Está en la página 1de 20

LAPORAN PENDAHULUAN LIMFOMA MALIGNA

Pengertian
Pengertian tentang limfoma maligna antara lain menurut Danielle, (1999)
bahwa limfoma adalah malignansi yang timbul dari sistem limfatik. Pengertian lain
tentang limfoma maligna menurut Susan Martin Tucker, (1998) adalah suatu
kelompok neoplasma yang berasal dari jaringan limfoid. Sedangkan menurut
Suzanne C. Smeltzer, ( 2001), mengemukakan bahwa limfoma maligna adalah
keganasan sel yang berasal dari sel limfoid. Pengertian lain tentang limfoma
maligna menurut Doenges, (1999) adalah kanker kelenjar limfoid. Pengertian lain
yang diperoleh dari www.trigonum.or.id, (2007) mendefinisikan bahwa limfoma
maligna ialah tumor padat yang berasal dari jaringan limfoid.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa limfoma maligna


adalah suatu jaringan tumor padat yang berasal dari sel limfoid dan bersifat ganas.

Klasifikasi Limfoma Maligna


Secara klinis dan patologis limfoma maligna dapat dibagi menjadi dua
golongan besar berikut :
1. Penyakit Hodgkin
2. Limfoma non Hodgkin

Limfoma Hodgkin
A. Pengertian
Limfoma hodgin merupakan limfoma yang khas ditandai oleh adanya sel
reed Sternberg dengan latar belakang sel-sel radang pleomorf

B. Epidemiologi

Limfoma hodgin merupakan penyakit yang relative jarang dijumpai, hanya


merupakan 1 % dari seluruh kanker. Dinegara barat insidennya dilaporkan
3,5/100.000/ tahun pada laki-laki dan 2,6/100.000/tahun pada wanita. Di Indonesia
belum ada laporan angka kejadian limfoma hodgin, berdasarkan jenis kelamin
LImfoma Hodgkin lebih banyaka pada laki-laki dengan perbandingan 1,2: 1.
Penyakit limfoma hodgin terutama ditemukan pada orang dewasa muda antara usia
18-35 tahun dan pada seseorang di atas 50 tahun

C. Etiologi

Penyebab limfoma Hodgkin sampai saat ini tidak diketahui secara pasti,
namun salah satu yang paling dicurigai adalah virus Epstein-barr. Biasanya dimulai
pada satu kelenjar getah bening dan menyebar ke sekitarnya secara per kontiunatum
atau melalui sistem saluran kelenjar getah beningke kelenjar-kelenjar sekitarnya.
Meskipun jarang sesekali menyerang juga organ-organ ekstranodal seperti
lambung, testis. dan tiroid, pada penemuan statistik, penyakit ini didapatklan pada
kelas sosioekonomi lebih tinggi dan insidennya meningkat pada keluarga dengan
riwayat penyakit Hodgkin

D. Klasifikasi
Pada umumnya limfoma Hodgkin diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi
RYE yang membagi penyakit Hodgkin menjadi 4 golongan
1. Tipe Limphocyte predominance
 Merupakan 5 % dari penyakit Hodgkin
 Pada tipe ini limfodit kecil merupakan sel latar belakang yang domnan, hanya
sedikit sel R-S yang dijumpai
 Dapat bersifat nodular atau difus
2. Tipe mixed cellularity
 Terdapat sebanyak 30 % dari penyakit Hodgkin
 Jumlah sel R-S mulai banyak dijumpai dalam jumlah seimbang dengan limfosit
3. Tipe lymphocyte depleted
 Kurang dari 5% limfoma Hodgkin tetapi merupakan tipe yang paling agresif
 Sebagian besar terdiri dari atas sel R-S sedangkan limfosit jarang sekali ditemui
4. Tipe nodular sclerosis
 Tiep ini merupakan tipe yang paling sering dijumpai yaitu 40-69 % dari seluruh
penyakit Hodgkin
 Ditandai oleh fibrosis dan sklerosis yang luas
 Sel esinofil banyak dijumapai, juga terdapat sel R-S

E. Gejala Klinis

Gejala klinis yang biasanya terdapat pada limfoma Hodgkin adalah :


1. Gejala utama adalah pemebesaran kelenjar yang terserimg dan termudah
terdeteksi adalah pembesaran kelenjar didaerah leher
2. Gejala selanjutnya bergantung pada lokasi penyakit dan organ-organ yang
diserang. Pada jenis ganas dan penyakit yang telah dalam stadium lanjut sering
di\sertai gejala-gejala sistemik, yaitu : demam yang tidak jelas penyebabnya,
berkeringat malam, dan penurunan berat badan sebesar 10 % selama 6 bulan.
Kadang-kadang kelenjar terasa nyeri bila klien minum alcohol
3. Hampir semu sistem dapat diserang penyakuit ini, seperti saluran pencernaan,
pernafasan, persarafan, dan vaskularisasi

F. Tingkatan Penyakit

Menurut symposium penyakit Hodgkin di Amm Arbor tingkatan penyakit


Hodgin diklasifikasikan
Stadium I Penyakit menyerang satu regio KGB (I); atau satu organ
ekstralimfatik (IE)

Stadium II Penyakit menyerang dua atau lebih KGB pada satu sisi diafragma
(atas atau bawah diafragma); atau satu organ ekstralimfatik dan
satu atau lebih KGB pada satu sisi diafragma (IIE)
Stadium III Penyakit menyerang KGB pada kedua sisi diafragma, yang dapat
disertai dengan keterlibatan limpa (IIIS) atau terlokalisasi pada
satu organ ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIISE)

Stadium IV Penyakit menyerang KGB secara difus mengenai satu atau lebih
organ ekstralimfatik, dengan atau tanpa disertai keterlibatan
pada KGB

G. Prosedur Penentuan Derajat Penyakit

Prosedur penentuan derajat penyakit dapat dilakukan dengan cara berikut


ini :
1. Evaluasi awal terdiri atas:
 Anamnesa dan pemerikasaan fisik
 Laboratorium: darh rutin, faal hati, faal ginjal, dan fosfatase alkali
 Aspirasi atau biopsy sumsum tulang
2. Evaluasi toraks terdiri dari:
 foto torak Pa dan lateral
 tomografi paru atau CT scan otak
3. Evaluasi abdomen terdiri atas :
 bipedal lymphangiograhy
 CT scan abdomen
 Staging laparotomi (untuk stage I,IIA dan B, serta IIIA)

H. Pemeriksan Penunjang

1. Secara patologis anatomi didapatkan gambaran khas yang merupakan


gambaran sel keganasan
 Sel reed strenberg: merupakan sel R-S, ukuran besar, serta berinti banyak dan
polipoid
 Sel Hodgkin : H-cell yang merupakan sel pre-Sternberg lacunar
 Varian L dan H
 Varian pleomorf
2. Pada pemeriksaan daerah didapatkan anemia yang bersifat normositer
normokromik, leukositos moderat yang disebabkan oleh netrofilia, limfopenia, laju
endap darah meningkat, serta LDH (Lactate dehydrogenase serum) meningkat

I. Penatalaksanaan
Terapi untuk penyakit Hodgkin adalah :
1. Radioterapi
a. Merupakan moalitas terapi utamauntuk penyakit Hodgkin yang terlokalisasi
derajat I dan II. Dosis radiasi adalah 4000-5000 rad
b. Diberikan dengan tekhnik penyinaran extended field (lesi di atas atau di bawah
diafragma) atau total nodal irradiation (TNI) untuk lesi di atas dan di bawah
diafragma
2. Kemoterapi
Merupakan pilihan utama untuk penyakit derajat III dan IV. Kombinasi
yang paling utama digunakan adalah sebagai berikut :
a. Regimen MOPP
 Mustargen : 6 Mg/m2 IV hari ke-1 dan 8
 Oneovin : 1,4 mg/m2 IV hari ke-1 dan 8
 Procarbazine : 100 mg/m2 oral hari ke-1 sampai dengan 4
 Prednison: 60-80 mg/m2/hari oral hari ke-1 sampai5
b. Regimen ABVD
 Doxorubicin ()Adriamycin) : 25 mg/m2 IV hari ke-1 dan 15
 Bleomycine 10 mg/m2 Iv hari ke-1 dan 15
 Vimblastin 6 mg/m2 IV hari ke-1 dan 15
 Dacar
c. Kombinasi regimen MOPP dan ABVD
d. Regimen Hybrid MOP/ABV
e. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi
J. Komplikasi Akibat Terapi

Komplikasi
1. Radioterapi : dapat menimbulkan nausea, disfagia, oesofagitis dan hipotiroid
2. Kemoterapi : dapat menimbulkan mielosupresi, sterilitas, dan timbulnya
keganasan hematologis sekunder : AML dan Limfoma non-Hodgkin
3. Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan
dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan
berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum
tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi
potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek
jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis
pulmonal.
4. Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila
pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal
sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan
penurunan produksi saliva.Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen,
efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia

Limfoma Non Hodgkin

A. Pengertian

Limfoma non Hodgkin merupakan suatu kelompok penyakit heterogen


yang didefinisikan sebagai keganasan jaringan limfoid selain penyakit Hodgkin

B. Insidens

Lebih dari 45.0000 klien didiagnosa sebagai limfoma non Hodgkin (LNH)
setiap tahun di Amerika serikat. Di Indonesia frkuensi relative LNH jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan limfoma Hodgkin
C. Etiologi

Etiologi dari penyakit limfoma non-Hodgkin adalah


1. Abnormalitas sitogenik seperti translokasi kromosom
2. Infeksi virus yang menyebabkan antara lain :
 Virus Epstein-Barr yang berhubunga dengan limfoma burkitt (sebuah penyakit
yang ditemukan di Afrika)
 Infeksi HTLV-1 (human T iymphotropic virus tipe 1)

D. Kalsifikasi
Klasifikasi KIEl membagi LNH menjadi dua golongan besar berikut ini :
1. LNH dengan derajat keganasan rendah
2. LNH dengan derajat keganasan tinggi
Kalsifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartmen dari kelenjar
getah bening serta membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T

E. Penentuan Derajat Penyakit


Menurut Hariyanto, penentuan derajat penyakit LNH di bagi menjadi empat
tahap berikut
1. Tahap I
a. Pengambilan riwayat penyakit yang cermat
b. Pemeriksaan fisik yang lengkap
c. Pemeriksan laboratorium lengkap terdiri dari
 hemogram lengkap
 asupan darah tepi
 tes faal hati dan ginjal
d. Pemeriksaan radiologi terdiri atas:
 torak PA
 jika perlu survey kerangka
e. Fine needle aspiaration pada klenjar getah bening yang dicurigai pada sisi lain
diafragma
2. Tahap II
pada penderita dengan dugaan stadium I derajat keganasan tinggi atau
stadium I dan II derajat keganasan menengah dilakukan biopsy summsum tulang
bilateral
3. Tahap III
Penderita dengan stadium I derajat keganasan tinggi atau stadium I dan II
derajat keganasan menengah dilakukan penelitian radiologi traktus gastrointestinal
4. Tahap IV
Penderita dengan dugaan stadium I derajat keganasan menengah setelah
prosedur limfangiografi

F. Gejala Klinis

Gejala klinis yang dirasakan pada sebagian besar klien asimptomatik adalah
1. Pemebesaran kelenjar getah bening yang asimetris
2. Demam berkeringat pada malam hari
3. Hepatomegali dan splenomegali
4. Dapat timbul komplikasi saluran cerna
5. Demam, kelelahan atau terjadi penurunan berat badan
6. Nyeri punggung dan leher yang di sertai dengan hiperefleksia
7. Anemia infeksi dan perdarahan dapat dijumpai pada kasus yang mengenai
sumsum tulang secara difus

G. Pemeriksaaan diagnsotik

Pemeriksan diagnostic yang dilakukan pada klien dengan LNH adalah


1. Pada pemeriksaan hematologi ditemukan
 Adanya anemia yang bersifat normositer normokromik
 Adanya leucopenia dan trombositopenia serta gambaran leukoeritroblastik
 Pada biopsy sumsum tulang menunjukkan lesi fokal
2. Pemeriksan kromosom : adanya kelainan yang khas (limfoma burkitt’s.
follicular limfoma)
3. LDH : sering meningkat pada LNH dengan poliferasi yang cepat
4. Pemeriksan pertanda imunologis : untuk menentukan jenis sel (sel T atau B)
serta perkembangannya

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada klien dengan LNH adalah


1. Radioterapi
LNH sangat radiosensitive, radio terapi ini dapt dilakukan untuk penyakit local,
stadium I limfoma indolendan untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
Kemoterapi dapat dilakukan pada :
 LNH indolen derajat ringan dengan menggunakan klorambusil atau
siklofosfamid dengan atau tanpa prednisone
 Limfoma stadium I atau II derajat menengah atau tinggi
3. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi setelah biopsy bedah
4. Dapat diusahakan transplantasi sumsum tulang
5. Kemoterapi dosis tinggi dengan memakai peripheral blood stem cell
transplantation
6. Terapi dengan imunomodulator, terapi yang dilakukan dengan interferon
dikombinasikan dengan kemoterapi
Stadium I dan II Stadium III dan IV
Keganasan Rekomendasi: Rekomendasi:
Rendah Radioterapi lapangan Asimtomatik atau ukuran
terbatas (involvement field tumor kecil:
radiation therapy) Observasi dan deferred
Simtomatik atau ukuran
tumor besar:
Kombinasi kemoterapi
dengan tanpa interferon

Alternatif: Alternatif:
Kombinasi terapi (dengan Asimtomatik atau bulk
kemoterapi) kecil:
Kemoterapi regimen
tunggal
Total-body irradiation
Keganasan Rekomendasi: Rekomendasi:
Menengah/Tinggi Kemoterapi CHOP diikuti Kemoterapi CHOP
dengan involved-field Radiasi adjuvan atau
radiation therapy profilaksis
Profilaksis kraniospinal

Penatalaksanaan pada Limfoma Keganasan Rendah


1. Stadium I-II (terbatas)
Prognosis pasien secara umum baik. Bila lesi terlokalisasi dan pasien tidak
mempunyai gejala khas sel B, radioterapi menjadi pilihan utama. Jenis
radioterapinya adalah radiasi lapangan terbatas (involved field radiotherapy/IFRT)
dengan dosis 35-45 Gy dalam 10-20 fraksi selama 2-4 minggu.
Angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan stadium 1 dan 2 yang
ditatalaksana dengan radioterapi adalah sekitar 70%. Kebanyakan kekambuhan
terjadi pada daerah yang tidak diradiasi.
Alternatif terapi yang lain adalah hanya melihat dan menunggu (watch-and-
wait) sampai penyakit menunjukkan progresifitas atau dengan menggunakan
kemoterapi saja. Kemoterapi yang diberikan adalah klorambusil atau siklofosfamid.
Pada stadium terbatas keganasan rendah, kemoterapi adjuvan diikuti radiasi akan
menurunkan risiko kekambuhan.
Radiasi total KGB (total lymphatic irradiation/TLI) tidak digunakan pada
stadium I dan II karena belum ada bukti yang mendukung bahwa TLI lebih baik
daripada IFRT.

2. Stadium III-IV (lanjut)


Penatalaksanaan pada stadium lanjut keganasan rendah masih kontroversial.
Ada yang hanya melihat dan menunggu tetapi ada juga yang memberikan
kemoterapi tunggal atau malah gabungan kemo-radioterapi.
Terapi pada stadium III keganasan rendah meliputi IFRT dengan dosis
rendah atau menggunakan regimen tunggal alkylating agent seperti klorambusil
atau siklofosfamid. Selain itu TLI dosis tinggi juga dapat dilakukan bahkan dapat
menurunkan kejadian kekambuhan dan meningkatkan angka ketahanan hidup.
Radiasi total tubuh (total body irradiation/TBI) dapat dilakukan sebagai terapi
paliatif. Dosis TBI yang dianjurkan adalah 1-1,5 Gy dengan 10cGy tiap fraksi, 5
fraksi tiap minggu, diikuti masa vakum (tidak dilakukan radiasi) selama 2-3
minggu, kemudian ditambah 1,7 Gy.

Penatalaksanaan pada Keganasan Menengah


1. Stadium I-II (terbatas)
Secara keseluruhan keberhasilan kuratif dari radioterapi pada stadium I dan
II keganasan menengah berkisar 40-50%. Yang menjadi faktor kegagalan
radioterapi adalah stadium II dengan keterlibatan KGB > 2, ukuran tumor > 2-3 cm,
usia > 60 tahun, ada gejala sel B, dan keterlibatan organ ekstralimfatik selain
abdomen, tiroid dan cincin Waldeyer. Pada pasien IA dan IIA yang terlokalisasi,
usia < 60 tahun, dan ukuran tumor (< 2,5 cm) menunjukkan angka keberhasilan 70-
80% dengan IFRT saja.
Anjuran dosis radiasi untuk mengontrol tumor lokal adalah 30-35 Gy, 1,75-
3 Gy tiap fraksi selama 3-4 minggu. Pada beberapa keadaan seperti limfoma otak
primer, ukuran tumor besar, dan beberapa limfoma sel T, dosis radiasi tersebut
kurang berhasil dalam mengontrol tumor lokal. Sebagai alternatifnya dapat
digunakan kemoterapi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi bahkan mampu
menghilangkan gejala dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya keberhasilan
dengan kemoterapi saja belum ada penelitian sahih sampai saat ini.
Anjuran terapi pada limfoma sel berukuran besar stadium I atau II adalah
kemoterapi CHOP (siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin, prednison) jangka
pendek sebanyak 3 siklus, kemudian diikuti IFRT bila ukuran tumor tidak besar;
atau kemoterapi jangka panjang diikuti radiasi bila ukuran tumor > 10 cm atau
adanya keterlibatan organ eksralimfatik

2. Stadium III-IV (lanjut)


Pada stadium lanjut (III atau IV), kemoterapi dengan regimen CHOP
merupakan terapi baku. Penggunaan radioterapi sebagai adjuvan masih
kontroversial. Akan tetapi pada beberapa keadaan, radioterapi dapat mencegah
kekambuhan. Radioterapi dapat mencegah kekambuhan testis kontralateral pada
limfoma testis. Radioterapi adjuvan dapat dipertimbangkan pada pasien usia lanjut
yang tidak diperbolehkan mendapat kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi
sumsum tulang. Dengan demikian, radioterapi pada stadium lanjut sebenarnya lebih
diperuntukkan sebagai terapi paliatif daripada kuratif.

 IFRT
IFRT merupakan teknik radioterapi yang umum dipakai pada LNH. Pada
stadium IA atau IE, daerah KGB diradiasi secara in toto. Misalnya, bila cincin
Waldeyer ikut terlibat, radiasi harus dilakukan pada seluruh KGB di daerah leher
hingga daerah infraklavikular. Sementara itu, pada kasus dimana saluran
pencernaan ikut terlibat, radiasi harus diberikan dengan lapang pandang seluruh
abdomen.
Pada stadium II atau III-IV, terkadang pasien masih memiliki sisa tumor
(residu) meski telah menyelesaikan siklus kemoterapi dengan lengkap. Biasanya
KGB residu paling sering ditemukan di mediastinum, dapat juga di
retroperitoneum, leher dan daerah inguinal. Disinilah IFRT berperan sehingga
angka ketahanan hidup pasien lebih tinggi.

 TBI
TBI digunakan sebagai terapi paliatif pada LNH keganasan rendah.
Sedangkan pada keganasan menengah dan tinggi dimana angka kekambuhan cukup
tinggi yaitu 50-60%, perlu dilakukansalvage therapy yang terdiri dari kemoterapi d
an terapi mieloablatif. TBI termasuk dalam komponen mieloablatif.
Oleh karena lapangan radiasi dari TBI sangat luas (seluruh tubuh) maka
biasanya toleransi pasien rendah sehingga dosis TBI pun diatur sedemikian rupa
yaitu dengan total dosis adalah 150 cGy dalam 10 fraksi, 2 kali setiap minggu.

 Terapi Paliatif


Masalah utama dari LNH adalah metastasis ke tulang atau saraf tulang
belakang. Bila hal itu terjadi, penanganannya sangat sulit terutama bila mengenai
daerah paraspinal. Steroid diberikan sebagai terapi inisial yaitu dexametason
parenteral 4-8 mg setiap 8 jam.
Selain medikamentosa, radioterapi juga dapat digunakan sebagai terapi
paliatif. Radioterapi yang diberikan harus mencakup batas aman (safe margin) yaitu
3-5 cm di atas dan bawah dari batas luar tumor. Dosis hiperfraksinasi (30 Gy/10
fraksi) mengakibatkan dekompresi yang cepat dan perbaikan gejala neurologis pada
kasus LNH paraspinal. Dosis radiasi pada metastasis tulang adalah 30 Gy dalam 10
fraksi selama 2 minggu atau 20 Gy dalam 5 fraksi selama 1 minggu.

 Rituximab

Hasil penelitian yang dilakukan oleh kelompok limfoma dunia (GELA atau
Group d’Etude des Lymphomes de l’adulte) menyimpulkan, kombinasi rituximab
dengan CHOP memberi angka kesembuhan yang lebih baik daripada CHOP saja.
Penelitian yang dipimpin oleh Prof Mark Hertzberg dari University of Sydney ini
menunjukkan adanya perbedaan angka harapan hidup yang cukup signifikan.
Sekitar 53% pasien LNH yang diterapi kombinasi dapat hidup setelah 3 tahun
pengobatan, sedangkan yang diterapi CHOP saja hanya 35%. Rituximab
merupakan antibodi monoklonal yang bekerja spesifik hanya pada sel tumor
sehingga efek toksisistasnya kecil.

Saat ini pengembangan terapi terus dilakukan terutama yang mengarah


pada targeted therapy. Usaha itu bukan tanpa alasan sebab LNH adalah salah satu
penyakit kanker yang potensial untuk disembuhkan. Dengan demikian, kita dapat
membuka kembali harapan sang rocker, juga pasien-pasien lainnya.
I. Komplikasi

Akibat efek samping pengobatan biasanya terjadi aplasia sumsum tulang,


gagal jantung. gagal ginjal. serta neuritis oleh obat vinkristin
Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan
dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan
berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum
tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi
potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek
jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis
pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila
pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal
sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan
penurunan produksi saliva.Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen,
efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia

B. Patofisiologi
Limfoma maligna ini berasal dari sel limfosit. Tumor ini biasanya bermula
dari nodus limfe, tetapi dapat melibatkan jaringan limfoid dalam limpa, traktus
gastrointestinal (misalnya dinding lembung), hati, atau sumsum tulang. Sel limfosit
dalam kelenjar limfe

juga berasal dari sel-sel indik multipotensial di dalam sumsum tulang. Sel
induk multipotensial pada tahap awal bertransformasi menjadi sel progenitor
limfosit yang kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian mengalami
pematangan dalam kelenjar thymus untuk menjadi limfosit T, dan sebagian lagi
menuju kelenjar limfe atau tetap berada dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi
menjadi sel limfosit B. Apabila ada rangsangan oleh antigen yang sesuai maka
limfosit T maupun B akan bertransformasi menjadi bentuk aktif dan berpoliferasi.
Limfosit T aktif menjalankan fungsi respon imunitas seluler. Sedangkan limfosit B
aktif menjadi imunoblas yang kemudian menjadi sel plasma yang membentuk
imunoglobulin. Perubahan limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang
tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya
rangsangan imunogen). Hal ini terjadi didalam kelenjar getah bening, dimana sel
limfosit tua berada di luar centrum germinativum sedangkan imunoblast berada di
bagian paling sentral centrum germinativum. Apabila membesar maka dapat
menimbulkan tumor dan apabila tidak ditangani secara dini maka menyebabkan
limfoma maligna.

Penyebab tumor ini tidak diketahui dengan jelas, namun terdapat beberapa
faktor risiko antara lain : imunodefisiensi, agen infeksius, paparan lingkungan dan
pekerjaan (seperti pekerja hutan, petrnak dan pertanian), terkena paparan
ultraviolet, merokok, dan mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani. Tanda dan
gejala yang timbul antara lain kelelahan, malaise penurunan berat badan,
peningkatan suhu, kerentanan infeksi, disfagia anoreksia, mual, muntah, konstipasi,
anemia, timbul edema anasarka, tekanan darah turun, sesak nafas bila tumbuh di
daerah dada dan kelainan/pembesaran organ. Apabila kondisi ini berlangsung terus-
menerus, maka dapat menimbulkan komplikasi yaitu efusi pleura, fraktur tulang,
paralisis dan kematin pasti terjadi dalam 1 sampai 3 tahun bila tanpa penanganan.

C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien limfoma maligna terdiri atas penatalaksanaan
medis/farmakoterapi dan penatalaksanaan keperawatan.
1. Penatalaksanaan medis/farmakoterapi. Menurut Brunner and Suddarth, (2001),
Danielle Gale, (1999) :
a. Kemoterapi oral seperti klorambusil (leukeran) dengan atau tanpa prednison.
Karena penyakit ini menjadi progresif lalu direkomendasikan pendekatan yang
agresif, dengan menggunakan kemoterapi kombinasi yang meliputi siklofosfamid,
vinkristin, vinblastin, bleomisin dan doksorubisin. Efek jangka panjang dari
kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
b. Terapi radiasi dilakukan hanya jika penyakit ini terlokalisasi pada daerah-daerah
tertentu. Tujuan terapi radiasi adalah menghancurkan sel-sel tumor. Efek samping
terapi radiasi bila pada area nodus limfa servikal atau tenggorokan, maka akan
terjadi mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan
produksi salifa serta peningkatan karies gigi, sedangkan bila pada area nodus limfa
abdomen, maka akan terjadi muntah, diare keletihan, anoreksia dan supresi sumsum
tulang.
c. CT scan hati dan limpa dilakukan untuk mengidentifikasi keterlibatan organ
tersebut terhadap tumor.
d. Thorax foto tulang pelvis vertebra, dan tulang panjang, dilakukan untuk
mengidentifikasi keterlibatan organ tersebut terhadap tumor.
e. Biopsi sumsum tulang untuk menentukan keterlibatan sumsum tulang, invasi
sumsum tulang terlihat pada tahap luas.
f. Biopsi nodus limfa untuk membuktikan keterlibatan nodus mediastinal.
g. Skintigrafi Gallium-67 berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya
penyakit nodus, khususnya diatas diafragma.
h. Ultrasound abdominal untuk mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa
retroperitoneal.
i. Tomografi paru keseluruhan atau skan CT dada dilakukan bila adenopati hilus
terjadi. Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa mediastinum.
j. Tindakan pembedahan laparatomy dilakukan bila penyakit ini diduga
berada di bawah diafragma tetapi berisiko terjadi perdarahan atau
poliferasi.

2. Penatalaksanaan keperawatan, menurut Brunner and Suddarth (2000), dalam


memberikan perawatan dan pendidikan klien. Klien sering merasa takut terhadap
obat-obatan yang bersifat radioaktif dan memerlukan tindakan penjagaan serta
pengawasan tindak lanjut yang khusus karena itu perawat harus menyampaikan
informasi tentang terapi ini dan menenangkan perasaan klien dan keluarga. Untuk
klien post operasi laparatomy, klien dianjurkan untuk istirahat serta menghindari
regangan pada jahitan luka. Kassa penutup luka operasi harus dikaji secara periodik
untuk mengetahui adanya peradahan atau tidak dan lakukan perawatan luka setiap
hari sesuai program, untuk mengobservasi tanda-tanda infeksi.

D. Pengkajian
Pengkajian pada klien limfoma maligna menurut Doenges, (1999) diperoleh data
sebagai berikut :
1. Aktifitas/istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan, atau malaise umum, kehilangan prodiktifitas dan
penurunan toleransi latihan.
Tanda : penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban, dan tanda lain yang
menunjukkan kelelahan.

2. Sirkulasi
Gejala : palpitasi, angina/nyeri dada.
Tanda : takikardia, disritmia, sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena
karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang), ikterusskelera dan
ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obtruksi duktus empedu oleh
pembesaran nodus limfa, pucat (anemia), diaforesis, keringat malam hari.

3. Integritas ego
Gejala : faktor stress, takut/ansietas sehubungan dengan diagnosis dan
kemungkinan takut mati, tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan
terapi radiasi).
Tanda : berbagai perilaku, misal marah menarik diri, pasif

4. Eliminasi
Gejala : perubahan karakteristik urine dan feses, riwayat obstruksi intususepsi, atau
sindroma malabsorpsi (infiltrasi dari nodus limfa retro peritoneal)
Tanda : nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran pada palpasi
(hepatomegali), nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan pembesaran pada palpasi
(splenomegali), penurunan haluaran urine, urine gelap/pekat, anuria (obstruksi
uretral/gagal ginja), disfungsi usus dan kandung kemih.

5. Makanan/cairan
Gejala : anoreksia/kehilangan nafsu makan, disfagia (tekanan pada esofagus)
Adanya penurunan berat badan.
Tanda : pembengkakan pada wajah, leher, rahang, atau tangan kanan (sekunder
terhadap kompensasi vena kava superior oleh pembesaran nodus limfa), edema
ekstermitas bawah sehubungan dengan obtruksi vena kava inferior dari
pembesaran nodus limfa intraabdominal (non-hodgkin), Asites (obtruksi vena kava
inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intra abdominal)

6. Neurosensori
Gejala : nyeri saraf (neuralgia) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran
nodus limfa pada brakial, lumbar, dan pleksus sakral, kelemahan otot, parestesia.
Tanda : status mental ; letargi, menarik diri, kurang minat umum terhadap sekitar,
paraplegia (kompresi btang spinal dari tubauh vertebral, keterlibatan diskus pada
kompresi/degenerasi atau kompresi suplai darah terhadap batang spinal)

7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena, mis pada sekitar
mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung (kompresi vertebral) nyeri tulang umum
(keterlibatan tulang limfomatus), nyeri segera pada area yang terkena setelah
minum alkohol.
Tanda : fokus pada diri sendiri, prilaku berhati-hati.

8. Pernapasan
Gejala : dispnea pada kerja atau istirahat ; nyeri dada
Tanda : dispnea ; takikardia, batuk kering non-produktif, tanda distres pernapasan
; peningkatan frekuensi pernafasan dan kedalaman, penggunaan otot bantu, stridor,
sianosis, parau/paralisis laringeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf
laringeal).
9. Keamanan
Gejala : riwayat sering/adanya infeksi, riwayat mononukleus, riwayat
ulkus/perforasi perdarahan gaster, demam, keringat malam tanpa menggigil,
kemerahan/pruritus umum
Tanda : demam menetap tanpa gejala infeksi, nodus limfe simetris, tak nyeri,
membengkak/membesar, pembesaran tonsil, pruritus umum, sebagian area
kehilangan pigmentasi melanin (vitilago).

10. Seksualitas
Gejala : masalah tentang fertilitas/kehamilan (sementara penyakit tidak
mempengaruhi, tetapi pengobatan mempengaruhi), penurunan libido.

E. Diagnosa Keperawatan
Setelah data dikumpulkan dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan
diagnosa keperawatan. Menurut Doenges (1999), diagnosa keperawatan pada klien
post operasi laparatomy + biopsy dengan indikasi limfoma maligna sebagai berikut
:
1. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, insisi
bedah
2. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan berlebihan, misal : muntah, perdarahan, diare.
3. Nyeri (akut) berhubungan dengan adanya insisi bedah.
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan
cadangan energi, peningkatan laju metabolik dari produksi leukosit masif.
5. Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet, perubahan
proses pencernaan.
6. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
darah dan nutrisi kejaringan sekunder pembedahan.
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang
akurat mengenai perawatan di rumah.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. (2002). Text Book of Medical – Surgical Nursing (Agung,
Penerjemah). Philadelphia : Lippincott (Sumber asli diterbitkan 1997).

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Hand Book Of Nursing Diagnosis. (Monica Ester,
Penerjemah). Philadelphia. PA 19106.USA (Sumber asli diterbitkan 1999).

Doenges, M. (2000). Nursing Care Planns (I Made Kariasa, Penerjemah).


Philadelphia. F.A Davis Company. (Sumber asli diterbitkan 1993).

Gale, Danielle. (2000). Oncology Nursing Care Plans (I Made Kariasa,


Penerjemah). Texas : Skidmore-Roth Publshing (Sumber asli diterbitkan 1995).

Niakurniasih, Sudiariandini S. (1997). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :


FKUI

Trigonum. Profil Penderita Limfoma Maligna. Diambil pada 16 Juli 2007


dari www.trigonum.or.id, 2007

Tucker, S. (1998). Patient Care Standarts : Nursing Process, Diagnosis, and


Outcome. (Yasmin, Penerjemah) California ; Mosby. (Sumber asli diterbitkan
1992).

También podría gustarte