Está en la página 1de 14

Agama Hindu di Nusantara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Artikel ini adalah bagian dari seri

Agama Hindu

Topik

Sejarah • Mitologi • Kosmologi • Dewa-Dewi

Keyakinan

Brahman • Atman • Karmaphala • Samsara • Moksa • Ahimsa • Purushartha • Maya

Filsafat

Samkhya • Yoga • Mimamsa • Nyaya • Waisesika • Wedanta (Dwaita • Adwaita • Wisistadwaita)

Pustaka

Weda (Samhita • Brāhmana •

Aranyaka • Upanishad) • Wedangga • Purana • Itihasa • Bhagawadgita • Manusmerti •


Arthasastra • Yogasutra • Tantra

Persembahyangan

Puja • Meditasi • Yoga • Bhajan • Upacara • Mantra • Murti

Hari Raya

Dipawali • Nawaratri • Siwaratri • Holi • Janmashtami • Durgapuja • Nyepi

Portal agama Hindu

Agama Hindu di Nusantara (sekarang Indonesia) dipraktikkan oleh 3% dari total populasi Indonesia,
dengan 83,46% di Bali dan 3,78% di Sulawesi Tengah menurut Sensus Penduduk Indonesia 2010.[1]
Setiap warga negara Indonesia wajib menjadi anggota terdaftar dari salah satu komunitas agama
yang diakui pemerintah Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu atau Konghucu).

Daftar isi [sembunyikan]

1 Sejarah

2 Kedatangan agama Hindu dan Buddha di Nusantara

3 Kepercayaan dan praktik umum

4 Hindu Nusantara

4.1 Agama Hindu di Bali

4.2 Agama Hindu di Jawa


4.3 Hindu di tempat lain di Nusantara

5 Hari Raya agama Hindu di Indonesia

6 Perkembangan dan pengakuan

6.1 Konteks politik

6.1.1 Pengakuan resmi

6.1.2 Era Orde Baru

6.2 Konteks sosial

6.3 Konteks ekonomi

7 Statistika

7.1 Sensus Penduduk Indonesia 2000

7.2 Sensus Penduduk Indonesia 2010

7.3 Survei DBH 2012

8 Referensi

9 Pranala luar

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Penduduk asli Kepulauan Nusantara mempraktikkan agama asli animisme dan dinamisme, keyakinan
yang umum bagi orang-orang Austronesia. Pribumi Nusantara menghormati dan memuja roh
leluhur; mereka juga meyakini bahwa sukma dapat menghuni tempat-tempat tertentu seperti
pohon-pohon besar, batu, hutan, pegunungan, atau tempat suci. Entitas tak terlihat yang memiliki
kekuatan supernatural ini diidentifikasi oleh suku Jawa tradisional dan suku Bali sebagai "hyang"
serta oleh suku Dayak sebagai "sangiang" yang dapat berarti "ilahi" atau "leluhur". Dalam bahasa
Indonesia modern, "hyang" cenderung dikaitkan dengan Tuhan, terlebih setelah era Orde Baru.

Kedatangan agama Hindu dan Buddha di Nusantara[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha

Prambanan, Candi Siwa terbesar abad ke-9 dan candi agama Hindu terbesar di Nusantara.

Pengaruh agama Hindu mencapai Kepulauan Nusantara sejak abad pertama dan diketahui berasal
dari India. Ada beberapa teori tentang bagaimana Hindu mencapai Nusantara. Teori Vaishya adalah
bahwa perkawinan terjadi antara pedagang Hindustan (India) dan penduduk asli Nusantara. Teori
lain (Kshatriya) berpendapat bahwa para prajurit yang kalah perang dari Hindustan (India)
menemukan tempat pelipur lara di Nusantara. Ketiga, teori para Brahmana mengambil sudut
pandang yang lebih tradisional, bahwa misionaris menyebarkan agama Hindu ke pulau-pulau di
Nusantara. Terakhir, teori oleh nasionalis (Bhumiputra) bahwa para pribumi Nusantara memilih
sendiri kepercayaan tersebut setelah perjalanan ke Hindustan.[2] Pada abad ke-4, Kerajaan Kutai di
Kalimantan Timur, Tarumanagara di Jawa Barat, dan Kalingga di Jawa Tengah, termasuk di antara
Kerajaan Hindu awal yang didirikan di wilayah Nusantara. Beberapa kerajaan Hindu kuno Nusantara
yang menonjol adalah Mataram, yang terkenal karena membangun Candi Prambanan yang megah,
diikuti oleh Kerajaan Kediri dan Singhasari. Sejak itu Agama Hindu bersama dengan Buddhisme
menyebar di seluruh nusantara dan mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-14. Kerajaan yang
terakhir dan terbesar di antara kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha Jawa, Majapahit, menyebarkan
pengaruhnya di seluruh kepulauan Nusantara.

Kepercayaan dan praktik umum[sunting | sunting sumber]

Acintya adalah Dewa Tertinggi dalam agama Hindu Bali.

Praktisi Agama Hindu Dharma di Indonesia sama-sama berbagi banyak keyakinan Hindu yang umum
seperti :

Sebuah keyakinan dalam satu keberadaan Maha tinggi yang disebut "Ida Sang Hyang Widhi Wasa",
"Sang Hyang Tunggal", atau "Sang Hyang Acintya". Tuhan Yang Maha Esa dalam budaya suku Toraja
dari Sulawesi Tengah dikenal sebagai "Puang Matua" di keyakinan Aluk To Dolo.

Sebuah keyakinan bahwa semua dewa adalah manifestasi dari keberadaan tertinggi tersebut.
Kepercayaan ini sama dengan keyakinan Smartha Sampradaya, yang juga menyatakan bahwa
berbagai bentuk Dewa seperti Brahma, Wisnu, Siwa adalah aspek-aspek yang berbeda dari
keberadaan Maha tinggi yang sama tersebut. Dewa Siwa juga dipuja dalam bentuk lain seperti
halnya "Bhatara Guru" dan "Maharaja Dewa" (Mahadewa) diidentifikasikan erat dengan Matahari
dalam bentuk lokal Hindu atau Kebatinan, dan bahkan dalam dongeng jin Muslim.[3]

Sebuah keyakinan tentang Trimurti, yang terdiri dari :

Brahma, sebagai sang pencipta

Vishnu atau Wisnu, sebagai sang pemelihara

Çiwa atau Siwa, sebagai sang pelebur (kadang pula perusak/penghancur)

Sebuah keyakinan tentang semua Dewa-Dewi Hindu lainnya (Hyang, Dewata dan Batara-Batari)

Kitab suci yang ditemukan di Agama Hindu Dharma adalah Weda. Kitab ini adalah dasar agama
Hindu Bali. Sumber-sumber informasi keagamaan lainnya juga termasuk Purana dan Itihasa
(terutama naskah Ramayana dan Mahabharata).

Salah satu perhatian yang utama tentang kepantasan dalam agama Hindu adalah konsep kemurnian
ritual. Corak penting lain yang membedakan, yang secara tradisional membantu menjaga kemurnian
ritual, adalah pembagian masyarakat ke dalam kelompok-kelompok pekerjaan tradisional, atau
"varna" agama Hindu: Brahmana (pendeta), Kshatriya (penguasa-prajurit, "satriya" atau "Deva"[4]
dalam bahasa Indonesia) , Vaishya (pedagang-petani, "waisya" dalam bahasa Indonesia) , dan Shudra
(jelata-buruh, "sudra" dalam bahasa Indonesia). Seperti Islam dan Buddha, agama Hindu di
Nusantara juga telah sangat dimodifikasi karena menyesuaikan dengan masyarakat Nusantara.
Sistem kasta, meskipun hadir dalam bentuk, tidak pernah secara kaku diterapkan di Nusantara. Epos
Mahabharata (Pertempuran Besar dari Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama),
menjadi tradisi abadi di antara umat Hindu di Nusantara, dinyatakan dalam kesenian wayang kulit
dan seni tari.

Pemerintah Indonesia telah mengakui Hindu sebagai salah satu dari enam agama monoteistik resmi,
bersama dengan Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu atau Konghucu).[5] Namun pemerintah
Indonesia tidak mengakui sistem kepercayaan suku adat sebagai agama resmi. Akibatnya, pengikut
berbagai agama animisme asli seperti Dayak Kaharingan telah mengidentifikasikan diri mereka
sebagai Hindu untuk menghindari tekanan untuk masuk Islam atau Kristen. Beberapa keyakinan suku
adat asli seperti Sunda Wiwitan dari suku Sunda, Aluk To Dolo suku Toraja, dan Parmalim dari suku
Batak - meskipun berbeda dari agama Hindu Bali yang dipengaruhi Hindustan - mungkin mencari
afiliasi dengan agama Hindu untuk bertahan hidup, sementara di saat yang sama juga mencoba
melestarikan perbedaan mereka terhadap aliran utama Hindu Indonesia yan didominasi oleh suku
Bali. Selain itu, kaum nasionalis Indonesia juga telah sangat mengangkat prestasi Kerajaan
Majapahit; sebuah Kerajaan Hindu yang telah membantu menarik orang-orang Indonesia modern
kepada agama Hindu. Faktor-faktor ini telah menyebabkan kebangkitan Hindu yang perlahan di luar
Bali.

Hindu Nusantara[sunting | sunting sumber]

Agama Hindu di Bali[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama Hindu Dharma

Persembahan di Pura Hindu Bali.

Agama Hindu Dharma di Bali adalah agama yang sangat terjalin dengan seni dan ritual, dan lebih
tidak ketat diatur oleh kitab suci, hukum, dan keyakinan. Agama Hindu Bali tidak memiliki
penekanan tradisional agama Hindu pada siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, melainkan
berkaitan dengan banyak sekali "hyang", sukma leluhur. Seperti halnya kebatinan, dewa-dewi ini
dianggap mampu melahirkan kebaikan atau merugikan. Masyarakat Hindu di Bali sangat
menekankan ritual-ritual perdamaian yang dramatis dan estetis terhadap para "hyang". Ritual-ritual
ini dilakukan di situs-situs candi dan pura yang tersebar di seluruh desa dan di pedesaan.

Tempat bersembahyang atau kuil di agama Hindu Bali disebut Pura, dan tidak seperti mandir gaya
Hindustan yang menjulang tinggi dengan ruang interior, kuil Bali dirancang sebagai tempat
bersembahyang di udara terbuka dalam dinding tertutup, dihubungkan dengan serangkaian gerbang
yang dihiasi secara rumit untuk mencapai bagian ruang terbukanya. Masing-masing kuil ini memiliki
keanggotaan yang kurang lebih tetap; dimana setiap orang Bali adalah bagian dari sebuah kuil
berdasarkan keturunan, tempat tinggal, atau wahyu mistis. Beberapa kuil juga terdapat dalam
rumah keluarga (juga disebut "banjar" di Bali), yang lain terletak di sawah, dan yang lain terletak di
lokasi geografis yang terkenal (tebing pantai, gunung, dsb).
Ritualisasi tindakan mengendalikan diri (atau ketiadaan) adalah corak penting dari ekspresi
keagamaan di kalangan masyarakat Hindu Bali, yang karena alasan ini telah menjadi terkenal karena
perilaku anggun dan sopan mereka. Misalnya salah satu upacara penting di sebuah kuil Hindu di
desa memiliki penampilan spesial sendratari (seni drama-tari), pertempuran antara mitos karakter
Rangda sang penyihir (mewakili adharma, seperti ketiadaan keteraturan) dan Barong sang pelindung
(umumnya seperti singa, mewakili dharma), di mana para pemain mengalami kerasukan dan
mencoba menusuk diri dengan senjata tajam (umumnya keris). Drama-tari ini umumnya tampak
selesai tanpa akhir, tidak ada pihak yang menang, karena tujuan utamanya adalah untuk
mengembalikan keseimbangan.

Ritual siklus kehidupan juga merupakan alasan penting bagi ekspresi keagamaan dan tampilan
artistik di warga Hindu Bali. Upacara saat pubertas, pernikahan, dan , terutama kremasi pada saat
kematian memberikan kesempatan bagi warga Hindu Bali untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka
tentang masyarakat, status, dan alam baka. (Industri pariwisata tidak hanya telah mendukung
adanya upacara kremasi yang spektakuler di kalangan warga Bali yang sederhana, tetapi juga telah
menciptakan permintaan yang lebih besar untuk upacara tersebut.)

Seorang pendeta Hindu tidak berafiliasi dengan kuil Hindu manapun, tetapi bertindak sebagai
pemimpin spiritual dan penasehat setiap keluarga di berbagai desa yang tersebar di pulau Bali.
Pendeta Hindu ini dikonsultasi disaat upacara yang memerlukan air suci dilakukan. Pada kesempatan
lain, juru sembuh atau pengobat tradisional dapat disewa.

Agama Hindu Bali juga meliputi keyakinan agama Tabuh Rah, sabung ayam bersifat keagamaan di
mana ayam jago digunakan dalam adat keagamaan dengan memungkinkannya bertarung melawan
ayam jago lain dalam sebuah upacara sabung ayam keagamaan Hindu Bali, sebuah bentuk
persembahan hewan. Pertumpahan darah dalam Tabuh Rah diperlukan sebagai pemurnian untuk
menenangkan roh-roh jahat bhuta dan kala, dan dan untuk memohon hasil panen yang baik. Ritual
sabung ayam ini biasanya berlangsung di luar kuil Hindu dan juga mengikuti ritual yang kuno dan
kompleks sebagaimana tercantum dalam naskah lontar Hindu suci.[6]

Agama Hindu di Jawa[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hindu Jawa

Pura Luhur Poten, Kuil Hindu Jawa suku Tengger di kaki Gunung Bromo, Kaldera Tengger, Jawa
Timur.

Baik Pulau Jawa dan Sumatra telah tunduk pada pengaruh budaya yang besar dari sub benua India
selama milenium pertama dan kedua era Masehi. Bukti-bukti paling awal dari pengaruh Hindu di
Jawa dapat ditemukan dalam prasasti abad ke-4 Tarumanagara yang tersebar di seluruh Jakarta
modern dan Bogor. Pada abad ke-6 dan abad ke-7 banyak kerajaan maritim muncul di Sumatera dan
Jawa yang menguasai perairan di Selat Malaka dan berkembang dengan meningkatnya perdagangan
laut antara Tiongkok dan Hindustan dan selewatnya. Selama periode ini, cendekiawan-cendekiawan
dari Hindustan dan Tiongkok mengunjungi kerajaan-kerajaan maritim tersebut untuk
menerjemahkan teks-teks sastra dan agama.

Dari abad ke-4 sampai abad ke-15 kerajaan Hindu bangkit dan jatuh di Jawa: Tarumanagara,
Kalingga, Medang, Kerajaan Kediri, Kerajaan Sunda, Singhasari dan Majapahit. Era ini dikenal sebagai
Era Klasik Jawa, di mana sastra, seni dan arsitektur Hindu-Buddha berkembang dan menjadi masuk
ke dalam budaya lokal Nusantara di bawah perlindungan keraton Hindu Jawa. Selama periode ini,
banyak kuil Hindu Jawa dibangun, termasuk Candi Prambanan abad ke-9 di dekat Kota Yogyakarta,
yang telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia.

Di antara kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yang paling dianggap penting adalah Majapahit, yang
merupakan kerajaan terbesar dan kerajaan Hindu terakhir yang signifikan dalam sejarah Indonesia.
Majapahit berpusat di Jawa Timur, memerintah sebagian besar dari apa yang sekarang merupakan
Indonesia modern dari sana. Sisa-sisa kerajaan Majapahit bergeser ke Bali pada abad ke-16 setelah
dihancurkan oleh negara-negara Islam di wilayah pesisir Jawa.[7]

Hindu Jawa telah memiliki dampak yang signifikan dan meninggalkan jejak yang jelas dalam seni dan
budaya suku Jawa. Pertunjukan wayang serta tarian Wayang Wong dan tarian klasik Jawa lainnya
yang berasal dari epos Hindu Ramayana dan Mahabharata. Meskipun mayoritas orang Jawa
sekarang mengidentifikasikan diri sebagai Muslim, bentuk seni Hindu Jawa tersebut masih bertahan.
Hindu Jawa telah bertahan dalam berbagai tingkat dan bentuk di Jawa; dalam beberapa tahun
terakhir, konversi ke agama Hindu telah meningkat, terutama di daerah yang mengelilingi sebuah
situs besar agama Hindu Jawa, seperti wilayah Klaten di dekat Candi Prambanan. Kelompok etnis
suku adat tertentu, seperti suku Tengger dan suku Osing, juga terkait dengan tradisi keagamaan
Hindu Jawa.

Hindu di tempat lain di Nusantara[sunting | sunting sumber]

Di antara masyarakat non-Bali yang dianggap termasuk pemeluk Hindu oleh pemerintah Indonesia,
misalnya adalah para penganut agama suku Dayak, Kaharingan di Kalimantan Tengah, di mana
statistik pemerintah mencatat pemeluk Hindu Kaharingan sejumlah 15,8 % dari total populasi pada
1995. Secara nasional, di awal 1990-an pemeluk Hindu di Indonesia hanya mewakili sekitar 2 % dari
populasi.

Banyak orang dari suku Manusela dan suku Nuaulu dari Pulau Seram memeluk kepercayaan Naurus,
sinkretisme agama Hindu dengan unsur-unsur animisme dan Kristen Protestan. Demikian pula, suku
Toraja di Tana Toraja, Sulawesi telah mengidentifikasikan agama animisme mereka sebagai Hindu.

Suku Batak di Sumatera telah mengidentifikasikan tradisi animisme Parmalim mereka dengan Hindu
.
Warga Tamil di Sumatera dan India di Jakarta mempraktikkan bentuk Hindu mereka sendiri, yang
mirip dengan Hindu India. Orang India merayakan hari raya Hindu yang lebih umum ditemukan di
India, seperti Deepawali.[8]

Kepercayaan Bodha suku Sasak di Pulau Lombok adalah non-Muslim; agama mereka merupakan
perpaduan Hindu dan Buddha dengan animisme, kepercayaan ini dianggap termasuk ke dalam
agama Buddha oleh pemerintah Indonesia.

Hari Raya agama Hindu di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Simbol "Om" dalam agama Hindu Dharma Bali.

Hari Raya Galungan - Galungan terjadi setiap 210 hari dan berlangsung selama 10 hari. Hari raya ini
merayakan kedatangan para dewa dan hyang (leluhur) ke bumi untuk tinggal lagi di rumah
keturunan mereka. Perayaan ditandai dengan persembahan, tarian dan pakaian baru. Para hyang
harus terhibur dan disambut secara layak, dan doa-doa dan persembahan harus dipersembahkan
untuk mereka. Keluarga-keluarga yang para leluhurnya belum dikremasi, tetapi masih dimakamkan
di pemakaman desa, harus membuat persembahan di kuburan mereka. Kuningan adalah hari
terakhir liburan ini, ketika para dewa dan hyang berangkat pergi hingga hari raya Galungan
berikutnya.

Hari Raya Saraswati - Saraswati adalah dewi pengetahuan, sains, dan sastra. Dia menguasai dunia
intelektual dan kreatif, dan merupakan dewi pelindung perpustakaan dan sekolah. Pemeluk Hindu
Bali percaya bahwa pengetahuan adalah media penting untuk mencapai tujuan hidup sebagai
manusia, dan begitu menghormati Dewi Saraswati. Dia juga dirayakan karena berhasil menjinakkan
pikiran yang selalu mengembara dan penuh nafsu dari kekasihnya, Brahma, yang disibukkan oleh
dewi eksistensi material, Shatarupa. Pada hari tersebut, tidak ada yang diperbolehkan untuk
membaca atau menulis, dan persembahan dilakukan kepada lontar (naskah lontar), buku , dan kuil-
kuil.

Hari Saraswati diperingati setiap 210 hari pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung dan menandai
awal tahun baru menurut kalender Pawukon Bali. Upacara dan doa-doa diadakan di kuil-kuil di
halaman keluarga, desa dan tempat bisnis dari pagi sampai tengah hari . Doa-doa juga diadakan di
sekolah atau kuil Hindu lainnya di sekolah. Guru dan siswa tidak mengenakan seragam biasa, namun
gaun upacara cerah yang berwarna-warni, mengisi pulau Bali dengan aneka warna. Anak-anak
membawa bebuahan dan kue tradisional ke sekolah sebagai persembahan di kuil Saraswati.[9]

Hari Raya Nyepi - Nyepi adalah hari keheningan Hindu atau Tahun Baru Hindu dalam kalender Saka
Bali. Perayaan terbesar diadakan di Bali maupun di masyarakat Hindu Bali di tempat lain di
Indonesia. Pada malam tahun baru desa dibersihkan, berbagai masakan dimasak selama dua hari
dan di malam hari sebanyak mungkin kebisingan dibuat untuk menakut-nakuti roh jahat. Pada hari
berikutnya, umat Hindu Bali tidak meninggalkan rumah mereka, memasak atau melakukan kegiatan
apapun. Jalan-jalan sepi, dan wisatawan tidak diperbolehkan untuk meninggalkan kompleks hotel.

Hari Nyepi ditentukan dengan menggunakan kalender Bali (lihat di bawah), hari Nyepi jatuh pada
malam bulan baru setiap kali terjadi sekitar bulan Maret / April setiap tahunnya. Oleh karena itu,
tanggal Hari Nyepi berubah setiap tahunnya, dan tidak ada jumlah konstan perbedaan hari antara
masing-masing Nyepi seperti Galungan atau Kuningan. Untuk mengetahui kapan Nyepi jatuh pada
tahun tertentu, dibutuhkan informasi tentang siklus bulan dalam tahun tersebut. Setiap kali bulan
baru terjadi di antara pertengahan Maret dan pertengahan April, malam tersebut akan menjadi
malam kegiatan besar dan pengusiran roh jahat di seluruh pulau Bali, sedangkan hari berikutnya
akan menjadi hari damai dan tenang total, di mana segala sesuatu berhenti selama sehari .

Perkembangan dan pengakuan[sunting | sunting sumber]

Konteks politik[sunting | sunting sumber]

Walaupun banyak orang Jawa yang mempertahankan aspek tradisi adat dan Hindu Jawa mereka
melewati berabad-abad pengaruh Islam di bawah bendera "agama Kejawen" atau juga "Islam Jawa"
non-ortodoks (abangan),[10], hanya sebagian kecil dari masyarakat Jawa yang terisolasi lah yang
secara konsisten menegakkan Hindu Jawa sebagai tanda utama dari identitas publik mereka. Salah
satu yang termasuk dari masyarakat adat kecil ini adalah orang-orang pelosok suku Tengger yang
tinggal di dataran tinggi Tengger di Provinsi Jawa Timur.[11]

Pengakuan resmi[sunting | sunting sumber]

Mengakui agama seseorang sebagai Hindu secara resmi tidaklah mungkin secara hukum di Indonesia
hingga tahun 1962, ketika agama Hindu menjadi agama ke-5 yang diakui negara. Pengakuan ini
awalnya diperjuangkan oleh organisasi-organisasi keagamaan Bali dan diberikan demi warga Bali
yang mayoritasnya adalah pemeluk agama Hindu. Yang terbesar dari organisasi-organisasi ini adalah
Parisada Hindu Dharma Bali, berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pada
tahun 1964, yang mencerminkan upaya-upaya selanjutnya untuk mendefinisikan Hindu tidak hanya
sebagai kepentingan Bali tetapi juga nasional.[12]

Identitas agama menjadi isu hidup dan mati bagi banyak orang Indonesia di sekitar waktu yang sama
saat agama Hindu akhirnya mendapat pengakuan, ketika peristiwa pembantaian komunis 1965-1966
terjadi. Orang yang tidak mengafiliasikan diri dengan salah satu agama yang diakui negara cenderung
dicurigai sebagai komunis.[13] Meskipun mendapat banyak ketidakuntungan bila bergabung dengan
agama minoritas nasional, keprihatinan yang mendalam bagi pelestarian agama leluhur tradisional
mereka membuat beberapa kelompok etnis di luar pulau membuat Hindu sebagai pilihan yang lebih
cocok selain Islam.

Pada awal tahun 1970-an, orang-orang suku Toraja dari Sulawesi adalah yang pertama untuk
mewujudkan kesempatan tersebut dengan mencari perlindungan bagi agama nenek moyang
pribumi mereka di bawah payung 'Hindu' Indonesia yang besar, diikuti oleh suku Karo dari Sumatera
pada tahun 1977.[14]

Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, sebuah gerakan Hindu besar telah berkembang di
kalangan penduduk suku Dayak pribumi setempat yang mengarah ke sebuah deklarasi massal
'Hindu' di pulau ini pada tahun 1980. Namun, konversi ke 'Hindu' tersebut mengikuti pembagian
etnis yang jelas. Adat Dayak pribumi berhadapan dengan populasi migran yang sebagian besar
Muslim yang disponsori pemerintah (terutama suku Madura), dan sangat tidak menyukai
perampasan tanah dan sumber daya alam nenek moyang mereka. Dibandingkan dengan rekan-rekan
mereka di pemeluk Hindu Jawa, banyak pemimpin suku Dayak pribumi yang juga lebih prihatin
terhadap upaya Parisada Hindu Dharma Bali untuk membakukan praktik ritual Hindu secara
nasional, khawatir hal ini akan berimbas pada berkurangnya tradisi unik 'Hindu Kaharingan' mereka
sendiri dan dominasi budaya asing yang semakin panjang.

Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa lambat dalam mempertimbangkan Hindu pada saat itu, tidak
mempunyai organisasi jelas dalam hal agama secara etnis karena takut adanya pembalasan dari
organisasi Islam Jawa yang kuat secara lokal seperti Nahdatul Ulama (NU). Sayap pemuda NU telah
aktif dalam penganiayaan, tidak hanya bagi para terduga komunis tetapi juga elemen 'Kejawen' atau
'anti-Islam' dalam Partai Nasionalis Indonesia (PNI) Soekarno selama fase awal dari pembantaian
komunis berdarah 1965-1966.[11] Sehingga para praktisi tradisi mistis 'Kejawen' merasa terpaksa
menyatakan diri mereka sebagai Muslim karena kekhawatiran terhadap keselamatan mereka.

Era Orde Baru[sunting | sunting sumber]

Pertimbangan para praktisi 'Kejawen' untuk meninggalkan tradisi mereka demi bertahan hidup di
sebuah negara Islam segera terbukti tidak benar. Penerus Presiden Soekarno, Soeharto, mengadopsi
pendekatan nonsektarian (non-agama) yang jelas dalam apa yang disebutnya era Orde Baru. Namun
ketakutan lama mereka muncul kembali kala Soeharto secara resmi merangkul Islam pada 1990-an.
Awalnya Soeharto adalah pembela kuat nilai-nilai tradisi 'Kejawen', namun Soeharto mulai membuat
penawaran-penawaran pada kaum Muslim pada waktu itu, karena goyahnya dukungan publik dan
militer pada pemerintahannya.

Sebuah sinyal kuat untuk hal tersebut adalah otorisasi dan dukungan pribadi dari Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), sebuah organisasi baru yang para anggotanya secara terbuka
mempromosikan Islamisasi negara dan masyarakat Indonesia.[15] Kekhawatiran mereka semakin
tumbuh ketika ICMI menjadi faksi sipil yang dominan dalam birokrasi nasional Indonesia, dan
memulai program-program pendidikan Islam dan masjid secara besar-besaran melalui Departemen
Agama, sekali lagi membidik benteng-benteng tradisi 'Kejawen'. Sekitar waktu yang sama, terjadi
serangkaian pembunuhan oleh massa Muslim ekstrimis terhadap orang-orang yang diduga
mempraktikkan metode penyembuhan tradisional Jawa dengan cara magis. Dalam hal afiliasi politik,
kebanyakan praktisi 'Kejawen' kontemporer dan pemeluk-pemeluk baru agama Hindu telah menjadi
anggota PNI lama, kemudian bergabung dengan partai nasionalis baru Megawati Soekarnoputri,
puteri dari Soekarno.
Konteks sosial[sunting | sunting sumber]

Kuil Hindu yang didirikan untuk menghormati Prabu Siliwangi di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta,
Bogor, Jawa Barat.

Parisada Hindu Dharma berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia pada tahun 1984,
dipelopori oleh Gedong Bagus Oka, sebagai pengakuan atas pengaruh agama Hindu Nusantara
terhadap Indonesia.

Sebuah corak yang umum di antara komunitas Hindu baru di Jawa adalah bahwa mereka cenderung
terpusat di sekitar pura agama Hindu yang baru dibangun atau di sekitar situs candi arkeologi yang
direklamasi sebagai tempat ibadah agama Hindu. Salah satu dari beberapa candi Hindu baru di Jawa
Timur adalah Pura Mandaragiri Semeru Agung, yang terletak di lereng Gunung Semeru, gunung
tertinggi di Jawa. Pura ini selesai dibangun pada bulan Juli 1992, dengan bantuan dana dari
dermawan-dermawan Bali, dan perlahan mengembangkan jumlah masyarakat Hindu setempat di
sekitar lokasi Pura tersebut. Perkembangan serupa juga terjadi di wilayah sekitar Pura Agung
Blambangan, kuil baru lain yang dibangun di atas sebuah situs arkeologi kecil yang dikaitkan dengan
kerajaan Blambangan, salah satu kerajaan Hindu terakhir di Jawa. Sebuah situs penting yang lain
adalah Pura Loka Moksa Jayabaya di desa Menang dekat Kediri, di mana Jayabaya, seorang suci dan
juga raja diyakini telah mencapai moksa.

Sebuah perkembangan lain dalam tahap awal dapat ditemukan di sekitar Pura Pucak Raung yang
baru (di wilayah Glenmore di Banyuwangi, Jawa Timur), yang disebutkan dalam sastra Bali sebagai
tempat di mana orang suci Hindu Maharishi Markandeya mengumpulkan pengikut untuk ekspedisi
ke Bali, dimana ia dikatakan telah membawa agama Hindu ke pulau Bali pada abad ke-5 Masehi.

Sebuah contoh dari kebangkitan Hindu di sekitar situs arkeologi candi Hindu kuno juga ditemukan di
Trowulan dekat Mojokerto. Situs ini diyakini sebagai lokasi ibu kota kerajaan Hindu-Buddha
Majapahit. Di Trowulan, sebuah gerakan Hindu lokal berupaya untuk mendapatkan bangunan candi
yang baru digali untuk dipulihkan sebagai tempat persembahyangan Hindu seperti dahulu kala.
Candi tersebut akan didedikasikan untuk menghormati Gajah Mada, tokoh yang dikenal telah
mengubah kerajaan Hindu Majapahit yang kecil menjadi sebuah kerajaan besar di Nusantara.

Di wilayah kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Candi Cetho abad ke-14 yang telah direnovasi di
lereng Gunung Lawu telah menjadi pusat dari Hindu Jawa dan mendapat kunjungan dari keluarga
kerajaan dan Hindu Bali. Sebuah candi baru sedang dibangun di bagian Timur Solo (Surakarta) Ini
adalah candi Hindu yang memiliki miniatur dari 50 situs Hindu suci di seluruh dunia.[16] Ini juga
merupakan pusat meditasi yoga kundalini, mengajar tradisi Jawa meditasi matahari dan air.
Meskipun di Jawa Timur telah ada sejarah yang lebih jelas tentang perlawanan terhadap Islamisasi,
masyarakat Hindu juga berkembang di Jawa Tengah,[11] misalnya di Klaten, di dekat Candi Hindu
kuno Prambanan. Hari ini Candi Prambanan menggelar berbagai upacara Hindu tahunan dan festival
seperti Galungan dan Nyepi.

Di Jawa Barat, Pura Parahyangan Agung Jagatkarta dibangun di lereng Gunung Salak di dekat lokasi
bersejarah ibu kota Kerajaan Sunda Galuh, Pakuan Pajajaran di Bogor. Candi ini dijuluki sebagai candi
Hindu Bali terbesar yang pernah dibangun di luar Bali, dimaksudkan sebagai candi utama bagi
penduduk Hindu Bali di wilayah Jabodetabek. Namun, karena candi ini berdiri di tempat suku Sunda
yang suci, dan juga menjadi tempat persemayaman sebuah kuil untuk menghormati raja Sunda yang
terkenal, Prabu Siliwangi, situs ini telah mendapatkan popularitas di kalangan penduduk setempat
yang ingin menghubungkan diri kembali dengan nenek moyang mereka.

Konteks ekonomi[sunting | sunting sumber]

Di Bali, di samping keindahan alam, festival Hindu yang rumit, budaya yang kaya, warna-warni seni
dan tarian hidup adalah atraksi utama dari pariwisata Bali. Karena hal ini, industri jasa pariwisata dan
perhotelan berkembang sebagai salah satu sumber mata pencaharian yang paling penting dari
pendapatan ekonomi warga Bali. Kondisi ini berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, di mana
populasi Hindu tidak signifikan atau tidak ada, yang menyimpulkan bahwa budaya Hindu Bali dan
ritual agama Hindu Bali yang beraneka telah berkontribusi sangat besar terhadap perekonomian
Indonesia dan warga Bali.

Statistika[sunting | sunting sumber]

Sensus Penduduk Indonesia 2000[sunting | sunting sumber]

Menurut Sensus Penduduk Indonesia 2000, pemeluk agama Hindu Indonesia terdiri 1,79% dari total
penduduk (Turun dari 1,81% pada tahun 1990) dengan 88,05% di Bali (Turun dari 93,18% tahun
1990) dan 5,89% di Kalimantan Tengah (Turun dari 15,75% pada tahun 1990). Penurunan di Bali
sebagian besar disebabkan oleh angka kelahiran yang lebih rendah dan besarnya arus imigrasi
Muslim dari Jawa. Sedangkan di Kalimantan Tengah dikarenakan banyaknya pemukiman
transmigrasi progresif suku Madura Muslim dari Madura.[17][18][19][20] Rincian diberikan di bawah
ini:

Provinsi (saat 2000) Hindu Total % Hindu

Sumatera Utara 18,907 11,429,919 0.17%

Sumatera Barat 0 4,220,318 0.00%

Riau 4,385 4,676,025 0.09%

Jambi 410 2,386,866 0.02%

Sumatera Selatan 17,874 6,756,564 0.26%


Bengkulu 2,033 1,396,687 0.15%

Lampung 95,458 6,631,686 1.44%

Bangka Belitung76 945,682 0.01%

DKI Jakarta 19,331 8,482,068 0.23%

Jawa Barat 8,177 35,279,182 0.02%

Jawa Tengah 28,677 30,775,846 0.09%

D.I. Yogyakarta 2,746 3,026,209 0.09%

Jawa Timur 92,930 34,456,897 0.27%

Banten 5,498 7,967,473 0.07%

Bali 2,740,314 3,112,331 88.05%

Nusa Tenggara Barat 115,297 3,805,537 3.03%

Nusa Tenggara Timur 5,698 3,904,373 0.15%

Kalimantan Barat 2,914 3,721,368 0.08%

Kalimantan Tengah 105,256 1,785,875 5.89%

Kalimantan Selatan 6,288 2,956,784 0.21%

Kalimantan Timur 3,221 2,414,989 0.13%

Sulawesi Utara 10,994 1,972,813 0.56%

Sulawesi Tengah 99,443 2,053,167 4.84%

Sulawesi Selatan 87,660 7,759,574 1.13%

Sulawesi Tenggara 52,103 1,755,193 2.97%

Gorontalo 0 833,720 0.00%

Irian Jaya 2,068 2,094,803 0.10%

Indonesia 3,527,758 196,601,949 1.79%

Sensus Penduduk Indonesia 2010[sunting | sunting sumber]

Menurut Sensus Penduduk Indonesia 2010, ada total 4.012.116 umat Hindu di Indonesia.[21]

Provinsi (saat 2010) Total Hindu % Hindu 2010 % Hindu 2000 Perubahan

Indonesia 237,641,326 4,012,116 1.69% 1.79%

Aceh 4,494,410 136 0.00% 0.01% -0.01%

Sumatera Utara 12,982,204 14,644 0.11% 0.17% -0.06%

Sumatera Barat 4,846,909 234 0.00% 0.00% 0.00%


Riau 5,538,367 1,076 0.02% 0.09% -0.07%

Jambi 3,092,265 582 0.02% 0.02% 0.00%

Sumatera Selatan 7,450,394 39,206 0.53% 0.26% 0.27%

Bengkulu 1,715,518 3,727 0.22% 0.15% 0.07%

Lampung 7,608,405 113,512 1.49% 1.44% 0.05%

Bangka Belitung1,223,296 1,040 0.09% 0.01% 0.08%

Kepulauan Riau 1,679,163 1,541 0.09% 0.37% -0.28%

DKI Jakarta 9,607,787 20,364 0.21% 0.23% -0.02%

Jawa Barat 43,053,732 19,481 0.05% 0.02% 0.03%

Jawa Tengah 32,382,657 17,448 0.05% 0.09% -0.04%

DI Yogyakarta 3,457,491 5,257 0.15% 0.09% 0.06%

Jawa Timur 37,476,757 112,177 0.30% 0.27% 0.03%

Banten 10,632,166 8,189 0.08% 0.07% 0.01%

Bali 3,890,757 3,247,283 83.46% 88.05% -4.59%

Nusa Tenggara Barat 4,500,212 118,083 2.62% 3.03% -0.41%

Nusa Tenggara Timur 4,683,827 5,210 0.11% 0.15% -0.04%

Kalimantan Barat 4,395,983 2,708 0.06% 0.08% -0.02%

Kalimantan Tengah 2,212,089 11,149 0.50% 5.89% -5.39%

Kalimantan Selatan 3,626,616 16,064 0.44% 0.21% 0.23%

Kalimantan Timur 3,553,143 7,657 0.22% 0.13% 0.09%

Sulawesi Utara 2,270,596 13,133 0.58% 0.56% 0.02%

Sulawesi Tengah 2,635,009 99,579 3.78% 4.84% -1.06%

Sulawesi Selatan 8,034,776 58,393 0.73% 1.13% -0.40%

Sulawesi Tenggara 2,232,586 45,441 2.04% 2.97% -0.93%

Gorontalo 1,040,164 3,612 0.35% 0.00% 0.35%

Sulawesi Barat 1,158,651 16,042 1.38% 1.88% -0.50%

Maluku 1,533,506 5,669 0.37% NA 0.00%

Maluku Utara 1,038,087 200 0.02% 0.02% 0.00%

Papua Barat 760,422 859 0.11% 0.68% -0.57%

Papua 2,833,381 2,420 0.09% 0.16% -0.07%

Survei DBH 2012[sunting | sunting sumber]


Organisasi agama Hindu di Indonesia, Ditjen Bimas Hindu (DBH) melakukan survei berkala melalui
hubungan dekat dengan masyarakat Hindu di seluruh Indonesia. Pada tahun 2012 penelitian
independen mereka menemukan bahwa terdapat 10.267.724 pemeluk Hindu di Indonesia.[22]
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) bersama dengan beberapa kelompok agama minoritas
lainnya mengklaim bahwa pemerintah Indonesia mengurangi jumlah hitungan warga negara
Indonesia non-Muslim dalam hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010.[23] Sensus Penduduk
Indonesia 2010 mencatat jumlah umat Hindu adalah 4.012.116, sekitar 80% dari jumlah tersebut
berdomisili di Bali.[21]

. Diakses tanggal 14 Desember 2013.

También podría gustarte