.
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya, dapat dimulai
dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa kelainan fisik sampai kelainan
fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena itu dibutuhkan diagnosa yang akurat,
pemeriksaan penunjang dan diagnosa banding untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.2

Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang umumnya
muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi sputum kronis, (iii) -sering
mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari, memburuk pada saat melakukan aktivitas
dan terkena infeksi, (v) punya riwayat terpapar asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok
pasif), polusi udara, debu dan bahan kimia di tempat kerja, ataupun asap hasil pembakaran alat
masak, misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus (setiap hari sepanjang tahun), disertai
dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah penderita di atas usia 40 tahun,
dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk kronik,
produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan
kerja atau rumah.

Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid yang berkaitan
dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali terjadi pada orang perokok dalam
jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat badan, abnormalitas nutrisi dan disfungsi otot
skeletal adalah beberapa dampak PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga akan meningkatkan
risiko terjadinya infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi pernafasan, fraktur, depresi,
diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker paru.
GEJALA
Sesak napas kronis dan progresif merupakan gejala COPD yang paling khas. Batuk dengan
produksi sputum hadir di hingga 30% pasien. Gejala-gejala ini dapat bervariasi dari hari ke hari
dan mungkin mendahului pengembangan pembatasan aliran udara oleh bertahun-tahun. Individu,
terutama mereka dengan faktor risiko PPOK, menyajikan gejala-gejala ini harus diperiksa untuk
mencari penyebab yang mendasari. Gejala-gejala pasien ini harus digunakan untuk membantu
mengembangkan intervensi yang tepat. Keterbatasan aliran udara yang signifikan juga dapat
hadir tanpa dispnea kronis dan / atau produksi batuk dan sputum dan sebaliknya. Meskipun
COPD didefinisikan atas dasar pembatasan aliran udara, dalam prakteknya keputusan untuk
mencari bantuan medis biasanya ditentukan oleh dampak gejala pada status fungsional pasien.
Seseorang mungkin mencari perhatian medis baik karena gejala pernafasan kronis atau karena
episode akut, gejala pernafasan yang eksaserbasi.

Dyspnea. Dispnea, gejala kardinal PPOK, merupakan penyebab utama kecacatan dan kecemasan
yang terkait dengan penyakit. Pasien PPOK yang khas mendeskripsikan dispnea mereka sebagai
rasa peningkatan upaya untuk bernapas, nyeri dada, kelaparan udara, atau terengah-engah.
Namun, istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan dyspnea dapat bervariasi baik secara
individu maupun secara budaya.

Batuk. Batuk kronis sering merupakan gejala pertama PPOK dan sering didiskon oleh pasien
sebagai konsekuensi yang diharapkan dari merokok dan / atau paparan lingkungan. Awalnya,
batuk mungkin sebentar-sebentar, tetapi kemudian dapat hadir setiap hari, sering sepanjang hari.
Batuk kronis pada PPOK dapat menjadi produktif atau tidak produktif. Dalam beberapa kasus,
keterbatasan aliran udara dapat berkembang tanpa adanya batuk.
Produksi sputum. Pasien COPD biasanya meningkatkan jumlah sputum yang kuat dengan batuk.
Produksi sputum secara teratur selama tiga bulan atau lebih dalam dua tahun berturut-turut (tanpa
adanya kondisi lain yang mungkin menjelaskannya) adalah definisi klasik bronkitis kronis, 7 tetapi ini
adalah definisi yang agak arbitrer yang tidak mencerminkan seluruh rentang produksi sputum yang
terjadi pada COPD. Produksi sputum sering sulit untuk dievaluasi karena pasien dapat menelan dahak
daripada meludahinya, kebiasaan yang tunduk pada variasi budaya dan jenis kelamin yang signifikan.
Selanjutnya, produksi sputum dapat berselang dengan periode flare-up diselingi dengan periode remisi.
Pasien yang menghasilkan volume besar dahak mungkin memiliki bronkiektasis yang mendasarinya.
Adanya sputum purulen mencerminkan peningkatan mediator inflamasi, 9,10 dan perkembangannya
dapat mengidentifikasi onset eksaserbasi bakteri, meskipun asosiasi relatif lemah.

mengi (wheezing) dan sesak dada. Mengi dan sesak dada adalah gejala yang dapat bervariasi antara
hari, dan selama satu hari. Suara mengi dapat timbul di tingkat laring dan tidak perlu disertai dengan
kelainan yang didengar pada auskultasi. Atau, menguap inspirasi atau ekspirasi yang menyebar dapat
hadir pada auskultasi. Kekencangan dada sering terjadi setelah aktivitas, tidak terlokalisir, berotot, dan
mungkin timbul dari kontraksi isometrik otot interkostal. Ketiadaan sesak napas atau sesak dada tidak
mengecualikan diagnosis PPOK, juga tidak adanya gejala-gejala ini mengkonfirmasi diagnosis asma.

tambahan pada penyakit berat. Kelelahan, penurunan berat badan dan anorexia adalah masalah umum
pada pasien dengan PPOK berat dan sangat berat. Mereka memiliki kepentingan prognostik dan juga
bisa menjadi tanda penyakit lain, seperti tuberkulosis atau kanker paru, dan karena itu harus selalu
diselidiki. Sinkop saat batuk terjadi karena peningkatan cepat tekanan intratoraks saat serangan batuk
berkepanjangan. Muntah batuk juga bisa menyebabkan fraktur tulang rusuk, yang kadang-kadang tidak
bergejala. Pembengkakan pergelangan kaki mungkin merupakan satu-satunya indikator keberadaan kor
pulmonale. Gejala-gejala depresi dan / atau kecemasan memerlukan penyelidikan khusus ketika
memperoleh riwayat medis karena mereka umum dalam COPD dan berhubungan dengan peningkatan
risiko eksaserbasi dan status kesehatan yang lebih buruk.

RIWAYAT KESEHATAN
Riwayat medis rinci dari pasien baru yang diketahui, atau dicurigai, memiliki COPD harus mencakup:
• Paparan pasien terhadap faktor risiko, seperti merokok dan paparan pekerjaan atau lingkungan.
• Riwayat medis sebelumnya, termasuk asma, alergi, sinusitis, atau polip hidung; infeksi pernafasan di
masa kecil; penyakit pernapasan dan non-pernapasan kronis lainnya.
• Riwayat keluarga PPOK atau penyakit pernapasan kronis lainnya.
• Pola perkembangan gejala: PPOK biasanya berkembang dalam kehidupan dewasa dan kebanyakan
pasien sadar akan peningkatan sesak napas, lebih sering atau lebih lama "pilek musim dingin," dan
beberapa pembatasan sosial selama beberapa tahun sebelum mencari pertolongan medis.
• Riwayat eksaserbasi atau rawat inap sebelumnya untuk gangguan pernapasan. Pasien mungkin
menyadari perburukan gejala secara berkala bahkan jika episode ini belum diidentifikasi sebagai
eksaserbasi PPOK.
• Adanya komorbiditas, seperti penyakit jantung, osteoporosis, gangguan muskuloskeletal, dan
keganasan yang mungkin juga berkontribusi terhadap pembatasan aktivitas.
• Dampak penyakit pada kehidupan pasien, termasuk pembatasan aktivitas, kehilangan pekerjaan dan
dampak ekonomi, efek pada rutinitas keluarga, perasaan depresi atau kecemasan, kesejahteraan dan
aktivitas seksual.
• Dukungan sosial dan keluarga tersedia bagi pasien.
• Kemungkinan untuk mengurangi faktor risiko, terutama penghentian merokok.
Pemeriksaan fisik
Meskipun bagian penting dari perawatan pasien, pemeriksaan fisik jarang diagnostik dalam
PPOK. Tanda-tanda fisik dari pembatasan aliran udara biasanya tidak hadir sampai gangguan
signifikan fungsi paru-paru telah terjadi, dan deteksi berdasarkan pemeriksaan fisik memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah. Sejumlah tanda-tanda fisik dapat hadir dalam
PPOK, tetapi tidak ada tidak mengecualikan diagnosis.
Spirometri
Spirometri adalah pengukuran yang paling dapat direproduksi dan obyektif dari pembatasan
aliran udara. Ini adalah tes non-invasif dan tersedia. Terlepas dari sensitivitasnya yang baik,
pengukuran aliran ekspirasi puncak saja tidak dapat diandalkan digunakan sebagai satu-satunya
tes diagnostik karena spesifisitasnya yang lemah. Pengukuran spirometri yang berkualitas baik
adalah mungkin dalam setiap pengaturan layanan kesehatan dan semua petugas layanan
kesehatan yang merawat pasien PPOK harus memiliki akses ke spirometri.
Spirometri harus mengukur volume udara yang dihembuskan secara paksa dari titik inspirasi
maksimal (kapasitas vital paksa, FVC) dan volume udara yang dihembuskan selama detik
pertama dari manuver ini (volume ekspirasi paksa dalam satu detik, FEV1), dan rasio kedua
pengukuran ini (FEV1 / FVC) harus dihitung. Rasio antara FEV1 dan kapasitas vital lambat
(VC), FEV1 / VC, kadang-kadang diukur sebagai pengganti rasio FEV1 / FVC. Ini akan sering
menyebabkan nilai rasio yang lebih rendah, terutama dalam batasan aliran udara yang diucapkan.
Pengukuran spirometri dievaluasi dengan perbandingan dengan nilai referensi21 berdasarkan
usia, tinggi badan, jenis kelamin, dan ras.
Spirometri normal ditunjukkan pada Gambar 2.2A. gambaran spirometri khas pasien dengan penyakit
obstruktif ditunjukkan pada Gambar 2.2B. Pasien dengan PPOK biasanya menunjukkan penurunan FEV1
dan FVC.

Kriteria spirometri untuk pembatasan aliran udara tetap rasio tetap pasca-bronkodilator FEV1 / FVC
<0,70. Kriteria ini sederhana dan independen dari nilai referensi, dan telah digunakan dalam berbagai uji
klinis yang membentuk basis bukti dari mana sebagian besar rekomendasi pengobatan kami diambil.
Perlu dicatat bahwa penggunaan rasio FEV1 / FVC tetap untuk menentukan pembatasan aliran udara
dapat mengakibatkan lebih seringnya diagnosis PPOK pada orang tua, dan diagnosis kurang sering pada
orang dewasa <45 tahun, terutama pada penyakit ringan, dibandingkan untuk menggunakan cut-off
berdasarkan nilai batas bawah normal (LLN) untuk FEV1 / FVC.
Penilaian ada atau tidak adanya obstruksi aliran udara berdasarkan pada pengukuran tunggal rasio
pasca-bronkodilator FEV1 / FVC harus dikonfirmasi oleh spirometri berulang pada percobaan lainnya.
Sementara spirometri pasca-bronkodilator diperlukan untuk diagnosis dan penilaian PPOK, menilai
tingkat reversibilitas pembatasan aliran udara (misalnya, mengukur FEV1 sebelum dan sesudah
bronkodilator atau kortikosteroid) untuk menginformasikan keputusan terapeutik tidak lagi dianjurkan.
Derajat reversibilitas memiliki belum terbukti meningkatkan diagnosis COPD, membedakan diagnosis
dari asma, atau memprediksi respons terhadap pengobatan jangka panjang dengan bronkodilator atau
kortikosteroid.
Peran skrining spirometri pada populasi umum sangat kontroversial. Pada individu tanpa gejala tanpa
paparan tembakau yang signifikan atau rangsangan berbahaya lainnya, pemeriksaan spirometri mungkin
tidak diindikasikan; sedangkan pada mereka dengan gejala atau faktor risiko (mis.> merokok 20 tahun
per tahun atau infeksi dada berulang), hasil diagnostik untuk PPOK relatif tinggi dan spirometri harus
dipertimbangkan sebagai metode untuk penemuan kasus dini. Kedua FEV1 dan FVC memprediksi semua
penyebab kematian independen dari merokok tembakau, dan fungsi paru-paru abnormal
mengidentifikasi subkelompok perokok pada peningkatan risiko untuk kanker paru-paru. Ini telah
menjadi dasar argumen bahwa skrining spirometri harus digunakan sebagai alat penilaian kesehatan
global. Namun, tidak ada data untuk menunjukkan bahwa skrining spirometri efektif dalam
mengarahkan keputusan manajemen atau dalam meningkatkan hasil COPD pada pasien yang
diidentifikasi sebelum perkembangan gejala yang signifikan. Ini mungkin mencerminkan desain dan
penerapan instrumen penemuan kasus saat ini yang belum digunakan untuk mengidentifikasi pasien
dengan PPOK terdiagnosis yang kemungkinan besar akan mendapat manfaat dari terapi yang ada.

Factor resiko
1.1. Genetik.
PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan merupakan contoh klasik
interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko genetik yang telah diketahui adalah defisiensi
alpha-1 antitrypsin, suatu penghambat yang bersikulasi dari protease serine.1

1.2. Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala dan gangguan
fungsi paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka mortalitas PPOK yang lebih besar.
Resiko PPOK pada perokok, bergantung pada banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia
pertama kali mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status merokok
saat ini.

1.3. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.


Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor resiko
berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik dan anorganik serta bau-
bauan.

1.4. Polusi Udara Dalam Rumah.


Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi dengan baik, dapat
menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.

1.5. Polusi Udara Di Luar Rumah.


Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK tidak jelas, tetapi
tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi udara dari pembakaran hutan, asap
kendaraan bermotor dan asap-asap pabrik.

1.6. Stress Oksidatif.


Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang dikeluarkan secara
endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara eksogen dari polusi udara atau
asap rokok. Akibat dari ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan maka paru-
paru mengalami stress oksidatif. Selain menghasilkan perlukaan langsung, juga
mengaktivase mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi paru.

1.7. Infeksi.
Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran nafas, dapat juga
berperan dalam eksaserbasi. Akibatnya akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
menimbulkan gejala gangguaan pernafasan.

1.8. Asma.
Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat lebih besar menderita
PPOK, dibandingkan orang dewasa tanpa menderita asma

Pathogenesis
Peradangan yang diamati pada saluran pernafasan pasien PPOK tampaknya merupakan modifikasi
respons peradangan normal pada saluran pernapasan terhadap iritasi kronis seperti asap rokok.
Mekanisme untuk peradangan yang diperkuat ini belum dipahami tetapi mungkin, setidaknya sebagian,
ditentukan secara genetis. Meskipun beberapa pasien mengalami COPD tanpa merokok, sifat respon
inflamasi pada pasien ini belum diketahui. Stres oksidatif dan kelebihan proteinase di paru cenderung
untuk lebih memodifikasi peradangan paru. Bersama-sama, mekanisme ini dapat mengarah pada
perubahan patologis karakteristik pada PPOK. Inflamasi paru menetap setelah berhenti merokok melalui
mekanisme yang tidak diketahui, meskipun autoantigen dan gangguan pada mikrobioma paru dapat
memainkan peran. Mekanisme serupa dapat terjadi untuk penyakit kronis bersamaan.

Stres oksidatif. Stres oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguatan yang penting pada PPOK.
Biomarker dari stres oksidatif (misalnya, hidrogen peroksida, 8-isoprostane) meningkat pada kondensat
napas yang dihembuskan, sputum, dan sirkulasi sistemik pasien PPOK. Stres oksidatif semakin
meningkat selama eksaserbasi. Oksidan keduanya dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat hirup
lainnya, dan dilepaskan dari sel-sel inflamasi aktif seperti makrofag dan neutrofil. Mungkin juga ada
penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK sebagai akibat dari penurunan tingkat faktor
transkripsi Nrf2 yang mengatur banyak gen antioksidan.

Ketidakseimbangan protease-antiprotease. Ada bukti kuat untuk ketidakseimbangan paru pasien PPOK
antara protease yang memecah komponen jaringan ikat dan antiprotease yang mengimbangi aksi ini.
Peningkatan kadar beberapa protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan sel epitel, telah diamati
pada pasien PPOK. Ada semakin banyak bukti bahwa protease ini dapat berinteraksi satu sama lain.
Destruksi yang dimediasi oleh protease pada elastin, komponen jaringan ikat mayor pada parenkim
paru, diyakini merupakan ciri penting dari emfisema tetapi mungkin lebih sulit ditentukan pada
perubahan saluran napas.

Sel inflamasi. COPD ditandai dengan peningkatan jumlah makrofag di saluran udara perifer, parenkim
paru dan pembuluh paru, bersama dengan peningkatan neutrofil aktif dan peningkatan limfosit yang
mencakup sel Tc1, Th1, Th17 dan ILC3. Pada beberapa pasien, mungkin juga terjadi peningkatan
eosinofil, sel Th2 atau ILC2, terutama jika ada tumpang tindih klinis dengan asma. Semua sel inflamasi
ini, bersama dengan sel epitel dan sel struktural lainnya melepaskan beberapa mediator inflamasi.
Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa defisiensi IgA lokal berhubungan dengan
translokasi bakteri, peradangan saluran udara kecil dan remodeling saluran napas.
Mediator inflamasi. Berbagai mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat pada pasien PPOK
menarik sel-sel inflamasi dari sirkulasi (faktor chemotactic), memperkuat proses inflamasi
(proinflammatory cytokines), dan menginduksi perubahan struktural (faktor pertumbuhan) .

Fibrosis peribronchiolar dan interstitial. Fibrosis peribronchiolar dan kekeruhan interstitial telah
dilaporkan pada pasien dengan PPOK atau mereka yang perokok asimptomatik. Produksi faktor
pertumbuhan yang berlebihan dapat ditemukan pada perokok atau mereka dengan peradangan saluran
napas sebelumnya yang mengalami COPD. Peradangan mungkin mendahului perkembangan fibrosis
atau cedera berulang pada dinding saluran napas itu sendiri dapat menyebabkan produksi otot dan
jaringan fibrosa yang berlebihan. Ini mungkin merupakan faktor yang berkontribusi terhadap
pengembangan keterbatasan saluran udara kecil dan akhirnya obliterasi yang mungkin mendahului
perkembangan emfisema.

Perbedaan peradangan antara PPOK dan asma. Meskipun baik COPD dan asma terkait dengan
peradangan kronis pada saluran pernapasan, ada perbedaan dalam sel-sel inflamasi dan mediator yang
terlibat dalam dua penyakit. Beberapa pasien dengan PPOK memiliki fitur yang konsisten dengan asma
dan mungkin memiliki pola inflamasi campuran dengan peningkatan eosinofil.

También podría gustarte