Está en la página 1de 3

Orang Pinggiran

“Orang-orang kesepian di jalan, orang-orang tanpa tanah, tak ada rumah


untuk pulang.” Begitulah salah satu kutipan dari novel John Steinbeck yang
menceritakan bagaimana jalan hidupnya seseorang yang berjuang hanya untuk bisa
mendapatkan pekerjaan yang layak, yang ia inginkan kebebasan dalam segala hal,
yang ia inginkan adalah hanya sekedar tempat tinggal, makanan, kehidupan yang
sepantasnya di dapatkan seperti hidup orang-orang borjuis, hidup pemilik modal,
yang sering sekali melakukan penindasan kepada kaum pinggiran ini.

Orang-orang pinggiran ini ialah para buruh, para supir, para petani, dan lain
lain, yang pasti merekalah yang menggerakan Ekonomi suatu Negara. Orang
pinggiran ialah pengatur jalannya Ekonomi suatu Negara, mereka adalah pekerja
keras, yang selalu berjuang, demi kehidupan rakyat yang lain dan demi dirinya
sendiri. Kehidupan begitu tidak baik, karena penghasilannya kadang kala tidak
diberikan sesuai tenaga mereka dalam melakukan pekerjaan. Perjuangan mereka
sering kali tidak dianggap oleh Negara, padahal mereka ada penggerak utama suatu
Negara. Coba dibayangkan bagaimana jika suatu Negara tidak memiliki orang-orang
pinggiran ini, bagaimana para pemilik modal yang rakus bisa menggerakan
perusahaaannya, bagaimana mereka-mereka para monster kapitalis bisa mendapatkan
keuntungan yang sebegitudemikian rupa, semua ini berkat para orang-orang
pinggiran. Jangan sampai sekali-kali.

Tan Malaka menjelaskan seperti ini, “Pekerja di dalam tambang minyak, besi,
timah, bengkel dan pabrik, dan pada pengangkutan inilah tulang belakangnya
ekonomi Indonesia. Inilah kaum yang bisa dikerahkan buat menyokong berdirinya
dan majunya Indonesia Merdeka yang sejati dan terus-menerus mempertahankan
kemerdekaan itu.”

“Dekatilah golongan pekerja ini! Masukilah kelasnya! Dengan ini bersama


dengan golongan lain, maka kelas pekerja seolah-olah akan menjadi kelas, sebagai
“teras” yang dikelilingi kayu dan kulit, kalau ia terus maju ke muka buat mencapai
kemerdekaan sejati dan mendirikan Negara yang cocok dengan kemakmuran sama-
rata dan persaudaraan.” Begitulah perkataan Tan Malaka yang saya kutip dari
bukunya Madilog.

Walaupun saya tidak begitu setuju dari Ideologi Komunis ini, tetapi banyak
dari pemikirannya yang lebih mengedepankan kaum proletar, kaum penggerak di
Negeri ini. Ideologi ini bukanlah Idelogi tabu yang di propaganda kan oleh rezim
Orde Baru yang mengatakan bahwa Komunis seperti inilah, itulah, dan lain-lain.

Balik lagi ke pembahasan utama, orang-orang pinggiran ini selalu berusaha


ingin mendapatkan tanah, agar mereka bisa bertempat tinggal, bersama keluarga,
sambil bercengkrama dan minum teh hangat, tetapi tanah-tanah mereka malah digarap
oleh pemilik modal yang begitu brengsek, tidak memedulikan keadaan hidup orang
lain dan hanya mementingkan diri sendiri, mereka tidak peduli bahwa orang-orang
pinggiran ini yang kedinginan di bawah kolong jembatan, mereka tidak peduli bahwa
mereka menangis-nangis di trotoar, memikirkan apa mereka bisa makan besok atau
tidak. Mereka bisa makan sehari sekali saja sudah hebat.
Banyak orang-orang pinggiran mati. Kuli bangunan, pembersih sungai,
penyapu jalanan, kaum buruh dan lain lain. Mereka mati tanpa ada yang
memedulikan, borjuis-borjuis peduli setan dengan kematiannya, yang pasti
perusahaannya tetap jalan, kepentingannya selalu terjaga, walaupun kematiannya
sering begitu terjadi. Orang-orang pinggiran berteman dengan kematian, bernafas
dengan angin malam, angin berdebu. Mandi dengan air keruh, air bekas yang tidak
layak. Makan minum seadanya, kehidupannya tidak menentu, apakah besok ia akan
tetap sehat, apakah ia besok bisa makan, apakah ia besok bisa hidup selayaknya, tidak
perlu seperti si borjuis keparat yang begitu mewah, cukup yang pantas untuk ditinggal
oleh manusia, bukan seperti hewan, dikandang, dekil, kotor, begitu tak pantas dilihat
oleh mata.

Orang-orang pinggiran ini juga menginginkan pendidikan yang layak untuk


anak-anaknya, agar anak-anaknya tidak mengikuti jejak dari orang tua-orang tuanya
yang tertindas. Mereka menginginkan anaknya menjadi orang yang berkecukupan,
tidak perlu seperti para kapitalis, cukup untuk bisa makan, bisa hidup, tapi bisa hidup
dengan memberikan manfaat kepada masyarakat, memberikan suatu ilmu kepada
masyarakat, dan lain lain. “Kita manusia memang hewan yang ingin tahu dari pada
monyet, tikus, ya, binatang apa pun juga”. Tan Malaka mengatakan seperti itu. Dan
memang benar, orang-orang pinggiran seharusnya diberikan tempat yang bisa untuk
mencari apa yang ingin mereka ketahui yaitu dari pendidikan, agar mereka memiliki
pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu mereka bisa membuat sesuatu, membuat
sesuatu yang layak untuk masyarakat, membuat keluarganya hidup yang seharusnya,
karena kemiskinan tidak dapat memberi sama sekali untuk bisa berpendidikan seperti
anak-anak lainnya, yang hidup nikmat dan mewah.

Kemiskinan tidak memberikan mereka masa depan, kemiskinan tidak


memberikan mereka sesuatu yang pantas untuk dibanggakan, kemiskinan tidak bisa
menghasilkan makanan, menghasilkan tanah, menghasilkan kesehatan yang baik.
Manusia-manusia yang berkecukupan menengah atau lebih seharusnya bisa
memberikan bantuannya kepada orang-orang pinggiran ini. Mereka yang tidak
berpikiran seperti borjuis bangsat lebih baik bersama-sama menolong mereka yang
kesusahan. Jangan hanya berharap kepada pemerintah untuk turun langsung, awalilah
dari kita untuk membantu. Tumbuhkan rasa sosialisme, rasa persaudaraan, membantu
manusia atas dasar kemanusiaan, hiraukan para borjuis itu. Dengan sifat borjuis yang
licik dan keparat tersebut, jangan salahkan orang-orang pinggiran melakukan
pemberontakan, melakukan demonstrasi, pemogokan, pembunuhan, semua akibat
salah mereka, dan salah pemerintah pula yang tidak memberikan kebijakan untuk para
borjuis agar bisa memberi penghasilan sampai kehidupan yang layak. Kita
berhadapan dengan sesuatu hal yang buruk yang dibikin, yang dibuat manusia, dan
demi Tuhan, sesuatu itu bisa kita ubah, untuk menjadi lebih baik.

Pada akhirnya jangan salahkan mereka (orang pinggiran) yang berkata seperti
dalam novel Steinbeck yaitu: “Aku tidak bermaksud mati kelaparan, sebelum aku
membunuh orang yang membuatku lapar.”

Semoga kedepannya semua keadaan ini bisa menjadi lebih baik, semoga
semua elemen masyarakat bisa menimbulkan rasa kebersamaan satu sama lain. Tidak
ada penindasan, penghisapan, pembunuhan, tindak yang tidak berperi kemanusiaan.

También podría gustarte