Está en la página 1de 63

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Desripsi Konseptual

1. Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-Lembaga Negara

Belajar Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebuah proses yang

kompleks yang di dalamnya terkandung beberapa aspek yang terkait dengan

idiologi bangsa dan negara Indonesia khususnya membahas materi lembaga-

lembaga negara. Aspek-aspek tersebut adalah bertambahnya jumlah

pengetahuan, adanya kemampuan mengingat dan mereproduksi, ada

penerapan pengetahuan, menyimpulkan makna, menafsirkan dan

mengaitkan dengan realitas, dan adanya perubahan sebagai pribadi.8 Bila

terjadi proses belajar, maka bersama itu pula terjadi proses mengajar. Hal ini

kiranya mudah dipahami, karena bila ada yang belajar sudah barang tentu

ada yang mengajarnya, dan begitu pula sebaliknya kalau ada yang mengajar

tentu ada yang belajar. Dari proses belajar mengajar ini akan diperoleh suatu

hasil, yang pada umunya disebut hasil belajar. Tetapi agar memperoleh hasil

yang optimal, proses belajar mengajar harus dilakukan dengan sadar dan

sengaja serta terorganisasi secara baik.

Belajar dapat dikatakan sebagai suatu proses artinya dalam belajar

akan terjadi proses melihat, membuat, mengamati, menyelesaikan masalah

atau persoalan, menyimak, dan latihan. Itu sebabnya, dalam proses belajar,
guru harus dapat membimbing dan memfasilitasi siswa supaya siswa dapat

melakukan proses-proses tersebut. Proses belajar harus diupayakan secara

efektif agar terjadi adanya perubahan tingkah laku siswa yang disebabkan

oleh proses-proses tersebut. Jadi, seseorang dapat dikatakan belajar karena

adanya indikasi melakukan proses tersebut secara sadar dan menghasilkan

perubahan tingkah laku siswa yang diperoleh berdasarkan interaksi dengan

lingkungan. Perwujudan perubahan tingkah laku dari hasil belajar adalah

adanya peningkatan kemampuan siswa sesuai dengan tujuan yang telah

ditetapkan. Perubahan tersebut sebagai perubahan yang disadari, relatif

bersifat permanen, kontinu, dan fungsional.10 Proses belajar akan

menghasilkan hasil belajar. Namun harus diingat, meskipun tujuan

pembelajaran itu dirumuskan secara jelas dan baik, belum tentu hasil belajar

yang diperoleh mesti optimal. Karena hasil yang baik itu dipengaruhi oleh

komponen-komponen yang lain, dan terutama bagaimana aktifitas siswa

sebagai subjek belajar. Penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai

hasil-hasil belajar disebut kemampuan-kemampuan (capabilities). Menurut

Gagne ada 10 Sri Anitah W,et. al., Strategi Pembelajaran di SD (Jakarta:

Universitas Terbuka, 2007), hal. 2.5 14 lima kemampuan. Ditinjau dari segi

hasil yang diharapkan dari suatu pengajaran atau instruksi, kemampuan-

kemampuan itu perlu dibedakan, karena kemampuan-kemampuan itu

memungkinkan berbagai macam penampilan manusia, dan juga karena

kondisi untuk memperoleh berbagai kemampuan ini berbeda-beda.11


Menurut Gagne hasil belajar dibagi menjadi lima kategori yaitu: a. Informasi

verbal (Verbal Information). Informasi verbal adalah kemampuan yang

memuat siswa untuk memberikan tanggapan khusus terhadap stimulus yang

relatif khusus. Untuk menguasai kemampuan ini siswa hanya dituntut untuk

menyimpan informasi dalam sistem ingatannya. b. Keterampilan Intelektual

(Intellectual Skill). Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang

menuntut siswa untuk melakukan kegiatan kognitif yang unik. Unik disini

artinya bahwa siswa harus mampu memecahkan suatu permasalahan

dengan menerapkan informasi yang belum pernah dipelajari. c. Strategi

Kognitif (Cognitive Strategies). Strategi kognitif mengacu pada kemampuan

mengontrtol proses internal yang dilakukan oleh individu dalam memilih dan

memodifikasi cara berkonsentrasi, belajar, mengingat, dan berpikir. 11 Ratna

Wilis Dahar, Teori-teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 1989), hal.134 15 d. Sikap

(Attitudes). Sikap ini mengacu pada kecenderungan untuk membuat pilihan

atau keputusan untuk bertindak di bawah kondisi tertentu. e. Keterampilan

Motorik. Keterampilan motorik mengacu pada kemampuan melakukan

gerakan atau tindakan yang terorganisasi yang direfleksikan melalui

kecepatan, ketepatan, kekuatan, dan kehalusan.12 Menurut Nana sujana

sebagaimana yang dikutip oleh Kunandar hasil belajar adalah suatu akibat

dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes

yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes

perbuatan.13 Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil


belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah terjadinya proses

pembelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru

setiap selesai memberikan materi pelajaran pada satu pokok bahasan. Hasil

belajar tidak berupa nilai saja, tetapi dapat berupa perubahan perilaku yang

menuju pada perubahan positif.

2. Hasil Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

a. Pengertian Hasil Belajar

Proses belajar mengajar dapat terlihat hasilnya ketika adanya suatu

eveluasi dari guru. Guru bertanggung jawab atas penyempurnaan

pembelajaran dengan mengadakan evaluasi agar dapat mengetahui

perubahan yang telah dicapai oleh peserta didik. Suatu proses belajar

mengajar dikatakan berhasil apabila siswa telah mengalami proses

pembelajaran serta mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hasil

perubahan tingkah laku ini yang disebut hasil belajar. Sebagaimana pendapat

Sternberg, yang menyatakan bahwa perubahan tingkah laku sebagai hasil

belajar meliputi tiga domain, yang bersifat kognitif, afektif, dan psikomotor. 1

Ketiga bentuk domain tersebut dijabarkan sebagai berikut:

a. Hasil belajar tahap kognitif, anak didik diharapkan untuk dapat

mengingat, memahami, menerapkan dan menganalisa, mengaplikasikan,

dan menganalisa hal-hal yang telah dipelajarinya.

1
Robert J. Sternberg, Psikologi Kognitif (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 144.
b. Hasil belajar afektif, setelah siswa melakukan dan mengalami

belajar, diharapkan mampu menerapkan sikap dan tingkah laku dalam

kehidupan sehari-hari.

c. Hasil belajar tahap psikomotor, menekankan pada siswa agar di

samping mengerti, memahami, siswa dituntut untuk mampu menguasai

dan melakukan kecakapan-kecakapan keterampilan motorik.

Definisi hasil belajar menurut Gagne yang dikutip oleh Nasution,

dikenal dengan sistematika “Lima kategori hasil belajar” atau “Five Major

Catagories of Learned Capabilities” yang secara khusus memperhatikan hasil

belajar.1 Kelima kategori tersebut adalah: (1) keterampilan intelektual

(intellectual skill), yaitu kemampuan yang membuat seseorang menjadi

kompeten terhadap suatu subyek sehingga ia dapat mengklarifikasi,

mengidentifikasi, dan menggeneralisasi suatu gejala ; (2) strategi kognitif

(cognitive strategy), yaitu kemampuan untuk bisa mengontrol aktivitas

intelektualnya dalam mengatasi masalah; (3) informasi verbal (verbal

information), yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa lisan

maupun bahasa tulisan dalam mengungkapkan suatu masalah; (4)

keterampilan motorik (motor skill), yaitu kemampuan seseorang untuk

mengkoordinasikan gerakan otot secara teratur dan lancar dalam keadaan

1
S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar (Jakarta: Bumi
Aksara, 2002), hh. 119-122.
sadar; (5) sikap (attitude), yaitu kecenderungan dalam menerima atau

menolak suatu obyek.

Romiszowaki yang dikutip oleh Mulyono, memandang hasil belajar

sebagai keluaran dari suatu sistem pengolahan dari berbagai masukan.

Berbagai sistem masukan dari sistem tersebut berupa berbagai macam

informasi, sedangkan pengeluarannya adalah berupa perbuatan atau kinerja

(performance). Romiszowaki membedakan dua jenis hasil belajar, yaitu

pengetahuan dan keterampilan.2

Hasil belajar merupakan bentuk perubahan ranah-ranah kognitif,

afektif, dan psikomotor, sebagaimana dikemukakan oleh Hasibuan sebagai

berikut: Hasil belajar adalah perwujudan adanya perubahan pada ranah

kognitif, yaitu dari tidak tahu menjadi tahu atau mengerti. Ranah afektif, yaitu

dari sikap acuh tak acuh menjadi penuh perhatian. Ranah psikomotor, yaitu

dari tidak tahu atau belum mengerti peran yang harus dimainkan sampai

dapat berperan secara aktif.3

Berdasarkan kajian beberapa teori yang dikemukakan di atas. Jadi

yang dimaksudkan dengan hasil belajar dalam penelitian ini adalah tingkat

penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti pembelajaran sesuai

2
Mulyono Abdurrahman, Peran Suasana Belajar Koperatif dan Kompetitif dalam Peningkatan
Hasil Belajar (Jakarta: Lemlit. IKIP Jakarta, 1998), h. 46.
3
Tabrani Rusyan, Tatang Kusdinar dan Zaenal Arifin, Pendekatan dalam Proses Belajar
Mengajar (Bandung: CV. Remaja, 2001), h. 4.
dengan tujuan yang ingin dicapai baik dengan indikator.; 1). prestasi

akademik, 2). sikap, 3). minat, 4). penyesuaian sosial, dan 5). keterampilan.

b. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu dari

sejumlah bidang studi yang diajarkan mulai dari Sekolah Dasar sampai

perguruan tinggi. Bahkan bidang studi tersebut merupakan suatu bidang

kajian yang wajib dipelajari oleh seluruh siswa dalam jenjang pendidikan

tertentu.

Melalui bidang pendidikan kewarganegaraan, siswa diajak mengerti

dan memahami kaidah dan pengertian-pengertian dari dasar negara

kesatuan Republik Indonesia juga diajarkan materi yang berhubungan

dengan norma-norma yang harus diikuti guna menjadi wagra negara yang

baik taat terhadap hukum dan tatanan negara.

Berdasarkan pengertian di atas, maka penekanan terhadap

pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan, tidak mengarahkan para siswa

untuk menjadi ahli-ahli dalam bidang Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi

bagaimana membentuk sikap hidup siswa agar mampu mempelajari,

menelaah, dan mengkaji gejala dan masalah ketatanegaraan dan

menguasaan materi pancasila dari berbagai dimensi dan segala aspek.

Salah satu masalah yang terkait dengan penerapan esensi

pendidikan ilmu pengetahuan sosial contohnya mata pelajaran

kewarganegaraan adalah memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme


dan munculnya arogansi ke-sukuan dan golongan yang merusak sendi-sendi

demokratisasi.

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah memudarnya rasa

nasionalisme dan patriotisme dalam memperjuangkan jati diri bangsa

Indonesia dalam persaingan global dan memudarnya integrasi nasional,

maka diperlukan sosialisasi hasil kajian esensi pendidikan kewarganegaraan

dan sosialisasi bagaimana pembelajarannya agar mampu memperkuat

revitalisasi nasionalisme Indonesia menuju character and nation building

sebagai tumpuan harapan pendidikan masa depan.

Juga dapat memperkuat kembali komitmen kebangsaan yang selama

ini mulai memudar dengan tekad memperjuangkan bangsa Indonesia yang

berkualitas dan bermartabat. Dengan demikian maka Pendidikan

Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik dan moral bangsa adalah

sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar untuk tetap eksis dan maju ke arah

paradigma baru yang terkenal dengan arah baru atau paradigma moderat.

Menurut Malik Fajar “pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan

tersebut adalah:

(1)masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan


dengan kualitas guru serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar,
dan (2) masukan lingkungan (instrumental input) terutama yang
berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang
kurang demokratis.4
4
Malik Fajar, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Gramedia, 2004), h.4.
Beberapa petunjuk empiris menyangkut permasalahan tersebut

antara lain sebagai berikut:

Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam Pendidikan

Kewarganegaraan lebih menekankan pada aspek instruksional yang sangat

terbatas, yaitu pada penguasaan materi (content mastery). Dengan kata lain

lebih menekankan pada dimensi kognitifnya sehingga telah mengabaikan sisi

lain yang penting, yaitu pembentukan watak dan karakter yang

sesungguhnya menjadi fungsi dan tujuan utama Pendidikan

Kewarganegaraan.

Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana yang

kondusif untuk berkembangnya pengalaman belajar siswa yang dapat

menjadi landasan untuk berkembangnya kemampuan intelektual siswa (state

of mind). Proses pembelajaran yang bersifat “satu arah” dan pasif baik di

dalam maupun di luar kelas telah berakibat pada miskinnya pengalaman

belajar yang bermakna (meaningful learning) dalam proses pembentukan

watak dan perilaku siswa. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk

membangun metode-metode pembelajaran khususnya dalam Pendidikan

Kewarganegaraan dalam rangka, menciptakan proses belajar yang

menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus mencerdaskan.

Ketiga, pelaksanaan kegiatan ektrakurikuler sebagai wahana sosio-

pedagogis melalui pemanfaatan “hands-on experience” juga belum

berkembang sehingga belum memberikan kontribusi yang berarti dalam


menyeimbangkan antara penguasaan teori dan pembinaan perilaku,

khususnya yang berkaitan dengan pembiasaan hidup yang terampil dalam

suasana yang demokratis dan sadar hukum.

Kompleksitas permasalahan yang melukiskan betapa banyaknya

kendala kurikuler dan sosiokultural dalam pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan untuk mencapai hasil belajar yang menyeluruh, yang

dalam pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan prinsip penting

apabila kurikulum berbasis kompetensi atau kepri-badian,khususnya dalam

menanamkan sikap, nilai dan perilaku yang dapat dijadikan landasan untuk

membentuk watak dan karakter para siswa didik dalam konteks negara

bangsa Indonesia.5

Empat pilar belajar yang diperkenalkan oleh UNESCO yaitu learning

to know, seperti telah dikemukakan oleh Philip Phoenix, proses pembelajaran

yang mengutamakan penguasaan ways of knowing atau mode of inquire

telah memungkinkan siswa untuk terus belajar dan mampu memperoleh

pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan dari hasil

penelitian orang lain, melainkan dari hasil penelitiannya sendiri. Karena itu,

hakikat dari learning to know adalah proses pembelajaran yang

memungkinkan siswa menguasai tehnik menemukan pengetahuan dan

bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan. Learning to do yaitu

pembelajaran untuk mencapai kemampuan untuk melaksanakan controlling,


5
Winata Putra, Kurikulum Berbasis Kompetisi (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 21.
monitoring, maintaining, designing, organizing. Belajar ini terkait dengan

belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkret yang tidak hanya

terbatas kepada penguasaan keterampilan mekanistis melainkan meliputi

kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, mengelola dan

mengatasi konflik, menjadi pekerjaan yang penting.

Learning to live together yaitu membekali siswa kemampuan untuk

hidup bersama dengan orang lain yang berbeda, dengan penuh toleransi,

saling pengertian dan tanpa prasangka. Dalam hubungan ini, prinsip

relevansi sosial dan moral. Learning to be, keberhasilan pembelajaran untuk

mencapai pada tingkatan ini diperlukan dukungan keberhasilan dari pilar

pertama, kedua, dan ketiga, yaitu : tiga pilar yaitu learning to know, learning

to do, dan learnig to live together ditujukan bagi lahirnya siswa didik yang

mampu mencari informasi dan menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu

memecahkan masalah, dan mampu bekerja sama, bertenggang rasa, dan

toleran terhadap perbedaan.6

Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menumbuhkan rasa

percaya diri pada siswa didik, sehingga menjadi manusia yang mampu

mengenal dirinya, yakni manusia yang berkepribadian yang mantap dan

mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan emosional dan

intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya

6
Jaques Delors, et. all, Learning: The Treasure Within (Sidney: UNESCO Publishing, 1998),
h. 86.
dengan konsisten dan memiliki rasa empati (tepo seliro), atau disebut

memiliki Emotional Intelligence.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa

”Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar

pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap

tuntutan perubahan zaman”. Pasal 37 menyebutkan bahwa, ”Kurikulum

pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan Agama; (b)

pendidikan Kewarganegaraan; (c) Bahasa; (d) Matematika; (e) Ilmu

Pengetahuan Alam; (f) Ilmu Pengetahuan Sosial; (g) Seni dan Budaya;

(h) Pendidikan Jasmani dan Olahraga; (i) Keterampilan/Kejuruan; dan (j)

Muatan Lokal”.Dari isi Undang-Undang Sisdiknas di atas jelas eksistensi

Pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum persekolahan adalah berdiri

sendiri sebagai mata pelajaran.7

Istilah yang sering digunakan selain Pendidikan Kewarganegaraan

adalah civics. Sumantri: merumuskan pengertian Civics sebagai ilmu

kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan: (a)

perkumpulan yang terorganisir (organisasi sosial, organisasi ekonomi, dan

7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
organisasi politik); dan (b) individu dengan negara. Istilah lain yang hampir

sama maknanya dengan civics adalah citizenship.8

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu dari lima tradisi

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission, saat ini

sudah berkembang menjadi tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan

(citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek

social budaya. Secara akademis pendidikan kewarganegaraan dapat

didefinisikan sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahannya

pada seluruh dimensi psikologis dan sosial budaya kewarganegaraan

individu, menurut Wiranaputra dengan menggunakan ilmu politik, ilmu

pendidikan sebagai landasan kajiannya atauan penemuannya intinya yang

diperkaya dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan mempunyai implikasi

kebermanfatan terhadap instrumentasi dan praksis pendidikan setiap warga

negara dalam konteks sistem pendidikan nasional. 9

Menurut Malik Fajar bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sebagai

wahana untuk mengembangkan kemampuan, watak dan karakter

warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, Pendidikan

Kewarganegaraan memiliki peranan yang amat penting. 10 Mengingat banyak

permasalahan mengenai pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan sampai

saat ini, maka arah baru Pendidikan Kewarganegaraan perlu segera

8
Sumantri, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic) (Jakarta: Grasindo,2001), h.281.
9
Wiranaputra, Op.cit. h. 41.
10
Malik Fajar, Op.cit.hh.6-8.
dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk standar nasional, standar

materi serta metode-metode pembelajaran yang efektif dalam mencapai

tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai arah baru yaitu:

Pertama, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian

kewarganegaraan yang ditopang berbagai disiplin ilmu yang relevan, yaitu:

ilmu politik, hukum, sosiologi, antropologi, psikologi, dan disiplin ilmu lainnya,

yang digunakan sebagai landasan untuk melakukan kajian-kajian terhadap

proses pengembangan konsep, nilai, dan perilaku demokrasi warganegara.

Kemampuan dasar terkait dengan kemampuan intelektual, sosial

(berpikir,bersikap, bertindak, serta berpartisipasi dalam hidup

bermasyarakat). Substansi pendidikan (cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi)

dijadikan materi kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan yang bersumber

pada pilar-pilar demokrasi konstitusional Indonesia.

Kedua, Pendidikan Kewarganegaraan mengembangkan daya nalar

(state of mind) bagi para peserta didik. Pembangunan karakter bangsa

merupakan proses pengembangan warga negara yang cerdas dan berdaya

nalar tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan memusatkan perhatiannya pada

pengembangan kecerdasan (civic intelligence), tanggungjawab (civic

responsibility), dan partisipasi (civic participation) warga negara sebagai

landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi.

Ketiga, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu proses

pencerdasan, maka pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah yang


lebih inspiratif dan pertisipatif dengan menekankan pada pelatihan

penggunaan logika dan penalaran.

Untuk memfasilitasi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

yang efektif dikembangkan bahan belajar interaktif yang dikemas dalam

berbagai bentuk paket seperti bahan belajar tercetak, terekam, tersiar,

elektronik, dan bahan belajar yang digali dari lingkungan masyarakat sebagai

pengalaman langsung. Di samping itu upaya peningkatan kualifikasi dan

mutu guru Pendidikan Kewarganegaraan perlu dilakukan secara sistematis

agar terjadinya kesinambungan antara pendidikan guru melalui LPTK,

pelatihan dalam jabatan, serta pembinaan kemampuan profesional guru

secara berkelanjutan dalam mengelola proses pembelajaran untuk mencapai

hasil belajar yang diharapkan.

Keempat, kelas Pendidikan Kewarganegaraan sebagai laboratorium

demokrasi. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, pemahaman, sikap, dan

perilaku demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui ”mengajar

demokrasi” (teaching democraty), tetapi melalui metode pembelajaran yang

secara langsung menerapkan cara hidup berdemokrasi (doing democraty).

Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai alat kendali mutu tetapi

juga sebagai alat untuk memberikan bantuan belajar bagi siswa sehingga

dapat lebih berhasil di masa depan. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh

termasuk portofolio siswa dan evaluasi diri yang lebih berbasis kelas.
Dari arah baru Pendidikan Kewarganegaraan yang diharapkan

terealialisasikan dalam kehidupan nyata di sekolah maupun di masyarakat ,

yang terbentang ke seluruh Tanah Air. Untuk itu diperlukan pemahaman

bersama untuk disosialisasikan dalam bentuk kerja nyata dalam

pembentukan kepribadian siswa menjadi priibadi yang utuh, dan insan kamil

yang menjadi tumpuan harapan kita bersama yakni dapat menjawab

tantangan pembelajaran pada abad 21, yakni: (1) berpikir kritis dan

menyelesaikan masalah-masalah; (2) kreatif dan inovasi; (3) keterampilan

berkomunikasi dan menggali dan menyampaikan informasi; (4) keterampilan

berkolaborasi; (5) pembelajaran kontekstual; dan (6) keterampilan

menggunakan teknologi dan media komunikasi dan informasi.

Selain itu juga akan terbangun budaya demokrasi, yang menjadi

esensi materi pembelajaran yang perlu disampaikan oleh guru. Adapun

prinsip- prinsip demokrasi adalah persamaan, kebebasan dan pluralisme.

Prinsip yang harus ada dalam demokrasi yaitu: (1) kontrol atas keputusan

pemerintah, (2) pemilihan yang teliti dan jujur, (3) hak memilih dan

dipilih, (4) kebebasan menyataan pendapat tanpa ancaman, (5) kebebasan

mengakses informasi, dan (6) kebebasan berserikat.

Berdasarkan uraian di muka, selanjutnya diuraikan Tujuan

Pendidikan Kewarganegaraan adalah mendidik warga negara yang baik,

yakni: (1) peka terhadap informasi baru yang dijadikan pengetahuan dalam

kehidupannya; (2) warga negara yang berketerampilan; (a) peka dalam


menyerap informasi; (b) mengorganisasi dan menggunakan informasi; (c)

membina pola hubungan interpersonal dan partisipasi sosial; (3) warga

negara yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, yang

disyaratkan dalam membangun suatu tatanan masyarakat yang demokratis

dan beradab, maka setiap warga negara haruslah memiliki karakter atau jiwa

yang demokratis yang meliputi:

a. Rasa hormat dan tanggungjawab terhadap sesama waga negara

terutama dalam konteks adanya pluralitas masyarakat Indonesia yang

terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, keyakinan agama, dan ideologi

politik. Selain itu, sebagai warga negara yang demokrat, seorang warga

negara juga dituntut untuk turut bertanggung jawab menjaga

keharmonisan hubungan antara etnis serta keteraturan dan ketertiban

negara yang berdiri di atas pluralitas tersebut.

b. Bersikap kritis terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya,

dan politik) maupun terhadap kenyataan supra empiris (agama, mitologi,

kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditunjukkan pada diri sendiri. Sikap

kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap kritis terhadap pendapat yang

berbeda. Tentu saja sikap kritis ini harus didukung oleh sikap yang

bertanggung jawab terhadap apa yng dikritik.

c. Membuka diskusi dan dialog yakni perbedaan dan pandangan serta

perilaku merupakan realitas empirik yang pasti terjadi di tengah komunitas

warga negara, apalagi di tengah komunitas masyarakat yang plural dan


multietnik. Untuk meminimalisasi konflik yang ditimbulkan dari perbedaan

tersebut, maka membuka ruang untuk berdiskusi dan berdialog

merupakan salah satu solusi yang bisa digunakan. Oleh karenanya, sikap

membuka diri untuk dialog dan diskusi merupakan salah satu ciri sikap

warga negara yang demokrat.

d. Bersikap terbuka yang merupakan bentuk penghargaan terhadap

kebebasan sesama manusia, termasuk rasa menghargai terhadap hal-hal

yang mungkin asing. Sikap terbuka yang didasarkan atas kesadaran akan

pluralisme dan keterbatasan diri akan melahirkan kemampuan untuk

menahan diri dan tidak secepatnya menjatuhkan penilaian dan pilihan.

e. Rasional yaitu memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan

secara bebas dan rasional adalah sesuatu hal yang harus dilakukan.

Keputusan-keputusan yang diambil secara rasional akan mengantarkan

sikap yang logis yang ditampilkan oleh warga negara, Sementara, sikap

dan keputusan yang diambil secara tidak rasional akan membawa

implikasi emosional dan cenderung egois. Masalah-masalah yang terjadi

di lingkungan warga negara, baik persoalan politik, sosial, budaya, dan

sebagainya, sebaiknya dilakukan dengan keputusan-keputusan yang

rasional.

f. Adil adalah menempatkan sesuatu secara proporsional. Tidak ada

tujuan baik yang patut diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil.

Penggunaan cara-cara yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak


asasi dari orang yang diperlakukan tidak adil. Dengan semangat keadilan,

maka tujuan-tujuan bersama bukanlah suatu yang didiktekan tetapi

ditawarkan. Mayoritas suara bukanlah diatur tetapi diperoleh.

g. Jujur yaitu memiliki sikap dan sifat yang jujur bagi warga negara

merupakan suatu yang niscaya. Kejujuran merupakan kunci bagi

terciptanya keselarasan diri keharmonisan hubungan antar warga

negara. Sikap jujur bisa diterapkan di segala sektor, baik politik, sosial dan

sebagainya. Kejujuran politik adalah bahwa kesejahteraan warga.

Jadi yang dimaksud mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

dalam penelitian ini adalah suatu proses pendidikan yang menitik beratkan

kepada pembentukan sikap dan kepribadian siswa yang diharapkan

terrefleksi dalam bentuk prilaku beradab dalam kehidupan nyata di

lingkungan siswa, keluarga, masyarakat dan negara, dengan indikator yang

dapat dipakai untuk memperlihatkan prilaku beradab adalah: 1) Berpikir. 2)

Bersikap. 3) Bertindak. 4) Berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan

bahwa Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan adalah tingkat

penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti pembelajaran yang

menitik beratkan kepada pembentukan sikap dan kepribadian siswa yang

diharapkan terrefleksi dalam bentuk prilaku beradab dalam kehidupan nyata

di lingkungan siswa, keluarga, masyarakat dan negara, dengan indikator:

mengidentifikasikan, mengklasifikasikan, dan menginterpretasikan.


Selanjutnya materi Pendidikan Kewarganegaraan sesuai KTSP

adalah: A). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR): 1.Legislasi, 2. Anggaran, 3.

Pengawasan. B). Dewan Perwakilan Daerah (DPD): 1. Mengajukan

rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR. 2. Perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dan daerah. 3. Memberikan pertimbangan kepada

DPR. 4. Mengawasi Pelaksanaan UU yang berkaitan dengan pemerintah

daerah. C). Presiden: 1. Tugas, 2. Fungsi, 3. Kewenangan. D). Mahkamah

Agung (MA): Fungsi MA sebagai lembaga peradilan tertinggi. E). Mahkamah

Konstitusi (MK): 1. Pengujian atas materi Undang-undang yang dibuat DPR

dan pemerintah. 2. Memutuskan perselisihan dalam pemilu. F). Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR): 1.Mengubah dan menetapkan Undang-

Undang Dasar. 2. Melantik atau memberhentikan Presiden dan Wakil

Presiden. G). Komisi Yudisial: 1.Mengawasi perilaku hakim. 2Mengusulkan

nama calon hakim agung. H). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK):

Memeriksa pengelolaan keuangan negara.

2. Metode Pembelajaran Kooperatif

Falsafah kooperatif adalah manusia adalah makhluk sosial,

kerjasama adalah kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan

hidup manusia.11 Kemudian falsafah ini dikembangkan untuk pembelajaran di

kelas. Salah satu alasan terpenting mengapa pembelajaran kooperatif

11
Gilman Robert, In the context a Quarterly of Human Stainable Culture: Cooperatif Learning.
www. Context,org/ICLB/IC18/Johnson/hh.1-2.
dikembangkan adalah bahwa pendidikan dan ilmuan sosial telah lama

mengetahui tentang pengaruh yang merusak dan persaingan. Namun jika

persaingan diatur dengan baik akan menjadi sarana efektif untuk memotivasi

orang dalam melakukan yang lebih baik. 12

Pembelajaran kooperatif merupakan kegiatan belajar mengajar dalam

kelompok-kelompok kecil, dimana siswa belajar dan bekerjasama untuk

mendapatkan pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu

maupun kelompok. Pelaksanan prodesur pembelajaran kooperatif akan

memungkinkan pendidika mengelola kelas dengan lebih efektif. 13

Pembelajaraan kooperatif adalah suatu strategi pembelajaran dalam

kelompok kecil yang terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan yang

berbeda untuk mengembangkan kemampuan dalam mempelajari suatu

objek. Setiap anggota kelompok saling bekerjasama dalam meningkatkan

kemajuan belajar dan membantu keberhasilan suatu kelompok. 14 Selanjutnya

pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi yang secara bersamaan

memperkenalkan akademik dan keterampilan sosial yang berurutan untuk

meningkatkan rasa saling membutuhkan dikalangan siswa siswa. Melalui

pembelajaran kerjasama ini siswa memahami kerangka kerjasama dengan

siswa lainnya. Metode ini merupakan metode kesuksesan kelompok

12
Lie, Anita, Coopetarif Learning: Mempraktekkan cooperatif learning di ruang-ruang kelas,
terjemahan (Jakarta: Grasindo, 2005), h.28.
13
Ibid., p. 29
14
Stephan Balicom, Cooperatif Learning (New Jersey: US Departement of Education, 1992),
h. 1.
tergantung seberapa besar usaha yang dilakukan oleh setiap siswa dala

kelompok itu.

Perbedaan antara kelompok kerja dengan pembelajaran kooperatif,

istilah “belajar kelompok” dengan pembelajaran kooperatif seringkali

digunakan dianggap sama, padahal kelompok kerja adalah beberapa siswa

bekerja sama dan dalam kelompok kerja mungkin bekerjasama dan mungkin

juga tidak melakukan bekerjasama. Kolaborasi dan pembelajaran kooperatif

melibatkan pembelajaran yang konstruktif yang bersifat kompleks, lingkungan

belajar yang alami dan instreaksi sosial. 15

Melalui pembelajaran kooperatif siswa termotivasi untuk lebih aktif

dalam pembelajaran.16 Kemudian dengan pembelajaran kooperatif siswa

dapat mengatasi permasalahan dan bekerjsama dalam meningkatkan

perkembangan belajar. Menurun Jonson & Jonson dalam Isjoni pembelajaran

kooperatif dilakukan dengan cara mengelompokkan siswa di dalam kelas ke

dalam kelompok kecil agar siswa dapat bekerjasama dalam kemampuan

yang maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan saling

mempelajari satu sama lainnya. 17 Selanjutnya menurut Jonson pembelajaran

15
Wofolk, Anita. E, Educational Psykology Seven Edition (Boston: Allyn and Bacon, 1998),
hh. 249.350.
16
Robert E. Slavin, Cooperative Learning Theory. Research and Practice (Boston, Allyn and
Bacon, 1992), h.132
17
Isjoni, Cooperatif Learning. Efektivitas Pembelajaran Kelompok (Bandung: Alfabeta, 2007),
h. 17.
kooperatif adalah suatu hubungan antara kelompok siswa yang saling

bekerjasama untuk mendapatkan hasil yang maksimal. 18

Menurut Lie, ada 5 unsur dalam pembelajaran kooperatif learning

yaitu: (1) saling ketergantungan positif. (2). Tanggungjawab perorangan. (3)

Tatap muka. (4). Komunikasi antar anggota. (5). Evaluasi proses kelompok. 19

Cohen dikuitf oleh Asma mendefinisikan pembelajaran kooperatif

sebagai berikut “Cooperative learning will be defined as student working

together in a group small enough that everyone participate on a collective

task that has been clearly assingn. Moreover, students are expected to carry

out their task without direct and immediate supervision of the teacher”. 20

Definisi ini mengandung arti bahwa pembelajaran kooperatif menunjukkan ciri

sosiologis yaitu penekanan pada aspek tugas-tugas kolektif yang harus

dikerjakan bersama dalam kelompok dan pendelegasian wewenang dari guru

kepada siswa. Guru berperan sebagai fasilitator dalam membimbing siswa

menyelesaikan materi atau tugas.

Selanjutnya menurut Slavin bahwa pembelajaran kooperatif ialah

“Cooperative learning methods share the idea that student work together to

learn and are responsible for their own”.21 Artinya bahwa dalam pembelajaran

kooperatif siswa belajar bersama, saling menyumbang pemikiran dan

18
Ibid., h. 60.
19
Ibid., h. 61.
20
Nur Asma, Pembelajaran Kooperatif (Jakarta: Depdiknas Dikti, 2006), h. 11.
21
Ibid, h. 11.
bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu

maupun kelompok.

Belajar secara kooperatif adalah belajar bersama dalam kelompok

tetapi berbeda dengan belajar kelompok yang selama ini dilaksanakan di

sekolah. Menurut Eanes konsep pembelajaran kooperatif adalah kerja sama

anggota dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan

belajar kelompok yang dilaksanakan di sekolah adalah lebih menitik beratkan

pada hasil kelompok.22

Dalam kegiatan kooperatif siswa secara individual mencari hasil yang

menguntungkan bagi seluruh anggota dalam kelompoknya. Dalam

pembelajaran kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat

kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan

hubungan yang bersifat interdependensi efektif diantara anggota kelompok.

Hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang

positif tentang apa yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan

belajar berdasarkan kemampuan dirinya secara individu dan andil dari

anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok. Untuk

mencapai hasil yang maksimal, maka harus diterapkan lima unsur

pembelajaran kooperatif atau gotong royong, yaitu “a) Saling ketergantungan

positif, kegagalan dan keberhasilan kelompok merupakan tanggungjawab

22
Eanes, Content area literacy for today and tomorrow (Albany: Delmar Publisher, 1997), h.
132.
setiap anggota kelompok, oleh karena itu sesama anggota kelompok harus

merasa terikat dan saling tergantung positif, b) Tanggung jawab

perseorangan, setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk

menguasai materi pelajaran karena keberhasilan belajar kelompok ditentukan

dari seberapa besar sumbangan hasil belajar secara perorangan, c) Tatap

muka, interaksi yang terjadi melalui diskusi akan memberikan keuntungan

bagi semua anggota kelompok karena memanfaatkan kelebihan dan mengisi

kekurangan masing-masing anggota kelompok, d) Komunikasi antar anggota,

karena dalam setiap tatap muka terjadi diskusi maka keterampilan

berkomunikasi antar anggota kelompok sangatlah penting, e) Evaluasi

proses kelompok, keberhasilan belajar dalam kelompok ditentukan oleh

proses kerja kelompok, hal ini dilakukan melalui evaluasi proses kelompok”. 23

Bekerja sama dalam kelompok belajar memiliki kemiripan sendiri. Sebuah

aktifitas kerjasama dapat disebut ada apabila dua atau lebih orang bekerja

bersama untuk mencapai tujuan yang sama. Aktifitas kerjasama tersebut

memiliki persamaan tujuan dan ketergantungan positif. Jadi pembelajaran

kooperatif secara tepat dirancang untuk melengkapi dan membantu sehingga

siswa dapat saling mengajar dengan sesama siswa lainnya dan menjadi

bergairah. Siswa yang kurang bergairah dalam belajar akan dibantu oleh

siswa lain yang mempunyai gairah tinggi dan memiliki kemampuan untuk

menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Suasana belajar seperti itu,


23
Nur Asma, Op.cit., h. 16.
disamping proses belajar berlangsung lebih efektif, juga akan terbina nilai-

nilai seperti gotong royonh, kepedulian sosial, saling percaya, kesediaan

menerima dan memberi serta tanggung jawab siswa, baik terhadap dirinya

ataupun terhadap kelompoknya. Lungrend seperti yang dikutip oleh Nur

Asma menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat menciptakan situasi

dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan

kelompok.24 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa

karakteristik dari pembelajaran kooperatif tersebut sebagai berikut: 1) kelas

dibagi atas kelompok-kelompok kecil, dengan anggota kelompok yang terdiri

dari beberapa orang siswa yang memiliki kemampuan akademik yang

bervariasi serta memperhatikan jenis kelamin dan etnis; 2) siswa belajar

dengan kelompoknya dengan bekerja sama untuk menguasai materi

pelajaran dengan saling membantu; 3) sistem penghargaan lebih berorientasi

kepada kelompok dari pada individu.

a. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran yang lain.

Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih

menekankan kepada proses kerja sama dalam kelompok. Tujuan yang ingin

dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan

bahan pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerjasama untuk penguasaan

24
Nur Asma, Op.cit, h. 22.
materi tersebut. Adanya kerja sama inilah yang menjadi ciri khas dari

pembelajaran kooperatif.

Slavin, Abrani, dan Chambers berpendapat bahwa belajar melalui

kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perspektif

motivasi, perspektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, dan perspektif

elaborasi kognitif.25 Perspektif motivasi artinya bahwa penghargaan yang

diberikan kepada kelompok memungkinkan setiap anggota kelompok akan

saling membantu. Dengan demikian, keberhasilan setiap individu pada

dasarnya adalah keberhasilan kelompok. Hal semacam ini akan mendorong

setiap anggota kelompok untuk memperjuangkan keberhasilan kelompoknya.

Prespektif sosial artinya bahwa melalui kooperatif setiap siswa akan

saling membantu dalam belajar karena mereka menginginkan semua

anggota kelompok memperoleh keberhasilan. Bekerja secara tim dengan

mengevaluasi keberhasilan sendiri oleh kelompok, merupakan iklim yang

bagus, dimana setiap anggota kelompok menginginkan semuanya

memperoleh keberhasilan.

Perspektif perkembangan kognitif artinya bahwa dengan adanya

interaksi antara anggota kelompok dapat mengembangkan prestasi siswa

untuk berpikir mengolah berbagai informasi untuk menambah pengetahuan

kognitifnya. Dengan demikian, karakteristik strategi pembelajaran kooperatif

dijelaskan di bawah ini:


25
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana 2008), h. 242.
a). Pembelajaran secara Tim.

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim

merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu

membuat setiap siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus

saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itulah, kriteria

keberhasilan pembelajaran di tentukan oleh kebrhasilan tim. Setiap kelompok

bersifat heterogen. Artinya, kelompok terdiri atas anggota yang memiliki

kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang sosial yang

berbeda. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota kelompok dapat saling

memberikan pengalaman, saling memberi dan menerima, sehingga

diharapkan setiap anggota dapat memberikan kontribusi terhadap

keberhasilan kelompok,

b). Didasarkan pada Managemen Kooperatif

Sebagaimana pada umumnya, manajemen mempunyai empat fungsi

pokok, yaitu fungsi organisasi, fungsi pelaksanaan, dan fungsi kontrol.

Demikian juga dalam pembelajaran kooperatif. Fungsi perencanaan

menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan

yang matang agar proses pembelajaran berjalan secara efektif. Misalnya

tujuan apa yang harus dicapai, bagaimana cara mencapainya, apa yang

harus digunakan untuk mencapai tujuan itu dan lain sebagainya. Fungsi

pelaksanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif harus

dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, melalui langkah-langkah


pembelajaran yang sudah ditentukan termasuk ketentuan-ketentuan yang

sudah disepakati bersama. Berikut ini adalah contoh langkah-langkah

pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif seperti

dikutif oleh Muslimin Ibrahim dkk 26 Fungsi organisasi menunjukkan bahwa

pembelajaran kooperatif adalah pekerjaan bersama antar setiap anggota

kelompok, oleh sebab itu perlu diatur tugas dan tanggung jawab setiap

anggota kelompok. Fungsi kontrol menunjukkan bahwa dalam pembelajaran

kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui tes maupun

nontes.

c). Kemauan untuk bekerja sama

Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan

secara kelompok. Oleh sebab itu, prinsip bekerjasama perlu ditekankan

dalam proses pembelajaran kooperatif. Setiap anggota kelompok bukan saja

harus diatur tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan juga

ditanamkan perlunya saling membantu. Misalnya, yang pintar perlu

membantu yang kurang pintar.

d). Keterampilan Bekerja Sama

26
Muslimin Ibrahim dkk, Pembelajaran Kooperatif, Pusat Sains dan Matematika Sekolah
Program Pascasarjana UNESA (Surabaya: University Press, 2000), h. 10.
Kemauan untuk bekerja sama itu kemudian dipraktikkan melalui

aktivitas dan kegiatan yang tergambarkan dalam keterampilan bekerja sama.

Dengan demikian siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi

dan berkomunikasi dengan anggota lain. Siswa perlu dibantu mengatasi

berbagai hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga setiap

siswa dapat menyampaikan ide, mengemukakan pendapat, dan memberikan

kontribusi kepada keberhasilan kelompok.

b. Teori Pendukung Pembelajaran Kooperatif

b.1. Teori Konstruktivisme

Teori ini lahir dari gagasan Viaget dan Vigotsky. Kedua ahli ini

menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi

yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses disequilibrium

dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Konstruktivisme

memandang bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi kognitif melalui

aktivitas seseorang.

Glasersfeld menjelaskan bagaimana pengaruh konstruktivisme

terhadap belajar dalam kelompok.27 Dalam belajar kelompok, siswa harus

mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang akan

dibuatnya dengan persoalan itu. Dengan demikian akan tercipta refleksi yang

menuntut kesadaran terhadap apa yang sedang dipikirkan dan dilakukan,

27
Ibid., h.10
dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif membuat

abstraksi.

Paham konstruktivistik memandang bahwa dalam belajar siswa

secara aktif mengkontsruksi pengetahuan mereka sendiri. Pikiran siswa

menengahi masukan dari luar mereka (lingkungan) untuk kemudian

menentukan apa yang akan mereka pelajari.

Menurut Von Glasersfeld bahwa “Constructivists stress thet human

construc the object and relationship that they perceive to the extent their

conceptions fit the enviroment”28 Teori konstruktivistik menekankan bahwa

manusia mengkonstruksikan objek dan menghubungkannya dengan apa

yang mereka rasakan sepanjang konsepsi mereka sesuai dengan

lingkungan.

Paham Konstruktivistik yang menadasari teori pembelajaran

kooperatif adalah:

1) Konstruktivisme Personal

Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan

pengetahuan. Pengetahuan dikonstruksi sebagai hasil interaksi anak dengan

pengalaman dan obyek yang dihadapinya. Perhatian Piaget lebih pada

keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Dalam pembentukan

pengetahuan, Piaget membedakan pengetahuan fisis, matematis-logis dan

sosial. Pengetahuan fisis didapatkan dari abtsraksi seorang terhadap obyek


28
Nur Asma, Op.cit., h. 37.
secara langsung, sedangkan pengetahuan sosial didapatkan dari abstraksi

seseorang dalam masyarakat, lingkungan dan budaya yang ada. Implikasi

teori Piaget dalam pendidikan yakni, bahwa siswa harus terlibat secara aktif

dalam membangun pengetahuannya sendiri dan ini sesuai dengan prinsip

pembelajaran kooperatif. Karena tanpa adanya kemampuan individu

membangun pengetahuannya, maka tidak mungkin dia dapat memberi

sumbangan poin dalam kelompoknya yang justru sangat diperlukan dalam

pembelajaran kooperatif.

2).Konstruktivisme sosial

Aliran ini berpendapat bahwa: a) Perkembangan intelektual dapat

dipahami hanya bilai ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman

anak. b) Perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat (sign system)

dan dengan sistem isyarat inilah individu-individu tumbuh. Sistem-sistem

isyarat pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu

berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah. Teori Vygotsky

menyatakan secara tidak langsung, bahwa perkembangan kognitif dan

kemampuan untuk mengendalikan tindakan-tindakan diri sendiri

mensyaratkan adanya sistem-sistem komunikasi budaya, kemudian belajar

menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses berfikir

diri sendiri.

Berbeda dengan Piaget yang memberikan tekanan pada

pembentukan pengetahuan anak, Vygotsky lebih memberi tekanan pada


hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan

pengetahuan tersebut. Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial,

dialog dan komunikasi verbal dengan orang dewasa dan teman sebaya yang

lebih mampu dalam perkembangan pengetahuan anak. Menurut Vygostky

bahwa pada saat peserta didik bekerja didalam daerah perkembangan

terdekat mereka, tugas-tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri, akan

dapat mereka selesaikan dengan bantuan teman sebaya atau orang dewasa.

3). Konstruktivisme kognitif

Konstruktivisme kognitif menurut ahlinya Anderson dan Mayer secara

tipikal dihubungkan dengan pemrosesan informasi dan pada komponen-

komponen proses kognisi teori ini menekankan prinsip pada pemerolehan

pengetahuan yang merupakan proses adaptif dan hasil dari keaktifan kognisi

individual siswa. Pengetahuan merupakan hasil dari internalisasi dan

rekonstruksi secara akurat dari kenyataan eksternal. Hasil dari proses

internalisasi ini merupakan proses kognitif dan struktur yang secara akurat

berkorespondensi dengan proses-proses dan struktur yang terdapat dalam

dunia nyata.

4). Konstruktivisme radikal

Penganut pagam konstruktivisme radikal adalah Piaget dan Von

Glaserfeld. Menurut kedua tokoh ini konstruktivistik merupakan adaptasi yang

dihasilkan kesadaran aktif individual siswa. Mengubah (menerjemahkan)

pengalaman berdasarkan pikiran yang merefleksikan beberapa kenyataan


eksternal. Pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis

objektif tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi suatu dunia yang

dibentuk oleh pengalaman seseorang.

Von Glaserfeld menjelaskan bahwa prinsip dasr konstruktivisme

radikal muncul sangat jelas, jika seseorang mencoba mengkaji sebanyak

mungkin tulisan Piaget dalam satu teori koheren, yakni bahwa; 1)

Pengetahuan tidak diterima secara pasif melalui indera ataupun dengan cara

komunikasi, 2) Pengetahuan dibangun secara aktif oleh kognisi subjek, 3)

Fungsi kognisi adalah adaptif, dalam pengertian biologis dari istilah tersebut

cenderung cocok (fit) untuk kelangsungan hidup, dan 4) kognisi melayani

organisasi subjek dan dunia pengalaman dari suatu realitas ontologis objektif.

b.2. Teori Motivasi

Charles dan lyn dikutip Asma, mengatakan bahwa pembelajaran

kooperatif akan lebih memotivasi anak dalam belajar dibanding belajar

dengan model-model berkarakteristik kompetitif individu pada umumnya

dikelas . karena belajar dengan model kompetitif individu hanya akan

memotivasi siswa yang mempunyai kesempatan untuk menang.

Teori motivasi pada pembelajaran kooperatif terutama di fokuskan

pada penghargaan atau struktur-struktur tujuan dimana siswa beraktifitas

memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan penampilan

kelompok, akan menciptakan struktur penghargaan antara perorangan


didalam suatu kelompok sehingga masing-masing anggota kelompok saling

memberi penguatan social sebagai respon terhadap upaya-upaya yang

berorientasi pada tugas-tugas kelompok.

Kauchak mengilustrasikan motivasi sebagai berikut: a) Siswa akan

memperlihatkan diri melalui pertanyaan yang difokuskan dalam

pembelajaran, b) aktivitas siswa dalam kelompok dan diskusi kelas, c)

kewenangan yang didapat siswa dalam mengontrol pekerjaan, dan d)

pemahaman yang diperoleh dapat diaplikasikan didalam kehidupan sehari-

hari.29

Teori motivasi pada pembelajaran kooperatif menekankan pada

penghargaan (incentives) dimana siswa berbuat secara akademik

penghargaan diberikan untuk merangsang emosi (perasaan) dan kognisi

(pikiran). Dengan adanya motivasi diharapkan adanya kecenderungan untuk

menghidupkan perilaku yang bertujuan untuk selalu mengharapkan

penghargaan.

Dilihat dari landasan psikologi belajar, pembelajaran kooperatif

(kelompok), banyak dipengaruhi oleh psikologi belajar kognitif holistic yang

menekankan bahwa belajar pada dasarnya adalah proses berpikir. Namun

demikian, psikologi humanistic juga mendasari strategi pembelajaran ini.

Dalam pembelajaran kelompok pengembangan kemampuan kognitif harus

diimbangi dengan perkembangan pribadi secara utuh melalui kemampuan


29
Nur Asma, Op.cit., h. 44.
hubungan interpersonal. Teori Medan, misalnya yang bersumber dari aliran

psikologi kognitif atau psikologi Gestalt, menjelaskan bahwa keseluruhan

lebih memberi makna dari pada bagian-bagian yang terpisah . Setiap tingkah

laku menurut teori medan bersumber dari adanya ketegangan (tension) dan

ketegangan itu muncul karena adanya kebutuhan (need). Manakala

kebutuhan itu tidak dapat terpenuhi, maka selamanya individu akan berada

dalam situasi tegang. Untuk itulah setiap individu akan berusaha memenuhi

setiap kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan setiap individu akan

membutuhkan interaksi dengan individu lain. Inilah yang menjadikan

terbentuknya kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif, terdapat beberapa

metode pembelajaran, diantaranya: Teknik Mencari Pasangan (Make a

Mach), Bertukar pasangan, berpikir berpasangan berempat (Think pare-

share), Berkirim salam dan sopan, Kepala bernomor, terstuktur, keliling

kelompok, lingkaran kecil dan besar (Inside-outside cirle), dan lain-lain.

Bedasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas dapat dipahami

bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan suatu

model pembelajaran yang membantu siswa dalam mengembangkan

pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata sehingga dalam

bekerja bersama sama diantara sesama anggota kelompok dapat

meningkatkan motivasi,produktivitas, dan hasil belajar

c. Pembelajaran Kooperatif Dalam Pembelajaran PKn


Upaya belajar adalah segala aktifitas siswa untuk meningkatkan

kemampuannya yang telah dimiliki maupun meningkatkan kemampuan baru,

baik kemampuan dalam aspek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan.

Aktifitas pembelajaran tersebut dilakukan dlaam kegiatan kelompok,

sehingga antar peserta dapat saling membelajarkan melalui tukar pikiran,

pengalaman, maupun gagasan-gagasan.

Salah satu metode dari model pembelajaran PKn adalah metode

pembelajaran kooperatif (Cooperative learning). Metode pembelajaran

kooperatif merupakan metode pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini

menjadi perhatian dan dianjurkan para ahli pendidikan untuk digunakan.

Slavin, mengemukakan dua alasan, pertama, beberapa hasil penelitian

membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat

meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan

kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan

diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua,

pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam

belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan

dengan keterampilan.30 Dari dua alasan tersebut, maka pembelajarn

kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem

pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan.

30
Ibid, p. 240
Menurut Vygotsky bahwa aktivitas kolaboratif yang ada pada anak-

anak akan mendukung pertumbuhan mereka, karena anak-anak yang seusia

lebih senang bekerja dengan orang yang satu zone zpd (zone of proxima

development) dengan yang lain, pemodelan dalam perilaku kelompok

kolaboratif lebih maju dari pada penampilan mereka sebagai individu. 31

Menurutnya siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa

dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu

terbentuknya ide baru dan memperkaya pengembangan intelektual siswa.

Metode pembelajaran kooperatif mempunyai dua komponen utama,

yaitu komponen tugas kooperatif (cooperative task) dan komponen struktur

insentif kooperatif (cooperative incentive structure). Tugas kooperatif

berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota bekerjasama dalam

menyelesaikan tugas kelompok; sedangkan struktur insentif kooperatif

merupakan sesuatu yang membangkitkan motivasi individu untuk bekerja

sama mencapai tujuan kelompok. Struktur insentif dianggap sebagai

keunikan dari pembelajaran kooperatif, karena melalui struktur insentif setiap

anggota kelompok bekerja keras untuk belajar, mendorong dan memotivasi

anggota lain menguasai materi pelajaran, sehingga mencapai tujuan

kelompok.

Jadi, hal yang menarik dari metode pembelajaran kooperatif adalah

adanya harapan selain memiliki dampak pembelajaran, yaitu berupa


31
Ibid, p. 40
peningkatan prestasi belajar peserta didik (student achievement) juga

mempunyai dampak pengiring seperti relasi sosial, penerimaan terhadap

peserta didik yang dianggap lemah, harga diri, norma akademik,

penghargaan terhadap waktu, dan suka memberi pertolongan pada yang lain.

Pada saat siswa belajar dalam kelompok akan berkembang suasana

belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan, karena pada saat itu akan

terjadi proses belajar kolaboratif dalam hubungan pribadi yang saling

membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar pada kelompok kecil

akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya (peer group) dan

belajar secara bekerja sama (cooperative). Melalui metode pembelajaran

kooperatif, siswa bukan hanya belajar dan menerima apa saja yang disajikan

oleg guru PBM. Melainkan juga bisa belajar dari siswa lainnya, dan sekaligus

mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa yang lain. 32

Pada metode pembelajaran kooperatif guru bukan lagi berperan

sebagai satu-satunya nara sumber dalam PBM, tetapi berperan sebagai

mediator, stabilisator dan manajer pembelajaran. Iklim belajar yang

berlangsung dalam suasana keterbukaan dan demokratis akan memberikan

kesempatan yang optimal bagi siswa untuk memperoleh informasi yang lebih

banyak mengenai materi yang dibelajarkan dan sekaligus melatih sikap

keterampilan sosialnya sebagai bakal dalam kehidupannya dimasyarakat,

sehingga perolehan dan hasil belajar siswa akan meningkat. Jadi metode

32
pembelajaran kooperatif secara tepat dirancang untuk melengkapi dan

membantu sehingga siswa dapat saling mengajar dengan sesama siswa

lainnya dan menjadi bergairah. Siswa yang kurang bergairah dalam belajar

akan dibantu oleh siswa lain yang mempunyai gairah tinggi dan memiliki

kemampuan untuk menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Suasana

belajar seperti itu, disamping proses belajar berlangsung lebih efektif, juga

akan terbina nilai-nilai seperti gotong-royong, kepedulian sosial, saling

percaya, kesediaan menerima dan memberi serta tanggung jawab siswa,

baik terhadap dirinya ataupun terhadap kelompoknya.

Pembelajaran kooperatif merupakan strategi yang dilakukan dengan

cara siswa berinteraksi satu dengan lainnya untuk memahami isi pelajaran

dan bekerja sama secara aktif dalam menyelesaikan tugas.

2.1. STAD

a. Student Teams-Achievement Divisions (STAD)

STAD (pembagian pencapaian tim siswa) telah banyak digunakan

dalam mata pelajaran yang ada, dari ilmu sosial ataupun ilmu pengetahuan

yang lain. Metode ini sesuai untuk mengajarkan bidang studi yang sudah

difiniskan dengan jelas. Gagasan utama dari STAD adalah: untuk memotivasi

siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam

dengan menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Pembelajaran

STAD digunakan dalam berbagai mata pelajaran sampai dengan ilmu sosial
dan ilmu pengetahuan lainnya . STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan

teman-temannya di Universitas Jhon Hopkin.

STAD merupakan “salah satu metode pembelajaran kooperatif yang

paling sederhana, dan merupakan modal yang paling baik untuk permulaan

bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif”.33 Untuk

mencapai pelaksaan STAD ada beberapa tahap pelaksaannya. 1).

Persiapan, 2) Membagi siswa kedalam tim, 3). Menentukan score awal

pertama, dan 4). Membangun tim.34

Pada pelaksanaannya guru mempersiapkan materi yang

dipersiapkan sebelumnya yang akan diajarkan ke siswa. Menerangkan

secara rinci pokok pembelajaran yang akan dibahas ke siswa. Setelah itu

membuat lembar kegiatan untuk kuis yang pertanyaan kuis berkisar dengan

mata pelajaran yang diajarkan ke siswa. Kemudian guru membagi siswa

kedalam tim baik itu dari jenis kelamin, prestasi rendah dan tinggi untuk

menjawab lembar jawaban yang dibuat guru.

Di dalam membagi tim guru harus mengimbangi tim siswa tersebut

mulai dari siswa yang berprestasi tinggi, sedang dan rendah. Supaya ada

keseimbangan. Tim yang dibagi tadi dikumpulkan disebuah meja yang

beranggotakan tim yang dipilih oleh mereka. Setelah hasil kuis didapatkan

33
Robert E Slavin, Cooperative Learning Teori, Riset Dan Praktik (Bandung: Nusa Media.
2005), h. 143.
34
Ibid., hh. 147-151.
kemudian menentukan score. Dan bagi siswa atau kelompok yang

memperoleh skor tertinggi guru memberikan sejenis penghargaan.

Jenis penghargaan yang diberikan ala kadarnya supaya motivasi tim

tetap terjaga didalam menjalankan proses pembelajaran STAD. Lebih jauh

Slavin memaparkan dalam buku Rusman gagasan utama di belakang STAD

adalah “memacu siswa agar saling mendorong dan membantu satu sama lain

untuk menguasai keterampilan yang diajarkan guru”. 35

Dengan demikian siswa saling menyemangati kepada sesama timnya

dalam menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan oleh guru dan

berlomba-lomba mendapatkan hasil yang terbaik dalam memecahkan

masalah yang diberikan guru. Rusman mengatakan dalam bukunya yang

berjudul model-model pembelajaran mengembangkan profesional guru ada

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif model STAD yaitu: a).

Penyampaian tujuan dan motivasi. b). pembagian kelompok. c). Presentasi

dari guru. d). Kegiatan belajar dalam tim / kerja tim. e). Kuis dan f).

Penghargaan prestasi tim.36

Seorang guru menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai

pada pembelajaran tersebut dalam memotivasi anak. Sedangkan pembagian

kelompok, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok, di mana setiap

kelompoknya terdiri dari 4-5 siswa yang mempeoritaskan heterogenitas


35
Rusman. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru (Jakarta:
Rajagrafindo Persada), h. 214.
36
Ibid., hh. 215-216.
(keragaman kelas) dalam prestasi akademik, gander atau jenis kelamin, ras

atau eknik.

Persentasi guru untuk menyampaikan materi pelajaran dengan

terlebih dahulu menjelaskan tujuan pelajaran yang ingin di capai pada

pertemuan tersebut pokok bahasan tersebut dipelajari. Guru berperan untuk

memberikan motivasi kepada siswa agar dapat dengan aktif dan kreatif. Di

jelaskan juga tentang keterampilan dan kemampuan yang diharapkan siswa,

tugas dan pekerjaan yang harus dilakukan serta cara-cara mengerjakanya.

Kegiatan bekerja dalam tim guru membagi siswa dalam kelompok-

kelompok yang telah di bentuk. Guru menyiapkan lembar kerja sebagai

pedoman bagi kerja kelompok, sehingga semua anggota menguasai dan

masing-masing siswa memberikan kontribusi kepada kelompok. Selama

kelompok bekerja, guru melakukan pengamatan, memberikan bimbingan,

dorongan dan bantuan bila diperlukan. Kerja tim ini merupakan ciri terpenting

dari STAD.

Dalam membagi tim seorang guru harus menyeimbangkan tim

didalam kelas. Supaya tim tersebut terdiri dari kinerjanya yang tinggi, sedang

dan rendah. Pembagian tim berupa kelompok heterogenitas. Karena semua

kelas adanya dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Demi

kemudahan dalam membagi tim, guru memilih antara siswa yang memiliki

kemampuan tinggi, kemampuan sedang dan juga kemampuan rendah.


Supaya ada keseimbangan didalam tim saat mereka berdiskusi mata

pelajaran yang disajikan oleh guru.

Pengelompokan heterogenitas merupakan “ciri-ciri yang menonjol

dalam pembelajaran Cooperatif Learning”.37 Ada tiga langkah

pengelompokan diantaranya langkah pertama mengurut siswa berdasarkan

kemampuan akademis, langkah kedua membentuk kelompok pertama dan

langkah ketiga membentuk kelompok selanjutnya.

Secara umum pembagian kelompok heterogenitas sangat disukai

para pengajar karena kelompok ini memberikan kesempatan dan saling

mendukung. Dengan adanya kelompokan meningkatkan relasi dan interaksi

antar ras, agama jenis kelamin. Untuk lebih jelas dapat dilihat tabel

pengelompokaan heterogenitas yang dibuat oleh anita lie di bawah ini.

Tabel 2.3 Pengelompokan Heterogenitas Berdasarkan Kemampuan


Akademis

1. Ani 1. Ani 1. Ani


2. David 2. David 2. David
3. 3. Citra Ani 3. Yusuf David
4. 4. 4.
5. 5. 5.
6. 6. 6.
7. 7. Dian Rini 7. Slamet Basuki
8. 8. 8.
9. 9. 9.
10. 10. Yusuf 10. Yusuf
11. Yusuf 11. Citra 11. Citra
12. Citra 12. Rini 12. Rini
13. Rini 13. Basuki 13. Basuki
37
Anita Lie., Cooperative Learning (jakarta:Grasindo 2008)., h.41.
14. Basuki 14. 14.
15. 15. 15.
16. 16. 16.
17. 17. 17.
18. 18. 18.
19. 19. 19.
20. 20. 20.
21. 21. 21.
22. 22. 22.
23. 23. 23.
24. Slamet 24. Slamet 24. Slamet
25. Dian 25. Dian 25. Dian

Sumber: Anita Lie” Cooperative Learning” (2008:42)

Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan bagian dari

pengelompokan siswa dengan beranggotakan 5-6 siswa. Dalam

pembelajaran tipe ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Adapun

kelebihan dan kekurangan tersebut bisa dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.4 Kelebihan dan Kekurangan STAD

Kelebihan STAD Kekurangan STAD

1. Setiap siswa memiliki 1. Pembelajaran STAD ini relatif


kesempatan untuk memberikan lama.
kontribusi kepada kelompoknya. 2. Lamanya penyajian dari guru
2. Menggalakkan interaksi secara mengenai pembelajaran yang
aktif dan kerjasama antar diberikan.
kelompok. 3. Guru kurang aktif memberikan
3. Meningkatkan pertemanan yang motivasi kepada siswa.
lebih baik. 4. Siswa yang berprestasi lebih
4. Melatih siswa dalam terkadang tidak membantu
mengembangkan kecakapan teman sekelompoknya.
sosial.
5. Siswa memiliki tanggung jawab
dalam belajar, baik itu untuk diri
sendiri maupun sesama teman.
6. Dengan pengelompokan
heterogenitas membuat
kompetensi dikelas jadi lebih
hidup.

Sumber:http://belajarpendidikanku.blogspot.com/2012/11/kelebihan-dan
kelemahan-model-stad.html. Jam 14.50. wib

2.2. Make a Match

Teknik merupakan cara yang telah disusun secara teratur dan

terpikirkan baik-baik untuk mencapai tujuan. Berdasarkan pengertian itu

maka dapatlah dikatakan bahwa fungsi dari teknik itu merupakan sebagai alat

yang dipergunakan untuk mencapai tujuan.

Menurut Winarno Surakhmad mengemukakan tentang pengertian

teknik: adalah cara, yang didalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai

tujuan.38 Sedangkan J.Matakupan mengemukakan bahwa: teknik adalah

suatu prosedur atau proses untuk memperoleh sesuatu obyek sebagai suatu

rencana yang sistematik dalam menyajikan suatu bahan pengajaran. 39 Pada

dasarnya perkembangan definisi itu didorong oleh pertumbuhan pengertian

para pakar pendidikan tentang hubungan teknik pebelajaran dengan hasil

belajar. Hubungan antara suatu pembelajaran dengan tujuan proses tersebut

38
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Jakarta: PT Rineka
Cipta,2001), p.75
39
J.Matakupan, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Dinas P dan P DKI Jakarta,1991/1992),
p.5
sangat signifikan. Oleh karena itu pemilihan dan menetapan teknik

pembelajaran harus dilakukan secara cermat.

Pemilihan yang tepat mengenai teknik pembelajaran ini berkaitan

dengan tujuan pembelajaran. Makin baik suatu teknik pembelajaran yang

ditetapkan oleh guru dalam proses belajar mengajar, maka hasil belajar siswa

akan baik pula.

Winarno Surakhmad mengemukakan bahwa:

Makin baik dan tetap teknik itu, makin efektif mencapai tujuan. Untuk

menetapkan lebih dahulu apakah sebuah metode dapat disebut baik,

diperlukan patokan yang bersumber dari beberapa factor. Faktor

utama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai. 40

Khusus mengenai teknik pembelajaran di dalam kelas selain faktor

tujuan, faktor murid, faktor situasi dan faktor guru ikut menentukan efektif

tidaknya sebuah teknik. Sedangkan guru yang memiliki pengertian secara

umum mengenai sifat berbagai teknik, akan mudah menetapkan teknik

manakah yang paling cocok untuk situasi dan kondisi dalam proses

pembelajaran.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikemukakan teknik

pembelajaran adalah suatu cara penyampaian pengetahuan atau bahan ajar

40
Winarno Surakhmad, Metodologi Pengajaran Nasional (Bandung: Jemmars, 1980), h.75.
kepada siswa agar mencapai tujuan. Dalam memilih dan menentukan

metode mengajar dipengaruhi faktor tujuan, faktor guru, faktor situasi, bahan

pelajaran dan penilaian.

a. Pengertian Teknik Mencari Pasangan (Make a Match)

Pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini

socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial. 41

Sedangkan menurut Ibrahim dalam Isjoni metode pembelajaran kooperatif

merupakan metode pembelajaran yang membantu siswa mempelajari isi

akademik dan hubungan sosial. 42 Ciri khusus pembelajaran kooperatif

mencakup lima unsur yang harus diterapkan, yang meliputi; saling

ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka,

komunikasi antar anggota dan evaluasi proses kelompok. 43

Pembelajaran kooperatif bukanlah hal yang sama sekali baru bagi

guru. Metode pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode

pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap

siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang

berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah) dan jika memungkinkan anggota

kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan

kesetaraan jender. Pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama

41
Lie, Anita, op. cit. P. 21
42
Isjoni, op. cit. p. 18.
43
Lie, Anita, op. cit. h. 30.
dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan

keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

Guna meningkatkan partisipasi dan keaktifan siswa dalam kelas, guru

dapat menerapkan teknik pembelajaran make a match. Teknik make a match

atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang dapat

diterapkan kepada siswa. Penerapan teknik ini dimulai dengan siswa

ditugaskan mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum

batas waktu habis, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin.

Teknik pembelajaran make a match dikembangkan oleh Lorna

Curran.44 Salah satu keunggulan tehnik ini adalah siswa mencari pasangan

sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang

menyenangkan.

Dari pendapat para ahli di depan, maka langkah-langkah

pembelajaran teknik make a match adalah:

Tabel 2. Langkah-langkah Pembelajaran Teknik Make a Match

Guru Siswa

1. Skenario pembelajaran/perencanan 1. Setiap siswa


pembelajaran. mendapatkan sebuah kartu
yang bertuliskan soal/jawaban.

2. Penyiapan alat/media pembelajaran


2. Tiap siswa
merumuskan jawaban/soal dari
3. Penampilan penyaji kartu yang dipegang.
44
Sugiyanto, Model-model Pembelajaran Inovatif (Semarang: Yuma Pustaka, 2010), h. 14.
4. Pemeriksaan kehadiran siswa 3. Setiap siswa mencari
pasangan kartu yang cocok
dengan kartunya. Misalnya:
5. Pelaksanaan apersepsi pemegang kartu yang
bertuliskan tugas MPR akan
berpasangan dengan kartu
6. Pengungkapan tujuan pembelajaran yang bertuliskan
memberhentikan presiden dan
wakil presiden.
7. Pemberian motivasi pembelajaran
yang menarik berkaitan dengan
tujuan Pembelajaran. 4. Setiap siswa yang
dapat mencocokkan kartunya
sebelum batas waktu diberi
8. Penjelasan alur pelaksanaan poin.
pembelajaran (pengelompokan dsb.)

5. Jika siswa tidak dapat


9. Menyiapkan beberapa kartu yang mencocokkan kartunya dengan
berisi beberapa konsep atau topik kartu temannya (tidak dapat
yang cocok untuk sesi review, satu menemukan kartu soal atau
bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban) akan
kartu jawaban. mendapatkan hukuman, yang
telah disepakati bersama.
10. Bersama-sama dengan siswa
membuat kesimpulan terhadap 6. Setelah satu babak,
materi pelajaran. kartu dikocok lagi agar tiap
siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya,
11. Guru memberikan penilaian tertulis
demikian seterusnya.
dan lisan.

7. Siswa bergabung
12. Memberikan tindak lanjut (perbaikan
dengan 2 atau 3 siswa lainnya
dan pengayaan).
yang memegang kartu yang
cocok.
13. Memberikan tugas kepada siswa.
3.Umpan Balik (Feed Back)

4.Percaya Diri

Umumnya rasa kurang percaya diri dapat menyerang siapa saja

tanpa membedakan umur, jenis kelamin. Percaya diri yang kurang, bisa

memberikan efek terhadap individu yang mengalaminya. Secara tidak

langsung hal tersebut bisa mendatangkan berbagai masalah dalam diri. Bisa

saja efek yang ditimbulkan dengan merasa tidak aman, gelisah, mudah

merasa lelah, mudah marah, dan sulit berkonsentrasi. Semua itu terjadi

dikarena setiap individu mempunyai bermacam ragam bentuk kepribadian

yang semuanya itu berbeda-beda.

James Tangkudung dan wahyuningtyas mengatakan kepribadian

adalah suatu sifat yang hakiki yang dimiliki oleh seseorang yang tercermin

didalam sikapnya atau perbuatannya yang berbeda dengan pribadi-pribadi

lainnya45. Orang yang memiliki rasa kurang percaya diri bisa dilihat dari sikap

dan tindakannya seperti selalu bergantung pada orang lain, dan tidak berani

mengambil keputusan. Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian

yang sangat penting dalam kehidupan manusia. 46 Psikolog W.H. Miskel

45
James tangkudung dan wahyuningtyas, Kepelatihan Olahraga (Jakarta: Cerdas Jaya 2012),
h.41.
46
Iyan AR, Buku Pintar Tampil Percaya Diri (Yogyakarta: Araska 2014), h. 49.
didalam buku Iyan AR, Buku Pintar Tampil Percaya Diri mendefinisikan arti

percaya diri sebagai “kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai

dan menyadari kemampuan yang dimiliki”.47

Husdarta dalam bukunya psikologi olahraga mengemukakan Secara

sederhana percaya diri berarti “rasa percaya terhadap kemampuan atau

kesanggupan diri untuk mencapai prestasi tertentu”. 48 Dengan hal tersebut

secara tidak langsung seorang guru atau pelatih telah mengajarkan kepada

siswa atau atlet dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan

kepercayaan diri.

Selain kepercayaan diri seorang guru atau pelatih harus

memperhatikan kepribadian kondisi siswa atau atlet saat melakukan hal yang

bebankan kepada mereka. Kepercayaan diri merupakan modal utama bagi

siswa atau atlet untuk mencapai suatu hal yang diinginkan. Komarudin

menjelaskan kepercayaan diri adalah “perasaan yang berisi kekuatan,

kemampuan dan keterampilan untuk melakukan dan menghasilkan sesuatu

yang dilandasi dengan keyakinan untuk sukses”.49

Loehr mengemukakan dalam buku yang ditulis Komarudin

menjelaskan “self confidence is a feeling and a knowing that say you can do

it, that you can perform well and be successful”.50 Atlet yang memilki

47
Ibid., h. 50.
48
H.J.S Husdarta, Psikologi Olahraga (Bandung: Alfabeta 2010), h. 92.
49
Komarudin, Psikologi Olahraga (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2013), h. 69.
50
Ibid., h. 69.
kepercayaan diri selalu berfikir positif untuk menampilkan sesuatuyang

terbaik dan memungkinkan timbul keyakinan pada dirinya bahwa dirinya

mampu melakukannya sehinnga penampilannya tetap baik.

James Neill dalam buku pintar tampil percaya diri menyebutakan

beberapa istilah yang terkait dengan persoalan diri. Sedikitnya ada empat

kriteria percaya diri yaitu: 1) Self-concept, 2) Self-esteem, 3) Self efficacy dan

4). Self-confidence. 51

Self-concept merupakan istilah yang dipahami bagaimana

menyimpulkan diri sendiri secara keseluruhan, bagaimana melihat potret diri

secara keseluruhan, bagaimana mengkonsepsikan diri secara keseluruhan.

Self-esteem yakni sejauhmana diri punya perasaan positif terhadap diri

sendiri, sejauhmana punya sesuatu yang dirasakan bernilai atau berharga

dari diri sendiri, dan sejauhmana meyakini adanya sesuatu yang bernilai,

bermartabat atau berharga di dalam diri. Self efficacy, yakni sejauhmana

punya keyakinan atas kapasitas yang dimilki untuk bisa menjalankan tugas

persoalan dengan hasil yang bagus. sejauh mana meyakini kapasitas diri di

bidang dalam menagani urusan tertentu dan 4). Self-confidence. Yakni

sejauhmana diri punya keyakinan terhadap penilaian atas kemampuan dan

sejauhmana bisa merasakan kepantasan untuk berasil.

Dari pendapat di atas dapat dapat disimpulkan bahwa percaya diri

adalah hal yang dimiliki oleh individu dengan kemampuan dalam melakukan
51
Iyan AR. op. cit., h. 51.
hal yang berkaitan dengan kepribadian. Percaya diri adalah kualitas yang

berorientasi pada perbuatan. Percaya diri bersumber dari nurani yang tidak

dibuat-buat. Seseorang yang memiliki rasa percaya diri dapat menyelesaikan

tugas atau pekerjaan dengan baik atau setidaknya memiliki kemampuan

untuk belajar cara menyelesaikan tugas tersebut tanpa tergantung dengan

orang lain dan mempunyai keberanian dan kemampuan untuk meningkatkan

prestasinya sendiri dan mempunyai tujuan yang jelas dalam hidupnya.

Didalam kehidupan sekolah maupun atlet rasa percaya diri ini harus

dibina. Siswa atau atlet yang memilki rasa percaya tinggi yang bagus akan

bisa menciptakan suatu prestasi dalam belajar ataupun prestasi. Sebagai

guru atau pelatih perlunya membuat satu rancangan dalam menumbuhkan

rasa percaya diri dengan cara memberikan kesempatan kepada mereka

dalam menyelesaikan suatu masalah yang akan dipecahkan.

Pada dasarnya manusia mempunyai kepribadian yang berbeda

antara satu dengan yang lainya. Kepribadian adalah suatu sifat yang hakiki

yang dimiliki oleh seseorang yang tercermin di dalam sikapnya atau

perbuatan yang berbeda dengan pribadi-pribadi lainya. 52 Di dalam

kepribadian terdapat percaya diri yang di miliki oleh setiap individu.

Pada umumnya kepercayaan diri dimengerti sebagai keyakinan

seseorang akan kemampuanya untuk melakukan hal-hal tertentu. Artinya,

keyakinan dan percaya diri hanya timbul pada saat seseorang mengerjakan
52
Tangkudung James, Kepelatihan Olahraga (Jakarta: Cerdas Jaya. 2012), h. 41.
sesuatu yang memang mampu dilakukanya. Kalau seluruh waktu seseorang

digunakan untuk mengerjakan kegiatan yang mahir dilakukanya dan

melakukanya dengan cara yang memuaskan hatinya, barulah orang tersebut

merasa yakin dan percaya diri setiap waktu. Inilah mengapa banyak orang

menjadi kecanduan kerja atau terobsesi oleh aktivitas yang menghabiskan

waktu. Salah satu modal utama dan syarat mutlak untuk mencapai prestasi

olahraga yang sangat gemilang adalah percaya diri (self confidence atau

confidence in oneself).

Rasa percaya diri adalah sebuah ukuran mengenai seberapa besar


anda menghargai diri anda sendiri. Jika anda menganggap diri anda
penting dan mempunyai arti, maka anda akan melakukan yang
terbaik untuk menjaga kesehatan fisik dan mental, dan anda juga
akan “menjaga penampilan” yang nantinya akan membuat diri anda
menjadi sehat.53

Percaya diri adalah kualitas yang berorientasi pada perbuatan.

Tingkat percaya diri seseorang menentukan seberapa baik perbuatan dengan

orang lainya. Seseorang merasa puas pada dirinya hanya pada saat

melakukan suatu kegiatan, pekerjaan atau menyalurkan kemampuanya

tersebut. Banyak hal yang dapat dilakukan dan banyak juga kemampuan

yang dapat dikuasai seseorang dalam hidupnya.tetapi jika percaya diri hanya

didasarkan pada hal-hal tersebut diatas, maka seseorang tidak akan pernah

menjadi orang yang betul-betul percaya diri. Hal ini karena orang tersebut

53
Iyan AR, Buku Pintar Tampil Percaya Diri (Yogyakarta: Araska. 2014), h. 27.
hanya akan percaya diri pada hal-hal yang bertalian dengan apa yang

dilakukan dan beberapa keterampilan tertentu saja yang dikuasai.


Secara sederhana percaya diri berarti “rasa percaya terhadap

kemampuan atau kesanggupan diri untuk mencapai prestasi tertentu”. 54

Percaya diri bersumber dari nurani, tidak dibuat-buat. Kepercayaan diri

berawal dari tekad pada diri sendiri., utnuk melakukan segala yang diinginkan

dan dibutuhkan dalam hidup. Percaya diri terbina dari keyakinan diri sendiri.,

bukan dari karya-karya, walaupun karya-karya itu sukses. Rasa percaya diri

itu lahir dari kesadaran bahwa ketika seseorang memutuskan untuk

melakukan sesuatu, sesuatu itu pula yang akan dia lakukan.


Kepercayaan diri adalah perasaan yang berisi kekuatan,

kemampuan, dan keterampilan untuk melakukan dan menghasilkan sesuatu

yang dilandasi keyakinan untuk sukses”. Selain itu, MC Cellend

menjelaskan : “kepercayaan diri merupakan control internal terhadap

perasaan seseorang akan adanya kekuatan kekuatan dsalam dirinya,

kesadaran akan kemampuan dan bertanggungjawab terhadap keputusan

yang telah ditetapkanya”55. Dengan demikian, kepercayaan diri berisi

keyakinan seseorang terkait dengan kekuatan, kemampuan diri, untuk

melakukan dan meraih sukses serta bertanggungjawab terhadap apa yang

telah ditetapkan oleh dirinya.

54
Husdarta, Psikologi Olahraga (Bandung: Alfabeta. 2011), h. 92.
55
Komaruddin, Psikologi Olahraga (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2013), h. 69.
Orang yang memiliki rasa percaya diri akan mencinTai memahami

dirinya, mempunyai tujuan yang jelas dalam hidupnya, selalu berpikiran

positif, mampu berkomunikasi dengan baik secara verbal maupun non verbal,

tegas dalam bersikap dan sebagainya. Dengan ciri-ciri tersebut akan

tercermin dirinya. Kalau melihat ke literatur lainnya, ada beberapa istilah

yang terkait dengan persoalan pede/percaya diri yaitu ada empat macam,

yaitu : (1) self-concept, (2) self-esteem, (3) self efficacy, dan (4) self-

confidence. 56
Self-concept merupakan istilah yang dipahami bagaimana

menyimpulkan diri sendiri secara keseluruhan, bagaimana melihat potret diri

secara keseluruhan, bagaimana mengkonsepsikan diri secara keseluruhan.

Self-esteem yakni sejauhmana diri punya perasaan positif terhadap diri

sendiri, sejauhmana punya sesuatu yang dirasakan bernilai atau berharga

dari diri sendiri, dan sejauhmana meyakini adanya sesuatu yang bernilai,

bermartabat atau berharga di dalam diri. Self efficacy, yakni sejauhmana

punya keyakinan atas kapasitas yang dimilki untuk bisa menjalankan tugas

persoalan dengan hasil yang bagus. sejauh mana meyakini kapasitas diri di

bidang dalam menagani urusan tertentu dan 4). Self-confidence. Yakni

sejauhmana diri punya keyakinan terhadap penilaian atas kemampuan dan

sejauhmana bisa merasakan kepantasan untuk berhasil.


Berdasarkan paparan tentang percaya diri, kita juga bisa membuat

semacam kesimpulan bahwa percaya diri adalah ekspresi yang efektif dari
56
http://belajarpsikologi.com (diakses tanggal 24 oktober 2014 jam 11.00)
perasaan dan anggapan serta keyakinan seseorang terhadap dirinya dimana

ia puas terhadap kemampuan dirinya yang memungkinkan untuk

menunjukkan pada dunia luar yang berhubungan dengan prilaku, emosi dan

komunikasi, dimana individu dapat mengevaluasi keseluruhan dari dirinya

sehingga memberi keyakinan kuat pada kemampuan dirinya untuk

melakukan tindakan dalam mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya.

5. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Kelas V

Siswa Kelas IV Sekolah Dasar pada umumnya berada dalam usia 8

sampai 9 tahun. Menurut Piaget yang dikutip Desminta, pikiran anak usia

delapan sampai sembilan tahun termasuk dalam tahap perkembangan

operasional konkrit (concret operational throught).57 Operasional adalah

aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa

konkrit atau nyata. Anak pada tahap operasional konkrit mulai mampu

memahami operasi dalam sejumlah konsep. Dalam upaya memahami alam

siorang tua dan pendidiknya, anak pada usia ini tidak lagi terlalu

mengandalkan informasi yang bersumber dari panca indera, melainkan

sudah mampu menggunakan logikanya.

Desminta menyatakan bahwa anak pada usia ini memiliki

kemampuan untuk berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda

secara serempak, karena pada masa itu anak telah mengembangkan tiga

57
Desminta, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2005), h. 156.
macam proses yang disbut operasi-operasi, yaitu resiprokasi, dan identitas. 58

Kemampuan anak melakukan operasi-operasi mental dan kognitif ini

memungkinkannya mengadakan hubungan yang lebih luas dengan dunianya.

Anak pada usia ini juga mampu berpikir logis maupun kongkret

memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan juga dapat

menghubungkan dimensi satu dengan yang lain, kurang egosentris dan

belum juga bisa berpikir abstrak. Anak-anak ini tidak sesederhana orang

dewasa yang kurang tahu, sebaliknya orang dewasa tidak sesederhana

anak-anak yang berpengaruh banyak. Anak yang lebih dewasa mempunyai

perkembsangan kognitif yang lebih luas. Mereka mempunyai pengalaman

yang lebih luas dan terdapat proses informasi dengan cara-cara yang lebih

berpengalaman, karena perkembangan biologi dan perkembangan

adaptasidari struktur kognitif. Seperti yang dikatakan oleh Martini, kognitif

didefenisikan sebagai proses internal dipusat susunan syaraf ketika sedang

bebas pikir.59 Kemampuan kognitif ini berkembang secara bertahap, sejalan

dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada di pusat susunan

syaraf.

Berdasarkan uraian uraian yang di bahas sebelumnya, karakteristik

siswa kelas IV Sekolah Dasar adalah siswa yang berada pada rentang usia

antara 8 sampai 9 tahun yang termasuk dalam tahap perkembangan

58
Ibid., h. 157.
59
Martini Jamaris, Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-Kanak
(Jakarta: PT. Grasindo, 2005), p. 18
operasional konkrit yang aktivitasnya difokuskan pada objek-objek dan

peristiwa- peristiwa atau nyata.

B. Penelitian Yang Relevan

C. Kerangka Teoretik

1. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga


Negara Antara Metode pembelajaran koopertif STAD (A1) Dengan
Metode pembelajaran kooperatif Make a Match (A2).

2. Terdapat Interaksi Antara Metode pembelajaran Kooperatif dan


Percaya Diri (AB) Terhadap Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-
lembaga Negara.

3. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga


Negara Antara Metode pembelajaran koopertif STAD (A1) Dengan
Make a Match (A2) Pada Kelompok Siswa Percaya Diri Tinggi Umpan
Balik (Feed Back) Langsung (B1C1).

4. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga


Negara Antara Metode pembelajaran koopertif STAD (A1) Dengan
Make a Match (A2) Pada Kelompok Siswa Percaya Diri Rendah
Umpan Balik (Feed Back) Langsung (B2C1).

5. Terdapat Perbedaan HasilBelajar PKn Materi Lembaga-lembaga


Negara Antara Metode pembelajaran koopertif STAD (A1) Dengan
Make a Match (A2) Pada Kelompok Mahasiswa Percaya Diri Tinggi
Umpan Balik (Feed Back) Tertunda (B1C2).

6. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga


Negara Antara Metode pembelajaran koopertif STAD (A1) Dengan
Make a Match (A2) Pada Kelompok Siswa Percaya Diri Rendah
Umpan Balik (Feed Back) Tertunda (B2C2).
7. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga
Negara Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan
Umpan Balik (Feed Back) Tertunda (C2).

8. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga


Negara Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan
Umpan Balik (Feed Back) Tertunda (C2) Pada Kelompok Siswa
Metode pembelajaran koopertif STAD Percaya Diri Tinggi (A1B1).

9. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga


Negara Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan
Umpan Balik (Feed Back) Tertunda (C2) Pada Kelompok Siswa
Metode pembelajaran kooperatif Make a Match Percaya Diri Tinggi
(A2B1).

10. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga


Negara Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan
Umpan Balik (Feed Back) Tertunda (C2) Pada Kelompok Siswa
Metode pembelajaran koopertif STAD Percaya Diri Rendah (A1B2).

11. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga


Negara Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan
Umpan Balik (Feed Back) Tertunda Pada Kelompok Siswa Metode
pembelajaran kooperatif Make a Match Percaya Diri Rendah (A2B2).

.D. Hipotesis Penelitian

Dengan kerangka berpikir seperti yang sudah diuraikan di atas dan

sesuai dengan permasalahan, maka hipotesis penelitiannya adalah sebagai

berikut, diduga:

1. Secara Keseluruhan terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi

Lembaga-lembaga Negara Antara Metode pembelajaran koopertif STAD

(A1) Dengan Metode pembelajaran kooperatif Make a Match (A2).


2. Terdapat Interaksi Antara Metode Pembelajaran Kooperatif, Percaya Diri,

Dan Umpan Balik (Feed Back) (AB) Terhadap Hasil Belajar PKn Materi

Lembaga-lembaga Negara.

3. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga Negara

Antara Metode pembelajaran koopertif STAD (A1) Dengan Make a Match

(A2) Pada Kelompok Siswa Percaya Diri Tinggi Umpan Balik (Feed Back)

Langsung (B1C1).

4. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga Negara

Antara Metode pembelajaran koopertif STAD (A1) Dengan Make a Match

(A2) Pada Kelompok Siswa Percaya Diri Rendah Umpan Balik (Feed

Back) Langsung (B2C1).

5. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga Negara

Antara Metode pembelajaran koopertif STAD (A1) Dengan Make a Match

(A2) Pada Kelompok siswa Percaya Diri Tinggi Umpan Balik (Feed Back)

Tertunda (B1C2).

6. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga Negara

Antara Metode pembelajaran koopertif STAD (A1) Dengan Make a Match

(A2) Pada Kelompok Siswa Percaya Diri Rendah Umpan Balik (Feed

Back) Tertunda (B2C2).

7. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga Negara

Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan Umpan Balik

(Feed Back) Tertunda (C2).


8. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga Negara

Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan Umpan Balik

(Feed Back) Tertunda (C2) Pada Kelompok Siswa Metode pembelajaran

koopertif STAD Percaya Diri Tinggi (A1B1).

9. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga Negara

Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan Umpan Balik

(Feed Back) Tertunda (C2) Pada Kelompok Siswa Metode pembelajaran

kooperatif Make a Match Percaya Diri Tinggi (A2B1).

10. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga Negara

Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan Umpan Balik

(Feed Back) Tertunda (C2) Pada Kelompok Siswa Metode pembelajaran

koopertif STAD Percaya Diri Rendah (A1B2).

11. Terdapat Perbedaan Hasil Belajar PKn Materi Lembaga-lembaga Negara

Antara Umpan Balik (Feed Back) Langsung (C1) Dengan Umpan Balik

(Feed Back) Tertunda Pada Kelompok Mahasiswa Metode pembelajaran

kooperatif Make a Match Percaya Diri Rendah (A2B2).

También podría gustarte