Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Salah satu ciri manusia sebagai mahluk hidup adalah adanya kebutuhan akan
makan dan minum untuk keberlangsungan dan bertahan hidup. Namun konsumsi
hidup, tapi lebih dari itu pemenuhan gizi yang memiliki standar kesehatan bagi
manusia itu sendiri. Disadari atau tidak, menyeleksi jenis-jenis makanan yang
masuk ke dalam tubuh merupakan salah satu bentuk upaya mahluk hidup untuk bisa
bertahan hidup pula. Secara insting tidak mungkin mahluk hidup akan sengaja
Suatu benda atau perbuatan itu tidak terlepas dari lima perkara, yaitu halal,
haram, syuhbat, makruh dan mubah. Terhadap barang yang halal secara mutlak kita
disuruh oleh Allah untuk memakannya; sedang terhadap yang haram kita disuruh
untuk menjauhinya. Karena makanan yang halal itu dapat menambah cahaya imam
49
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, (Surabaya : Putra Pelajar, 2002),
hal. 9
Wahai sekalian manusia! makanlah sebagian dari makanan yarrg ada dibumi ini,
setan itu adalah musuh kamu yang nyata. "(QS. Al-Baqarah: 168)
"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu; dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu berirnan kepada-Nya. "(QS.
Al-Maidah: 88).
Rasulullah saw pernah berkata kepada Sa'ad bin Abi Waqqash ra ” "Pilihlah
Dari kedua ayat Al-Qur’an dan hadis tersebut di atas, maka adalah wajib bagi
”Sebelum mengkonsumsi setiap muslim harus sangat yakin (haqqul yaqin) mengenai
kehalalannya”. 50
Kata halal berasal dari bahasa Arab yang berarti “melespaskan” dan “tidak
terikat”, secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena
51
bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau
diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.
Sedangkan thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi
zatnya, atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan
50
Aisjah Girindra, Op cit, hal. 14
51
Lois Ma’luf, Op cit, hal. 146
Makanan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan
yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut
bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong
lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan
iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
agama Islam. 53
Makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan
Secara umum ada tiga katagori makanan yang dikonsumsi manusia, yakni;
nabati, hewani, dan produk olahan. Makanan yang berbahan nabati secara
keseluruhan adalah halal, dan kerena itu boleh dikonsumsi kecuali yang mengandung
52
Aisjah Girindra, Op cit, hal.20
53
Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
54
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
55
Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
terbagi dua, yaitu hewan laut yang secara keseluruhan boleh dikonsumsi dan hewan
darat yang hanya sebagian kecil saja yang tidak boleh dikonsumsi. Sementara itu
kehalalan atau keharaman makanan olahan sangat tergantung dari bahan (baku,
8. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara
syari’at Islam.
pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan/atau barang
tidak halal lainnya. Jika pernah dipergunakan untuk babi dan/atau barang tidak
halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara syari’at Islam.
Maka, secara umum makanan dan minuman yang aram terdiri dari hewan,
56
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 24
57
Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal, (Jakarta : Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2008), hal. 2. Aisjah Girindra, Op. Cit, hal.
123. Lihat juga Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta :
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hal. 7
Allah. 58 Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila
mati karena tercekik, ternetur, jatuh tertanduk, diterkam hewan buas dan yang
disembelih untuk berhala, 59 kecuali ikan dan belalang boleh dikonsumsi tanpa
disembelih. Hewan yang dipandang jijik atau kotor menurut naluri manusia. 60
Hewan dan burung buas yang bertaring dan memiliki cakar, hewan-hewan yang
oleh ajaran Islam diperintahkan membunuhnya seperti ular, gagak, tikus, anjing
membunuhnya seperti semut, lebah, burung hud-hud, belatuk, hewan yang hidup
proses. Maka semua jenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung racun atau yang
3. Semua jenis minuman adalah halal kecuali minuman yang memabukkan seperti
arak dan yang dicampur dengan benda-benda najis, baik sedikit maupun
banyak. 63
58
QS. Al-Baqarah : 173
59
QS. Al-Maidah : 3
60
QS. Al-A’raf : 157. Lebih lanjut lihat dalam Imam Al-Ghazali, Penyunting Ahmad
Shiddiq, Benang Tipis antara Halal dan Haram, (Surabaya, Putra Pelajar, 2002), hal. 119
61
Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 9-11
62
Ibid, hal. 12
63
Ibid
a. Bang kai
"Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, hewan yang
disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang mati
karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mafi) karena
dimakan oleh hewan buas kecuali yang dapat kamu sembelih, dan yang
disembelih untuk berhala. "(QS. Al-Maidah ayat 3)
Bangkai yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha
dengan berburu. Termasuk dalam hal ini yaitu apa ynag dipotong dari hewan
sedang ia masih hidup, adalah bangkai. "(HR. Abu Dawud dan Thrmudzi
Dikecualikan dari bangkai tersebut diatas, maka bangkai yang ada di bawah
2) Bangkai hewan dan tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan
lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana,
sejenis dengan itu hukumnya suci, karena asalnya semua ini adalah suci dan
agama Islam pasti ada hikmahnya. Diantara hikmah diharamkannya bangkai adalah
sebagai berikut : 64
1) Naluri manusia yang sehat pasti tidak akan makan barrgkai dan diapun
kan menganggapnya kotor. Para cerdik cendikia di kalangan mereka pasti
akan beranggapan, bahwa makan bangkai itu adalah suatu perbuatan yang
rendah yang dapat menurunkan moral manusia. Oleh karena itu seluruh
agama Samawi memandangnya bangkai itu suatu makanan yang haram.
Mereka tidak boleh makan kecuali yang disembelih, sekalipun berbeda
cara menyembelihnya.
2) Supaya setiap muslim suka membinasakan bertujuan berkehendak dalam
seluruh hal, sehingga tidak ada seorang muslimpun yang memperoleh
sesuatu atau memetik buah melainkan setelah dia mengkongkritkan niat,
tujuan dan usaha untuk mencapai apa yang dimaksud. Begitulah, maka arti
menyembelih yang dapat mengeluarkan hewan dari kedudukannya sebagai
bangkai tidak lain adalah bertujuan untuk merenggaut jiwa hewan karena
hendak memakannnya.
3) Hewan yang mati dengan sendirinya, pada umumnya mati karena suatu
sebab; mungkin karena penyakit yang mengancam, atau karena sesuatu sebab
mendadak, atau karena makan tumbuh-tumbuhan yang rnengandung racun
dan lain sebagainya. Kesemuanya ini tidak dapat dijamin untuk tidak
membahayakan. Contohnya seperti hewan yang mati karena sangat lemah ka-
rena keadaannya yang tidak normal.
4) Allah mengharamkan bangkai kepada kita ummat manusia, berarti dengan ia
telah memberi kesempatan kepada hewan atau burung untuk memakannya
sebagi tanda kasih sayang Allah ke pada hewan atau burung-burung tersebut.
Karena hewanhewan itu adalah makhluk seperti juga manusia.
5) Agar manusia selalu memperhatikan hewan-hewan yang dimilikinya, tidak
membiarkan begitu saja hewannya itu diserang oleh sakit dan kelemahan
sehingga mati dan hancur. Tetapi dia harus segera memberikan pengobatan
atau mengistirahatkan.
64
Imam Al-Ghazali, Op cit, hal. 109-110
Al-Munkhoniqoh adalah hewan yang mati karena dicekik, baik dengan cara
menghimpit leher hewan tersebut ataupun meletakkan kepala hewan pada tempat
yang sempit dan sebagainya sehingga hewan tersebut mati. Hewan yang demikian
ini disebut bangkai. Sekalipun bangkai itu dari hewan yang halal, kalau matinya
c. A l - M a u q y u d z a h
Al-Mauquudzah adalah bianatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan
sebagainya. Hewan yang mati karena di pukul dengan tongkat ini dinamakan
bangkai.
d. Al-Mutariddiyah
Al-Mutariddiyah adalah hewan yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga
e. An-Nathihah
Al-Nathihah adalah hewan yang baku hantam antara satu dengan yang lain,
Mas akalas sabu'u adalah hewan yang disergap oleh hewan dengan dimakan
sebagian dagingnya sehingga mati. Hewan yang mati karena oleh hewan buas
mamakannya. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang limpa (thihal), maka jawab
beliau: Makanlah? Orang-orang kemudian berkata: Itu kan darah. Maka jawab
Ibnu Abbas: Darah yang diharamkan atas kamu hanyalah darah yang mengalir.
h. Daging Babi
Menurut penyelidikan para ilmuwan, bahwa daging babi itu sangat berbahaya
karena salah satu sebab timbulnya cacing pita yang dapat berbahaya.
Hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang disembelih
dengan menyebut nama selain Allah, misalnya dengan menyebut nama berhala.
hewan, mereka sebut nama-nama berhala mereka seperti Lataa dan ‘Uzza. Ini
65
Aisjah Girindra, Op cit, hal. 28
(bersih atau membersihkan). Misalnya, udara itu thayyib atau bersih. Diartikan
Selain itu, ada pula yang mengartikan sebagai tatmin (sempurna). Dengan
hulqun (jalan pernapasan) atau mariah (jalan makanan dan minuman). Adapun
diri (seperti mabuk, gila, dan sebagainya), dan anak-anak yang belum
66
Ibid, hal. 35
semenjak Allah SWT menegaskan berbagai dampak buruk khamar yang dapat
menguras harta benda dan merusak akal sehat, seperti tertuang dalam QS An-
Nahl : 67, yang menyatakan "Dan dari buah kurma dan anggur, bisa kamu buat
minuman memabukkan dan rizki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian
memikirkan". Umar ra. menangkap pesan ayat itu dalam konteks realitas
secara tuntas tentang khamar, karena ternyata khamar selain menguras harta
juga merusak akal". Allah SWT menjawab pertanyaan Umar melalui wahyu-
Nya kepada Rasulullah SAW dengan paparan objektif: setitik nikmat minuman
yang deinikian itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
Produksi dan konsumsi khamar jalan terus. Umar belum puas dan kembali
berdoa. Kemudian turun wahyu kepada Rasulullah SAW (QS An Nisaa: 43)
Umar ra. masih belum puas. Sebelum ada keputusan final, ayat itu bisa diberi
shalat. Umar pun kembali berdoa, lantasturun wahyu kepada Rasulullah SAW
nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan".
kamu lantaran minum khamar dan berjudi, dan menghalangi kamu dari
67
Ibid, hal. 32
Label dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar,
tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,
label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label dimaksud tidak mudah lepas
dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan
1. Nama produk
4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia;
tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut
68
Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
69
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
70
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan
tersebut. 72
Agama, dan Majelis Ulama Indonesia tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal
pada Makanan, disepakati bahwa produk makanan dan minuman yang beredar dapat
dinyatakan halal atas dasar Fatwa dari MUI, setelah melalui serangkaian pemeriksaan
71
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
72
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
73
Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama
Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan
tentang kehalalan suatu produk makanan atau disebut dengan Sertifikasi Halal MUI.
saling terkait, yaitu sertifikasi dan labelisasi. Sertifikasi Halal adalah Fatwa tertulis
MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syari’at Islam melalui
pemeriksaan yang rinci oleh LP POM MUI. Sertifikat Halal ini merupakan syarat
untuk mendapatkan izin pencantuman Label Halal pada kemasan produk dari instansi
pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman
”LABEL HALAL” pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan
POM didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk Sertikat Halal MUI. Sertifikat
Halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan LP POM MUI.75
Namun, PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan
Halal bagi produk pangan kemasan yang beradar di Indonesia. Pengaturan tersebut
hanya berlaku bagi produsen yang menyatakan bahwa produk makanannya halal bagi
umat Islam.
74
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 69
75
Ibid
dan/atau jasa. Terkait dengan hal tersebut, maka produsen berkewajiaban untuk
label, baik Label Halal untuk dikonsumsi umat Islam maupun Label Haram untuk
dikonsumsi umat Islam. Karena sesungguhnya antara halal dan haram harus jelas,
maka produk makanan juga harus memiliki kepastian hukum apakah produk makanan
kepada ummatnya, dalam hal ini konsumen, untuk mengkonsumsi makanan yang
76
Rasionalisme dalam Islam tidak hanya didasarkan pada dorongan akal, tetapi juga pada
nila-nilai keilahian yang akan memudahkan konsumen untuk mencari dan mendapatkan kebenaran
tentang produk yang dapat dikonsumsi. Azhari Akmal Tarigan, dkk, Dasar-dasar Ekonomi Islam,
(Bandung : Citapustaka, 2006), hal. 279
77
Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 16
dengan sumber hukum Islam yang diakui oleh mayoritas ulama (jumhur ulama),
yakni; Alqur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Alqur’an dan Sunnah dapat berdiri sendiri
sebagai dalil hukum, sedangkan Ijma’ dan Qiyas tidak dapat berdiri sendiri sebagai
dalil hukum, karena proses Ijma’ dan Qiyas harus berdasarkan kepada dalil
hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun
materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-
lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen
1962 menyebutkan, ada 4 (empat) hak konsumen yang perlu dilindungi, 82 yaitu:
78
QS 2:172; 5:4,5; 16:114; 23:51
79
QS 7:32
80
QS 2:35; 2:168
81
Wahbah al-Zuhailiy, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut : Dar al-Fikri, 1986), Jilid I, hal. 558
82
Bismar Nasution, Op. Cit, h. 121. Lihat juga Mariam Darus Badrul Zaman, Op. Cit, h. 5.
Lihat juga Shidarta, Op. Cit, hal.16
2. Hak memilih (the right to choose). Hak ini bagi konsumen sebenarnya telah
ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang
dan/atau jasa yang dibutuhkannya. Oleh karena itu tanpa ditunjang oleh hak
untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan
penghasilan yang memadai maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi
dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak
untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor diluar diri
konsumen. 84
3. Hak mendapat informasi (the right to be informed). Hak ini mempunyai arti yang
dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan
83
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika,
Fakultas Hukum UNAIR, 1992, hal. 49
84
Ibid
menyesatkan. 85
4. Hak untuk didengar (the right to be heard). Hak ini dimaksudkan untuk menjamin
bangsa, sehingga PBB mengeluarkan resolusi Nomor 39/248 Tahun 1984 tentang
kebutuhan pribadi;
4. Pendidikan konsumen;
85
Ibid, hal. 50
86
Ibid
kepentingan mereka. 87
menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen,
87
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Mutlak, (Jakarta : Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004), hal. 7. Lihat juga
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 27-28
88
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Yakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 39
89
Mariam Darus, Op. Cit, h. 53. Lihat juga Inosentius Samsul, Op. Cit, hal.7
garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat
informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan
ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan). Konsumen tidak cukup
mempergunakan barang dan/atau jasa yang dihalalkan oleh Islam, baik dari segi zat,
tersebut. 93 Maka dalam ekonomi Islam barang dan/atau jasa yang halal dari segi
90
Shidarta, Op. Cit, hal. 16
91
Ibid, hal. 49
92
M.A. Mannan, Islamic Economics, Theory and Practice, (Delhi, Idarah-I Adabiyat-I
Delli, 1980), hal. 80
93
QS 7:157
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang bersih, baik, tidak kotor atau menjijikkan,
serta tidak bercampur dengan najis. Karena barang dan/atau jasa yang haram, kotor,
untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, serta mampu
mengekang hawa nafsu dari pemborosan dan keinginan yang berlebihan. 95 Selain itu,
terlalu kikir dan tidak terlalu berlibihan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. 96
kebaikan serta kesempurnaan dalam mengabdikan diri kepada Allah. Disamping itu,
Islam juga membolehkan konsumen untuk mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
haram jika dalam dalam keadaan tertentu (darurat) atau kondisi terpaksa, selama tidak
nama Allah sebelum melakukan seuatu dan menyatakan terima kasih kepada-Nya
94
QS 2:219; 5:90; 6:145;
95
QS 6:141; 7:31; 25:67
96
QS 25:67
97
QS 2:173; 6:119,145; 16:115
karena Undang-undang Dasar 1945 disamping sebagai konstitusi politik juga dapat
kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19. 99
10. Hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa
11. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
12. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan
13. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakannya
98
QS 2:177; 3:191; 14:7; 36:35; 76:8
99
Jimmly Asshiddiqie, Undang-undang Daar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan
Realitas Masa Depan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 1-2
16. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara secara benar dan jujur secara tidak
diskriminatif
17. Hak untuk mendapat konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya
18. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya, seperti: Hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 5 ayat (1) UU No.23 Tahun
UUPK yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak
merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
pemeliharan;
diskriminatif;
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
diperdagangkan;
Selain hak-hak yang telah disebutkan tersebut, ada juga hak untuk dilindngi
dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan bahwa
kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur, yang
patut. 101
Secara umum hubungan hukum antara produsen atau pelaku usaha dengan
konsumen (pemakai akhir) dari suatu produk merupakan hubungan yang terus
tinggi antara yang satu dengan yang lain. 102 Hubungan hukum antara produsen
sebagai pelanggan, dimana tanpa adanya dukungan konsumen maka tidak mungkin
tersebut diatas dapat menciptakan suatu hubungan yang terus dan berkesinambungan
sepanjang masa.
bersifat keperdataan, yaitu karena perjanjian jual beli, sewa beli, penitipan dan
101
Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 5
102
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 23
103
Basu Swastia, Manajemen Modern, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 25
dimanfaatkan oleh banyak orang, maka secara kolektif hubungan hukum antara
konsumen dengan produsen tidak lagi hanya menyangkut bidang hukum perdata,
akan tetapi juga memasuki bidang hukum publik, seperti hukum pidana, hukum
melahirkan beberapa doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum
1. Let the buyer beware atau caveat emptor 104 berasumsi bahwa pelaku usaha dan
konsumen adalah dua pihak yang seimbang, sehingga tidak perlu ada proteksi
apapun bagi konsumen. Menurut doktrin ini, dalam hubungan jual beli
demikian akan menjadi kesalahan dan tanggung jawab konsumen sendiri bila ia
sampai membeli dan mengkonsumsi produk yang tak tidak layak. Doktrin ini
menuju caveat venditor 105 (pelaku usaha yang perlu berhati-hati). 106
104
Doktrin caveat emptor mengharuskan si pembeli berhati-hati. Hal ini memberikan
penekanan terhadap ketentuan yang menyatakan seorang pembeli harus memeriksa, menimbang dan
mencobanya sendiri. Doktrin ini juga mengharuskan pembeli agar peduli dan ingat bahwa ia sedang
membeli haknya orang lain. Si pembeli harus berhati-hati tentang keadaannya ketika ia membeli hak
orang lain. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co. St.
Paul, Minn, 1990, hal. 222
105
Doktrin caveat venditor merupakan lawan caveat emptor yang diartikan sebagai si
penjual harus berhati-hati (let the seller beware). Ibid
106
Shidarta, Op. Cit, hal. 50
maupun jasa, dan selama berhati-hati maka pelaku usaha tidak dapat
dipersalahkan bila terjadi kerugian yang diderita oleh konsumen. Jika ditafsirkan
harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip
kehati-hatian. 107
3. The privity of contract, doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika
diantara mereka telah terjadi suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak
dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang telah diperjanjikan, artinya konsumen
antara konsumen dan pelaku usaha, dan telah melahirkan 2 (dua) bentuk tanggung
jawab, yaitu: tanggung jawab produk 109 (product liability) dan tanggung jawab
107
Ibid, hal. 51
108
Ibid, hal.52
109
Tanggung jawab produk yang biasa di sebut “product liability” adalah suatu tanggung
jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (product manufacturer)
atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk
(processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller,
distributor) produk tersebut. Lihat H.E. Saefullah, Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat
Hukum yang Ditimbulkan dari Produk dalam menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam
Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan konsumen dalam Sistem Hukum Nasional
Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, h. 5. Nahattands v.
Lambocks menyebutkan bahwa product liability adalah suatu konsepsi hukum yang intinya
dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu dengan jalan membebaskan
produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan atau
menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata
“produk” diartikannya sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau
dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortuous
liability). 112 Pasal 19 Ayat (1) UUPK secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab
jasa. 113 Sama seperti dalam tanggung jawab produk, sumber persoalan dalam
tanggung jawab professional ini dapat timbul karena para penyedia jasa professional
konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam
proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi.
Lihat dalam Nurmardiito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang perlindungan
Konsumen Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif
Hukum Perlindungan konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas,
Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, hal. 17
110
Tanggung jawab professional (professional liability) adalah tanggung jawab hukum
(legal liability) dalam hubungan dengan jasa professioanal yang diberikan kepada klien atau
konsumen. Lihat Shidarta, Op. Cit, hal.68
111
Undang-undang Perlindungan Konsumen Bab VI Pasal 19 sampai Pasal 28
112
Shidarta, Op. Cit, hal. 65
113
Jenis jasa yang diberikan dalam hubungan antara tenaga professional dan kliennya juga
berbeda. Ada jasa yang diperjanjikan menghasilkan sesuatu (resultaat verbintenis), tetapi ada yang
diperjanjikan untuk mengupayakan sesuatu (inspanningsverbintenis). Kedua jenis perjanjian ini
memberi konsekuensi yang berbeda dalam tanggung jawab professional yang bersangkutan. Ibid
hukum. 114 Pelanggaran terhadap tanggung jawab professional ini dapat berimplikasi
Oleh karena itu, Pasal 19 Ayat (1) UUPK sekaligus juga memuat tanggung jawab
Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku usaha (produsen) untuk
memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen yang menderita kerugian dapat
membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha
(vide Pasal 1365 KUH.Perdata jo Pasal 163 HIR/283 Rbg). Sedangkan dalam UUPK
kesalahan/kelalaian pelaku usaha, sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang
pertama mengajukan dalil kerugian tersebut (vide Pasal 19 s/d 28 UUPK), dan inilah
114
Untuk menentukan apakah suatu tindakan menyalahi tanggung jawab profesioanl, maka
perlu ada ukuran yang jelas. Indikator tersebut ditetapkan tidak dalam undang-undang, tetapi
ditetapkan oleh asosiasi profesi. Asosiasi inilah yang menetapkan standar pelayanan yang wajib
diberikan kepada klien dari setiap tenaga professional yang berkecimpung dalam profesi
tersebut. Ibid, hal. 68
115
Tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum perlindungan konsumen
dirasakan sangat penting, paling tidak didasarkan pada empat alasan, yaitu: pertama, tanggung jawab
mutlak merupakan istrumen hukum yang relative masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen
memperoleh ganti kerugian. Kedua, tanggung jawab mutlak merupakan bagian dan hasil dari
pengertian bahwa tergugat selalu bertanggungjawab tanpa melihat ada atau tidaknya
kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, tanggung jawab yang memandang
hakekatnya ada atau tidak ada. 116 Namun demikian, hal ini tidak selamanya
diterapkan secara mutlak, karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap
yang dimaksud antara lain adalah keadaan force majeure, atau suatu kondisi terpaksa
Konsep tanggung jawab mutlak (strict liability) yang ada dalam UUPK itu
sendiri, di Amerika Serikat telah dikenal dan diberlakukan sejak tahun 1960-an.
Dimana dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini semua konsumen
yang dirugikan akibat suatu produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat
kesalahan pada pihak produsen. Dua kasus utama yang merupakan prinsip
perubahan hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam prakteknya
sering menampakkan kesenjangan antara standar yang diterapkan di negara yang satu dengan negara
lainnya, dan kesenjangan dalam negara yang bersangkutan, yitu antar kebutuhan keadilan masyarakat
dengan standar perlindungan konsumen dalam hukum positifnya. Ketiga, penerapan prinsip tanggung
jawab mutlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu bagaimana produse menangani risiko
gugatan konsumen. Keempat, Indonesia merupakan contoh yang menggambarkan dua kesenjangan
yang dimaksud, yaitu antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan
kepentingan dan hak-hak konsumen. Lihat Inosentius Samsul, Op. Cit, hal. 1
116
Endang Saefullah Wiradipraja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara
Indonesia, Eresco, Bandung, 1991, hal. 33
adalah kasus Spence V Theree Builders and Mansory Supply Inc 1959. 117
untuk menerapkan asas (strict liability) atau digunakan istilah tanggung jawab tidak
117
Lebih lanjut lihat dalam, D.L. Dann, Strict Liability Indonesia The USA, dalam Aviation
Products and grauding Liability Syimposium, The Royal Acrunautical Sociaty, London, 1972, hal. 15
118
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997, hal.22
119
Ibid, hal.16-17
konsumen kepada pedagang eceran, pedagang eceran kepada grosir, grosir kepada
distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict
teknologi dan industri. Kemajuan teknologi dan industri tersebut ternyata telah
tradisional relatif masih sederhana, di mana konsumen dan produsen dapat bertatap
pula (mass consumer consumption). Dalam hal ini, hubungan antara konsumen dan
demikian pula sebaliknya, bahkan produsen tersebut berada di negara lain. 120
120
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, (Jakarta, Universita Indonesia, 2004), hal. 2-3
konsekuensi bahwa semua barang dan/atau jasa yang berasal dari negara lain dapat
masuk ke Indonesia. 122 Untuk itu, maka perlindungan konsumen tidak saja terhadap
membeli suatu barang dan/atau jasa lebih banyak, lebih sedikit, atau tidak membeli
sama sekali merupakan respon konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang
tersedia.
untuk mematikan ataupun melemahkan usaha dan aktifitas perusahaan, tetapi justru
sebaliknya, sebab pengaturan lebel halal diharapkan mampu mendorong iklim dan
persaingan usaha yang sehat, serta diharapkan dapat melahirkan perusahaan yang
tangguh dalam menghadapi persaingan sehat melalui penyediaan barang dan jasa
121
Istilah globalisasi dan modernisasi mulai popular sejak revolusi industri di Inggris yang
berlangsung pada tahun 1760-1830, dan revolusi politik di Prancis pada tahun 1789-1794. Jila dilihat
dari sejarahnya, globalisasi dan modernisasi merupakan perubahan sosial yang membawa kemajuan
dalam bidang ekonomi, teknologi dan politik. Lihat dalam Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Jakarta,
Ghalia Indonesia, 2005), hal. 170
122
Mulai 1 Januari 1995, World Trade Organization (WTO) telah resmi menggantikan dan
melanjutkan General Agreement of Tariffs and Trade (GATT). WTO merupakan organisasi antar
negara yang mengawasi perdagangan barang dan/atau jasa di dunia.
123
Erman Rajagukguk, Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia Menyongsong
Abad XXI, dalam Inosentius Samsul, Op. Cit, hal. 4
124
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit, hal. 17
demikian juga halnya dengan Label Halal hanya berlaku selama 2 (dua) tahun
pula. 125 Hal ini dikarenakan antara Sertifikasi Halal dan Label Halal memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Bahwa Sertifikasi Halal menjadi acuan dalam penerbitan
Label Halal. Kecuali untuk daging impor sertifikasi halalnya hanya berlaku untuk
Tiga bulan sebelum berakhir masa berlaku Sertifikat Halal, LP POM MUI
segera mendaftar kembali. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya Sertifikat
Halal, produsen harus mendaftar kembali untuk mendapatkan Sertifikat Halal yang
baru.
kembali menggunakan Sertifikat Halal yang telah kadaluarsa dan dihapus dari daftar
majalah resmi LP POM MUI, Jurnal Halal.127 Jika Sertifikat Halal hilang, pemegang
harus segera melapor ke LP POM MUI. Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI
125
Karena saat Semarang ini adalah zaman modern, masyarakat modern memproduksi
barang-barang kebutuhan konsumen secara massal, dimana produksi barang dapat dilakukan dalam
jumlah yang besar dalam satu hari, maka menurut penulis masa berlaku Label Halal dan Sertifikat
Halal perlu ditinjau kembali.
126
Departemen Agama RI, Buku Pedoman Strategi Kampanye Sosial Produk Halal,
(Jakarta, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hal.52
127
Lihat Jurnal Halal, Babi dalam Menu Hotel, LP POM MUI Edisi Nomor 65 Tahun XI
2007. Jurnal Halal, Zona Halal untuk Melindungi Masyarakat, LP POM MUI Edisi Nomor 70 Tahun
XI 2007. Jurnal Halal, Susu Formula Bermasalah, Halal Jangan Dilupakan, LP POM MUI Edisi
Nomor 71 Tahun XI 2007. Jurnal Halal, Menyorot Kosmetika, 97% Tidak Jelas Kehalalannya, LP
POM MUI Edisi Nomor 73 Tahun XI 2007. Jurnal Halal, Memberi Makna Tradisi Lebaran,
Berlebaran dengan Hidangan Enak dan Halal, LP POM MUI Edisi Nomor 74 Tahun XI 2007.
nyata bahwa perhatian Singapura terhadap warga Muslimnya cukup besar. Badan
Sertifikasi Halal Singapura, Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) adalah lembaga
satu-satunya yang berwenang menerbitkan Sertifikat Halal. Hal ini terlihat dari
keberadaan Sertifikat Halal MUIS telah terbit sejak tahun 1978, dengan maksud
Islam. Karena Islam melihat, bahwa perlindungan konsumen bukan sebagai hubungan
128
Departemen Agama RI, Op. Cit, hal.90
129
Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal... Op. Cit, h. 8. Aisjah Girindra, Op.
Cit, h. 124. Departemen Agama RI, Petunjuk... Op. Cit, hal.144
secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen
perusahaan.
5. Dalam pelaksanaanya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk Panduan
Halal (Halal Manual), yang berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan
6. Produsen menjabarkan Panduan Halal secara teknis dalam bentuk Prosedur Baku
7. Baik Panduan Halal maupun Prosedur Baku Pelaksanaan yang disiapkan harus
130
Sistem Jaminan Halal mencakup: a. Pernyataan tertulis dari kebijakan halal dan sasaran
halal. b. Panduan Halal. c. Prosedur tertulis yang disyaratkan oleh Sistem Jaminan Halal. d. Dokumen
pendukung lainnya. Pimpinan produsen yang akan diaudit harus mempunyai komitmen untuk
menyusun, menetapkan, dan menerapkan Sistem Jaminan Halal secara berkesinambungan dan dimuat
dalam kebajikan halal. Lihat dalam Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 7
9. Koordinasi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal dilakukan oleh Tim Auditor Halal
Internal yang mewakili seluruh bagian yang terkait dengan produksi halal yang
beragama Islam.
satu lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik pada lokasi yang berbeda yang
menghasilkan produk dengan merek yang sama. Proses maklon (toll manufacturing),
jika ada, hendaknya dilakukan di perusahaan yang sudah bersertifikat halal. 132
1. Formulir berisi nama, alamat, jumlah karyawan, fasilitas tempat ibadah yang
auditor halal internal, status badan hukum, merek dagang, jenis produk, nomor
pendaftaran (produk pangan, obat, kosmetika, dan produk lain), Sistem Jaminan
Halal, standard yang digunakan, jenis spesifikasi kemasan, ruang lingkup produk
131
Audit internal dilakukan oleh Internal Halal Auditor yang ditunjuk oleh pimpinan
perusahaan. Mereka bertanggungjawab terhadap berlakunya Sistem Jaminan Halal dan perubahan-
perubahan yang terjadi. Tegasnya Internal Auditor berperan sebagai penjaga kehalalan produk sesuai
dengan jaminan halal yang dijanjikan. Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 82
132
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 125
133
Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal... Op. Cit, h. 8. Aisjah Girindra, Op.
Cit, h. 125. Departemen Agama RI, Petunjuk... Op. Cit, hal. 143
instansi yang berwenang bagi produk dalam negeri, dan dari negara asal untuk
produk impor.
dan/atau Sertifikat Halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong, daftar
bahan baku dan matrik produk versus bahan serta alir proses pembuatan produk.
Sertifikat Halal bagi bahan impor harus berasal dari institusi penerbit Sertifikat
4. Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah (produk daerah)
atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui MUI (produk impor)
untuk bahan yang bersal dari hewan dan turunannya serta produk komplek
lainnya. Dalam hal berasal dari hewan yang dihasilkan oleh industri rumah
5. Spesifikasi dan sumber bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu, serta bahan
penolong;
6. Dokumen Sistem Jaminan Halal yang diuraikan dalam Panduan Halal beserta
produsen setelah formulir beserta lampirannya diperiksa oleh LP POM MUI. Hasil
diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya. 134
Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap
Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa
MUI. Sertifikan Halal berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan dan
Proses dan tata cara pemeriksaan dan pengauditan produk makanan halal
guna mendapatkan Sertifikat Halal dimulai dari penyampaian surat LP POM MUI
yang berisi:
Pada waktu yang telah ditentukan oleh Tim Auditor yang dilengkapi dengan
134
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal.126
135
Ibid
lapangan yang mencakup proses peroduksi secara keseluruhan mulai dari penerimaan
perusahaan yang memiliki beberapa lokasi pabrik atau cabang (termasuk restoran),
termasuk pabrik maklon (toll manufacturing). Untuk produk kemas ulang (repacking
product) atau produk yang didaftarkan oleh distributor, akan diaudit ke lokasi
produksi (negara asal untuk produk impor). Sedangkan produk dengan bahan baku
berupa base yang diproduksi di lokasi lain atau dibeli dari pihak lain, dimana pihak
seperto proses pengenceran (contoh: flavor) atau standarisasi mutu, maka audit harus
136
Ibid, h. 127 lihat juga Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 146
137
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal.128
ketentuan; Jika produk yang diaudit banyak dan beragam, maka tidak setiap produk
harus diproduksi pada saat diaudit, cukup diwakili tiap kelompok produknya. Akan
tetapi Auditor harus memeriksa seluruh formula pada database dan dokumen
pelaksanaan produksi secara keseluruhan. Jika pada saat audit dilakukan perusahaan
belum dapat melaksanakan proses pada skala produksi, maka audit dapat dilakukan
pada skala laboratorium. Pada waktu produksi berjalan, akan diadakan audit ulang
untuk melihat kesesuaian proses skala produksi dengan skala laboratorium yang
pemeriksaan tehadap: Fasilitas fisik berupa bangunan, tata ruang, tempat produksi
penyembelihan hewan potong, pemilihan bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu,
dan bahan penolong, serta pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan. Serta petugas
Dalam hal bangunan dan fasilitas produksi, harus dalam kondisi: bebas dari
kotoran dan najis; tidak ada peluang kontaminasi oleh bahan haram, mudah untuk
dibersihkan dari kotoran dan najis; memiliki fasilitas sanitasi, penyediaan air berish
dan suci yang cukup, dan fasilitas pembuangan limbah; Pintu toilet tidak berbatasan
langsung dengan ruangan produksi; dan Memiliki sarana cuci tangan. Serta fasilitas
138
Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 148
bercampur dengan peralatan yang digunakan untuk memproduksi bahan yang tidak
1. Pertemuan antara tim auditor halal dengan menajemen pelaku usaha diadakan
2. Pada saat pertemuan tersebut, Tim Auditor memberikan laporan tertulis berkaitan
4. Tim Auditor memberi laporan tertulis hasil pemeriksaan kepada LP POM MUI.
perbaikannya telah diverifikasi Tim Auditor dalam batas waktu yang ditentukan.
7. Pemohon yang tidak mampu melakukan perbaikan dalam batas waktu yang
139
Ibid
140
Ibid, hal. 146-147
141
Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal... Op. Cit, hal. 10
selama 3 tahun, untuk S2 dan S3 selama 2 tahun di bidang yang berkaitan dengan
5. Lulus pelatihan auditor Sistem Jaminan Halal yang diakui oleh Departemen
Agama.
(observer).
laboratorium dalam Rapat Auditor LP POM MUI, maka laporan hasil audit diajukan
kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya. Sidang
Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum
memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sertifikat Halal 142 dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. 143
142
Biaya pemeriksaan, Sertifikasi Halal dan survailen ditanggung oleh produsen yang
mengajukan permohonan. Besar biaya pemeriksaan dan biaya survailen ditetapkan oleh lembaga
pemeriksaan halal, sedangkan biaya sertifikasi ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
143
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal.126
telah mendapkan legitimasi yang kuat, 144 menjadi landasan dan pijakan kewenangan
produknya, harus mengisi formulir melalui Departemen Kesehatan. Hal ini terkait
Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada
lanjut diatur oleh Departemen Kesehatan yang didasarkan atas hasil pembahasan
Indonesia. 147
144
Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan, lihat juga Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan
Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan.
145
Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 70
146
Ibid, hal.124
147
Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama
Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan.