Está en la página 1de 5

Pada kasus ini, masalah utama yang dirasakan oleh pasien hingga dibawa ke

rumah sakit adalah sesak napas. sesak napas terjadi karena berbagai hal, diantaranya
adalah adanya gangguan mekanik terhadap proses ventilasi (obstruksi aliran napas,
gangguan pengembangan paru, dan dinding dada atau diagfragma), kelemahan pompa
napas, peningkatan respiratory drive (hipoksemia dan asidosis metabolik), ventilasi
inadekuat (destruksi kapiler atau emfisema dan obstruksi pembuluh darah besar atau
emboli paru), dan disfungsi psikologik (somatisasi, ansietas, dan depresi). 1 Berbagai
macam kemungkinan etiologi dari sesak nafas di atas dapat disimpulkan karena adanya
gangguan dari satu atau beberapa organ, misalnya akibat jantung, paru-paru, hati, dan
ginjal.
Namun setiap organ tersebut memiliki beberapa perbedaan mengenai keadaan
sesak nafas. Jantung dapat menimbulkan sesak nafas pada penderitanya yang bisa
diikuti dengan keadaan sianotik maupun asianotik, dan biasanya sesak nafas karena
jantung akan semakin berat dirasakan karena adanya aktivitas yang semakin berat
menjadi faktor resiko. Sesak nafas yang ditimbulkan karena jantung dapat diikuti
dengan adanya bunyi jantung tambahan (murmur ataupun gallop). 2 Pada pasien ini,
pemeriksaan jantung dalam keadaan normal sehingga sesak napas karena kelainan
jantung dapat disingkirkan.
Berbeda dengan sesak nafas yang timbul akibat hati ataupun ginjal, sesak nafas
yang timbul akibat kedua organ ini merupakan komplikasi yang timbul akibat adanya
gangguan metabolism (asidosis metabolik) yang berakibat ke paru sehingga timbul
sesak nafas.2 Pada pasien ini tidak pula ditemukan adanya asidosis metabolik (asites
pada abdomen) ataupun gangguan pada ginjal (edema pada tungkai/palpebra)
sehingga sesak napas karena kelainan hati ataupun ginjal dapat disingkirkan.

Sesak nafas karena paru-paru disebabkan karena berbagai macam hal,


diantaranya karena adanya obstruksi pada jalan nafas dan adanya faktor-faktor tertentu
yang menyebabkan paru-paru/alveoli gagal mengembang dengan sempurna
(kekurangan surfaktan atau adanya desakan dari rongga abdomen/jantung). Sesak
nafas pada paru-paru tidak tergantung pada berat ringannya aktivitas seseorang dan
terkadang sesak nafas yang berat akibat paru-paru bisa menimbulkan seseorang
menjadi sianotik. Sesak nafas yang ditimbulkan karena paru dapat diikuti dengan
adanya bunyi nafas tambahan, seperti ronkhi (basah/kering) ataupun wheezing.2 Pada
pasien ini ditemukan adanya bunyi nafas tambahan, ronkhi basah halus nyaring yang
ditemukan pada seluruh lapang paru-paru penderita.

Diagnosis bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan pedoman diagnosis klinis


bronkopneumonia WHO, dimana gejala yang muncul pada pasien ini adalah sesak
nafas dengan nafas cuping hidung, riwayat demam batuk pilek, sianosis, dan dari
auskultasi didapatkan suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus nyaring. 3,4
Pada pasien ini mengalami sesak napas yang ditandai dengan takipnea ( laju napas 42
kali/menit) sejak 1 hari SMRS, batuk dan demam (suhu 37,8°C) sejak 2 hari SMRS.
Ketiga gejala yng ditemukan merupakan trias gejala yang umum ditemui pada penderita
bronkopneumonia. Selain itu pada pemeriksaan fisik pasien ini terdapat pernapasan
cuping hidung, retraksi subcostal (chest indrawing), ronki bilateral di kedua lapang paru,
suara napas bronkovesikular, dan tidak ditemukannya mengi.

Gambaran bronkopneumonia pada radiologi merupakan bercak-bercak


konsolidasi merata di seluruh lapangan paru yang biasanya ditemukan pada anak-anak
yang lebih kecil dan sering diduga penyebab utamanya adalah Streptococcus
pneumoniae atau sering disebut juga pneumokokus.4 Namun, kelainan foto rontgen
toraks tersebut pada faktanya tidak cukup sensitif serta spesifik untuk membedakan
etiologi antara pneumonia oleh virus atau bakteri.5 Gambaran bronkopneumonia atau
sering disebut patchy pneumonic changes lebih umum ditemukan pada anak berusia
dibawah 5 tahun, sedangkan lobar pneumonia pada usia 5-15 tahun.6 Pada pasien ini
didapatkan kesan infiltrat pada kedua lapangan paru. Gambaran infiltrat merupakan
gambaran terperangkapnya udara pada bronkus karena tidak adanya pertukaran pada
bronkus. Gambaran infiltrat ini merupakan gambaran khas pada bronkopneumonia. 7

Selain itu, untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang,


yaitu, darah perifer lengkap, C-reaktif Protein (CRP), uji serologis, pemeriksaan
mikrobiologis. Pemeriksaan darah lengkap perifer pada pneumonia yang disebabkan
oleh virus biasanya leukosit dalam batas normal, namun pada pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri didapatkan leukositosis (15.000–40.000/mm3). Dengan
dominan PMN. Leukopenia (<5000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada
infeksi Chlamydia kadang–kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan
sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan
glukosa relatif lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang–kadang terdapat anemia
ringan dan LED yang meningkat. CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis
oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara
cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi pastinya
belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau
sel rusak, secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisial atau
profunda.8 Pada pasien ini didapatkan jumlah leukosit sebesar 17600/µL.

Berdasarkan pedoman WHO, bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:1

1. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.

2. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.

3. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat
yakni >60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan; >50 x/menit pada anak usia
2 bulan-1 tahun; >40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun.

4. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda seperti di
atas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui
berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara; aspirasi dari bahan-bahan yang
ada di nasofaring dan orofaring; perluasan langsung dari tempat lain; dan penyebaran
secara hematogen.9,10 Dalam keadaan sehat, pada paru tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi dan terdiri dari:
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di naso-oro-faring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret
liat yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis, aksi enzimatik, dan respon immuno-humoral terutama dari
immunoglobilin A (IgA).11

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab terhisap ke


paru perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman. Bronkopneumonia dalam perjalanan
penyakitnya akan menjalani beberapa stadium, yaitu:10
1. Stadium kongesti (4-12 jam pertama). Mengacu pada peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler. Ini terjadi akibat pelepasan mediator
peradangan dari sel mast. Mediator tersebut mencakup histamin dan prostagladin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen bekerjasama dengan
histamin dan prostagladin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan perpindahan eksudat
plasma ke dalam ruang interstitial sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus, yang meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya). Lobus dan lobulus yang terkena
menjadi padat tidak mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar. Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit netrofil, eksudat, dan banyak
sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari). Lobus masih tetap padat dan warna merah
berubah menjadi pucat kelabu terjadi karena sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin.
Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat terjadi fagositosis pneumococcus, kapiler
tidak lagi kongestif.
4. Stadium resolusi (7-11 hari). Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu
respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan dan eksudasi lisis.
Eksudat berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami
nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang. Proses kerusakan
yang terjadi dapat di batasi dengan pemberian antibiotik sedini mungkin agar sistem
bronkopulmonal yang tidak terkena dapat diselamatkan.

También podría gustarte