Está en la página 1de 56

Kommentar ini bisa dikombinasikan dengan kommentar yang saya kirim

kemarin 

PROYEK KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU)DI INDONESIA

MEMISKINKAN SI MISKIN

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur

Jakarta, 2016

I. PENDAHULUAN

1. Pembangunan yang mengedepankan tingkat pertumbuhan ekonomi, telah menciptakan


kesenjangan antara desa dan kota. Kota menjadi pusat pertumbuhan, yang menarik penduduk
desa untuk berpindah ke wilayah kota (urbanisasi). Akibatnya terjadi kemiskinan di perkotaan
dan terbentuk wilayah-wilayah tidak layak huni atau biasa disebut dengan kumuh.Kegagalan
pemerataan pembangunan ini nampak dari dari hasil sensus Biro Pusat Statistik (BPS), 4.508
desa/kelurahan dikategorikan wilayah tidak layak huni atau kumuh 1 dan Dirjen Cipta Karya
mengidentifikasinya 22% dari penduduk perkotaan di Indonesia (sekitar 29 juta orang) tinggal di
38.431 hektare (ha) luas wilayahjumlah sekitar 22% dari penduduk perkotaan di Indonesia
(sekitar 29 juta orang) tinggal di 38.431 hektare (ha) luas wilayah yang tidak layak huni dengan
tingkat akses yang rendah terhadap pelayanan dasar, seperti air bersih, sanitasi, listrik, dan
pembuangan limbah rumah tangga2(sumber data??).

2. Menyadari dampak pembangunan tersebut, negara mengupayakan berbagai kebijakan


pengentasan kemiskinan, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pada
periode 2007-2015, yang mengintegrasikan dua program yaitu Program Pengembangan
Kecamatan(PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).Dan
Pemerintahan Presiden Jokowi, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019, mencanangkan “Program 100-0-100, yaitu 100 persen akses air minum, 0
permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi, yang akan selesai pada tahun 2019. Untuk
perkotaan disusunProgram Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) sebagai platform nasional yang
dibiayai oleh berbagai sumber, termasuk pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, masyarakat,
dan juga lembaga pendanaan multilateral.

1Wilayah pemukiman kumuh, https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1762


2Program KOTAKU Merupakan Upaya Strategis dalam Percepatan Penanganan Kawasan
Kumuhhttp://ciptakarya.pu.go.id/v3/web3/news.php?id=5809

1
3. Secara finansial Program KOTAKU ini,secara finansial telah dianggarkan ikutkan dalam
Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (RAPBN) 2017.3 Dalam Merujuk
padadokumen Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2017, alokasi anggaran untuk fungsi
perumahan dan fasilitas umum dalam RAPBN tahun2017 adalah sebesar Rp32.773,9 miliar
rupiah. Jumlah ini menunjukkan penurunan sebesar 4,6persen jika dibandingkan dengan
alokasinyapada APBNP tahun 2016 sebesar Rp34.340,7miliar rupiah. Alokasi anggaran pada
fungsi tersebut utamanya dimanfaatkan untuk mendukungpencapaian agenda prioritas
pembangunan nasional di bidang perumahan dan pemukiman.4

4.

5.
6. Arah kebijakan dan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam rangka
melaksanakanfungsi perumahan dan fasilitas umum pada tahun 2017 antara lain: (1)
meningkatkan akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian baru yang layak,
aman, dan terjangkau melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan, bantuan
stimulan pembangunan rumah swadaya serta penciptaan iklim yang kondusif dalam
penyediaan perumahan;(2) meningkatkan kualitas hunian dan permukiman bagi
mMasyarakat bBerpenghasilan rRendah (MBR) melalui bantuan stimulan perumahan
swadaya, penyediaan prasarana, sarana dan utilitas, penyelesaian rencana penanganan
kawasan kumuh dalam rangka pencegahan dan penanganan permukiman kumuh; (3)
meningkatkan akses air minum dan sanitasi yang layak melalui sinergi pembangunan
infrastruktur, penerapan manajemen layanan terpadu,serta peningkatan keterlibatan dan
perubahan perilaku masyarakat; dan (4) menjamin ketahanan air melalui pembangunan
dan pengelolaan infrastruktur air baku dan sanitasi,serta optimalisasi sistem existing air
minum dan pelaksanaan bsaluran air5.Dengan . (sumber ??)
7.
8. Ssasaran umum pembangunan yang diharapkan dapat dicapai dari fungsi perumahan dan
fasilitas umum pada tahun 2017, diantaranya yaitu: (1) meningkatnya akses MBR
terhadaphunian layak melalui pembangunan 11.400 unit rumah susun sewa; (2)
meningkatnyaakses terhadap layanan air minum dan sanitasi yang layak dan berkelanjutan
melalui pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) sebanyak 872.290
sambunganrumah; dan (3) berkurangnya kawasan permukiman kumuh melalui pemenuhan
kebutuhan hunian dan permukiman yang layak seluas 17.668 ha.6(sumber ?)
9.
10.
11.
12.
13. Oleh karenanya, setiap titik-titik daerah yang akan dijadikan proyek KOTAKU akan
massif dilaksanakan pada akhirntahun 2016 dan awal 2017.

3Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2017 halaman II.4-12,


http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/Publikasi/NK%20APBN/2016%20NK%20RAPBN%202017.pdf,
diakses pada 2 September 2016, halaman II.4-12
4Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2017 halaman II.4-12,
http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/Publikasi/NK%20APBN/2016%20NK%20RAPBN%202017.pdf,
diakses pada 2 September 2016, halaman II.4-12
5Ibid, halaman II.4-12
6ibid

2
14.

15.

16.
17. Dan pada 12 Juli 2016, ,Badan Direksi Bank Dunia telah menyetujui hutang pemerintah
Indonesia sebesar $216.5 juta atau setara dengan 2,814 trilyun rupiah, yang juga diputuskan
akan didukung oleh Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) lewat hutang dengan jumlah
yang sama yaitu $216,5 juta atau setara dengan 2,814 trilyun rupiahuntuk mendukung
program Kotaku(National Slum Upgrading Project/NSUP). Dengan demikian pembiayaan
oleh Bank Dunia dan AIIB berjumlah $333 juta atau setara 5,628 trilyun rupiah (1 USD =
Rp. 13.000). Dan skema pembiayaan bersama imni merupakan kerjasama pertama antara
AIIB dan Bank Dunia untuk lima tahun ke depan. 7 Dan menjadi Projek pertama AIIB di
Indonesia, dimana Indonesia menjadi pemegang saham nomor 8 (dari 10 pemegang saham
tertinggi) dan berharap menjadi klien terbesar di AIIB.Oleh karena itu, menjadi sangat penting
untuk memberikan perhatian kepada semua aspek dalam program ini, termasuk dampak terhadap
lingkungan hidup dan masyarakat, karena proyek ini bisa merupakan contoh untuk semua proyek
berikutnya yang akan didukung oleh AIIB, atau di “co-finance” oleh BD dan AIIB, dan juga
bukan hanya di Indonesia.
18.
19.

20. Program Kotaku tersebut baik oleh Bank Dunia maupun AIIB dinilai sebagai program yang ambisius.
Perlu dicatat bahwa projek ini merupakan:
(a)
Proyek pertama yang diresmikan oleh AIIB sejak pendiriannya.
(b);
Projek pertama yang di co-finance oleh BD dan AIIB bersama;
(c)

Projek pertama dari AIIB di Indonesia, dimana Indonesia menjadi pemegang saham nomor 8
(darialam Top 10 pemegang saham tertinggi) dan berharap menjadi klien terbesar di AIIB.

Oleh karena itu, menjadi Makanya sangat penting untuk memberikan perhatian kepada memfokus
tentang semua aspek dalam program ini, termasuk dampak terhadap lingkungan hidup dan
masyarakat, dari proyek ini karena dampak proyek ini bisa merupakan contoh untuk semua
proyek yang berikutnya yang akan didukung oleh AIIB, atau di “co-finance” oleh BD dan AIIB,
dan jugabukan hanya di Indonesia.

7Indonesia: National Slum Upgrading Project (Co-financed with the World Bank),Project Summary Information
(PSI), http://www.aiib.org/html/2016/PROJECTS_0601/114.html, diakses 20 September 2016

3
Dokumentasi proyek. Di website Bank Dunia dari 13 dokumen tentang proyek Indonesia Urban
Slum Upgrading Poject,yang diunggah posting tentang proyek Indonesia Urban Slum Upgrading
project, termasuk aAssessment dDampak Ssosial, Rencana Penggusuran (Resettlement Plan),
Rencana Masyrakat Adat (Indigenous People’s Plan), semua dokumen disusun adalah dalam
Bahasa Inggeris8. Dan i website di website AIIB hanya ada dua dokumen singkat (3 halaman dan
16 halaman) tentang proyek NSUP dan keduanya adalah dalam Bahasa Inggeris. 9Ini Bberarti
kedua lembaga tidak memenuhi hak akses terhadap informasi atas sebuah proyek dalam sebuah
bahasa yang bisa dimengerti oleh masyarakat yang akan terkena dampak proyek.

Dan
Mmenurut dokumentasi Bank Dunia (dalam Bahasa Inggeris), proyek ini akan berdampak luas terhadap 154 3
kota dan 1 propinsi DKI Jakarta, termasuk kota-kota di Papua dan tempat lain, dimana
diidentifikasikanterdapat yang ada penduduk masyarakat adat(indegenous people). Menurut dokcument
tentang proyek ini di website Bank Dunia:
“OP 4.10 Indigenous Peoples. Based on the World Bank IP Screening Study (2010), IPs are
presentin five areas where the project may be active: the Districts of Sumba Barat (East
Nusa Tenggara),Toli-Toli (Central Sulawesi), Gorontalo (Gorontalo Province), and
Manokwari (West Papua), andthe City of Palopo (South Sulawesi).”10
Maka dalam konteks ini, dokumen-dokumen projek harus dipahami oleh bahasa yang dimengerti
oleh masyarakat adat setempat, yang umumnya masih menggunakan bahasa ibu.

Konsultasi Palsu

21. Sepertinyasemakin biasa dan tidak menjadi proses pembelajaran bahwa dalam proyek yang didanai
oleh Bank Dunia delalu dan yang diimplementasikan oleh Instansi Pemerintah Indonesia, proyek ini
diwarnai dengan ke tidakadanya proses Kkonsultasi Ppublik. Yang dilakukan untuk proyek NSIP ini yang
akan berdampak terhadap 154 kota, termasuk masyarakat adat adalah pada Januari 2016, mengadakan –
atas nama “konsultasi para pemangku kepentingan”( “stakeholder consultation”)diadakan sebuah
pertemuan kecil yang diadakan dikantor Kemienterian Pekerjaan Umum&dan Perumahan Rakyat
(PUPR)danyang dihadiri dengan 26 pesertanghadir, termasuk wakil dari Kementerian PUPR, instansi
lain, ckonsultan pas sebelum ESMF “disusun kembali” dan diterbitkan kembali pada Februari 2016. 11
Hanya satuLSM yang disebutkan hadir namakan dalam laporannya dan tidak ada penjelasan jelas dari
26 peserta rapat, nghadir berapa jumlah perwakilan dari adalah orang PUPR, instansi lain, konsultan
proyek, ataupun staff Bank Dunia. Rupanya tTopik diskusi termasuk “how to deal with the squatter issue
and customary lands”12 Dari notulensi tentang pertemuan ini, tidak dijelaskan apakah yang diskusikan
“masalah ‘squatter’” dataun “masalah tanah adat” .diskusikan.mMemang terdapat adalah masyarakat
adat sendiri atau orang yang digolongkan sebagai “squatter” yang t tidak memilikipunya hak tanah atau
didiskusikan oleh yang ingin mengambil/mendapatkan tanah dari pihak “squatter” atau tanah adat untuk
proyek ini. (Notulensi dari “Konsultasi” menjadi ini dilampirkan 1 sebagai Annex di dalam tulisan ini.)

8 http://www.worldbank.org/projects/P154782/?lang=en&tab=documents&subTab=projectDocuments
9/25/16
9 http://euweb.aiib.org/html/2016/PROJECTS_0601/114.html 9/25/16
10 ESMF, halaman 18
11 ESMF, Annex 3: Results of Stakeholders Consultation, SFG177REV, Februari 2016 (terlampir sebagai
Annex di laporan ini)
12 ibid

4
22. Dan bagi masyarakat sipil program Kotaku ambisius tersebut ini berpotensi melanggar hak-hak
dasar warga negara, dan menyebabkan penduduk termiskin menjadi lebih miskin dari
sebelumnya. Pendekatan top-up, mengedepankan pendekatan legalistik formal dan keamanan
akan melanggar hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak serta hak atas rasa aman. Demikian pula akuntabilitas dan transparansi pengelolaan projek
berpotensi tingginya tingkat korupsi, yang akan mempengaruhi kualitas dan efektifitas program
itu sendiri. Tulisan ini akan membahas : (1) Proyek Kota Tanpa Kumuh dengan Menghilangkan si
Miskin; (2) Penggunaan country system safeguard; dan (3) Pelanggaran HAM dalam Penataan
Pemukiman Kumuh di Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Sulawesi Selatan; (4) Penutup.

Program KOTAKU, secara finansial telah diikutkan dalam RAPBN 2017.13Merujuk


padadokumen Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2017, alokasi anggaran untuk fungsi
perumahan dan fasilitas umum dalam RAPBN tahun2017 adalah sebesar Rp32.773,9 miliar.
Jumlah ini menunjukkan penurunan sebesar 4,6persen jika dibandingkan dengan alokasinya
pada APBNP tahun 2016 sebesar Rp34.340,7miliar. Alokasi anggaran pada fungsi tersebut
utamanya dimanfaatkan untuk mendukungpencapaian agenda prioritas pembangunan nasional
di bidang perumahan dan pemukiman.

Arah kebijakan dan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam rangka


melaksanakanfungsi perumahan dan fasilitas umum pada tahun 2017 antara lain: (1)
meningkatkan aksesmasyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian baru yang layak, aman,
dan terjangkaumelalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan, bantuan stimulan
pembangunanrumah swadaya serta penciptaan iklim yang kondusif dalam penyediaan
perumahan;(2) meningkatkan kualitas hunian dan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan
rendah(MBR) melalui bantuan stimulan perumahan swadaya, penyediaan prasarana, sarana
danutilitas, penyelesaian rencana penanganan kawasan kumuh dalam rangka pencegahan
danpenanganan permukiman kumuh; (3) meningkatkan akses air minum dan sanitasi yanglayak
melalui sinergi pembangunan infrastruktur, penerapan manajemen layanan terpadu,serta
peningkatan keterlibatan dan perubahan perilaku masyarakat; dan (4) menjaminketahanan air
melalui pembangunan dan pengelolaan infrastruktur air baku dan sanitasi,serta optimasi sistem
existing air minum dan pelaksanaan bauran air.

Sasaran umum pembangunan yang diharapkan dapat dicapai dari fungsi perumahan danfasilitas
umum pada tahun 2017, diantaranya yaitu: (1) meningkatnya akses MBR terhadaphunian layak
melalui pembangunan 11.400 unit rumah susun sewa; (2) meningkatnyaakses terhadap layanan
air minum dan sanitasi yang layak dan berkelanjutan melalui pembangunan Sistem Penyediaan

13Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2017 halaman II.4-12,


http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/Publikasi/NK%20APBN/2016%20NK%20RAPBN%202017.pdf, diakses
pada 2 September 2016

5
Air Minum (SPAM) sebanyak 872.290 sambunganrumah; dan (3) berkurangnya kawasan
permukiman kumuh melalui pemenuhan kebutuhan hunian dan permukiman yang layak seluas
17.668 ha.

Oleh karenanya, setiap titik-titik daerah yang akan dijadikan proyek KOTAKU akan massif
dilaksanakan pada akhirntahun 2016 dan awal 2017.

II. PROYEK KOTAKU (NATIONAL SLUM UPGARDING PROJECTK) dalam


konteks Proyek BD-AIIB Urban Slum Upgrading

23. Istilah “kumuh (slum)” adalah stigma kelas menengah. Proyek ini menggunakan istilah
yang merujuk pada kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku
yang rendah seperti kotor, jorok dan tidak berpendidikan, yang dilihat dari standar hidup
dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda
atau stigma yang diberikan golongan menengah atas yang sudah mapan kepada golongan
bawah yang belum mapan.Padahal, kemiskinan dan pembentukan wilayah tidak layak
huni lebih disebabkan karena ketiadaan akses dan ketidakadilan negara dalam
memberikan pelayanan kepada warga negaranya. Kelompok kelas menengah menjadi
tidak “kumuh” karena memiliki akses yang lebih baik, dan mampu membayar orang lain
untuk membersihkan sisa-sisa dari gaya hidup yang dianutnya. Stigma negative ini
misalkan ditolak oleh Masyarakat Kelurahan Tallo, Sulawesi Selatan yang tidak setuju bila
kawasan mereka diberi gelar kumuh. Karena kekumuhan yang terjadi di pemukiman
mereka, disebabkan sampah-sampah kiriman dari kota besar melalui aliran sungai muara,
bukan karena prilaku masyarakat di pemukiman tersebut. Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan penggunaan istilah yang lebih manusiawi dan tidak menghakimi
kelompok miskin.

24.

25. Dokumentasi proyek. Di website Bank Dunia dari 13 dokumen tentang proyek NSUP, yang
diunggah, termasuk Assessment Dampak Sosial, Rencana Penggusuran (Resettlement Plan),
Rencana Masyrakat Adat (Indigenous People’s Plan), semua dokumen disusun dalam Bahasa

6
Inggris14. Dan di website AIIB hanya ada dua dokumen singkat (3 halaman dan 16 halaman)
tentang proyek NSUP dan keduanya dalam Bahasa Inggris. 15Ini berarti kedua lembaga tidak
memenuhi hak akses terhadap informasi atas sebuah proyek dalam sebuah bahasa yang bisa
dimengerti oleh masyarakat yang akan terkena dampak proyek.

Dan menurut dokumentasi Bank Dunia (dalam Bahasa Inggris), proyek ini akan berdampak luas
terhadap 153 kota dan 1 propinsi DKI Jakarta, termasuk kota-kota di Papua dan tempat lain,
dimana diidentifikasikanterdapat masyarakat adat(indegenous people). Menurut dokumen tentang
proyek ini di website Bank Dunia:

“OP 4.10 Indigenous Peoples. Based on the World Bank IP Screening Study (2010), IPs are
presentin five areas where the project may be active: the Districts of Sumba Barat (East
Nusa Tenggara),Toli-Toli (Central Sulawesi), Gorontalo (Gorontalo Province), and
Manokwari (West Papua), andthe City of Palopo (South Sulawesi).”16

Maka dalam konteks ini, dokumen-dokumen proyjek harus dipahami oleh bahasa yang
dimengerti oleh masyarakat adat setempat, yang umumnya masih menggunakan bahasa
ibu.Dengan dokumen-dokumen yang masih dalam bahasa Inggris, maka akan sulit bagi Warga
Terkena Proyek (WTP) termasuk masyarakat adat untuk mengakses, mendapatkan manfaat,
mengawasi dan berpartisipasi dalam setiap proses proyek.

26. Konsultasi Palsu. Sepertinyasemakin biasa dan tidak menjadi proses pembelajaran bahwa dalam
proyek yang didanai oleh Bank Duniaselalukerap diwarnai dengan tidakadanya proses konsultasi
publik.Yang dilakukan untuk proyek NSUIP ini adalah pada Januari 2016, atas nama “konsultasi
para pemangku kepentingan”(“stakeholder consultation”) sebuah pertemuan kecil yang diadakan
dikantor Kementerian Pekerjaan Umumdan Perumahan Rakyat (PUPR)dan dihadiri 26 peserta,
termasuk wakil dari Kementerian PUPR, instansi lain, konsultansebelum ESMF “disusun
kembali” dan diterbitkan kembali pada Februari 2016. 17 Hanya satuLSM yang disebutkan hadir
yaitu Yayasan Su Tzidan tidak ada penjelasan dari 26 peserta rapat, berapa jumlah perwakilan
dari PUPR, instansi lain, konsultan proyek, ataupun staff Bank Dunia. Topik diskusi termasuk
“how to deal with the squatter issue and customary lands” 18 Dari notulensi pertemuan ini, kita
dapat menyimpulkan pertemuan ini sebagai konsultasi palsu, dari indentifikasi :
a. Jumlah peserta yang tidak seimbang, antara negara (diwakili oleh instansi-instansi
pemerintah) dengan perwakilan masyarakat sipil. Padahal konsultasi seharusnya dibuat untuk
masyarakat, bukan untuk antar departemen di pemerintahan;
b. Perwakilan dari masyarakat sipil merupakan organisasi keagamaan yang bergerak diissue
karitatif, dan bukan organisasi yang memahami dampak lingkungan dan social, dan
mekanisme safeguard Bank Dunia;
c. Waktu yang disediakan hanya dua sessi, yaitu sessi pertama untuk presentasi dan sessi kedua
untuk tanya jawab. Sementara dokumen yang harus dibahas berjumlah 200 halaman. Dapat
dipastikan, dalam waktu singkat tersebut tidak akan didapatkan hasil konsultasi yang
bermakna;
d. Luasnya cakupan projek yaitu 153 kota dan 1 Propinsi dengan sekitar 29 juta WTP, tidaklah

14 http://www.worldbank.org/projects/P154782/?lang=en&tab=documents&subTab=projectDocuments 9/25/16
15 http://euweb.aiib.org/html/2016/PROJECTS_0601/114.html 9/25/16
16 ESMF, halaman 18
17 ESMF, Annex 3: Results of Stakeholders Consultation, SFG177REV, Februari 2016
18 ibid

7
dapat diwakili oleh satu pertemuan dengan 26 peserta;
e. Perwakilan Bank Dunia yang hadir dalam pertemuan sebagai pengamat, diakhir lokakarya
melakukan rapat tertutup yang intinya menyepakati revisi ESMF berdasarkan hasil
lokakarya, yang seharusnya ia memahami bahwa pertemuan tersebut tidaklah dapat disebut
sebagai konsultasi bermakna. (Notulensi dari “Konsultasi” menjadi lampiran 1 dalam tulisan
ini.)

27.

28. Penggusuran Paksa Dalam Proyek. Walaupun dokumen pinjaman Bank Dunia dan AIIB
menyatakan seminimal mungkin melakukan penggusuran, namun diakui bahwa pembangunan
infrastruktur membutuhkan ketersediaan lahan. Ini berarti dalam proyek ini akan terjadi
pengusuran warga Negara. Namun, sayangnya Bank lebihmenyerahkanpembebasan lahan
menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah.Dalam dokumen dinyatakan bahwa :

A large proportion of households in Indonesian slums have secure tenure (considered ‘legal’
slums); however, some slums are categorized as informal settlements (‘illega slums’).Legal
slums include those where land belongs to or is rented by the residents, and the residents’
right to occupy the land is recognized by the local government. Informal settlements include
settlementsthat are located on land that is not allocated for housing (based on official spatial
plans), privately-owned land without the owners’ consent, and environmentally risky
land(e.g.,along riverbanks). Current national urban policy and planning does not directly
address this issue. But experience under National Community Empowerment Program
(NCEP) Urban shows that many tenure issues can be resolved at the city level given that
local governments have awide latitude to take action within the existing legal frameworks on
land tenure, environmental management and spatial development.

Padahal, berdasarkan pengalaman Bank Dunia sendiri dalam Proyek JEDI di Propinsi DKI
Jakarta, pembebasan lahan telah menggusur paksa warga negara dan Pemerintah Propinsi DKI
Jakarta menolak mengikuti standar yang telah diterapkan oleh Bank Dunia. (bacaLampiran 2 :
Bank Dunia Minta Ahok Lebih Manusiawi Saat Menggusur Warga 19). Oleh karena itu,
mengingat proyek ini tunduk pada safeguard Bank Dunia, maka mekanisme dan standar
didalamnya harus diikuti, baik proyek itu dibiayai langsung atau tidak langsung oleh Bank Dunia,
sepanjang Bank Dunia terlibat didalamnya.

1. Pendekatan legal-formalistik kepemilikan hak atas tanah ini akan menyebabkan


warga negara yang tidak memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat), akan
kehilangan haknya dan akan menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Demikianhalnya
pemilik tanah yang mendapatkan tanah dengan beritikad baik (tidak mengetahui tanah
sengketa atau tidak sesuai peruntukannya), akankehilangan tanah dan menjadi lebih
miskin.
19https://m.tempo.co/read/news/2015/06/10/214673671/bank-dunia-minta-ahok-lebih-manusiawi-saat-
menggusur-warga

8
29.

30. Mainstreaming Perspektif Gender. Tujuan proyek untuk memperbaiki infrastruktur


pelayanan dasar (air bersih, drainase, jalan, MCK dll) yang akan memberikan manfaat
bagi perempuan ddalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Dalam dokumen
Bank Dunia dinyatakan bbahwa berdasarkan evaluasi PNPM Perkotaan, jumlah
partisipasi perempuan dalam ppertemuan masyarakat terpenuhi, namun secara kualitatif
partisipasi perempuan belumlah cukup bbermakna. Dan proyek ini menawarkan
pendekatan dalam proyek ini melalui kegiatan: (a) ppersyaratan kuota 30 persen untuk
fasilitator perempuan; (b) cuti melahirkan untuk fasilitator pperempuan; dan (c)
mekanisme untuk memisahkan data penerima manfaat dan kualitas proses pelaksanaan,
dan danmengembangkan Standar Operasional Prosedur (SOP), dan kampanye mmedia dan
membangun kesadaran untuk memastikan bahwa pendekatan di atas ddiarusutamakan
selama pelaksanaan. Namun,sayangnya hal-hal yang disyaratkan oleh Bank Dunia
tersebut, tidak tercermin dalam Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial yang
telah dipublikasikan.
31.

32.
33.
34.

Untuk mengukur keterlibatan yang sama antara laki-laki dan perempuan, maka haruslah diukur
(1) Akses; (2) Manfaat; (3) Kontrol; dan (4) Partisipasi dalam setiap kegiatan. Proyek ini baru
sebatas menjadikan perempuan sebagai penerima manfaat, partisipasi terbatas pada kuota
fasilitator perempuan, sedangkan untuk kontrol dan partisipasi perempuan dalam proyek tidak
tercermin. Hal ini misalkan dalam proses pendataan WTP, perhitungan didasarkan pada
pendekatan rumah tangga, yang bias berarti kepala keluarganya adalah perempuan atau laki-laki.
Namun, dalam kultur patriarkhi kepala keluarga lebih dimaknai dengan lelaki (Ayah, atau Anak
Laki-Laki Tertua). Sehingga yang akan memiliki akses dan pengambilan keputusan adalah laki-
laki. Seharusnya Kerangka Kerja, memainstreaming issue gender dalam setiap bagian ESMF,
termasuk penegasan bahwa WTP termasuk Kepala Keluarga Perempuan. Hal ini mengingat
berdasarkan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Indonesia 2007 dari BPS, jumlah
rumah tangga yang dikepalai perempuan mencapai 13,60% perempuan atau sekitar enam juta
rumah tangga yang mencakup lebih dari 30 juta penduduk, yang umumnya hidup miskin dan
mungkin tinggal di wilayah tidak layak huni yang menjadi sasaran proyek.
35. Untuk mengukur keterlibatan yang sama antara laki-laki dan perempuan, maka haruslah diukur
(1) Akses; (2) Manfaat; (3) Kontrol; dan (4) Partisipasi dalam setiap kegiatan. Juga, dari awal
sangat diperlukan analisa yang peka terhadap gender (“gender sensitive”) dan yang memakai
“gender disaggregated data” yaitu data yang dikumpulkan yang mampu membedakan antara
dampak proyek terhadap perempuan dan laki-laki dan hambatan yang berbeda untuk perempuan
dan laki-laki untuk partisipasi dan keterlibatan penuh dalam setiap tahap siklus proyek (“project
cycle”) termasuk mengidentifikasikan proyek dan tempat, persiapan proyek, penilaian risiko
proyek terhadap lingkungan hidup dan perempuan dan laki-laki, implementasi proyek,
pengawasan dan evaluasi proyek. Assessment ini, yang membedakan dampak terhadap
perempuan versus dampak terhadap laki-laki mesti dilakasanakan dengan teliti untuk meyakinkan

9
partisipasi penuh kaum perempuan dan penghindaran dampak negative dan berat terhadap kaum
perempuan.

36. Proyek ini baru sebatas menjadikan perempuan sebagai penerima manfaat, dan partisipasinya
terinci terbatas pada kuota fasilitator perempuan, atau penghadir perempuan, sedangkan untuk
kontrol dan partisipasi perempuan dalam proyek tidak tercermin.Juga analisa yang memakai
“gender disaggregated data” tidak tercermin. Hal ini misalkan dalam proses pendataan Warga
Terdampak Proyek (WTP)(pertama kali pakai singkatan, tulis panjang artinya WTP, baru pakai
singkatan), perhitungan didasarkan pada pendekatan rumah tangga, yang bisa as berarti kepala
keluarganya adalah perempuan atau laki-laki. Namun, dalam kultur patriarkhi kepala keluarga
lebih dimaknai dengan lelaki (Ayah, atau Anak Laki-Laki Tertua). Sehingga yang akan memiliki
akses dan pengambilan keputusan adalah laki-laki. Seharusnya Kerangka Kerja,
memainstreaming issue gender dalam setiap bagian ESMF, termasuk penegasan bahwa WTP
termasuk Kepala Keluarga Perempuan. Hal ini mengingat berdasarkan Data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) Indonesia 2007 dari BPS, jumlah rumah tangga yang dikepalai
perempuan mencapai 13,60% perempuan atau sekitar enam juta rumah tangga yang mencakup
lebih dari 30 juta penduduk, yang umumnya hidup miskin dan mungkin tinggal di wilayah tidak
layak huni yang menjadi sasaran proyek.20

37. Potensi Korupsi Proyek. Program Kotaku merupakan keberlanjutan dari Program PNPM
Perkotaan. Dalam Evaluasi PNPM Mandiri, yang dilakukan oleh Direktorat Evaluasi Kinerja
Pembangunan Sektoral Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas), ditemukan dalam pelaksanaan proyek, terdapat 95,39%
(2.423) kasus merupakan penyalahgunaan dana dari 2.534 untuk periode Bulan Oktober 2013
saja.21 Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan 3.570
kasus penyalahgunaan keuangan dari tahun 2007-2012, senilai Rp. 63.555.297.801, dan yang
ditindaklanjuti sebanyak 2.173 kasus dengan nilai Rp. 12.598.103.680. Dan yang ditindak secara
hokum sepanjang 2005-2013 tercatat hanya 128 kasus. 22Dari data tersebut, jumlah kasus yang
selesai secara hokum, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan pelaporannya. Walaupun GOI
menjamin bahwa proyek ini didesign dengan memjamin kebijakan anti korupsi, namun Bank
Dunia dan AIIB harus mendorong penyelesaian secara huokum, dan mencegah korupsi sejak dari
awal, mengingat pelaku korupsi diantaranya dilakukan oleh fasilitator.

III. CATATAN ATAS PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL PROYEK


KOTAKUNSUP

20http://microdata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/39 atau http://www.mampu.or.id/id/partner/pekka-


pemberdayaan-perempuan-kepala-keluarga
21Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Evaluasi PNPM Mandiri, 2013, Halaman 53

22Ibid. Halaman 54

10
38. Proyek Tunduk Pada Safeguards Bank Dunia. Menurut dokumen-dokumen dari website Bank
Dunia, proyek ini mulai direncanakan pada Juni 2015 dibawa system perlindungan Bank Dunia
yang disebut “Safeguards” untuk lingkungan hidup dan masyarakat yang terdampak oleh
proyek23. Proyek ini disetujui oleh Dewan Pengurus Bank Dunia pada 12 Juli 2016, tetap dibawah
ketentuan Safeguards Bank dunia dan sebelum Dewan Pengurus Bank Dunia menyetujui
perubahan Safeguards dan pengantiannya dengan sebuah system baru, yaitu Environmental and
Social Framework (ESF) Bank Dunia, yang memiliki kelemahan diantaranya yaitu
mempromosikan penggunaan safeguard system para peminjam, (Country System Safeguard/CSS)
termasuk syarat yang mewajibkan bahwa CSS mesti dibuktikan se-kuat seperti syarat Safeguards
Bank Dunia dalam perlindungan hak masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup. Walaupun
systemESF disetujui oleh Dewan Pengurus BD, regulasi dan syarat dan saran implementasi
belum diciptakan. Selama proses penulisan ESF terjadi, menurut Bank Dunia, semua proyek yang
direncanakan dan disetujui dibawa Safeguards BD akan tetap memakai system Safeguards BD
dan bukan systemESF yang baru. Hal ini juga diceritakan oleh para wakil dari kantor Dewan
Pengurus Bank Dunia dan Management Bank Dunia pada saat ditanya oleh para LSM. Oleh
karena itu, proyek ini masih wajib tunduk kepada Safeguard Bank Dunia dan bukan kepada ESF.

39.

40.

Perlu dicatat bahwa kami Kami memandang bahwa Safeguard Bank DuniaDmerupakan
pengakuan dari ketidakseimbangan kekuasaan dalam negara yang berpotensi melanggar hak-hak
masyarakat. Sehingga dalam setiap proses pembangunan dibutuhkan standar penilaian lingkungan
yang jelas, yang membutuhkan keterbukaan informasi publik, konsultasi bermakna dengan
masyarakat yang terkena dampak, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat,
perlindungan cagar budaya, perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati, agar tujuan
pembangunan tercapai. Walaupun begitu, dalam bahan-bahan tertulis tentang proyek ini,
sepertinya tidak semua aspek dari sistem Safeguards Bank Dunia dimplementasikan.

41.

42. Untuk kebutuhan pelaksanaan program The National Uurban Slum Upgrading di Indonesia yang
didanai Bank Dunia dan AIIB, Direktorat Pengembangan Kawasan Pemukiman – Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah membuat Kerangka Kerja Pengelolaan
Lingkungan dan Sosial tersendiri.24 Kemudian diterjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia
sebagai “Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Program Kota Tanpa Kumuh
(Kotaku)”.

Proyek ini ditandatanggani ditengah upaya perubahan ketiga Safeguard Bank Dunia, yang
memiliki kelemahan diantaranya yaitu mempromosikan penggunaan safeguard system negara
(Country System Safeguard/CSS) peminjamdan tak lagi mutlak merujuk pada mekanisme
23http://www.worldbank.org/projects/P154782/?lang=en&tab=documents&subTab=projectDocuments
24Selengkapnya lihat Indonesia National Slum Upgrading Project – ESMF:
http://documents.worldbank.org/curated/en/852301468039020966/Indonesia-National-Urban-Slum-Upgrading-
Program-Project-environmental-and-social-management-framework

11
safeguard yang dimiliki oleh Bank Dunia. Kami berkeyakinan proyek ini masih tunduk kepada
safeguard perubahan kedua Bank Dunia. Karena, kami memandang safeguard merupakan
pengakuan dari ketidakseimbangan kekuasaan dalam negara yang berpotensi melanggar hak-hak
masyarakat. Sehingga dalam setiap proses pembangunan dibutuhkan standar penilaian lingkungan
yang jelas, yang membutuhkan keterbukaan informasi publik, konsultasi bermakna dengan
masyarakat yang terkena dampak, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat,
perlindungan cagar budaya, perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati, agar tujuan
pembangunan tercapai.

Kami mengapresiasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, selaku


penanggungjawab proyek telah menyusun dan mempublikasikan “Kerangka Kerangka Kerja
Pengelolaan Lingkungan Dan Sosial Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku)” di
websitehttp://www.p2kp.org/, dan http://www.kotatanpakumuh.id/ yang merujuk kepada
safeguard Bank Dunia. Namun, sayangnya kerangka kerja ini tidak diunggah di website resmi
oleh seluruh pemerintah propinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang akan menjadi wilayah
yang akan menjadi sasaran program ini. Berdasarkan pencarian cepat penelusuran kami, selain di
dua website tersebut, Kerangka Kerja Perngelolaan Lingkungan dan Sosial, hanya diunggah
kembali oleh pemerintah Kepulauan Riau di www.kotakukepri.com dan Pemerintah Kota Bima
diwww.kotakukotabima.blogspot.com. Padahal sasaran wilayah program adalah 269154
kota/kabupaten di 34 Propinsi di seluruh Indonesia25. Demikianhalnya pula pengunggahan
informasi melalui website juga belum tentu diakses dan akan sampai kepada WTP yang menjadi
sasaran sasaran proyek ini. Dengan minimnya informasi tentang program ini, dan
Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Kotaku, makaWarga Terkena Proyek (WTP) di sebagian
besar kota sasaran proyek tidak mengetahui dampak yang akan terjadi akibat proyek
ini.Padahal salah satu indikator indikator keberhasilan program adalah komitmen
Pemerintah Propinsi/Kota/Kabupaten untuk melaksanakan proyek ini, yang berarti
Pemerintah Propinsi/Kota/Kabupaten juga harus mengikuti kerangka kerja pengelolaan
lingkungan hidup dan social di wilayahnya. Dengan demikian, keterbukaan informasi
publik, dan konsultasi bermakna tidak akan terpenuhi di setiap wilayah proyek.
43. Syarat Safeguards Bank Dunia juga mewajibkan akses terhadap informasi dan partisipasi dan
konsultasi langsung dengan WTP dan publik.Dengan demikian, keterbukaan informasi publik,
dan konsultasi bermakna sampai sekarang tidakterpenuhi di setiap wilayah proyek, maupun di
publik, yang mesti telah terlibat dalam proses konsultasi luas sebelum proyek ini disetujui oleh
Dewan Pengurus Bank Dunia.
44.

45. Perubahan Kategori Resiko Dari Kategori A Menjadi B

46. Perubahan Kategori Resiko Dari Kategori A Menjadi B.Perubahan Kategori Resiko.
47.
48.
49.
50. Pada saat proyek ini direncanakan pada 2015, dampak lingkungan dan social dalam proyek ini
diklasifikasikan sebagai Kategori A, dengan potensi dampak berat terhadap lingkungan dan
masyarakat yang terdampak proyek. Oleh karena ituadasyarat mengimplementasikan analisa
lingkungan hidup dan socialyang sangat lengkap dan mendetail (Environmental Impact

25http://p2kp.org/wartaprint.asp?mid=8273&catid=5&&19/08/2016

12
Assessment).26Tiba-tiba pada 2016, kategori proyek dirubah dan direndahkan menjadi Kategori B
dimana dampaknya dinilai jauh lebih kecil dari pada dampak dari Kategori A dan yang mewajibkan
analisa lebih ringan dan singkat dari pada EIA yang penuh.
51.
52. Perbaikan infrastruktur primer dan sekunder dan konstruksi yang akanmenghubungkan
infrastruktur dengan infrastruktur tersier di kawasan tidak layak huni dinilai akan memiliki
dampak tingkat rendah yang tidak signifikan / sensitif, non-permanen atau belum pernah terjadi
sebelumnya sampai dampak tingkat sedang.

53. Pada Di 2016 tiba-tiba2 terdapat ada larangan pemakaian dana dari Bank Dunia dengan ketentuan
sebagai berikut begini:

The project funds cannot be used to finance (a) purchase of land; (b) economic activities
involving revolving funds; (c) Category A sub-project activities with significant, sensitive,
complex, irreversible and unprecedented potential adverse environmental and social impacts that
may affect an area broader than the sites or facilities subject to physical work requiring a full
environmental assessment to manage and mitigate such impacts in accordance with World Bank
OP 4.01, Ministry of Environment Regulation No. 5, 2012 and activities with the scale beyond
those specified in the Ministry of Public Works and Housing Regulation No. 10, 2008; and (d) a
subproject with cost above USD 2,000,000. Sub-projects with significant ancillary and related
activities will not be eligible if they are considered as Category A sub-projects. This includes sub-
projects that would require expansion of water treatment facilities, wastewater facilities, solid
waste disposal facilities and road expansion beyond connecting a slum area. Eligible sub-
projects to be financed by this project are Category B sub-projects with impacts that are site
specific, few if any are irreversible, and in most cases mitigation measures can be readily
designed.27

Ini rupanya berarti bahwa bagaian dari proyek Kotaku / Urban Slum Upgrading Project ini yang
berisiko tinggi dari segi lingkungan hidup dan berdampak terhadap WTP - termasuk pengadaan
tanah/penggusuran yang biasanya berkonflik tinggi - akan dipindahkan dari bagaian yang didanai
oleh BD kepada bagaian yang didanai oleh Pemerintah Indonesia, dan dengan demikian
menghindari pemakaian Safeguards Bank Dunia. untuk perlindungan masyrakat WTP dibagaian
risiko tinggi dari proyek ini.Namun, kami berpandangan Bank Dunia tidak dapat melepaskan
tanggungjawab dari dampak lingkungan dan social yang beresiko tinggi, karena bagaimnapun
Bank Dunia dan AIIB terlibat secara keseluruhan dalam proyek ini.

54. Namun diemikian, dalam dokumen-dokumen2 projek, tetapdiakui bahwa proyek mungkin
memerlukan pembebasan lahan, khususnya untuk pembangunan yang menghubungkan
infrastruktur sekunder dan primer yang ada, tetapi untuk sejauh mungkin akan menghindari atau
meminimalkan penggusuran paksa. Tetapi definisi “paksa” tidak jelas karena ada rencana bahwa

26Lihat misalnya, Project Information Document (Concept Stage) - Indonesia National Urban Slum Upgrading
Program - P154782 (English) ,June 19, 2015.;Integrated Safeguards Data Sheet (Concept Stage) - Indonesia
National Urban Slum Upgrading Program - P154782 (English) , November 18,2015;
27 World Bank, Environmental and Social Management Framework, February 2016, posted on the Bank website:
http://documents.worldbank.org/curated/en/689271468044640517/pdf/SFG1777-REVISED-EA-P154782-
Box394869B-PUBLIC-Disclosed-3-4-2016.pdf

13
masyarakat yang akan dikeluarkan dari tanahnya dan rumahnya akan dikeluarkan secara
“sukarela” melalui program hibah tanah (“Voluntary Land Donation”/VLD)28.

MBahkan alah di halaman 135 (Annex 17) dari “Environmental and Social Management
Framework”dari projek Bank Dunia – AIIB ini, bahannya yang diterbitkan di website Bank
Dunia29, dilampirkan ada formulir untuk “Voluntary Land Donation” yang didalamnya:

1) (1) sSama sekali tidak memberitahukan masyarakat bahwa proyek ini didanai oleh Bank
Dunia dan AIIB dan oleh karena itu masyarakat mempunyai hak, termasuk hak akses
terhadap mekanisme akuntabilitasaccountability mechanism dan mekanisme
pengaduangrievance mechanism BD, hak partisipasi dalam proses perencanaan pemindahan
(resettlement planning), kewajiban perencanaan pemindahan Resettlement Plan dari BD;

2) (2) Ssepertinya hanya mengakui hak masyarakat yang mempunyai “sertifikat tanah”, yang
itudimiliki oleh sedikit kemungkinan minoritas kecil dari masyarakat yang kena dampak,
karena pada umumnya, malah semuah masyrakat di Indonesia, -termasuk para petani-
memang jarang memiliki ada sertifikat tanah;

3) (3) Aakan ditandatangani oleh para penguasa lokcal, termasuk Camat, Lurah dan PPAT
“Community Board of Trustees” – yaitu para penguasa bukan hanya di tingkat kelurahan,
tetapi di keceamatan.

4) (4) Di formulir itu terdapatada pernyataan: “This statement is duly made without any
pressure from anyone.”

55. Dampak lingkungan dan social dalam proyek ini diklasifikasikan sebagai Kategori B, dengan potensi
dampak lingkungan dan social yang dialami masyarakat berada pada tingkat rendah sampai sedang.
Perbaikan infrastruktur primer dan sekunder dan konstruksi yang akanmenghubungkan infrastruktur
dengan infrastruktur tersier di kawasan tidak layak huni akan memiliki dampak tingkat rendah yang tidak
signifikan / sensitif, non-permanen atau belum pernah terjadi sebelumnya sampai dampak tingkat sedang.
Namun, diakui bahwa proyek mungkin memerlukan pembebasan lahan, khususnya untuk pembangunan

28ibid
29ibid, Annex 17

14
yang menghubungkan infrastruktur sekunder dan primer yang ada, tetapi untuk sejauh mungkin akan
menghindari atau meminimalkan penggusuran paksa. Dan ESMF menyatakan bahwa penyelesaian
pembebasan lahan akan“sesuai undang -undang peraturan Pemerintah Indonesia tentang pengelolaan
lingkungan, pengadaanlahan dan masyarakat hukum adatyangrelevan dan sesuai dengan Kebijakan Bank
Dunia tentang Penilaian lingkungan (OP 4.01), MasyarakatHukum Adat(OP 4.10), Sumber Daya Budaya
(OP 4.11) dan pemukiman kembali secara tidak sukarela(OP 4.12)”30

56. ESMF menyatakan Peraturan perundang-undangan Indonesia, sejalan dengan safeguard Bank
Dunia, padahal terdapat peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan standar bank dunia,
sehingga merugikan masyarakat.

57.
58. Catatan Atas Kebijakan dan Peraturan Perlindungan Lingkungan dan Sosial
59. COMMENT: sangat penting lihat dan kommentari atas Tabel 1 hal 22 – 29 di ESMF (saya
lampirkan ESMF itu) karena disana mereka membuat analisa (palsu) yg membandingkan
UU/Country System vs Safeguards BD dan menyatakan bhw hamper semua “gaps” akan diatasi oleh
ESMF. Ke palsuan ini sangat penting di keluarkan dianalisa dan dibongkarkan krn Management BD
akan makai tabel1 itu untuk “buktikan” bhw mereka telah membuat comparison antara UU vs
Safeguards BD dan tak ada masalah. Kommentar atas table itu bagus kalau dimasukkan di bagaian
ini dan diskusi ttg CSS vs BD.
60. Merujuk pada dDalam Dokumen Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial –
Program KOTAKU, dalam hal pengelolaan lingkungan dan social, setiap proyek sector
infrastruktur yang didanai oleh program KOTAKU harus mengacu pada UU 32/2009 tentang
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah (PP) 27/2012
tentang Izin Lingkungan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 16/2012 tentang Pedoman
Penyusunan Dokumen Lingkungan (AMDAL, UKL-UPL, dan SPPL), UU 1/2011 tentang
Perumahan, UU 11/2010 tentang Sumber Daya Budaya, UU 18/2008 tentang Pengelolaan
Sampah, UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU 38/2008 tentang Jalan, Peraturan
MenteriLingkungan Hidup 5/2012 tentang Jenis Kegiatan yang Wajib AMDAL dan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 10/PRT/M/2008 tentang Jenis Usaha dan/atau
Kegiatan Proyek di bawah Pekerjaan Umum yang membutuhkan Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), Pedoman Pengelolaan
Lingkungan 08, 09, 10 dan 11 tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Ditjen Bina Marga,
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan.Peraturan perundang-undangan Indonesia
tersebut, dinyatakan sejalan dengan safeguard Bank Dunia, padahal terdapat peraturan-peraturan
yang tidak sesuai dengan standar bank dunia, sehingga merugikan masyarakat seperti diuraikan
dalam paragraph dalam paragraph-paragrafberikut.
61.

62.

Catatan Atas Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial


Tidak Mencantumkan Permen LH tentang KLHS
Tidak Mencantumkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS).Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial – Program
NSUP/KOTAKU ternyata tidak mencantumkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.

30Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial –Program KOTAKU, halaman 12

15
9 tahun 20011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Permen
9/2011), yang kini telah diperkuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. sebagai KLHS salah satu
merupakan rujukan aturan untuk menilai kegiatan yang terkait dengan lingkungan hidup.
KLHSajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan mandat dari UU Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup, 32/2009 yang dimandatkan ditujukan kepada Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam suatu pembangunan wilayah.

KLHS merupakan rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk
memastikan bahwa prinsip Pembangunan Berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi
dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau Kebijakan, Rencana, dan/atau Program.memuat
kajian antara lain: (a) a.. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan; (b). Perkiraan mengenai dampak dan resiko lingkungan hidup; (c). Kinerja
layanan/jasa ekosistem; (d). Efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam; (e). Tingkat kerentanan
dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan (f). Tingkat ketahanan dan potensi
keanekaragaman hayati. Hasil KLHS menjadi dasar bagi Pemerintah maupun Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan suatu kebijakan, rencana maupun program.

63. KLHS dan rencana tata ruang kemudian menjadi acuan penyelenggaraan AMDAL dan
kemudian menjadi dasar Izin Lingkungan bagi kegiatan proyek.

64. Standar EIA/AMDALIndonesia Lebih Rendah Dibanding OP 4.01. Safeguards Bank Dunia
mewajibkan Environmental Impact Assessment yang mengcakup secara mendetail dampak bukan
hanya terhadap lingkungan hidup tapi juga terhadap masyrakat yang kena dampak sebuah proyek.
Dan ada syarat bahwa untuk sebuah proyek yang berdampak besar, masyrakat dan
publicmempunyai hak terima informasi lengkap tentang segala dampak – dampak langsung, tidak
langsung, kumulatif dll - danmempunyai hak memberi kommentar selama sekitar 120 hari sebelum
Dewan Pengurus Bank Dunia mengambil keputusan apakah akan setujui atau menolak sebuah proyek.
Namun, standar EA di Indonesia memiliki kelemahan sebagai berikut :
65.

a.
b. Fakta di Lapangan Menyatakan AMDAL Tidak Berkait Dengan Izin Usaha
c. AMDAL Tidak Dijadikan Syarat Utama Izin Usaha. Peraturan Pemerintah 27/2012
tentang Izin Lingkungan merupakan aturan penyempurnaan atas PP No. 27 tahun 1999
tentang AMDAL, yang disebutkan bahwa Amdal adalah kajian mengenai dampak
penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Uusaha
dan/atau Kegiatan. Namun, pada prakteknya, izin usaha adalah izin yang diberikan
setelah suatu perusahaan menyelesaikan beberapa tahapan usahanya. (SUMBER?)
AMDAL tidak berkaitan dengan izin-izin lainnya seperti izin lokasi dan izin
pembebasan tanah. (SUMBE?)Padahal kedua izin inilah yang selalu menghilangkan
hak-hak dan peran masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa: (1) Pemerintah Indonesia
tidak kosisten dengan aturan yang dibuatnya; (2) pemerintah Indonesia hanya menempatkan
AMDAL sebagai formalitas semata, dan tidak terkait dengan perlindungan lingkungan dan
social.

16
d. (SUMBER / Comtoh di catatan kaki)
e. Pemangkasan Waktu Penilaian AMDAL
f. Pemangkasan Waktu Penilaian AMDAL. Bahwa untuk mendapatkan Ijin Lingkungan,
pemrakarsa harus melakukan penilaian terhadap Kerangka Acuan, AMNDAL dan RKL-RPL.
Secara normal, proses peniliaian kelayakan AMDAL sampai dinyatakan layak atau tidaknyaoleh
instansi berwenang adalah 125 hari kerja, yang di dalamnya terdapat waktu konsultasi publik
dan keterlibatan masyarakat31. Dan Jangka waktu ini lebih singkat jika dibandingkan dengan jangka
waktu yang diberikan aturan terdahulu, yakni PP 29/1999, yang memiliki jangka waktu 180 hari.
Perubahan jangka waktu ini tentu akan berakibat pada kualitas konsultasi dan hasil dari penilaian
AMDAL tersebut;
g.
h. Tterdapat beberapa perubahan mekanisme AMDAL, yaitu harus didasarkan pada
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan rRencana tTata rRuang (RTR). Namun
demikian,dalam hal izin lokasi dan pembebasan tanah, fungsinya menjadi tidak
berbeda dengan Peraturan Pemerintah (PP) 27/2012 tentang Izin Lingkungan. Dalam
perizinan pengelolaan hutan misalnya, proses penentuan lokasi dilakukan tanpa
mempertimbangkan hasil kajian AMDAL. AMDAL hanya menjadi syarat formalitas
untuk pemenuhan prosedur dan bukan sebagai proses yang menentukan layak tidaknya
suatu proyek kehutanan dilakukan suatu tempat.

i.
j. Terbatasnya Peran Serta Masyarakat
k. Terbatasnya Peran Serta Masyarakat.Peranserta masyarakat sangat terbatas dengan. Dalam
proses studi konsultan AMDAL, Mmasyarakat hanya berperan sebagai narasumber dalam
proses studi konsultan AMDAL; memberikan tanggapan kepada hasil studi konsultan yang dibayar
oleh (perusahan yang ingin melaksanakan proyek? pemerintah?); dan memiliki hanya seorang wakil
di dalam Komisi AMDAL. Struktur Komisi AMDAL, terdiri dari (i)Ketua Komisi32 yang
dijabat pejabat yang mengendalikan dampak lingkungan hidup ditingkat pusat, propinsi atau
kabupaten, (ii) Sekretaris Komisi, yang dijabat yang menangani AMDAL dan (iii) Anggota
Komisi yang wakil intansi/dinas teknis yang mewadahi kegiatan yang dikaji, wakil daerah,
ahli dibidang lingkungan hidup, ahli dibidang yang berkaitan dengan rencana kegiatan yang
dikaji, wakil masyarakat, wakil organisasi lingkungan, dan anggota lain yang dianggap
perlu. Wakil masyarakatyang keanggotaannya ditentukan oleh pemerintah sendiri dan bukan
oleh WTP. Wakil masyarakat didalam Komisi Penilai AMDAL dapat memberikan tanggapan
terhadap dokumen Kerangka Acuan Andal selama 30 (Tigapuluh) hari dan dokumen Andal
selama 75 (tujuhpuluh Lima) hari, namun tidak ada pengaturan tentang bagaimana
masyarakat bisa terlibat langsung.Dan dalam pengambilan keputusan, satu orang memiliki
hak satu suara. Sedangkan untuk Izin Lingkungan, diakui tiga kelompok masyarakat, yaitu (i)
mereka yang terkena dampak; (ii) pemerhati lingkungan hidup; dan/atau; (iii) mereka yang
terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Masyarakat hanya diberikan
jangka waktu terbatas untuk mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan yaitumasing-masing
10 (sepuluh) hari kerja untuk proyek berdampak penting dan 3 (tiga) hari kerja untuk kegiatan
yang tidak berdampak penting. Saran inipun hanya dapat disampaikan melalui melalui wakil

31 Jangka waktu ini lebih singkat jika dibandingkan dengan jangka waktu yang diberikan aturan terdahulu, yakni PP
29/1999, yang memiliki jangka waktu 180 hari. Perubahan jangka waktu ini tentu akan berakibat pada kualitas
konsultasi dan hasil dari penilaian AMDAL tersebut;

32Ketua komisi dijabat oleh Deputi untuk Komisi penilai AMDAL pusat, atau Kepala BAPEDALDA atau pejabat
lain yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup ditingkat propinsi untuk Komisi Penilai AMDAL
Propinsi, Kepala BAPEDALDA atau pejabat lain yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup ditingkat
Kabupaten/Kota.

17
masyarakat yang terkena dampak dan/atau organisasi masyarakat yang menjadi anggota
Komisi Penilai AMDAL. Dari komposisi Komisi AMDAL dan waktu memberikan tanggapan
tersebut kita bisa lihat bahwa : (1) Masyarakat tidak bisa berpartisipasi langsung dalam kajian
AMDAL, melainkan harus melalui wakilnya; (2) Representasi masyarakat bekerja bukan atas
nama kepentingan masyarakat, melainkan kepentingan pemerintah karena ditunjuk bukan
dipilih oleh masyarakat sendiri; dan (3) masyarakat tidak akan memenangkan pengambilan
keputusan karena hanya memiliki satu suara saja berbanding dengan anggota Komisi yang
lain.yang menentukan (? Proses persetujuan AMDAL?yang melakukan proses persetujuan AMDAL?
i.e.apa saja funksinya/hak Komisi AMDAL?).Biasanya Komisi AMDAL beranggota XX (jumlah)
orang. (Apakah ada jumlah anggota tertentu? Kalau tidak mungkin bisa memberi satu contoh dari 1
kasus bhw misalnya ada 13 anggota Komisi AMDAL, semuanya dipilih oleh pihak pemerintah (?)
untuk kasus X dimana “masyrakat” hanya berhak ada 1 suara)
l.
m. Wakil masyarakat didalam Komisi Penilai AMDAL dapat memberikan tanggapan terhadap dokumen
Kerangka Acuan Andal selama 30 (Tigapuluh) hari dan dokumen Andal selama 75 (Tujuhpuluh Lima)
hari, namun tidak ada pengaturan tentang bagaimana masyarakat bisa terlibat langsung.
n.
o.
Sedangkan untuk Izin Lingkungan, Pasal 8 PP No. 27 Tahun 2012 mengakui keterlibatan tiga
kelompok masyarakat, yaitu mereka yang terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup;
dan/atau mereka yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.
Masyarakat hanya diberikan jangka waktu terbatas untuk mengajukan saran, pendapat, dan
tanggapan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan secara tertulis kepada pemrakarsa
proyek dan Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja
untuk proyek berdampak penting dan 3 hari untuk kegiatan yang tidak berdampak penting.
Saran inipun hanya dapat disampaikan melalui melalui wakil masyarakat yang terkena
dampak dan/atau organisasi masyarakat yang menjadi anggota Komisi Penilai
AMDAL,dimana keanggotaan ditentukan oleh pemerintah (??).

p. Terdapat ketentuan dalam PP Izin Lingkungan (Pasal 13 ayat (1) (tahun berapa?
Apakah ini baru?)yang mereduksi peran AMDAL.,yaitu uUsaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup dikecualikan dari kewajiban menyusun
AMDAL, apabila lokasi rencana usaha dan/atau kegiatannya berada pada
kabupaten/kota yang telah memiliki rRencana dDetil tTata rRuang
(RDTR)kKabupaten/kKota dan/atau rRencana tTata rRuang kKawasan sStrategis
kKabupaten/kKota. Padahal, fungsi tata ruang berbeda dengan fungsi AMDAL.

Pengambilalihan Tanah Oleh Negara atau BaAdan Usaha Swasta.Pengadaan Tanah(ini memakai
dasar hokum lama)
66. Perpres No. 148 tahun 2015 tentang Pengadaan tanah untuk kepentingan umumditandatangani
pada 28 Desember 2015, meruapakan perubahan keempat dari Perpres Nomor 71 tahun 2012
tentangPenyelenggaraan Pengadaan Tanah BagiPembangunan Untuk Kepentingan
Umum.Dengan peraturan ini memungkinkan secara perlahan, badan usaha swasta yang

18
memerlukan tanah dapat bertindak atasnama negara. Berbagai perubahan terhadap PP ini bukan
diarahkan untuk kepastian hukum atau penghormatan terhadap pemilik tanah dalam mencapai
mufakat, namun justru perubahan tersebut untuk mempermudah pengambilan tanah oleh Negara,
dan justru dimungkinkan bahwa pihak swasta yang mengerjakan proyek bersama dengan Negara
juga memiliki hak serupa dengan Negara melalui proses jual beli, tukar-menukar, atau cara lain
yang disepakati oleh pihak yang berhak dengan badan usaha swasta.

Catatan Atas AturanPeraturan Pengadaan Tanah


Jika dilihat dalam ESMF Program KOTAKU, menge harus mengacu pada UU 2/2012 tentang Pengadaan
Lahan untuk kegiatan proyek kepentingan Umum, Peraturan Presiden 71/2012 tentang Pengadaan Tanah
dan Perubahannya
b). Aturan tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Sejak tahun xxx, ada dorongan kontroversial untuk perlemahan hak masyrakat atas tanahnya dan untuk
mempermudahkan proses pemindahan terpaksa /penggusuran, yang menyebabkan peningkatan keterlibatan
pihak keamanan (termasuk yang resmi seperti TNI, polisi, dan yang “non-resmi” seperti “preman”) dalam
proses penggusuran. Satu contoh adalah proses pengambilan tanah masyrakat untuk mega-proyek batu bara
di Batang, Java, yang didukung oleh IFC dan PT. Indonesian Infrastructure Guarantee Fund (sebuah
“financial intermediary” yang didukung oleh Bank Dunia) dimana lebih dari 200 “preman” dilokasikan
langsung di tempat proyek dan yang mengintimidasikan masyrakat local untuk menyerahkan tanahnya
“secara rela”. (SUMBER) Tekanan ini menyebab kerusuhan social besar, termasuk demonstrasi dengan
ribuan orang. (SUMBER)Perpres 2015 dan UU 2012 yang controversial merubah peraturan untuk
mempermudakah penggusuran dan memperlemahkan hak2 masyrakat.
PerpresNo. 30 tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umummerupakan
perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dengan peraturan ini
memungkinkan perlahan (Badan Usaha) yang memerlukan tanah dapat bertindak
atasnamanegara. Aturan-aturan tersebut merupakan kelanjutan atau perubahan dari Undang-
undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.mum.

Berbagai perubahan atas UU No. 2 tahun 2012 tersebut, bukan diarahkan untuk kepastian hukum
atau penghormatan terhadap pemilik tanah dalam mencapai mufakat, namun justru perubahan
tersebut untuk mempermudah pengambilan tanah oleh Negara, dan justru dimungkinkan bahwa
pihak swasta yang mengerjakan proyek bersama dengan Negara juga memiliki hak serupa dengan
Negara. Perubahan-perubahan regulasi tersebut seperti memangkas waktu pelaksanaan dari xx
hari menjadi xx hari, meluaskan pihak subjek yang mempumyai hak pengambilan membutuhkan
tanah dari masyrakat dsb.

Aturan ini, meski dalammnya berasaskan pada “Kesepakatan”, namun dalam pengejawantahan
dalam pasal demi pasal, justru memberikan kekuatan pada Negara(dan perusahan??)untuk mendapatkan
tanah, meski tanpa disepakati si pemegang hak (masyarakat atau pemilik lahan). Bahkan jika akhirnya
dipaksakan mengganti rugi si pemegang hak, uang ganti rugi bisa dititipkan di Pengadilan Negeri setempat,
tanpa diberi kepada masyrakat yang bisa juga di tenggah2 proses sengketa tanah atau proses kasus di
pengadilan; Dengan penititan “uang ganti rugi” kpd Pengadilan Negeri, sebuah perusahan bisa jalan terus
dengan pengambilan tanah dan /atau langka2 implementasi proyek walaupun sengketa dengan masyrakat
maupun kasus di pengadilan belum diselesaikan/ diputuskan. (Apakah benar, interpretasi ini??)
67. Mekanisme Komplain Yang Mempersulit Masyarakat

68. Mekanisme Keberatan Yang Sangat Singkat.Untuk keberatan terhadap rencana penetapan
lokasi pembangunan ditanganioleh gubernuryang dilakukan paling lama tiga hari kerja

19
(sebelumnya 14 hari kerja) sejak diterimanya keberatan. Jangka waktu tiga hari merupakan hal
yang tidak memadai untuk menilai keberatan masyarakat terhadap lokasi pembangunan. Dan
untuk penetapan lokasi pembangunan dilakukan oleh gubernur dalam waktu paling lama tujuh
hari kerja, (sebelumya tidak ada batas waktu) sejak kesepakatan dengan masyarakat atau sejak
ditolaknya keberatan dari pihak yang keberatan. Ini berarti maksimal dalam jangka sepuluh hari,
penetapan lokasi pembangunan harus sudah diterbitkan. Hal ini juga dinyatakan secara tegas
dalam Pasal 41 ayat (2) yaitu “Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah habis dan
penetapan lokasi belum diterbitkan, maka penetapan lokasi dianggap telah disetujui”. Walaupun
sebelum penetapan lokasi dilakukan “konsultasi public”, namun hal tersebut memperlihatkan
bentuk kesewenang-wenangan Negara terhadap warganya.

69. Terdapat mekanisme keberatan yang diberikan dalam aturan pengadaan tanah. Namun, dalam relasi
asimetris antara masyarakat dan (lembaga) negara, dan kebiasaan pemakaian proses intimidasi terhadap
masyrakat di lokasi proyek termasuk oleh pasukan bersenjata resmi dan non-resmi, dan aparat pemerintah
setempat, tenggat waktu (berapa waktunua?) dan prosedur yang ditempuh adalah tidak masuk akal dan jauh
dari hasil positif bagi masyarakat. Sebagaimana kasus pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah. Warga
yang menggugat diancam dari awal proyek dengan kehadiran 200 pasukan “preman” yang ditaruh
ditenggah areal mereka (SUMBER? Greenpeace? Laporan lain? Di catatan kaki) dan tak kunjung
mendapatkan keadilan, dan proses persidangan tersebut pun memakan (xx tahun? Xx bulan??waktu yang
lama dibandingkan dengan percepatan proses pengambilan tanah (?);

70.

71. Pengajuan keberatan masyarakat jelas membutuhkan biaya tinggi (high cost). Dalam kondisi seperti ini dan
relasi asimetris, meski tersedia prosedur keberatanhal tersebut sulit sekali dilakukan;

72.

Faktanya, ketentuan ini digunakan oleh sejumlah perusahan untuk melibatkan aparat milter dan
kepolisian dan “preman” yang bersenjata dalam pembebasan tanah. (SUMBER – laporan kasus
Batang – pakai satu contoh sumber di catatan kaki)

73. Pemberian Ganti Kerugian. Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: (a).
uang; (b). tanah pengganti; (c). permukiman kembali; (d). kepemilikan saham; atau €. bentuk lain
yang disetujui oleh kedua belah pihak. Dalam Perpres disebutkan, pemberian ganti kerugian
dilakukan dalam waktu paling lama tujuh hari kerja (sebelumnya tidak ada batas waktu) sejak
penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana pengadaan tanah. Perpres ini juga menegaskan,
pengadaan tanah bagi pembangunan yang dilaksanakan oleh badan usaha swasta, dilakukan
langsung dengan cara jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati oleh pihak yang
berhak dengan badan usaha swasta.

74.
75. Melalui aturan Pengadaan Tanah ini, Pemerintah dan perusahan bisa secara sepihak dan dengan
menggunakan kekerasan bisa memaksa masyarakat terusir dari tanahnya seperti dalam Kasus
DAM Jatigede (Austus 2015) dan proyek Jakarta EmergencyDredgingInitiative (JEDI), proyek
penataan sistem drainase di Jakarta yang didanai Bank Dunia (2015), Batang?. (SUMBER di
catatan kaki)
76.
77.

20
78. Peraturan ini tidak menyebutkan petani penggarap, penyewa, dan upah buruh. Mereka mungkin
menerima kompensasi untuk tanaman atau struktur di atas tanah yang terkena, inwhich jumlah
kompensasi biasanya didasarkan pada kesepakatan informal dengan pemilik tanah.
79.
80. Peraturan ini tidak menyebutka petani atau pemilik tanah yang tidak ada bukti sertifikat tanah.
(Betulkah?_) Formulir “pemindahan secara rela” yang akan digunakan dalam proyek BD/AIIB
(Appendix 17 dari ESMF) sepertinya hanya berlaku untuk pemilik tanah yang bersertifikat dan di
Indonesia, memang hanya minoritas kecil masyrakat memiliki sertifikat tanah. Implikasinya
adalah bahwa kemungkinan majoritas warga yg akan kena dampak proyek tidak akan mempunyai
hak2 keterlibatan, partisipasi, pilihan ttg ingin pindah atau tidak untuk majoritas masyrakat –
yaitu yang tidak punya sertifikat. Padahal di Safeguards BD, masyrakat yang kena dampak proyek,
semua masyrakat mempunyai hak konsultasi, keterlibatan dari awal dalam semua tahap projek dari
perencanaan sampai implementasi, monitoring dan evaluasi. Dan ada hak jelas atas penggusuran (selain
harus diusaha dihindari), hak masyrakat adat, hak atas lingkungan hidup, dll.
81.
82. Peraturan kompensasi yang ada tidak termasuk pertimbangan untuk biaya relokasi, tanah dijamin
untuk relokasi, atau hilangnya bangunan untuk becompensated dalam bentuk yang sama dari
bangunan di lokasi perumahan dengan akses yang setara ke lokasi semula. Mnt BD harus ada
kewajiban bahwa setalah direlokasi, taraf hidup minimal sama dengan sebelumnya dan diharapkan lebih
tinggi.
83.
84. Dalam aplikasi, kompensasi yang dibayarkan dengan uang tunai untuk hilangnya tanah,
bangunan, dan tanaman. Menurut Bank Dunia, kompensasi tanah untuk tanah lebih aman dan sering ada
masalah dengan pemakaian uang tunai sebagai kompensasi.
85.
86. Keputusan Bupati hanya menyangkut kompensasi untuk tanah, bangunan dan tanaman, dan tidak
memperhitungkan laba rugi dan mata pencaharian penuntut. Di safeguards Bank Dunia perlu dihitung
semua kehilangan, termasuk hilangan mata pencaharian, akses kepada sumber daya alam, dll.
87. Terkait ganti kerugian dalam bentuk uang, dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah
berdasarkan validasi dari ketua pelaksana pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk. Validasi
tersebut dilaksanakan dalam waktu paling lama tiga hari kerja (sebelumnya tidak ada batas
waktu) sejak berita acara kesepakatan bentuk ganti kerugian. Dan Penilaian dilakukan bidang per
bidang tanah,meliputi: (a). tanah; (b). ruang atas tanah dan bawah tanah;(c) bangunan; (d)
tanaman; dan (e) benda yang berkaitan dengan tanah;dan/atau (f) kerugian lain yang dapat
dinilai. Namun, dalam prakteknya, karena relasi yang tidak imbang antara Negara dan warga
Negara, menyebabkan warga Negara menerima begitu saja ganti kerugian, termasuk jika ia tidak
setuju, karena pemberian ganti kerugian selanjutnya akan dititipkan di Pengadilan Negeri. Setelah
ada penitipan uang ganti kerugian, proses pengambilalihan tanah telah legal dilakukan.

Permasalahan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat


88. Dalam ESMF disebutkan bahwa untuk mengkonfirmasi keberadaan Masyarakat Hukum Adat a
89. kan dilakukan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam ESMF yang disetujui (yang
diadopsi OP 4.10, Bank Dunia IP Screening Study (2010) dan kriteria "Masyarakat Hukum Adat"
-MHA-dirangkum dari berbagai Peraturan Indonesia). Hal ini ternyata berbeda dengan ESMF
dalam versi KOTAKU, yang jelas-jelas menyebutkan bahwa kerangka kerja pengelolaan
lingkungan dan social program KOTAKU megadopsi hukum dan peraturan pemerintah Indonesia
yang “dianggap” sejalan dengan pemenuhan Kebijakan Bank Dunia tentang Masyarakat Hukum
Adat (OP 4.10) dan Sumber Daya Budaya (OP 4.11) 33. Hal ini merupakan pelanggaran atas
kewajiban Bank Dunia yang harus menggunakan Safeguard-nya dalam proyek ini;

33Lihat Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Program KOTAKU halaman 13.

21
90. Selanjutnya, ESMF program NSUP maupun atau KOTAKU juga telah menyebutkan aturan
hukum terkait dengan Masyarakat Hukum Adat, sebagai berikut:
91.
92. Disebutkan bahwa Confirmation on IPs presence will be done in accordance with the
requirements specified in the approved ESMF (which adopted OP 4.10, World Bank IPs
Screening Study (2010) and the criteria of “Masyarakat Hukum Adat” —MHA—summarized
from various Indonesian Regulations) and additional information gathered from respective cities.
93.
94.
95.
96. Berikut iniadalah resume rujukan Law and Regulations related to IPs. This framework takes
into account issues related to IPs:
97. as included in the following Law and Regulations:
a. UUD 1945 (Amandemen) Bab 18, ayat 2 dan pasal 281 ayat 3;
b. Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan (ditambah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012);
c. Peraturan Mendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA;
d. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.62/2013 (penyesuaian Peraturan Menteri No. P.44/ 2012)
tentang Pengukuhan Kawasan Hutan;
e. Peraturan Bersama Mendagri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Badan
Pertanahan No 79/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di
dalam Kawasan Hutan;
f. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9/2015
tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu
g. Undang-undang No. 6/2014 tentang Desa; dan
h. Undang-undang No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

UUD 1945 (Amendment) Chapter 18, clause #2 and Chapter 281 clause # 3;

Law No. 41 on Forestry (plus Constitutional Court Decision No. 35/PUU-X/2012;, see Footnote 4);

MOHA Regulation No. 52/2014 on the Guidelines on the Recognition and Protection of MHA;

43

Ministerial Regulation of MOH No. P.62/2013 (adjustment of Ministerial Regulation No.

P.44/2012) on the Establishment of Forest Area;

Joint Regulation of MOHA, Ministry of Forest, Ministry of Public Works and Land Agency No.

79/2014 on Procedures to Settle Land Ownership Conflict in Forest Area;

Regulation of the Minister of Land Agency and Spatial development No. 9/2015 on the Procedures

to Establish the Land Communal rights on the MHA Land and Community Living in the Special

Area;

Law No. 6 / 2014 on Village; and

Law No. 18/2013 on Prevention and Alleviation of Deforestation (UUP3H).

22
98. Kami mengkhawatirkan kalau ternyata identifikasi atas keberadaan masyarakat hukum aAdat di
wilayah-wilayah yang terkena dampak proyek NSUP ini sangat mengacu pada peraturan
perundang-undangan Nasional, justru akan merugikan masyarakat hukum adat. Hal ini
karena pada banyak aturan hukum tersebut masih mensyaratkan pengakuan formal dari
pemerintah daerah terhadap masyarakat hukum adat, sementara sangat sedikit
pemerintah daerah mengeluarkan keputusan atau peraturan daerah atas pengakuan
masyarakat hukum Adat. Kini Meski akhirnya kini sudah ditetapkan 9 (sembilan) hutan adat di
Indonesia.34,Sembilan hutan adat yang diakui kepemilikannya oleh negara yakni hutan adat yang
terletak di Merangin (Jambi), Bulukumba (Sulawesi Selatan), Morowali Utara (Sulawesi Tengah),
empat hutan adat di Kerinci (Jambi), Lebak (Banten), dan Humbang Hasudutan (Sumatera
Utara)).Selain itu, sejak adanya putusan Mahkamah KOnstitusi Constitutional Court Decision No.
35/PUU-X/2012 sampai kini belum ada hutan adat yang ditetapkan oleh kementerian kehutanan
melalui peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015
tentang Hutan Hak35.36Sehingga kebeNamun, melihat prosesnya, butuh waktu yang lama untuk
mendapatkan pengakuan ini.

Dengan adanya kenyataan proses panjang dan butuhnya pengakuan formil dari Negara, maka
penilaian terhadap hidupnya Adat Istiadat dari suatu masyarakat hukum adat di suatu wilayah
juga harus mempertimbangkan secara seksama dan melihat riwayat sebenarnya. Sehingga tidak
melulu menyandarkan pada pengakuan formal dari Negara.

99.
100.
101.
102. cccccccc
103. peraturan pemerintah daerah dianggap jumlah kompensasi untuk tanah, bangunan dan aset
lainnya berdasarkan nilai-nilai saat ini di time.However pertimbangan untuk nilai ekonomi dari
assetsincludedepreciation struktural, tergantung pada usia bangunan.
104. c). Perpres Nomor 3 tahun 2016 tentangPercepatanProyekStrategis Nasional akan
mengukuhkan perampasan hutan dan perusakan lingkungan
105. Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional akan
memgukuhkan perampasan hutan dan perusakan lingkungan. Berbagai insentif dan privilege
pembangunan infrastruktur dan penghilangan hak masyarakat yang terkena dampak proyek ternyata
tak cukup melalui UU Pengadaan Tanah atau aturan lain yang terkait dengan perlindungan
lingkungan saja. Untuk mempercepat Pemerintah Indonesia yang menggenjotpembangunan
infrastruktur kini Pemerintah Indonesia telah barusanmengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 3
tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek k Strategis Nasional. Melalui
106.
107. Dengan Perpres sPercepatan Proyek Strategi Nasional ini, berbagai proses perizinan dipangkas
jangka waktu pemberian ijin dipersingkatnya,., sehingga sudah pasti berakibat pada kualitas penilaian /

34Keputusan Penetapan Hutan Adat ini mendasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hakdan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi No.
35/PUU-X/2012
35Keputusan Penetapan Hutan Adat ini mendasarkan pada P peraturan Mmenteri Llingkungan Hhidup dan
Kkehutanan nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak dan tindak lanjut dari putusan Mahkamah
Konstitusi No. 35/PUU-X/2012
36Wilayah Hutan Adat Diharap Dapat Terus Diperluas,
http://nasional.kompas.com/read/2017/01/05/17232061/wilayah.hutan.adat.diharap.dapat.terus.diperluas, 5
Januari 2017

23
due diligence terhadap dampak terhadap lingkungan hidup dan masyrakat dan kualitas konsultasi public
yang sehrusnya menjadi pertimbangan substantive bagi pembangunanSseperti.
108. Dalam Perpres tersebut, jangka waktu:

a. IzinLingkungan harus diselesaikan paling lama 60(enampuluh) harikerja. Jangka


waktu ini sangat tidak masuk akal, mengingat untuk memiliki Ijin Lingkungan, sebuah
kegiatan pembangunan harus memiliki AMDAL, yang berasal dari kerangka acuan,
aAndal dan RKL-RPL. Untuk proses AMDAL dalam PP 27/2012, jangka waktunya
adalah 125 hari kerja, di luar proses permohonan Ijin Lingkungan yang akan
dikeluarkan Menteri, atau Gubernur atau Bupati/Walikota. Pemangkasan ijin ini akan
berakibat pada kualitas penilaian / due diligence terhadap dampak terhadap lingkungan hidup
dan masyrakat , juga kualitas konsultasi public yang sehrusnya menjadi pertimbangan
substantive bagi pembangunan;
b. Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan kini hanya membutuhkan waktu selama 30 (tiga puluh) hari.
c.
d. Begitu pula dengan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, yaitu izin yang diberikan untuk
menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan, hanya dapat diberikan di dalam : (a).
Kawasan Hutan Produksi; dan/atau (b). Kawasan Hutan Lindung. yang (ceritakan ttg izin ini:
memberi izin untuk keluarkan sebuah daerah hutan dari syarat / lindungan dan mengizinkan
bhw hutan itu dipakai untuk urusasn industry ??? atau apa artinya) jJika mengacu pada
aturan P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (dan
berbagai aturan perubahannya), akan membutuhkan waktu selama 2 tahun untuk
mendapatkan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.37 Hal ini dikarenakan proses
penilaian usaha, lingkungan dan terkait masyarakat sekitar membutuhkan waktu yang
cukup lama dan bertujuan mendapatkan kawasan hutan yang akan digunakan sebagai
lahan usaha dan lahan penggantinya.
e.
f.
g. Namun dengan adanya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan
juga Perpres 3 tahun 2016, Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan kini hanya
membutuhkan waktu selama 30 (tiga puluh) hari. 38 Alhasil, berbagai proses
pertimbangan teknis, pemeriksaan validitas usaha, konsultasi public, serta kawasan
yang akan menjadi pengganti akan makin dibuat singkat dan dalam waktu yang tidak
masuk akal. Sehingga proses penghancuran hutan, dan pelanggaran atas hak-hak
masyarakat Adat dan masyrakat lain yang tergantung terhadap hutan untuk mata
pencahariannyasekitar hutan akan semakin massif ke depannya.Dengan percepatan proses
ini, dan pemotongan harapan apa2 tentang kemungkinan proses konsultasi dengan
masyrakyat di daerah hutan, diramalkan juga akan ada peningkatan pemakaian kekerasaan
melaluai pemakaian TNI, pasukkan kepolisian atau “preman” terhadap masyrakat.
h. Perluasan jenis kegiatan non kehutanan. Ijin pakai kawasan hutan kini diperluas menjadi
15 (limabelas) jenis kegiatan non kehutanan, dari sebelumnya 12 (duabelas) kegiatan.
Penambahan kegiatan meliputi (i) pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan; (ii)

37 Pemerintah Permudah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan,


http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/19012251/Pemerintah.Permudah.Izin.Pinjam.Pakai.Kawasan.H
utan, Selasa 29 September 2015
38Lihat Pasal 6 ayat (8) Perpres 3/2016

24
pertanian tertentu dalam rangka ketahanan energi; atau(iii) pembangunan bandar udara dan
pelabuhan. Walau ditentukan tidak boleh melebihi 30% kawasan hutan, namun perluasan
jenis kegiatan ini mempercepat kerusakan hutan, termasuk kerusakan hutan lindung.

109.
110. Memang sejak beberapa tahun ada MOU yang ditandatangani antara TNI dan
Department Kehutanan (dan yg lain Pertanian? PU?? – kalau tak salah Bang RIO ada daftar
ini – sangat penting disebut, krn dengan MOU ini berarti tiap instansi bisa mendanai
(termasuk pakai dana BD) pekerjaan operational TNI di daerah yg ada proyek. Menigkatkan
secara drastis keterlibatan military langsung dalam proyek.

111.

112.

113. Point-point diatas memperlihatkan bahwa standar EA perlindungan lingkungan hidup dan
masyarakat di “system negara”Indonesiamemangjauh lebih rendah dibandingkan dengan
standard SafeguardBank Dunia. Oleh karena itu, seharusnya penilaian dampak terhadap
lingkungan dan masyrakat didasarkan kepada standar safeguard Bank Dunia, bukan kepada
ketentuan peraturan perundang-undangan maupun aspek lain dari “country system” di
Indonesia.

114.

115.

Disebutkan bahwa Confirmation on IPs presence will be done in accordance with the
requirements specified in the approved ESMF (which adopted OP 4.10, World Bank IPs
Screening Study (2010) and the criteria of “Masyarakat Hukum Adat” —MHA—summarized
from various Indonesian Regulations) and additional information gathered from respective cities.

Berikut iniadalah resume rujukan Law and Regulations related to IPs. This framework takes
into account issues related to IPs:
as included in the following Law and Regulations:
a. UUD 1945 (Amendment) Chapter 18, clause #2 and Chapter 281 clause # 3;
b. Law No. 41 on Forestry (plus Constitutional Court Decision No. 35/PUU-X/2012, see
Footnote 4);
c. MOHA Regulation No. 52/2014 on the Guidelines on the Recognition and Protection of
MHA;
d. 43
e. Ministerial Regulation of MOH No. P.62/2013 (adjustment of Ministerial Regulation No.
f. P.44/2012) on the Establishment of Forest Area;
g. Joint Regulation of MOHA, Ministry of Forest, Ministry of Public Works and Land
Agency No.
h. 79/2014 on Procedures to Settle Land Ownership Conflict in Forest Area;
i. Regulation of the Minister of Land Agency and Spatial development No. 9/2015 on the
Procedures

25
j. to Establish the Land Communal rights on the MHA Land and Community Living in the
Special
k. Area;
l. Law No. 6 / 2014 on Village; and
m. Law No. 18/2013 on Prevention and Alleviation of Deforestation (UUP3H).
Kami mengkhawatirkan kalau ternyata identifikasi atas keberadaan masyarakat hukum ada di
wilayah-wilayah yang terkena dampak proyek NSUP ini sangat mengacu pada peraturan
perundang-undangan Nasional, justru akan merugikan masyarakat hukum adat. Hal ini karena
pada banyak aturan hukum tersebut masih mensyaratkan pengakuan formal dari pemerintah
daerah terhadap masyarakat hukum adat, sementara sangat sedikit pemerintah daerah
mengeluarkan keputusan atau peraturan daerah atas pengakuan masyarakat hukum Adat. Selain
itu, sejak Constitutional Court Decision No. 35/PUU-X/2012 sampai kini belum ada hutan adat
yang ditetapkan oleh kementerian kehutanan melalui peraturan menteri lingkungan hidup dan
kehutanan nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak

IV. PELANGGARAN HAM DAN ESMF DALAM PROYEK PENATAAN


PEMUKIMAN

Penataan Pemukiman di Propinsi DKI Jakarta

116. Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah ibu kota negara Republik Indonesia.
Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi, dengan
luas darat sekitar 661,52 km² dan luas lautan: 6.977,5 km², dengan penduduk berjumlah 10.187.595
jiwa pada tahun 2011. Jakarta menjadi pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, tempat berdirinya
kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Sehingga Jakarta menjadi
salah satu kota tujuan urbanisasi.Dari total kawasan perumahan seluas 42.440,61 Ha (66,52 % luas
Jakarta), 20,18% adalah kawasan permukiman kumuh. BPS mencatat jumlah rumah kumuh sebanyak
181.256 unit yang tersebar di 279 RW 39. Wilayah inilah yang akan menjadi sasaran program Kotaku
untuk lima tahun ke depan;

117. SUMBER?

118.
119. Penggusuran Paksa di DKI Jakarta. Walaupun Program Kotaku direncanakan mulai akan
dilakukan pada September 2016. Meski demikian, patut dicatat bahwa , dalam proses pembangunan
di DKI Jakarta,dilakukanmelalui penggusuran paksa seringkali dilakukan (?). Data-data berikut
memperlihatkan pola pendekatan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dalam mengelola lingkungan dan
social dalam proyek-proyek pembangunannya.Berdasarkan hasil penelitian LBH Jakarta, sepanjang
Januari-Desember 2015 telah terjadi 113 (seratus tiga belas) kasus penggusuran paksa, yaitu Jakarta
Utara (31 kasus), Jakarta Timur (31) kasus, Jakarta Pusat (23 kasus), Jakarta Barat (14 kasus) dan

39Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2012.Kawasan Perumahan dan Permukiman; DKI Jakarta.

26
Jakarta Selatan (14 kasus) yang tersebar di seluruh wilayah sebagaimana terlihat dalam peta
berikut .40Pertanyaan: Apakah tiap kasus = 1 kk; atau apakah tiap kasus = banyak keluarga/ beberapa
kelurahan dll?

Peta Penggusuran Paksa DKI Jakarta Tahun 2015

120. Penggusuran untuk Berbagai Tujuan.Bahwa dari 113 kasus penggusuran (apakah in 113 kk yg
digusur, atau kasus dgn banyak KK? Kalau tahu berapa orang yg digusur bagus disebut
disini.)dilakukan dengan tujuan berbeda yaitu pembangunan waduk (10 kasus); normalisasi sarana
perairan (37 kasus); taman kota (4 kasus); properti swasta/BUMN (3 kasus); pembangunan jalan (13
kasus), fasilitas TNI (3 kasus), Ruang Terbuka Hijau (4 kasus), melaksanakan Perda tentang
Ketertiban Umum (43 kasus); fasilitas POLRI (1 kasus); pembangunan MRT (1 kasus); aset Pemda (2
kasus); proyek JEDI (1 kasus); dan pembangunan fasilitas umum lainnya (9 kasus). Makanya ada
kekwatiran bahwa pPola pengusuran ini akanbukan tidak mustahil akan dilakukan kembali dalam
proyek Kotaku.41

121. Penggusuran Tanpa Musyawarah. Berdasarkan penelitian yang sama, LBH Jakarta
menemukkan bahwa penggusuran tidak dilakukan melalui proses musyawarah atau konsultasi yang
bermakna. Dari total 113 kasus, sebanyak 18 kasus diputuskan melalui musyawarah, sedangkan
dalam95 kasus lainnya masyrakat digusur secara sepihak. Dan penggusuran dilakukan tanpa
informasi yang cukup, tergesa-gesa dan tanpa standar prosedur. 42

122. Penggunaan Kekerasan dan Melibatkan Aparat Yang Tidak Berwenang.Dari 113 kasus
penggusuran paksa yang terjadi di wilayah DKI Jakarta, sepanjang tahun 2015, hanya ada 1 (satu)

40Data pengusuran di DKI Jakarta diambil dari hasil penelitian :Atas Nama Pembangunan Laporan Penggusuran
Paksa Di Wilayah Dki Jakarta Tahun 2015,Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2016,58 halaman. Dapat diakses
http://www.bantuanhukum.or.id/web/wp-content/uploads/2016/02/Laporan-Penggusuran-2015_LBHJ_web.pdf

41ibid
42ibid

27
kasus penggusuran yang dilakukan oleh warga dengan jalan sukarela. Selebihnya, dilakukan dengan
berbagai cara, dalam waktu bersamaan, yang bersifat represif dan mengancam warga, yaitu
penyebaran ancaman dengan alat berat (54 kasus), pelibatan Satpol PP (108 kasus), pelibatan personil
POLRI (67 kasus) dan TNI (65 kasus). Keterlibatan POLRI dan TNI tidak dapat dibenarkan karena
tidak termasuk ke dalam tugas pokok dan fungsinya sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 43

Bank Dunia Minta Ahok Lebih Manusiawi Saat Menggusur Warga44


Rabu, 10 Juni 2015 | 07:25 WIB

Puluhan warga bantaran kali grogol berunjuk rasa memberikan tanda tangan tolak penggusuran di Kebon
Jeruk, Jakarta, 17 September 2014. Mereka menolak untuk digusur akibat tidak adanya ganti rugi dari
pemerintah. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan ada perbedaan cara
memindahkan warga antara Pemerintah Provinsi DKI dan Bank Dunia.

Ahok menuturkan Bank Dunia meminta relokasi warga yang rumahnya terkena proyek Jakarta Emergency
Dredging Initiatives (JEDI) harus manusiawi.

"Bank Dunia mintanya kami siapkan dahulu seribu unit rumah susun baru boleh membongkar seribu rumah.
Itu kan tak mungkin," ucap Ahok di Balai Kota, Selasa, 9 Juni 2015.

Menurut dia, permintaan tersebut tak bisa dilakukan lantaran banyaknya penyewa unit rumah susun,
sedangkan pemerintah tak bisa serta-merta mengusir penghuni yang telah membayar uang sewa tersebut.
"Bagi kami, yang penting pemerintah berupaya menyiapkan rumah susun sebagai pengganti," ujar mantan
Bupati Belitung Timur ini.
 
Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Agus Priyono mengatakan Bank Dunia berharap pemerintah DKI bisa
menyelesaikan terlebih dahulu relokasi warga yang akan tergusur akibat proyek JEDI.

43ibid
44https://m.tempo.co/read/news/2015/06/10/214673671/bank-dunia-minta-ahok-lebih-manusiawi-saat-
menggusur-warga

28
Bank Dunia, ucap dia, meminta, ketika relokasi dilakukan, pemerintah harus memperhatikan faktor ekonomi
warga yang dipindahkan.

"Bank Dunia minta, saat relokasi dilakukan, tak boleh ada penurunan ekonomi bagi warga yang dipindahkan
itu," tuturnya. Padahal, ujar Agus, banyak warga yang tinggal di bantaran kali tak memiliki izin mendirikan
bangunan (IMB).

Agus menjelaskan, Bank Dunia akan menunda no objection letter jika pemerintah tak merelokasi warga
sesuai dengan standar Bank Dunia. Padahal surat tersebut, kata Agus, sangat diperlukan untuk pengerjaan
proyek tersebut.

"Kontrak pengerjaan tak bisa kami tanda tangani jika no objection letter tak segera keluar, padahal saat ini
lelang tengah berjalan," ucapnya. Akibatnya, ujar Agus, pengerjaan proyek JEDI bisa molor.

JEDI merupakan salah satu cara Pemerintah Provinsi DKI mencegah banjir. Tujuan proyek JEDI ialah untuk
normalisasi dan rehabilitasi 13 sungai dan lima waduk di Jakarta.

Proyek JEDI dibagi dalam tujuh paket. Pemprov DKI mendapatkan tiga paket. Sedangkan pemerintah pusat
membangun empat paket. Pinjaman dari Bank Dunia untuk proyek tersebut mencapai Rp 1,2 triliun.

GANGSAR PARIKESIT

123. Penggusuran Tanpa Solusi. Bahwa dalam standar safeguard WB maupun standar HAM, setiap
korban penggusuran paksa berhak atas rehabilitasi, baik dalam bentuk penyediaan tempat tinggal
dengan kualitas hidup dalam derajat yang sama (atau lebih baik) dibandingkan tempat tinggal
sebelumnya, ataupun ganti rugi. Namun,dari 113 kasus, 72 kasus tidak memberikan solusi apapun
bagi WTP, dan hanya 41 kasus yang menawarkan solusi, yaitu relokasi (32 kasus) danag anti
kerugian (9 kasus). Dari 32 solusi relokasi, ternyata hanya 18 relokasi layak, 5 relokasi tidak layak,
dan 9 relokasi hanya memberikan solusi kepada sebagian warga. Dan untuk ganti rugi, hanya 5
kasus yang sesuai dengan nilai kerugian dan 4 kasus tidak sesuai dengan nilai kerugian 45. Ini berarti
penggusuran menjadikan seseorang menjadi lebih miskin dari sebelumnya, dan dalam konteks
pemukiman tidak layak huni, korban penggusuran tanpa solusidapat berpindah dan membentuk
pemukiman baru di wilayah lainnya. Ini berarti kemiskinan bukan hanya tetap terjadi, tetapi malah
meningkat dan hanya berpindah tempat saja.

124. Pendekatan Legal Formalistik dalam Pembuktian Hak Atas Tanah.Dalam ESMF Kotaku
Kategori Warga/Masyarakat Terkena Dampak Proyek (WTP) dua kategori umum WTP dalam
proyek ini: (1) orang yang terkena dampak pengadaan tanah milik pribadi; (2) orang yang terkena
dampak yang tinggal di tanah pemerintah (tanah negara atau pemerintah daerah) tetapi tidak
memiliki tanah yang ditempati. Penghuni tersebut dibagi lagi menjadi empat kategori: (a) warga
yang memiliki dan menempati tempat tinggal dan bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah
negara atau pemerintah tanpa bukti dasar hukum yang berlaku atau bukti klaim atas lahan yang
mereka tempati; (b) penyewa dari tempat tinggal dan bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah
negara atau pemerintah tanpa bukti dasar hukum yang berlaku atau bukti klaim atas lahan yang
mereka tempati; (c) perambah, yaitu, orang yang memperbesar atau memperluas property mereka
dengan merambah tanah negara atau tanah pemerintah yang berdekatan; (d) tuan tanah ilegal, yaitu
orang-orang yang menyewakan bangunan yang dibangun di atas tanah negara atau pemerintah,
tetapi tidak menempati bangunan tersebut. Selanjutnya, menurut dokumuen Kerangka

45ibid

29
KerjaPengelolaan Lingkungan Dan SosialProgram Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), maupun dalam
Environmental And Social Management Frameworkdari Proyek BD-AIIB ini (?? Atau
KOTAKU??)kategori WTP ini menentukan pemberian hak-haknya, yang diringkas dalam table
berikut :46(SUMBER, halaman?)

Tabel 2 : Warga Terkena Dampak Proyek

Warga Terkena Dampak Hak-Hak Hasil yang Diharapkan


Proyek
Pemilik tanah / aset yang Kompensasi atas kehilangan Pemilik tanah /aset akan
kehilangan tanah dan / atau tanah dan aset lainnya dikompensasi sepenuhnya atas
aset lainnya berdasarkan penilaian harga hilangnya tanah dan aset
dilakukan oleh penilai
bersertifikat
Orang yang memiliki dan Kompensasi atas kehilangan Kompensasi yang diterima dan
menempati tempat tinggal dan tempat tinggal dan bangunan bantuan pemukiman kembali
bangunan lainnya dibangun lainnya, sumber pendapatan dari yang disediakan akan
diatas tanah negara atau tanah mata pencaharian dan bantuan memungkinkan rumah tangga
pemerintah tanpa dasar hukum pemukiman kembali, berdasarkan untuk mendapatkan akses ke
dan klaim yang jelas atas penilaian dari penilai bersertifkat perumahan yang layak atau
lahan yang mereka tempati tempat yang dapat ditempati dan
memiliki dasar huokum yang
(bagaimana ttg tanah yg bukan resmi dan pengadaan lahan tidak
tanah negara?? Apakah ada akan mengakibatkan pemiskinan
tanah non-negara di kota?) masyarakat yang terkena dampak.
Penyewa tempat tinggal dan Proyek ini dianggap dapat Penyewa akan menemukan
bangunan lain yang dibangun memberikan waktu yang cukup tempat untuk disewa atau hidup
di atas tanah negara atau tanah (minimal 2 bulan dari tanggal sesuai dengan kebutuhan mereka
pemerintah tanpa dasar hukum batas akhir / pada saat survei
dan klaim yang jelas atas sensus) bagi penyewa untuk
lahan yang mereka tempat menemukan tempat lain
Perambah, yaitu, orang yang Tidak berhak untuk memperoleh Tidak memiliki insentif untuk
memperluas tanah milik kompensasi atas aset yang terkena merambah tanah negara atau
mereka dengan melanggar dampak yang merambah pemerintah di masa depan
tanah negara yang berdekatan tanah negara atau pemerintah
atau tanah pemerintah tanah
Tuan tanah liar, yaitu orang- Tidak berhak atas kompensasi Tidak memiliki insentif untuk
orang yang memperoleh sewa apapun melakukan skema sewa yang
secara ilegal dari bangunan sama di daerah lain atau di masa
yang dibangun di atas tanah depan
negara atau pemerintah tetapi
tidak menempati bangunan
tersebut.

125. Masyarakat Berhak atas Hak Atas Tanah Terlantar. Walaupun warga tidak memiliki hak
kepemilikan atas tanah, secara huokum dalam kurun waktu tertentu warga berhak atas tanah.
Berdasarkan Pasal 1963 jo. 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur bahwa
warga yang menduduki suatu tanah, dengan itikad baik, selama kurun waktu 30 (tiga puluh) tahun
atau lebih, dapat mendaftarkan tanah tersebut sebagai miliknya. Beberapa yurisprudensi juga
mengatur lama pendudukan yang lebih singkat dari 30 tahun dapat mendaftarkan sebuah tanah yang
ditelantarkan menjadi miliknya. Dalam kasus penggusuran di Jakarta, terdapat 19 kasus yang

46Kerangka KerjaPengelolaan Lingkungan Dan SosialProgram Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), halaman 35-
36 atau dalam Environmental And Social Management Framework, page 45-46

30
warganya telah menduduki lahan tersebut selama lebih dari 30 tahun dan seharusnya tidak boleh
menjadi korban penggusuran paksa atau dikategorikan sebagai penghuini ilegal47. Namun, karena
pendekatan yang digunakan adalah formalistic, menyebabkan warga yang telah tinggal secara turun
temurun kehilangan hak atas tanah atau mendapatkan rehabilitasi yang tidak seharusnya.

126. Dampak Penggusuran Kepada Perempuan dan Anak-Anak. Penggusuran tahun 2015 di DKI
Jakarta telah menyebabkan 8.145 KK dan 6.283 Unit Usaha yang menjadi korban penggusuran paksa.
(SUMBER)Dan korban yang paling rentan adalah perempuan, penyandang disabilitas, anak-anak dan
lansia.Dampak nyata terjadi dalam kasus penggusuran Kampung Pulo, Jakarta (normalisasi Sungai
Ciliwung), yang dimana warga setempat mengakibatkan bentrokan antaradiserang oleh (?)warga dan
aparat. Mereka mengalami trauma atas penggunaan kekerasan yang terjadi. Demikianhalnya, tawaran
relokasi ke rumah susun tidaklah menyelesaikan masalah, khususnya perempuan dan anak-anak.
Warga harus menyewa rumah susun dengan harga Rp 300 ribu per bulannya, padahal umumnya
perempuan bekerja sebagai ibu rumah tangga, buruh, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan kaum miskin
kota yang bekerja secara serabutan, dengan penghasilan yang tidak menentu. Kondisi ini tidak
memutus rantai kemiskinan yang menimpa perempuan;

127. Pembangunan tanpa partisipasiWarga.Rencana normalisasi sungai dan waduk di Jakarta tidak
ditolak mentah-mentah oleh warga. Forum Warga Bantaran Kali Jakarta, pada 17 Maret
2015menyatakan mendukung upaya-upaya Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi banjir, dan
mengajukan konsep alternatif penataan permukiman pinggiran sungai dengan prinsip-prinsip
penataan meliputi:
a) Membuat jalan inspeksi di garis sempadan sungai lebar 5 meter dari kanan kiri sungai
dan bebas dari bangunan;
b) Membuat penghijauan swadaya di pinggiran sungai;
c) Mengolah sampah organik rumah tangga menjadi pupuk kompos dan mendaur
ulang/menjual sampah anorganik
d) Memfungsikan kembali selokan di batas garis sempadan sungai yang pernah dibuat
pada tahun 1994 oleh Pemprov DKI Jakarta
e) Menata rumah warga agar lebih rapi dan menarik
f) Membuat penampungan komunal limbah rumah tangga yang bisa dimanfaatkan untuk biogas
agar limbah tidak dibuang lagi ke sungai
g) Menata kembali instalasi listrik rumah warga agar terhindar dari bahaya kebakaran
h) Pengorganisasian warga sebagai pelaku utama penataan
Konsep dan solusi alternative dari warga tersebut telah disampaikan ke pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, sebagai salah satu jalan keluar bagi masalah penataan dan pengelolaan permukiman rakyat
miskin di Jakarta.48 Namun, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta lebih memilih jalan pintas melalui
penggusuran, timbang mengakomodasi partisipasi masyarakat.

128. Pemerintah DKI Jakartatidak taat putusan hakim. Terhadap rencana penggusuran di Bukit
Duri, Jakarta , untuk tujuan normalisasi Sungai Ciliwung, warga melakukan upaya huokum melalui
gugatan ke pengadilan. WargaBukit Duri RW 10, 11, dan 12 mengajukan gugatan perwakilan
kelompok (class action) terkait dengan rencana penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI
Jakarta atas proyek normalisasi kali Ciliwung ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketua Majelis
Hakim yang memeriksa perkara gugatanclass action warga Bukit Duri memerintahkan Pemerintah
Propinsi DKI Jakarta untuk menahan diri dengan tidak melakukan penggusuran terhadap warga Bukit
Duri hingga proses pemeriksaan perkara selesai. Namun Pemprov DKI Jakarta tidak mengindahkan
perintah dan tetap melanjutkan penggusuran dengan diterbitkannya SP2 kepada warga Bukit Duri.Hal

47Atas Nama Pembangunan Laporan Penggusuran Paksa Di Wilayah Dki Jakarta Tahun 2015. Op.cit, halaman 37
48http://www.urbanpoor.or.id/advokasi-hak-dasar/rencana-penataan-permukiman-pinggiran-sungai-di-jakarta

31
sama juga dilakukan ketika warga sedang mengajukan gugatan Tata Usaha Negara (TUN) di
Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap surat perintah bongkar yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI
Jakarta terhadap warga Bukit Duri.Kondisi ini memperlihatkan bahwa Pemerintah DKI Jakarta
melakukan tindakan sewenang-wenang dan tidak menghormati putusan hakim.

129. Hal-hal yang disampaikan diatas, serupa dapat terjadi kembali dalam Program Kotaku, dan hal ini
bertentangan dengan Ssafeguard Bank Dunia.

Kasus Penataan Pemukiman di Propinsi Sulawesi Selatan

130. Penataan Pemukiman di Propinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan adalah


sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Sulawesi, beribu
kota Makassardengan luas wilayahnya 45.764,53 km². Sulawesi Selatan menjadi salah satu propinsi
yang menjadi sasaran program Kotaku. Terdapat 14 (empat belas) Kota (Kotamadya dan Ibukota
Kabupaten) yang menjadi sasaran program, yakni:Makassar, Maros,Pare-
pare,Sidrap,Pinrang,Palopo,TorajaUtara,Wajo,Bone,Sinjai,Bulukumba,Selayar, Bantaeng, dan Gowa,
yang akan meliputi 321 kelurahan dengan wilayah seluas 1.368,88 hektar49.Pertanyaan: dari kota ini
berapa adalah sasaran dari proyek BD-AIIB Urban Slum Upgrading?

131. Tidak Ada Informasi Program Kotaku. Untuk mengetahui informasi terkait program Kotaku di
wilayah propinsi Sulawesi Selatan ini, seharusnya dapat ditemukan dalam website resmi pemerintah
Propinsi Sulawesi Selatan, www.sulsel.go.id. Namun pencarian dalam web tersebut sampai dengan 25
September 2016 tidak ditemukan informasi mengenai rencana program Kotaku. Informasi mengenai
program ini terdapat dihttps://kotakusulsel.wordpress.com/ dan https://p2kpwajo.wordpress.com/,
serta pemberitaan pelatihan fasilitator sebagai pendamping masyarakat50. Padahal, ESMF
menyatakan bahwa seluruh informasi terkait dengan Program Kotaku akan di unggah atau minimal di
link-an dengan jejaring penanggungjawab program, termasuk website Pemerintah
Propinsi/Kota/Kabupaten, sebagai bentuk komitmen Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
program ini sesuai dengan standard safeguard Bank Dunia, termasuk ketersediaan informasi.

49http://p2kp.org/wartaprint.asp?mid=8273&catid=5&&19/08/2016
50http://beritakotamakassar.fajar.co.id/berita/2016/07/25/1-368-ha-lahan-kumuh-jadi-sasaran-program-kotaku/

32
Tampilan Muka website Propinsi Sulawesi Selatan

132. Program Kotaku di Kota Makassar. Berdasarkan penelusuran Walhi Sulawesi Selatan,
Program Kotaku di Kota Makassar,akan dijalankan di Kelurahan Tallo sebagai langkah
awal/percobaan. Berdasarkan SK Walikota Makassar No. 050.05/1341/Kep/IX/2014, lokasi
penataan kawasan kumuh akan jalankan di 103 Kelurahan yang terdiri tiga kategori, yaitu
dengan kategori berat (36 Kelurahan), kategori sedang (50 Kelurahan), dan kategori ringan (17
Kelurahan), dengan jumlah WTP berjumlah 17.114 rumah tangga. Dan untuk tahun 2016,
program Kotaku di Makassar akan dilakukan di 36 Kelurahan dengan luas 355,33 hektar.
(Apakah tempat ini berhubungan dengan proyek BD-AIIB? Kalau iya, bagus kalai disebut.)
133.

134. Tidak Terjadi Konsultasi Dengan WTP. Untuk menguji apakah masyarakat/WTP
terinformasikan mengenai Program Kotaku, Walhi Sulawesi Selatan melakukan konfirmasi terhadap
masyarakat sasaran program. Menurut warga Kota Makassar yang dihubungi Walhi Sulawesl
Selatan,program ini tidak pernah diketahui oleh masyarakat. Beberapa CSO yang kami dikonfirmasi
juga menjawab tidak mengetahui adanya program pemerintah Kota Makassar terkait penataan
kampung kumuh yang didanai oleh hutang Bank Dunia bersama AIIB. Beberapa CSO yang selalu
menjadi jaringan kerja advokasi WALHI Sulsel juga menyatakan tidak pernah diundang dalam
berbagai pertemuan terkait konsultasi ataupun sosialisasi program penataan kampung kumuh di Kota
Makassar. Di Kota Ssengkang, masyarakat kecewa karena tidak pernah dilibatkan, baik dalam
konsultasi maupun sosialisasi program. (Apakah bisa klarifikasi bagaimana dapat info ini? Atas dasar
wawancara dengan? )Masyarakat meyakini bahwa proyek ini berpotensi menimbulkan gejolak yang
besar, karena tidak sedikit kepala keluarga yang akan terdampak proyek penggusuran ini.Misalnya
menurut salah seorang warga yang diwawancaraikan oleh Walhi SulSel ada yang bilang Fiar (31)51
mengatakan, “Saya mendengar ada rencana penataan kawasan kumuh dari informasi yang tidak
jelas sumbernya. Masyarakat marah dan tidak setuju daerah mereka dikategorikan sebagai
pemukiman kumuh. Masyarakat meyakini bahwa program tersebut hanya akal-akalan pemerintah
untuk memindahkan masyarakat” dari pemukiman mereka. Sedangkan Menurutmasyarakat Kota
Watampone, menilaiprogram Kotaku ini merupakan proyek yang tertutup. Artinya informasi terkait
mekanaisme dan rencana pelaksanaannya hanya beredar di orang-orang tertentu, seperti camat, lurah,
dan RW. Sementara masyarakat terdampak, tidak mengetahui dan mendapatkan informasi yang sama.
Hal ini memperlihatkan bahwa informasi hanya diberikan kepada kalangan elite di dalam masyarakat.
Dan penelusuran terhadap publikasi online yang dikeluarkan oleh P2KP di tiga kota tersebut, ialah
tidak adanya kegiatan konsultasi publik antara pemerintah, P2KP kota, dengan masyarakat/WTP,
yang ditemukan hanya adalah sosialisasi program. Artinya masyarakat hanya dijadikan sebagai objek
dan bukan subjek utama dalam Proyek ini dan hanya beberapa “wakil” masyarakat yang diberikan
beberapa informasi. Padahal, ESMF Kotaku menyatakan partisipasi warga dan rasa kepemilikan atas
program ini menjadi hal yang diutamakan untuk menjamin pencapaian tujuan.
135.
136.
Persepsi WTP Kotaku di Keluarahan Tallo, Makassar. Untuk mengetahui persepsi
masyarakat/WTP, Walhi Sulawesi Selatan mendatangilokasi proyek Kotaku di Makassar, yaitu
Kelurahan Tallo. Kelurahan Tallo menjadi kelurahan yang diprioritaskan oleh pemerintah kota Makassar
untuk dibebaskan dari kawasan kumuh pada tahun 2016-2017 dan menjadi proyek percontohan.52Apakah
ini masuk dalam proyek BD/AIIB?
137.

51 Wawancara dengan Wwarga Kelurahan Buntu Pabuttu, Kecamatan Tempe, Kota Sengkang
52Melalui SK Pemerintah kota makassar nomor 050.05/1341/Kep/IX/2014, Kelurahan Tallo akan
menjadi kawasan utama proyek penataan kawasan kumuh di kota makassar

33
Gambar: Citra Satelit Kelurahan Tallo, Makassar, Lokasi Program Kotaku (dok. Walhi Sulsel)

138. Rencana Relokasi Tidak Diketahui dan Ditolak Warga. Kelurahan Tallo terletak di kawasan
pesisir dan muara sungai Tallo yang berada di area pergudangan dan kawasan industri Makassar.
Kelurahan Tallo berada 5 Km dari pusat kota.sehingga akses informasi sulit didapatkan. Populasi
kelurahan Tallo terdiri dari 958 Kepala keluarga dan akan dipindahkan ke rumah susun yang sedang
dibangun Pemerintah Kota Makassar dengan cara mereklamasi Pantai Marbo di Kelurahan Tallo.
Belum ada pertemuan yang membahas soal rencana pemerintah Kota Makassar dalam menjalankan
proyek Kotaku ini. Terkait rencana relokasi ke rumah susun, salah satunya perempuan bernama
Ramlah Jumado (27)yang diwawancarai menyatakan bahwa tawaran pemerintah untuk merelokasi
penduduk dengan cara yang tidak ramah lingkungan, yakni dengan cara reklamasi pantai yang juga
ditolak oleh masyarakat. Selain karena tidak ramah lingkungan, alas an menolak relokasi ke rumah
susun adalah letak yang jauh dari wilayah kelola masyarakat dan keharusan membayar uang sewa
setiap bulan, sementara pendapatan masyakat berkisar Rp 50.000 sampai dengan Rp 100.000per
bulan/hari ? ?hari?.

139. Warga Telah Tinggal Lebih Dari 30 Tahun. Status tanah di kelurahan Tallo merupakan milik
pribadi warga yang telah bersertifikat. Namun, tanah daerah pesisir dan sungai muara umumnya
warga belum memiliki sertifikat, namun telah ditempati warga sekitar 30 tahun atau lebih.Menurut
Salah seorang warga yang berumur diatas 90 tahun H. Sumaning (92)53, “masyarakat yang tinggal di
bibir Sungai Muara Tallo sudah ada lebih dari 30 tahun. Mereka harus pindah ke tempat ini…
(muara sungai) karena tanah mereka diambil pengusaha untuk industri kapal dan gudang barang.
Sejak saat itu penduduk Kelurahan Tallo turun temurun menempati pemukiman mereka sampai saat
ini.Hal sama dinyatakan oleh Ramlah Jumado (27, Perempuan)warga lainbahwa :“rumah-rumah
warga yang tinggal di bibir sungai Tallo memang tidak memiliki dokumen berupa sertifikat
kepemilikan tanah, namun masyarakat telah hidup dan bermukim di daerah itu selama lebih dari 20
tahun. Bahkan ada yang telah menempati lokasi tersebut selama 40 tahun”. Dengan demikian, warga
Kelurahan Tallo, baik yang telah memiliki sertifikat hak milik, maupun telah tinggal selama 30 tahun
memiliki hak yang sama atas tanah;

140. Sumber Pembiayaan Tidak Diketahui Warga. (Apakah Tallo masuk dalam program WB AIIB?
– kalau iya, bagus dikutipkan sumber infomasi itu _misalnya halaman berapa di ESMF). Warga
Kelurahan Tallo tidak mengetahui bahwa sumber dana program penataan pemukiman akan berasal
dari dana hutang Bank Dunia dan AIIB. Karena bagi masyarakat Bugis Makassar, berhutang dapat
menjadi Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis), yaitu ketika seseorang
memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat

53Warga RW 5 Keluarahan Tallo

34
tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan
(disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati
janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri. Selain itu, dalam konteks budaya Bugis
Makassar, berhutang adalah perbuatan yang sangat memalukan. Berhutang bagi orang Bugis
Makassar adalah sifat pacce (ketidakberdayaan, ketidakmampuan), sehingga berhutang adalah
perbuatan yang bertentangan dengan budaya dan tradisi orang Bugis Makassar.Warga yang
diwawancaraiSyahru (24)54 mengatakan bahwa, “Proyek ini akan menambah beban hutang orang
Indonesia… Masyarakat juga tidak menginginkan hutang untuk menggusur masyarakat miskin di
Kota Makassar”. Sehingga berhutang akan terkait dengan budaya siri’ (malu) masyarakat Makassar

141. Terdapat Situs Budaya Benteng dan Kompleks Makam Raja Tallo.Kompleks makam Raja
Tallo dibangun sekitar abad ke-17 dan merupakan tempat pemakaman Raja-raja Tallo abad ke-17
hingga abad ke-19, yang luasnya sekitar 9.225 meter persegi. Namun, benteng Tallo saat ini hanya
dapat ditemui sisa-sisanya saja pada sisi barat, utara dan selatan. Sedangkan, di dalam areal benteng,
kecuali makam, telah dijadikan sebagai lahan hunian penduduk setempat. Ini berarti berlaku OP 4.11
Benda Cagar Budaya (BCB) di lokasi proyek, yang juga harus dikonsultasikan dengan WTP di
wilayah cagar budaya.

Gambar : Makam Salah Satu Raja Tallo55

142. Tanpa Partisipasi Warga. Program Kotaku di Keluarahan Tallo tidak melibatkan partisipasi
warga dalam setiap penggambilan keputusan. Pertama, Masyarakat Kelurahan Tallo tidak setuju bila
kawasan mereka diberi gelar kumuh, karena kekumuhan yang terjadi di pemukiman mereka,
disebabkan sampah kiriman dari kota besar melalui aliran sungai Tallo ke muara sungainya, bukan
karena prilaku masyarakat di pemukiman. Dan penetapan Kelurahan Tallo sebagai kawasan kumuh
oleh Pemerintah Kota Makassar tidak pernah melibatkan warga baik dalam skoring dan penentuan
kawasan kumuh. Kedua, Masyarakat tidak diinformasikan dengan program Kotaku, dan Ketiga,

54Warga RW 2 Kelurahan Tallo


55http://panduanwisata.id/2013/02/27/peninggalan-sejarah-kompleks-makam-raja-raja-tallo/

35
Masyarakat tidak diajak bermusyawarah dalam menentukan putusan penataan pemukiman apakah
relokasi atau alternatif selain relokasi..

143. Tidak Sesuai Kebutuhan Masyarakat. Program Kotaku yang akan merelokasi warga ke rumah-
rumah susun, tidak sesuai dengan kebutuhan warga Kelurahan Tallo. Kebutuhan masyarakat adalah
jaminan atas tempat tinggal, jaminan atas pelayanan public yang tidak diskrimintif, dan yang paling
utama adalah jaminan hidup dan jaminan mendapatkan penghidupan.Sejak 30 tahun yang lalu,
masyarakat yang tinggal di kawasan muara Sungai Tallo telah memanfaatkan muara Sungai Tallo
untuk memenuhi kebutuhan masyarakatsehari-hari. Di muara Sungai Tallo, masyarakat membuat
keramba ikan untuk menjala ikan, yang hasilnya masyarakat jual untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat sehari-hari, serta dikonsumsi setiap hari. Mata pencahariaan inilah yang semestinya di
jamin dan dilindungi oleh pemerintah.

Gambar: Salah satu mata pencaharian masyarakat di Kelurahan Tallo. Keramba ikan komunitas masyarakat
keluarahan Tallo (dok. Walhi Sulsel)

Gambar:Pemukiman warga di muara Sungai Tallo di Kelurahan Tallo yang terintegrasi dengan muara sungai
Tallo. (dok. Walhi Sulsel)

36
144. Dari uraian diatas, nampak jelas bahwa program Kotaku di Sulawesi Selatan tidak dilaksanakan
sesuai dengan kerangka kerja yang telah disusun penanggungjawab program sendiri. Tidak adanya
keterbukaan informasi, konsultasi bermakna dan partisipasi warga, maka diragukan program ini akan
berhasil.Bahkan, dari berbagai pertemuan dan penggalian informasi dari masyarakat terdampak,
program National Urban Slum Upgrading atau penataan kawasan pemukiman kumuh di Kota
Makassar malah akan menimbulkan gejolak sosial di Kota Makassar, lantaran dalam prosesnya,
penanggung jawab tidak menjalankan kerangka acuan sebagaimana mestinya. Masyarakat di muara
Sungai Tallo Masih bersikeras untuk tidak ingin dipindahkan dari pemukimannya saat ini.
145.

Gambar: Pemukian masyarakat di muara Sungai Tallo, Kelurahan Tallo Makassar.(dok. Walhi Sulsel)

V. PRAKTIK PENATAAN PEMUKIMAN PERKOTAAN


146. Keberhasilan penataan pemukiman tidak layak huni di perkotaan sangat ditentukan oleh partisipasi
warga dalam setiap tahapan kegiatan. Program yang berasal dari kebutuhan dan aspirasi warga akan
menjadikan program berkelanjutan dan menjadi milik bersama. Sehingga dalam penataan
pemukiman tidak layak huni di perkotaan, dapat dikembangkan berbagai alternatif penataan yang
berbeda antara satu kota dengan kota yang lain.
147.
148. Salah satu penataan pemukiman yang selalu dirujuk sampai saat ini adalah penataan di Kampung
KaliCode, Yogyakarta. Warga pinggir Kali Code yang diorganisir oleh Romo Mangun
berhasil bertahan dari penggusuran paksa dengan menunjukkan bahwa warga mampu
melakukan penataan secara mandiri dan membuat bantaran kali lebih bersih, indah, dan
aman untuk dihuni. Bangunan dibangun dengan material yang sederhana dan apa adanya,
yaitu material lokal yang terdiri dari kombinasi tanah liat (tanah lempung), batu bata, bata
beton (concrete block), kayu, dan bambu. Konsentrasi perencanaan dan
perancangan berfokus pada penyediaan rumah tinggal sederhana, ruang komunal, ruang
bermain, balai pertemuan, dan ruang edukasi. Dengan bantuan relawan sekelompok
mahasiswa jurusan seni, penduduk memperoleh inspirasi untuk membuat tempat tinggalnya
berwarna-warni. Dalam menata pemukiman di Kali Code, Romo Mangun melakukan dua
pendekatan yaitu pemberdayaan, dan penataan. Melalui pemberdayaan, dilakukan
perubahan dengan menjadikan budaya sebagai identitas warga, sehingga warga menjaga
kebersihan lingkungannya. Sedangkan penataan dengan mengikutsertakan masyarakat
dalam setiap proses, sehingga masyarakat merasakan kepemilikan dan merasa dihargai
sebagai manusia.
149.

37
150. Alternatif lain hadir pula di Kota Surabaya. Paguyuban Warga Stren Kali Surabaya (PWSKS)
bersama CSO mengorganisir diri dan menyusun konsep alternatif untuk menghindari penggusuran.
Warga kemudian melakukan inisiatif untuk memundurkan rumah dan membalikkan posisi tampak
depan rumah menghadap sungai, upaya pengomposan, program Jogo Kali demi menjaga kebersihan
Stren Kali hingga penghijauan kampung. Akhirnya upaya ini membuahkan hasil dengan
disahkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2007 tentang Penataan Permukiman Stren
Kali Surabaya, yang intinya memperbolehkan warga tetap tinggal di Permukiman Terbatas di Stren
Kali, dengan melakukan penataan kampung. Dan bentuk kegiatan penataan swakelola warga antara
lain:

a) Memegang prinsip-prinsip ‘kampung JOGO KALI’ (menjaga kebersihan sungai, menjaga


lingkungan kampung yang sehat dan tidak mencemari sungai, menghadapkan bangunan/rumah
ke arah sungai, menjaga ikatan sosial dan budaya kampung)

b) Menguatkan sistem tabungan yang sudah berjalan di kampung, sebagai modal untuk
merenovasi kampung dan rumahnya

c) Membuat sistem pengolahan limbah rumah tangga dan sistem pengolahan sampah secara
komunal, dan juga sistem pengolahan limbah alternatif (ramah lingkungan) seperti BIOGAS,
septik tank komunal, komposting untuk mewujudkan kampung yang sadar terhadap lingkungan
dan sungainya

d) Rumah-rumah yang berada di pinggir sungai, siap untuk dihadapkan ke sungai dengan konsep
peremajaan wajah rumah dan membuat jalan inspeksi dan penghijauan secara swadaya.

151.

152. Saat Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Joko Widodo (Jokowi), saat itu salah satu program revitalisasi
kawasan kumuh adalah dengan program kampung deret. Kampung Deret dilakukan di 26 lokasi.
Kampung deret dilaksanakan dalam bentuk warga mendapat bantuan dana sebesar Rp 1,5 juta per
meter persegi dengan luas lahan maksimal 36 meter atau sekitar Rp 54 juta per kepala keluarga.
Selain bantuan tunai, pemerintah menyediakan design pembangunan termasuk standar sanitasi
(MCK didalam rumah), listrik, air bersih dan pembuangan limbah komunal. Program ini akan
dilanjutkan namun pada perjalanannya menurut Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ditemui banyak
kendala, diantaranya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa kampong deret didirikan di
tanah negara. Karena itu Ahok lebih memilih untuk membangun rumah susun (rusun) bagi warga
yang ada di kawasan kumuh sekaligus untuk program penataan kota. 56Walau belum dilanjutkan,
program kampong deret ini telah merubah pemukiman tidak layak huni menjadi layak huni, dan
memenuhi standar layanan dasar, dan menjadi salah satu metode penataan pemukiman kumuh.

Wajah Kampung Deret Setelah Diresmikan Jokowi

Sabtu, 5 Apr 2014 |

Housing-Estate.com, Jakarta - Salah satu program Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
56http://www.housing-estate.com/read/2016/09/25/ahok-pilih-rusun-ketimbang-kampung-deret/?
utm_source=HEC&utm_medium=hwpl&utm_campaign=popnw

38
untuk menata kawasan kumuh adalah revitalisasi kampung kumuh menjadi kampung deret. Sejak
tahun lalu sudah dibangun kampung deret di 26 lokasi menyusul 70 lokasi lagi di tahun ini.
Kemarin, 3 April 2014, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Kampung Deret
Petogogan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Kampung Deret Petogagan

Kampung Deret Petogogan mulai dibangun sejak November 2013. Jumlah rumahnya sebanyak 136
unit, tersebar di empat RT di wilayah RW 05. Sebelum terkena program kampung deret wilayah ini
merupakan kampung kumuh. Bangunan rumahnya umumnya menggunakan material seadanya
seperti papan, triplek, atau seng sehingga mudah terbakar.

Dengan dijadikan kampung deret semua tampilan dan ukuran rumahnya menjadi sama, lebar
kavelingnya 3×6 meter dengan luas bangunan 36 m2. Bangunannya dua lantai, masing-masing
lantai luasnya 18 m2. Rumah dibangun dengan sistem rumah instan sederhana sehat (Risha) yang
dikembangkan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dengan budget Rp1,5 juta/m2.

39
Kendati sudah diresmikan baru beberapa rumah yang bisa langsung dihuni. Sebagian besar masih
dalam tahap finishing sehingga belum semua unit menerima aliran listrik dan air dari PDAM.
Bukan hanya meremajakan bangunan, program kampung deret juga menata infrastruktur kawasan
agar lebih layak huni. Misalnya saluran, septic tank, sarana pemadam api (hydrant), hingga
keberadaan taman seluas 100 m2 lengkap dengan sarana bermain untuk anak.

“Peremajaan kampung kumuh menjadi kampung deret dibarengi dengan penyediaan sarana umum
seperti penerangan jalan dan penghijauan di seluruh kawasan,” kata Jokowi saat acara peresmian
kemarin. Yudis

153. Dan yang terbaru, adalah Kampung Warna Warni di Jodipan, Malang, Jawa Timur tengah menjadi
perbincangan hangat. Rumah warga di tepi Sungai Berantas ini telah berubah menjadi daerah wisata
di Kota Malang. Program dimulai dari tawaran dari mahasiswa yang sedang KKN, untuk
memperindah perkampungan di pinggir kali tersebut. Tawaran didiskusikan dan disambut oleh
warga yang kemudian mendapatkan CSR dari perusahaan cat. Hasilnya dari proses penataan ini,
menyebabkan tetangga-tetangga di kelurahan yang lain mengambil langkah yang sama untuk
memperindah kampungnya dan merawat kebersihannya.

Kampung Warna-warni 3 Dimensi, Pojok Selfie Cantik Malang57

Liputan6.com, Malang – Kampung Jodipan dan Kesatrian persis berada di sisi timur Jembatan Embong Brantas
Kota Malang, Jawa Timur. Kedua kampung yang saling bertetangga itu hanya dipisahkan oleh Sungai Brantas.

Kedua kampung itu tengah populer sebagai salah satu tujuan wisata alternatif di Kota Malang. Jika Kampung
Jodipan di selatan sungai lebih dikenal sebagai kampung warna-warni, Kampung Kesatrian yang berada di utara

57http://regional.liputan6.com/read/2595206/kampung-warna-warni-3-dimensi-pojok-selfie-cantik-malang

40
sungai terkenal dengan kampung tiga dimensi (3D).

Tiap hari, terutama sore, anak muda sampai orangtua rela menyusuri gang sempit berliku laiknya labirin. Mereka
asyik berfoto di pelataran rumah warga di kedua kampung itu atau memanfaatkan tangga berundak di dalam
kampung untuk ber-wefie ria.

Berada di tepi bantaran sungai, kedua kampung ini merupakan kawasan padat penduduk dengan kesan kumuh.
Kreativitas para anak muda membuat wajah kampung kini berubah jadi cantik.
Hampir semua tembok rumah warga dicat dengan kombinasi warna yang mencolok mata dan dilukis dengan format
tiga dimensi.

Mirip Desa Riomaggiore di Italia, Boo-Kaap di Afrika Selatan, hingga Desa Gamcheon di Korea Selatan,
penampilan Kampung Jodipan dan Kesatrian itu tetaplah cantik dari atas Jembatan Embong Brantas. Tak kalah
dengan Kampung Code di Gondokusuman Yogyakarta yang juga semakin cantik.

"Awalnya, ada mahasiswa datang ke sini. Dia praktikum dan menawarkan gagasan mewarnai kampung ini. Warga
setuju dan menerima ide itu," kata Soni Parin, Ketua RW 2 Kampung Jodipan ditemui di rumahnya, Senin, 5
September 2016.

Sekelompok mahasiswa itu menawarkan gagasannya ke sebuah perusahaan. Gayung bersambut, proposal
mahasiswa itu diterima karena perusahaan juga memiliki program corporate social responbility (CSR).

Pada Juli, pengerjaan pun dimulai dengan seluruh tenaga pengecatan melibatkan semua pihak. Lambat laun,
penampilan kampung di RW 2 yang terdiri dari RT 6, RT 7 dan RT 9 itu semakin cantik setelah diguyur sekitar tiga
ton cat dan menarik perhatian warga luar untuk berkunjung.

Kunjungan turis dadakan itu menggerakkan hati 105 kepala keluarga di kampung itu untuk lebih menjaga
kebersihan. Mereka tak lagi membuang sampah sembarangan, termasuk menghentikan kebiasaan membuang
sampah di sungai.

"Malu kalau sampai ada sampah berserakan, sekarang semua saling menjaga kebersihan. Apalagi kami juga dibantu
bak sampah," ucap Soni.

Gratis dan Bayar

41
Warga yang masuk ke kampung ini dikenai retribusi sebesar Rp 2.000 per orang. Uang itu disebut Soni untuk
membayar tukang sampah yang tiap hari datang mengangkut sampah mereka.

Sejak banyak wisatawan datang, volume sampah memang pun ikut meningkat di kampung itu. Pada hari biasa, ada
200–300 orang datang berkunjung. Saat hari libur, bisa sampai 600 orang yang datang.

"Kami selalu jelaskan ke pengunjung uang itu dipakai untuk bayar tukang sampah, mereka tak ada masalah," ucap
Soni.

Usai di Kampung Jodipan, pengunjung bisa bergeser ke RW 12 Kelurahan Kesatrian di sisi utara. Kampung ini lebih
menonjolkan lukisan 3D di berbagai sudutnya. Masuk ke kampung ini gratis tanpa dipungut biaya.

"Perusahaan cat menyediakan bahan cat, pemuda kami yang melukis. Kebetulan banyak pemuda kami yang bisa
seni airbrush," ujar Nuryanto, Sekretaris RW 12 Kelurahan Kesatrian alias Kampung 3D.

Meski sejak pagi sampai petang banyak pendatang hilir mudik ke kampung, warga tak terganggu. Bahkan, itu
menjadi berkah lantaran pendapatan ekonomi mereka ikut bertambah.

Warga terutama yang berdagang makanan kecil dan minuman ringan merasakan imbas positifnya. "Lumayan ada
pendapatan tambahan. Warga juga semakin sadar dengan menjaga kebersihan bersama," kata Nuryanto.

Pemerintah Kota Malang menyadari kedua kampung ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu tujuan
wisata baru. Beberapa hari lalu, Wali Kota Malang M Anton meresmikan Kampung Warna–Warni Jodipan sebagai
kampung wisata.

Berbagai konsep pengembangan pun mereka gagas. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)

42
Kota Malang, Wasto mengatakan, pengembangan dilakukan secara bertahap dan saat ini baru Kampung Jodipan
yang masuk dalam rencana pengembangan potensi wisata.

"Kami tengah siapkan rencana pelatihan untuk pemberdayaan ekonomi warga seperti budidaya jamur," ujar Wasto.

Selain itu, fasilitas umum berupa pembangunan penerangan jalan umum (PJU) di Kampung Jodipan telah disiapkan.
Apa yang dibutuhkan oleh warga untuk membenahi pemukiman mereka juga akan diakomodir.

"Sehingga, kampung tak hanya layak secara fisik tapi juga berdaya secara ekonomi," kata Wasto.

154. Dari tigacontoh-contoh penataan pemukiman diatas, sesungguhnya masyarakat urban


mampu mengelola pemukiman secara swadaya. Proses pembangunan yang dilakukan secara
partisipatif, sejak proses perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan sampai dengan perawatannya
menunjukkan keberhasilan dan Sehingga tidak dibutuhkan hutang.....berkelanjutannya. Sehingga,
seharusnya Program NSUP mengadopsi pola pendekatan dari cerita keberhasilan penataan
pemukiman, dan tidak sekedar memberikan hutang yang harus dibayar bissetiap warga negara
Indonesia.

VI. PENUTUP
155.

156. NSUP atau Kotaku Ulangi bhw:


157. Indonesia “Urban Slum Upgrading Project” adalahmenjadi sangat penting karena selain mencakup 153
kota dan 1 Propinsi DKI Jakarta, projek ini merupakan: (i) :
158. projek pertama yang diresmikan oleh AIIB sejak pendiriannya; (ii)
159. projek pertama yang di co-finance oleh BD dan AIIB bersama
160. dan (iiI) menjadi Projek pertama dari AIIB di Indonesia dimana Indonesia berharap menjadi
penerima pinjaman terbesar dari AIIB dan telah menjadi donator #8 besarnya.
161.
162. projekpertama AIIB di Indonesia, dimana Indonesia menjadi pemegang saham nomor 8.Oleh
karena itu, menjadi sangat penting untuk memberikan perhatian kepada semua aspek dalam
program ini, termasuk dampak terhadap lingkungan hidup dan masyarakat, karena proyek ini bisa
merupakan contoh untuk semua proyek berikutnya yang akan didukung oleh AIIB, atau di “co-
finance” oleh BD dan AIIB, termasuk untuk proyek serupa selain di Indonesia;

163. Makanya proyek ini bisa membentukan pola untuk banyak proyek berikut.
164. Proyek ini mulai direncanakan pada Juni 2015 dibawa system perlindungan Bank Dunia yang
disebut “Safeguards” untuk lingkungan hidup dan masyarakat yang terdampak oleh proyek. Proyek
ini disetujui oleh Dewan Pengurus Bank Dunia pada 12 Juli 2016, sehingga tetap dibawah
ketentuan Safeguards Bank dunia dan sebelum Dewan Pengurus Bank Dunia menyetujui perubahan
Safeguards dan pengantiannya dengan sebuah system baru, yaitu Environmental and Social
Framework (ESF). Selama proses penulisan ESF, maka semua proyek yang direncanakan dan
disetujui dibawa Safeguards BD akan tetap memakai system Safeguards BD dan bukan systemESF
yang baru. Oleh karena itu, proyek NSUP ini masih wajib tunduk kepada Safeguard Bank Dunia
dan bukan kepada ESF;

165.

43
166. Dokumentasi proyek yang diunggah di website Bank Dunia dan AIIB tentang proyek NSUPdan keduanya
masih dalam Bahasa Inggris. Ini berarti kedua lembaga tidak memenuhi hak akses terhadap informasi atas
sebuah proyek dalam sebuah bahasa yang bisa dimengerti oleh masyarakat yang akanterkena dampak proyek.

167.
168.
169. 1) proyek ini direncanakan dibawa Safeguards BD sebelum ada ESF baru, jadi perlu digarisbawahi bahwa
Safeguards BDlah yang berlaku untuk proyek ini, bukan ESF.
170. 2) Bahan2 dari BD & AIIB hanya dalam Bhs Inggeris yang tidak berguna untuk proses konsultasi di
Indonesia; perlu semua bahan proyek diterjamakan dalam Bhs Indonesia.
171. 3) Tiba2 proyek ini ditururnkan dari Categori A kepada Categori B degan cara yang sepertinya melemparkan
bagaian “paling kotor” proyek ini kpd bagaian proyek yang didanai oleh Pemerintah Indonesia, sepertinya
untuk menghindari pengunaan Safeguards BD maupun AIIB untuk bagaian proyek yang akan berdampak
tinggi terhadap masyrakat; Perlu digarisbawahi bahwa safeguards BD wajib untuk semua Kotaku.
172. Perubahan Kategori Resiko Dari Kategori A Menjadi B.Pada saat proyek ini direncanakan pada
2015, dampak lingkungan dan social dalam proyek ini diklasifikasikan sebagai Kategori A, dengan
potensi dampak berat terhadap lingkungan dan masyarakat yang terdampak proyek. Oleh karena
ituadasyarat mengimplementasikan analisa lingkungan hidup dan socialyang sangat lengkap dan
mendetail (Environmental Impact Assessment).58Tiba-tiba pada 2016, kategori proyek dirubah dan
direndahkan menjadi Kategori B dimana dampaknya dinilai jauh lebih kecil dari pada dampak dari
Kategori A dan yang mewajibkan analisa lebih ringan dan singkat dari pada EIA yang penuh.
Perbaikan infrastruktur primer dan sekunder dan konstruksi yang akanmenghubungkan infrastruktur
dengan infrastruktur tersier di kawasan tidak layak huni dinilai akan memiliki dampak tingkat
rendah yang tidak signifikan / sensitif, non-permanen atau belum pernah terjadi sebelumnya sampai
dampak tingkat sedang.Penurunan kategori ini menjadikan bagian pekerjaan “paling kotor” dari
proyek ini menjadi bagian proyek yang didanai oleh Pemerintah Indonesia. Bank Duniamaupun
AIIB sepertinya menghindari pengunaan Safeguards untuk bagian proyek yang akan berdampak
tinggi terhadap masyrakat. Walaupun demikian, secara keseluruhan program NSUP tunduk pada
safeguards BD bukan bagian per bagian.

173. Terjadinya
174. Kkonsultasi Ppalsu dalam proyek NSUP, hal ini bisa dilihat pada workshop . Sepertinyasemakin biasa
dan tidak menjadi proses pembelajaran bahwa dalam proyek yang didanai oleh Bank Dunia selalu
diwarnai dengan tidakadanya proses konsultasi publik. Yyang dilakukan untuk proyek NSIUP ini
adalah pada Januari 2016, atas nama “konsultasi para pemangku kepentingan” (“stakeholder
consultation”) yang hanya sebuah pertemuan kecil yang diadakan dikantor Kementerian Pekerjaan
Umumdan Perumahan Rakyat (PUPR) dandihadiri 26 peserta. , termasuk wakil dari Kementerian
PUPR, instansi lain, konsultan sebelum ESMF “disusun kembali” dan diterbitkan kembali pada
Februari 2016.59 Hanya satuLSM yang disebutkan hadir yaitu Yayasan Su Tzidan tidak ada
penjelasan dari 26 peserta rapat, berapa jumlah perwakilan dari PUPR, instansi lain, konsultan
proyek, ataupun staff Bank Dunia. Topik diskusi termasuk “how to deal with the squatter issue and
customary lands”60 Dari notulensi pertemuan ini, kita dapat menyimpulkan pertemuan ini sebagai
konsultasi palsu, dari indentifikasi :
175. Jumlah peserta yang tidak seimbang, antara negara (diwakili oleh instansi-instansi pemerintah)
dengan perwakilan masyarakat sipil. Padahal konsultasi seharusnya dibuat untuk masyarakat,
bukan untuk antar departemen di pemerintahan;

58Lihat misalnya, Project Information Document (Concept Stage) - Indonesia National Urban Slum Upgrading
Program - P154782 (English) ,June 19, 2015.;Integrated Safeguards Data Sheet (Concept Stage) - Indonesia
National Urban Slum Upgrading Program - P154782 (English) , November 18,2015;
59 ESMF, Annex 3: Results of Stakeholders Consultation, SFG177REV, Februari 2016
60 ibid

44
176. Perwakilan dari masyarakat sipil merupakan organisasi keagamaan yang bergerak diissue karitatif,
dan bukan organisasi yang memahami dampak lingkungan dan social, dan mekanisme safeguard
Bank Dunia;
177. Waktu yang disediakan hanya dua sessi, yaitu sessi pertama untuk presentasi dan sessi kedua untuk
tanya jawab. Sementara dokumen yang harus dibahas berjumlah 200 halaman. Dapat dipastikan,
dalam waktu singkat tersebut tidak akan didapatkan hasil konsultasi yang bermakna;
178. Luasnya cakupan projek yaitu 153 kota dan 1 Propinsi dengan sekitar 29 juta WTP, tidaklah dapat
diwakili oleh satu pertemuan dengan 26 peserta;
179. Perwakilan Bank Dunia yang hadir dalam pertemuan sebagai pengamat, diakhir lokakarya
melakukan rapat tertutup yang intinya menyepakati revisi ESMF berdasarkan hasil lokakarya, yang
seharusnya ia memahami bahwa pertemuan tersebut tidaklah dapat disebut sebagai konsultasi
bermakna. (Notulensi dari “Konsultasi” menjadi lampiran 1 dalam tulisan ini.)
180.
181.
182. 4) tTidak adanya proses konsultasi public yang bermakna atas sebuah proyek yang akan berdampak
terhadap 154 kota, hanya “konsultasi palsu”, termasuk sebuah pertemuan kecil pada Januari 2016
di kantor PU yang ada notulensi yg dilampirkan sebagai “bukti konsultasi” di ESMF pada Februari
2016. Dengan demikian sudah terjadi pelanggaran terhadap safeguard Bank Dunia

183. 64. Pengalaman di Propinsi DKI Jakarta dalam penataan pemukiman


5) a kumuh sepanjang tahun 2015 diwarnai dengan a sejarah jelas di daerah urban di Indonesia ttg
penggusuran terpaksa, penuh dengan kekerasaan, melawan hokum, penyalahgunaan pasukuan TNI,
polisi, preman dan tidak memberikan solusi. Pola ini ; Makanya, kemungkinan besar pola itu akan
terulangi diproyek ini di 154 kota dan didanai oleh BD dan AIIB.

184. 6) Istilah “voluntary land donation” kemungkinan akan ada unsur paksaan/koersi/coercion, makanya perlu
dianggap sebagai penggusuran dan perlu ada Resettlement Plan yang jelas dan yang melibatkan warga yang
terdampak, termasuk yang tidak mau pindah tetapi mempunyai gagasan tentang bagamana mereka bisa tetap
berada diwilayah proyek;
185.


65.

7) sepertinya sudah ada pelanggaran safeguards ttg hak atas informasi, konsultasi, pemakaian Country
Systems dll; Jadi semua perlu dihentikan sebelum pelanggaran dikoreksikan.
66. 8) Analisa Country Systems di proyek in sangat lemah sekali(Tabel 1 di ESMF, February 2916 ),
dan tidak masuk akal dan tidak sesuai syarat CSS Bank Dunia (Table 1A CSS).Perlu disusun
kembali termasuk dalam Bahasas Indonesia dengan masukkan dari public dan masa kommentar
public yang cukup panjang. Point-point diatas memperlihatkan bahwa sStandar perlindungan
lingkungan hidup dan masyarakat di “system negara”Indonesia memang lebih rendah dibandingkan
dengan SafeguardBank Dunia. Oleh karena itu, seharusnya penilaian dampak terhadap lingkungan
dan masyarakat didasarkan kepada safeguard Bank Dunia, bukan kepada ketentuan peraturan
perundang-undangan maupun aspek lain dari “country system” di Indonesia.

67. Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, maka terhadap program NSUP atau Kotaku, kami
menuntut :.
68.
69. 9) Selain itu:

45
a. Proyek ini perlu ditinjau kembali segera sebelum ada dampak sangat besar terhadap masyrakat luas;
b. Perlu ada due diligence yang dalam, termasuk pendapatan dan pengunaan gender differentiated data;
c. Perlu ada peninjauan kembali terhadap bukan hanya risiko lingkungan dan masyrakat tapi juga risiko
kekerasaan dari pikak keamanan termasuk TNI, polisi, satpol PP dan preman terkait kepada proyek.
Evaluasi dari LBH telah mendokumentasi keterlibatan pihak keamanan dalam majoritas kasus “slum
upgrading”.
d. Perlu ada pengevaluasinya kembali terhadap CSS sesuai syarat WB OP 4.00, Table 1A untuk
mengevaluasi CSS di Indonesia;
e. Perlu disusun kembali analisa dampak lingkungan dan social, termasuk dampak terhadap masyrakat adat,
perempuan dan komunitas rentan.
f. Perlu dievaluasi kembali konsep hibah tanah (Voluntary Land Donation)“rela penyerahan tanah” dalam
konteks penyalahgunaan pasukan bersenjata, termasuk TNI, polisi, satpol PP atau preman; Dalam
konteks itu, maka tidak ada istilah “rela”.
g. Perlu ada larangan secara explisit dalam dokumen persetujuan bahwa keterlibatan pasukkan keamanan
dan kekerasaan terhadap masyarakat akan menyebabkan penghentian seluruh proyek yang tengah
berlangsung.
h. Oleh karena daftar kota telah diketahui, maka perlu ada konsultasi public yang bermakna per wilayah
terdampak, agar WTP bias berpartisipasi dan ikut menentukan penataan pemukimannya, yang bermakna
untuk terima masukkan dari masyrakat dan civil society daripada konsultasi palsu yang terus berulang2;
i. Memberikan informasi dan Perlu meyakinkan bahwa masyarakat yang terkena dampak proyek ini tahu
atas memiliki hak mereka tuntutanatas mekanisme akuntabiliti dan mekanisme pengaduan Bank Dunia
kepada accountability mechanism di BD maupun AIIB, bukan mechanisme yang lemah di tingkat
proyek.

Annex Nomor (berapa??)

Contoh Konsultasi Palsu yang diterbitkan ESMF, Febuary 2016, SFG1777 REV

This “stakeholder consultation” on the ESMF for the World Bank – AIIB National Urban Slum Upgrading
Project which will impact 154 cities throughout Indonesia was a small meeting held in January 2016,
before the February 2016 revision of the ESMF at the Ministry of Public Works and Housing in Jakarta
with 26 people present. Only 1 NGO is mentioned by name and it is unclear how many attendees were
from the Ministry of Public Works and Housing, other implementing agencies, or consultants for the
project or World Bank staff. Apparently topics of “how to deal with the squatter issue and customary
lands” were discussed. The notes do not make it clear if those discussing these issues were people
labeled as “squatters” or indigenous owners of customary lands or those who wish to obtain those lands
for the project.

46
“Annex 3 Results of Stakeholders Consultation
1. Stakeholders Consultation Workshop was held on January 18, 2016 in Ministry of Public
Works and Housing (MPWH) Office. Objective of the workshop were to disseminate draft
Environmental and Social Management Framework (ESMF) of National Urban Slum Upgrading
Program (NSUP) and to get inputs from stakeholders to improve the draft Framework.

2. The workshop was attended by 26 participants, including Project staff of NSUP, representative
of local governments (LGs), communities, NGOs that are working in urban slum, universities,
consultants, and advisers of PMU of NSUP. The Bank staff was also invited and attended the meeting
as observers. Agenda of the workshop has consisted of two main sessions, first is presentation of
theproject description of NSUP and importance of safeguards in entire project cycles
(preparation,implementation, monitoring and evaluation of the project). Second session was
discussion ofsubstance of the ESMF (triggered safeguards policy) and wrap-up of the meeting
results.

3. Below are some points that were discussed during the workshop that need to be considered as
inputs for revision of the ESMF:

a. Safeguards Issues:
i. Purpose of the ESMF is as an enabler rather than as a constraint to achieve project objectives
need to be emphasized. Message that safeguards is a tool to reduce negative impact and
improve more positive impact needs to be enhance through capacity building.

ii. Land issues.


 Inter ministries or institutions need to closely work together to look for some solutions
on land issues in slum areas. For example, how to deal with squatters issue, customary
land, etc. Collaboration among them is one of key factor to solve land issues.

 Land provision program or other land programs by government should be incorporated


with slum upgrading program.

47
 Need detail description in technical manual which institutions who will get voluntary
land donation. Also, need detailed mechanism in technical manual on processing after
land has been donated from land owners.

 Spatial planning need to be considered to resolve land issues.

 In PNPM Urban, community has built infrastructure in legal land. Community tend to
avoid facilitation illegal land, even the main issues of the slum is squatters who occupy
illegal land. The participants of the meeting expected that in NSUP, land issues could
be part of the project cycle to be facilitated.

iii. Physical Cultural Resources. Collaborate with local governments, particularly who already
have LG‘s law / decree on PCR, will be potentially improving the project quality
rather than
work as solitary project in PCR area.

iv. Timber. Some settlements area in Indonesia are using timber excessively for housing and
infrastructure. For example in Banjarmasin, stilt housing and wooden ramp for stilt road
above the river are using local, good quality of timber. Framework on timber will guide
community and local government to utilize legal timber for project infrastructures.
82

Recommendation from participant, if there is a policy to convert timber to other


environmentally sounded materials, need clear road map of the timber replacement use in the
technical manuals.

v. Indigenous Peoples. Based on experience of PNPM Urban, even based on IPs database there
had been indicated IPs presence in PNPM Urban areas, the project did not involve IPs. Even
the NSUP area is same with PNPM Urban area, IPs Planning Framework is prepared to

48
anticipate if there would be IPs presence and affected by subprojects.

b. Management Issues related to safeguards that have been discussed are as follows:

i. Need to clearly define in safeguards technical manuals on roles of institutions at the city
level and community level that will deal with safeguards issues.

ii. Ensuring training materials are suitable for community and related stakeholders.

iii. Livelihoods should be part of the project, if the project deal with land issues.

c. NGO from Budha Tzu Chi Indonesia Foundation has presented their experiences in slum
upgrading
programs in DKI Jakarta. The NGO has been working together with DKI Jakarta and some CSRs
of private companies to implement the programs in three areas in DKI Jakarta. In one area, the
program has relocated 350 households without conflict from slum area in riverbank to a subsidized
apartment that is provided by DKI Jakarta. Facilitation process of the NGO was not only on
physical relocation, but also on behavior / non-physical issues too. For example, how to ensure
space adequacy per person, availability of education and health facilities, betterment of livelihoods,
and ensuring the new apartment is as humanist as it be.

4. Participants have agreed to participate in next series of consultation meetings to discuss in


more detail about safeguards that will be held during the project cycle.

5. After the workshop, the MPWH and the WB has conducted a wrap-up meeting to discuss
follow-up actions. The actions are following: i) PMU will revise the draft ESMF based on result of
the workshop and finalize the draft ESMF, ii) PMU will submit the ESMF to the Bank for approval,
iii) further discussion to improve the ESMF, if needed; iv) publish / upload ESMF in project web-site
and the Bank’s portal; and v) formulate safeguards technical manuals of
environmental and social safeguards that adopt the approved ESMF.

49
Lampiran 1 : Contoh Konsultasi Palsu

LAMPIRAN 3 HASIL KONSULTASI PARA PEMANGKU KEPENTINGAN

1. Lokakarya Konsultasi Para Pemangku Kepentingan diadakan pada 18 Januari 2016 di kantor
Kementerian Pekerjaan Umum dan PerumahanRakyat. Tujuan lokakarya ini adalah untuk
menyebarluaskan rancangan Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMF) dari
Program KOTAKUdan untuk mendapatkan masukan dari para pemangku kepentingan untuk
meningkatkan rancangan Kerangka Kerja tsb.
2. Lokakarya dihadiri oleh 26 peserta, termasuk staf Program KOTAKU , perwakilan dari
Pemerintah Daerah, masyarakat, LSM, yang bekerja di kawasan kumuh perkotaan, perguruan
tinggi, konsultan, dan penasihat dari PMU KOTAKU. Staf Bank Dunia juga diundang da
menghadiri rapat sebagai pengamat. Agenda Lokakarya terdiri dari dua sesi utama, pertama
adalah presentasi penjelasan Program KOTAKUdan pentingnya pengelolaan lingkungan dan
sosialdi seluruh siklus proyek (persiapan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari proyek).
Sesi kedua adalah diskusi tentang substansi (kebijakan pengelolaan lingkungan dan social ) dan
rangkuman dari hasil pertemuan.
3. Berikut adalah beberapa poin yang dibahas selama lokakarya yang perlu dipertimbangkan sebagai
masukan untuk revisi ESMF:

50
a.Isu Pengelolaan lingkungan dan sosial:

i. Tujuan dari ESMF, perlu ditekankan, adalah lebih sebagai enabler daripada sebagai
hambatan untuk mencapai sasaran proyek. Pesan bahwa pengelolaan lingkungan dan
sosial adalah alat untuk menekan dampak negative dan meningkatkan dampak positif
perlu lebih ditekankan melalui peningkatan kapasitas.

ii. Isu Tanah


- Antar-kementerian atau lembaga harus bekerja sama erat untuk mencari beberapa
solusi tentang masalah tanah di kawasan kumuh. Misalnya, bagaimana menghadapi
masalah penghuni liar, tanah adat, dll. Kolaborasi antara mereka adalah salah satu
faktor kunci untuk memecahkan isu tanah.
- Program penyediaan tanah atau program tanah lainnya oleh pemerintah harus
terintegrasi dengan program penanganan kawasan kumuh.
- Butuh penjelasan rinci dalam petunjuk teknis institusi mana yang akan mendapatkan
hibah tanah secara sukarela. Juga, perlu mekanisme rinci dalam petunjuk teknis pada
proses setelah tanah telah dihibahkan dari pemilik tanah.
- Perencanaan tata ruang perlu dipertimbangkan untuk menyelesaikan isu tanah Dalam
PNPM Mandiri Perkotaan, masyarakat telah membangun infrastruktur di atas tanah
yang sah. Masyarakat cenderung menghindari fasilitasi tanah ilegal, meskipun isu-isu
utama kawasan kumuh adalah penghuni liar yang menempati lahanmsecara ilegal.
Para peserta lokakaryamengharapkan di ProgramKOTAKU, isu tanah bisa menjadi
bagian dari siklus proyek yang akan difasilitasi.

iii. Sumber Daya Benda Cagar Budaya


Berkolaborasi dengan pemerintah daerah, terutama yang sudah memiliki Peraturan
Pemerintah Daerah tentang BCB, akan lebih berpotensi meningkatkan kualitas proyek
daripada bekerja sebagai proyek tersendiri di daerah BCB

iv. Kayu.
Beberapa daerah permukiman di Indonesia menggunakan kayu yangberlebihan untuk
perumahan dan infrastruktur. Misalnya di Banjarmasin, rumah panggung dan jalan kayu
untuk panggung jalan di atas sungai menggunakan kayu lokal dengan kualitas baik.
Kerangka kerja tentang pemanfaatan kayu akan memandu masyarakat dan pemerintah
daerah untuk memanfaatkan kayu legal untuk infrastruktur proyek. Rekomendasi dari
peserta, jika ada kebijakan untuk mengganti kayu dengan bahan lainnya yang ramah
lingkungan, perlu peta jalan yang jelas dari penggunaan pengganti kayu di pedoman
teknis.

v. Masyarakat Hukum Adat.


Berdasarkan pengalaman dari PNPM Mandiri Perkotaan, meskipun berdasarkan database
MHA, telah terindikasi keberadaan MHA di daerah PNPM Mandiri Perkotaan, proyek
tidak melibatkan MHA. Bahkan wilayah Program KOTAKU sama dengan daerah PNPM
Mandiri Perkotaan. Kerangka Perencanaan MHAsiap untuk mengantisipasi jika akan ada
kehadiran MHA dan terkena dampak oleh sub-proyek.
b. Isu manajemen proyek terkait pengelolaan lingkungan dan sosial yang telah dibahas adalah sebagai
berikut:
i. Perlu didefinisikan dengan jelas pada pedoman teknis tentang peran lembaga pada tingkat
kota dan tingkat masyarakat yang akan menangani masalah pengelolaan lingkungan dan
social

51
ii. Memastikan materi pelatihan yang sesuai untuk masyarakat dan pemangku kepentingan
terkait.
iii. Penghidupan/mata pencaharian harus menjadi bagian dari proyek, jikaproyek berurusan
dengan isu tanah.
c. LSM dari Budha Tzu Chi Indonesia Foundation menyajikan pengalaman mereka dalam program
peningkatan kawasan kumuh di DKI Jakarta. LSM ini telah bekerja sama dengan DKI Jakarta dan
beberapa CSR dari perusahaan swasta untuk melaksanakan program-program di tiga wilayah di
DKI Jakarta. Dalam satu kawasan, program ini telah merelokasi 350 rumah tangga tanpa konflik
dari daerah kumuh di tepi sungai ke rumah susun bersubsidi yang disediakan oleh DKI Jakarta.
Proses fasilitasi LSM itu tidak hanya pada relokasi fisik, tetapi juga pada isu-isu non-
isik/perilaku. Misalnya, bagaimana memastikan kecukupan ruang per orang, ketersediaan fasilitas
pendidikan dan kesehatan, perbaikan mata pencaharian, dan memastikan apartemen baru adalah
manusiawi sebagaimana mestinya.

4. Peserta telah setuju untuk berpartisipasi dalam seri pertemuan konsultasi berikutnya untuk membahas
lebih rinci tentang pengelolaan lingkungan dan sosial yang akan diadakan selama siklus proyek.

5. Setelah lokakarya, Kementerian PU-PR dan Bank Dunia telah melakukan pertemuan penutupuntuk
membahas tindak lanjut. Tindaklanjutnya adalah sebagai berikut: i) PMU akan merevisi draft ESMF
berdasarkan hasil lokakarya dan menyelesaikan draft ESMF, ii) PMU akan enyerahkan ESMF kepada
Bank Dunia untuk persetujuan, iii) pembahasan lebih lanjut untuk meningkatkan ESMF, jika
diperlukan; iv) mempublikasikan/mengunggah ESMF dalam situs jaringan proyek dan portal Bank
Dunia ; dan v) menyusun panduan teknis pengelolaan lingkungan dan sosial yang mengadopsi ESMF
yang telah disetujui
Annex 3 Results of Stakeholders Consultation

1. Stakeholders Consultation Workshop was held on January 18, 2016 in Ministry of Public
Works and Housing (MPWH) Office. Objective of the workshop were to disseminate
draft Environmental and Social Management Framework (ESMF) of National Urban Slum
Upgrading Program (NSUP) and to get inputs from stakeholders to improve the draft
Framework.
2. The workshop was attended by 26 participants, including Project staff of
NSUP, representative of local governments (LGs), communities, NGOs that are working in
urban slum, universities, consultants, and advisers of PMU of NSUP. The Bank staff was
also invited and attended the meeting as observers. Agenda of the workshop has consisted of
two main sessions, first is presentation of the project description of NSUP and importance of
safeguards in entire project cycles (preparation, implementation, monitoring and evaluation of
the project). Second session was discussion of substance of the ESMF (triggered safeguards
policy) and wrap-‐up of the meeting results.
3. Below are some points that were discussed during the workshop that need to be considered
as inputs for revision of the ESMF:
a. Safeguards Issues:
i. Purpose of the ESMF is as an enabler rather than as a constraint to achieve project
objectives need to be emphasized. Message that safeguards is a tool to reduce negative
impact and improve more positive impact needs to be enhance through capacity
building.

ii.Land issues

52
•Inter ministries or institutions need to closely work together to look for some solutions on land
issues in slum areas. For example, how to deal with squatters issue, customary land, etc.
Collaboration among them is one of key factor to solve land issues.
•Land provision program or other land programs by government should be incorporated with
slum upgrading program.
•Need detail description in technical manual which institutions who will get voluntary land
donation. Also, need detailed mechanism in technical manualon processing after land has been
donated from land owners.
•Spatial planning need to be considered to resolve land issues.
•In PNPM Urban, community has built infrastructure in legal land.
Community tend to avoid facilitation illegal land, even the main issues of
the slum is squatters who occupy illegal land. The participants of the meeting expected that in
NSUP, land issues could be part of the project
cycle to be facilitated.
iii.
Physical Cultural Resources.
Collaborate with local governments, particular
ly
who already have LG‘s law / decree on PCR, will be potentially improving the
project quality rather than work as solitary project in PENVIRONMENTAL AND SOCIAL
MANAGEMENT FRAMEWORK

NATIONAL SLUM UPGRADING PROGRAM (NSUP)
89
iv.
Timber.
Some settlements area in Indonesia are using timber excessively for
housing and infrastructure. For e
xample in Banjarmasin, stilt housing and
wooden ramp for stilt road above the river are using local, good quality of
timber. Framework on timber will guide community and local government to
utilize legal timber for project infrastructures. Recommendation f
rom
participant, if there is a policy to convert timber to other environmentally
sounded materials, need clear road map of the timber replacement use in the
technical manuals.
v.
Indigenous Peoples
. Based on experience of PNPM Urban, even based on IPs
datab
ase there had been indicated IPs presence in PNPM Urban areas, the
project did not involve IPs. Even the NSUP area is same with PNPM Urban area,
IPs Planning Framework is prepared to anticipate if there would be IPs presence
and affected by subprojects.
b.
Management Issues related to safeguards that have been discussed are as follows:
i.
Need to clearly define in safeguards technical manuals on
roles of institutions
at the city level and community level that will deal with safeguards issues.

53
ii.
Ensuring trai
ning materials
are
suitable for community
and related
stakeholders.
iii.
Livelihoods should be part of the project, if the project deal with land issues.
c.
NGO from Budha Tzu Chi Indonesia Foundation has presented their experiences in
slum upgrading programs
in DKI Jakarta. The NGO has been working together with
DKI Jakarta and some CSRs of private companies to implement the programs in three
areas in DKI Jakarta. In one area, the program has relocated 350 households without
conflict from slum area in river
bank to a subsidized apartment that is provided by DKI
Jakarta. Facilitation process of the NGO was not only on physical relocation, but also
on behavior / non
-‐
physical issues too. For example, how to ensure space adequacy
per person, availability of educ
ation and health facilities, betterment of livelihoods,
and ensuring the new apartment is as humanist as it be.
4.
Participants have agreed to participate in next series of consultation meetings to discuss in
more detail about safeguards that will be held
during the project cycle.
5.
After the workshop, the MPWH and the WB has conducted a wrap
-‐
up meeting to discuss
follow
-‐
up actions. The actions are following: i) PMU will revise the draft ESMF based on result of
the
workshop and finalize the draft ESMF, ii)
PMU will submit the ESMF to the Bank for approval, iii)
further discussion to improve the ESMF, if needed; iv) publish / upload ESMF in project web
-‐
site and
the Bank’s portal; and v) formulate safeguards technical manuals of environmental and social
safeg
uards that adopt the approved

54
Lampiran 2 : Pola Pengusuran oleh Pemerintah DKI Jakarta

Bank Dunia Minta Ahok Lebih Manusiawi Saat Menggusur Warga61


Rabu, 10 Juni 2015 | 07:25 WIB

Puluhan warga bantaran kali grogol berunjuk rasa memberikan tanda tangan tolak penggusuran di Kebon
Jeruk, Jakarta, 17 September 2014. Mereka menolak untuk digusur akibat tidak adanya ganti rugi dari
pemerintah. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan ada perbedaan cara
memindahkan warga antara Pemerintah Provinsi DKI dan Bank Dunia.

Ahok menuturkan Bank Dunia meminta relokasi warga yang rumahnya terkena proyek Jakarta Emergency
Dredging Initiatives (JEDI) harus manusiawi.

"Bank Dunia mintanya kami siapkan dahulu seribu unit rumah susun baru boleh membongkar seribu rumah.
Itu kan tak mungkin," ucap Ahok di Balai Kota, Selasa, 9 Juni 2015.

Menurut dia, permintaan tersebut tak bisa dilakukan lantaran banyaknya penyewa unit rumah susun,
sedangkan pemerintah tak bisa serta-merta mengusir penghuni yang telah membayar uang sewa tersebut.
"Bagi kami, yang penting pemerintah berupaya menyiapkan rumah susun sebagai pengganti," ujar mantan
Bupati Belitung Timur ini.
 
Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Agus Priyono mengatakan Bank Dunia berharap pemerintah DKI bisa
menyelesaikan terlebih dahulu relokasi warga yang akan tergusur akibat proyek JEDI.

Bank Dunia, ucap dia, meminta, ketika relokasi dilakukan, pemerintah harus memperhatikan faktor ekonomi
warga yang dipindahkan.

"Bank Dunia minta, saat relokasi dilakukan, tak boleh ada penurunan ekonomi bagi warga yang dipindahkan
itu," tuturnya. Padahal, ujar Agus, banyak warga yang tinggal di bantaran kali tak memiliki izin mendirikan
bangunan (IMB).

61https://m.tempo.co/read/news/2015/06/10/214673671/bank-dunia-minta-ahok-lebih-manusiawi-saat-
menggusur-warga

55
Agus menjelaskan, Bank Dunia akan menunda no objection letter jika pemerintah tak merelokasi warga
sesuai dengan standar Bank Dunia. Padahal surat tersebut, kata Agus, sangat diperlukan untuk pengerjaan
proyek tersebut.

"Kontrak pengerjaan tak bisa kami tanda tangani jika no objection letter tak segera keluar, padahal saat ini
lelang tengah berjalan," ucapnya. Akibatnya, ujar Agus, pengerjaan proyek JEDI bisa molor.

JEDI merupakan salah satu cara Pemerintah Provinsi DKI mencegah banjir. Tujuan proyek JEDI ialah untuk
normalisasi dan rehabilitasi 13 sungai dan lima waduk di Jakarta.

Proyek JEDI dibagi dalam tujuh paket. Pemprov DKI mendapatkan tiga paket. Sedangkan pemerintah pusat
membangun empat paket. Pinjaman dari Bank Dunia untuk proyek tersebut mencapai Rp 1,2 triliun.

GANGSAR PARIKESIT

56

También podría gustarte