Está en la página 1de 19

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Pengetahuan atau kognitif, merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang atau overtbehaviour (Notoatmodjo,

2012).

2.1.2 Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan tercakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan,

yaitu (Notoatmodjo, 2012):

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang

tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012)

10
5

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai sesuatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan

materi tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap obyek atau

materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan. Contoh: menyimpulkan,

meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari (Notoatmodjo,

2012).

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini

dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,

metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain

(Notoatmodjo, 2012).

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini

dapat dilihat dari penggunaan kata keda, seperti dapat menggambarkan

(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2012).

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian untuk melakukan justification atau penilaian


6

terhadap suatu materi atau objek penilaian. Penilaian itu didasarkan pada

suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada (Notoatmodjo, 2012).

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk, melakukan justification

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian-penelitian itu

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria

yang telah ada (Notoatmodjo, 2012).

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

a. Usia

Usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat beberapa

tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan

lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat

yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari pada orang yang belum cukup

tinggi kedewasaannya, hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan

kematangan jiwa (Notoatmodjo, 2012).

b. Pendidikan

Pendidikan adalah seluruh proses dimana seseorang mengembangkan

kemampuan sikap dan bentuk perilaku yang mengandung nilai positif dalam

masyarakat tempat hidup. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin

mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang


7

dimiliki, sebaliknya yang rendah menghambat perkembangan sikap seseorang

tentang nilai-nilai baru yang diperlukan (Notoatmodjo, 2012).

c. Pekerjaan

Adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang

kehidupan seseorang dan keluarganya. Dengan adanya pekerjaan seseorang

akan memerlukan banyak waktu dan memerlukan peralatan. Masyarakat yang

sibuk hanya memiliki sedikit waktu untuk memperoleh informasi, sehingga

pengetahuan yang mereka peroleh kemungkinan juga berkurang

(Notoatmodjo, 2012).

d. Budaya

Lingkungan sosial budaya mengandung 2 unsur yaitu yang berarti Interaksi

antara manusia dan unsur budaya yaitu bentuk perilaku yang sama yang

terdapat didalam keluarga. Manusia mempelajari kelakuannya dari orang lain

di lingkungan sosialnya. Budaya ini diterima didalam keluarga meliputi

bahasa dan nilai-nilai kelakuan adat kebiasaan dan sebagainya yang nantinya

berpengaruh pada pengetahuan (Notoatmodjo, 2012).

e. Sosial Ekonomi

Tingkat pengetahuan dan pendidikan dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan

dana untuk memperoleh masalah yang memiliki pengetahuan keterampilan

dan kecakapan dibutuhkan upaya mengatasi kemiskinan (Notoatmodjo,

2012).
8

2.1.4 Pengukuran pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden. Pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat

disesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas (Notoatmodjo, 2010).

Cara mengukur tingkat pengetahuan dengan memberikan pertanyaan-

pertanyaan, kemudian dilakukan penilaian nilai 1 untuk jawaban benar dan

nilai untuk jawaban salah. Kemudian digolongkan menjadi 3 kategori yaitu

baik, sedang, kurang. Dikatakan baik (>80%), cukup (60-80%), dan kurang

(<60%) (Notoatmodjo, 2012).

2.1.5 Cara Memperoleh Pengetahuan

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang

berasal dari berbagai macam sumber misalnya: media masa, media elektronik,

buku petunjuk, petugas kesehatan, media parker, kerabat dekat dan

sebagainya. Banyak cara yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan

namun sepanjang sejarah cara mendapatkan pengetahuan dikelompokkan

menjadi dua bagian, yaitu (Notoatmodjo, 2012):

a. Cara Tradisional atau Non Ilmiah

1 Cara coba salah

Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan

dalam memecahkan masalah. Apabila kemungkinan tersebut tidak


9

berhasil, dicoba kemungkinan kedua, ketiga dan seterusnya sampai

masalah dapat dipecahkan.

2 Cara kekuasaan atau otoriter

Kebiasaan yang dilakukan tanpa melalui penelaah apakah yang

dilakukan itu baik atau tidak baik kebiasaan ini biasanya diwariskan

secara turun temurun.

3 Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman adalah guru yang baik yang bermakna bahwa pengalaman

itu merupakan sumber pengetahuan untuk memperoleh kebenaran

pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang pengalaman

yang diperoleh dengan memecahkan permasalahan.

4 Melalui jalan pikiran

Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah

menggunakan jalan pikirnya melalui induksi atau deduksi. Induksi

yaitu: proses pembuatan kesimpulan melalui pernyataan khusus pada

umum. Deduksi yaitu: pembuatan kesimpulan dari pernyataan umum

kepada yang khusus.

b. Cara modern atau yang disebut cara ilmiah

Cara baru atau cara modern dalam memperoleh pengetahuan lebih

sistematis, logis dan alamiah. Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah”

atau lebih populer disebut dengan metodologi penelitian (Research

methodology), yaitu dengan berpikir induktif. Mula-mula mengadakan

pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan


10

kemudian hasilnya dikumpulkan dan diklarifikasikan, akhimya diambil

kesimpulan umum.

2.2 Infeksi Nasokomial

2.2.1 Definisi Infeksi Nasokomial

Istilah nosokomial berasal dari bahasa Yunani yaitu Nosokomeion yang

berarti rumah sakit (nosos = penyakit, komeo = merawat). Infeksi nosokomial

dapat diartikan infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit. Infeksi yang

timbul dalam kurun waktu 48 jam setelah dirawat di rumah sakit sampai

dengan 30 hari lepas rawat dianggap sebagai infeksi nosocomial

(Darmadi,2011).

Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita

maupun luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang

semula memang sudah ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang

kita sebut dengan self infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen

(cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumasakit

dan dari satu pasien ke pasien lainnya (Hastomo, 2009).

2.2.2 Penularan Infeksi Nosokomial

Cara penularan infeksi nosokomial antara lain (Darmadi, 2011):

a. Penularan secara kontak

Penularan ini dapat terjadi baik secara kontak langsung, kontak tidak

langsung dan droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber infeksi

berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya person to person pada


11

penularan infeksi hepatitis A virus secara fekal oral. Kontak tidak

langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara

(biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah

terkontaminasi oleh sumber infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis

oleh mikroorganisme (Darmadi, 2011).

b. Penularan melalui common vehicle

Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman

dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu pejamu. Adapun

jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intra vena,

obat-obatan, cairan antiseptik, dan sebagainya (Darmadi, 2011).

c. Penularan melalui udara dan inhalasi

Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat

kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh dan

melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat

dalam sel-sel kulit yang terlepas akan membentuk debu yang dapat

menyebar jauh (Staphylococcus) dan tuberculosis (Darmadi, 2011).

d. Penularan dengan perantara vektor

Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut

penularan secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara mekanis

dari mikroorganime yang menempel pada tubuh vektor, misalnya shigella

dan salmonella oleh lalat. Penularan secara internal bila mikroorganisme

masuk kedalam tubuh vektor dan dapat terjadi perubahan biologik,


12

misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami perubahan

biologik, misalnya Yersenia pestis pada ginjal (flea) (Darmadi, 2011).

e. Penularan melalui makanan dan minuman

Penyebaran mikroba patogen dapat melalui makanan atau minuman yang

disajikan untuk penderita. Mikroba patogen dapat ikut menyertainya

sehingga menimbulkan gejala baik ringan maupun berat (Darmadi, 2011).

2.2.3 Etiologi Infeksi Nasokomial

Mikroorganisme penyebab infeksi nosocomial (Sudoyo,2014):

a. Conventional pathogens

Menyebabkan penyakit pada orang sehat, karena tidak adanya kekebalan

terhadap kuman tersebut: Staphylococcus aureus, streptococcus,

salmonella, shigella, virus influenza, virus hepatitis.

b. Conditional pathogens

Penyebab penyakit pada orang dengan penurunan daya tahan tubuh

terhadap kuman langsung masuk dalam jaringan tubuh yang tidak steril:

pseudomonas, proteus, klebsiella, serratia, dan enterobacter.

c. Opportunistic pathogens

Menyebabkan penyakit menyeluruh pada penderita dengan daya tahan

tubuh sangat menurun: mycobacteria, nocardia, pneumocytis.


13

2.2.4 Faktor-Faktor Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial

menurut Darmadi (2011) adalah :

1 Faktor-faktor dari luar (extrinsic factors)

Faktor-faktor dari luaryang berpengaruh dalam insidensi infeksi

nosokomial adalah: 1) Petugas pelayanan medis (dokter, perawat,

bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya), 2) Peralatan dan material

medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan

sebagainya), 3) Lingkungan (berupa lingkungan internal seperti

ruangan/bangsalperawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah.

Sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan

tempat pembuangan sampah/pengelolahan limbah), 4) Makanan/

minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita), 5)

Penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ ruangan/

bangsal perawatan merupakan sumber penularan), 6) Pengunjung/

keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber

penularan).

2 Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors)

Seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi,

atau adanya penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta

komplikasinya.
14

3 Faktor mikroba

Seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak

jaringan, lamanya paparan antara sumber penularan dengan penderita.

4 Faktor Keperawatan

Faktor keperawatan yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial

adalah lama hari perawatan pasien, standar asuhan keperawatan yang

menurun dan padatnya jumlah penderita (Darmadi, 2011).

2.2.5 Klasifikasi Infeksi Nasokomial

Infeksi nosokomial dikelompokan berdasarkan tempat distribusinya.

Tempat-tempat utama terjadinya infeksi nosokomial dalam tubuh pasien

adalah : (Rachma, 2015).

a. Infeksi Traktus Urinarius

Merupakan infeksi nosokomial yang paling umum dengan prevalensi

mencapai 80%. Infeksi ini terjadi akibat penggunaan kateter urin jangka

panjang. Dibandingkan dengan infeksi nosokomial lainnya, infeksi

traktus urinarius ini tingkat morbiditasnya terbilang rendah, namun

terkadang infeksi ini dapat menyebabkan bakteriemia sehingga

berujung kematian.

Infeksi ini dibuktikan dengan kultur urin kuantitatif (≥105

mikroorganisme/ml, dengan maksimum 2 spesies bakteri terisolasi).

Bakteri tersebut berasal dari flora usus, baik flora normal seperti
15

Escherichia coli, ataupun yang diperoleh dari rumah sakit seperti

multiresisten Klebsiella.

b. Infeksi Luka Operasi

Infeksi luka operasi juga merupakan infeksi nosokomial yang sering

terjadi. Insidensinya bervariasi dari 0,5% sampai 15% tergantung jenis

operasi dan status dasar pasien. Dampaknya adalah bertambahnya lama

perawatan pasca operasi sekitar 3 sampai 20 hari dan meningkatnya biaya

perawatan yang cukup banyak. Gambaran klinis infeksi ini yaitu,

adanya discharge purulent disekitar luka operasi. Bakteri yang

menyebabkan infeksi ini biasanya didapat selama operasi berlangsung,

baik secara eksogen (misalnya dari udara, peralatan medis, dokter

bedah, dan staf lainnya), ataupun secara endogen (misalnya dari flora

yang terdapat di kulit atau di tempat operasi)

c. Nasokomial Pneumonia

Pneumonia nosokomial terjadi pada kelompok pasien yang berbeda.

Prevalensi infeksi ini paling sering terjadi pada pasien dengan ventilator

di unit perawatan intensif. Kolonisasi dari mikroorganisme ini terjadi

di perut, saluran napas bagian atas, dan bronkus. Faktor risiko

nosokomial pneumonia ini diketahui berkaitan dengan jenis dan durasi

ventilasi, kualitas perawatan pernapasan, keparahan kondisi pasien (ada

atau tidaknya kegagalan organ), dan penggunaan antibiotik sebelumnya.

Namun, terlepas dari penggunaan ventilator, pasien dengan kejang atau

penurunan tingkat kesadaran juga berisiko terkena infeksi nosokomial,


16

bahkan jika tidak dilakukan intubasi. Viral brochiolitis (RSV) sangat

umum terjani di unit perawatan pediatric, sedangkan influenza dan

bacterial pneumonia sekunder sering terjadi pada unit geriatri

d. Nasokomial Bakteremia

Prevalensi infeksi nosokomial jenis ini terbilang cukup rendah, yaitu

hanya sekitar 5% dari total infeksi nosokomial, namun kasus

kematian akibat infeksi ini sangat tinggi hingga mencapai lebih dari

50%. Infeksi ini dibagi menjadi dua kategori utama:

1 Infeksi pembuluh darah primer (IADP), muncul tanpa adanya tanda

infeksi sebelumnya, dan berbeda dengan organisme yang

ditemukan dibagian tubuhnya yang lain

2 Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari organisme

yang sama dari sisi tubuh yang lain

Mortalitas yang terjadi pada infeksi ini terutama disebabkan oleh

bakteri yang resisten terhadap antibiotika seperti Staphylococcusdan

Candida. Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat

seperti jarum suntik, kateter urin, dan kateter vena sentral (CVC).

Faktor utama penyebab infeksi ini adalah panjangnya kateter, suhu

tubuh saat dilakukannya prosedur invasif, dan perawatan dari

pemasangan kateter (Rachma, 2015).


17

2.2.6 Patogenesis Infeksi Nasokomial

Infeksi nosokomial disebabkan oleh virus, jamur, parasit; dan

bakteri merupakan patogen paling sering pada infeksi nosokomial.

Patogen tersebut harus diperiksa pada semua pasien dengan demam yang

sebelumnya dirawat karena penyakit tanpa gejala demam (Nguyen, 2009).

Faktor predisposisi terjadinya infeksi nosokomial pada seseorang


antara lain :
a. Status imun yang rendah (pada usia lanjut dan bayi prematur).
b. Tindakan invasif, misalnya intubasi endotrakea, pemasangan kateter, pipa
saluran bedah, dan trakeostomi.
c. Pemakaian obat imunosupresif dan antimikroba.
d. Transfusi darah berulang (Broadus, 2009).
Penularan oleh patogen di rumah sakit dapat terjadi melalui beberapa cara:
1. Penularan melalui kontak merupakan bentuk penularan yang sering dan
penting infeksi nosokomial. Ada 3 bentuk, yaitu:
a. Penularan melalui kontak langsung: melibatkan kontak tubuh dengan
tubuh antara pejamu yang rentan dengan yang terinfeksi.
b. Penularan melalui kontak tidak langsung: melibatkan kontak pada
pejamu yang rentan dengan benda yang terkontaminasi misalnya
jarum suntik, pakaian, dan sarung tangan.
c. Penularan melalui droplet, terjadi ketika individu yang terinfeksi
batuk, bersin, berbicara, atau melalui prosedur medis tertentu,
misalnya bronkoskopi.
2. Penularan melalui udara yang mengandung mikroorganisme yang
mengalami evaporasi, atau partikel debu yang mengandung agen
infeksius. Mikroorganisme yang terbawa melalui udara dapat terhirup
pejamu yang rentan yang berada pada ruangan yang sama atau pada jarak
yang jauh dari sumber infeksi. Sebagai contoh mikroorganisme
Legionella, Mycobacterium tuberculosis, Rubeola, dan virus varisela
18

3. Penularan melalui makanan, air, obat-obatan dan peralatan yang


terkontaminasi.
4. Penularan melalui vektor, misalnya nyamuk, lalat, tikus, dan kutu

Gambar. 2.1. Sumber infeksi di rumah sakit (Lukmanul, 2012)


19

Gambar. 2.2 Rantai penularan infeksi nosokomial (Lukmanul, 2012)

2.2.7 Gejala Klinis Infeksi Nasokomial

Gejala dan tanda tersebut timbul dalam waktu 48 jam atau lebih

setelah pasien di rawat di rumah sakit, atau dalam 30 hari setelah pasien

keluar dari rumah sakit (Lukmanul, 2012).

Demam sering merupakan tanda pertama infeksi. Gejala dan tanda

lainnya dari adanya infeksi adalah napas yang cepat, tekanan darah rendah,

pengeluaran urine yang berkurang, dan jumlah leukosit meningkat serta

terjadinya gangguan mental. Penderita dengan infeksi saluran kemih dapat

mengalami nyeri kencing dan adanya darah di dalam urine (Soedarto,

2016). Sumber infeksi nosokomial dapat dicurigai jika terdapat

penggunaan alat dalam prosedur medis, sebagai contoh pemasangan pipa


20

endotrakeal yang dapat dihubungkan dengan sinusitis, otitis, trakeitis, dan

pneumonia; pemasangan kateter intravaskular dapat menyebabkan flebitis;

kateter Foley dapat dihubungkan dengan infeksi saluran kemih oleh karena

kandida (Nguyen, 2009).

Jika terjadi pneumonia, penderita mengalami gangguan saat

bernapas dan gangguan pada waktu batuk. Infeksi lokal yang terjadi

dimulai dengan terjadinya pembengkakan, kemerahan jaringan setempat,

nyeri pada kulit atau sekitar luka atau luka yang terbuka, yang dapat

menimbulkan kerusakan jaringan di bagian bawah otot, atau bisa juga

menyebabkan sepsis (Soedarto, 2016)

2.2.8 Diagnosis Infeksi Nosokomial (Soedarto, 2016)

Jika diduga telah terjadi infeksi, penderita rawat inap akan mengalami

demam yang tidak diketahui penyebabnya. Pada orang lanjut usia, demam bisa

tidak terjadi. Dalam hal ini adanya napas yang cepat dan gangguan mental

(bingung) merupakan gejala awal infeksi.

Diagnosis infeksi nosokomial rumah sakit dapat ditentukan dengan:

1 Mengevaluasi gejala dan tanda infeksi

2 Memeriksa luka dan tempat masuk kateter untuk melihat adanya

warna kemerahan, pembengkakan, adanya nanah atau abses.

3 Melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk mengetahui

apakah ada penyakit tersamar (underlying disease)


21

4 Pemeriksaan laboratorium, antara lain pemeriksaan darah lengkap,

urinalisis, biakan kuman dari luka, darah, dahak, urine atau cairan

tubuh untuk menemukan organisme penyebabnya.

5 Pemeriksaan sinar-X dada jika diduga terjadi pneumonia.

6 Melakukan pemeriksaan ulang atas semua tatalaksana dan tindakan

yang sudah dilakukan

2.2.9 Pengendalian Infeksi Nosokomial

Pengendalian infeksi nosokomial bertujuan untuk menekan dan

memindahkan perkembangan infeksi pada penderita yang sedang dirawat di

rumah sakit ataupun mengurangi angka infeksi yang terjadi di rumah sakit.

Sebagian infeksi nosokomial ini dapat dicegah dengan strategi yang telah

tersedia secara relatif murah, yaitu (Darmadi, 2011):

a. Menaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kebersihan

dan kesehatan tangan serta pemakaian sarung tangan

b. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat

untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor,

diikuti dengan sterilisasi atau desinfektan tingkat tinggi

c. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area berisiko tinggi

lainnya sebagaiman kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan

pada agen penyebab infeksi sering terjadi


22

2.2.10 Penatalaksanaan Infeksi Nosokomial

Sesudah ditentukan penyebab infeksinya, jika penyebabnya adalah

bakteri, dilakukan uji kepekaan terhadap antibiotika sehingga penderita dapat

segera diobati dengan tepat. Sambil menunggu hasil uji kepekaan antibiotik,

pengobatan dapat dimulai menggunakan antibiotik spektrum lebar, misalnya

penisilin, cefalosporin, tetrasiklin, atau eritromisin. Jika bakteri yang

ditemukan sudah resisten terhadap antibiotik spektrum lebar standard yang

dicobakan, maka antibiotik yang lebih kuat yang biasanya masih efektif dapat

diberikan, yaitu vancomycin atau imipenem.

Jika penyebab infeksi adalah jamur, dapat diberikan obat-obatan antijamur,

misalnya amphotericin B, nystatin, ketoconazole, itraconazole dan

fluconazole.

Virus tidak dapat diobati dengan antibiotik. Sejumlah obat antiviral

telah diuji cobakan untuk menghambat reproduksi virus, misalnya acyclovir,

ganciclovir, foscarnet, dan amantadine (Soedarto, 2016).

También podría gustarte