Está en la página 1de 19

AKADEMI KEPERAWATAN PRAGOLA PATI

Jln. Raya Banyuurip No. 26 A. Telp. (0295) 385617 Pati


e-mail : akper-pragola pati@yahoo.co.id

PRINSIP-PRINSIP AGAMA BUDDHA TENTANG KESEHATAN


YANG BERKAITAN DENGAN PELAYANAN PROFESI KEPERAWATAN

Oleh :
Taat Handoko, S.Ag. M.Pd.B
KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KAB. PATI
SIIABUS MATA KULIAH

PRINSIP-PRINSIP AGAMA BUDDHA TENTANG KESEHATAN


YANG BERKAITAN DENGAN PELAYANAN PROFESI KEPERAWATAN

A. Diskripsi Mata Kuliah

Mata kuliah agama Buddha dan kesehatan ini berisi cara pandang agama Buddha tentang
kesehatan yang berkaitan dengan masalah –masalah seputar kesehatan secara umum dan pelayanan
kesehatan khususnya dalam bidang pelayanan kesehatan keperawatan. Dasar pembelajaran agama
Buddha dan kesehatan ini adalah : sebagai seorang profesional, perawat membutuhkan satu keilmuan
yang lengkap, karena dalam pelayanan kesehatannya adalah bersifat umum yaitu masyarakat di
Indonesia memiliki latar belakang perbedaan yang mendasar yang sudah ada sejak jaman dahulu
seperti perbedaan suku, agama, etnis dan masih banyak perbedaan yang lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, bisa jadi dalam penempatan prakteknya seorang
perawatan mendapatkan tempat dan lingkungan masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda
dari diri bidan itu sendiri. Tentu dengan keilmuan yang lengkap seorang perawat akan lebih mampu
menghadapi masyarakat yang memiliki banyak perbedaan dan lebih mudah menyesuaikan diri serta
memiliki wawasan dalam penyuluhan kesehatan, karena seorang perawat juga dituntut untuk menjadi
teladan dalam segala aspek yang berhubungan dengan kesehatan dan kebersihan lingkungan yang
menjadi faktor utama dalam pelayanan kesehatan. Keilmuan yang didapatkan lebih lengkap, diharapkan
seorang perawat akan lebih siap dalam memberikan pelayanan yang prima dan profesional dalam ilmu
kesehatan.
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan mata kuliah ini diharapkan peserta didik mampu untuk :
1. Memahami prinsip-prinsip agama Buddha tentang kesehatan yang berkaitan dengan pelayanan
profesi keperawatan.
2. Menerapkan prinsip-prinsip agama Buddha kedalam praktek pelayanan keperawatan yang sesuai
dengan keyakinan para perawat.
C. Pokok-pokok Bahasan
1. Sekilas tentang agama Buddha
a. Filosofi Agama
b. Fungsi Agama
c. Prinsip Hidup
d. Asal-usul Agama
2. Agama Buddha dan kesehatan : Ibadah, Akhlak, hub. Manusia dengan manusia, diri sendiri dan
Tuhan.
3. Agama Buddha dan seputar permasalahan tentang KB dan dasar pemilihan alat kontrasepsi,
masalah kelahiran, persetubuhan, kebersihan dan doa - doa kelahiran.
4. Perkawinan dan keluarga yang berbahagia / Hita Sukaya, ASI dan makanan sehat.
5. Tindakan medis kebidananan tentang Aids, aburtus, euthanasia, bedah plastik, bayi tabung,
Inseminasi, Transplantasi dan kesehatan secara umum.

D. Alokasi Waktu
1 kali pertemuan. ( 3 jam)

E. Proses Pembelajaran
Dilaksanakan di kelas dengan metode ceramah, tanya jawab, diskusi dan tugas-tugas.
F. Daftar Pustaka

1. Pandangan Sosial Agama Buddha, Cornelis Wowor, MA, Nitra Kencana Buana, 2004
2. Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan, Buddhadasa Pkirtinginge, DR, Arya Candra Jakarta,
2004
3. Dhammapada Kitab Suci Agama Buddha, Aryasuryacandra, Jakarta, 1999
4. Kamus Umum Buddha Dharma, Pandit. J. Kaharudin, Trisatva Buddhis Centre, Jakarta, 2000
5. Ilmu Kebidanan, Sarwono Prawiroharjo, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 1999
6. Seksualitas dan Alat Kontrasepsi, Koesnadi, Dr, Usaha Nasional, Surabaya, 1992
7. Sila dan Vinaya, Tedja SM Rasyid, Arya suryacandra, Jakarta, 1999
8. Dhamma sari, MP. Sumeda Widyadharma, Cetiya Vatthu Dhaya, Jakarta, 1994
9. Jalan Menuju Kebahagiaan, Y.A. Thubten Chodron, Yayasan Dian Dharma, Jakarta, 2004
10. Tuntunan Perkawinan dan Hidup Berkeluarga dalam Agama Buddha, R. Surya Widya, Dr.,
Yayasan Buddha Sasana, Jakarta 1996
11. Membina Keluarga Hita Sukhaya, Jhana Virya, CV, Yanwreko Wahana Karya, Jakarta 2009
1. Pendahuluan

Kemajuan ilmu pengetahuan yang begitu pesat di berbagai bidang tentu banyak memberikan
kontribusi yang besar terhadap berkembangnya teknologi, tidak ketinggalan pula kemajuan iptek
dibidang kesehatanpun sangatlah signifikan. Dengan kemajuan iptek ini menawarkan berbagai
pelayanan kesehatan yang canggih dan yang pasti adalah mahal, sehingga amat dipahami apabila
orientasi pelayanan kesehatan yang tidak mengejar keuntungan / materi amat jarang kita jumpai.
Prasarana dan pelayanan yang canggih dan serba modern dengan memberikan fasilitas yang sangat
mewah tentu berimbas pula pada biaya kesehatan yang tinggi dan mahal untuk ukuran sebagian besar
masyarakat Indonesia yang tingkat ekonomi/pendapatan keluaga masih rendah. Dapat disimpulkan
bahwa seorang yang membutuhkan pelayanan kesehatan akan mendapatkan pelayanan dengan syarat
mampu membayar, bahkan banyak juga sistem pelayanan kesehatan yang mengharuskan sebelum
mendapatkan pelayanan sudah ”ditodong” atau disodori dengan blangko yang berisi tentang pembayaran
atau penyetoran biaya terlebih dahulu. Apabila kita renungkan sungguh ironis memang, bagaimana
orang yang tingkat ekonominya rendah atau miskin akan mampu berobat. Intinya apabila seseorang
miskin, ya jangan sakit, begitulah kurang lebihnya sebagian besar pelayanan kesehatan yang ada di
Indonesia. Amat jarang kita jumpai pelayanan kesehatan yang mampu memberikan pelayanan dengan
dasar kepedulian dan kemanusiaan. Meskipun amat dipahami juga, dengan fasilitas peralatan dan
prasarana yang canggih dan ditangani dokter dan pelayan kesehatan spesialis, yang semua didapatkan
dengan biaya yang pastinya sangatlah mahal, mungkin perlu adanya keseimbangan, begitu berangkali
hukum ekonominya.
Tetapi saat ini pemerintah sudah cukup tanggap untuk membuatkan kartu askeskin atau
sejenisnya yang dapat dipakai untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama orang yang berasal dari
kalangan kurang mampu atau prasejahtera. Tentunya kebijakan pemerintah ini cukup membantu
masyarakat, dengan biaya yang lebih murah karena mendapatkan subsidi atau bantuan. Semoga
kebijakan–kebijakan yang demikian akan dapat diteruskan seiring dengan tingkat kesejahteraan
masyarakatnya.
Pelayanan kesehatan tentunya tidak hanya mengutamakan keuntungan materi semata, apalagi
pelayanan seorang bidan yang rata-rata akan tinggal di pedesaan. Bagi para bidan yang berasal dari
pedesaan, tentu hal ini tidak menjadi masalah, sebaliknya seorang bidan yang sedari kecil bertempat
tinggal di kota tentu membutuhkan penyesuaian apalagi jika kebetulan mendapatkan tempat pengabdian
yang jauh dari kota atau bahkan daerah terpencil. Kembali pada jiwa pengabdian, kepedulian dan
kemanusiaan, senatiasa harus selalu dikembangkan dan diutamakan pada diri seorang pelayan
kesehatan.
Sejalan dengan kemajuan teknologi yang kian pesat di segala bidang, tentu memberikan
konstribusi yang besar bagi berkembangnya ilmu pengetahuan, terlepas dari sisi negatif yang
ditimbulkannya. Begitu juga dalam kemajuan iptek dibidang kesehatan, kemajuan dan kecanggihan baik
dari sumber daya manusia maupun prasarananya akan sangat berpengaruh terhadap pelayanan dan yang
pasti adalah biaya yang mahal. Hal ini tentu merupakan hukum ekonomi, semakin bagus dan maju suatu
teknologi pastilah membutuhkan suatu biaya yang besar, sehingga secara natural konsep
pelayanannyapun akan semakin mahal. Kesimpulannya bahwa seseorang yang membutuhkan pelayanan
kesehatan akan mendapatkan pelayanan yang sesuai, dengan syarat ia mampu membayar, sebaliknya
kalau hidupnya miskin ya jangan sakit begitulah kira-kira image / pemahaman yang ada pada sebagian
masyarakat kita.
Apabila kita renungkan memanglah demikian adanya, ada seseorang yang mampu, dapat
menghabiskan uang puluhan juta hanya untuk memutihkan wajah, sementara ada orang yang karena
hidupnya miskin, bisa jadi ia kehilangan anaknya karena tidak mampu mendapatkan pelayanan untuk
kelahiran atau kurangnya gizi dari si bayi. Hal ini sudah sering kita lihat dan kita baca di media cetak
maupun elektronik. Dalam hal ini tentu peran agama menjadi sangat penting karena semua agama
memiliki suatu konsep, dimana konsep ini akan menjadi acuan bagi terlaksananya suatu program dari
masyarakat. Salah satu contohnya adalah penggunaan kontrasepsi/KB, terkadang banyak orang yang
tidak mau melaksanakan suatu KB apabila diminta oleh petugas kesehatan, tetapi dengan tokoh agama
yang menggunakan dalil-dalil agama tentang yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, akan lebih
memberikan suatu hasil yang lebih baik. Di sinilah letak peran suatu agama.
Dalam pandangan Agama Buddha, khususnya dalam bidang pelayanan kesehatan, dikatakan
bahwa ” Orang yang mencari keuntungan dengan mengabaikan belas kasih dan kemanusiaan dikatakan
tidak pantas bekerja dibidang pelayanan kesehatan, lebih lanjut Buddha bersabda bahwa, ” hanya
dengan memiliki lima sifat kecakapan seorang dikatakan pantas menjadi seorang pelayan kesahatan,
Kecakapan tersebut adalah :
1. Ia cakap menguasai ilmu dibidang kesehatan dan pengobatan
2. Ia cakap dalam mempertimbangkan apa yang tepat dan berkhasiat dan apa yang harus
dihindari.
3. Ia harus bertekad bahwa dasar dari pelayanan kesehatan adalah kasih sayang dan
kemanusiaan, bukan keuntungan semata.
4. Ia tidak mengeluh, jijik dan melayani dengan penuh kasih untuk membersihkan kotoran,
darah, nanah dan sejenisnya.
5. Ia cakap dan pandai menasehati, menghibur, mendorong semangat si sakit agar jiwanya
tenang dan tegar menghadapi sakit. Widya Dharma, Dhamma Sari, 29.

A. Mengenal lebih dekat agama Buddha

Sebelum lebih jauh mengupas prinsip-prinsip agama Buddha yang berhubungan dengan ilmu kesehatan
khususnya pelayanan kebidanan, terlebih dahuluakan memperkenalkan secara singkat agama Buddha. Sekilas
dilihat agama Buddha adalah agama yang dahulu pernah ada di tanah air ini saat kerajaan Majapahit. Agama
Buddha adalah suatu agama yang pada saat hari raya Waisak umatnya berbondong-bondong pergi ke candi
Borobudur melakukan ritual persembahyangan dengan rohaniwannya Bikkhu/Bikkhuni yang dicukur pelontos
atau mungkin anda melihat film saolin atau raja kera (sun go kong). Agar pemahaman ini tidak menjadi tolok
ukur agama buddha, diperlukan pemahaman yang lebih dalam.Agama Buddha berasal dari perbatasan kedua
negara yaitu di India dan nepal. Ajaran Buddha diperkenalkan oleh Sidharta Gautama, beliau bukanlah
pembuat/pencipta agama namun penemu Dharma karena Dharma itu sendiri adalah hukum alam dimana hukum
alam pastinya sudah ada sejak alam itu sendiri ada. Buddha berarti : Pencerahan; Penerangan agung;
kesempurnaan hidup atau secara harfiah disebut sebagai ”kesadaran”. Istilah Buddha suatu ”gelar” yang dicapai
oleh seorang manusia yang telah melatih diri untuk mencapai kesempurnaan hidup. Ajarannya disebut
Dhamma/Dharma. Kitab Suci agama Buddha disebut Tipitaka/Tripitaka yang berarti tiga wadah atau tiga
keranjang yang berisi tentang 1. Sutta Pitaka / Kotbah-kotbah Buddha, 2. Vinaya Pitaka / peraturan Kebikhhuan.
3. Abhidhamma Pitaka / ilmu metafisika dan kejiwaan. Perlu diketahui bahwa Kitab suci agama Buddha tidak
hanya satu buku tetapi terdiri dari puluhan buku yang cukup tebal, apabila dikumpulkan sekitar 40 buku, dengan
bahasa Pali dan Sansekerta.
Intisari dari ajaran agama Buddha adalah :
1. Jangan berbuat jahat.
2. Tambahlah kebajikan
3. Sucikan hati dan pikiran.
Dalam proses kehidupan dunia agama Buddha mengenal hukum alam / Dhamma Niyama yang salah
satunya bagiannya adalah hukum karma/kamma; hukum sebab akibat. Pada dasarnya dalam agama Buddha
pedoman/Sila yang dijadikan pedoman hidup bukanlah suatu bentuk kewajiban, larangan dan sangsi tetapi
hukum sebab akibat, jadi segala yang diterima oleh suatu makhuk merupakan akibat, dan perbuatan merupakan
sebab yang nanti akan mengandung akibat/tanggungjawab sebagai konsekuensi dari apa yang telah diperbuat,
dalam bahasa jawa kita mengenal ” sopo sing nandur bakal ngunduh.’ / Ngunduh wohing pakarti atau sing
nggawe bakal nganggo” itu semua adalah makna filosofi dari hukum karma menurut agama Buddha.
Dijelaskan pula dalam kitab Suci Samyutta Nikaya I :
” Sesuai dengan benih yang ditabur,
Begitulah buah yang akan dipetiknya
Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan,
Pembuat kejahatan akan memetik penderitaan pula,
Maka, taburkanlah biji-biji benih, dan
Engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya.”

Tentang tata cara peribadahan agama Buddha, memang memiliki perbedaan yang cukup mencolok
terutama pada penghormatan terhadap Buddha rupam atau patung Buddha, dimana dalam tradisi keagamaan
Buddha hal ini sudah menjadi tradisi, namun banyak pula yang mengganggap bahwa orang Buddha menyembah
patung, padahal itu hanya bentuk penghormatan pada suatu lambang, yaitu seperti kita menghormat bendera
merah putih, tentu bukan kainnya yg kita hormati, namun lebih jauh yaitu makna yang terkandung di dalamya.
Belum lagi di meja altar persembahyangan ada air, bunga, buah, lilin dan dupa yang kesemuanya merupakan
perlambang dari sebuah makna bukanlah sesaji yang akan dimakan makhluk halus atau sejenisnya. Pada
umumnya umat Buddha selain melaksanakan puja bakti di Vihara, tidak ada peraturan yang baku tentang berapa
kali kita harus melaksanakan persembahyangan baik di Vihara maupun di rumah. Hanya yang sudah menjadi
tradisi yaitu sebelum tidur malam dan setelah bangun tidur di pagi hari.

Dalam tata kehidupan, agama Buddha tidak memiliki hukum wajib dalam memilih kehidupan, untuk
menikah misalnya. Dalam hal rumah tangga agama Buddha memberikan dua pilihan kehidupan yaitu :

1. Gharavasa / menjalani kehidupan berumah tangga yang berarti menjalani kehidupan


berkeluarga atau tida dengan mencari nafkah untuk kehidupan duniawi ada 5 pedoman / sila
yang harus di laksanakan oleh umat perumah tangga.
2. Pabbajitta/meninggalkan keduniawian, Bikkhu/Bikkhuni menjalankan kehidupan dengan
tidak mencari nafkah karena sudah di sokong oleh umatnya, pedoman/sila yang laksanakan
ada 227.
Sila atau peraturan/pedoman hidup manusia awam adalah,
1. Bertekad melatih diri menghindari segala macam bentuk pembunuhan
2. Bertekad melatih diri menghindari segala macam bentuk pengambilan barang yang tidak
diberikan/bukan haknya.
3. Bertekad melatih diri menghindari segala macam bentuk tindakan asusila
4. Bertekad melatih diri menghindari segala macam bentuk ucapan yang tidak benar
5. Bertekad melatih diri menghindari segala macam bentuk makanan dan minuman yang dapat
mengakibatkan turunnya kesadaran atau kewaspadaan.

B. MAKNA PERKAWINAN DALAM AGAMA BUDDHA

Menurut UU no 74 tentang perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin
seorang suami dan seorang istridengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan sejahtera
berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan dipandang sah apabila dilakukan berdasarkan hukum
agama masing-masing. Swetiap perkawinan dicatat menurut Perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pandangan agama Buddha, perkawinan seperti yang di sabdakan Budha bahwa ”Perumah tangga
apabila seorang pria dan seorang wanita yang menginginkan berjodoh satu dengan yang lainnya dalam
kehidupan ini maupun kehidupan yang akan datang, maka keduanya harus memiliki kehidupan yang sebanding
dalam hal :
1. Saddha atau keyakinan
2. Sila / Kemoralan
3. Caga / Kemurahan hati
4. Panna / Kebijaksanaan
Dan apabila pasangan suami istri yang sepadan kebaikannya, maka ia akan hidup bahagia bagaikan dewa dan
dewi di alam surga, seperti yang mereka adam-idamkan.

Di dalam agama Buddha tidak dibahas hak seorang suami/istri namun hanyalah suatu kewajiban.
Seorang suami sebagai kepala keluarga adalah memiliki penghasilan yang secukupnya agar dapat memenuhi
kebutuhan keluarga; ia berkewajiban membahagiakan istri dan anak-anaknya, menyokong dan merawat kedua
orangtua dari suami/istri yang masih hidup, apabila sudah meninggal maka wajib melakukan
Pattidana/pelimpahan jasa. Agar suami diperhatikan oleh seorang istri, maka ia wajib bekerja dengan keras agar
hidupnya tidak miskin, wajib menjaga kesehatan agar tidak mudah sakit, wajib menghindari makanan yang dpat
memabukkan, wajib memperhatikan dan peduli agar istri merasa tidak diabaikan, harus pandai membagi waktu
untuk tugas dan keluarga dan tidak boros.

Selain itu dalan Sigalovada Sutta ada 5 kewajiban suami terhadap istrinya yaitu :

1. Menghormati dan menghargai istrinya.


2. Bersikap lemah lembut dalam ucapan dan perbuatan.
3. Bersikap setia terhadap istrinya
4. Memberikan kekuasaan tertentu pada istrinya
5. Memberikan hadiah atau perhiasan kepada istrinya.
(Digha Nikaya III, 190)

Dan ada 4 hal yang perlu dihindari oleh seorang suami yaitu
1. Suka menggoda wanita lain
2. Suka mabuk-mabukan
3. suka berjudi
4. suka bergaul dengan orang yang jahat.
(Anguttara Nikaya IV, 283)

Kewajiban seorang istri yaitu:


1. Melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik.
2. Bersikap ramah terhadap kedua pihak keluarga
3. Setia kepada suaminya
4. Menjaga dengan baik dan menggunakan dengan baik pula harta yang dapat dari suaminya.
5. Pandai dan rajin dalam mengurus rumah tangga.
(Digha Nikaya III,190)

Kewajiban orangtua terhadap anaknya adalah :


1. Mencegah anak berbuat jahat
2. Menganjurkan anak berbuat baik
3. Memberikan pendidikan dan ketrampilan terhadap anaknya
4. Mempertimbangkan calon suami/istri bagi anaknya
5. Menyerahkan warisan kepada anaknya pada saat yang tepat.
(Digha Nikaya III,189)
Dalam perkawinan agama Buddha, tidak mengenal sistem poligami maupun poliandri, karena dalam
sebuah sutta disebutkan ” berpuaslah engkau hanya dengan satu pasangan istri maupun suami” Demikianlah
sekilas agama Buddha, meskipun pengetahuan tersebut sangatlah simple, namun semoga dapat menambah
wawasan, pandangan dan pengetahuan. Lebih lanjut tentang agama Buddha dan hubungannya dengan pelayanan
kebidanan dapat kita pelajari pada uraian berikutnya. Bagaimana pula pandangan agama Buddha dalam hal ini,
apakah ada kesesuaian, keselarasan ataukan ada pertentangan dengan semakin berkembangnya ilmu dan
terknologi ?
Semoga uraian-uraian di bawah ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman bagi calon-calon
pelayan kesehatan dan lebih luas dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya.

C. Kehamilan dan kelahiran dalam agama Buddha

Sebagai seorang bidan yang mempelajari dan mendalami seluk-beluk kehamilan, bayi, kelahiran dan
sejenisnya tentu merupakan suatu hal yang wajib, namun bagaimana prinsip-prinsip suatu agama dapat menjadi
suatu kajian yang sesuai dan selaras, mengingat suatu prisip agama dapat bertentangan dengan ilmu
pengetahuan yang ada. Salah satu contoh misalnya adalah kewajiban sebuah kehidupan ada beberapa agama
yang mewajibkan semua orang untuk berkeluarga, namun ada juga yang tidak mewajibkan. Namun hal ini
bukanlah satu hal yang perlu untuk diperdebatkan, mengingat setiap agam memiliki beberapa cara pandang
yang berbeda tentang suatu hal.

Salah satu konsekwensi dari sebuah kehidupan berkelurga adalah memiliki seorang anak / keturunan
atau melahirkan, secara umum dalam agama buddha kelahiran suatu makhluk terbagi atas empat yaitu 1.
Jalabuja Yoni: kelahiran lewat kandungan 2. Andaja yoni : kelahiran melalui telur. 3. Sansedaja Yoni :
Kelahiran melalui kelembaban. 4 Opapatika Yoni : kelahiran spontan seperti sebagian makhluh setan.

Dari keterangan di atas tentu yang akan kita pelajari adalah kelahiran melalui kandungan dan khususnya
kelahiran manusia. Kelahiran bayi tentunya menjadi tugas yang penting bagi seorang bidan, pelayanan kelahiran
akan menjadi pekerjaan yang wajib, meskipun proses kelahiran bisa jadi tidak semudah yang dibayangkan
karena akan menanggung resiko moral yang sangat tinggi selain resiko karier dimana keselamatan ibu dan anak
sangatlah diutamakan. Di sinilah peran seorang bidan akan menjadi sangat penting bagi setiap keluarga yang
membutuhkan pelayanan, konsultasi dan penyuluhan, sehinggga dibutuhkan suatu dasar pelayanan yang tidak
saja mengutamakan keuntungan mengingat pada umumnya pelayanan kebidanan berada di pedesaan bahkan di
daerah terpencil.

D. Seputar doa-doa dalam proses kehamilan, kelahiran, kematian

Dalam hal doa-doa, agama Buddha meskipun tidak ada kewajiban dalam hal jumlah untuk melakukan
ritual persembahyangan, namun sangatlah lengkap. Doa doa dalam buku doa agama Buddha adalah merupakan
kebutuhan suatu kekuatan moral spiritual untuk mendorong dalam mencapai keselamatan, kesejahteran dan
kebahagiaan atau untuk mengatasi kedukaan, melatih ketenangan dan juga untuk kesehatan baik jasmani maupun
rohani seperti meditasi/yoga. Doa-doa ini juga telah turun temurun digunakan oleh umat Buddha hingga saat ini.

Dalam kehidupan ini, setiap manusia mengalami beberapa moment hidup yang selalu membutuhkan
spirit yaitu doa. Sehingga dalam agama Buddhapun sangatlah kental dengan pembacaan/pelafalan doa yang
disebut sebagai paritta maupun mantra. Sebagai manusia awam tentu ada bayak sekali kejadian-kejadian yang
menjadi pertanda-pertanda yang boleh dikatakan berbeda atau sakral, seperti kehamilan, kelahiran, ulang tahun,
pubertas, kedewasaan, pernikahan, kematian serta kejadian kejadian yang dipenuhi oleh pengharapan agar ada
kemajuan, kejayaan, terhindar dari malapetaka seperti, mendirikan usaha, membangun rumah, atau bercocok
tanam. Hal-hal tersebut membutuhkan suatu dorongan mental spiritual serta pengharapan, disinilah kemudian
manusia melaksanakan doa yang sering juga disertai dengan beramal seperti melakukan syukuran dengan
membagi makanan kepadak sanak keluarga dan tetangga atau di jawa dukenal dengaan kenduri. Doa doa yang
banyak dipakai dapat dipilih sesuai dengan kegiatan yang ingin dilaksanakan, dalam agama buddha doadoa
tersebut antara lain seperti, Doa tuju bulan kandungan/mitoni, menjelang kelahiran, pemberkatan kelahiran,
potong rambut, turun tanah, wisuda/tabis/babtis, perkawinan, peletakan batu pertama, pembangunan, mempati
rumah, gedung, toko baru, membersihkan suasana, doa untuk orang sakit, tanam disawah, pengukuhan jajji
jabatan, pengukuhan janji di pengadilan, kematian; 7 hari berturut-turut, 40 hari 1, 2 dan 3 tahun. Begitu banyak
doa-doa pengharapan selain doa untuk persembahyangan di Vihara maupun doa untuk hari raya.

Sebagai tambahan pengetahuan, seseorang yang ditinggal mati oleh pasangan suami/istri maka umat
Buddha sebaiknya boleh menikah kembali sampai 3 tahun setelah peringatan doa kematian tahun yang ketiga
sebagai tanggungjawab moral keluarga bagi keluarga mertua, rasa belasungkawa atau rasa dukha.

Seperti telah dijelaskan di atas tentang doa-doa, maka ada beberapa doa-doa yang akan lebih dijelaskan
seperti dalam silabus. Doa pada saat hamil yaitu pada saat kandungan berumur 7 bulan dengan tujuan agar si
bayi dan Ibunya selalu dalam keadaan selamat, sehat, jauh dari mara bahaya dan petaka saat sebelum dan
menjelang kelahiran, selanjutnya doa menjelang kelahiran dalam agama buddha dikenal dengan doa Angulimala
Paritta. Yang bertujuan untuk memberikan semangat, kekuatan, keselamatan, kelancaran dan kesehatan bagi ibu
dan si bayi yang hendak lahir. Sedangkan doa kematian agama Buddha terbagi atas doa kematian seorang yang
dimakamkan dan di kremasi/dibakar, keduanya diperbolehkan. Doa kematian ada cukup banyak yang pertama
doa menjelang diberangkatkan ke makam, doa saat dimakamkan/kremasi, doa 1 hari sd 7 hari, 40 atau 49 hari, 1
thn, 2 thn dan 3 thn/pelepasan dan doa untuk ziarah di pemakaman, apabila dekat dilakukan satu minggu satu
kali dengan disertai membersihkan lingkungan makam. Itulah doa-doa yang ada dalam agama Buddha, selain
doa-doa yang secara umum seperti doa menjelang makan, doa sebelum belajar, sebelum bepergian merupakan
doa biasa, dalam arti menyesuaiakan dengan keadaan.

Dalam hal doa pemahaman kesucian saat doa cukup berbeda dengan agama lain yaitu pada saat Kaum
hawa mengalami keadaan menstruasi, dalam agama Buddha melakukan ritual persembahyangan maupun saat
puasa tetap boleh dilaksanakan. Karena pada prinsipnya kesucian seseorang itu tidak terletak pada kondisi
jasmani dari seseorang namun lebih jauh yaitu kondisi batin dan niat seseorang, apalagi kondisi tersebut adalah
merupakan kondisi alami/kodrati.

E. Pandangan agama Buddha terhadap tindakan medis kesehatan

a. Aborsi
Banyak alasan atau sebab-sebab yang melatar-belakangi dilakukannya aborsi, misalnya pola hidup yang
semakin permisif dimana nilai-nilai yang berkenaan dengan kehidupan seksual semakin longgar. Misalnya
semen leven (kumpul kebo), free sex atau seks bebas asal suka sama suka. Ini merupakan akibat dari
perkembangan dan perubahan perikehidupan modern dengan konotasinya yang dangkal dan dasar keimanan
yang tipis.

Semua faktor itu menyebabkan bergesernya pandangan dan sikap orang terhadap hal ikhwal yang
menyangkut nilai-nilai kehidupan. Ditambah lagi oleh perubahan kaum perempuan baik karena berlangsungnya
proses emansipasi maupun karena pergeseran atau pemenuhan peran dan tugas baru sebagai pekerja dan pencari
nafkah. Gerakan kaum feminis di Eropa dan Amerika misalnya, menuntut diakuinya hak-hak perempuan untuk
menggugurkan kandungan. Seperti yang terungkap dalam Konferensi Wanita di Beijing, September 1995 silam.
Dalam konferensi itu misalnya aborsi dikaitkan dengan persoalan hak asasi manusia dan hak wanita untuk
mengontrol dirinya sendiri, termasuk menggugurkan kandungan. Di Amerika Serikat, perdebatan antara pro dan
kontra tentang aborsi terns berlangsung Karenanya masalah aborsi ini sangat berkaitan dengan pemahaman
tentang moral dan etika.

Menurut penganut paham etika deontologis, aborsi atas dasar apapun tidak boleh dilakukan. Sedangkan
menurut paham etika konsekuensialis-utilitaris, aborsi boleh dilakukan kalau ada tujuan dan manfaatnya
misalnya demi kesehatan si ibu. Namun dalam UU No. 22/1992 secara tegas dinyatakan bahwa “abortus atas
alasan apapun tidak boleh dilakukan”. Negara Indonesia juga sudah memiliki UU khusus yang menjelaskan soal
aborsi, yakni pasal 346 KUHP. Pasal ini mengancam kaum perempuan yang menggugurkan kandungannya
dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara. Sedangkan dalam UU Kesehatan No. 25/ 1992, menyatakan abortus
hanya boleh dilakukan jika kehamilan itu mengancam jiwa sang ibu. Dilihat dari hal tersebut dapat kita katakan
bahwa berdasarkan etika, profesi dan agama manapun tidak membenarkan adanya aborsi.
Walaupun banyak undang-undang maupun etika keagamaan yang melarang adanya aborsi, dalam
kenyataan di masyarakat masih banyak terjadi aborsi baik yang dilakukan oleh para remaja putri, maupun kaum
ibu yang dengan alasan ekonomi keluarga, melakukan aborsi. Pelaksanaan aborsi seringkali tidak hanya
melibatkan calon ibu, namun juga melibatkan ahli kesehatan dan dokter. Banyak aborsi ilegal dikerjakan para
dokter yang tidak bermoral. Para dokter ini terkesan tanpa belas kasihan menjerat wanita-wanita yang putus asa
dalam proses komersialisasi. Persoalan aborsi yang mengundang perdebatan itu, disamping menyangkut masalah
moral dan etika yang berkenaan dengan pembunuhan dan pelaku-pelaku yang terlibat juga secara lebih mendasar
berkenaan dengan persoalan makhluk hidup. Untuk itu sudah sepantasnya kita mengetahui apa yang disebut
dengan makhluk, yaitu kapan terjadinya konsepsi manusia di dalam kandungan.

Dalam agama Buddha, yang dimaksud makhluk adalah gumpalan sel yang mempunyai jasad-jasad
energi hidup (kekuatan karma) atau dalam kehidupan sehari-hari disebut jasad yang mempunyai jiwa. Jasad-
jasad energi hidup tadi dimulai pada waktu bertemunya sel ovum dan sel sperma (sel pria dan wanita) melalui
kekuatan karma, yaitu getaran-getaran karma dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, dapat kita katakan
bahwa sejak terjadinya pertemuan antara sel ovum dan sel sperma yang dibarengi adanya getaran-getaran karma,
maka sejak itu pula dikatakan telah munculnya makhluk. Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk
terjadinya suatu makhluk hidup, yaitu:
1. Mata utuni hoti; ibu masih mengalami daur haid / menstruasi.
2. Mata pitaro hoti, ayah dan ibu hidup bersama / berhubungan.
3. Gandhabo paccuppatthito; kesadaran ajal (cuti-citta).

Bersatunya syarat diatas serta didorong oleh kekuatan-kekuatan karma maka kesadaran ajal yang memadamkan
makhluk yang meninggal akan berproses dalam patisandhi Vinnana atau kesadaran kelahiran kembali dan
selanjutnya akan menjadi bhavanga citta atau kesadaran awal yang bergetar pada makhluk baru.
Setelah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan makhluk, maka dengan tegas dapat dikatakan bahwa aborsi
termasuk perbuatan membunuh, dan itu jelas melanggar sila. Yang disebut membunuh dalam agama Buddha
adalah membawa akibat buruk, terlahir di alam apaya. Suatu perbuatan dikatakan membunuh apabila memenuhi
syarat sebagai berikut: adanya suatu makhluk hidup, sadar bahwa itu adalah makhluk hidup, niat untuk
melenyapkannya, melakukan tindakan membunuh, dan kematian sebagai akibatnya.
“Seorang wanita atau pria yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa
belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan penuh
kesedihan dan penderitaan. Apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia dimana saja ia akan bertumimbal
lahir, umumnya tidaklah akan panjang”
(Majjhima Nikaya 135)
Ada pepatah mengatakan bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena itu mencegah aborsi
jauh lebih baik daripada melakukan aborsi. Bagi kaum muda, sebelum terlanjur berhadapan dengan
permasalahan aborsi, akan lebih baik mengendalikan diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
belum pantas dilakukan sehingga terhindar dari permasalahan tersebut.. Disini perlu pendidikan seks yang benar,
yakni tentang kehidupan seksual yang matang seperti pengetahuan tentang perubahan yang terjadi pada pria dan
wanita remaja, akibat yang akan terjadi apabila melakukan hubungan seksual, serta bagaimana menjadi insan
yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga, agama, lingkungan dan masyarakat.
Lalu bagaimana jika, teman kita, saudara kita menghadapi suatu kejadian yang sangat tidak kita
inginkan? Andaikata nyatanya bayi yang dikandung ini memang tidak kita inginkan kehadirannya karena
terdapat alasan atau latar belakang yang tidak dikalahkan lagi (akibat perkosaan misalnya), hendaklah tetap
berpikir tenang, bagaimana pun juga usahakan hindari aborsi dan berpalinglah kepada agama, nilai-nilai agama
merupakan pilar utama peri-kehidupan moral etika.
b. Transplantasi

Budha percaya bahwa donasi organ dan jaringan adalah masalah hati nurani individu dan menempatkan
nilai tinggi pada tindakan-tindakan belas kasih. Pendeta Gyomay Masao, dan pendiri Candi Budha Chicago
mengatakan, “Kita menghormati orang-orang yang menyumbangkan organ tubuh mereka dan untuk kemajuan
ilmu pengetahuan dan medis untuk menyelamatkan nyawa.

Dalam ajaran agama Buddha terdapat apa yang disebut Upa-Paramita, yaitu memberikan organ tubuhnya
untuk menolong makhluk lain. Hal ini cukup banyak kita jumpai dalam contoh-contoh ceritera Jataka. Misalnya
Sang Bodhisatta memberikan dagingnya, bahkan hidup-Nya demi kebahagiaan atau menolong makhluk lain
yang terancam hidupnya dari kelaparan atau kebuasan makhluk lain.

Bhikkhuni Subha dengan rela menyerahkan sepasang biji matanya, kepada pemuda iseng yang tergila-
gila kepadanya, yang tak tahan melihat kecantikannya dengan sorot matanya yang menggiurkan. Tindakan
Bhikkhuni Subha ini tidak disalahkan oleh Sang Buddha, bahkan secara ajaib Sang Buddha mengembalikan bola
mata itu ke tempatnya semula, sehingga Bhikkhuni Subha dapat melihat kembali.

Upa-Paramita merupakan salah satu syarat dari beberapa syarat yang dibutuhkan bagi
seorang Bodhisatta untuk mencapai tingkat kebuddhaan. Selain itu di dalam agama Buddha, berdana
berupa transplantasi merupakan Dana Paramita, yang dapat meningkatkan nilai kehidupan manusia di dalam
kehidupan yang akan datang.
Dalam Vesantara Jataka 539, Sang Buddha bersabda bahwa dalam Kelahiran Beliau sebagai Bodhisatta
Vesantara, Beliau telah menyatakan sebagai berikut, “Segala sesuatu yang telah kuberikan kepada orang lain itu
sebenarnya berasal dari orang lain, dan ini tidak membuat aku menjadi puas. Aku ingin berdana sesuatu yang
betul-betul berasal dari pribadiku sendiri, karena itu jika seseorang menginginkan jantungku, akan kubuka
rongga dadaku dan kuberikan jantungku kepadanya. Jika yang diinginkan adalah kulit serta daging dari
badanku, maka akan kucabik-cabik semua kulit dan daging dari badanku dan akan kuberikan kepadanya”.
setiap umat Buddha dibenarkan mendonorkan setiap organ tubuhnya dan tidak hanya kedua matanya demi
kebahagiaan orang lain, untuk kelangsungan hidup orang lain.

Bahkan kalau perlu hidupnya sendiri pun dibenarkan untuk dikorbankan demi kelangsungan hidup orang
lain.

Dapat disimpulkan bahwa Agama Buddha sangat mendorong umatnya untuk melakukan donor dari
anggota tubuh kita selama tidak merusak/merugikan diri kita sendiri atau dalam arti kata lain yaitu dengan
kebijaksanaan.

c. Inseminasi

Inseminasi identik dengan kawin suntik, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka Edisi Ketiga, hal 519 yang di maksud dengan kawin suntik adalah ternak pembenihan dengan
jalan memasukan benih jantan(sperma) ke dalam vagina dengan menggunakan (dengan bantuan) alat suntik(
tidak melalui hubungan seksual)

 Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination. Artificial artinya buatan ataua
tiruan, sedangkan insemination berasal dari kata latin. Inseminatus artinya pemasukan atau
penyampaian. artificial insemination adalah penghamilan atau pembuahan buatan.
 Jadi, insiminasi buatan adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara
memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter, istilah lain
yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan dan permainan buatan (PB).

Hampir semua pasangan suami istri ingin mempunyai keturunan. Tetapi, pada kenyataannya tidak semua
pasangan yang sudah menikah mendapatkan anak dengan mudah. Hal ini dikarenakan faktor ketidaksuburan.
Karena ini, jika Anda dan atau pasangan didiagnosa “tidak subur” tidak perlu putus asa, Anda bisa mencoba
berbagai pengobatan alternatif yang semakin banyak seiring dengan kemajuan teknologi

 Sebagai gambaran, nilai-nilai normal pemeriksaan sperma adalah : Volume : 2-5 ml, Jumlah sperma: >
20 juta/ml, Gerakan pada 6-8 jam : > 40 %, jumlah sperma yang nggak normal: kurang dari 20 persen
dan kadar gula semen (fruktosa): 120-450 mikrog/ml. (dikutip dari bukunya pak Ali Baziad). Pada kasus
ketiadaan sperma maka dalam hasil analisa cuma ada volume: sekian cc, jumlah sperma: nihil alias
nggak ada.
 IUI = Intrauterine Inseminasi

IUI adalah proses menyemprotkan sperma secara artifisial kedalam saluran tuba saat sel telur keluar
(ovulasi). Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan usia dibawah 45 tahun dengan berbagai penyebab
infertilitas kecuali yang dibebabkan oleh: sumbatan tuba, kerusakan tuba yang berat, sel telur yang jelek
secara kualitas dan kuantitas, gangguan infertilitas pria yang berat dan tentu saja belum menopause. Bagi
yang tidak memenuhi syarat untuk IUI maka alternatifnya adalah IVF (=bayi tabung).

Prosedurnya dimulai dengan induksi ovulasi pada wanita. Pada saat ovulasi terjadi, sperma pada pria
dikumpulkan dengan cara masturbasi setelah abstinen selama 2-5 hari. Sperma yang didapat lalu di
proses (spermal washing) yang dapat diselesaikan dalam waktu antara 20-60 menit.
 Suksesnya IUI tergantung pada: usia ibu, lamanya infertlitas, penyebab infertlitas, jumlah dan kualitas
sperma hasil washing. Keberhasilan kehamilan semakin rendah pada keadaan-keadaan :
1. Usia wanita lebih dari 38 tahun
2. Wanita dengan cadangan ovum yang rendah
3. Kualitas sperma yang jelek
4. Wanita dengan endometriosis sedang sampai berat
5. Wanita dengan kerusakan tuba
6. Infertlitas yang lebih dari 3 tahun.

Motivasi di lakukan inseminasi buatan:

 Iseminasi buatan yang dilakukan untuk menolong pasangan yang mandul, untuk mengembang biakan
manusia secara cepat, untuk menciptakan manusia jenius, ideal sesuai dengan keinginan, sebagai
alternative bagi manusia yang ingin punya anak tetapi tidak mau menikah dan untuk percobaan ilmiah

Hukum inseminasi buatan:

 Inseminasi buatan dilihat dari asal sperma yang dipakai dapat dibagi dua:
 inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (artificial insemination husband)
 Iseminasi buatan yang bukan sperma suami atau di sebut donor atau AID (artificial insemination donor)

Untuk inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri tentu diperbolehkan, namun apabila dari
pendonor/orang lain tentu tidak semua wanita mau. Dalam pandangan agama Buddha kalaupun harus dari
seorang pendonor harus mamiliki banyak persyaratan seperti baik kedua belah pihak yaitu suami dan istri
maupun dari keluarga keduanya harus mengijinkan baik sebelum pelaksanaan, saat pelaksanaan maupun setelah
berhasil wajib untuk tidak merpermasalahkannya serta mengganggap anak tersebut seperti anak sendiri.

d. Bayi Tabung
Pandangan Agama Budha dalam hal ini adalah , ketika banyak agama merasa terancam dengan pemikiran
modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Agama Buddha justru sebaliknya mendapatkan
tempat untuk berjalan beriringan. Ketika banyak agama menolak teori evolusi, perkembangan bioteknologi,
maupun teori tanpa batas tepi (teori kosmologi mengenai ketiadaan awal maupun akhir dari alam semesta oleh
Stephen Hawking), agama Buddha sebaliknya tidak langsung menolak hal-hal tersebut. Bagi ajaran Buddha,
perkembangan tekonologi bagaikan pisau yang di satu sisi dapat dimanfaatkan untuk memotong di dapur, namun
di sisi lain dapat dipakai untuk menusuk orang lain. Jadi, alih-alih ajaran Buddha menolak pisau tersebut,
melainkan alasan penggunaan pisau tersebut yang ditolak oleh Beliau ketika dipakai untuk melukai.
Kesimpulannya, di dalam ajaran Agama Buddha itu sendiri tidak ditolak adanya bayi tabung. Bahkan
kloning pun juga tidak di tolak. Jadi, di lain kata dapat dikatakan bahwa bayi tabung atau inseminasi buatan di
dalam agama ini diperbolehkan.

e. Bedah plastik

Bedah plastik menurut Buddhisme, hal ini tidak melanggar sila sepanjang memiliki tujuan yang positif
atau bukan untuk penipuan. Contohnya: penjahat kabur kemudian mengubah wajahnya dengan tujuan orang
tidak mengenal lagi sehingga ia lolos dari kejahatannya. Dalam agama Buddha, wanita yang mengubah kelamin
menjadi pria tidak diperkenankan untuk menjadi bhikkhu. Selain itu pandangan agama Buddha setuju apabila
bedah plastik untuk pengobatan, misalnya: bibir sumbing, luka bakar, atau penyakit kulit yang akibat dari
kecelakaan maupun bawaan sejak lahir melainkan bukan agar kelihatan awet muda terus.

Buddhisme tidak melarang bedah plastik, tetapi apabila kita melakukan bedah untuk tujuan
mempercantik diri berarti itu kurang sesuai dengan ajaran Buddha, karena hal tersebut telah muncul Lobha
(keserakahan/ melekat pada objek). Jika bedah plastik itu berjalan dengan lancar dan hasilnya bagus, kita akan
semakin melekat padanya. Tetapi apabila bedah plastik itu tidak berjalan dengan lancar atau hasilnya menjadi
buruk dari yang sebelumnya, maka akan menimbulkan Dosa (kebencian/menolak objek). Apabila hal tersebut
sudah terjadi maka akan timbul Moha (kebodohan batin) yang selalu mengikutinya.

Dalam Brahma Viharapharana, Buddha mengajarkan kita bahwa “Semua makhluk adalah pemilik
perbuatan mereka sendiri, terwarisi oleh perbuatan mereka sendiri, lahir dari perbuatan mereka sendiri,
berkerabat dengan perbuatan mereka sendiri, tergantung pada perbuatan mereka sendiri. Perbuatan apa pun yang
mereka lakukan, baik atau buruk; perbuatan itulah yang akan mereka warisi” (Parita Suci, Yayasan Sangha
Theravada Indonesia: 40). Dengan demikian kita tahu bahwa dalam ajaran agama Buddha, baik atau buruknya
kondisi pada kehidupan ini merupakan akibat dari karma masa lampau (baik atau buruk). Tetapi untuk
memperbaiki karma yang kurang baik, misalnya: memiliki wajah yang kurang cantik,tidak tampan, kulit hitam,
dan sebagainya; bukan dengan cara bedah plastik walupun sebenarnya memiliki kesehatan jasmani dan rohani,
melainkan memperbaiki perbuatan kita agar sesuai ajaran yang benar. Seperti yang tertulis dalam Dhammapada
ayat 262 yang tertulis “Bukan karena wajahnya yang tampan yang menandakan seseorang dapat menyebut
dirinya orang baik apabila ia masih bersifat iri, kikir dan suka menipu”. Jadi yang diutamakan dalam agama
Buddha adalah jiwa yang baik.

KESIMPULAN

Bedah plastik tidak dilarang dalam pandangan Buddhis, sepanjang hal itu mempunyai tujuan yang baik,
untuk pengobatan dan bukan untuk penipuan. Karena pada hakekatnya apa yang kita miliki harus disyukuri.
Ketampanan, kencantikan bukanlah hal utama melainkan memiliki kesehatan dan jiwa yang baik itulah hal yang
utama.

f. Keluarga Berencana (KB)

Masalah kependudukan dan Keluarga Berencana belum timbul ketika Buddha Gotama masih hidup.
Tetapi kita bisa menelaah ajaran-Nya yang relevan dengan makna Keluarga Berencana.
Kebahagiaan dalam keluarga adalah adanya hidup harmonis antara suami dan isteri, dan antara orang tua dengan
anaknya.
Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah berusaha menimbulkan dan memperkembangkan kesejahteraan
untuk anak-anaknya. Menurut Sigalovada Sutta, ada lima kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang tua,
yaitu :

a. Berusaha untuk menghindarkan anak-anaknya dari kejahatan


b. Mengajarkan mereka untuk berbuat baik.
c. Memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya
d. Menikahkan anak-anaknya dengan pasangan yang sesuai
e. Memberikan warisan kepada anak-anaknya di waktu yang tepat.

Jadinya, bila kita perhatikan isi dari Sigalovada Sutta tersebut KB patut kita laksanakan, karena KB
menimbulkan kesejahteraan keluarga.
Untuk melaksanakan KB ada 8 (delapan) cara, yaitu :

a. KB dengan jalan menelan pil anti hamil atau injeksi dengan obat Depo Provera 150, setiap tiga bulan
sekali, hal ini bertujuan untuk mencegah pematangan sel telur di dalam indung telur.

b. KB dengan jalan memakai kondom, hal ini tertujuan untuk mencegah masuknya sperma kedalam rahim.
c. KB dengan jalan membunuh sperma, hal ini bertujuan untuk mencegah sperma menemui sel telur.
d. KB dengan jalan melakukan vasektomi atau tubektomi, hal ini bertujuan untuk mencegah pertemuan
Sperma dengna Ovum.
e. KB dengan jalan sistem kalender/penanggalan, hal ini bertujuan untuk mencegah matangnya sel telur
didalam indung telur.
f. KB dengan jalan melakukan susuk yang berbentuk anak korek api pada lengan kiri wanita, hal ini
bertujuan untuk mencegah pembuahan pada kandungan wanita. (disebut Susuk KB atau Norplant)
g. KB dengan jalan melakukan abortus/pengguguran, hal ini bertujuan untuk mengeluarkan janin.
h. KB dengan jalan memakai spiral, hal ini mempunyai 2 tujuan, yaitu :
1. Mencegah tumbuhnya janin didalam rahim setelah terjadi pembuahan.
2. Mencegah sperma menemui sel telur

Kehamilan akan terjadi bila dipenuhi tiga syarat, yaitu :

a. Adanya pertemuan Sperma dengan Ovum


b. Saat yang subur dari calon ibu, dan
c. Patisandhi Vinnana memasuki rahim.

Patisandhi Vinnana masuk dalam rahim pada saat pertemuan Sperma dan Ovum, dan keduanya dalam
keadaan kuat/memenuhi syarat.
Pada tahap pertama (Uppadakkhana) Patisandhi Vinnana timbul dalam rahim, Kamma Jarupa ikut timbul pula
sebanyak tiga kalapa, yaitu Kayadasakakalapa, Bhavadasakakalapa dan Vatthudasakakalapa. Kemudian
menyusul timbul rupa-rupa yang lain apabila tiba saatnya.
Jadinya, cara KB bentuk (a) s/d (f) yang tersebut diatas dapat dibenarkan dalam agama Buddha, karena
Patisandhi Vinnana (kesadaran/jiwa/roh yang bertumimbal lahir) belum masuk dalam rahim, hal ini tidak
melanggar sila)
Cara KB bentuk (g) yang tersebut diatas, yaitu abortus/pengguruan TIDAK DIBENARKAN dalam agama
Buddha, karena Patisandhi Vinnana telah masuk dalam rahim, hal ini termasuk pembunuhan penuh dan
melanggar sila.
Cara KB bentuk (h) yaitu memakai spiral masih diragukan mengenai keterangannya, karena para dokter ahli
belum mampu memberikan keterangan secara pasti. Bila memakai spiral tujuannya :

1. Mencegah tumbuhnya janin didalam kandungan setelah terjadi pembuahan, hal ini TIDAK
DIBENARKAN dalam agama Buddha, karena Patisandhi Vinnana telah masuk dalam rahim, ini
termasuk pembunuhan dan melanggar sila.
2. Mencegah Sperma menemui sel telur, hal ini boloeh dalam agama Buddha, karena Patisandhi Vinnana
belum masuk dalam rahim dan tidak melanggar sila.

Sperma dan Ovum dapat bergerak dan berkembang biak, tetapi keduanya ini tidak dapat disebut makhluk
hidup, sebab menurut agama Buddha Sperma dan Ovum tidak memiliki nama (jiwa/roh). Dalam Kamma Bhumi
11 tidak ada yang disebut makhluk itu tanpa memiliki nama.
Sperma dan Ovum merupakan rupa (materi) yang disebut UTUJARUPAKALAPA (kelompok materi yang
bertemperatur) yang timbul dari Lobhacittuppada (gabungan Lobha Citta dengan Cetasika) kepunyaan pria dan
wanita.
Sperma dan Ovum dapat bergerak karena kekuatan Vayo Dhatu (unsur angin/gerak) yang berada dalam Rupa
Kalapa (kelompok materi). Seperti juga dengan cicak yang ekornya dipotong, ekor tersebut tetap
bergerak/bergoyang untuk berapa saat, hal ini bukanlah berati bahwa ekor tersebut memiliki jiwa/roh (nama),
tetapi ekor tersebut dapat bergerak/bergoyang karena kekuatan Vayo Dhatu (unsur angin/gerak) yang berada
dalam Rupa Kalapa (kelompok materi)
Sperma dan Ovum dapat berkembang biak karena kekuatan Tejo Dhatu (unsur panas) yang berada dalam Rupa
Kalapa (kelompok materi)
Kesimpulan keluarga berencana (KB) dibenarkan dalam agama Buddha. Kita umat Buddha hanya memilih cara
KB yang cocok untuk kita masing-masing.
g. Euthanasia

Euthanasia adalah suatu tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahluk yang sakit parah
maupun mahluk dalm kondisi koma dan mempunyai kemungkinan kecil untuk sembuh. Dalam bidang
kedokteran, euthanasia boleh dilakukan dengan alasan yang kuat misalnya atas keinginan pribadi dari orang
yang ingin di euthanasia. Bila euthanasia dilakukan harus ada persetujuan dulu dari keluarga yang bersangkutan.
Biasanya euthanasia dilakukan pada seseorang yang mengalami penyakit yang sudah parah maupun dalam
kondisi koma dan dalam keadaan terpaksa dan tidak ada jalan lain. Misalnya seseorang mempunyai penyakit
yang sangat parah, tidak ada kemungkinan untuk sembuh dan sangat menderita maka dengan terpaksa
melakukan aborsi karena tidak tega melihat orang tersebut menderita. Dalam keadaan masyarakat secara umum
euthanasia dapat dilakukan dengan alasan tidak ada cara lain selain melakukan euthanasia.

Dalam sudut pandang Buddhis, kasus euthanasia seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan
suatu pembunuhan yang menyebabkan karma buruk. Agama Buddha menanggapi masalah euthanasia antara
setuju dengan tidak setuju. Alasan tidak boleh dilakukannya euthanasia adalah kita sebagai umat Buddha tidak
boleh membunuh, adanya kemungkinan untuk sembuh bagi orang yang menderita penyakit maupun yang sedang
dalam keadaan koma. Kita harus merawat dengan sekuat tenaga terhadap keluarga kita yang mengalami penyakit
yang parah maupun dalam keadaan koma. Misalnya orang yang sakit yang ingin dieuthanasia saja karena sudah
tidak tahan dengan sakit yang dideritanya, maka kita sebagai keluarganya tidak memperbolehkan hal tersebut
karena hal tersebut adalah bunuh diri. Misalnya orang tersebut jadi melakukan euthanasia maka akan menambah
karma buruknya sendiri karena ia menyuruh seseorang untuk membunuh dan ia melakukan bunuh diri. Kasus
euthanasia banyak dilakukan dengan alasan ekonomi karena pihak keluarga tidak mempunyai uang yang cukup
untuk merawat orang yang sedang menderita penyakit yang parah maupun yang mengalami koma. Orang yang
sakit tersebut misalnya dirawat dirumah sakit dalam waktu yang lama. Keluarga sudah tidak sanggup membayar
biaya dirumah sakit dan sudah tidak ada orang yang membantu maka seharusnya dibawa kerumah dan dirawat
dirumah karena tidakl mempunyai biaya. Keluarga tidak boleh melakukan euthanasia tetapi harus merawatnya
dengan sekuat tenaga meskipun orang yang sakit sudah sangat menderita. Ada kasus misalnya orang dirumah
sakit dalam kondisi koma dan sangat tergantung pada peralatan medis. Keluarganya tidak bisa lagi menanggung
biayanya bila peralatan medisnya dicabut maka ia akan mati. Hal tersebut yang mengharuskan untuk melakukan
euthanasia karena keadaan tersebut.

Kasus euthanasia sering dilakukan dengan alasan ekonomi. Pandangan agama Buddha pasti menghindari
euthanasia karena merupakan pembunuhan. Terlebih lagi misalnya orang tua kita sendiri yang akan kita
euthanasia, hal tersebut adalah suatu karma buruk yang sangat berat dan mengakibatkan lahir dialam neraka.
Euthanasia boleh dilakukan dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Contohnya dalam kasus diatas
orang yang dalam kondisi koma yang tergantung pada peralatan medis. Kita sebagai umat Buddha sebisa
mungkin menghindari euthanasia. Kita harus berusaha semaksimal mungkin merawat keluarga kita yang
mengalami penyakit yang sangat parah dan mengalami koma tanpa melakukan euthanasia.

h.AIDS

Salah satu penyakit yang paling berbahaya di dunia sekarang ini adalah HIV/AIDS (Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndromes). Penyakit yang menyerang sistem pertahanan
tubuh manusia ini telah merenggut jutaan nyawa manusia. Untuk itu telah ditetapkan bahwa setiap tanggal 1
Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia untuk mengingatkan dunia betapa pentingnya masalah HIV
sehingga dunia perlu selalu dalam keadaan waspada dan secara bersama-sama menanggulanginya.

Menurut data dari UNAIDS dan WHO diperkirakan jumlah orang yang terinfeksi HIV (ODHA) di
seluruh dunia sampai sekarang sebanyak 40,3 juta orang, diantaranya 2,3 juta adalah anak-anak dibawah 15
tahun. Pada tahun 2006 ini saja diperkirakan sekitar 4,3 juta orang baru terinfeksi HIV. Untuk tahun 2006
sebanyak 2,6 juta orang meninggal terkait dengan HIV dan AIDS.
Dari data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional mengungkapkan di Indonesia sampai akhir
September 2006 dilaporkan jumlah ODHA sebanyak 4.617 orang dari 6.987 kasus HIV yang terjadi di 32
provinsi. Dari jumlah itu, 1.651 orang atau 23,63% penderita AIDS diantaranya telah meninggal dunia.

Cara penularan AIDS ternyata juga mengalami perubahan sesuai dengan perilaku hidup manusia itu
sendiri yang cenderung meninggalkan kemoralan (sila). Kasus penularan terbanyak (48,9%) adalah melalui
penyalahgunaan Narkoba suntik atau Penasun (IDU = Injecting Drugs User) secara bersama-sama. Selain itu
perilaku seks bebas dikalangan usia produktif meningkatkan jumlah penderita di kalangan tersebut. Dari kasus
HIV/AIDS tercatat 53% kelompok usia 20-29 tahun dan sekitar 25% pada kelompok usia 30-39 tahun.

Melaksanakan Sila

AIDS merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya dalam sejarah manusia dan penyebarannya
begitu cepat. Pada saat ini belum ada obat yang benar-benar mujarab untuk menyembuhkan seseorang dari
penderita AIDS. Satu-satunya langkah yang bisa kita ambil pada saat ini sambil menunggu para ahli kesehatan
menemukan obatnya, adalah menekan atau menghambat penyebaran penyakit ini. Lalu bagaimana caranya?

Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa perilaku hidup manusia juga menentukan penyebaran
AIDS ini. Penyalahgunaan Narkoba suntik secara bersama-sama dan perilaku seks bebas adalah dua perilaku
buruk manusia yang mempercepat dan memperluas penyebaran penyakit ini. Menurut Buddha Dhamma, dua
perilaku buruk ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap sila (kemoralan).

Secara umum ada lima aturan sila yang terdapat dalam Buddhisme bagi setiap orang, yang jika
dilaksanakan akan membawa pada perbaikan kualitas hidup manusia. Kelima aturan sila itu adalah menghindari
membunuh makhluk hidup, menghindari mencuri, menghindari perbuatan seksual yang tidak benar (asusila),
menghindari ucapan yang tidak benar, dan menghindari meminum minuman atau obat yang menyebabkan
lemahnya kesadaran. Seks bebas dan penyalahgunaan Narkoba suntik merupakan bentuk peyimpangan dari sila
ke-3 (perbuatan seksual yang tidak benar/asusila) dan ke-5 (meminum minuman atau obat yang menyebabkan
lemahnya kesadaran).

Dengan menyadari bahwa penyebaran AIDS terjadi karena adanya perilaku manusia yang menyimpang
dari sila, maka adalah hal yang urgent (mendesak) bagi umat manusia untuk kembali dalam kekehidupan yang
bermoral dengan menjaga dan melaksanakan sila khususnya sila ke-3 dan ke-5. Apabila semua orang menyadari
hal ini, maka akan menghambat penyebaran penyakit yang mematikan ini dan mengurangi jumlah penderita
AIDS.

Belas Kasih

HIV/AIDS bukanlah suatu kutukan, ia tidak akan menular hanya melalui sentuhan tangan ataupun
sebuah pelukan dengan ODHA. HIV hanya tertular melalui cairan yang terinfeksi HIV pada ODHA yang masuk
ke dalam tubuh seseorang seperti ludah, darah dan air mani yang hanya bisa terjadi ketika berhubungan seksual
ataupun menggunakan jarum suntik secara bersama-sama.

Mungkin di antara kita ada yang beranggapan bahwa mereka semua yang menderita HIV merupakan
orang-orang yang tidak bermoral. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Dari seluruh ODHA tidak semua
menderita akibat kesengajaannya melakukan tindakan yang menyimpang dari nilai-nilai moral dan yang jelas-
jelas beresiko tertular HIV. Di antara mereka ada anak-anak yang terinfeksi sejak ia berada dalam kandungan
karena salah satu atau kedua orang tuanya mengidap HIV. Selain itu ada juga isteri atau suami yang tertular
karena pasangan hidupnya yang tidak setia dan suka berganti-ganti pasangan.
Dengan demikian tidak ada alasan bagi kita untuk menolak, mengucilkan atau bahkan
mendiskriminasikan seorang penderita AIDS. Menolak, mengucilkan atau bahkan mendiskriminasikan ODHA
bukanlah suatu solusi tetapi justru membuat batin mereka sangat menderita yang mungkin akan mempengaruhi
tindakan dan kesehatan mereka. Yang sangat diperlukan sekarang adalah keperdulian dan belas kasih dari
seluruh lapisan masyarakat terhadap ODHA apapun latarbelakang dan bagaimana ia bisa terkena penyakit
tersebut. Mereka sudah cukup menderita baik secara fisik maupun batin.

Cinta kasih (metta) dan belas kasih (karuna) terhadap para ODHA dapat kita wujudkan dalam berbagai
hal seperti memberi dukungan, semangat bagi keluarga atau teman yang terinfeksi HIV, dan membantu
meningkatkan kesadaran ODHA untuk menjalani perawatan dan pengobatan ODHA baik dirumah sakit,
puskesmas maupun fasilitas berbasis masyarakat lainnya. Dengan cinta kasih dan belas kasih serta dengan
mempraktikan hidup sehat setidaknya dapat memperpanjang usia para ODHA.

Selain itu keperdulian kita untuk mengendalikan HIV/AIDS dapat kita lakukan dengan melakukan
pembicaraan dan penyadaran mengenai HIV/AIDS kepada keluarga dekat dan teman, mencegah penularan
AIDS pada masyarakat khususnya ibu dan bayi, dan yang terpenting adalah dimulai dari kesadaran diri sendiri
dengan tidak melakukan perbuatan yang beresiko menularkan penyakit tersebut

KB (Keluarga Berencana)

Tujuan KB adalah untuk mencapai kesejahteraan keluarga khususnya dan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Bila setiap insan Indonesia yang berkeluarga dapat melaksanakan KB dengan baik, ini berarti pula ia ikut
membantu Pemerintah dalam pembangunan masyarakat Indonesia yang sejahteraMasalah kependudukan dan
Keluarga Berencana belum timbul ketika Buddha Gotama masih hidup. Tetapi kita bisa menelaah ajaran-Nya
yang relevan dengan makna Keluarga Berencana.Kebahagiaan dalam keluarga adalah adanya hidup harmonis
antara suami dan isteri, dan antara orang tua dengan anaknya.

Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah berusaha menimbulkan dan memperkembangkan kesejahteraan
untuk anak-anaknya. Menurut Sigalovada Sutta, ada lima kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang tua,
yaitu :

a. Berusaha untuk menghindarkan anak-anaknya dari kejahatan


b. Mengajarkan mereka untuk berbuat baik.
c. Memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya
d. Menikahkan anak-anaknya dengan pasangan yang sesuai
e. Memberikan warisan kepada anak-anaknya di waktu yang tepat.

Jadinya, bila kita perhatikan isi dari Sigalovada Sutta tersebut KB patut kita laksanakan, karena KB
menimbulkan kesejahteraan keluarga.

Untuk melaksanakan KB ada 8 (delapan) cara, yaitu :

a. KB dengan jalan menelan pil anti hamil atau injeksi dengan obat Depo Provera 150, setiap tiga bulan
sekali, hal ini bertujuan untuk mencegah pematangan sel telur di dalam indung telur.
b. KB dengan jalan memakai kondom, hal ini tertujuan untuk mencegah masuknya sperma kedalam rahim.
c. KB dengan jalan membunuh sperma, hal ini bertujuan untuk mencegah sperma menemui sel telur.
d. KB dengan jalan melakukan vasektomi atau tubektomi, hal ini bertujuan untuk mencegah pertemuan
Sperma dengna Ovum.
e. KB dengan jalan sistem kalender/penanggalan, hal ini bertujuan untuk mencegah matangnya sel telur
didalam indung telur.
f. KB dengan jalan melakukan susuk yang berbentuk anak korek api pada lengan kiri wanita, hal ini
bertujuan untuk mencegah pembuahan pada kandungan wanita. (disebut Susuk KB atau Norplant)
g. KB dengan jalan melakukan abortus/pengguguran, hal ini bertujuan untuk mengeluarkan janin.
h. KB dengan jalan memakai spiral, hal ini mempunyai 2 tujuan, yaitu :
1. Mencegah tumbuhnya janin didalam rahim setelah terjadi pembuahan.
2. Mencegah sperma menemui sel telur

Kehamilan akan terjadi bila dipenuhi tiga syarat, yaitu :

a. Adanya pertemuan Sperma dengan Ovum


b. Saat yang subur dari calon ibu, dan
c. Patisandhi Vinnana memasuki rahim.

Patisandhi Vinnana masuk dalam rahim pada saat pertemuan Sperma dan Ovum, dan keduanya dalam keadaan
kuat/memenuhi syarat.

Pada tahap pertama (Uppadakkhana) Patisandhi Vinnana timbul dalam rahim, Kamma Jarupa ikut timbul pula
sebanyak tiga kalapa, yaitu Kayadasakakalapa, Bhavadasakakalapa dan Vatthudasakakalapa. Kemudian
menyusul timbul rupa-rupa yang lain apabila tiba saatnya.

Jadinya, cara KB bentuk (a) s/d (f) yang tersebut diatas dapat dibenarkan dalam agama Buddha, karena
Patisandhi Vinnana (kesadaran/jiwa/roh yang bertumimbal lahir) belum masuk dalam rahim, hal ini tidak
melanggar sila)

Cara KB bentuk (g) yang tersebut diatas, yaitu abortus/pengguruan TIDAK DIBENARKAN dalam agama
Buddha, karena Patisandhi Vinnana telah masuk dalam rahim, hal ini termasuk pembunuhan penuh dan
melanggar sila.

Cara KB bentuk (h) yaitu memakai spiral masih diragukan mengenai keterangannya, karena para dokter ahli
belum mampu memberikan keterangan secara pasti. Bila memakai spiral tujuannya :

1. Mencegah tumbuhnya janin didalam kandungan setelah terjadi pembuahan, hal ini TIDAK
DIBENARKAN dalam agama Buddha, karena Patisandhi Vinnana telah masuk dalam rahim, ini
termasuk pembunuhan dan melanggar sila.
2. Mencegah Sperma menemui sel telur, hal ini dapat DIBENARKAN dalam agama Buddha, karena
Patisandhi Vinnana belum masuk dalam rahim dan tidak melanggar sila.

Sperma dan Ovum dapat bergerak dan berkembang biak, tetapi keduanya ini tidak dapat disebut makhluk hidup,
sebab menurut agama Buddha Sperma dan Ovum tidak memiliki nama (jiwa/roh). Dalam Kamma Bhumi 11
tidak ada yang disebut makhluk itu tanpa memiliki nama.

Sperma dan Ovum merupakan rupa (materi) yang disebut UTUJARUPAKALAPA (kelompok materi yang
bertemperatur) yang timbul dari Lobhacittuppada (gabungan Lobha Citta dengan Cetasika) kepunyaan pria dan
wanita.Sperma dan Ovum dapat bergerak karena kekuatan Vayo Dhatu (unsur angin/gerak) yang berada dalam
Rupa Kalapa (kelompok materi). Seperti juga dengan cicak yang ekornya dipotong, ekor tersebut tetap
bergerak/bergoyang untuk berapa saat, hal ini bukanlah berati bahwa ekor tersebut memiliki jiwa/roh (nama),
tetapi ekor tersebut dapat bergerak/bergoyang karena kekuatan Vayo Dhatu (unsur angin/gerak) yang berada
dalam Rupa Kalapa (kelompok materi). Sperma dan Ovum dapat berkembang biak karena kekuatan Tejo Dhatu
(unsur panas) yang berada dalam Rupa Kalapa (kelompok materi)
KESIMPULAN

KB dalam pandangan agama Buddha hampir semua diperkenankan asal tidak melanggar, dalam hal ini
adalah termasuk dalam kategori pembunuhan, sehingga selama pemakaian alat kontrasepsi itu cocok/tidak
menimbulkan efek samping bagi pengguna dan pasangannya maka dipersilahkan untuk memilih yang paling
cocok bagi pasangan hidup masing-masing.

También podría gustarte